Perbandingan Ketamin 0,5 MG/KGBB Intravena Dengan Ketamin 0,7 MG/KGBB Intravena Dalam Pencegahan Hipotensi Akibat Induksi Propofol 2 MG/KGBB Intravena Pada Anestesi Umum

(1)

PERBANDINGAN KETAMIN 0,5 MG/KGBB INTRAVENA

DENGAN KETAMIN 0,7 MG/KGBB INTRAVENA DALAM

PENCEGAHAN HIPOTENSI AKIBAT INDUKSI PROPOFOL

2 MG/KGBB INTRAVENA PADA ANESTESI UMUM

 

 

Oleh :

DWI LUNARTA D.S. SIAHAAN

TESIS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN 2010


(2)

PERBANDINGAN KETAMIN 0,5 MG/KGBB INTRAVENA

DENGAN KETAMIN 0,7 MG/KGBB INTRAVENA DALAM

PENCEGAHAN HIPOTENSI AKIBATINDUKSI PROPOFOL

2 MG/KGBB INTRAVENA PADA ANESTESI UMUM

TESIS

Oleh

Dwi Lunarta D.S. Siahaan

Pembimbing I : dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV. Pembimbing II : dr. Soejat Harto, SpAn.

Tesis Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Anestesiologi dan Reanimasi

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN 2010


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan pada Tuhan karena atas karuniaNya saya berkesempatan mengikuti Program Pendidkan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian di bidang anestesiologi. Dengan segala keterbatasan penulis menyadari penelitian serta penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati saya mengharapkan masukan dari semua pihak di masa yang akan datang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi perkembangan anestesiologi di Indonesia.

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyatakan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas ini.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Fakultas ini.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, Rumah Sakit Haji Medan dan Rumkit Dam/I BB Putri Hijau Medan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.

Dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada dr. Akhyar H. Nasution, SpAn KAKV dan dr. Soejat Harto, SpAn sebagai pembimbing penelitian saya, dimana atas bimbingan, pengarahan dan sumbang saran yang telah diberikan, saya dapat menyelesaikan penelitian ini tepat waktunya.

Rasa penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC, sebagai Ketua Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, dr. Hasanul Arifin, SpAn KIC, KAP, sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan


(5)

Reanimasi, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn KNA, sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, dan dr. Akhyar H. Nasution, SpAn KAKV, sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Reanimasi atas nasihat dan keikhlasan telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani program pendidikan ini.

Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya: dr. A. Sani P. Nasution, SpAn KIC, dr. Chairul Mursin, SpAn, dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn, dr. Soejat Harto, SpAn, dr. Muhammad AR, SpAn, dr. Ade Veronika, SpAn KIC, dr. Tjahaya Indra Utama, SpAn, dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn, dr. Walman Sihotang, SpAn, dr. Tumbur SpAn, dr. Dadik W. Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dr. Guido M. Solihin, SpAn, Mayor CKM dr. Nugroho K.S., SpAn dan yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang dengan keikhlasan dan ketulusannya telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan waktu sebagai pembimbing Metode Penelitian dan Analisa Statistik yang telah memberikan masukan, arahan, kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya tulis ini.

Kepada seluruh pasien dan keluarganya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Rumah Sakit Pirngadi Medan, Rumah Sakit Haji Medan, Rumkit Dam I/BB Putri Hijau Medan yang besar perannya sebagai “guru” kedua saya dalam menempuh pendidikan spesialis. Khususnya yang berperan serta dalam penelitian ini, rasa sakit mereka telah memotivasi saya untuk dapat memberikan yang terbaik dari ilmu yang saya dapatkan dan pelajari, saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf bila pelayanan saya kurang berkenan di hati.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian program pendidikan dan penelitian ini.


(6)

Rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya tercinta Bapak Prof. dr. Oloan S.M. Siahaan, SpAn KIC, dan Ibu Dumasari br. Silalahi atas doa, pengorbanan, jerih payah, ketabahan dan kasih sayang beliau berdua yang telah membesarkan dan membimbing saya dengan keringat dan air mata. Demikian halnya kepada kedua mertua saya Johannes Simanjuntak (alm) dan Frieda br. Pasaribu yang senantiasa memberi nasihat, motivasi dan teladan kepada saya. Demikian juga kepada abang saya Teddy Siahaan, SE dan adik-adik saya Triana Siahaan, SE dan Fanny Siahaan, SS yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan moril selama mengikuti pendidikan ini.

Dari hati yang tulus saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada suamiku tercinta Drs. Jofrie H. Simanjuntak dan ketiga buah hatiku tersayang Timothy William Simanjuntak, Kezia Stephanie Simanjuntak dan Karen Natalie Simanjuntak atas pengertian, doa, perhatian, dorongan semangat, kesabaran dan kesetiaan yang tulus dalam suka dan duka mendampingi saya selama pendidikan yang panjang dan melelahkan ini.

Akhirnya hanya kepada Tuhan segala pujian dan ucapan syukur, semoga kita semua senantiasa diberi karuniaNya.

Medan, 8 Desember 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN... xiii

ABSTRAK ...xiv

ABSTRACT ... ..xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ... 5

1.3. HIPOTESA ... 5

1.4. TUJUAN PENELITIAN ... 5

1.4.1. Tujuan Umum ... 5

1.4.2. Tujuan Khusus ... 6

1.5. MANFAAT PENELITIAN ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. PROPOFOL ... 7

2.1.1. Struktur Kimia ... 8

2.1.2. Mekanisme Kerja ... 9

2.1.3. Farmakokinetik... 9

2.1.4. Farmakodinamik... 11

2.1.5. Interaksi Obat ... 14

2.2. SINDROMA INFUS PROPOFOL ... 14

2.3. HIPOTENSI AKIBAT PROPOFOL ... 14

2.3.1. Efek Hipotensi terhadap Fungsi Organ ... 15

2.4. KETAMIN ... 17

2.4.1. Struktur Kimia ... 17

2.4.2. Mekanisme Aksi ... 18

2.4.3. Farmakokinetik ... 19


(8)

2.4.5. Interaksi ... 24

2.4.6. Efek Samping ... 24

2.4.7. Kontra Indikasi ... 25

2.4.8. Ketamin Dosis Rendah ... 25

2.5. KERANGKA KONSEP... 27

BAB 3 METODE PENELITIAN... 28

3.1. DESAIN ... 28

3.2. TEMPAT DAN WAKTU ... 28

3.3. POPULASI DAN SAMPEL ... 28

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 29

3.5. ESTIMASI BESAR SAMPEL ... 29

3.6. CARA KERJA ... 30

3.7. ALUR PENELITIAN ... 33

3.8. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 34

3.9. RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISA DATA ... 34

3.10. DEFENISI OPERASIONAL ... 34

3.11. MASALAH ETIKA ... 36

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 37

4.1. KARAKTERISTIK UMUM SUBJEK PENELITIAN... 37

4.2. JENIS SUKU, PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN PADA KEDUA KELOMPOK PENELITIAN... 38

4.3. JENIS OPERASI PADA KEDUA KELOMPOK PENELITIAN.. 40

4.4. LAMA ANESTESI DAN PS-ASA ... 41

4.5. KARAKTERISTIK KLINIS PERUBAHAN HEMODINAMIK PADA KEDUA KELOMPOK ... 42

4.6. KEJADIAN HIPOTENSI PADA KEDUA KELOMPOK ... 50

4.7.EFEK SAMPING SETELAH PEMBERIAN KETAMIN PADA KEDUA KELOMPOK PENELITIAN... 51


(9)

5.1. GAMBARAN UMUM ... 52

5.2. PERUBAHAN HEMODINAMIK... 52

5.2.1. Perubahan Tekanan Darah Sistolik, Diastolik dan Tekanan Arteri Rerata... 52

5.2.2. Kejadian Hipotensi Akibat Induksi Propofol. ... 55

5.2.3. Perubahan pada Laju Jantung ... 55

5.2.4. Perubahan pada Laju Nafas ... 57

5.3. EFEK SAMPING ... 59

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 60


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok 37

Tabel 4.2. Jenis Suku, Pendidikan dan Pekerjaan pada Kedua Kelompok Penelitian

39

Tabel 4.3. Jenis Operasi pada Kedua Kelompok Penelitian 40

Tabel 4.4. Lama Anestesi dan Status Fisik ASA. 41

Tabel 4.5.1. Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik PreOperasi 42

Tabel 4.5.2.

Tabel 4.5.3.

Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik Setelah Ketamin

Skor Sedasi Setelah Pemberian Ketamin

43

43

Tabel 4.5.4.

Tabel 4.5.5.

Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik Setelah Propofol

Depresi Nafas dan Henti Nafas Setelah Pemberian Propofol

44

44

Tabel 4.5.6. Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik Setelah Intubasi 45 Tabel 4.5.7. Tabel 4.5.8. Tabel 4.6.

Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik Lima menit Setelah Intubasi

Perubahan Hemodinamik pada Masing-Masing Kelompok

Kejadian Hipotensi dan Penurunan Sistolik, Diastolik, MAP Setelah Pemberian Propofol pada Kedua Kelompok

46

47

50


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Rumus Bangun Propofol 8 Gambar 2.2. Rumus Bangun Ketamin 18 Gambar 4.1. Perubahan Tekanan Darah Sistolik 48 Gambar 4.2. Perubahan Tekanan Darah Diastolik 48 Gambar 4.3. Perubahan Tekanan Arteri Rerata 49 Gambar 4.4. Perubahan Laju Jantung


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti 67

Lampiran 2 Penjelasan Mengenai Penelitian 68

Lampiran 3 Persetujuan Setelah Penjelasan

(‘Informed Consent’) 71 Lampiran 4 Lembaran Observasi Perioperatif Pasien 72

Lampiran 5 Persetujuan Komite Etik FK USU 73

Lampiran 6 Randomisasi Blok Sampel Penelitian 74

Lampiran 7. Daftar Sampel Penelitian 75


(13)

DAFTAR SINGKATAN

ASA = American Society of Anesthesiology ACTH = Adreno Cortico Tropic Hormone BB = Berat Badan

BMI = Body Mass Index CBF = Cerebral Blood Flow

CMRO2 = Cerebral Metabolic Rate Oxygen CPP = Cerebral Perfusion Pressure EEG = Electro Encephalography GABA = Gaba Amino Butiric Acid ICP = Intra Cranial Pressure IV = Intra Vena

