Hubungan Antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik pada Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa USU Society for Debating

16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prestasi Akademik
1. Pengertian prestasi akademik
Menurut pendapat Djamarah (2002) tentang pengertian prestasi adalah
“hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual
maupun kelompok”. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak
melakukan suatu kegiatan. prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah
dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan hati, yang diperoleh dengan jalan
keuletan kerja, baik secara individual maupun secara kelompok dalam bidang
kegiatan tertentu. Dari beberapa pengertian prestasi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa prestasi adalah bukti dari suatu hasil kegiatan yang dapat
dicapai baik individu maupun kelompok dalam bidang kegiatan tertentu.
Menurut Sobur (2006) prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal
kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama
beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi
belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan
lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat
diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar. Prestasi akademik

juga dapat diartikan istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat
keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan oleh

Universitas Sumatera Utara

17

seseorang secara optimal (Naam, 2009). Menurut Chaplin (1997) mengemukakan
bahwa prestasi akademik adalah suatu keberhasilan yang khusus dari seseorang
dalam melaksanakan tugas akademik.
2.Faktor Internal yang Mempengaruhi Prestasi Akademik
a. Faktor Kesehatan Fisik
Menurut Djamarah (2002) seseorang yang mengalami kelemahan fisik baik
karena sakit maupun cacat di mana saraf sensoris dan motoriknya terganggu dapat
mengakibatkan rangsangan yang diterima melalui indera tidak dapat diteruskan ke
otak dengan baik. Kondisi ini dapat menyebabkan mahasiswa tertinggal dalam
pelajarannya.
b. Intelegensi
Menurut Djamarah (2002), intelegensi seseorang mempengaruhi potensi orang
tersebut untuk menyelesaikan pendidikannya dan potensi itu sesuai dengan

tingkatan IQ yang dimilikinya, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin baik
pula potensinya. Dengan melalui ujian saringan masuk perguruan tinggi yang
demikian ketat persaingannya secara praktis sebenarnya mahasiswa sudah
terseleksi dalam hal aspek intelegensinya. Namun kenyataan menunjukkan masih
cukup besar kendala bagi mahasiswa untuk mendapatkan prestasi yang baik.
Intelegensi bukan satu-satunya yang menentukan prestasi akademik mahasiswa.

Universitas Sumatera Utara

18

c. Motivasi
Menurut Purwanto (2004), motivasi adalah sesuatu yang mengarahkan dan
membangkitkan suatu tingkah laku pada manusia baik dari diri sendiri yakni
berupa kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa
cinta, penghargaan maupun dari orang lain. Setiap mahasiswa memiliki motivasi
yang berbeda-beda untuk berprestasi.
d. Minat
Minat merupakan rasa suka dan ketertarikan terhadap sesuatu yang muncul dari
dalam diri sendiri tanpa ada yang menyuruh. Minat tidak dibawa sejak lahir

melainkan diperoleh kemudian melalui proses pembelajaran terhadap hal yang
diminati. Menurut Djamarah (2002) minat yang besar terhadap sesuatu merupakan
modal yang besar dalam mencapai ataupun memperoleh benda atau tujuan yang
diinginkan. Timbulnya minat belajar disebabkan oleh berbagai hal, antara lain
karena keinginan yang kuat untuk menaikan martabat atau memperoleh pekerjaan
yang baik serta ingin hidup senang dan bahagia. Minat belajar yang besar
cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat yang kurang akan
menghasilkan prestasi yang rendah.
e. Kepribadian
Pribadi yang seimbang sangat mempengaruhi proses belajar, pribadi yang
seimbang dapat menciptakan kesehatan mental dan ketenangan emosi yang dapat
mendorong keberhasilan dalam belajar. Menurut Purwanto (2004) tiap-tiap orang

