Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa
sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan
dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan. Nyeri akut dapat
merupakan bagian dari kerusakan jaringan atau inflamasi yang dapat disebabkan
oleh operasi, luka bakar, ataupun trauma.1 Pada beberapa penelitian menyatakan
nyeri pascabedah 4-54%.2 Penanganan nyeri yang efektif dengan sedikit efek
samping akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit.
Pemberian analgesia pascabedah yang adekuat menjadi prioritas.3
Nyeri paska pembedahan apabila tidak ditangani dengan efektif akan
menimbulkan respon stres metabolik yang akan mempengaruhi semua sistem
tubuh dan memperberat kondisi pasien. Terdapat beberapa golongan obat yang
sering digunakan untuk mengatasi nyeri pascabedah seperti golongan nonopioid
(paracetamol), NSAID, opioid lemah (kodein, tramadol), opioid kuat (morfin),
dan adjuvan (ketamin dan klonidin).4 Analgesia setelah pembedahan dapat dicapai
dengan menggunakan baragam opioid. Efektifitas pemakaian opioid sebagai
analgesia pascabedah sudah diakui namun memiliki efek samping, seperti depresi
pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus.5
Saat
ini
banyak
digunakan
obat-obatan
nonopioid
seperti
obat
antiinflamasi nonstreoid sebagai pengganti opioid, karena memiliki efek analgesia
yang kuat dan mempunyai efek antiinflamasi. Namun pemberian obat kelompok
antiinflamasi nonsteroid juga harus berhati-hati karena berkaitan dengan
peningkatan resiko perdarahan daerah operasi akibat waktu perdarahan yang
memanjang, luka pada organ gastrointestinal, dispepsia dan menyebabkan
gangguan ginjal. Sedangkan penggunaan tramadol sebagai analgesia golongan
opioid mempunyai efek samping yang sering dijumpai antara lain mual dan
muntah.5
1
Universitas Sumatera Utara
Trauma jaringan selama pembedahan mengubah jalur sentral persepsi
nyeri. Terjadi perubahan sensitisasi sentral melalui peningkatan sensitivitas
terhadap rangsang nyeri. Adanya nyeri akan memperlambat pemulihan atau
memperpanjang waktu rawat inap. Salah satu sensitisasi sentral timbulnya nyeri
adalah aktivitas dari N-methyl-D-aspartat (NMDA).6
Ide pencegahan nyeri pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinis
oleh Crile pada tahun 1913, dan dikembangkan lebih lanjut oleh Wall dan Woolf.
Berdasarkan pengamatan eksperimental menunjukkan bahwa pencegahan
analgesia lebih efektif jika diberikan sebelum dan selama rangsangan nyeri, dan
bukan hanya pada tahap pascabedah. Woolf menyimpulkan bahwa perubahan
sederhana dalam waktu pemberian analgesik dapat memiliki efek pada
penanganan nyeri pascabedah.7
Definisi preemptif dan preventif analgesia sangat bervariasi dalam literatur
medis. Periode pembedahan dibagi menjadi tiga fase: praoperatif, intraoperatif,
dan pascaoperasi. Beberapa penulis sempit mendefinisikan preemptif analgesia
diberikan pada fase praoperasi dan preventif analgesia pada fase intraoperatif.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Joseph I. Kamelgard, dkk, di New Jersey
Medical School, kombinasi analgesia preventif dan preemptif menghasilkan
penanganan nyeri yang lebih baik dalam kebutuhan akan obat opioid.8
Konsep dari pada preventif analgesia sebenarnya adalah mencegah
terjadinya nyeri pascabedah, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada
10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat analgetik setelah operasi. Sehingga
