Hukum Perikatan di Indonesia id

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Hukum Perikatan
Hukum Perikatan secara etimologi berasal dari bahasa
belanda “ver bintenis”. Istilah perikatan lebih umum digunakan
di Indonesia, perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat
orang yang satu terhadap orang yang lain.pengikat itu dapat
berupa

perbuatan,

peristiwa

atau

keadaan,

maka

oleh


pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diberi
nama “akibat hukum”, dengan demikian perikatan yang terjadi
antara orang satu dengan orang lain disebut hubungan hukum.
Sedangkan secara terminologi Hukum Perikatan adalah
suatu hubungan hukum dalam lapangan harta antar dua orang
atau lebih.
3.2 Jenis-jenis Perikatan
Berbicara tentang jenis-jenis hukum perikatan ada 7 bentuk perikatan
yang bida dilakukan antar pihak, berikut ini penulis jelaskan secara terperinci;
1 Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan
terjadi dan belum pasti terjadi baik dalam menangguhkan pelaksanaan
perikatan hingga terjadi peristowa maupun dengan membatalkan perikatan
karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (pasal 1235 KUH Perdata).
Perikatan bersyarat dibagi menjadi 7 yaitu;
a. Perikatan dengan Syarat Tangguh
Apabila perikatan itu terjadi, maka perikatan itu dilakasanakan (pasal
1263 KUH Perdata), sifat dalam pasal ini menangguhkan sesuatu
perbuatan yang apabila dikakukan baru terkena hukum.

b.

Perikatan dengan Syarat Batal

6

7

Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa
yang dimaksud akan terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Perikatan ini akan
c.

batal apabila perikatan sudah terjadi dengan syarat.
Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Syarat perikatan ini adalah pelaksanaan perikatan tergantung pada waktu

yang ditetapkan.
2 Perikatan Manasuka (Pilihan)
Dikatakan perikatan manasuka karena pihak objek bebas memilih yang
ditawarkan oleh subjek denga syarat bahwa memilih salah satu dari dua objek

perikatan. Apabila objek sudah memilih salah satu objek perikatan makan
perikatan berakhir.
3 Perikatan Fakultatif
Perikatan fakultatif sifatnya hanya mensyaratkan subjek menentukan satu
pilihan kepada objek. Apabila subjek tidak bisa memenuhi perjanjian awal
maka dapat mengganti dengan sesuatu yang sejenis.
4 Perikatan Tanggung Menanggung
Suatu perikatan tanggung-menanggung atau perikatan tanggung renteng
terjadi antara beberapa kreditur,

jika dalam bukti persetujuan secara

tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan
seluruh hutang,

sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah

seorang di antara mereka, membebaskan debitur, meskipun perikat an itu
menurut sifat nya dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi
(pasal 1278 KUH Perdata ) untuk perikatan tanggung-menanggung pasif dapat

dilihat pada pasal 1280 KUH Perdata.
5 Perikata Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak jika benda yang menjadi
objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lihat pada
pasal 1296 KUH Perdata.
6 Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap objek apabila ia lalau
dalam melakukan kewajjibanya.
7 Perikatan Wajar

8

Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan
wajar (natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang undang
hanya dijumpai pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata.5
3.3 Syarat Sah Hukum Perikatan
1 Obyeknya Harus Tentu
Syarat ini diperlukan hanya terhadap perikatan yang timbul dari perjanjian.
2 Obyeknya Harus Diperbolehkan
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang , ketertiban umum.

3 Obyeknya dapat Dinilai dengan Uang
Seperti yang dijelaskan dalam definisi perikatan.
4 Obyeknya Harus Mungkin
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.6
3.4 Asas dalam Hukum Perikatan
1 Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan menngandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi (hak dan kewaiban)
yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
2 Asas Persamaan Hukum
Mengandung aksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka
tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainya, walaupun subjek hukum
itu berbeda warna, kulit, agama dan ras.
3 Asas Keseimbangan
Adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian, kreditur mempunyai kekuatan untuk memenuhi
prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan


debitur,

namun

debitur

memikul

pula

kewajiban

untuk

melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
4 Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastiann hukum. Kepastian ini
terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undangundang bagi yang membuatanya.
5 Asas Moralitas
5 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 2001. Hal. 36

6 J satrio, hukum perikatan, 1998, hlm 45.

9

Asas moral ini terikat dalam perikatan yang wajar, yaitu suatu perbuatan
sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat
prestasi dari pihak debitur hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu
seseorang melakukan perbuatan sukarela (moral). Yang bersangkutan
mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan
perbutanya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral)
sebagai panggilan hati nurani.
6 Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam KUH Perdata pasal 1339. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan menganai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan
berdasarkan sifat perjanjian.
7 Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal
yang menurut kebiasaan lazim diikuti.