Universitas Sumatera Utara

19

mempunyai sifat-sifat kepribadiannya masing-masing yang berbeda dengan orang
lain. Ada orang memiliki sikap keras hati, berkemauan keras, tekun dalam segala
usahanya, halus perasaannya dan sebaliknya. Sifat-sifat kepribadiannya dapat

mempengaruhi sampai manakah hasil belajar yang dapat dicapai oleh orang
tesebut.
f. Fisiologis
Menurut Djamarah (2002) kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpegaruh
terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar
jasmaninya akan lain cara belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan.
Anak-anak yang kekurangan gizi memiliki kemampuan belajar yang di bawah
anak-anak yang tidak kekurangan gizi. Mereka lekas lelah, mudah mengantuk,
dan sukar menerima pelajaran.
3. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Prestasi Akademik
a. Keadaan keluarga
Suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam mau tidak mau turut
menentukan bagaimana dan sampai dimana belajar dialami dan dicapai oleh
seseorang. Selain itu ada kemampuan keluarga untuk meberikan fasilitas-fasilitas
yang diperlukan dalam belajar turut memegang peranan penting (Purwanto, 2004).
b. Guru dan cara mengajar
Faktor guru dan cara mengajarnya juga merupakan faktor yang penting dalam
menentukan keberhasilan belajar seseorang. Bagaimana sikap dan kepribadian

Universitas Sumatera Utara


20

guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru
itu mengajarkan pengetahuan itu kepada anak-anak didiknya turut menentukan
bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai anak (Purwanto, 2004).
c. Alat-alat pelajaran
Menurut Purwanto (2004) institusi yang cukup memiliki alat-alat dan
perlengkapan yang diperlukan untuk belajar ditambah dengan cara mengajar yang
baik oleh guru atau dosen, dan kecakapan pengajar dalam menggunakan alat-alat
itu akan mempermudah dan mempercepat belajar seseorang.
d. Motivasi sosial
Jika seseorang mendapatkan motivasi sosial dari lingkungan sekitarnya, maka
akan timbul keinginan dan hasrat belajar yang lebih baik Motivasi sosial dapat
berasal dari orang tua, guru, tetangga, sanak saudara, dan teman sebaya
(Purwanto, 2004).
e. Lingkungan dan kesempatan
Menurut Purwanto (2004) anak yang berasal dari keluarga yang baik, memiliki
intelegensi yang baik, bersekolah di suatu sekolah yang keadaan guru-gurunya
dan alat-alat yang baik, belum tentu dapat belajar dengan baik. Masih ada faktor

yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Seperti jarak antara rumah dan
sekolah yang cukup jauh sehingga cukup melelahkan untuk berangkat sekolah.

Universitas Sumatera Utara

21

f. Kurikulum
Menurut Djamarah (2002) kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan
unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar
tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang harus guru sampaikan dalam suatu
pertemuan kelas belum guru programkan sebelumnya. Itulah sebabnya, untuk
semua mata pelajaran, setiap guru memiliki kurikulum untuk mata pelajaran yang
dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan
menjabarkan isi kurikulum ke program yang lebih rincidan jelas sasarannya,
sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar
mengajar yang telah dilaksanankan.
4. Perhitungan Prestasi Akademik Mahasiswa
Prestasi akademik pada mahasiswa tergantung oleh angka indeks prestasi
yang ditentukan pada setiap akhir semester. Indeks Prestasi Semester (IPS)

dihitung berdasarkan jumlah beban kredit yang diambil dalam satu semester
dikalikan dengan bobot prestasi tiap-tiap mata kuliah kemudian dibagi dengan
jumlah beban kredit yang diambil (Universitas Sumatera Utara, 2010). IPS dapat
diukur dengan menggunakan rumus:

IPS = Σ (K X N)
ΣK

Universitas Sumatera Utara

22

K = Jumlah SKS setiap mata kuliah yang tercantum dalam KRS pada semester
yang bersangkutan.
N = Bobot prestasi setiap mata kuliah.

Sedangkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang digunakan sebagai alat
ukur prestasi akademik pada penelitian ini adalah indeks prestasi yang dihitung
berdasarkan jumlah keseluruhan beban kredit yang diambil mulai dari semester 1
sampai semester terakhir, dikalikan dengan bobot prestasi tiap-tiap mata kuliah

kemudian dibagi dengan beban kredit yang diambil. (Universitas Sumatera Utara,
2010). IPK dapat dihitung dengan rumus:

IPK = Σ (K X N)
ΣK
K = Jumlah SKS semua mata kuliah yang dijalani mulai dari semester 1 sampai
dengan yang terakhir.
N = Bobot prestasi setiap mata kuliah.
Perhitungan Indeks Prestasi dan Indeks Prestasi Kumulatif dilakukan oleh bagian
pendidikan Fakultas. Klasifikasi Indeks Prestasi Kumulatif dapat dikelompokkan
dengan ketentuan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

23

Tabel 1. Kategorisasi Indeks Prestasi Akademik
NO

KATEGORI


INDEKS PRESTASI
AKADEMIK

1

Memuaskan

2,00 ≤ x ≤ 2,75

2

Sangat Memuaskan

2,76 ≤ x ≤ 3,50

3

Cumlaude


3,51 ≤ x ≤ 4,00

Sumber: Buku Peraturan akademik Program Sarjana Universitas Sumatera
Utara (2010)

Universitas Sumatera Utara

24

B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity quotient
Adversity quotient menurut Stolz (2000) adalah kecerdasan menghadapi
kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup
dan tantangan yang dialami. Nashori (2007) berpendapat bahwa adversity quotient
adalah kemampuan

individu

untuk menggunakan


kecerdasannya

dalam

mengarahkan, mengubah cara berfikir serta perilakunya ketika menghadapi
tantangan, hambatan ataupun kesulitan yang dapat menyengsarakan dirinya
Menurut bahasa, kata adversity quotient berasal dari bahasa inggris, yaitu
kemalangan atau kegagalan. Dalam bahasa Indonesia, adversity quotient
bermakana kesulitan atau kemalangan yang dapat diartikan sebagai kondisi
ketidakbagiaan, kesulitan maupun ketidak beruntungan. Kata adversity dalam
konteks psikolo diartikan sebagai tantangan dalam kehidupan. (Reni Akbar
Hawadi, 2002)
Menurut Stolz (2000), tingkat adversity quotient menentukan kesuksesan
dalam menjalani kehidupan. adversity quotient diwujudkan dalam tiga bentuk
yaitu:
a.

Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan

b.

Ukuran dalam mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan

c.

Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang dalam
kesulitan

Universitas Sumatera Utara

25

Maka, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah kemampuan
individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai
menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi
hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap
kesulitan tersebut.
2.Dimensi – dimensi Adversity Quotient
Adversity quotient secara umum dapat diungkap melalui empat dimensi yang oleh
Stoltz (2000) dikenal dengan CO2RE, meliputi:
a. Control (C)
Dimensi ini mempertanyakan tentang seberapa besar kendali yang individu
rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu
yang memiliki skor control yang tinggi merasakan kendali yang lebih
besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang skor control-nya
lebih rendah. Mereka yang memiliki AQ yang lebih tinggi cenderung
melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah
cenderung berkemah atau berhenti. Sedangkan individu yang memiliki
skor rendah pada dimensi control merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk
berada di luar kendali dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk
mencegahnya atau membatasi kerugiannya. Individu yang rendah
kemampuan

pengendaliannya

sering

menjadi

tidak

berdaya

saat

menghadapi kesulitan.

Universitas Sumatera Utara

26

b. Origin dan Ownership (O2)

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi
asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui
akibat-akibat kesulitan itu. Dimensi origin berkaitan dengan rasa bersalah.
Individu yang skor origin-nya rendah cenderung menempatkan rasa
bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi.
Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya
penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut. Sedangkan individu
yang skor origin-nya tinggi cenderung menganggap sumber kesulitan
berasal dari orang lain atau dari luar. Individu yang skor ownership-nya
tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab
terhadap kesulitan dan mampu belajar dari kesalahan. Sedangkan individu
yang skor ownership-nya rendah cenderung tidak mengakui masalah dan
menuding orang lain.
c. Reach (R)

Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau
bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Individu yang skor reachnya rendah cenderung membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari
kehidupan. Sedangkan individu yang skor reach-nya tinggi cenderung
membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

Universitas Sumatera Utara

27

d. Endurance (E)

Dimensi ini mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung
dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Individu
yang skor endurance-nya rendah menganggap kesulitan dan/atau
penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa
positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Sedangkan Individu yang
skor endurance-nya tinggi menganggap kesulitan dan penyebabpenyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan
kecil kemungkinan terjadi lagi.
1. Faktor Pembentuk Adversity Quotient
Faktor pembentuk adversity quotient menurut Stolz (2000) adalah sebagai
berikut:
a. Daya Saing
Stolz (2000) berpendapat bahwa adversity quotient yang rendah
disebabkan karena tidak adanya daya saing ketika menghadapi
kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan
peluang dalam kesulitan yang dihadapi.

b. Produktivitas
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara kinerja individu dengan respon yang diberikan

Universitas Sumatera Utara

28

ketika menghadapi kesulitan. Artinya, respon konstruktif yang
diberikan

seseorang

dalam

kesulitan

akan

membantu

meningkatkan kinerja dan produktivitas yang tinggi.
c. Motivasi
Stolz (2000) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai
motivasi yang kuat akan menciptakan peluang dalam kesulitan,
artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya
menyelesaikan masalah dengan menggunakan kapasitas diri
serta segenap kemampuan.
d. Mengambil resiko
Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi akan lebih
berani dalam mengambil resiko dan terus berkembangan dalam
zona ketidaknyamanan. Hal ini akan membuat respon terhadap
masalah menjadi lebih konstruktif
e. Perbaikan
Seseorang dengan adversity quotient tinggi senantiasa berupaya
mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu dengan
melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan
tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain dalam
kehidupan
f. Ketekunan

Universitas Sumatera Utara

29

Orang yang merespon masalah dengan baik, akan lebih mudah
untuk tetap bertahan dan tidak mudah menyerah ketika
menghadapi masalah baru
g. Belajar
Orang-orang yang merespon seara optimis akan banyak belajar
dan lebih berprestasi dibandingkan anak yang berpola pikir
pesimistik.
2. Tiga Tingkatan kesulitan
Stolz (2000) mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga dan
menggambarkan ketiganya dalam bentuk piramida:

Gambar 1. Tiga Tingkatan Kesulitan (Stolz (2000): hal.51)
Stolz menyatakan bahwa kesulitan pada individu menjadi hal yang paling
utama dan mendasar untuk ditinjau, dari segi biologis dan psikologis individu, dan
bagaimana kualitas individu menambah atau mengurangi intensitas kesulitan. Lalu
Sekolah dan institusi pendidikan menjadi tantangan yang didapatkan dari

Universitas Sumatera Utara

30

lingkungan sampai pada akhirnya bagaimana pelajar pada umumnya mendapatkan
kesulitan pada prestasinya disebabkan dua kesulitan sebelumnya. Untuk
mengatasi kesulitan dalam prestasi maka kesulitan di tingkat institusi pendidikan
dan individu harus dihadapi terlebih dahulu.
3. Karakter Manusia Berdasarkan Tinggi Rendahnya Adversity Quotient
Dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stoltz (2000) membagi
orang-orang dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu quitter, camper dan
climber.
a. Quitter
Quitter adalah orang yang berhenti dan tidak mencoba untuk mendaki.
Mereka adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban,
mundur dan berhenti. Mereka menolak kesempatan untuk mendaki.
Mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang
manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan
banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.
b. Camper
Camper adalah orang-orang yang pergi untuk mendaki tetapi tidak
seberapa jauh mereka berhenti dan memilih untuk menetap di situ dan
tidak meneruskan pendakiannya karena telah merasa nyaman, aman dan
mungkin takut akan hal yang terjadi jika mereka terus mendaki. Orang tipe

