Meningkatkan sikap positif siswa Widayat

MENINGKATKAN SIKAP POSITIF SISWA TERHADAP MATEMATIKA
MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)
Oleh: Widayat Umar
A. Pendahuluan
Berbicara mengenai proses pendidikan khususnya proses pembelajaran dan
pengajaran di sekolah seringkali membuat kita kecewa, apalagi bila dikaitkan dengan
pemahaman siswa terhadap materi ajar. Walaupun seringkali kita mengetahui bahwa
banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi
yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami atau
mengerti secara mendalam pengetahuan yang telah mereka miliki tersebut. Mursell
dan Nasution (2006: 2) menyatakan bahwa biasanya hasil mengajar yang berupa katakata yang dihafal segera hilang. Hasil belajar serupa itu tidak meresap ke dalam
pribadi anak, tidak membentuk perkembangan mental anak. Guru yang memberi
hasil-hasil yang demikian tidak mengajar dengan sukses.
Hal demikian juga terjadi pada proses pembelajaran matematika di sekolah.
Selama mengajar sering dijumpai beberapa ungkapan siswa menyatakan bahwa
matematika sulit dan tidak bermakna dalam kehidupannya. Mereka belajar
matematika hanya belajar rumus, simbol-simbol yang tidak bermakna dan
menjemukan. Seolah pembelajaran matematika di sekolah tidak ada manfaatnya
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai pernyataan Marshall (2003: 1) bahwa
matematika itu sulit dikarenakan merupakan konsep-konsep tingkat tinggi, notasinotasi abstrak yang sulit dipahami, serta penggunaan berbagai simbol. Dalam keadaan

seperti itu dapat menyebabkan siswa tidak memiliki sikap positif terhadap matematika
dan yang tumbuh justru sikap negatif seperti menjemukan, menakutkan, dan
sebagainya sehingga menyebabkan hasil belajar matematika mereka rendah. Namun
apabila dalam mengikuti kegiatan belajar, siswa dapat memperoleh makna dari materi
yang dipelajari maka dimungkinkan akan mendorong siswa untuk memiliki semangat
belajar.
Johnson (2002: 43) menyatakan bahwa: ”When young people can connect the
content of academic subject such as mathematics, science, or history with their own
experience, they discover meaning, and meaning gives them a reason for learning”.
Maksudnya ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti
matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah dengan pengalaman mereka sendiri,
mereka menemukan makna, dan makna memberi alasan mereka untuk belajar.
Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya agar proses pembelajaran
matematika di sekolah dapat bermakna bagi siswa. Ratna Wilis Dahar (1996: 112)
menyatakan sesuai teori belajar dari Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu
proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang siswa. Pembelajaran akan bermakna apabila siswa
“mengalami” apa yang dipelajarinya. Peserta didik butuh belajar konsep-konsep
matematika apabila mereka merasa bahwa apa yang mereka pelajari akan bermanfaat
di tempat mereka bekerja di lingkungan di mana mereka hidup. Dalam hal ini guru

harus menyadari bahwa program pembelajaran bukanlah sekedar rentetan topik atau
pokok bahasan, tetapi sesuatu yang harus dipahami oleh peserta didik dan dapat
dipergunakan untuk kehidupannya.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara yang dapat digunakan
menyampaikan berbagai konsep matematika, agar konsep tersebut bermakna bagi

1

siswa, sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat konsep tersebut lebih lama.
Dengan mengingat konsep lebih lama akan memberikan kontribusi yang besar
terhadap prestasi hasil belajar siswa. Bagaimana seorang guru matematika dapat
berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang
alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari.
Bagaimana guru matematika dapat membuka wawasan berfikir yang beragam dari
seluruh siswa, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep matematika dan
cara mengaitkannya dengan kehidupan nyata. Dengan cara itu akan menunbuhkan
bahwa sikap positif siswa terhadap matematika karena bermakna dalam
kehidupannya. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh guru
matematika setiap harinya. Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan berbagai
usaha dari para guru matematika untuk dapat mengaitkan setiap konsep matematika

dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu
alternatif pendekatan pembelajaran yang perlu dilaksanakan oleh guru. Berns &
Erickson (2001: 2) mendefinisikan bahwa CTL adalah sebuah konsep belajar dan
mengajar yang membantu para guru menghubungkan isi dari materi pelajaran dengan
situasi dunia nyata, dan memotivasi para siswa untuk dapat mengaitkan antara
pengetahuannya dengan situasi dunia nyata mereka. Dengan CTL diharapkan guru
mampu mengaitkan setiap materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari
siswa termasuk dalam pembelajaran matematika.
Johnson (2002: 3) menyatakan bahwa semakin banyak keterkaitan yang
ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi
mereka. Semakin mampu para siswa mengaitkan materi pelajaran mereka dengan
konteks yang ada, semakin banyak makna yang akan mereka dapatkan dari pelajaran
tersebut. Semakin mampu mengerti makna dari pengetahuan dan ketrampilan pada
mata pelajaran yang sedang dipelajari akan semakin menuntun pada penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan tersebut.
Dengan cara itu diharapkan dapat menumbuhkan sikap positif siswa dalam
menghargai matematika yang akhirnya kompetensi dan prestasi belajar matematika
siswa dapat meningkat. Dengan tumbuhnya sikap positif terhadap matematika

tersebut, dalam diri siswa akan memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam menyelesaikan
masalah.
B. Hakikat Pembelajaran Matematika
Belajar merupakan kebutuhan yang penting bagi setiap orang, sehingga istilah
belajar sering menjadi pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak para ahli
psikologi yang telah merumuskan pengertian belajar. Thompson menyatakan bahwa
belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil dari
pengalaman (Nana Syaodih S., 2004: 156). Sedangkan Slameto (2003: 2)
mendefinisikan, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Adapun Burton
(Uzer Usman, 2002: 5) menyatakan: “learning is a change in the individual due to
instruction of that individual and his environment, wich fells a need and makes him
more capable of dealing adequately with his environment”. Maksudnya, bahwa
seseorang yang telah mengalami belajar akan mengalami perubahan tingkah laku,
baik aspek pengetahuannya, ketrampilannya, maupun aspek sikapnya.

2


Sedangkan pembelajaran mengandung arti interaksi belajar dan mengajar.
Pembelajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara guru dan
siswa, di antara keduanya terdapat hubungan komunikasi atau interaksi. Oemar
Hamalik (2003: 54) menyatakan bahwa guru mengajar di satu pihak dan siswa belajar,
keduanya menunjukkan aktivitas yang seimbang hanya berbeda perannya. Suherman,
dkk (2003: 7) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan upaya penataan
lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang
secara optimal. Fortana menyatakan, dengan pembelajaran akan menimbulkan
perubahan tingkah laku pada individu siswa yang relatif tetap sebagai hasil dari
pengalamannya dalam belajar (Suherman, 2003: 7).
Perubahan sebagai hasil belajar ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap, tingkah lakunya, ketrampilannya,
kecakapannya, daya reaksinya, daya penerimaannya, dan aspek lainnya yang ada pada
individu tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam melaksanakan pembelajaran,
seorang guru harus memiliki tujuan-tujuan pembelajaran yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri siswa baik pada aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dalam hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Reys, dkk (1998:1) bahwa dalam
setiap melaksanakan proses pembelajaran, diharapkan setiap guru matematika
hendaknya memiliki tujuan sebagai berikut: 1) agar setiap siswa dapat menguasai isi
dari matematika yang sedang dipelajari baik yang berupa fakta, konsep, dan

keterampialan; 2) diharapkan siswa dapat menerapkan ide-ide matematika untuk
menyelesaian masalah; dan 3) siswa memiliki sikap positif terhadap matematika.
Countryman (1992: 2) juga menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran
matematika dapat ditumbuhkan sikap aktif, kreatif, dan responsip terhadap keadaan
dan perkembangan dunia. Untuk mencapai hal tersebut, maka dalam pembelajaran
matematika, guru harus dapat menciptakan situasi dimana siswa tidak hanya
menghafal konsep dan rumus, namun mampu mengkonstruksi pengetahuannya secara
mandiri. Hal ini sesuai pendapat Cobb (Suherman dkk, 2003: 76) bahwa belajar
matematika merupakan sutau proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan matematika.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa dalam
proses pembelajaran matematika siswa harus dapat melakukan interpretasi, yaitu
melihat hubungan di antara konsep-konsep yang sedang dipelajari, melihat makna
dari hubungan tersebut dan menghubungkannya dengan situasi atau konteks yang
lebih luas. Dengan cara itu, maka akan dapat menumbuhkan sikap positif siswa
terhadap matematika, karena mereka merasa bahwa ternyata matematika sangat
bermakna dan bermanfaat dalam kehidupannya.
C. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) atau Kontekstual
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti memiliki masalah, dan masalah
ini bermacam-macam di antaranya meliputi masalah sosial/kemasyarakatan, ekonomi,

