Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Nyeri
Masalah penilaian nyeri dan manajemennya telah menjadi perhatian baik
tenaga kesehatan profesional dan kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang
mendorong perhatian tersebut meliputi masih tingginya prevalensi nyeri, adanya
bukti-bukti bahwa nyeri masih belum teratasi, dan meningkatnya kesadaran
bahwa sangat merugikan sekali jika nyeri tidak teratasi. Pada tahun 1968,
McCaffery mendefinisikan nyeri sebagai “what ever the experiencing person says
it is, existing whenever she says it does”. Definisi ini menegaskan bahwa nyeri itu
sangat subjektif dan tidak ada alat ukur objektif terhadap nyeri.18 Pada tahun
1979, International Association for The

Study of Pain (IASP, 1979)

mendefinisikan nyeri yang saat ini banyak dipakai di seluruh dunia. IASP
mendefinisikan nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosi yang tidak
menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
terjadi kerusakan jaringan.19,20 Definisi ini menggambarkan bahwa nyeri adalah
pengalaman, sifatnya subjektif, penilaiannya tergantung apa yang dilaporkan
pasien. Sensasi nyeri adalah suatu fenomena neurobiochemical yang melibatkan

banyak sekali zat-zat biokimia yang diwujudkan dalam bentuk neurotransmiter
nyeri. Neurotransmiter nyeri ini teraktivasi akibat rangsangan yang diterima oleh
nosiseptor. Nosiseptor adalah reseptor sensorik khusus yang bertanggung jawab
untuk deteksi adanya stimulus noxious (tidak menyenangkan) misalnya rasa
sakit.20
2.2. Patofisologi Nyeri
Untuk terciptanya suatu rasa nyeri terdapat suatu rangkaian proses yang
secara kolektif disebut sebagai nosiseptif. Ada empat proses yang terlibat dalam
nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses
mengubah sinyal nyeri berupa mekanik, suhu, kimia menjadi suatu sinyal-sinyal
listrik yang akan diterima di ujung-ujung saraf. Kerusakan jaringan menyebabkan
8
Universitas Sumatera Utara

terlepasnya substansi kimiawi endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin,
histamin, ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan
ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor.21,22 Kerusakan membran sel akan
melepaskan senyawa phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan
terjadi aktivasi ujung aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh
prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide

(PGG2 dan PGH2) dan akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator
nyeri tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2).
Terbentuk pula lekotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase.21 Setelah
kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs,
LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini
menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal
sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial
jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang
merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan jaringan dan perbaikan
luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung
mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh
senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu
respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit.
Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan
sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, allodynia dan proses
berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4)
mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan
pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme
asam arakhidonat. Lekotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak
langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk

melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan lekotrien B4 (LTB4).
Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun
akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin IL1β, IL6, TNF, IFN. Sitokin
ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL1β
berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti

9
Universitas Sumatera Utara

fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast
melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan
menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat
antiinflamasi non steroid (AINS).21
Transmisi adalah proses berikutnya dari transduksi berupa penyaluran
sinyal-sinyal nyeri berupa sinyal listrik. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas
impuls akan membesar yang kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif
primer lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis.21 Serabut
perifer terdiri dari serabut sensoris, motorik somatik, motorik otonomik, dan
propioseptif. Akson dari neuron primer bermielin atau tidak bermielin, dibungkus
neurolema. Terbagi atas serabut A,B,C. Serabut A terbagi menjadi Aα , Aβ , Aγ

dan Aδ. Akson berakhir pada kulit dan bangunan lain sebagai anyaman rapat,
dekat ujung akhir saraf, bungkus perineural terbuka dan sel Schwann menjadi
irreguler. Serabut aferen primer nosispetif khusus menghantarkan impuls
nosiseptif, terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot, dan visera.21