preventif analgesia ini berdasarkan pada asumsi bahwa satu-satunya cara untuk
mencegah
terjadinya
sensitisasi
sentral
adalah
dengan
secara
lengkap
memblokade sinyal nyeri apapun dari luka operasi, mulai dari saat insisi hingga
penyembuhan luka sempurna. Diharapkan melalui pemberian analgetik secara
menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi
intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut pascabedah, yang pada akhirnya
mencegah timbulnya nyeri persisten.7
Konsep preemptif analgesia yaitu memulai pemberian analgesia sebelum
timbulnya stimulus nyeri untuk mencegah sensitisasi sentral dan mengurangi
2
Universitas Sumatera Utara
pengalaman nyeri berikutnya.7,8 Preemptif analgesia memiliki efek ‘pelindung’
pada jalur nosiseptif sehingga memiliki potensi untuk menjadi lebih efektif
daripada analgesik serupa pada pemberian setelah pembedahan. Akibatnya, nyeri
pascabedah segera dapat dikurangi dan dapat dicegah berkembang menjadi nyeri
kronis.7 Berdasarkan data laboratorium dan beberapa studi klinis, Wall
menyebutkan pentingnya preemptif analgesia dalam sebuah editorial tahun 1988
dikarenakan, pertama, penurunan masukan rangsangan small-fiber ke dalam SSP
selama operasi akan mencegah sensitisasi sentral, dan kedua, analgesik yang
diberikan sebelum operasi memiliki potensi menghasilkan efek berkepanjangan.9
Banyak obat yang telah menunjukkan manfaat dari analgesia preemptif,
suatu penelitian metaanalisis yang dilakukan Ong dkk tahun 2005, dengan melihat
kemampuan preemptif analgesia dalam menurunkan skor nyeri pascabedah,
mengurangi jumlah penggunaan analgesik, dan memperpanjang waktu permintaan
analgesia pertama atau rescue analgesia pascabedah. Penilaian hasil preemptif
analgesia pada teknik epidural analgesia, infiltrasi anestesi lokal, obat sistemik
NSAID dan nonkompetitif NMDA. Ong dkk mengatakan teknik epidural
analgesia paling baik sebagai preemptif analgesia dikarenakan menghambat
transmisi afferen di medula spinalis dan mengurangi sensitisasi nyeri susunan
saraf pusat dibandingkan teknik lain tetapi memiliki kelemahan dari segi
ekonomis yaitu biaya yang lebih mahal. Infiltrasi anestesi lokal di daerah insisi
dan pemberian obat NSAID sebagai preemptif analgesia hanya mampu
memperlama waktu permintaan analgesia pertama paska operasi tetapi tidak
dalam mengurangi skor nyeri pascabedah, dan penggunaan NSAID meningkatkan
kejadian perdarahan pascabedah.7
Ketamin sebagai antagonis reseptor non-kompetitif NMDA mendapat
perhatian besar karena reseptor NMDA memiliki peran dalam sensitisasi sentral
dan modulasi saraf.8,10 Efek preemptif ketamin masih kontroversi, beberapa
peneliti melaporkan adanya efek terhadap pemberian analgesik selanjutnya,
namun peneliti lain tidak. Perbedaan ini disebabkan variasi prosedur pembedahan,
dosis pemberian dan waktu pemberian.7 Meskipun beberapa studi menunjukkan
tidak ada efektivitas analgesia preemptif yang diberikan. Sebenarnya satu-satunya
3
Universitas Sumatera Utara
cara untuk mencegah sensitisasi nosisepsi adalah langsung memblokir benarbenar sinyal nyeri yang berasal dari luka bedah dari waktu sayatan sampai akhir
penyembuhan
luka,
dan
intervensi
farmakologis
lainnya
termasuk
antihiperalgesia.10
Parikh, tahun 2011, membandingkan pemberian ketamin dosis 0.15
mg/kgBB intravena 30 menit sebelum sayatan bedah, dilanjutkan ketamin infus
10 mcg/kgBB/menit dengan plasebo normal salin pada 60 pasien operasi elektif
ginjal. Didapatkan hasil ketamin dosis kecil menurunkan nyeri pascabedah,