perencanaan, dan sebagainya baik yang berkaitan dengan lingkungan keluarga,
maupun masyarakat luas. Untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah tersebut
manusia harus mengawalinya dengan belajar. Dengan belajar manusia akan memiliki
pengetahuan dan keterampilan tertentu sesuai dengan apa yang dipelajari. Dalam
belajar, manusia harus melalui beberapa tahap. Woolfolk & Mc Cune-Nicolich (1984:
196) menyatakan bahwa tahap awal manusia dalam belajar adalah memberikan
persepsi atau pengakuan berbagai kejadian di dunia dengan menangkapnya melalui
penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pemberian makna terhadap kejadian
tersebut.

3

Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan dalam setiap pembelajaran guru
dapat mengawalinya dengan menyajikan berbagai masalah atau kejadian di dunia
nyata. Dengan adanya masalah yang dihadirkan ke ruang kelas diharapkan siswa
dapat mengoptimalkan panca inderanya baik penglihatan, pendengaran, penciuman,
dan sebagainya untuk dapat memahami materi yang sedang dipelajari. Dengan cara
ini siswa diharapkan dapat memaknai setiap isi, konsep, fakta, dan ketrampilan yang
dipelajari sehingga dapat membantu mereka dalam menyelesaian masalah sehari-hari
yang mereka hadapi. Konsep pembelajaran yang sejalan dengan kebutuhan ini adalah

pendekatan kontekstual.
Masnur Muslich (2007: 41) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan konsep itu diharapkan siswa mampu mengkonstruk pengetahuan dan
ketrampilannya sendiri sesuai materi yang sedang dipelajarinya. Dengan demikian
hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berfikir kritis dan melaksanakan
observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya.
Adapun dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual,
guru harus memahami komponen utama yang harus ada dalam pembelajaran
kontekstual. Menurut Depdiknas (2002: 10) komponen utama pembelajaran
kontekstual ada tujuh yaitu: 1) konstruktivism, 2) inquiry, 3) questioning, 4) learning
community, 5) modeling, 6) reflection, dan 7) authentic assessment.
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi)
pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak

sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah hanya seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu
dibiasakan untuk melakukan pemecahan masalah, menemukan sesuatu yang berguna
bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pendekatan
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk
itu dalam melaksanakan pembelajaran, menurut Conny Semiawan, dkk (1985: 12)
para guru tidak perlu menjejalkan seluruh informasi ke dalam benak anak, karena
pada hakekatnya pada diri anak sudah terdapat potensi untuk menemukan informasi
tersebut, guru cukup memberikan kesempatan. Dengan demikian pengetahuan dan
keterampilan siswa adalah jerih payahnya mencari bukan dari hasil mengingat
seperangkat fakta. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
Bertanya (questioning) adalah strategi utama dalam pembelajaran kontekstual.
Bertanya dalam proses pembelajaran dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan siswa. Bertanya dapat timbul dari siswa
kepada guru, guru kepada siswa, atau siswa kepada nara sumber. Guru yang
memberikan pertanyaan pada siswa hendaknya pertanyaan yang mampu merangsang

daya nalar siswa untuk berfikir. Polya (1973: 20) menyatakan, pertanyaan yang

4

diajukan kepada siswa hendaknya dimulai dari pertanyaan yang umum dengan
membuat daftar pertanyaan, selanjutkan secara bertahap pertanyaan tersebut dirinci
lebih spesifik sampai mendatangkan respon dari pemikiran siswa.
Sementara Uzer Usman ((2002: 74) menyatakan kegiatan bertanya mempunyai
peranan penting dalam proses belajar mengajar dan akan memberikan dampak positif
sebagai berikut.
1.
Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar
mengajar.
2.
Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa
terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi atau dibicarakan.
3.
Mengembangkan pola dan cara belajar aktif dari siswa
sebab berfikir itu sendiri, sesungguhnya bertanya.
4.