NMDA Antagonist

NMDA Antagonist

Gambar 1. Perjalanan nyeri dan tempat-tempat intervensi yang dapat memodulasinya

10
Universitas Sumatera Utara

Serabut yang menyampaikan impuls nosiseptif hanya Aδ dan C, sehingga
serabut tersebut tidak bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat
direspon adalah mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron aferen
primer melewati radiks posterior masuk ke medula spinalis pada berbagai tingkat
membentuk sel bodi dalam ganglia radiks posterior, serabut ini membelah dua,
mengirim banyak cabang kolateral. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I,

substansia gelatinosa (lamina II, III), lamina V, lamina IV. Impuls ditransmisi ke
neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu posterior
berfungsi sebagai masuk jalur desendens dari otak untuk melakukan modulasi
impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di
korteks serebri dan diterjemahkan. Proses transmisi ini dapat dihambat oleh obat
anestesi lokal.21
Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsangan nyeri. Modifikasi
ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama menuju korteks
serebri.21 Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi
(penghambatan). Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan
mengalami penyaringan intensitas yang bisa diperbesar atau dihambat. Sistem
pengendali modulasi ini adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate
control theory of pain. Terdiri dari substansia gelatinosa sebagai penghambat sel
transmisi T, serabut aferen diameter besar akan menutup gerbang, diameter kecil
akan membuka gerbang. Cabang serabut desendens dari otak ke substansia
gelatinosa akan menambah hambatan sel transmisi T. Apabila impuls melebihi
ambang sel T maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan
ke pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Impuls akan dipersepsi sebagai
pengalaman nyeri. Substansi yang bekerja sebagai modulator nyeri di medulla
spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamin 5 HT2, GABA yang akan

menghambat nyeri. Substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, ATP,
asam amino eksitatori.21
Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks
sehingga mencapai tingkat kesadaran dan pada akhirnya diterjemahkan dan

11
Universitas Sumatera Utara

ditindak lanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.23 Hasil akhir dari proses
interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada
akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik. Sel transmisi T didalam sistem gerbang spinal kendali
nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi
atau sama dengan ambang T, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistem
gerbang kendali dan diteruskan ke pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di
korteks somatosensoris, kortek transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri
sensoris perifer serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan
berintergrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri.
Secara sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat

kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan oleh
individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya.21
2.3. Preemptif Analgesia
Salah satu dari penelitian paling dipercaya menyatakan sensitisasi pusat
memegang peranan utama pada fase pertama dari respon nyeri. Penggunaan
opioid sebelum fase pertama dan di-reverse dengan antagonis opioid naloxon
(Narcan) sebelum onset

yang diharapkan dari fase kedua ternyata mampu

mencegah stadium lanjut ini dari respon nyeri. Oleh karena itu, mencegah kaskade
neural awal dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan
hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan yang melukai.24
Percobaan pada hewan memperlihatkan keuntungan dari pencegahan
sensitisasi sentral dengan infiltrasi lokal anestesi, suatu pendekatan yang secara
khusus efektif pada nyeri yang berhubungan dengan diferensiasi, seperti yang
terjadi pada amputasi. Secara umum, hasil dari percobaan tadi menjadikan konsep
preemptif analgesia dimulai dengan analgesia sebelum onset dari rangsangan
melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri
selanjutnya. Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana teknik


12
Universitas Sumatera Utara

preemptif analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat
dapat diketahui (gambar 2).24

Gambar 2. Perbandingan cara pemberian analgesia

Pada gambar diatas, skematik preemptif analgesia dengan penekanan pada
pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa
intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal
pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar B,
analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak
memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesia diberikan
sebelum pembedahan membatasi nyeri mulai rangsangan dan menurunkan
hipersensitif selanjutnya. Yang paling efektif adalah pada gambar D di mana
analgesia diberikan sebelum pembedahan dan dilanjutkan selama masa
perioperatif.24