menurunkan konsumsi morfin, dan memperpanjang waktu permintaan analgesia
pascabedah.11
Kianfar dkk, tahun 2008, membandingkan ketamin dosis rendah 0.15
mg/kgBB/IV dan plasebo normal salin 5 menit sebelum sayatan bedah pada 30
pasien pembedahan cholecystectomy, didapatkan hasil VAS preemptif ketamin
bermakna rendah dibandingkan plasebo dan menurunkan dosis analgesik opioid
setelah pembedahan.12
Akbar
Behdad
dkk,
tahun
2011,
membandingkan
ketamin
0.5
mg/kgBB/IV intravena sebelum insisi bedah dengan grup kontrol normal salin
pada pasien menjalani appendectomy, didapatkan hasil VAS preemptif ketamin
bermakna rendah dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri pasca
pembedahan appendiks.13
Shekoufeh, tahun 2013, membandingkan ketamin 30 mg ditambah
midazolam 1 mg dengan grup kontrol midazolam 1 mg, yang diberikan setelah
spinal anestesi pada 60 pasien elektif seksio sesarea. Didapatkan hasil grup
ketamin bermakna menurunkan nyeri pada 1 jam pascabedah seksio sesarea
dibandingkan kontrol, dan total penggunaan meperidine bermakna lebih rendah
daripada grup kontrol.14
Aqil dkk, tahun 2011, membandingkan 3 kelompok preemptif ketamin dan
plasebo, kelompok pertama plasebo dan kelompok 2-4 masing-masing menerima
preemptif ketamin dosis 0.5 mg/kgBB, 1 mg/kgBB, dan 1.5 mg/kgBB yang
diberikan setelah induksi anestesi pada pembedahan septorhinoplasty. Didapati
hasil bahwa ketamin preemptif dosis 0.5 mg/kgBB/IV gagal dalam mengurangi
4
Universitas Sumatera Utara
permintaan analgesia ketoprofen, sedangkan ketamin preemptif dosis 1
mg/kgBB/IV dan 1.5 mg/kgBB/IV mengurangi kebutuhan akan analgesia
ketoprofen pascabedah dan memperpanjang waktu kebutuhan analgesia pertama
pascabedah tanpa peningkatan efek samping obat ketamin.15
Beberapa penelitian lain mengatakan preemptif ketamin tidak mempunyai
efek, seperti yang dikatakan oleh Dahl dkk, tahun 2000, membandingkan
preemptif ketamin dosis 0.4 mg/kgBB/IV sebelum sayatan (preincision) dan
ketamin dosis 0.4 mg/kgBB/IV sesudah insisi (postincision) pada pembedahan
abdominal histerectomy. Didapatkan hasil bahwa grup postincision bermakna
mengurangi nyeri dibandingkan grup preincision dan plasebo normal salin, dan
grup preincision tidak berbeda bermakna dengan plasebo dalam skore nyeri paska
operasi, sehingga Dahl menyimpulkan pemberian ketamin dosis 0.4 mg/kgBB/IV
preincision gagal memberikan efek analgesia preemptif.16
Langgeng Raharjo, tahun 2009, menilai efektifitas ketamin sebagai
preemptif analgesia terhadap nyeri pascabedah onkologi, membandingkan
ketamin dosis 0.5 mg/kgBB/IV sebelum sayatan dan plasebo, didapatkan hasil
pemberian ketamin sebagai preemptif analgesia dengan dosis 0.5 mg/kgBB/IV
tidak mengurangi kebutuhan opioid untuk analgesik pascabedah onkologi di
Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, tetapi dari hasil penelitian ini didapatkan
pemanjangan waktu kebutuhan analgesia pascabedah.17
Dari beberapa penelitian diatas, maka peneliti bermaksud menilai
perbandingan efektifitas dosis ketamin 0.5 mg/kgBB/IV dengan dosis 1
mg/kgBB/IV sebagai preemptif analgesia dengan anestesi umum. Dan untuk
mengurangi bias dalam penelitian maka peneliti mengambil sampel penelitian
pada satu jenis operasi yaitu bedah ginekologi.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan efek ketamin dosis 0,5 mg/kgBB intravena
dibandingkan dengan ketamin dosis 1 mg/kgBB intravena sebagai preemptif
analgesia pada anestesi umum.