Menuntun proses berfikir siswa sebab pertanyaan yang
baik akan membantu siswa agar dapat menentukan jawaban yang baik.
5. Memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas.
Dalam konsep masyarakat belajar (learning community), hasil pembelajaran
siswa diperoleh melalui hasil kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh
dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu dan yang belum tahu.
Dalam kelas CTL, kegiatan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok-kelompok
belajar. Siswa yang pandai mengajari yang lemah dan yang tahu memberi tahu yang
belum tahu. Masyarakat belajar dapat tercipta apabila ada proses komunikasi dua
arah. Kunci dapat terwujudnya masyarakat belajar menurut Ostrow (1995: 5) adalah
saling menghormati di antara siswa tersebut. Dalam masyarakat belajar, anggota
kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar. Siswa
yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh
teman bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman bicaranya.
Hal ini akan terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada
pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling
tahu, dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa
setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda
yang perlu dipelajari. Dalam keadaan seperti ini diharapkan setiap orang mau belajar
dari orang lain, karena merasa orang lain itu juga merupakan sumber belajar.
Pemodelan (modelling) dalam pendekatan kontekstual maksudnya, dalam
sebuah pembelajaran hendaknya ada model yang ditiru. Model yang dimaksud dapat
berupa pemberian contoh tentang, misalnya, cara mengoperasikan sesuatu,
menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu peanmpilan. Pemodelan pada
dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana
guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru
inginkan agar siswa-siswanya melakukan.
Nurhadi, dkk (2004: 50) menyatakan dalam pembelajaran kontekstual guru
bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang
siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara menghitung volume air
yang berada di suatu wadah berbentuk tabung. Siswa ‘contoh’ tersebut dikatakan
sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai ‘standar’
kompetensi yang harus dicapai. Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang
arsitek sekali waktu dihadirkan di kelas untuk menjadi ‘model’ cara membuat maket
atau miniatur sebuah bangunan. Model seperti ini untuk membantu siswa menguasai
kompetensi perbandingan.

5

Refleksi (reflection) adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berfikir ke belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian atau aktivitas atau pengetahuan yang baru
diterima. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang
apa yang baru dipelajarinya.
Masnur menyatakan (2007: 46) refleksi merupakan perenungan kembali atas
pengetahuan yang baru dipelajari. Dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari,
menelaah dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi
dalam pembelajaran, bahkan memberikan masuka atau saran jika diperlukan, siswa
akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya menrupakan pengayaan
atau bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran
seperti ini penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap
pengetahuan-pengetahuan baru.
Penilaian Otentik (Authentic Assesment) adalah proses pengumpulan berbagai
data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Authentic
Assesment merupakan prosesdur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Assesment
yang dilakukan dalam proses pembelajaran (Webb & Coxford, 1993: 3-4) hendaknya
memenuhi lima ciri sebagai berikut: 1) menumbuhkan situasi aktif siswa seperti
diskusi kelas; 2) menumbuhkan respons siswa yang berupa proses berfikir
menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya; 3)menumbuhkan
interpretasi baik dari guru maupun dari siswa sendiri yang berupa penilaian diri; 4)
menumbuhkan makna setelah melakukan interpretasi; dan
5) memberikan
kesimpulan terhadap hal-hal yang baru saja dipelajari.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran
kontekstual peran guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Adapun salah
satu tujuan dari pelaksanaan pembelajaran kontektual adalah membekali siswa dengan
pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransfer dari suatu
permasalahan ke permasalahan yang lain, dari suatu konteks ke konteks yang lain.
Untuk mencapai tujuan itu dalam pembelajaran kontekstual, guru harus banyak
berurusan dengan berbagai strategi dari pada memberi informasi, tugas guru
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu
yang baru bagi anggota kelas atau siswa. Sesuatu yang baru datang dari menemukan
sendiri bukan dari apa yang dikatakan guru.
D. Sikap Siswa terhadap Matematika
Mueller ( 1986: 4) mendefinisikan bahwa sikap adalah:1) pengaruh atau
penolakan; 2) penilaian; 3) suka atau tidak suka, atau 4) kepositifan atau kenegatifan
terhadap suatu objek psikologis. Hal ini senada dengan pernyataan Cronbach (1954:
325) bahwa: “an attitude simply as a tendency to seek or avoid something.”
Maksudnya bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk menerima atau menolak
sesuatu. Sedangkan Chapman (1990: 4) menyatakan bahwa sikap adalah cara melihat
sesuatu secara mental. Ditegaskan pula oleh Gordon Allport (Abd.Rahman Abror,
1993: 108) bahwa: “An attidude is a mental an neural state of readiness, organized
through experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individual’s
respone to all objects and situations whith wich it is related”. Maksudnya, sikap
adalah keadaan kesiapan mental dan susunan syaraf, yang mempengaruhi atau yang
dinamis terhadap respons individu atas semua objek atau situasi yang berhubungan.
Gagne juga menegaskan (Driscoll, 1994: 342) bahwa sikap merupakan penguraian

