Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ke

Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan 1
Benyamin Lakitan
Kementerian Negara Riset dan Teknologi

Pendahuluan

Untuk dapat digunakan, teknologi harus dikembangkan dengan mengenali terlebih dahulu
pengguna potensialnya. Dalam konteks upaya pencapaian ketahanan pangan, maka
pengguna primer teknologi tersebut adalah petani, peternak, pembudidaya ikan, dan
nelayan. Pengguna sekundernya adalah pengolah bahan pangan segar menjadi produk
pangan olahan. Kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi oleh para pengguna perlu
dipahami secara komprehensif terlebih dahulu, agar solusi teknologi yang ditawarkan
diminati oleh para pengguna.
Kapasitas adopsi para pengguna teknologi pertanian/pangan (tanaman, ternak, ikan) harus
setara dengan teknologi yang dikembangkan agar proses adopsi dapat berlangsung.
Kapasitas adopsi pengguna tersebut perlu dilihat dari kemampuan teknis, manajerial,
finansial, dan sosiokultural. Banyak teknologi pertanian/pangan di masa lalu yang
diintroduksikan kepada para pengguna (terutama pengguna primer) tetapi tidak digunakan
dalam proses produksi pangan sebagai akibat dari tidak padunya antara teknologi yang
diintroduksikan dengan kebutuhan dan/atau kapasitas adopsi pihak pengguna.
Faktor penyebab kondisi ketahanan pangan sulit dicapai salah satunya adalah karena

teknologi belum berkontribusi secara efektif. Hal ini terutama disebabkan karena teknologi
yang dikembangkan belum selaras dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi
para penggunanya, atau karena tidak mempertimbangkan kapasitas adopsi para
penggunanya.
Ketahanan pangan tercapai jika seluruh individu rakyat Indonesia mempunyai akses (secara
fisik dan finansial) untuk mendapatkan pangan agar dapat hidup sehat dan produktif. Jika
konsisten dengan ini, maka pembangunan pertanian/pangan harus lebih berorientasi pada
upaya pemenuhan permintaan pasar domestik. Kemandirian dalam pemenuhan pangan
domestik merupakan modal dasar dalam menangkal dampak krisis global.

1

Makalah Utama pada Seminar Hari Pangan Sedunia, Jakarta 12 Oktober 2009.

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Teknologi hanya akan memberikan kontribusi jika ia digunakan dalam proses produksi
barang/jasa untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia, termasuk dalam upaya
penyediaan pangan yang cukup, bergizi, aman, dan sesuai selera konsumen serta terjangkau
secara fisik dan ekonomi bagi setiap individu sehingga ketahanan pangan dapat dicapai.


1

Keberpihakan pada Pengguna Primer

Teknologi yang lebih bersahabat dalam persepsi petani dan pelaku produksi pangan lainnya
adalah teknologi yang secara teknis mudah dioperasikan dan secara ekonomis lebih
menguntungkan dibandingkan dengan cara tradisional. Faktor penyebab kegagalan dalam
introduksi teknologi pertanian/pangan yang paling umum adalah bukan karena kendala
teknis, tetapi sering disebabkan karena biaya operasionalnya yang tinggi sehingga tidak
menguntungkan bagi petani. Harga komoditas pangan yang rendah menjadi tantangan
berat bagi para pengembang teknologi untuk menghasilkan teknologi yang sesuai bagi
petani atau pengguna primer teknologi pertanian/pangan lainnya. Tantangannya adalah
menciptakan teknologi yang lebih efisien, tidak menyebabkan ongkos produksi lebih mahal
dibandingkan dengan cara-cara tradisional yang telah diterapkan, dan menjamin
peningkatan keuntungan bagi pengguna primer yang mengadopsinya.