13
Universitas Sumatera Utara

2.4. Ketamin
Semenjak ditemukan adanya N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor
yang berperan dalam persepsi nyeri menyebabkan saat ini banyak para klinis
khususnya praktisi nyeri untuk
memulai

penelitian

baru

terhadap ketamin yang saat ini
digunakan sebagai multimodal
analgesia

dalam

penanganan


nyeri.25
Gambar 3. Struktur ketamin

2.4.1. Farmakologi ketamin
Ketamine, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone, pertama
kali disintesis pada tahun 1963 dan pertama sekali digunakan pada manusia pada
tahun 1965 oleh Corssen dan Domino. Obat ini larut dalam lemak dengan berat
molekul 238 dalton, pKa 7,5 dan digunakan dalam bentuk rasemik atau isomer
levogyrous S(+) ketamin. S(+) ketamin 3 sampai 4 kali lebih poten dari isomer (Rketamin) untuk penanganan nyeri, sedikit menimbulkan agitasi dari pada yang
bentuk rasemik dan dextrogyrous. S(+) ketamin dua kali lebih poten dari rasemik
dalam mencegah sensitisasi sentral spinal cord.26
Ketamin dapat diberikan melalui oral, intramuskular, intravena bahkan
saat ini berkembang penelitian ketamin epidural. Ketamin memiliki bioavaibilitas
93% dan waktu paruh sampai 186 menit. Volume distribusi besar diperkirakan
mencapai 3L/kg.25 Plasma puncak setelah pemberian intravena terjadi dalam
waktu 1 menit, intramuskular dalam waktu 5 menit dan pemberian secara oral
dalam waktu 30 menit.27 Ketamin terdistribusi ke organ yang memiliki perfusi
yang tinggi seperi otak dengan empat sampai lima kali dari kadar plasma dengan
eliminasi obat melalui redistribusi obat dari organ yang perfusinya baik ke tempat

yang kurang baik. Ketamin mengalami metabolisme konjugasi di hati melalui
enzim sitokrom P45.28 Norketamin adalah hasil metabolit ketamin yang masih
14
Universitas Sumatera Utara

aktif, tetapi potensiasinya sepertiga sampai seperlima dari ketamin dan pada
akhirnya metabolit tadi dikonjugasikan menjadi larut air dan pada akhirnya
diekskresikan melalui urin.29 Ketamin memiliki kelarutan lemak yang tinggi
sehingga obat ini gampang masuk melewati sawar darah otak. Ketamin memiliki
ikatan dengan protein plasma 12% dan waktu paruh tercapai dalam 10 menit.27
2.4.2. Mekanisme kerja ketamin
Ketamin bekerja pada susunan saraf pusat dan menurut beberapa
penelitian ketamin memiliki aktivitas perifer. Efek kerja ketamin bekerja pada
reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) pada bagian kutub kalsium. Aktivasi
reseptor NMDA menyebabkan influx kalsium ekstraseluler ke intraseluler. Peran
kalsium adalah sebagai second messanger untuk reaksi nyeri selanjutnya melalui
pelepasan neurotransmitter nyeri yang lain.30,31 Blok pada NMDA reseptor adalah
cara kerja utama dari ketamin di susunan saraf pusat dan medulla spinalis.
Sebagai tambahan bahwa ketamin juga menghambat pelepasan dari glutamat yang
bertindak

sebagai

neurotransmitter

eksitatorik

yang

berperan

sebagai

neurotransmitter nyeri. Mekanisme yang lain ketamin berikatan dengan reseptor
opioid yaitu mu dan kappa.28 Interaksi ini terjadi sangat kompleks. Afinitas
ketamin terhadap reseptor opioid ini 10 kali lebih lemah dari ikatannya terhadap
reseptor NMDA dengan adanya bukti bahwa naloxon yang merupakan antagonis
opioid tidak mengantagonis efek analgesia dari ketamin.29,30 Ada bukti juga
bahwa reseptor seperti monoaminergik, muskarinik dan nikotinik menjadi tempat
ikatan

ketamin

sekaligus

ketamin

menimbulkan

efek

takikardi

dan

bronkodilator.28

15
Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)