5
Universitas Sumatera Utara
1.3. Hipotesa
Ada perbedaan efek setelah pemberian ketamin dosis 0,5 mg/kgBB
intravena dengan ketamin dosis 1 mg/kgBB intravena sebagai preemptif analgesia
pada anestesi umum.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mendapatkan dosis ketamin intravena sebagai preemptif analgesia
pascabedah yang efektif pada anestesi umum.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek ketamin dosis 0,5 mg/kgBB/IV sebagai
preemptif analgesia dinilai dari waktu permintaan analgesia pertama.
2. Untuk mengetahui efek ketamin dosis 1 mg/kgBB/IV sebagai
preemptif analgesia dinilai dari waktu permintaan analgesia pertama.
3. Mengetahui efek samping penggunaan preemptif ketamin dosis 0,5
mg/kgBB/IV dan dosis 1 mg/kgBB/IV.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Akademik
1.
Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan
acuan untuk meningkatkan pelayanan manajemen nyeri pascabedah.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
terutama ilmu anestesi.
1.5.2. Manfaat Pelayanan
1.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan
pascabedah yang lebih baik.
2.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengurangi biaya
operasional (cost benefit).
6
Universitas Sumatera Utara
3.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengurangi efek samping
(risk benefit).
1.5.3. Pengembangan Penelitian
1.
Sebagai data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis
ketamin yang berbeda.
2.
Dapat dipakai sebagai pedoman penelitian untuk penanganan nyeri
pascabedah lebih lanjut.
7
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa
sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan
dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan. Nyeri akut dapat
merupakan bagian dari kerusakan jaringan atau inflamasi yang dapat disebabkan
oleh operasi, luka bakar, ataupun trauma.1 Pada beberapa penelitian menyatakan
nyeri pascabedah 4-54%.2 Penanganan nyeri yang efektif dengan sedikit efek
samping akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit.
Pemberian analgesia pascabedah yang adekuat menjadi prioritas.3
Nyeri paska pembedahan apabila tidak ditangani dengan efektif akan
menimbulkan respon stres metabolik yang akan mempengaruhi semua sistem
tubuh dan memperberat kondisi pasien. Terdapat beberapa golongan obat yang
sering digunakan untuk mengatasi nyeri pascabedah seperti golongan nonopioid
(paracetamol), NSAID, opioid lemah (kodein, tramadol), opioid kuat (morfin),
dan adjuvan (ketamin dan klonidin).4 Analgesia setelah pembedahan dapat dicapai
dengan menggunakan baragam opioid. Efektifitas pemakaian opioid sebagai
analgesia pascabedah sudah diakui namun memiliki efek samping, seperti depresi
pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus.5
Saat
ini
banyak
digunakan
obat-obatan
nonopioid
seperti
obat
antiinflamasi nonstreoid sebagai pengganti opioid, karena memiliki efek analgesia
yang kuat dan mempunyai efek antiinflamasi. Namun pemberian obat kelompok
antiinflamasi nonsteroid juga harus berhati-hati karena berkaitan dengan
peningkatan resiko perdarahan daerah operasi akibat waktu perdarahan yang
memanjang, luka pada organ gastrointestinal, dispepsia dan menyebabkan
gangguan ginjal. Sedangkan penggunaan tramadol sebagai analgesia golongan
opioid mempunyai efek samping yang sering dijumpai antara lain mual dan
muntah.5
1
Universitas Sumatera Utara
Trauma jaringan selama pembedahan mengubah jalur sentral persepsi
nyeri. Terjadi perubahan sensitisasi sentral melalui peningkatan sensitivitas
terhadap rangsang nyeri. Adanya nyeri akan memperlambat pemulihan atau
memperpanjang waktu rawat inap. Salah satu sensitisasi sentral timbulnya nyeri
adalah aktivitas dari N-methyl-D-aspartat (NMDA).6
Ide pencegahan nyeri pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinis
oleh Crile pada tahun 1913, dan dikembangkan lebih lanjut oleh Wall dan Woolf.