NS = Non Significant PS = Physical State

PONV = Post Operative Nausea and Vomiting S = Significant

SD = Standard Deviation NMDA = N-methyl d-aspartate


(14)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Kestabilan hemodinamik selama tindakan induksi anestesi perlu diperhatikan untuk keselamatan pasien. Obat induksi yang sering digunakan adalah propofol, karena onsetnya yang cepat, durasi yang singkat, waktu pulih sadar yang cepat, mempunyai efek amnesia dan anti emetik. Namun propofol mempunyai kelemahan yaitu dapat menyebabkan hipotensi. Ketamin diketahui memiliki efek stimulan langsung pada sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan tekanan darah dan laju jantung. Efek ketamin untuk mencegah hipotensi pada induksi propofol sudah pernah diteliti pada dosis 0,5 mg/kgBB IV. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV dengan dosis 0,7 mg/kgBB IV dalam upaya mendapatkan dosis yang lebih tepat dan aman untuk mencegah kejadian hipotensi akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran USU, penelitian uji klinis acak terkontrol tersamar ganda pada 80 subjek penelitian berumur 15 – 60 tahun dengan PS ASA I-II yang akan menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dan induksi dengan propofol 2 mg/kgBB IVdi RS H. Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaringnya. Setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, pasien dibagi dalam 2 kelompok. 40 pasien mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan 40 pasien mendapat ketamin 0,7 mg/kgBB IV. Ketamin diberikan satu menit sebelum induksi. Kedua kelompok mendapat perlakuan sama, diberi infus RL 2 cc / kg BB / jam sejak puasa dan 10 menit sebelum induksi dipremedikasi dengan petidin 1 mg/ kgBB IV dan Midazolam 0,06 mg/kgBB IV. Dilakukan pengukuran tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju jantung dan laju nafas pada saat sebelum premedikasi, setelah pemberian ketamin, setelah induksi propofol, setelah intubasi dan lima menit setelah intubasi. Hipotensi ditetapkan bila terjadi penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20% dari basal. Efek samping yang timbul selama pemberian ketamin juga dicatat. Hasil : Kejadian hipotensi pada kelompok Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok Ketamin 0,7 mg/kgBB IV secara statistik tidak berbeda bermakna (10% dan 12,5%). Terlihat penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan arteri rerata dibandingkan dengan pre operasi pada kedua kelompok setelah induksi, dan secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p> 0,05). Didapati penurunan laju nafas pada kelompok Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok Ketamin 0,7 mg/kgBB IV setelah pemberian ketamin dan propofol dan dengan uji statistik terdapat perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Kejadian henti nafas setelah induksi hanya terjadi pada kelompok Ketamin 0,5 mg/kgBB IV (12,5%). Kejadian mual dan muntah, halusinasi, hipersalivasi, dan spasme laring, tidak terlihat pada kedua kelompok, tetapi terdapat 1 orang yang mengalami spasme otot di ekstremitas atas dan bawah.

Kesimpulan : Ketamin dengan dosis 0,5 mg/kgBB IV tidak berbeda bermakna dengan ketamin dosis 0,7 mg/kgBB IV dalam pencegahan kejadian hipotensi akibat induksi propofol.


(15)

ABSTRACT

Background and objective: The stability of hemodynamic during induction of anesthesia is an important thing for safety and the well being of patient. The drug of induction commonly used is Propofol, but adverse effect of intravenous propofol as a sole agent are decrease in blood pressure and heart rate, apnea or hypoventilation which can result in arterial oxygen desaturation. Ketamine has the effect of sympathetic stimulation leading to increases in arterial pressure and heart rate. The effect of ketamine 0,5 mg/kgBW intravenous to prevent hypotension after induction of propofol has been studied. The aim of this study is to compare efficacy of ketamine dose 0,5 mg/kgBW with dose 0,7 mg/kgBW injected intravenously to elicit more appropriate and safer dose for prevention of hypotension after induction of propofol.

Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School, a randomized clinical trial study on 80 patients, 15 to 60 years, physical state ASA I-II who underwent elective surgery with general anesthesia and induction with propofol 2 mg/kgBW intravenous in Adam Malik General Hospital Medan and its network hospital. The sample are divided into two groups each with 40 subjects. Group A received ketamine 0,5 mg/kgBW and group B received ketamine 0,7 mg/kgBW both injected intravenously 1 minute before induction. All patients received equal treatment with 2 cc/kgBW RL infusion since fasting and have a premedication ten minutes before induction with Pethidine 1 mg/kgBW and Midazolam 0.06 mg/kgBW intravenous. Systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure, heart rate, and respiratory rate were determined and recorded before premedication, after administration of ketamine, after administration of propofol, after intubation and five minutes after intubation. Hypotension was defined as decrease in systolic blood pressure more than 20% from the basal value. An incidence of any side effects were also recorded.

Outcome: The statistically calculation showed that there were no significant difference in prevention of hypotention after induction in both groups (10% compare with 12,5 %). Decrease of blood pressure was found in both groups after induction and statistically was not significant. Respiratory depression after ketamine and induction was found in both groups and apnea after induction was found only in group Ketamine 0,5 mg/kgBW. There were no episodes of nausea and vomiting, hallucination, hypersecretion, laryngospasme in both groups, but there was one sample present with a transient muscular spasm in group B.

Conclusion: There were no significant difference in prevention of hypotention after induction of propofol between group ketamine 0,5 mg/kgBW compare with ketamine 0,7 mg/kgBW intravenously.


(16)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Kestabilan hemodinamik selama tindakan induksi anestesi perlu diperhatikan untuk keselamatan pasien. Obat induksi yang sering digunakan adalah propofol, karena onsetnya yang cepat, durasi yang singkat, waktu pulih sadar yang cepat, mempunyai efek amnesia dan anti emetik. Namun propofol mempunyai kelemahan yaitu dapat menyebabkan hipotensi. Ketamin diketahui memiliki efek stimulan langsung pada sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan tekanan darah dan laju jantung. Efek ketamin untuk mencegah hipotensi pada induksi propofol sudah pernah diteliti pada dosis 0,5 mg/kgBB IV. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV dengan dosis 0,7 mg/kgBB IV dalam upaya mendapatkan dosis yang lebih tepat dan aman untuk mencegah kejadian hipotensi akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran USU, penelitian uji klinis acak terkontrol tersamar ganda pada 80 subjek penelitian berumur 15 – 60 tahun dengan PS ASA I-II yang akan menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dan induksi dengan propofol 2 mg/kgBB IVdi RS H. Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaringnya. Setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, pasien dibagi dalam 2 kelompok. 40 pasien mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan 40 pasien mendapat ketamin 0,7 mg/kgBB IV. Ketamin diberikan satu menit sebelum induksi. Kedua kelompok mendapat perlakuan sama, diberi infus RL 2 cc / kg BB / jam sejak puasa dan 10 menit sebelum induksi dipremedikasi dengan petidin 1 mg/ kgBB IV dan Midazolam 0,06 mg/kgBB IV. Dilakukan pengukuran tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, laju jantung dan laju nafas pada saat sebelum premedikasi, setelah pemberian ketamin, setelah induksi propofol, setelah intubasi dan lima menit setelah intubasi. Hipotensi ditetapkan bila terjadi penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20% dari basal. Efek samping yang timbul selama pemberian ketamin juga dicatat. Hasil : Kejadian hipotensi pada kelompok Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok Ketamin 0,7 mg/kgBB IV secara statistik tidak berbeda bermakna (10% dan 12,5%). Terlihat penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan arteri rerata dibandingkan dengan pre operasi pada kedua kelompok setelah induksi, dan secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p> 0,05). Didapati penurunan laju nafas pada kelompok Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok Ketamin 0,7 mg/kgBB IV setelah pemberian ketamin dan propofol dan dengan uji statistik terdapat perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Kejadian henti nafas setelah induksi hanya terjadi pada kelompok Ketamin 0,5 mg/kgBB IV (12,5%). Kejadian mual dan muntah, halusinasi, hipersalivasi, dan spasme laring, tidak terlihat pada kedua kelompok, tetapi terdapat 1 orang yang mengalami spasme otot di ekstremitas atas dan bawah.

Kesimpulan : Ketamin dengan dosis 0,5 mg/kgBB IV tidak berbeda bermakna dengan ketamin dosis 0,7 mg/kgBB IV dalam pencegahan kejadian hipotensi akibat induksi propofol.


(17)

ABSTRACT

Background and objective: The stability of hemodynamic during induction of anesthesia is an important thing for safety and the well being of patient. The drug of induction commonly used is Propofol, but adverse effect of intravenous propofol as a sole agent are decrease in blood pressure and heart rate, apnea or hypoventilation which can result in arterial oxygen desaturation. Ketamine has the effect of sympathetic stimulation leading to increases in arterial pressure and heart rate. The effect of ketamine 0,5 mg/kgBW intravenous to prevent hypotension after induction of propofol has been studied. The aim of this study is to compare efficacy of ketamine dose 0,5 mg/kgBW with dose 0,7 mg/kgBW injected intravenously to elicit more appropriate and safer dose for prevention of hypotension after induction of propofol.

Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School, a randomized clinical trial study on 80 patients, 15 to 60 years, physical state ASA I-II who underwent elective surgery with general anesthesia and induction with propofol 2 mg/kgBW intravenous in Adam Malik General Hospital Medan and its network hospital. The sample are divided into two groups each with 40 subjects. Group A received ketamine 0,5 mg/kgBW and group B received ketamine 0,7 mg/kgBW both injected intravenously 1 minute before induction. All patients received equal treatment with 2 cc/kgBW RL infusion since fasting and have a premedication ten minutes before induction with Pethidine 1 mg/kgBW and Midazolam 0.06 mg/kgBW intravenous. Systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure, heart rate, and respiratory rate were determined and recorded before premedication, after administration of ketamine, after administration of propofol, after intubation and five minutes after intubation. Hypotension was defined as decrease in systolic blood pressure more than 20% from the basal value. An incidence of any side effects were also recorded.

Outcome: The statistically calculation showed that there were no significant difference in prevention of hypotention after induction in both groups (10% compare with 12,5 %). Decrease of blood pressure was found in both groups after induction and statistically was not significant. Respiratory depression after ketamine and induction was found in both groups and apnea after induction was found only in group Ketamine 0,5 mg/kgBW. There were no episodes of nausea and vomiting, hallucination, hypersecretion, laryngospasme in both groups, but there was one sample present with a transient muscular spasm in group B.

Conclusion: There were no significant difference in prevention of hypotention after induction of propofol between group ketamine 0,5 mg/kgBW compare with ketamine 0,7 mg/kgBW intravenously.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan.1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi.2 Idealnya induksi harus berjalan dengan lembut dan cepat, disertai dengan hemodinamik yang stabil.3 Perhatian utama pada anestesi umum adalah keamanan dan keselamatan pasien, dan salah satu faktor penentunya adalah kestabilan hemodinamik selama tindakan induksi dilakukan, hal ini dapat dicapai apabila obat anestesi tersebut dapat memberikan tingkat kedalaman anestesi yang adekuat untuk pembedahan tanpa menimbulkan depresi yang serius terhadap fungsi hemodinamik.

Banyak obat-obat yang dapat digunakan sebagai induksi anestesi baik dari golongan inhalasi, intravena maupun intramuskuler. Selama ini di Rumah Sakit Haji Adam Malik dan rumah sakit jejaringnya, untuk pasien dewasa sudah lazim digunakan propofol sebagai obat induksi anestesi.