6

internal yang mempengaruhi tindakan secara personal. Selanjutnya untuk mengetahui
sikap seseorang terhadap suatu objek menurut Mueller (1986: 13) dapat diukur
melalui tiga aspek/komponen, yaitu: 1) kognitif (kepercayaan/keyakinan; 2) afektif
(perasaan); dan 3) konatif (kecenderungan). Komponen kognisi berhubungan dengan
keyakinan, ide, dan konsep. Komponen afeksi menyangkut kehidupan emosional
seseorang. Komponen konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku. Berkaitan
dengan pembelajaran matematika, salah satu tujuannya adalah diharapkan siswa
memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki
rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah (BSNP, 2006: 346). Sedangkan untuk
mengukur sikap siswa terhadap matematika menurut Kulm (1980: 356) dapat dilihat
dari berbagai aspek atau kategori yaitu materi matematika, karakteristik matematika,
pembelajaran dan aktivitas belajar matematika, guru matematika.
Berdasarkan uraian di atas, maka sikap terhadap matematika dapat dijelaskan
sebagai berikut. Sikap siswa berupa komponen kognisi, yaitu bagian sikap siswa yang
timbul berdasarkan pengetahuannya atau pemahamannya terhadap aspek-aspek
matematika, misalnya matematika penting untuk dipelajari. Secara umum dapat
dikatakan bahwa komponen kognisi menjawab pertanyaan-pertanyaan apa yang
diyakini, dipikirkan siswa terhadap matematika. Dengan kata lain bahwa unsur
kognisi mempunyai arti, bahwa sikap terhadap suatu objek itu didahului oleh
pengetahuan dan informasi mengenai objek yang dituju oleh sikap itu. Dalam hal ini
sikap siswa terhadap matematika didahului oleh pengetahuan dan informasi yang
dimiliki oleh siswa terhadap matematika tersebut
Sikap siswa berupa komponen afeksi, yaitu bagian sikap siswa yang timbul
berdasarkan apa yang dirasakan siswa terhadap matematika. Komponen ini menjawab
pertanyaan: “apa yang dirasakan siswa terhadap matematika?”. Misalnya seorang
siswa merasa senang atau tidak senang terhadap matematika, baik terhadap materinya
maupun terhadap manfaatnya. Demikian juga perasaan-perasaan seperti sukar atau
tidak sukar yang berkenaan dengan matematika. Jadi komponen afeksi menimbulkan
evaluasi emosional terhadap objek.
Sikap siswa berupa komponen konasi, yaitu bagian sikap siswa yang timbul
karena perasaan kecenderungan melakukan sesuatu, meninggalkan sesuatu. Kaitannya
terhadap sikap siswa terhadap matematika, maka akan terkait dengan kecenderungan
siswa terhadap materi pelajaran matematika, gurunya, proses pembelajarannya,
bukunya, serta evaluasinya. Dengan kata lain bahwa komponen konasi merupakan
kelanjutan dari komponen kognisi dan afeksi yang diwujudkan dalam bentuk
keinginan dan hasrat untuk melakukan suatu kegiatan.
E. Menumbuhkan Sikap Positif Siswa Terhadap Matematika Melalui
Pembelajaran Kontekstual
Agar siswa memiliki sikap positif terhadap matematika, maka guru perlu
melakukan usaha-usaha yang menumbuhkan sikap siswa melalui tiga komponen yaitu
dengan memberikan berbagai pengertian dan pengetahuan tentang matematika yang
dapat bermanfaat bagi kehidupan yang akan datang (kognisi), mendorong siswa untuk
memiliki rasa senang dan tertarik (afeksi) untuk belajar matematika dengan berbagai
strategi dan model pembelajaran, serta mendorong siswa agar selalu melakukan
(konasi) kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan sikap positif terhadap
matematika.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sangat memungkinkan untuk
dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika. Melalui kegiatan