2.4.3. Preemptif ketamin
Transmisi sinyal rasa sakit yang ditimbulkan oleh kerusakan jaringan
menyebabkan sensitisasi dari jalur nyeri perifer dan sentral. Preemptif analgesia
adalah pengobatan yang dimulai sebelum prosedur bedah untuk mengurangi
sensitisasi ini. Konsep preemptif ini berdasarkan atas antinyeri diberikan sebelum
rangsangan nyeri timbul. Konsep preemptif sebenarnya mengacu kepada
penghambatan sinyal nyeri,sehingga tidak terjadi sensitisasi sentral yang berujung
kepada nyeri kronik sehingga nyeri lebih sulit untuk diatasi. Untuk itulah istilah
preemptif menjadi populer. Sehingga konsep preemptif memiliki penanganan
nyeri yang efektif dibandingkan dengan konsep yang lain.32
Trauma jaringan selama pembedahan mengubah jalur sentral persepsi
nyeri. Terjadi perubahan sensitisasi sentral melalui peningkatan sensitivitas
terhadap rangsang nyeri. Anestesi umum tidak mencegah transmisi impuls
nosiseptif dari tempat operasi ke medula spinalis.17 Nyeri pascabedah memanjang
karena reaksi inflamasi akibat kerusakan jaringan lebih dominan daripada
rangsangan intraoperatif jangka pendek pada rangsang medula spinalis. Adanya
16
Universitas Sumatera Utara

nyeri akan memperlambat pemulihan atau memperpanjang waktu rawat inap.
Salah satu sensitisasi sentral timbulnya nyeri adalah aktivasi dan N-methyl- Daspartate (NMDA). Ketamin suatu antagonis reseptor NMDA dapat diberikan
untuk mencegah nyeri pascabedah serta mencegah sensitisasi sentral akibat
pembedahan yang dapat diberikan sebelum pembedahan. Efek preemptif ketamin
masih kontroversi, beberapa peneliti melaporkan adanya efek terhadap pemberian
analgesia selanjutnya, namun peneliti lain tidak. Perbedaan ini disebabkan variasi
prosedur pembedahan, dosis pemberian dan waktu pemberian.17 Meskipun
beberapa studi menunjukkan tidak ada efektivitas analgetik preemptif yang
diberikan. Sebenarnya satu-satunya cara untuk mencegah sensitisasi nosiseptif
adalah langsung memblokir benar-benar sinyal nyeri yang berasal dari luka bedah
dari waktu sayatan sampai akhir penyembuhan luka. Intervensi farmakologis
lainnya termasuk antihiperalgesia.32
2.4.4. Efek ketamin pada fungsi organ
Ketamin memiliki kombinasi unik dari efek kardiovaskular, biasanya
dikaitkan dengan takikardia, peningkatan tekanan darah, dan cardiac output
meningkat. Mekanisme yang tepat munculnya respon simpatik masih belum
diketahui. Namun, dengan tidak adanya kontrol otonom, ketamin memiliki efek
depresi miokard langsung, yang biasanya diganti oleh respon sentral ini. Hal ini
dimungkinkan untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan dari kardiovaskular
sehingga pemberiannya dengan memberikan ketamin sebagai kontinu infus dan
penggunaan benzodiazepin.30
Ketamin memiliki efek minimal pada pusat pernapasan, meskipun
penurunan sementara ventilasi dapat terjadi setelah pemberian bolus. Ketamin
menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga memiliki peran khusus pada
pasien asma. Ketamin meningkatkan sekresi saliva, yang dapat menghasilkan
potensial masalah pada anak-anak dengan menyebabkan obstruksi jalan nafas
atas. Meskipun refleks menelan, batuk, bersin, dan refleks muntah relatif utuh
dengan ketamin, tetapi aspirasi dapat terjadi selama pasien terbius dengan