Sejak diperkenalkannya propofol sebagai agen anestesi intravena, propofol menjadi obat pilihan yang sangat popular untuk induksi anestesia1,4 oleh karena onsetnya yang cepat, durasi yang singkat, waktu pulih sadar yang cepat, mempunyai efek amnesia dan anti emetik.5,6,7

Disamping kelebihan-kelebihan di atas, induksi dengan propofol juga mempunyai kekurangan-kekurangan, yaitu dapat menyebabkan penurunan tekanan darah arteri, penurunan denyut jantung, depresi pernafasan, sampai apnu. Propofol menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik yaitu sebesar lebih kurang 25-40%.8 Mekanisme penurunan tekanan darah ini disebabkan oleh efek inotropik negatip dan relaksasi dari otot polos pembuluh darah.7,8

Beberapa penelitian menyatakan efek penurunan tekanan darah ini berhubungan dengan inhibisi dari sistem saraf simpatis dan kerusakan mekanisme


(19)

barorefleks. Dan juga ada dilaporkan dikarenakan berkurangnya kadar norepinefrin di plasma setelah pemberian propofol. 8,9,10

Hipotensi tidak dapat dibiarkan selama induksi, dan seorang ahli anestesi harus mengatasi efek hipotensi ini secara agresif untuk mengembalikan oksigenasi jaringan yaitu dengan meningkatkan tekanan darah, meningkatkan aliran perfusi ke jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah, untuk menghindari efek-efek samping yang serius.11

Hipotensi setelah induksi anestesi umum adalah kejadian yang sering terjadi.11 Reich dkk meneliti bahwa dari 4096 pasien yang menjalani anestesi umum, 9% dari pasien mengalami hipotensi berat 0-10 menit setelah induksi. Dari 2406 pasien, proporsi dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan seperti pemanjangan masa rawat inap setelah operasi dan atau kematian selama di rumah sakit, pada pasien dengan hipotensi selama 10 menit pertama setelah induksi anestesi adalah 13,3% berbanding 8,6% pada pasien tanpa hipotensi setelah induksi.12 Prediktor kejadian hipotensi ini adalah pasien dengan ASA III-V, pasien dengan MAP awal < 70 mmHg, umur > 50 tahun, dan pengunaan propofol sebagai agen untuk induksi anestesi.12

Menurut Dhungana dkk. (2008) dalam suatu penelitian pencegahan hipotensi selama induksi propofol 2,5 mg/kgBB IV terhadap 120 pasien dewasa, didapati insiden hipotensi sebesar 67,5%.13 Sedangkan Hanallah dkk. (1991) meneliti insiden hipotensi pada anak setelah induksi propofol 2 mg/kgBB IV, hasilnya adalah 48% pasien mengalami penurunan tekanan darah sebesar lebih dari 20% dari basal.14

Sejauh ini banyak cara dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi setelah pemberian propofol, misalnya dengan pemberian preloading cairan baik itu kristaloid ataupun koloid dan juga pemberian suatu vasopresor seperti efedrin, fenilefrin, dopamin, dobutamin, dan metaraminol, maupun pemberian suatu antagonis reseptor N-methyl d-aspartate (NMDA) seperti ketamin. Pemberian simpatomimetik untuk mencegah dan mengatasi hipotensi melalui meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah serta kontraktilitas jantung mempunyai keuntungan berupa biaya yang lebih murah akan tetapi mempunyai kelemahan


(20)

dengan dapat terjadinya takikardi dan meningkatkan resiko untuk terjadinya aritmia.13

Preloading dengan cairan untuk mencegah hipotensi dengan maksud meningkatkan venous return dan tekanan pengisian kembali atrium kanan serta ventrikel kiri untuk mempengaruhi curah jantung bisa saja dilakukan, akan tetapi mempunyai banyak kelemahan diantaranya adalah akan memakan waktu selama pemberian cairan tersebut, biaya, resiko hemodilusi, overload cairan, dan reaksi anafilaktik.13,15,16

Ketamin dikatakan memiliki efek stimulan langsung pada sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan tekanan darah dan laju jantung, mempunyai onset 30 detik setelah pemberian intravena.9,17 Konsentrasi plasma puncak dari ketamin terjadi dalam 1 menit setelah pemberian intravena dan bertahan selama 5-10 menit. Peningkatan tekanan darah sistolik akibat pemberian ketamin berkisar 15-25 mmHg.18

Hui (1995) melaporkan bahwa dengan pemakaian ketamin dan propofol akan terjadi kombinasi aksi kardiostimulan dari ketamin dan efek kardiodepresan propofol. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa dengan kombinasi tersebut akan terjadi penurunan yang sangat minimal dari tekanan darah arteri dan laju jantung, sehingga didapatkan suatu keadaan hemodinamik yang lebih stabil.19

Ozkozak dkk. (2005) membandingkan pemberian plasebo (NaCl 0,9%), ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan efedrin 70 µg/kgBB IV tiga puluh detik sebelum injeksi propofol, ternyata ketamin dapat mencegah kejadian hipotensi akibat induksi propofol dan memberikan profil hemodinamik yang lebih baik dibanding efedrin.20

Penelitian lain oleh Furaya dkk. (2006) membandingkan plasebo dengan ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV yang diberikan 1 menit sebelum induksi propofol 2 mg/kgBB IV, dimana diperoleh hasil bahwa pemberian ketamin sebelum induksi propofol memberikan hemodinamik yang lebih stabil dibanding dengan induksi dengan propofol saja.21

Pada penelitian Arora S (2008) terhadap 60 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapat propofol 1,5 mg/kgBB IV dan


(21)

kelompok yang mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB IV sebelum induksi propofol 1,5 mg/kgBB IV, diperoleh hasil 36% pasien mengalami hipotensi pada kelompok propofol dan hanya 10% pasien yang mengalami hipotensi pada kelompok propofol dengan ketamin.22

Arora juga membandingkan ketamin 0,5 mg/kgBB IV dengan fentanil 1 µg/kgBB IV dan plasebo NaCl 0,9%, yang diberikan sebelum induksi propofol 2,5 mg/kgBB IV pada insersi larygeal mask airway (LMA), memberikan profil hemodinamik yang maksimal dan kejadian apnu yang minimal pada kelompok ketamin.22

Tomatir dkk. (2004) meneliti pemberian ketamin dosis rendah yaitu 0,5 mg/kgBB IV sebelum induksi propofol 1,5 mg/kgBB IV pada pasien anak yang dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan hasilnya adalah ketamin dapat menjaga kestabilan hemodinamik tanpa merubah lama dan kualitas fase pemulihan dibandingkan dengan pemberian propofol saja.23

Begec dkk. (2009) membandingkan ketamin 0,5 mg/kgBB IV dengan alfentanil 20 µg/kgBB IV sebelum induksi anesthesia propofol 4 mg/kgBB IV pada anak umur 3-132 bulan untuk insersi LMA. Hasilnya pada kelompok ketamin diperoleh hemodinamik yang lebih stabil dan mengurangi waktu untuk kembalinya nafas spontan.24

Namun Sakai dkk. (2000) menyebutkan pemberian ketamin pada anestesia propofol tidak mempengaruhi tekanan arteri rerata (MAP) dan laju jantung.25

Sementara Begec dkk (2009) menemukan bahwa ketamin 0,5 mg/kgBB IV yang diberikan pada pasien yang dipremedikasi dengan remifentanil 3 µg/kgBB IV dan diinduksi dengan propofol 2 mg/kgBB, tidak mempengaruhi hemodinamik.24

Dari penelitian-penelitian di atas, telah diketahui ketamin 0,5 mg/kgBB IV mengatasi kejadian hipotensi hanya sebesar 26%. Dari literatur diketahui dosis rendah ketamin adalah 0,2-0,7 mg/kgBB IV.26 Selama ini menurut referensi yang ada pada peneliti, belum ada penelitian yang menggunakan ketamin 0,7 mg/kgBB IV pada anestesi umum. Hemmingsen (1991) mencoba mengatasi


(22)

hipotensi pada anestesi spinal dengan ketamin 0,7 mg/kgBB IV dan didapat hasil ketamin dapat mengatasi hipotensi sebesar 33%.27

Untuk itu, timbul keinginan peneliti untuk membandingkan efektifitas ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV dengan dosis 0,7 mg/kgBB IV dalam upaya mendapatkan dosis yang lebih tepat dan aman sebagai upaya dalam pencegahan hipotensi yang lebih baik akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Apakah ada perbedaan efektifitas pemberian ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV dibandingkan dengan ketamin 0,7 mg/kgBB IV dalam mencegah kejadian hipotensi akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum?

1.3. HIPOTESA

Ada perbedaan efektifitas ketamin 0,5 mg/kgBB IV dengan ketamin 0,7 mg/kgBB IV dalam pencegahan kejadian hipotensi akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan umum :

Untuk mendapatkan dosis ketamin yang efektif dalam pencegahan kejadian hipotensi akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.


(23)

1.4.2. Tujuan khusus :

a. Untuk mengetahui perubahan hemodinamik sesudah pemberian ketamin pada kelompok studi.

b. Untuk mengetahui perubahan hemodinamik sesudah induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada kelompok studi.

c. Untuk mengetahui perbandingan perubahan hemodinamik setelah pemberian ketamin dan propofol pada kelompok studi.

d. Untuk mengetahui efek samping akibat pemberian ketamin 0,5 mg/kg BB IV dan ketamin 0,7 mg/kgBB IV pada kelompok studi.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

a. Mendapatkan dosis ketamin yang lebih efektif untuk mencegah hipotensi akibat induksi propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.

b. Memberikan pelayanan yang lebih baik dan keselamatan terhadap pasien-pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi dan operasi.

c. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis ketamin yang berbeda ataupun obat lain dalam mempertahankan hemodinamik setelah induksi dengan propofol 2 mg/kgBB IV pada anestesi umum.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat dimulainya anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau suatu fase dimana pasien melewati dari sadar menjadi tidak sadar. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi yang dapat dilakukan dengan penyuntikan agen induksi secara intramuskular, intra nasal, intravena ataupun dengan agen inhalasi.2 Idealnya induksi harus berjalan dengan lembut dan cepat, ditandai dengan hilangnya kesadaran. Keadaan ini dinilai dengan tidak adanya respon suara dan hilangnya reflek bulu mata dan hemodinamik tetap stabil.28

Salah satu obat anestesi intravena yang sering digunakan dalam induksi anestesi adalah propofol, karena propofol mempunyai onset yang cepat, durasi yang singkat, dan waktu pulih sadar yang cepat

2.1. PROPOFOL

Propofol (2,6-diisopropylophenol) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977, dilarutkan dalam kremofor karena sifatnya yang tidak larut dalam air. Kemudian propofol ini ditarik dari peredaran karena pernah dilaporkan terjadinya insiden reaksi anafilaktik pada saat penyuntikan. Pelarut yang adekuat untuk propofol ditemukan berdasarkan penelitian klinis pada tahun 1983 dan dipakai di seluruh dunia sampai saat ini.9

Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesia, khususnya ketika bangun yang cepat dan sempurna diperlukan.Kecepatan onset sama dengan barbiturat intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan


(25)

lebih cepat setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah.8,9,17,29

2.1.1 STRUKTUR KIMIA

Propofol mengandung satu cincin fenol dengan dua ikatan grup isoprofil dengan berat molekul 178 Da. Panjang ikatan alkilfenol ini mempengaruhi potensi, induksi dan karakteristik pemulihan. Propofol tidak larut dalam air, tetapi 1% larutan air (10 mg/ml) dapat digunakan sebagai obat intravena dalam larutan emulsi minyak dalam air yang mengandung 10% minyak kedelai, 2.25% gliserol dan 1.2 % lesitin telur.9,17 Riwayat alergi telur tidak langsung dijadikan kontraindikasi penggunaan propofol karena kebanyakan alergi telur melibatkan reaksi dengan putih telur (contoh albumin) sedangkan lesitin diekstraksi dari kuning telur.

