Menemukan Model Pemerintahan Daerah yan

“Menemukan Model Pemerintahan Daerah yang Ideal di Indonesia; Refleksi Perjalanan Panjang
Pemerintahan Daerah dari Waktu ke Waktu”
Oleh : M. Fikri Cahyadi
(Penulis Buku “Review dan Pembahasan UU No.23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah”)
Sebelum Penulis menyajikan diskusi Platos Institute dengan format acara Bedah buku pada
kesempatan yang berbahagia ini, izinkan penulis menyampaikan bahwa buku yang akan dibedah kali ini
adalah buku yang berjudul “Review dan Pembahasan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah di Indonesia”. Buku ini adalah karangan Penulis sendiri yang selesai pada bulan
Agustus yang lalu. Melalui Bapak Aristo Munandar, Ketua IKAPTK Sumatera Barat yang juga
merupakan salah satu pendiri SMA Negeri Agam Cendekia tempat Penulis menempuh pendidikan
sebelumnya, buku ini telah menjadi salah satu koleksi buku yang dimiliki sebagian besar kepala daerah
dan wakil kepala daerah di Sumatera Barat, dan tentunya juga dimiliki oleh beberapa Purna Praja yang
ada disana.
Undang-undang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang
untuk membangun format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satu upaya menjaga keutuhan NKRI, struktur pemerintahan harus dirancang sedemikian rupa. Ide itu berangkat dari
kesatuan, sedangkan kemajemukan masyarakat daerah hanya sekedar diakomodasi.
Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau
sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Dulu Undang-undang
yang digunakan adalah UU No. 5 tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999, dan yang terakhir digunakan adalah
UU No. 32 tahun 2004, sebelum berlakunya UU No. 23 tahun 2014 seperti saat ini. Sebelum UU No.5 tahun 1974, ada UU No.18 tahun


1965, Penpres No. 6 tahun 1959, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 22 tahun 1948, dan yang paling pertama diberlakukan adalah UU No.
1 tahun 1945.
Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa negara Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas
Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Di era reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang mempercepat penyaluran aspirasi rakyat di daerah, namun
harus tetap berada di bawah pengawasan Pemerintah Pusat. Hal ini sangat diperlukan karena mulai munculnya ancaman-ancaman
terhadap keutuhan NKRI, yang ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kita tentunya bisa melihat hubungan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerahpada tataran implementasi Bhinneka
Tunggal Ika yang artinya keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman, bukan berbeda-beda tapi satu jua sebagaimana
dipahami selama ini atau unus el ubrum yang merupakan makna lambang negara Amerika Serikat. Istilah Bhinneka Tunggal Ika
diperjelas dengan meminjam istilah Bung Karno “Bhina Ika, Tunggal Ika” dalam pidato kenegaraannya pada 22 Juli 1958 ketika
menjelaskan Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ibarat sebuah Tim Sepakbola, pemerintah
daerah diibaratkan sebagai pemain sepakbola yang diberikan keleluasaan dalam mengembangkan skill dan menorehkan gol demi
prestasi pribadi, tetapi tetap kepentingan dan kemenangan tim atau dalam pemerintahan kepentingan dan tujuan nasional dululah yang
diutamakan dan didahulukan.
Perjalanan panjang pemerintahan daerah dimulai dari pemerintah daerah yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda

melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903,
seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan.

Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut
memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan
beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial.
Pasca kemerdekaan, perubahan kebijakan terhadap pemerintahan daerah dalam hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan
dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan
kebijakan yang agak terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa dirubah dengan
tertutup, otoritarisme, atau malah totaliterisme.
Hal ini sejalan yang dikemukakan Stefaan Walgrave bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting, kondisi
penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan dari
agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing daerah, maka kemudian
pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU No. 22 tahun 1999. Semangat
perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang
sangat sentralisitik dianggap gagal dan cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan
Republik Indonesi (NKRI).
Selain persoalan agenda setting seperti dikemukan diatas, Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan
kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999 melihat lebih lengkap menguraikan variabel perubahan kebijakan dalam sebuah negara.
Bahwa ada empat variabel utama dalam perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingankepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu.

Empat variabel ini dapat membantu melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di Indonesia. Ideide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa
Indonesia lebih demokratis. Hal ini dilihat dari munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh Merdeka, Republik Maluku
Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat. Varibel interest (kepentinga-kepentingan) juga terasa dalam perubahan kebijakan

pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami masing-masing
provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan federalisme. Sementara
institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. Khusus individuindividu, khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isuisu federalisme tidak semakin luas diteriakkan di daerah.
Adanya reformasi pada tahun 1998 telah melahirkan UU No. 22 Tahun 1999, yang merupakan titik balik berubahnya model
pemerintahan daerah di Indonesia menjadi desentralisasi pemerintahan yang sangat besar dalam wujud otonomi daerah.Penyempurnaan
dilakukan pada pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 lalu disempurnakan lagi menjadi UU No. 23 Tahun 2014.
UU No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang nantinya akan
dijadikan acuan dalam bertugas di pemerintah daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut memiliki kesamaan dengan UU No.
32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal yang mengalami perubahan.Kemudian ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU
Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur
bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah .
Pada UU No. 23 tahun 2014, masih menerapkan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi
menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (Pasal 9). Urusan pemerintah absolut
adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Selain persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada
perbedaan yuridis.Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU
sebelumnya.Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah.Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perppu No 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah.Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut
dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan gubernur dan bupati/walikota
Hal ini dikarenakan gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.Namun, secara sepihak dikooptasi dengan
menempatkan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit
antara”.Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada
desentralisasi. Dengan demikian, gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya
yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan bupati dan walikota yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya
sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau asas desentralisasi.
Kemudian, polemik baru muncul ketika Pakar Otonomi Daerah, Prof. Ryaas Rasyid meminta Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review UU No. 23 Tahun 2014 yang diajukan Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh
Indonesia (APKSI). Sebab UU itu dinilai telah merenggut otonomi daerah serta mengingkari cita-cita reformasi. “Dengan hadirnya UU
Nomor 23 Tahun 2014 tersebut, otonomi daerah seluas-luasnya yang telah ditetapkan sejak era reformasi, kini justru masih diatur oleh
Pemerintah Pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak dapat bergerak mengembangkan pembangunan wilayahnya, mati rasa dan ide