8 Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antar kreditur dan debitur
harus dilindungi oleh hukum.7
3.5 Sistem dan Syarat-syarat Hukum Perikatan
Sistem hukum perikatan adalah terbuka. Artinya, KUH Perdata
memberikan kemungkinan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian
apapun, baik yang telah di atur dalam undang-undang, peraturan khusus maupun
perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Sepanjang tidak bertentangan
dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Akibat hukumnya adalah,

jika ketentuan

bagian umum berte ntangan dengan ketentuan khusus , maka yang di pakai
adalah ketentuan yang khusus, misal: perjanjian kos-kosan, perjanjian kredit.

7 J satrio, hukum perikatan, 1998, hlm 38.

10


Mengenai syarat-syarat hukum perikatan diterangkan dalam pasal 1320 KUH
Perdata.
1 Adanya kesepakatan (toeste ming/izin) kedua belah pihak
Yang dimaksud kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antar
satu orang atau lebih dengan pihak lain. Tentang kapan terjadinya persesuaian
pernyataan ada 4 teori, yakni;
a. Teori Ucapan (ultingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat
pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima
penawaran.
b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran menerima telegram.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menerima menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi
penerimaan itu belum diterimanya, (tidak diketahhui secara langsung).
d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
2 Kecakapan Bertindak
Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.
Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap
dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditetapkan

oleh UU yaitu orang yang sudah dewasa dengan ukuran umum 21 Tahun dan
atau sudah kawin (Pasal 1330 KUH Perdata).
3 Adanya Objek Perjanjian (onderwerp der overeenskomst)
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian
adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban kreditor dan hak kreditor (pasal 1234 KUHPerdata).
4 Adanya Kausa yang Halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak disebutkan oorzaak (causa yang halal).
Dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang dilarang. Suatu
sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan dan
ketertiban umum.

11

Apabila suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya yaitu
syarat: 1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan 2). Kecakapan untuk
bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan
sendirinya (nietig) tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk
dibatalkan (vernietigbaar), sedang perjanjian yang cacad dari segi objeknya
yaitu mengenai, 3). Segi “suatu hal tertentu” atau 4). “suatu sebab yang halal”

adalah batal demi hukum.
Artinya adalah apabila jika dalam satu perjanjian syarat 1 dan 2 dilanggar
baru dapat dibatalkan perjanjian tersebut setelah ada pihak yang dirugikan
mengajukan tuntutan permohonan pembatalan ke pengadilan. Dengan demikian
perjanjian menjadi tidak sah.
Lain jika syarat 3 dan 4 dilanggar maka otomatis perjanjian tersebut
menjadi batal demi hukum walaupun tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Maka dapat disimpulkan suatu perjanjian dapat terjadi pembatalan
karena:

1 Dapat dibatalkan, karena diminta oleh pihak untuk dibatalkan dengan alasan
melanggar syarat 1 dan 2 pasal 1230 KUH Perdata.
2 Batal demi hukum, karena melanggar syarat 3 dan 4 pasal 1320 KUH Perdata.
8

Lebih luas lagi pembatalan perikatan bisa dilihat dalam KUH Perdata pasal 1381.9
3.6 Sumber Hukum Perikatan
Sumber Hukum Perikatan di Indonesia ada 2, pertama, Perjanjian,
kedua,Undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata

8 Subekti, Hukum Perikat an, PT Intermasa, 2005, hlm. 45.
9 Lihat KUH Perdata Buku III

12

“Perikatan, lahir karena suatu

persetujuan atau karena undang-undang”

perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.
Undang-undang sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi 2
(dua), undang-undang semata dan undang-undang yang kaitanya dengan
perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang semata adalah
perikatan yang kewajiban didalamnya langsung diperintahkan oleh undangundang. Seperti hak dan kewajiban yang timbul antar ayah dan anak dalam hal
nafkah, selanjutnya berhubungan dengan perikatan yang lahir dari UU semata
dapat dilihat pada KUH Perdata pasal 625, 385, 409, 321. Sedang undangundang yang lahir dari undang-undang akibat perbuatan orang adalah suatu
perikatan yang timbul karena adanya perbuatan yang dilakukan seseorang dan
kemudian undang-undang menetapkan adanya hak dan kewajiban yang timbul,
dari perbuatan tersebut. Perbedaan itu dibagi menjadi 2 macam : (1) perbuatan
sesuai hukum (rechtmaltige daad), dan (2) perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).10

10 http: //www.scribd.com