7

construktivisme dan questening (bertanya) yang diciptakan guru, dapat menumbuhkan
sikap kritis dan sikap ingin tahu siswa terhadap matematika, mereka ingin
mengetahui (kognisi), mereka tertarik (afeksi), dan mereka mau melakukan (konasi)
berbagai kegiatan untuk mengkaji lebih dalam terhadap apa yang sedang dipelajari.
Melalui modelling (pemodelan) dan learning community (masyarakat belajar) siswa
dapat terlibat langsung bersama model yang dihadirkan guru. Hal ini memungkinkan
siswa untuk memiliki rasa senang atau tertarik (afeksi) terhadap proses pembelajaran
yang sedang berlangsung. Sedangkan proses reflection (refleksi) memungkinkan
siswa untuk melakukan elabolasi terhadap pengetahuan yang telah dan baru mereka
miliki yang berimplikasi pada sikap bahwa pengetahuan yang baru mereka peroleh
sangat bermanfaat (kognisi) dalam kehidupannya. Sedangkan kegiatan authentic
assessment (penilaian diri) memungkinkan siswa untuk terus melakukan kegiatan
perbaikan peningkatan diri atas hasil penilaian yang dilakukan secara nyata selama
proses pembelajaran.
F. Penutup
Sikap positif siswa terhadap matematika sangat penting untuk ditumbuhkan
oleh setiap guru matematika. Dengan memilki sikap positif tersebut, siswa akan
memilki motivasi dan minat yang besar untuk terus belajar matematika. Berbagai
upaya dapat dilakukan guru untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap
matematika, salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran
matematika dengan pendekatan kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rachman Abror. (1993). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar isi. Jakarta: BNSP.
Berns, Robert G. & Erickson, Patricia M. (2001). Contextual teaching and learning
the highlight zone: Research @ Work No.5. Diambil pada tanggal 15 Juni
2007
dari
http://www.nccte.org/publications/infosynthesis/highlightzone/highlight05/ind
ex.html.
Cony

Semiawan, dkk.(1985). Pendekatan ketrampilan proses:
Mengaktifkan Siswa dalam Belajar?. Jakarta: Gramedia.

Bagaimana

Countryman, Joan.(1992). Writing to learn mathematics. Portsmouth: Helnemann
Educational Books, Inc.
Cronbach, Lee J.(1954). Educational Psichology. New York: Harcourt, Brace
Company, Inc.
Depdiknas.(2002). Pendekatan kontekstual (Contextual teaching and learning).
Jakarta: Depdiknas.

8

H.Erman Suherman.(2003). Strategi pembelajaran
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

matematika

Johnson, Elaine B.(2002). Contextual
Oaks,California: Corwin Press,Inc.

and

teaching

kontemporer.

learning.

Tousand

Kulm, Gerald.(1980). Researh on mathematics attitude. Virginia: The National
Council of Teachers of Mathematics,Inc.
Marshall, Carol. (2003). Mathematics in context. Diambil pada tanggal 5 Desember
2008
dari
http://
www.partnership.mmu.ac.uk/cme/student.writing/masters/Carol/Carol
Marshall.html.
Masnur Muslich. (2007). KTSP: Pembelajaran berbasis kompetensi dan kontekstual.
Jakarta: Bumi Aksara.
Moh Uzer Usman.(2002). Menjadi guru profesional. Bandung: Rosda.
Muller, Daniel J. (1986). Mengukur sikap social: Pegangan untuk peneliti dan
praktisi (Terjemahan Eddy Soewardi Kartawidjaja). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mursell, J. & Nasution, S. (2006). Mengajar dengan sukses (Successful teaching).
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nana Syaodih Sukmadinata. (2004). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nurhadi,dkk.(2004). Pembelajaran kontekstual (Contextual teaching and
learning/CTL) dan penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Oemar Hamalik. (2008). Proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Ostrow, J. (1995). A room with a different view: First through third graders build
community and create curriculum. York: Stenhouse Publishers.
Polya, G. (1973). How to solve it: A new aspect of mathematical method. Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Reys, Robert E. at al. (1998). Helping children learn mathematics. Boston: Allyn and
Bacon.
Slameto. (2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
Webb, Norman L. & Coxford, Arthur F. (1993). Assesment in the mathematics
classroom. Virginia:The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

9

Woolfolk, Anita E. & McCune-Nicolich, Lorraine.(1984).Educational psychology for
teachers. Englewood, New Jersey:Prentice-Hall, Inc.

10