17
Universitas Sumatera Utara

ketamin. Sering dilaporkan adanya bunyi nyaring pada penggunaan ketamin
disangkakan laringospasme. Hal ini sebenarnya terjadi karena posisi saluran
napas yang tidak bebas, dan masalah tersebut dapat dikelola hanya dengan
reposisi kepala pasien. Laringospasme dapat terjadi pada penggunaan ketamin
yang disebabkan oleh stimulasi dari pita suara oleh instrumentasi atau sekresi.
Sekret dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi glycopyrrolate.28
Emergence reaction merupakan sensasi psikis setelah penggunaan
ketamin, sensasi mengambang, mimpi atau ilusi dan sesekali delirium.33 Mimpimimpi dan ilusi biasanya menghilang pada saat sadar penuh. Namun penting
untuk mendiskusikan dengan pasien efek dari ketamin itu dan efek ini muncul 530 %.27 Emergence reaction lebih tinggi terkait dengan faktor-faktor seperti
meningkatnya usia, perempuan, pasien yang biasanya bermimpi, pemberian
intravena yang cepat dan dosis besar.28,33 Ketamin telah diamati dapat
mengaktifkan psikosis pada pasien dengan skizofrenia. Namun, belum terlihat
adanya reaksi psikotik jangka panjang pada pasien tanpa penyakit kejiwaan yang
dikenal. Premedikasi dapat diberikan untuk mengurangi emergence reaction
seperti midazolam (0,07-0,1 mg/kgBB), diazepam (0,15 - 0,3 mg/kgBB), dan
lorazepam (2-4 mg) intravena telah terbukti efektif. Insiden ini juga menurun bila
digunakan bersama dengan hipnotik sedatif lain dan anestesi umum.28
Ketamin menghasilkan apa yang disebut 'disosiatif' anestesia yang telah
digambarkan sebagai disosiasi fungsional dan elektrofisiologi antara sistem
thalamo-neokorteks dan limbik. EEG menunjukkan aktivitas beta yang dominan
dengan penghapusan irama alfa. Keadaan klinis yang unik yang dihasilkan oleh
ketamin adalah biasanya keadaan ayan di mana mata tetap terbuka dengan
memperlambat tatapan nistagmus, sedangkan refleks kornea dan cahaya tetap
utuh. Berbagai tingkat hipertonus dan sesekali tujuan gerakan yang tidak terkait
dengan stimulus yang menyakitkan dicatat di hadapan anestesi bedah yang
memadai. Studi telah menunjukkan rangsang aktivitas baik di thalamus dan sistem
limbik tanpa bukti klinis aktivitas kejang setelah pemberian ketamin. Dengan
demikian, ketamin tidak akan mungkin menyebabkan kejang pada pasien dengan