Gambar 2.1. Rumus bangun propofol

Formula ini menyebabkan nyeri saat penyuntikan yang dapat dikurangi dengan penyuntikan pada vena besar dan dengan pemberian injeksi lidokain 0,1 mg/kgBB sebelum penyuntikan propofol atau dengan mencampurkan 2 ml lidokain 1% dengan 18 ml propofol dapat menurunkan pH dari 8 menjadi 6,3. Propofol adalah obat yang tidak larut dan membutuhkan lemak untuk


(26)

emulsifikasi. Formulasi propofol saat ini menggunakan minyak kedelai sebagai fase minyak dan lesitin telur sebagai zat emulsifikasi yang terdiri dari trigliserida cincin panjang. Formulasi ini mendukung pertumbuhan bakterial dan meningkatkan konsentrasi trigliserida plasma khususnya ketika penggunaan infus IV yang lama.9

2.1.2. MEKANISME KERJA

Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada

konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter

penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA

diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi dari penghambat

neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.9

2.1.3. FARMAKOKINETIK

Pemberian propofol 1.5 – 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5 mg/kg IV atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (<15 detik), mengakibatkan ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan tiopental ( satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun atau sadar penuh setelah induksi anestesia dibanding semua


(27)

obat lain yang digunakan untuk induksi anestesi IV yang cepat. Pengembalian kesadaran yang lebih cepat dengan residu minimal dari sistem saraf pusat (CNS) adalah salah satu keuntungan yang penting dari propofol dibandingkan dengan obat alternatif lain yang diberikan untuk tujuan yang sama.8,9,17

Rasa sakit karena injeksi terjadi pada sebagian besar pasien ketika propofol diinjeksikan ke dalam vena tangan yang kecil. Ketidaknyamanan ini dapat dikurangi dengan memilih vena yang lebih besar atau dengan pemberian 1% lidokain (menggunakan lokasi injeksi yang sama seperti propofol) atau opioid kerja jangka pendek.

Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan bahwa ambilan jaringan (mungkin ke dalam paru), sama baiknya dengan metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol pada manusia dianggap bersifat hepatik dan ekstrahepatik. Metabolisme hepatik cepat dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut dalam air serta metabolit asam glukuronik yang diekskresikan oleh ginjal. Propofol juga menjalani hidroksilasi cincin oleh sitokrom P-450 membentuk 4-hidroksipropofol yang kemudian di glukuronidasi atau sulfat. Meskipun glukuronida dan konjugasi sulfat dari propofol terlihat tidak aktif secara farmakologi, 4-hidroksipropofol memiliki sepertiga aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0.3% dari dosis yang diekskresikan tidak berubah dalam urine.8,9,17

2.1.3.1. Induksi anestesi

Dosis induksi dari propofol pada orang yang sehat adalah 1.5 hingga 2.5 mg/kgBB IV, dengan kadar darah 2-6 µg/ml yang menghasilkan ketidaksadaran tergantung pada pengobatan dan pada usia pasien. Onset hipnosis propofol sangat cepat (one arm-brain circulation) dengan durasi hipnosis 5-10 menit. Seperti halnya dengan barbiturat, anak membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi per kilogram badan, kemungkinan berhubungan dengan volume distribusi sentral lebih besar dan juga angka bersihan yang tinggi. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang rendah (25% hingga 50% terjadi penurunan)


(28)

akibat penurunan volume distribusi sentral dan juga penurunan laju bersihan. Pasien sadar biasanya terjadi pada konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga 1,5 µg/ml.17

2.1.3.2. Rumatan anestesi

Dosis khusus dari propofol untuk pemeliharan anestesia adalah 100-300 µg/kgBB/menit IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka pendek. Anestesia umum menggunakan propofol mempunyai efek mual dan muntah paska operasi yang minimal dan kesadaran yang lebih cepat dengan efek residual yang minimal.9

2.1.4. FARMAKODINAMIK 2.1.4.1. Sistem saraf pusat

Propofol mengurangi laju metabolik otak untuk oksigen (CMRO2), aliran

darah ke otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP). Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL (space occupying lesion) intrakranial tidak meningkatkan ICP. Dosis yang besar dari propofol ini dapat mengurangi tekanan darah sistemik dan juga mengurangi tekanan perfusi otak (CPP). Autoregulasi serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak

dipengaruhi oleh propofol. Dalam hal ini kecepatan aliran darah ke otak akan berubah seiring dengan perubahan pada PaCO2 dengan adanya propofol dan

midazolam. Propofol menimbulkan perubahan elektroensefalografi (EEG) sama dengan tiopental, termasuk kemampuan untuk menghasilkan supresif penuh dengan dosis tinggi. Bangkitan potensial somatosensori kortikal yang dimanfaatkan untuk monitoring fungsi medula spinalis tidak begitu bermakna pada penggunaan propofol tunggal tetapi penambahan nitro oksida atau anastesi inhalasi menghasilkan penurunan amplitudo. Pada level sedasi yang sama, propofol menghasilkan gangguan memori pada derajat yang sama seperti midazolam. Peningkatan toleransi terhadap obat dalam menekan sistem saraf


(29)

pusat sering terjadi pada pasien yang sering menggunaan opioid, obat hipnotik sedatif, ketamin dan nitrous oksida.8,9,17

Hipotensi merupakan komplikasi akibat pemberian propofol khususnya pada orang tua, bahkan dapat menyebabkan hipotensi preintubasi paska induksi yang sedang sampai berat. Hipotensi ini dapat menurunkan CBF dan menimbulkan episode sekunder iskemi serebral yang dapat menyebabkan gejala sisa neurologi.11

2.1.4.2.Sistem kardiovaskular

Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar dibandingkan dosis tiopental pada saat induksi. Pada keadaan dimana tidak ada gangguan kardiovaskuler, dosis induksi 2 - 2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25-40%. Perubahan yang sama terlihat juga terhadap tekanan arteri rerata (MAP) dan tekanan darah diastolik. Penurunan tekanan darah ini mengikuti penurunan curah jantung sebesar 15% dan penurunan resistensi vaskular sistemik sebesar 15-25 %. Relaksasi otot polos vaskular dihasilkan oleh propofol adalah terutama berkaitan dengan hambatan aktivitas saraf simpatik.8,30 Menurut Dhungana, propofol menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi perifer yang diakibatkan oleh peningkatan produksi endothelial dan lepasnya nitric oxide.13

Efek inotropik negatif dari propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium intraselular akibat hambatan influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah akibat propofol dapat diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia dan pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri koroner.8,9,17

Disamping penurunan tekanan darah sistemik, peningkatan denyut jantung seringkali tidak berubah secara nyata. Bradikardi dan asistol juga telah diamati setelah induksi anestesia dengan propofol, yang menghasilkan rekomendasi dimana obat antikolinergik diberikan ketika stimulasi vagal terjadi berkaitan dengan pemberian propofol. Propofol dapat mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik pada cakupan yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas sistem


(30)

saraf parasimpatik, dengan menghasilkan dominasi aktivitas parasimpatik.8 Refleks baroreseptor yang mengontrol denyut jantung juga didepresi oleh propofolsehingga mengurangi refleks takikardia yang selalu mengikuti hipotensi. Hal ini yang menyebabkan laju jantung tidak berubah secara bermakna setelah penyuntikan propofol.31

2.1.4.3. Sistem Respirasi.

Propofol menghasilkan depresi ventilasi tergantung pada dosis, kecepatan pemberian dan premedikasi, dengan apnu yang berlangsung pada 25% hingga 35% pasien setelah induksi dengan propofol. Pemberian opioid pada pengobatan preoperatif dapat meningkatkan efek depresi ventilasi. Pemakaian infus rumatan propofol akan mengurangi volume tidal dan frekwensi pernafasan. Propofol mengurangi respon ventilasi pada karbon dioksida dan juga hipoksemia. Propofol dapat mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan insidensi sesak pada pasien asma. Konsentrasi sedasi dari propofol akan menekan respon ventilasi terhadap hiperkapnia disebabkan efek dari kemoreseptor sentral. Berbeda dengan anestesi inhalasi dosis rendah, respon kemorefleks perifer pada karbon dioksida masih tetap ada ketika dirangsang oleh karbon dioksida dengan adanya propofol.8,9,17

2.1.4.4. Efek-efek lain.

Propofol tidak mempengaruhi fungsi ginjal atau hepar sebagaimana dinyatakan oleh konsentrasi enzim transaminase liver atau kreatinin. Propofol tidak mempengaruhi sintesis kortikosteroid atau mempengaruhi respon normal terhadap stimulasi ACTH. Propofol dalam formula emulsi tidak mempengaruhi fungsi hematologi atau fibrinolisis.8

Propofol juga mempunyai efek antiemetik yang signifikan pada dosis subhipnotik (10 mg) dan telah digunakan untuk mengatasi mual muntah paska operasi (PONV). Peningkatan tekanan bola mata dicegah setelah pemberian propofol, oleh sebab itu propofol ideal digunakan pada operasi mata.8


(31)

2.1.5. INTERAKSI OBAT

Konsentrasi fentanil dan alfentanil meningkat dengan pemberian yang bersamaan dengan propofol. Kombinasi midazolam dan propofol memberikan efek sinergistik dalam hal onset yang lebih cepat dan total dosis yang lebih rendah.9 Interaksi ketamin dengan propofol adalah aditif.19

2.2. SINDROMA INFUS PROPOFOL

Sindroma infus propofol adalah kejadian yang jarang terjadi dan merupakan suatu keadaan yang kritis pada pasien dengan penggunaan propofol yang lama (lebih dari 48 jam) dan dosis yang tinggi (lebih dari 5 mg/kgBB/jam). Biasanya terjadi pada pasien yang mendapat sedasi di unit perawatan intensif.

Sindroma ini ditandai dengan terjadinya kegagalan jantung, rabdomiolisis, asidosis metabolik dan gagal ginjal. Penanganannya adalah oksigenasi yang adekuat, stabilisasi heodinamik, pemberian dekstrosa,dan hemodialisa.32

2.3. HIPOTENSI AKIBAT PROPOFOL

Hipotensi didiagnosa sebagai adanya penurunan darah arteri disertai laju nadi yang menurun atau normal. Pada kepentingan klinis dan eksperimental, diagnosa hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan arteri rerata (MAP) lebih dari 40% atau MAP<60 mmHg, atau penurunan tekanan darah sistolik lebih besar 20% dari tekanan darah sistolik semula atau tekanan darah sistolik lebih kecil dari 90 mmHg.10

Hipotensi merupakan salah satu efek samping dari propofol. Pada dosis induksi 2 - 2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25- 40%.8

Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari perubahan tahanan pembuluh darah. Bila tekanan darah terus turun di bawah kritis, hipotensi


(32)

paling sering disebabkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg.