Berdasarkan pengamatan eksperimental menunjukkan bahwa pencegahan
analgesia lebih efektif jika diberikan sebelum dan selama rangsangan nyeri, dan
bukan hanya pada tahap pascabedah. Woolf menyimpulkan bahwa perubahan
sederhana dalam waktu pemberian analgesik dapat memiliki efek pada
penanganan nyeri pascabedah.7
Definisi preemptif dan preventif analgesia sangat bervariasi dalam literatur
medis. Periode pembedahan dibagi menjadi tiga fase: praoperatif, intraoperatif,
dan pascaoperasi. Beberapa penulis sempit mendefinisikan preemptif analgesia
diberikan pada fase praoperasi dan preventif analgesia pada fase intraoperatif.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Joseph I. Kamelgard, dkk, di New Jersey
Medical School, kombinasi analgesia preventif dan preemptif menghasilkan
penanganan nyeri yang lebih baik dalam kebutuhan akan obat opioid.8
Konsep dari pada preventif analgesia sebenarnya adalah mencegah
terjadinya nyeri pascabedah, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada
10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat analgetik setelah operasi. Sehingga
preventif analgesia ini berdasarkan pada asumsi bahwa satu-satunya cara untuk
mencegah
terjadinya
sensitisasi
sentral
adalah
dengan
secara
lengkap
memblokade sinyal nyeri apapun dari luka operasi, mulai dari saat insisi hingga
penyembuhan luka sempurna. Diharapkan melalui pemberian analgetik secara
menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi
intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut pascabedah, yang pada akhirnya
mencegah timbulnya nyeri persisten.7
Konsep preemptif analgesia yaitu memulai pemberian analgesia sebelum
timbulnya stimulus nyeri untuk mencegah sensitisasi sentral dan mengurangi
2
Universitas Sumatera Utara
pengalaman nyeri berikutnya.7,8 Preemptif analgesia memiliki efek ‘pelindung’
pada jalur nosiseptif sehingga memiliki potensi untuk menjadi lebih efektif
daripada analgesik serupa pada pemberian setelah pembedahan. Akibatnya, nyeri
pascabedah segera dapat dikurangi dan dapat dicegah berkembang menjadi nyeri
kronis.7 Berdasarkan data laboratorium dan beberapa studi klinis, Wall
menyebutkan pentingnya preemptif analgesia dalam sebuah editorial tahun 1988
dikarenakan, pertama, penurunan masukan rangsangan small-fiber ke dalam SSP
selama operasi akan mencegah sensitisasi sentral, dan kedua, analgesik yang
diberikan sebelum operasi memiliki potensi menghasilkan efek berkepanjangan.9
Banyak obat yang telah menunjukkan manfaat dari analgesia preemptif,
suatu penelitian metaanalisis yang dilakukan Ong dkk tahun 2005, dengan melihat
kemampuan preemptif analgesia dalam menurunkan skor nyeri pascabedah,
mengurangi jumlah penggunaan analgesik, dan memperpanjang waktu permintaan
analgesia pertama atau rescue analgesia pascabedah. Penilaian hasil preemptif
analgesia pada teknik epidural analgesia, infiltrasi anestesi lokal, obat sistemik
NSAID dan nonkompetitif NMDA. Ong dkk mengatakan teknik epidural
analgesia paling baik sebagai preemptif analgesia dikarenakan menghambat
transmisi afferen di medula spinalis dan mengurangi sensitisasi nyeri susunan
saraf pusat dibandingkan teknik lain tetapi memiliki kelemahan dari segi