Teknologi Maju Versus Teknologi Sesuai Pengguna
Perbedaan preferensi antara pengembang dan pengguna teknologi merupakan penyebab
kegagalan dalam proses difusi teknologi. Banyak pengembang teknologi lebih menyukai dan

merasa lebih bergengsi jika bergelut dengan teknologi maju (walaupun hanya pada posisi
pengekor) dibandingkan dengan menyediakan teknologi sederhana yang menjadi solusi bagi
permasalahan nyata yang dihadapi publik. Lebih parah lagi, sebagian periset dan akademisi
menganggap kegiatan riset untuk pengembangan teknologi tak perlu peduli dengan
persoalan nyata. Akibatnya banyak riset yang hanya berujung pada laporan (yang
diposisikan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban administrasi keuangan saja). Jika ini
menjadi budaya periset dan akademisi, maka bagaimana mungkin bisa dihasilkan teknologi
yang memberikan kontribusi positif bagi upaya pencapaian ketahan pangan?
Teknologi sesuai kebutuhan pengguna tidak bertolak belakang dengan teknologi maju dan
tidak pula identik 100% dengan teknologi sederhana. Akan tetapi, jika persoalan yang
dihadapi merupakan persoalan sederhana (sebagaimana yang umum terjadi di sektor
pertanian saat ini), maka teknologi yang perlu dikembangkan/diintroduksikan tidak perlu
merupakan teknologi maju yang berujung pada nilai investasi dan biaya operasional yang
tinggi, sehingga tidak mungkin diadopsi oleh pengguna.

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Aktor produsen pangan sejati adalah petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan.
Peningkatan produksi pangan nasional tidak pernah akan tercapai jika tanpa kontribusi
nyata dari para pelaku ini. Demikian pula status swasembada dan ketahanan pangan tidak

akan pernah dapat dicapai jika tanpa kontrbusi dari para pelaku nyata di lapangan ini. Oleh
se a itu, tek ologi ya g dike a gka perlu le ih ersaha at da diarahka u tuk
memudahkan para petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan dalam memproduksi
pangan.

2

Teknologi sesuai-pengguna bersifat dinamis, mengikuti dinamika perkembangan kapasitas
adopsi penggunanya. Jika saat ini yang dibutuhkan adalah teknologi sederhana, maka
mungkin saja dalam waktu mendatang berubah menjadi teknologi yang lebih maju. Krisis
pangan global yang dapat menyebabkan lonjakan harga pangan sangat memungkinkan ikut
bergesernya kebutuhan teknologi pertanian/pangan.
Produk teknologi maju di bidang pangan belum tentu lebih baik bagi pengguna primer,
selain biaya operasionalnya kemungkinan akan lebih tinggi, juga dapat pula menyebabkan
ketergantungan yang lebih tinggi. Misalnya, padi hibrida mungkin mempunyai potensi hasil
yang tinggi tetapi menyebabkan petani tergantung pada benih yang hanya dapat diproduksi
oleh industri benih. Berarti petani selalu harus mengeluarkan biaya untuk membeli benih
pada setiap musim tanam.

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian (2008) telah mempublikasikan

kontribusi teknologi terhadap produktivitas pertanian nasional tahun 2007. Kontribusi yang
paling menonjol adalah varietas unggul dari beberapa tanaman pangan pokok, termasuk
padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubikayu, dan ubijalar. Kontribusi teknologi
terhadap produktivitas padi dilaporkan mencapai 0,75 ton GKG/hektar; untuk jagung
mencapai 1 ton pipilan/hektar; kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau masing-masing
mencapai 0,5 ton/hektar; ubikayu mencapai 6 ton/hektar; sedangkan ubijalar mencapai 1
ton/hektar.
Kontribusi teknologi di sub-sektor peternakan yang dilaporkan antara lain terhadap
produktivitas domba komposit sebesar 17 kg/ekor/tahun (LRI) dan telur itik mencapai 219
butir/ekor/tahun. Teknologi pakan ternak yang telah dikembangkan juga dilaporkan telah
berkontribusi terhadap produksi pangan nasional.
Teknologi pertanian/pangan lainnya yang juga dilaporkan telah berkontribusi terhadap
upaya peningkatan produksi pangan nasional, antara lain adalah teknologi mekanisasi
pertanian baik dalam proses budidaya (on-farm) dari tanam sampai panen, maupun pada
tahap pascapanen.
Kontribusi teknologi yang ditampilkan dalam publikasi Balitbang Deptan lebih menonjolkan
peningkatan produksi/produktivitas pangan terkait dengan aplikasi teknologi, tetapi tidak
secara spesifik memilah antara peningkatan produksi/produktivitas sebagai akibat langsung
teknologi dengan akibat input non-teknologi lainnya, serta tidak menginformasikan tentang
tambahan ongkos produksi akibat aplikasi teknologi dimaksud.