18
Universitas Sumatera Utara

gangguan kejang, dan pada kenyataannya, data eksperimen menunjukkan bahwa
ketamin memiliki antikonvulsif dan bahkan proteksi saraf.28
Efek analgesia terjadi pada konsentrasi darah lebih rendah daripada dosis
induksi atau hilangnya kesadaran. Hal ini berlaku untuk ketamin yang rasemik
dan untuk S-(+)-ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah
otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP).29 Pengaruh S-(+)-ketamin pada ICP
belum diketahui. Tanggapan dari cerebral autoregulasi ke ketamin rasemik belum
diteliti, namun S-(+)-ketamin tidak mempengaruhi autoregulasi ini. Pupil dilatasi,
nistagmus, air liur, dan lakrimasi yang umum.28
Ketamin belum terbukti memiliki efek buruk pada hati dan sistem ginjal.
Tekanan intraokular sedikit meningkat setelah pemberian ketamin. Ketamin
menghasilkan peningkatan tonus otot dan kadang-kadang kejang otot, meskipun
telah digunakan dengan aman pada miopati dan hipertermia ganas. Efek variabel
pada kontraksi uterus serta emesis, ruam sementara, dan agitasi.28
2.4.5. Penggunaan klinis ketamin
Solusi rasemik komersial ketamin adalah campuran R (-) dan S (+) isomer
dalam jumlah yang sediaan, tersedia sebagai 10, 50, dan 100 mg/ml dengan
pengawet, benzathonium hidroklorida. Isomer optik S-(+)-ketamin tersedia dalam
5 dan 25 mg/ml (tidak berlisensi di Inggris, saat ini). Ketamin dapat diberikan iv,
im, oral, rektal, dan sediaan bebas pengawet epidural. Dosis tergantung pada rute
pemberian dan efek terapi yang diinginkan. Benzodiazepine dapat diberikan baik
secara oral (diazepam 10-30 mg, lorazepam 2-5 mg) 60-90 menit sebelum induksi
atau dosis yang lebih kecil intravena segera sebelum induksi.28 Induksi anestesi
dengan dosis 0.5–1.5 mg/kgBB intravena atau 4–10 mg/kgBB intramuskular.
Dosis pemeliharaan untuk anestesi 10-30 µg/kgBB/menit intravena. Sedasi
analgesia 0.2–0.75 mg/kgBB intravena atau 2–4 mg/kgbb intramuskular diikuti
infus berkala 5–20 mg/kgBB/menit.28
Ketamin dapat digunakan untuk sedasi sekaligus analgesia pada prosedurprosedur singkat. Munculnya reaksi pada anak-anak yang kurang intens, sehingga
19
Universitas Sumatera Utara

dapat digunakan untuk obat penenang dan anestesi umum dalam prosedur seperti
kateterisasi jantung, radioterapi, radiologi investigasi, dan luka bakar. Sayangnya,
tidak ada informasi mengenai berapa kali ketamin dapat digunakan secara aman,
meskipun sering digunakan berulang kali pada individu yang sama . Umumnya,
dosis subanaesthetic diperlukan untuk prosedur minor. Ketamin sering
dikombinasikan dengan premedikasi (misalnya benzodiazepin) untuk mengurangi
kebutuhan dosis dan reaksi munculnya emergence reaction , dan antisialogogue
(misalnya glycopyrrolate) untuk mengurangi sekresi saliva. Ketamin dapat
digunakan sebagai suplemen (i.v. atau i.m) selama anestesi regional. Hal ini juga
dapat diberikan melalui rute epidural sebagai tambahan untuk anestesi lokal untuk
memperpanjang durasi analgesia. Dosis rendah ketamin juga telah digunakan
bersama dengan propofol untuk meningkatkan kualitas sedasi. NMDA antagonis
mencegah sensitisasi sentral terhadap rangsangan yang menyakitkan. Ketamin
adalah satu-satunya NMDA antagonis, penelitian telah menunjukkan bahwa dosis
kecil ketamin dapat megurangi kebutuhan analgetik opioid.28
Ketamin telah banyak digunakan pada unit luka bakar untuk pembiusan
terutama untuk pencucian luka dan prosedur pencangkokan kulit pada anak-anak
dan orang dewasa. Ketamin dosis rendah (1,5-2 mg/kgBB/im) tersebut tampaknya
memiliki mula kerja yang cepat dan menghasilkan operasi yang baik meliputi
amnesia, analgesia dan memuaskan dengan pemulihan yang cepat. Namun hatihati dengan reaksi intoleran pada pasien dengan penggunaan ketamin berulang.
Pasien dengan gangguan kardiorespirasi (kecuali penyakit jantung iskemik)
merupakan kandidat utama untuk diberikan ketamin. Pengalaman yang luas
dengan ketamin pada anak dengan katerisasi jantung telah menunjukkan
efektifitas penggunaan ketamin dengan kejadian aritmia yang kurang dari anestesi
umum lainnya. Ketamin mungkin berbahaya pada pasien dengan peningkatan
tahanan di ventrikel kanan. Pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif,
ketamin (rasemik) dapat berguna karena menghasilkan bronkodilatasi dan
analgesia mendalam yang memungkinkan peningkatan inspirasi oksigen. Ketamin
jika dikombinasikan dengan benzodiazepin atau benzodiazepin dengan opioid,