karena adanya pembatasan kewenangan dalam pengelolaan anggaran belanja daerah. Penerapan Undang-undang tersebut membatasi
pemerintah daerah saat ini, Padahal hakikat otonomi itu menjadikan masyarakat yang sadar demokrasi sehingga menciptakan civil
society. Tapi kenapa sekarang justru membatasi daerah untuk mengembangkan diri " kata Ryaas di Mahkamah Konstitusi beberapa
waktu yang lalu.
Belakangan juga tersiar bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyoroti banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus
hukum. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dari 542 daerah di Indonesia ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik
di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan data Kementerian Dalam Negeri lainnya juga

menunjukkan bahwa 94% dari kepala daerah pecah kongsi dengan wakil kepala daerahnya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
pemerintahan daerah kita belum matang dan masih mengedepankan syahwat politik perorangan maupun kelompok. Tidak berorientasi
kepada kesejahteraan masyarakat daerah.
Jadi, model pemerintahan daerah seperti apakah yang harus diterapkan di Indonesia??, Penting bagi kita sebagai calon pamong
praja yang nantinya hidup melalang buana di dunia pemerintahan daerah menemukan arah dan masa depan pemerintahan daerah di
Indonesia. Kita memang dituntut untuk memikirkan apa yang harus dilakukan dan apa solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi dalam dunia pemerintahan daerah berdasarkan fakta dan realita yang bisa kita saksikan bersama. Permasalahan ini memeng harus
ada titik terangnya, sehingga perjalan panjang pemerintahan daerah tersebut lebih berarti dan berdampak positif serta mampu
menyejahterakan masyarakat dimanapun berada, dan demi mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Tks
Biodata Penulis Buku
Nama


: M. FIKRI CAHYADI

NPP.

: 24.0214

Tempat/Tgl.Lahir

: Pariaman, 7 Agustus 1995

Prodi, Fakultas

: Manajemen Pembangunan, Manajemen Pemerintahan

Hobi

: Membaca, Menulis, Jalan-jalan

Hp, E-Mail, Instagram,


: 085271688579, fikry_cy001@yahoo.com, @fikricahyadi

Id Line, dan Pin BB

fikricahyadi, 524cdbf8

A. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 29 Kp. Baru Pariaman (2001-2007)
2. SMP N 1 Kota Pariaman (2007-2010)
3. SMA Negeri Agam Cendekia (Taruna Nusantara Sumbar) (2010-2013)
4. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) (2013-Sekarang)

B. Pengalaman Organisasi Kepemudaan
1. Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Kota Pariaman/Kab. Pdg Pariaman (2010-2012)
2. Ketua Himpunan Siswa Tangkas Fisika (HSTF) Sumatera Barat (2009-2013)
3. Anggota Pramuka Kwartir Daerah (Kwarda Sumbar) (2013-sekarang)
C. Pengalaman Kepemimpinan selama di IPDN
1. Ketua Wisma Nusantara 18 Bawah (Muda Praja, 2013-2014)
2. Wa.Kakon/Sekretaris Kontingen Sumatera Barat Angkatan XXIV (2013-Sekarang)
3. Ketua Kelompok 38 PL 1 (Muda Praja) di Pemkab. Ciamis (2014)

4. Ketua Kelompok 7 PL 2 (Madya Praja) di Pemko. Tasikmalaya (2015)
5. Ketua Kelompok SKPD SETDA PL 3 (Nindya Praja) di Pemkab. Serang (2016)
6. Ketua Kelas G-S1/Prodi M. Pembangunan Angkatan XXIV (2014-Sekarang)
7. Ketua Angkatan XXIV Kampus IPDN Jakarta (2015)

A. Prestasi Yang pernah diraih
1. Juara I Lomba Karya Tulis Kreatif dan Jurnalis Award (2010)
2. Naskah terbaik Karya Tulis KGTK Universitas Indonesia (2011)

3.
4.
5.
6.
7.

Juara II Lomba Karya Tulis Essay Tk.Nasional UKM­ITB (2012)
Juara I Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika (2008), (2009), (2012)
Anggota Tim Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika (2008­2012)
Finalis Debat Nasional di Universitas Brawijaya, Malang (2015)
Juara II Lomba Inovasi dan Pengembangan Kapasitas Daerah Tk. Nasional 

Di Kab. Pandeglang, Provinsi Banten (2016)

B. Pengalaman Akademis
1. Narasumber pada Acara Forum Group Discussion (FGD) Pascasarjana IPDN 
bersama Prof. Prathivandi Anand (Bradford University, UK) (2016)
2. Narasumber pada Acara Rapat Penyusunan Program Prioritas Pembangunan 
Kab.Padang Pariaman, Sumatera Barat (2017)
3. Tim Diskusi Penyusunan Permendagri tentang tata cara perencanaan, pengendalian 
dan evaluasi pembangunan daerah (amanat UU No.23/2014 Pasal 277) oleh 
Ditjen Bina Pembangunan Daerah, KEMENDAGRI (2017)

Dapatkan koleksi Buku lainnya :

TERIMA KASIH TELAH MENJADI PESERTA PADA ACARA BEDAH BUKU INI