Universitas Sumatera Utara

31

ini akan puas pada suatu keadaan dan tidak mencoba untuk terus
berkembang.
c. Climber
Climber merupakan orang-orang yang seumur hidup digunakan untuk
mendaki. Mereka selalu terus menerus maju dengan memikirkan
kemungkinan-kemungkinan serta tidak membiarkan umur, jenis kelamin,
ras, cacat fisik atau mental dan hambatan lainnya menghalangi
pendakiannya. Dalam konteks, orang tipe ini akan mengembangkan
dirinya seiring dengan masalah yang ada dan terus belajar dari masalah.
C. Unit Kegiatan Mahasiswa USU Society for Debating
USU Society For Debating (USD) adalah salah satu unit kegiatan
mahasiswa yang aktif di Universitas Sumatera Utara. Orientasi utama dari
kegiatan mahasiswa ini adalah debat bahasa Inggris. USD resmi terbentuk pada
tahun 2010, namun dalam perkembangannya baru saja memiliki secretariat dan
kepengurusan organisasi dan program latihan. Tujuan utama dari Unit Kegiatan
Mahasiswa ini adalah sebagai bentuk organisasi yang dapat mewadahi
mahasiswa yang memiliki kemampuan dan minat dalam berdebat, serta meraih
prestasi di kancah lokal, regional, nasional, maupun internasional.
USD dipimpin oleh seorang ketua yang disebut sebagai president. Dibantu
oleh sekretaris dan bendahara, ketiga orang ini disebut sebagai pengurus utama.
Kemudian dalam internal USD sendiri ada 5 departemen yang masing-masing

Universitas Sumatera Utara

32

berperan dalam kegiatan pelatihan debat dan pengembangan organisasi secara
keseluruhan. Secara struktur, USD juga memiliki advisor yang memberikan
arahan dan nasihat pada setiap acara yang akan diselenggarakan USD.
Untuk mengadakan kegiatan dan mengikuti perlombaan, adalah hal yang
wajar USD selalu berintegrasi dengan pihak rektorat, dan selalu berkoordinasi
dalam setiap kegiatan. USD juga sering diberikan amanah dalam mengatur acara
ataupun turut ikut serta dalam berbagai kepanitiaan.
Berdebat menjadi salah satu fokus utama dari USD, seperti yang disadur
dari DIKTI mengenai kegiatan debat bahasa Inggris, Lomba debat menggunakan
bahasa pengantar bahasa Inggris antarperguruan tinggi telah menjadi bagian
penting dalam kompetisi perguruan tinggi di dunia. Lomba debat ini menuntut
keterampilan berbahasa Inggris dan berargumentasi. Keterampilan berbahasa
Inggris yang baik akan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berinteraksi
dengan masyarakat internasional. Sedangkan keterampilan atau kemahiran dalam
berargumentasi akan meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk membuat
keputusan berdasarkan analisis yang logis dan faktual.

D.Hubungan antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik Pada
UKM USU Society for Debating
Anggota USD, berdasarkan beberapa pernyataan sebelumnya, menerima
tantangan yang relatif lebih besar dan lebih intens daripada UKM lain di USU.
Hal ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, yang pertama adalah proses seleksi

Universitas Sumatera Utara

33

yang ketat sebelum mengikuti lomba, baik untuk lokal maupun internasional.
Anggota yang baru saja mengikuti UKM ini tentu saja tidak mudah untuk
langsung mengikuti lomba. Belum lagi mereka harus bersabar dalam menghadapi
senior yang cenderung lebih mampu dalam berdebat karena pengalaman. Yang
kedua, Maslow (2009) menyatakan bahwa setiap individu pada dasarnya akan
selalu bersaing untuk mencapai aktulisasi dirinya. Sehingga masalah yang
dihadapi anggota salah satunya adalah tingginya persaingan untuk dapat
berpartisipasi dan aktualisasi diri dalam lomba.
Menurut Sobur (2006) prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal
kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama
beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi
belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan
lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat
diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar. Salah satu aspek
dari adversity quotient adalah belajar (Stolz, 2000). Hal ini menegaskan bahwa
untuk memiliki adversity quotient yang baik seseorang harus belajar dan
memenuhi tuntutan untuk memperkaya pengetahuan.
Setiap mahasiswa pada dasarnya merasa tertekan dengan tuntutan
akademik. Apa yang terjadi pada anggota USD adalah kesulitan mereka dalam
membagi perhatian mereka dalam mengikuti lomba dan tetap mengejar tuntutan
akademis. Padahal prestasi akademik adalah indikator baku atas prestasi
mahasiswa, dan pada dasarnya mahasiswa mengikuti perkuliahan demi meraih