20
Universitas Sumatera Utara

melemahkan takikardia yang tidak diinginkan, hipertensi dan juga reaksi
psychomimetic pascabedah. Teknik menghasilkan gangguan hemodinamik
minimal, analgesia yang mendalam, amnesia dan pemulihan yang baik.28
Ketamin bebas pengawet telah ditambahkan ke bupivacaine untuk
meningkatkan durasi analgesia, tanpa mempengaruhi intensitas analgesik.35 Minat
penggunaan ketamin ini tumbuh dan dalam survei terbaru, 32% dari anestesi
pediatrik Inggris melaporkan penggunaan ketamin epidural.28
Secara historis, telah diyakini bahwa ketamin merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan peningkatan ICP, namun laporan dari saraf dan bahkan efek
neuroregeneratif telah dihasilkan dari penelitian ini. Ketamin dapat mencegah
influks ion kalsium abnormal atau glutamat melalui interaksi dengan reseptor
NMDA. Peningkatan CBF setelah pemberian ketamin kurang dari peningkatan
CMRO2. S-(+)-ketamin mempertahankan metabolisme serebral sebagian besar
wilayah otak (percobaan studi).28
Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel vaskular, penelitian
telah menunjukkan penurunan yang bermakna dalam aktivasi leukosit selama
hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin proinflamasi dalam
darah seluruh manusia in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda
pada hati babi, S-(+)-ketamin efektif dalam mengurangi adhesi neutrofil,
sedangkan R-(-)-ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran
dari pembuluh darah koroner sekitarnya jaringan.28
2.5. Klasifikasi nyeri
Kejadian nyeri unik pada setiap individual bahkan jika cedera fisik
tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi
dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektivitas
nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri.
Salah satu pendekatan dengan mengklasifikasi nyeri berdasarkan durasi (akut,
kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (pasca
pembedahan, kanker).24
21
Universitas Sumatera Utara

2.5.1

Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang

terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas stimulus istirahat (semula).
Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai 7 hari dan diakibatkan
langsung adanya kerusakan jaringan misalnya pembedahan. Sedangkan nyeri
kronis bisa dikategorikan sebagai malignant atau nonmalignant yang dialami
pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan
patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker,
end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik mungkin mempunyai
baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignant (nyeri
punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai patologis yang
terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn
pada spinal cord) membuat pengobatan menjadi lebih sulit.24 Pasien dengan nyeri
akut dapat memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi,
tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul
tetapi nyeri kronik bisa tanpa disertai adanya respons otonom.9 Nyeri kronik dapat
berupa hiperalgesia dan allodynia yang pengobatan untuk nyeri ini sangat sulit
sehingga, penanganan untuk nyeri akut harus baik untuk mencegah timbulnya
nyeri kronik.23
2.5.2

Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri

nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik
dan suhu yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri).21,22 Nyeri neuropatik
merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan jaringan saraf pada saraf
perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer dan biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Dampak
dari cedera serabut saraf termasuk perubahan dalam fungsi saraf baik di lokasi

22
Universitas Sumatera Utara

cedera dan daerah sekitar cedera. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering
memberi respons yang kurang baik terhadap analgesik opioid.23
2.5.3

Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar, lokalisasi yang difus dan mengarah ke

daerah permukaan tubuh, jauh dari tempat nyeri, namun berasal dari dermatom
yang sama dengan asal nyeri.23,24,35 Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti
kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan
gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan
distensi uterus pada tahap pertama persalinan24. Nyeri viseral, seperti nyeri
somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang
membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum.
Nyeri viseral karena invasi keganasan dari organ lunak dan keras sering
digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak
terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena (Ashburn dan Lipman, 1993)25,35
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme
otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau
ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan
mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah karena distensi berlebih dari
jaringan.23,24,34 Impuls nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks
menjalar melalui serat aferen

yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf

simpatis, dimana impuls dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan
glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls
nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.
Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan
pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.24