Hipotensi bila berlangsung lama dan tidak diterapi akan menyebabkan hipoksia jaringan. Bila keadaan ini berlanjut terus akan mengakibatkan keadaan syok hingga kematian.

Respon kompensasi terhadap hipotensi adalah mekanisme yang menurunkan kapasitas vena (untuk menjaga pengisian jantung), mekanisme yang meningkatkan kontraksi jantung dan denyut jantung (untuk mengoptimalisasi curah jantung pada keadaan menurunnya isi jantung) dan mekanisme yang meningkatkan tahanan vaskular (untuk menurunkan kapasitas vena), yang meredistribusi curah jantung pada berbagai keadaan vaskular untuk menjamin perfusi ke organ-organ kritis, dan yang meningkatkan tekanan di sistem arteri proksimal.33

2.3.1. EFEK HIPOTENSI TERHADAP FUNGSI ORGAN 2.3.1.1. Susunan saraf pusat

Hipotensi menyebabkan penurunan aliran darah ke otak (CBF) sehingga dapat menyebabkan iskemi serebral yang berefek pada terjadinya gejala sisa neurologi. Autoregulasi serebral adalah kemampuan otak untuk memper-tahankan CBF tetap konstan, baik pada keadaan dimana terjadi perubahan pada tekanan darah sistemik ataupun tekanan perfusi serebral (CPP) yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap berkurangnya aliran darah atau iskemia. Autoregulasi ini berlangsung jika tekanan arteri rerata (MAP) berada pada 60-150 mmHg. Batas bawah tekanan darah sistolik adalah 85 mmHg dan 113 mmHg pada pasien dengan hipertensi. Jika MAP lebih rendah dari batas bawah autoregulasi (60mmHg), aliran darah ke otak akan menurun.11

2.3.1.2. Sistem kardiovaskular

Ketika curah jantung menurun, baroreseptor yang berada di jantung, aorta dan arteri karotid terangsang untuk meningkatkan laju jantung dan pelepasan


(33)

katekolamin menyebabkan vasokonstriksi di perifer dan meningkatkan kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah.30 Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteri darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokardium justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan miokardium akan oksigen. Karena aliran darah koroner tidak memadai, maka ketidak-seimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium semakin meningkat, menimbulkan suatu infark di jantung.

Pada pasien dengan gagal jantung, penurunan kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema. Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri, keadaan hipotensi berkembang dengan cepat sampai akhirnya terjadi gangguan sirkulasi yang menggangu sistem organ-organ penting.

2.3.1.3. Ginjal dan Hati

Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan volume urine kurang dari 20 cc/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, terjadi respon kompensatorik, aliran darah ke ginjal berkurang, retensi natrium dan air sehinga kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus, terjadi peningkatan ureum kreatinin. Bila hipotensi berat dan berkepanjanganan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul gagal ginjal akut.

Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati dan bermanifetasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati.

2.3.1.4. Saluran cerna.

Iskemik saluran cerna berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis hemoragik dari usus besar. Penurunan motilitas saluran cerna ditemukan pada keadaan hipotensi.


(34)

Oleh karena itu keadaan hipotensi tidak dapat dibiarkan dan harus dicegah jangan sampai terjadi, khususnya pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, arteriosklerosis, gagal jantung, penyakit serebrovaskular, pasien-pasien dengan kelainan hepar, penyakit ginjal, pada geriatri, gangguan volume darah seperti pada anemia, perdarahan dan keaadan syok hipovolemik.33,34

Ketamin merupakan obat simpatomimetik yang meningkatkan tekanan darah dan laju jantung dan dapat digunakan untuk mencegah hipotensi akibat induksi anestesi.

2.4. KETAMIN

Ketamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian ditandai dengan disosiasi pada EEG diantara talamokortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi menyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan ada nistagmus yang lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu sering kali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB intravena, 3-5 mg/kgBB intramuskular. Pada dosis subanestesi ketamin menghasilkan efek analgetik yang memuaskan.9

2.4.1. STRUKTUR KIMIA

Ketamin, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanonehydrochloride, suatu arylcycloalkylamine yang secara struktural berhubungan dengan


(35)

phencyclidine (PCP) dan cyclohexamine.26 Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut dalam air, dengan berat molekul 238 dan pKa 7,5. Walaupun larut dalam air, kelarutannya dalam lemak sepuluh kali dibanding tiopenton, sehingga dengan cepat didistribusi ke organ yang banyak vaskularisasinya, termasuk otak dan jantung, dan selanjutnya diredistribusikan organ-organ yang perfusinya lebih sedikit. Keberadaan atom karbon asimetris menghasilkan dua isomer optik dari ketamin yaitu S(+) ketamin dan R(-) ketamine. Sediaan komersil ketamin berupa bentuk rasemik yang mengandung kedua enantiomer dalam konsentrasi sama. Masing-masing enantiomer mempunyai potensi berbeda. S(+) ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, metabolisme yang lebih cepat dan pemulihannya, kurangnya sekresi saliva dan rendahnya kejadian emergence reation ataupun mimpi buruk/halusinasi dibanding R(+) ketamin.8,9,29

Gambar 2.2. Rumus bangun ketamin.

2.4.2. MEKANISME AKSI

Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat, yang berlokasi di saluran ion. Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmiter eksitatori seperti asam glutamat, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan terbukanya


(36)

saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal, talamik, limbik dan kortikal. Ketamin menghambat atau menginterferensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori. Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamat, mengurangi pelepasan glutamat di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmiter inhibisi GABA.8,9,17

Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta dan kappa opioid. Efek analgesi ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal.

Beberapa efek ketamin dapat disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan aktivitas dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euforia, adiksi dan psikotomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan oleh efek agonis pada reseptor adrenergik α dan β, efek antagonis pada reseptor muskarinik di sistem saraf pusat, dan efek agonis pada reseptor σ.

2.4.3. FARMAKOKINETIK

Ketamin dapat diberikan melalui oral, rektal, intranasal, intra-muskular ataupun intravena. Untuk operasi dan manajemen nyeri paska bedah ketamin dapat diberikan secara intratekal dan epidural. Farmakokinetik ketamin menyerupai tiopental yaitu onset yang cepat, durasi yang relatif singkat, dan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Hal ini disebabkan karena ketamin mempunyai berat molekul yang kecil dan pKa yang mendekati pH fisiologi, sehinga dengan cepat melewati sawar darah otak dan mempunyai onset 30 detik setelah pemberian intravena. Konsentrasi plasma puncak dari ketamin terjadi dalam 1 menit setelah pemberian intravena dan bertahan selama 5-10 menit, dan 5 menit setelah injeksi intramuskular, bertahan 12-25 menit.Analgesia diperoleh pada dosis 0,2-0,75 mg/kgBB intravena.8,9,17


(37)

Ketamin tidak terikat secara signifikan pada plasma dan didistribusikan dengan cepat pada jaringan. Pada awalnya ketamin didistribusikan pada jaringan yang perfusinya tinggi seperti otak, dimana konsentrasi puncak mungkin 4 sampai 5 kali dari darah. Kelarutan yang tinggi dalam lemak menyebabkan cepat menembus sawar darah otak. Selanjutnya, ketamin menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak sehingga mempermudah perjalanan obat dan kemudian menambah cepat konsentrasi obat dalam otak. Kemudian didistribusikan kembali dari otak dan jaringan yang perfusinya tinggi ke jaringan yang perfusinya rendah.8,9

Angka klirens dari ketamin relatif tinggi yaitu 1 liter/menit, mendekati aliran darah hepar yang berarti perubahan pada aliran darah hepar mempengaruhi klirens dari ketamin. Distribusi volume yang besar yaitu 3 liter/menit, menghasilkan eliminasi waktu paruh yang cepat yaitu 2-3 jam.

Ketamin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal hepatik melalui N-demetilasi dari ketamin oleh sitokrom P-450 menjadi norketamin (metabolit I), kemudian dihidroksilasi menjadi hidroksi-norketamin. Produk ini berkonjugasi ke derivat glukoronid yang larut dalam air dan diekskresi di urin. Norketamin adalah metabolit aktif dengan potensi anestesi sepertiga dari ketamin dan mempunyai efek analgesi.8,9

Interaksi ketamin dengan obat pelumpuh otot adalah efek potensiasi dari obat pelumpuh otot. Kombinasi ketamin dengan teofilin dapat menyebabkan kejang. Diazepam menghambat efek kardiostimulasi dari ketamin dan memperpanjang eliminasi waktu paruh ketamin. Propranolol, fenoksibenzamin dan antagonis simpatis lain menutupi efek depresi otot jantung ketamin. Jika dikombinasi dengan halotan, ketamin menimbulkan depresi otot jantung. Terdapat toleransi untuk efek analgesi dari ketamin yang terjadi pada pasien yang menerima dosis berulang. Dalam hal ini, toleransi dapat terjadi pada pasien yang menerima lebih dari dua kontak dalam interval yang pendek. Interaksi ketamin dengan propofol adalah aditif, bukan sinergisme.8,9,17


(38)

2.4.4 FARMAKODINAMIK 2.4.4.1. Susunan Saraf Pusat

Ketamin menghasilkan stadium anestesi yang disebut anestesi disosiasi. Pada susunan saraf pusat, ketamin bekerja di sistem proyeksi talamoneokortikal. Secara selektif menekan fungsi saraf di korteks (khususnya area asosiasi) dan talamus ketika secara terus menerus merangsang bagian dari sistem limbik, termasuk hipokampus. Proses ini menyebabkan disorganisasi fungsional pada jalur non-spesifik di otak tengah dan area talamus. Ada juga pendapat bahwa ketamin menekan transmisi impuls di formasi retikular medula medial, yang berperan pada transmisi komponen emosi nosiseptif dari spinal cord ke pusat otak yang lebih tinggi. Ketamin juga dianggap menduduki reseptor opioid di otak dan spinal cord, yang menyebabkan ketamin memiliki sifat analgetik. Interaksi pada reseptor NMDA juga menyebabkan efek anestesi umum sebaik efek analgesia dari ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Ketamin mempunyai efek eksitatori di susunan saraf pusat sehingga meningkatkan CMRO2. Dengan peningkatan aliran darah otak yang

sejalan dengan peningkatan respon sistem saraf simpatis, maka tekanan intrakranial juga meningkat setelah pemberian ketamin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam ataupun tiopental.9

Ketamin menyebabkan reaksi psikis yang tidak disukai yang terjadi pada saat bangun yang disebut emergence reaction. Manifestasi dari reaksi ini yang bervariasi tingkat keparahannya adalah berupa mimpi buruk, perasaan melayang, ataupun ilusi yang tampak dalam bentuk histeria, bingung, euphoria dan rasa takut. Hal ini biasanya terjadi dalam satu jam pertama pemulihan dan akan berkurang satu jam sampai beberapa jam kemudian.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa emergence reaction ini disebabkan depresi pada nukleus yang merelai sistem pendengaran dan penglihatan sehingga terjadi mispersepsi dan misinterpretasi. Insidensnya adalah 10-30 % pada orang dewasa pada pemberian ketamin sebagai obat tunggal anestesi. Faktor-faktor