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk estimasi kontribusi teknologi terhadap
peningkatan produktivitas, termasuk di sektor pertanian, adalah dengan menghitung Total
Factor Productivity (TFP). Pada prinsipnya, TFP merupakan variabel untuk mengukur
dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan oleh tangible inputs, yakni

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Kontribusi Teknologi Pertanian Saat Ini

3

capital input dan labor input yang terpakai dalam proses produksi. TFP menaksir dampak
dari intangible inputs, termasuk kontribusi teknologi walaupun tidak terbatas hanya oleh
teknologi.
Berdasarkan kajian Avila dan Evenson (2004), TFP Indonesia untuk tanaman pangan
menurun dari 3,95% (periode 1961-1980) menjadi -0,78% (periode 1981-2001) dan untuk
peternakan menurun dari 3,08% (1961-80) menjadi 2,41% (1981-01). Bandingkan dengan
Vietnam yang justeru meningkat pada periode yang sama dari -0,52% menjadi 3,94% untuk
tanaman pangan dan 0,22% menjadi 0,76% untuk peternakan. Maknanya, jika nilai TFP
negatif berarti peningkatan inputs tak sebanding dengan peningkatan outputs, selain

kontribusi teknologi tidak terdeteksi juga proses produksi berlangsung secara kurang efisien.
Bagaimana untuk periode 2001-2009?

Rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian nasional
(sebagaimana tercermin dari nilai Total Factor Productivity) sering dikaitkan dengan alokasi
anggaran negara yang kecil dalam mendukung kegiatan riset. Walaupun faktanya memang
alokasi anggaran tersebut masih rendah, tetapi rendahnya kontribusi teknologi juga
disebabkan karena ketidak-paduan (mismatch) antara teknologi yang dikembangkan dengan
kebutuhan dan problema nyata yang dihadapi publik dan para pengguna teknologi. Hasil
riset atau teknologi domestik yang diadopsi oleh pengguna untuk menghasilkan barang/jasa
yang dibutuhkan masyarakat masih sangat rendah.
Saat ini kegiatan para periset dan akademisi lebih banyak bersifat curiousity-driven research
(CdR) dibandingkan dengan goal-oriented research (GoR). Banyak riset yang dilakukan
hanya pada tataran untuk memuaskan rasa keingin-tahuan dan belum secara cermat
dirancang untuk menghasilkan solusi teknologi bagi berbagai permasalahan nasional,
termasuk persoalan di bidang pangan.
Sepatutnya riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan tak harus secara dikotomis
dipisahkan dengan riset untuk menyediakan solusi bagi persoalan nyata. Sebaliknya, kedua
genre riset ini perlu diposisikan pada alur yang sama. Ilmu pengetahuan yang berhasil
dikembangkan dapat dijadikan modal dasar untuk mengkreasi teknologi yang tepat sebagai

solusi bagi persoalan nyata yang dihadapi. Hal ini bermakna bahwa riset akademik
(walaupun hasilnya belum berupa solusi persoalan) tetap perlu lebih diarahkan untuk
menyediakan landasan bagi pengembangan teknologi yang secara nyata dibutuhkan.
Sensitivitas para akademisi dan periset terhadap persoalan nyata tetap dibutuhkan, terlepas
dari pilihan genre riset yang diminatinya. Dunia akademik tak boleh terisolir dari dunia
yata. Pergurua ti ggi da le aga riset tak oleh e jadi
e ara gadi g , karena
persoalan yang dihadapi rakyat dan bangsa pada saat ini sudah terlalu besar untuk
diabaikan oleh semua pihak, terutama oleh komunitas cerdas di perguruan tinggi dan
lembaga riset.