23
Universitas Sumatera Utara

2.5.4

Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah

dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri sayatan
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.23,24
Nyeri somatik biasanya lebih akut, intens, tajam, lokal, dan diperburuk oleh
gerakan.36
2.6. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri pascabedah yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini.24
2.6.1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale24,34,37
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 5. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

2.6.2. Verbal Rating Scale (VRS)24,34,37
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima
poin; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

24
Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. Verbal Rating Scale

2.6.3. Numerical Rating Scale (NRS)27,34,37
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka
5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 7. Numerical Rating Scale

2.6.4. Visual Analogue Scale (VAS)24,34
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak
ada nyeri dan akhir
garis (10) menandakan
nyeri hebat.
J
Gambar 8. Visual Analogue Scale

25
Universitas Sumatera Utara

Pasien

diminta

untuk

membuat

tanda

di

garis

tersebut

untuk

mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih
gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan
dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk
karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis
kualitasnya lebih

baik,

dimana juga penggunaannya mudah

hanya

menggunakan beberapa kata sehingga kosakata tidak menjadi permasalahan.
Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan
menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena
dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm
dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target
untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju
berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat
analgesia penyelamat (rescue analgetic).34

26
Universitas Sumatera Utara

2.7. Kerangka Teori
Suhu, Kimia, Tekanan
Ketamin

Ketamin
Kerusakan Jaringan

Glutamat

NMDA

Substansi P

IL-6, TNF α

Kolagenase

Bradikinin

Histamin

Serotonin

Prostaglandin

Transduksi
Transmisi

Neuron Aδ, Neuron C

Modulasi

Sistem Opioid (Enkephalin
& Endorfin)

Obat Analgesia

Sistem
Noradrenergic

Persepsi

Umur

Sistem
Serotonergic

Jenis Pembedahan
Lama Pembedahan

Nyeri Paska Bedah
Jenis Kelamin

Obat Anestesi

Pendidikan

Faktor Psikologis
Gambar 9 : Kerangka Teori

27
Universitas Sumatera Utara

2.8. Kerangka Konsep

Ketamin
0,5 mg/kgBB/IV

Anestesi
Umum

Waktu Permintaan
Analgesia Pertama
Efek Samping

Ketamin
1 mg/kgBB/IV

= Variabel Bebas
= Variabel Tergantung

Gambar 10 : Kerangka Konsep

28
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Perbandingan Efek Koinduksi Ketamin 0,3 MG/KGBB IV Dengan Midazolam 0,03 MG/KGBB IV Terhadap Pengurangan Dosis Induksi Propofol

1 74 94

Perbandingan Efek Analgesia Parasetamol 15 mg/kgBB Intravena Dengan Metamizol 15 mg/kgBB Intravena Sebagai Preventif Analgesia Pada Pembedahan Pasien Anak Dengan Anestesi Umum

2 63 94

Perbandingan Ketamin 0,5 MG/KGBB Intravena Dengan Ketamin 0,7 MG/KGBB Intravena Dalam Pencegahan Hipotensi Akibat Induksi Propofol 2 MG/KGBB Intravena Pada Anestesi Umum

2 53 97

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 15

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

1 1 2

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 7

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 3

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

1 2 15

Perbandingan Efek Koinduksi Ketamin 0,3 MG/KGBB IV Dengan Midazolam 0,03 MG/KGBB IV Terhadap Pengurangan Dosis Induksi Propofol

0 1 13

Perbandingan Efek Koinduksi Ketamin 0,3 MG/KGBB IV Dengan Midazolam 0,03 MG/KGBB IV Terhadap Pengurangan Dosis Induksi Propofol

0 0 15