(39)

yang mempengaruhi adalah umur, dosis, jenis kelamin, status psikis, dan obat yang diberikan bersamaan dengan ketamin. Orang dewasa dan perempuan lebih sering dibandingkan anak-anak dan laki-laki. Dosis yang besar (>2mg/kgBB IV) dan kecepatan pemberian ketamin mempengaruhi kejadian ini. Kelemahan psikis dan orang-orang pemimpi juga lebih mudah mengalaminya. Banyak obat telah digunakan untuk mengurangi reaksi ini, seperti golongan benzodiazepine (midazolam, lorazepam dan diazepam).8,9

2.4.4.2. Sistem Pernafasan

Ketamin menjaga patensi dari jalan nafas dan fungsi pernafasan, meningkatkan ventilasi serta mempunyai efek minimal terhadap pusat pernafasan dimana ketamin sedikit memberikan respon terhadap CO2. Ada penurunan

sementara dari volume semenit setelah bolus 2 mg/kgBB intravena. Apnoe dapat terjadi setelah pemberian dengan cepat dan dosis yang tinggi, namun hal ini jarang terjadi. Bagaimanapun pemberian yang bersamaan dengan sedatif ataupun opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan.8,9

Efek ketamin terhadap bronkus adalah relaksasi otot polos bronkus. Ketika diberikan pada pasien dengan masalah pada jalan nafas dan bronkospasme, komplians paru dapat ditingkatkan. Ketamin seefektif halotan dalam mencegah bronkospasme. Mekanismenya adalah mungkin akibat rangsang simpatis ataupun ketamin dapat secara langsung mengantagonis efek spasme dari karbakol dan histamin. Karena efek bronkodilatasi ini, ketamin dapat digunakan untuk terapi status asmatikus yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional.8,9

Masalah pada sistem pernafasan dapat timbul akibat efek hipersalivasi dan hipersekresi kelenjar mukus di trakea-bronkeal yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akibat laringospasme. Atropin dapat diberikan untuk mengatasi hal ini. Aspirasi dapat terjadi walaupun refleks batuk, refleks menelan, refleks gag relatif intak setelah pemberian ketamin.8,9


(40)

2.4.4.3. Sistem Kardiovaskular.

Ketamin menstimulasi sistem kardiovaskuler menyebabkan peningkatan tekanan darah, curah jantung, laju jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan arteri pulmonalis, dan resistensi pembuluh darah pulmonal. Hal ini diakibatkan oleh karena peningkatan kerja dan kebutuhan oksigen otot jantung. Mekanisme ini sendiri masih dipertanyakan.8,9

Ada pendapat menyatakan bahwa efek-efek ini sebagai akibat peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, sehingga pelepasan norepinefrin semakin besar yang diakibatkan oleh penekanan pada refleks baroreseptor. Pengaruh ketamin pada reseptor NMDA di nukleus traktus solitaries menyebabkan penekanan refleks baroreseptor ini.

Ketamin memiliki sifat inotropik negatip terhadap otot jantung. Tetapi respon simpatis yang sentral selalu menutupi efek depresi otot jantung ini. Ketamin juga bekerja pada sistem saraf perifer dengan menginhibisi uptake intraneuronal dari katekolamin dan menginhibisi uptake norepinefrin ekstraneuronal pada terminal saraf simpatis.8,9

Peningkatan tekanan darah sistolik pada orang dewasa yang mendapat dosis klinis ketamin adalah 20-40 mmHg dengan peningkatan sedikit tekanan darah diastol. Biasanya tekanan darah sistemik meningkat secara progresif dalam 3-5 menit pertama setelah injeksi intra vena ketamin dan kemudian akan menurun ke level sebelum injeksi 10-20 menit kemudian.8,9

Ketamin merupakan obat pilihan yang paling rasional untuk induksi anestesi cepat pada pasien gawat darurat terutama pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil.35

2.4.4.4. Hepar dan Ginjal

Ketamin tidak merubah test laboratorium secara bermakna terhadap fungsi hepar dan ginjal.


(41)

2.4.4.5. Endokrin

Pada awal pembedahan, ketamin meningkatkan kadar gula darah, kortisol plasma dan prolaktin. Setelah itu tidak ada perbedaan dalam metabolisme dan sistem endokrin.

2.4.5. INTERAKSI

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Kombinasi teofilin dengan ketamin dapat mempredisposisi pasien terhadap kejang. Diazepam mengurangi efek stimulasi terhadap kardiovaskular dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya, sehingga waktu pulih sadar ketamin menjadi tertunda. Ketamin menyebabkan depresi otot jantung ketika diberikan bersamaan dengan halotan. Halotan memperlambat distribusi dan menghambat metabolisme hepatik ketamin, sehingga memperpanjang efek ketamin terhadap susunan saraf pusat. N2O mengurangi dosis ketamin dan memperpendek waktu

pulih sadar ketamin. 9

Pemberian berulang ketamin dapat menyebabkan toleransi. Efek ini dapat terjadi secara akut yang disebabkan oleh perubahan pada tempat ketamin bekerja daripada karena peningkatan dalam kecepatan metabolisme, yang tampak dari terjadinya toleransi ini setelah suntikan pertama, tanpa perubahan dalam konsentrasi plasma. 9

2.4.6. EFEK SAMPING

Ketamin mempunyai efek samping berupa mual, muntah, efek psikomimetik seperti halusinasi, diplopia, mimpi buruk, ansietas, euphoria.36


(42)

2.4.7. KONTRA INDIKASI

Ketamin dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan seperti pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial, pasien dengan operasi mata karena ketamin dapat meningkatkan tekanan intra okular, pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit aneurisma vaskular, pasien dengan riwayat gangguan psikiatri ataupun pasien yang diduga cenderung mengalami delirium paska operasi.

2.4.8. KETAMIN DOSIS RENDAH

Ketamin dosis rendah disebut juga ketamin dosis analgesia ataupun dosis subanestesia yaitu 0,2-0,75 mg/kgBB IV.26 Literatur lain menyebutkan dosis analgesia dicapai pada 0,2 - 0,5 mg/kgBB IV.9

Pada dosis 0,25-0,5 mg/kgBB IV yang diberikan setelah midazolam 0,07-0,15 mg/kgBB IV dikatakan ketamin memberikan efek sedasi yang memuaskan, amnesia dan analgesia tanpa depresi kardiovaskular yang signifikan.37 Terhadap kejadian emergence reaction, Subramaniam K, menyebutkan efek samping ketamin tidak meningkat dengan dosis kecil ketamin. Pada dosis 0,15-1 mg/kgBB IV tidak meningkatkan efek psikomimetik seperti halusinasi ataupun efek sedasi yang dalam.35 Arora menyatakan penambahan ketamin dosis kecil 0,5 mg/kgBB terhadap induksi propofol 1,5 mg/kgBB IV dapat mengurangi kejadian desaturasi dan apnoe.22

Salah satu efek samping yang ditakutkan pada pemberian ketamin adalah spasme laring yaitu tertutupnya pita suara yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas sebagian ataupun total. Tetapi Newton dan Fitton (2008) menyebutkan pada 92 pasien yang diberikan ketamin dosis 0,5-1 mg/kgBB IV sebagai prosedural sedasi di ruang emergensi, kejadian spasme laring ini tidak ditemukan.38


(43)

Pada pasien-pasien neurologi, Albanese J dkk. menyebutkan bahwa pada penelitian terhadap pasien dengan cedera kepala akibat trauma, ketamin menurunkan tekanan intra kranial dan aktivitas EEG pada pasien yang dikontrol pernafasan dengan ventilasi mekanik, yang disedasi dengan propofol 3 mg/kgBB IV, serta tidak meningkatkan MAP.39

Pada dosis 0,1-0,5 mg/kgBB IV, ketamin memberikan efek analgesia yang memuaskan selama operasi dan pada manajemen nyeri pasca bedah, tanpa suatu sedasi maupun perubahan pada hemodinamik dan pernafasan. Efek mual dan muntah juga jauh berkurang pada dosis ini.,40,41,42

Penggunaan ketamin dosis rendah dengan obat anestesi lokal juga telah banyak dilakukan. Suzuki et al. (2006) memberikan ketamin 0,05 mg/kgBB/jam IV sebagai tambahan terhadap infus epidural ropivakain dan morfin kontinu, dan diperoleh hasil bahwa ketamin meningkatkan efek analgesia dari ropivakain-morfin dan mengurangi nyeri paska torakotomi.43

Untuk pencegahan kejadian menggigil pada anestesi umum, profilaksis ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV yang diberikan 20 menit sebelum operasi berakhir, telah terbukti efektif untuk mencegah menggigil paska operasi.44 Pada anestesi spinal, ketamin 0,5 mg/kgBB IV ataupun ketamin 0,25 mg/kgBB IV + midazolam 37,5 µg/kgBB IV dapat mencegah kejadian menggigil setelah pemberian bupivakain 15 mg.45


(44)

2.5.KERANGKA KONSEP

INHIBISI

SIMPATIS

HIPOTENSI

VASODILATASI

CURAH JANTUNG

RELAKSASI

OTOT POLOS

VASKULAR

INOTROPIK (-)

VASOKONSTRIKSI

PERIFER

PELEPASAN

KATEKOLAMIN

RESPON

HEMODINAMIK - Tekanan darah - Tekana arteri

rerata

- Laju jantung laju nafas

KALSIUM

INTRASELULER

RANGSANG

SIMPATIS

KETAMIN

PROPOFOL


(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. DESAIN

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara random tersamar ganda untuk mengetahui perbandingan efektifitas ketamin 0,5 mg/kgBB IV dengan ketamin 0,7 mg/kgBB IV dalam pencegahan hipotensi akibat induksi propofol pada anestesi umum.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU

a. Tempat

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan RSU Putri Hijau DAM I/BB Medan.

b. Waktu

September 2010 s/d November 2010.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL

a.Populasi

Populasi adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum dan induksi anestesi dengan propofol di RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaringnya.

b. Sampel

Diambil dari pasien dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang akan menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum.

Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok. Kelompok A mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok B mendapat ketamin 0,7 mg/kgBB IV, dan obat dari kedua kelompok dilarutkan dengan aquabidest menjadi volume 5 cc


(46)

dalam syringe 5 cc dan dimasukkan kedalam amplop sesuai kelompok yang dirandom.

3.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

a. Kriteria Inklusi:

1. Bersedia ikut dalam penelitian. 2. Usia 15 - 60 tahun.

3. Berat badan ideal dengan BMI 18,5-24,9 4. PS ASA 1 dan 2.

5. Operasi elektif dengan anestesi umum dan induksi anestesi dengan propofol

b. Kriteria Ekslusi:

1. Pasien dengan kontraindikasi pemberian ketamin (riwayat hipertensi terkontrol maupun tidak terkontrol, kelainan jantung, penyakit serebro-vaskular, hipertiroidisme, tekanan intra kranial tinggi, glaukoma).