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Mengeser Orientasi Riset

4

Sudah waktunya kegiatan CdR mulai digeser ke GoR. Perlu dipahami bahwa riset yang
berorientasi langsung untuk menjawab persoalan nyata juga mempunyai bobot akademik
yang tinggi jika dilakukan sesuai dan konsisten dengan metodologi riset tepat. Bobot

akademik lebih ditentukan oleh bagaimana riset dilakukan bukan oleh jenis keluaran yang
dihasilkan. GoR dapat menjadi sebuah paket utuh: berbobot akademik tinggi dan sekaligus
bermanfaat bagi masyarakat.
Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang belum mampu menjadi mesin penggerak
perekonomian antara lain disebabkan oleh keengganan komunitas pengembang ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk bergeser dari CdR ke GoR.

Masalah fundamental yang berkaitan dengan ketidakpaduan antara teknologi yang
dikembangkan dengan kebutuhan pengguna teknologi (petani dan industri pengolahan
pangan) perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum langkah-langkah lain diambil, karena
solusi ya g tepat u tuk asalah i i erupaka faktor ku i ke erhasila pe ge a ga
SINas. Secara akademik, ada dua alternatif yang bisa ditempuh, yakni dengan pendekatan
supply-push (mengembangkan teknologi terlebih dahulu, baru kemudian menawarkannya
kepada pengguna) atau de a d-drive (memahami terlebih dahulu kebutuhan pengguna,
baru kemudian mengembangkan teknologi yang sesuai).
Pendekatan supply-push yang selama ini secara dominan dilakukan, secara faktual terbukti
tidak mampu mengalirkan teknologi yang dikembangkan tersebut, sehingga SINas menjadi
mandul dan teknologi tidak mampu memberikan kontribusi yang berarti terhadap
pembangunan nasional. Fakta ini menuntut perlunya dilakukan reorientasi pendekatan,
yakni menggeser pendekatan dari yang lebih dominan supply-push, menjadi lebih dominan

demand-driven.
Pendekatan demand-driven membutuhkan perubahan mendasar dalam prilaku kerja para
akademisi dan periset, termasuk: [1] reposisi akademisi dan periset yang selama ini
mengambil peran sebagai penentu arah SINas, menjadi pemasok teknologi yang dibutuhkan
pengguna; [2] menggeser prioritas dari CdR menjadi GoR; [3] pengguna teknologi perlu
diposisikan sebagai penjuru dalam pengembangan SINas.
Upaya intensifikasi komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna teknologi
mempunyai dua alternatif pilihan, yakni dengan intervensi dari luar sistem (external forces)
dan menumbuhkan kesadaran saling membutuhkan dalam internal sistem (internal
attractions). Intervensi dari luar sistem dapat berupa regulasi yang rigid untuk mendorong
agar komunikasi dan interaksi tersebut terjadi dan dapat pula melalui peran pro-aktif
kelembagaan intermediasi. Pilihan kebijakan yang paling ideal adalah menumbuhkan
hubungan mutualistik pengembang-pengguna teknologi yang didukung oleh regulasi untuk
menjamin lingkungan tumbuh-kembang SINas yang kondusif dan dukungan lembaga
intermediasi secara profesional dan proporsional.

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Reorientasi Sistem Inovasi Nasional


5

Ada tiga aktor utama yang terlibat langsung dalam proses aliran teknologi ini, yakni
pengembang teknologi (periset dan akademisi - A), pengguna teknologi (petani dan industri
pangan - B) yang sekaligus sebagai pelaku produksi pangan segar dan olahan, dan
pemerintahan (government - G) yang melakukan fasilitasi dan regulasi agar hubungan
pengembang-pengguna teknologi dapat lebih intensif dan bersifat mutualistik. Dinamika
interaksi dan ko-evolusi antara tiga aktor utama ini merupakan dasar dari ko sepsi Triple
Helix A-B-G .