Universitas Sumatera Utara

34

prestasi yang baik. Namun dengan keikutsertaan dalam UKM ini, dan dengan
intensitas lomba yang ada, maka adversity quotient yang merupakan kemampuan
dalam menghadapi masalah akan sangat dibutuhkan.
Menurut stolz (2000) ada 3 golongan orang yang memiliki adversity
quotient. Anggota USD yang tergolong quitter adalah mereka yang beranggapan
bahwa berdebat dan berorganisasi itu rumit, membingungkan, dan bikin pusing
saja. Ketika mereka menemukan sedikit kesulitan dalam menyelesaikan masalah
mereka menyerah dan berhenti tanpa dibarengi usaha sedikitpun. Hal ini akan
berpengaruh pada saat mereka menemukan kesulitan dalam membagi waktu dan
mempelajari hal baru dalam perkuliahan. Pada saat menghadapi kesulitan mereka
akan cenderung lepas kontrol dan masalah tersebut menjadi suatu kesulitan di
aspek kehidupan individu tersebut. Ketahanan (endurance) mereka juga
cenderung rendah dan selalu ingin menyerah ketika diberikan tugas ataupun
menghadapi ujian.
Anggota USD yang tergolong camper adalah mereka yang tak mau
mengambil risiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau
keadaan yang telah dicapainya saat ini. Ia pun kerap mengabaikan kemungkinankemungkinan yang akan didapat. Orang tipe ini cepat puas atau selalu merasa
cukup berada di posisi tengah. Orang camper merasa cukup senang dengan
ilusinya sendiri tentang apa yang sudah ada, dan mengorbankan kemungkinan
untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin terjadi. Mereka tidak
memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesempatannya ada. Tidak ada

Universitas Sumatera Utara

35

usaha untuk lebih giat belajar. Dalam organisasi debat, siswa camper tidak
berusaha semaksimal mungkin, mereka berusaha sekedarnya saja. Mereka
berpandangan bahwa tidak perlu menjadi juara, yang penting jadi anggota
organisasi, tidak perlu meraih banyak prestasi. Prestasi akademik pun tidaklah
perlu menjadi yang terbaik bagi mereka. Mereka tidak memberikan usaha
maksimal ketika mengerjakan tugas dan ketika menghadapi ujian. Mereka juga
menganggap bahwa IPK adalah sesuatu yang relatif dan tidak menjadi indicator
kesuksesan seseorang.
Tipe climber adalah mereka yang mempunyai tujuan atau target. Untuk
mencapai tujuan itu, ia mampu mengusahakan dengan ulet dan gigih. Tak hanya
itu, ia juga memiliki keberanian dan disiplin yang tinggi. Lalu ditengah
organisasi, mereka yang bertipe climber juga merasa tertantang dalam materi
perkuliahan dan berusaha membagi waktu. Ibarat orang bertekad mendaki
gunung sampai puncak, ia akan terus mencoba sampai yakin berada di puncak
gunung. Bila ada masalah, maka mereka yang bertipe ini akan mengontrol agar
masalah tersebut tidak mempengaruhi aspek kehidupan mereka yang lain, dan
mereka memiliki ketahanan yang baik ketika menghadapi tantangan. Tipe inilah
yang tergolong memiliki AQ yang baik.

Universitas Sumatera Utara

36

D. Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan satu hipotesis sebagai jawaban sementara
terhadap permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Adapun hipotesis
dalam penelitian ini, yaitu:
“Ada hubungan antara Adversity Quotient dan prestasi akademik”

Universitas Sumatera Utara