ekonomis yaitu biaya yang lebih mahal. Infiltrasi anestesi lokal di daerah insisi
dan pemberian obat NSAID sebagai preemptif analgesia hanya mampu
memperlama waktu permintaan analgesia pertama paska operasi tetapi tidak
dalam mengurangi skor nyeri pascabedah, dan penggunaan NSAID meningkatkan
kejadian perdarahan pascabedah.7
Ketamin sebagai antagonis reseptor non-kompetitif NMDA mendapat
perhatian besar karena reseptor NMDA memiliki peran dalam sensitisasi sentral
dan modulasi saraf.8,10 Efek preemptif ketamin masih kontroversi, beberapa
peneliti melaporkan adanya efek terhadap pemberian analgesik selanjutnya,
namun peneliti lain tidak. Perbedaan ini disebabkan variasi prosedur pembedahan,
dosis pemberian dan waktu pemberian.7 Meskipun beberapa studi menunjukkan
tidak ada efektivitas analgesia preemptif yang diberikan. Sebenarnya satu-satunya
3
Universitas Sumatera Utara
cara untuk mencegah sensitisasi nosisepsi adalah langsung memblokir benarbenar sinyal nyeri yang berasal dari luka bedah dari waktu sayatan sampai akhir
penyembuhan
luka,
dan
intervensi
farmakologis
lainnya
termasuk
antihiperalgesia.10
Parikh, tahun 2011, membandingkan pemberian ketamin dosis 0.15
mg/kgBB intravena 30 menit sebelum sayatan bedah, dilanjutkan ketamin infus
10 mcg/kgBB/menit dengan plasebo normal salin pada 60 pasien operasi elektif
ginjal. Didapatkan hasil ketamin dosis kecil menurunkan nyeri pascabedah,
menurunkan konsumsi morfin, dan memperpanjang waktu permintaan analgesia
pascabedah.11
Kianfar dkk, tahun 2008, membandingkan ketamin dosis rendah 0.15
mg/kgBB/IV dan plasebo normal salin 5 menit sebelum sayatan bedah pada 30
pasien pembedahan cholecystectomy, didapatkan hasil VAS preemptif ketamin
bermakna rendah dibandingkan plasebo dan menurunkan dosis analgesik opioid
setelah pembedahan.12
Akbar
Behdad
dkk,
tahun
2011,
membandingkan
ketamin
0.5
mg/kgBB/IV intravena sebelum insisi bedah dengan grup kontrol normal salin
pada pasien menjalani appendectomy, didapatkan hasil VAS preemptif ketamin
bermakna rendah dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri pasca
pembedahan appendiks.13
Shekoufeh, tahun 2013, membandingkan ketamin 30 mg ditambah
midazolam 1 mg dengan grup kontrol midazolam 1 mg, yang diberikan setelah
spinal anestesi pada 60 pasien elektif seksio sesarea. Didapatkan hasil grup
ketamin bermakna menurunkan nyeri pada 1 jam pascabedah seksio sesarea
dibandingkan kontrol, dan total penggunaan meperidine bermakna lebih rendah
daripada grup kontrol.14
Aqil dkk, tahun 2011, membandingkan 3 kelompok preemptif ketamin dan
plasebo, kelompok pertama plasebo dan kelompok 2-4 masing-masing menerima
preemptif ketamin dosis 0.5 mg/kgBB, 1 mg/kgBB, dan 1.5 mg/kgBB yang
diberikan setelah induksi anestesi pada pembedahan septorhinoplasty. Didapati
hasil bahwa ketamin preemptif dosis 0.5 mg/kgBB/IV gagal dalam mengurangi
4
Universitas Sumatera Utara
permintaan analgesia ketoprofen, sedangkan ketamin preemptif dosis 1
mg/kgBB/IV dan 1.5 mg/kgBB/IV mengurangi kebutuhan akan analgesia
ketoprofen pascabedah dan memperpanjang waktu kebutuhan analgesia pertama
pascabedah tanpa peningkatan efek samping obat ketamin.15
Beberapa penelitian lain mengatakan preemptif ketamin tidak mempunyai