Agenda Riset Nasional
Dewan Riset Nasional (DRN) sedang menyusun Agenda Riset Nasional (ARN) untuk periode
2010-2014, termasuk riset di bidang pangan. Pendekatan yang dilakukan dalam menyusun
ARN adalah dengan terlebih dahulu mengidentifikasi isu-isu pokok untuk masing-masing
bidang fokus. Isu pokok di bidang pangan yang membutuhkan riset sebagai upaya
menemukan solusinya adalah: [1] perubahan iklim, [2] konversi lahan pertanian, [3]
mahalnya harga dan kelangkaan pupuk, [4] mahalnya pakan ternak dan ikan, serta
ketergantungan bahan baku pada impor, [5] keterbatasan kemampuan pengelolaan
sumberdaya perikanan dan kelautan, [6] keamanan pangan, [7] kehilangan hasil saat panen
dan pascapanen masih tinggi , [8] ketergantungan pada beras sebagai bahan pangan pokok,
[9] ketergantungan bahan baku industri pangan pada impor, dan [10] kesulitan dan
mahalnya ongkos angkut.
Perubahan iklim (climate change) telah menjadi perhatian dunia dan diyakini akan
berpengaruh terhadap produksi pangan. Kecenderungan perubahan tersebut termasuk
peningkatan suhu (global warming) yang diikuti dengan naiknya permukaan air laut
sehingga intrusi air laut ke wilayah daratan akan meluas. Perubahan lainnya yang akan
berpengaruh terhadap kegiatan budidaya pertanian adalah pergeseran pola distribusi hujan
yang semakin sulit diprediksi, sehingga penentuan waktu tanaman sulit dilakukan dan resiko
gagal panen semakin besar. Berdasarkan persoalan ini, maka kegiatan riset yang perlu
diprioritaskan antara lain: [1] Meningkatkan pemahaman tentang prilaku perubahan iklim,

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Strategi yang dapat dipilih untuk meningkatkan kinerja SINas guna meningkatkan kontribusi
teknologi dalam upaya pencapaian ketahanan pangan adalah: [1] Sinkronisasi antara
teknologi yang dikembangkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh petani dan industri
pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan konsumen domestik; [2] Insentif bagi
petani dan rangsangan untuk tumbuh-kembang industri pengolahan pangan yang berbasis
teknologi nasional dan sesuai dengan permintaan pasar domestik; [3] Vitalisasi lembaga
intermediasi untuk percepatan proses adopsi teknologi oleh petani dan industri pangan
dalam negeri; dan [4] Dukungan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum
untuk memfasilitasi, menstimulasi, dan mengakselerasi interaksi antar-aktor SINas dan
kelembagaan pendukung lainnya.

6

dan [2] mengembangkan varietas tanaman, ternak, dan ikan yang mampu beradaptasi baik
terhadap perubahan iklim.