2. Pasien dengan riwayat alergi atau hipersensitif terhadap obat yang digunakan dalam penelitian (propofol dan ketamin).

3. Pasien yang mendapatkan terapi obat vasoaktif. 4. Pasien hamil.

c. Kriteria putus (drop-out)

Apabila dengan dosis yang telah ditentukan pasien belum tersedasi optimal sehingga perlu penambahan dosis obat induksi anestesi.

3.5. ESTIMASI BESAR SAMPEL

Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi 46: { Zα√2 P (1-P) + Zβ√P1 (1-P1) + P2 (1-P2) }2


(47)

(P1- P2)2

n = besar sampel minimum

Zα = kesalahan tipe I pada α= 0,05, hipotesis dua arah 1,96 Z β = kesalahan tipe II pada β = 20%, power 80% 0,842 P = 1/2 (P1 + P2)

P1 = proporsi pada kelompok A = 13%

P2 = proporsi pada kelompok B = 33%27

n1=n2 = 40

Total sampel 2 kelompok = 80 orang.

3.6. CARA KERJA

a. Setelah mendapat persetujuan dari komite etik, penelitian mulai dilakukan.

b. Setiap pasien dilakukan informed consent dan setelah disetujui semua sampel yang akan menjalani operasi dimasukkan dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

c. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok.

d. Randomisasi tersamar ganda dilaksanakan oleh relawan yang sudah dilatih dengan memakai cara randomisasi blok sebagai berikut : dengan memakai tabel angka random pena dijatuhkan di atas tabel angka random, angka yang terkena ujung pena merupakan urutan untuk memulai penelitian.

e. Kelompok A mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok B mendapat Ketamin 0,7 mg/kgBB IV.


(48)

Randomisasi dilakukan satu kali, urutan A atau B dibuat dan disimpan daftarnya oleh relawan yang melakukan randomisasi yang telah dilatih. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti dan pasien tidak mengetahui komposisi obat dalam spuit). Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat oleh relawan yang melakukan randomisasi, obat tersebut diberikan ke peneliti di dalam amplop putih. f. Setelah semua sampel terkumpul relawan memberikan daftar identitas

pasien dan jenis perlakuan yang diberikan pasien selama penelitian.

g. Kedua kelompok menjalani prosedur persiapan operasi elektif yaitu dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan tidak mendapat premedikasi. Kebutuhan cairan selama puasa telah dipenuhi sebelum operasi dengan infus RL 2cc/kgBB/jam di ruangan.

h. Pada hari penelitian obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi.

i. Setelah memasuki kamar operasi, dipasang alat pantau (monitor) pada tubuh pasien dan dicatat data mengenai tekanan darah, laju nadi dan laju nafas dengan alat ukur tekanan darah standard non invasif otomatis merek Omron yang telah ditera.

j. Pasien dipremedikasi dengan midazolam 0,06 mg/kgBB IV dan petidin 1 mg/kgBB IV.

k. Sepuluh menit kemudian diberikan injeksi ketamin 0,7 mg/kgBB IV untuk kelompok A dan injeksi ketamin 0,5 mg/kgBB IV selama 30 detik dalam syringe tanpa diketahui oleh pasien dan si peneliti yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh sukarelawan.

l. Kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi dan laju nafas. m.Satu menit kemudian diberikan injeksi propofol 2 mg/kgBB IV selama 15

detik, sampai hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.

n. Lalu dilakukan pencatatan tekanan darah, laju nadi dan laju nafas. o. Intubasi dilakukan setelah injeksi rokuronium 1 mg/kgBB IV.


(49)

p. Tekanan darah dan laju jantung dicatat setelah intubasi, dan 5 menit setelah intubasi.

q. Rumatan anestesi dilakukan dengan isofluran 0,5-1%, N2O : O2 = 50% :

50%

r. Rumatan pelumpuh otot dengan injeksi rokuronium 10 mg setiap 30 menit.

s. Dilakukan pencatatan efek samping yang timbul seperti mual, muntah, halusinasi, sedasi, dan depresi nafas. Derajat sedasi pada penelitian ini menggunakan skala modifikasi Ramsay :

1. Cemas, agitasi, tidak dapat tenang. 2. Koperatif, orientasi baik dan tenang.

3. Diam, hanya respon terhadap perintah verbal.

4. Tidur, respon yang cepat terhadap ketukan pada glabella atau rangsangan verbal yang keras.

5. Tidur, respon lambat terhadap ketukan pada glabella atau rangsang verbal keras.

6. Tidak ada respon terhadap rangsang.

t. Saat observasi bila terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 20% dari tekanan darah sistolik basal ditetapkan sebagai kejadian hipotensi dan di atasi dengan pemberian infus cepat Ringer Laktat. Bila tidak menolong dilakukan injeksi efedrin 10 mg.

u. Hasil pencatatan kedua kelompok dibandingkan secara statistik.

v. Penelitian dihentikan bila subjek menolak berpartisipasi, kegawatan jalan nafas, jantung, paru dan otak yang mengancam jiwa.


(50)

(51)

3.7. ALUR PENELITIAN

POPULASI

INKLUSI EKSKLUSI

SAMPEL

10’

1’

1’

KETERANGAN :

TDS : Tekanan darah sistol TDD : Tekanan darah diastol TAR : Tekanan arteri rerata LJ : Laju jantung

LN : Laju nafas

PREMEDIKASI Midazolam 0,06 mg/kgBB IV +

Petidin 1 mg/kgBB IV

KELOMPOK B

KETAMIN 0,7 mg/kgBB IV (5cc)

Rocuronium 1 mg/kgBB IV PROPOFOL 2 mg/kgBB IV

INTUBASI

Pengukuran: 

-TDS & TDD 

-TAR 

-L J 

-LN

Pengukuran: 

-TDS & TDD 

-TAR  KELOMPOK A

KETAMIN 0,5 mg/kgBB IV (5cc)


(52)

(53)

3.8. IDENTIFIKASI VARIABEL

3.8.1. Variabel independen : a. Propofol

b. Ketamin

3.8.2. Variabel dependen :

a. Tekanan darah sistolik b. Tekanan darah diastolik c. Tekanan arteri rerata d. Laju nadi

e. Laju nafas

3.9. RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISA DATA

a. Data yang terkumpul dianalisa dengan program software SPSS versi 15. b. Untuk menentukan peranan ketamin dalam pencegahan hipotensi

dilakukan dengan uji Chi-square

c. Pengujian kenormalan data dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov. d. Untuk menentukan perbandingan hemodinamik digunakan

uji-t-independent pada distribusi data yang normal, dan bila distribusinya tidak normal digunakan Mann-Whitney.

e. Batas kemaknaan yang ditetapkan 5% f. Interval kepercayaan yang dipakai 95%

3.10. DEFENISI OPERASIONAL

a.Anestesi umum adalah tindakan yang dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali.


(54)

b. Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat dimulainya anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau suatu fase dimana pasien melewati dari sadar menjadi tidak sadar. c.Propofol adalah obat yang dipakai untuk induksi pada anestesi umum,

mempunyai onsetnya yang cepat, durasi yang singkat dan waktu pulih sadar yang cepat.

d. Ketamin adalah obat anestesi disosiatif yang bekerja dengan cara menghambat komunikasi antara talamik dan limbik (suatu regio di otak), yang kemudian mencegah otak untuk memproses rangsangan eksternal. Bersifat simpatomimetik yang merangsang susunan saraf pusat dengan meningkatkan tekanan darah arteri, laju jantung dan laju nafas.

e.Tekanan darah adalah hasil kali curah jantung dan tahanan vasular sistemik. Nilai normalnya untuk sistolik 90-120 mmHg, dan diastolik 60-90 mmHg. Diukur dengan monitor standar non invasif

f.Tekanan arteri rerata adalah rata-rata tekanan di dalam pembuluh darah arteri selama satu siklus lengkap dari satu denyut jantung. Nilai diperoleh dengan penambahan tekanan darah sistol dengan dua kali tekanan darah diastol, kemudian dibagi tiga.

g. Hipotensi adalah penurunan tekanan darah arteri disertai laju nadi yang menurun atau normal, atau tekanan darah sistol < 90 mmHg ataupun penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari tekanan darah sistol awal.

h. Hipotensi berat adalah penurunan tekanan darah sistol < 75 - 80 mmHg. i.Laju nadi adalah jumlah pulsasi (denyut dan pasang surut arteri) yang

dirasakan pada suatu arteri permenit. Normalnya sekitar 60 -90 kali per menit, dihitung dengan menggunakan monitor non-invasif.

j.Laju nafas adalah jumlah pernafasan dalam satu menit, dihitung menggunakan monitor non-invasif.

k. Depresi nafas adalah gangguan pada pernafasan yang ditandai dengan terjadinya desaturasi yaitu penurunan saturasi oksigen arterial yang dapat


(55)

dilihat dengan pulse oximetry (SpO2) pada monitor sebesar ≥ 5% dari

saturasi awal, atau laju nafas < 12 x/menit (hipoventilasi), ataupun kejadian berhentinya nafas lebih dari 15 - 20 detik (apnoe).

l.BMI = Body Mass Index = indeks massa tubuh dimana untuk menentukan berat badan ideal yang diperoleh dengan membagi berat badan (kg) dengan kwadrat tinggi badan (cm2).

3.11. MASALAH ETIKA

a. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dan hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian

b. Sebelum anestesi dan proses penelitian dimulai dipersiapkan alat kegawatdaruratan (oro/nasopharyngeal airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoskop, endotracheal tube ukuran pasien, suction set), monitor (pulse oximetry, tekanan darah, EKG, laju jantung), obat emergensi (efedrin, adrenalin, sulfas atropin, lidokain, aminofilin, deksametason).

c. Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru dan otak selama anestesi dan proses penelitian berlangsung, maka langsung dilakukan antisipasi dan penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar seperti yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

d. Jika terjadi hipertensi akibat pemberian ketamin, atasi hipertensi dengan obat sedatif hipnotik (midazolam atau propofol), berikan zat anestesi inhalasi (isofluran), bila perlu berikan nitrogliserin intravena secara drip (titrasi). Awasi ketat tanda-tanda vital.


(56)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama 2 bulan dari pertengahan September sampai pertengahan November 2010 dan diperoleh 80 sampel yang bersedia mengikuti penelitian dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi dengan anestesi umum sesuai dengan prosedur penelitian. Dari 80 pasien yang menjadi subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 40 pasien dalam kelompok A yaitu ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan 40 pasien dalam kelompok B yaitu ketamin 0,7 mg/kgBB IV.

4.1. KARAKTERISTIK UMUM SUBJEK PENELITIAN

Karakter umum subjek penelitian dinilai dari umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh. Hasil penelitian terlihat pada tabel di bawah ini (tabel 4.1.)

Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok

Variabel Kelompok Ketamin Kelompok Ketamin p

0,5 mg/kg BB (n=40)

0.7 mg/kg BB (n=40)

Umur (thn) 33,8 (SD 6,4) 30,7 (SD 9,3) 0,083(NS)*

Jenis Kelamin L P

23 (57,5%) 17 (42,5%)

21 (52,5%) 19 (47,5%)

0,653(NS)**

Berat Badan (kg) 56.3 (SD 7.7) 54,4 (SD 9,1) 0,334(NS)*

Tinggi Badan (cm) 157,2 (SD 7,4) 157,8 (SD 8,6) 0,720(NS)*

Indeks Massa Tubuh 22,7( SD 1.9) 21,7 (SD 2,6) 0,074(NS)*


(57)

** Uji Chi-Square

Umur pasien yang menjadi subjek penelitian pada dua kelompok berkisar antara 15 – 48 tahun dengan rerata 33,8 (SD 6,4) tahun pada kelompok A dan 30,7 (SD 9,3) tahun pada kelompok B, dengan uji-t independen didapat nilai p = 0,083 berarti tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok penelitian.

Jenis kelamin (L/P) pada kelompok A 23/17 orang (57,5% / 42,5%) dan pada kelompok B 21/19 orang (52,5% / 47,5%) dengan uji chi-square didapat nilai p = 0,653 berarti tidak ada perbedaan bermakna.

Berat badan sampel penelitian berkisar antara 40 – 70 kg dengan rerata 56,3 (SD 7,7) kg pada kelompok A dan 54,4 (SD 9,1) kg pada kelompok B, dengan uji-t independen didapat nilai p = 0,334 berarti tidak ada perbedaan bermakna.

Tinggi badan sampel penelitian berkisar antara 140 – 175 cm dengan rerata 157,2 (SD 7,4) cm pada kelompok A dan 157,8 (SD 8,6) cm pada kelompok B dengan uji-t independen didapat nilai p =

0

,720 berarti tidak ada perbedaan.

Indeks massa tubuh sampel penelitian berkisar antara 18,5 – 24,9 dengan rerata 22,7( SD 1,9) pada kelompok A dan 21,7 (SD 2,6) pada kelompok B dengan uji-t independen didapat nilai p = 0,074 berarti tidak ada perbedaan bermakna.

4.2. JENIS SUKU, PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN PADA KEDUA KELOMPOK PENELITIAN

Karakteristik sosial ekonomi sampel penelitian dinilai dari suku, pendidikan dan pekerjaan. Hasil penelitian terdapat pada tabel di bawah ini (tabel 4.2.)


(58)

Tabel 4.2. Jenis Suku, Pendidikan dan Pekerjaan pada Kedua Kelompok Penelitian

Jenis Kelompok ketamin

0,5 mg/kgBB (n=40) Kelompok ketamin 0,7mg/kgBB (n=40) p * Suku - Batak - Aceh - Padang - Jawa - Melayu - Nias 21 (52,5%) 3 (7,5%) 1 (2,5%) 11 (27,5%) 3 (7,5%) 1 (2,5%) 17 (42,5%) 0 (0%) 1 (2,5%) 11 (27,5%) 7 (17,5%) 4 (10,0%) 0,234 (NS)*

* Pendidikan : - SD - SMP - SMA - D3 - S1 5 (12,5%) 9 (22,5%) 20 (50.0%) 3 (7,5%) 3 (7,5%) 5 (12,5%) 13 (32,5%) 18 (45,0%) 1 (2,5%) 3 (7,5%) 0,767 (NS)*

* Pekerjaan : - Wiraswasta - Petani - Mahasiswa - IRT - Swasta -PNS -Pelajar 6 (15,0%) 9 (22,5%) 1 (2,5%) 6 (15,0%) 6 (15,0%) 11 (27,5%) 1 (2,5%) 10 (25,0%) 8 (20,0%) 2 (5,0%) 8 (20,0%) 1 (2,5%) 6 (15,0%) 5 (12,5%) 0,153 (NS)*

* Uji Chi-Square

Jenis suku terbanyak dalam penelitian ini adalah batak pada kelompok A dengan 21 orang (52,5%) dan pada kelompok B 17 orang (42,5%). Jenis suku dianalisis dengan uji chi-square untuk menilai perbedaan proporsi antara kedua


(1)

LAMPIRAN 4

LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN

Nama

:

Jenis

Kelamin

:

Umur

:

Pekerjaan

:

Alamat

:

Pendidikan Terakhir

:

Suku / Bangsa

:

Tinggi Badan

:

Berat Badan

:

BMI

:

No. Medical Record

:

Diagnosa

:

Tindakan

:

PS

ASA :

Mulai Anestesi

: Selesai:

Mulai Operasi

: Selesai:

Basal

Setelah

perlakuan

Setelah

propofol

Setelah

intubasi

5’ setelah

intubasi

TD sistolik

TD diastolik

Laju nadi

Laju nafas

EFEK SAMPING

Y A / TIDAK

W A K T U

MUAL

MUNTAH

HALUSINASI

SEDASI


(2)

DEPRESI NAFAS

LAMPIRAN 5 PERSETUJUAN KOMITE ETIK FK-USU


(3)

LAMPIRAN 6

RANDOMISASI BLOK SAMPEL

Nomor Sekuens

00-04 AAABBB

05-09 AABABB

10-14 AABBAB

15-19 AABBBA

20-24 ABAABB

25-29 ABABAB

30-34 ABABBA

35-39 ABBAAB

40-44 ABBABA

45-49 ABBBAA

50-54 BAAABB

55-59 BAABAB

60-64 BAABBB

65-69 BABAAB

70-74 BABABA

75-79 BABBAA

80-84 BBAAAB

85-89 BBAABA

90-94 BBABAA

95-99 BBBAAA

Kelompok A : Ketamin 0,5 mg/kgBB IV

Kelompok B : Ketamin 0,7 mg/kgBB IV

Pena jatuh diangka 56, maka angka berikutnya adalah: 61, 66, 25, 24, 30,

45, 25, 19, 38, 77, 31, 12, 46, 38.


(4)

LAMPIRAN 7 DAFTAR SAMPEL PENELITIAN

Umur Jenis No.

Nama Kelompok

(thn) kelamin

1 RACHEL B 16 P

2 DERMAWAN A 43 P

3 SULIAN A 35 L

4 TUAH P B 15 L

5 ZAMZANI B 45 L

6 SIMSON B 41 L

7 DENI B 30 L

8 IMELDA A 30 P

9 JOSUA B 42 L

10 SURIANI A 47 P

11 SAIFUL AMIN A 28 L 12 FAHRIANI B 15 P 13 ASUPRIANTO A 20 L

14 SRI B 15 P

15 JUMIAH A 30 P

16 ELSERIA B 30 P 17 RUSMIATI A 44 P

18 JIHAN B 15 P

19 SYAHRUL A 45 L 20 TIRAMSA S B 38 P 21 SAIRING A 39 L 22 SARING A 39 L 23 SYAFARUDIN B 41 L

24 HUSNA B 28 P

25 LINDA A 44 P

26 JOHN HERDI B 30 L

27 KARSUN A 43 L

28 BAMBANG B 29 L

29 ISHARIANTO B 29 L

30 WATI A 28 P

31 ALAM A 36 L

32 YOYON B 17 L

33 DEVI B 23 P

34 FABOOFONA B 31 L 35 RUTMIDAS A 17 P

36 JAWALI A 35 L

37 SYAMSINAR A 41 P 38 NURHAYATI B 28 P

39 AGUS SALIM A 30 L 40 ASMILAWATI B 37 P 41 ENDRIWATI A 32 P

42 MARIA B 31 P

43 UMA A 19 L

44 M. RIDWAN A 41 L 45 SRI SUCI B 23 P 46 SYAFARUDIN B 26 L

47 GOZALI B 27 L

48 NURUNIA A 48 P

49 GURNO A 33 L

50 INEKE HIA B 22 P 51 LESTIANI B 24 P

52 RUKIEM A 46 P

53 IDA A 24 P

54 MARINGOT B 41 P 55 SUNINGSIH B 38 P

56 NABARI A 41 P

57 SUKIR B 41 L

58 ROSALINA B 38 P

59 ALBERT A 45 L

60 LELI A 30 P

61 ERIKA A 41 P

62 SURIYATI A 40 P 63 SITI RAHMA A 37 P

64 INDRA B 38 L

65 HENRI B 40 L

66 IRMA A 35 P

67 ALIMANTONI A 45 L

68 ROHANA A 35 P

69 LIOFRAYETI B 40 P 70 HASNUL B 19 L

71 SAUDAH A 33 P

72 ROSANI B 42 P 73 HENDRA A 27 L 74 MASMURNI B 30 P

75 IDRIS B 38 L

76 HALIDA B 40 P

77 BERTIANA A 41 P


(5)

79 SULUDIN A 37 L

80 RAHMAD B 28 L

75


(6)

Dokumen yang terkait

Perbandingan Efek Koinduksi Ketamin 0,3 MG/KGBB IV Dengan Midazolam 0,03 MG/KGBB IV Terhadap Pengurangan Dosis Induksi Propofol

1 74 94

Perbandingan Pretreatment Lidokain 40 mg Intravena Ditambah Natrium Bikarbonat 1 mEq Dengan Ketamin 100 μg/kgBB Intravena Dalam Mengurangi Nyeri Induksi Propofol

3 86 89

Efek Penambahan Natrium Bikarbonat 1 mEq Kedalam Lidokain 40 Mg Intravena Dibandingkan Dengan Lidokain 40 Mg Intravena Untuk Mengurangi Nyeri Pada Saat Induksi Propofol MCT/LCT

1 74 97

Efek Penambahan Natrium Bikarbonat 1 mEq Kedalam Lidokain 40 MG Intravena Dibandingkan Dengan Lidokain 40 MG Intravena Untuk Mengurangi Nyeri Pada Saat Induksi Propofol MCT/LCT

1 46 97

Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena

0 38 101

Perbandingan Efek Analgesia Parasetamol 15 mg/kgBB Intravena Dengan Metamizol 15 mg/kgBB Intravena Sebagai Preventif Analgesia Pada Pembedahan Pasien Anak Dengan Anestesi Umum

2 63 94

Perbandingan Ketamin 0,5 MG/KGBB Intravena Dengan Ketamin 0,7 MG/KGBB Intravena Dalam Pencegahan Hipotensi Akibat Induksi Propofol 2 MG/KGBB Intravena Pada Anestesi Umum

2 53 97

Perbandingan Efek Koinduksi Ketamin 0,3 MG/KGBB IV Dengan Midazolam 0,03 MG/KGBB IV Terhadap Pengurangan Dosis Induksi Propofol

0 1 13

Perbandingan Efek Koinduksi Ketamin 0,3 MG/KGBB IV Dengan Midazolam 0,03 MG/KGBB IV Terhadap Pengurangan Dosis Induksi Propofol

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Propofol - Perbandingan Pretreatment Lidokain 40 mg Intravena Ditambah Natrium Bikarbonat 1 mEq Dengan Ketamin 100 μg/kgBB Intravena Dalam Mengurangi Nyeri Induksi Propofol

0 0 25