efek, seperti yang dikatakan oleh Dahl dkk, tahun 2000, membandingkan
preemptif ketamin dosis 0.4 mg/kgBB/IV sebelum sayatan (preincision) dan
ketamin dosis 0.4 mg/kgBB/IV sesudah insisi (postincision) pada pembedahan
abdominal histerectomy. Didapatkan hasil bahwa grup postincision bermakna
mengurangi nyeri dibandingkan grup preincision dan plasebo normal salin, dan
grup preincision tidak berbeda bermakna dengan plasebo dalam skore nyeri paska
operasi, sehingga Dahl menyimpulkan pemberian ketamin dosis 0.4 mg/kgBB/IV
preincision gagal memberikan efek analgesia preemptif.16
Langgeng Raharjo, tahun 2009, menilai efektifitas ketamin sebagai
preemptif analgesia terhadap nyeri pascabedah onkologi, membandingkan
ketamin dosis 0.5 mg/kgBB/IV sebelum sayatan dan plasebo, didapatkan hasil
pemberian ketamin sebagai preemptif analgesia dengan dosis 0.5 mg/kgBB/IV
tidak mengurangi kebutuhan opioid untuk analgesik pascabedah onkologi di
Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, tetapi dari hasil penelitian ini didapatkan
pemanjangan waktu kebutuhan analgesia pascabedah.17
Dari beberapa penelitian diatas, maka peneliti bermaksud menilai
perbandingan efektifitas dosis ketamin 0.5 mg/kgBB/IV dengan dosis 1
mg/kgBB/IV sebagai preemptif analgesia dengan anestesi umum. Dan untuk
mengurangi bias dalam penelitian maka peneliti mengambil sampel penelitian
pada satu jenis operasi yaitu bedah ginekologi.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan efek ketamin dosis 0,5 mg/kgBB intravena
dibandingkan dengan ketamin dosis 1 mg/kgBB intravena sebagai preemptif
analgesia pada anestesi umum.
5
Universitas Sumatera Utara
1.3. Hipotesa
Ada perbedaan efek setelah pemberian ketamin dosis 0,5 mg/kgBB
intravena dengan ketamin dosis 1 mg/kgBB intravena sebagai preemptif analgesia
pada anestesi umum.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mendapatkan dosis ketamin intravena sebagai preemptif analgesia
pascabedah yang efektif pada anestesi umum.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efek ketamin dosis 0,5 mg/kgBB/IV sebagai
preemptif analgesia dinilai dari waktu permintaan analgesia pertama.
2. Untuk mengetahui efek ketamin dosis 1 mg/kgBB/IV sebagai
preemptif analgesia dinilai dari waktu permintaan analgesia pertama.
3. Mengetahui efek samping penggunaan preemptif ketamin dosis 0,5
mg/kgBB/IV dan dosis 1 mg/kgBB/IV.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Akademik
1.
Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan
acuan untuk meningkatkan pelayanan manajemen nyeri pascabedah.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
terutama ilmu anestesi.
1.5.2. Manfaat Pelayanan
1.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan
pascabedah yang lebih baik.
2.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengurangi biaya
operasional (cost benefit).
6
Universitas Sumatera Utara
3.
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat mengurangi efek samping
(risk benefit).
1.5.3. Pengembangan Penelitian
1.
Sebagai data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis
ketamin yang berbeda.
2.
Dapat dipakai sebagai pedoman penelitian untuk penanganan nyeri
pascabedah lebih lanjut.
7
Universitas Sumatera Utara