Pupuk merupakan sarana produksi yang sangat penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas tanaman pangan. Akan tetapi, harga pupuk yang tinggi menjadi beban bagi
petani. Kebijakan subsidi pupuk disamping tidak selalu efektif, juga secara signifikan
membebani anggaran negara. Masalah pupuk merupakan problema multi-dimensi,
mencakup aspek teknis, ekonomis, kelembagaan, dan hukum. Menghadapi persoalan ini,
perlu dilakukan riset untuk mengurangi ketergantungan petani pada pupuk anorganik,
dengan cara memberikan alternatif lain sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hara
tanaman. Pengembangan berbagai ragam pupuk organik dengan menggunakan bahan baku
atau mikroorganisme lokal dapat menjadi alternatif pilihan, walaupun tentunya harus
terbukti efektivitasnya dan kompetitif harganya.
Kendala utama yang sering dikeluhkan oleh peternak dan pembudidaya ikan adalah
besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian pakan. Sedangkan industri pakan
ternak dan ikan masih tergantung pada bahan baku impor; sementara dari sisi lain, sebagian
bahan baku potensial untuk campuran pakan ternak/ikan tersebut tersedia secara lokal.
Oleh sebab itu, diperlukan riset untuk mengembangkan teknologi produksi pakan ternak
dan ikan dengan memaksimalkan penggunaan bahan baku lokal, sehingga harganya dapat
ditekan tetapi komposisi gizinya tetap memenuhi kebutuhan pertumbuhan ternak/ikan.
Sumberdaya perikanan laut yang besar belum dikelola dengan optimal. Kasus penangkapan
ikan yang melebihi kapasitas pemulihannya (overfishing) sering dilaporkan, pencurian ikan
oleh nelayan asing juga menjadi isu penting. Tingginya biaya operasi armada penangkapan
ikan –terutama setelah naiknya harga BBM- merupakan isu lain yang menjadi beban
nelayan. Selain itu, keterbatasan penguasaan teknologi penangkapan ikan oleh nelayan
perlu diatasi. Untuk mengatasi persoalan ini, antara lain perlu mengaplikasikan: [1]
teknologi konservasi ekosistem pantai dan laut, [2] teknologi kedirgantaraan –citra satelituntuk efektivitas penangkapan ikan, [3] teknologi energi untuk mengurangi ketergantungan

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Konversi lahan pertanian yang subur untuk kepentingan non-pertanian terus berlangsung
tak terbendung, terutama akibat peningkatan kebutuhan lahan untuk perumahan, industri,
dan infrastruktur. Selain karena desakan akibat pertumbuhan penduduk, juga disebabkan
karena penggunaan lahan untuk pertanian tanaman pangan kalah produktif –secara
ekonomi- dibandingkan dengan penggunaan untuk non-pertanian. Konsekuensinya,
kebutuhan lahan untuk pertanian hanya dapat dipenuhi dengan memanfaatkan lahan-lahan
sub-optimal, terutama di luar Jawa. Lahan sub optimal dimaksud adalah lahan miskin hara,
ketersediaan air rendah, Fe tinggi, Al tinggi, pH rendah, pirit tinggi, salinitas tinggi (pada
lahan kering, lahan gambut, lahan lebak, lahan rawa dan lahan pasang surut. Untuk
mengatasi persoalan ini, perlu dilaksanakan riset antara lain: [1] mengembangkan teknologi
pengelolaan lahan sub-optimal agar menjadi produktif tetapi tetap mengikuti kaedah
ekologis; dan [2] mengembangkan varietas tanaman, ternak, dan ikan yang sesuai dengan
masing-masing kendala yang dihadapi pada lahan sub-optimal.

7

pada BBM; dan [4] mengembangkan sistem manajemen armada penangkapan ikan yang
optimum terkait musim, daerah penangkapan, bahan bakar, dan mutu hasil tangkapan ikan.

Kehilangan hasil (losses) tanaman, ternak, dan ikan masih sangat tinggi, baik karena sifat
produk pangan tersebut yang gampang rusak/busuk (perishable), waktu panen yang tidak
tepat, maupun karena penanganan pascapanennya yang kurang optimal.
Upaya
mengurangi kehilangan hasil masih kurang dibandingkan dengan upaya peningkatan hasil,
padahal kedua upaya ini sama pentingnya. Untuk mengatasi persoalan kehilangan hasil ini,
perlu dilakukan riset untuk: [1] memprediksi waktu panen yang tepat; [2] teknologi
pengolahan dan pengawetan pangan asal tanaman, ternak, dan ikan yang sesuai dengan
komoditas yang dihasilkan petani Indonesia; dan [3] teknologi kemasan, penyimpanan, dan
pengangkutan produk pangan yang efektif untuk mengurangi kerusakan hasil akibat
metabolisme alami, benturan mekanis, dan/atau kontaminasi mikroba.
Walaupun potensi pertanian dalam negeri sangat besar, tetapi kenyataannya masih banyak
bahan pangan yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan nasional, misalnya gandum.
Tanaman ini merupakan tanaman subtropika yang hanya sesuai dibudidayakan pada
dataran tinggi di Indonesia, sehingga potensi produksinya relatif rendah. Akan tetapi,
konsumsi produk pangan berbasis gandum di Indonesia cukup tinggi, sehingga Indonesia
menjadi pengimpor tepung gandum utama dunia. Ketergantungan pada impor gandum
untuk bahan baku industri pangan perlu dicarikan alternatif solusinya. Perlu dikembangkan
teknologi pengolahan bahan baku lokal untuk produksi tepung.
Semua produk pangan harus diangkut dari sentra produksi ke pasar. Masalahnya adalah
sering terjadi ongkos angkutnya lebih mahal dibandingkan dengan nilai ekonomi produknya
sendiri, sehingga harga yang diterima petani produsen menjadi jauh lebih rendah
dibandingkan dengan harga di pasar. Harga yang rendah pada tingkat petani juga sering
disebabkan oleh keterpaksaan petani untuk segera menjual hasil panennya, karena sifat

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Keamanan pangan produk perikanan, buah-buahan dan sayuran sering menjadi isu yang
meresahkan masyarakat/konsumen dan juga sering menjadi alasan penolakan produk
Indonesia yang diekspor. Dari sisi lain, kemampuan nasional untuk mendeteksi bahan
cemaran dan bahan pengawet yang mungkin terkandung dalam produk laut yang diimpor
juga masih lemah. Di lain pihak, tuntutan internasional terhadap keamanan dan mutu
pangan, serta sanitary dan phytosanitary meningkat. Hal ini akan menyebabkan kinerja
ekspor pangan Indonesia terancam dan rendahnya kemampuan Indonesia untuk mencegah
masuknya pangan impor bermutu rendah dan tidak aman, serta masuknya cemaran hayati
yang membahayakan pertanian dan kesehatan masyarakat. Terkait dengan persoalan ini,
maka diperlukan riset untuk: [1] mengembangkan teknik pengujian cepat (rapid assessment)
untuk deteksi cemaran dan bahan berbahaya lainnya pada produk perikanan, baik yang
diproduksi di dalam negeri atau ditangkap di perairan nusantara, maupun produk ikan segar
dan olahan impor, serta deteksi pestisida dan cemaran hayati pada buah dan sayuran; dan
[2] mengembangkan teknologi produksi pangan asal tanaman, hewan dan perikanan yang
aman dan bermutu.

8

hasil tanaman/ternak/ikan yang gampang busuk/rusak. Perlu riset untuk mendukung
pengembangan industri pengolahan skala kecil di lokasi sentra produksi (small scale, on site
agroindustry) agar produk menjadi lebih awet dan volume bahan pangan yang diangkut
menjadi lebih kecil –berarti ongkos angkutnya juga lebih murah- serta kerusakan selama
pengangkutan dapat diperkecil –karena produk olahan yang diangkut juga dikemas dengan
baik.

Penutup

Referensi
Avila, A.F.D. and R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the
role of technological capital. Yale University, New Heaven.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2008. Kontribusi Teknologi
Balitbangtan terhadap Produktivitas Pertanian Nasional tahun 2007. Balitbang
Deptan, Jakarta.
Dewan Riset Nasional. 2009. Agenda Riset Nasional 2010-2014.
Lakitan, B. 2009. Reorientasi Sistem Inovasi Nasional Indonesia: kebijakan, strategi, dan
upaya. Orasi Ilmiah Dies Natalis ke 46 Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo, 2
September 2009.

Benyamin Lakitan: Kotribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan

Berdasarkan persoalan pokok yang dihadapi dan dikaitkan dengan target dan prioritas
nasional yang telah ditetapkan untuk sektor pertanian, maka akan ditetapkan program dan
kegiatan prioritas untuk riset bidang pangan. Iklim riset yang ingin dibangun melalui ARN
adalah mendorong agar kegiatan GoR menjadi arus utama riset nasional, sehingga
diharapkan mampu menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan dan/atau mampu
menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan
pangan nasional.

9