PRAKTIKUM ANALISIS KADAR PROTEIN DAN HCN (1)

PRAKTIKUM ANALISIS KADAR PROTEIN DAN HCN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Bayu Rezaharsamto (240210140033)
Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Jatinangor
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600 Telp. (022)7798844
Fax. (022)7795780 Email : [email protected]

ABSTRAK
Protein merupakan zat makanan yang berperan penting sebagai zat pembangun dan
pengatur dalam tubuh. Asam sianida (HCN) adalah senyawa yang dapat menjadi racun
apabila terkonsumsi oleh manusia dalam kadar yang tinggi. Analisis kadar protein dan HCN
ini bertujuan untuk mengetahui kandungan protein pada sampel tepung hanjeli dan susu dan
kandungan HCN pada sampel petai, kulit petai, daun singkong, dan ubi jalar. Analisis protein
dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl dan analisis HCN dilakukan dengan
metode argentometri. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel tepung hanjeli mengandung
sebanyak 13,73% protein dan susu bubuk mengandung 10,44% protein. Sampel petai
mengandung 935,6643 ppm HCN, kulit petai mengandung 89,9928 ppm HCN, daun
singkong mengandung sebanyak 202,4525 ppm HCN, dan kandungan HCN dalam ubi jalar
tidak akurat karena salah satu hasilnya tidak menunjukkan adanya HCN.
kata kunci : Kadar protein, Kjeldahl, kadar HCN, argentometri


PENDAHULUAN
Protein merupakan suatu zat makanan
yang amat penting bagi tubuh karena zat
ini berfungsi sebagai zat pembangun dan
pengatur. Protein adalah sumber asam
amino yang mengandung unsur-unsur C,
H, O, dan N. (Winarno, 1992).
Protein tersusun dari berbagai asam
amino yang masing-masing dihubungkan
dengan ikatan peptida. Peptida adalah
jenis ikatan kovalen yang menghubungkan
suatu gugus kerboksil satu asam amino
dengan gugus amino asam amino lainnya
sehingga terbentuk suatu polimer asam
amino (Toha, 2001).
Metode Kjeldahl adalah suatu metode
analisis kuantitatif protein. Metode
Kjeldahl dilakukan untuk menganalisis
kadar protein kasar dalam bahan makanan

secara tidak langsung, karena yang

dianalisis dengan cara ini adalah kadar
nitrogennya (Winarno, 1992).
Hasil titrasi kemudian digunakan
untuk menghitung kadar nitrogen bahan.
Hasil tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan kadar protein kasarnya.
Umumnya campuran protein murni terdiri
dari 16% nitrogen. Apabila jumlah N
dalam bahan telah diketahui, maka jumlah
protein dihitung dengan mengalikan
jumlah N dengan faktor koncersi 6,25.
Besarnya faktor konversi tergantung pada
persentase nitrogen yang menyusun
protein dalam bahan pangan.
Asam sianida (HCN) atau prusic acid
adalah senyawa yang terdapat dalam
bentuk
glukosida

taxiphilin
yang
merupakan racun sianida. Apabila racun
sianida ikut terkonsumsi manusia dalam
kadar yang tinggi maka akan terdistribusi
dengan cepat hampir keseluruh jaringan
tubuh,
sehingga
mengakibatkan

pernafasan sel akan terhambat. Gejala
keracunan asam sianida ditandai dengan
pernapasan yang semakin cepat, tekanan
darah turun, mudah lelah, muntah, kejang,
pingsan dan koma.
Analisis kandungan HCN bisa
menggunakan
metoge
argentometri.
Argentometri

adalah suatu
proses
titrimetri dengan menggunakan larutan
standar sekunder perak nitrat. Metode ini
memerlukan suatu indikator untuk melihat
perubahan pada titik akhir titrasi.
Tujuan dari praktikum kali ini adalah
untuk mengetahui kandungan protein pada
sampel tepung hanjeli dan susu bubuk
serta kandungan HCN pada sampel petai,
kulit petai, daun singkong, dan ubi jalar.

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum
kali ini adalah neraca analitis, beaker
glass, spatula, labu ukur, gelas ukur,
grinder, pipet tetes, pipet volume, bulb
pipet, erlenmeyer, biuret, peralatan
destilasi, kertas saring, dan peralatan

Kjeldahl.
Bahan yang digunakan pada analisis
protein adalah padatan K2SO4, HgO,
larutan H2SO4, larutan NaOH.Na2S2O3,
indikator metil merah biru, larutan
H3BO3-, dan larutan HCl. Sampel yang
digunakan adalah tepung hanjeli dan susu
bubuk. Unuk analisis HCN digunakan
Padatan K2SO4, HgO, larutan H2SO4,
akuades, larutan NaOH.Na2S2O3, indikator
metil merah biru, larutan H3BO3-, larutan
HCl 0,02 N, larutan AgNO3, larutan
HNO3, indikator FAS dan larutan
NH4CNS. Sampel yang digunakan adalah
petai, kulit petai, daun singkong, dan ubi
jalar.
Analisis
Kadar
Protein
Metode

Kjeldahl
Analisis dengan metode Kjeldahl ini
terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi,
netralisasi dan destilasi, lalu titrasi. Tahap

destruksi dilakukan dengan memasukkan
0,1 gram sampel pada labu Kjeldahl.
Setelah itu ditambahkan 0,9 gram K2SO4
dan 40 mg HgO sebelum dilakukan
penambahan 2 ml H2SO4 dan dididihkan
hingga jernih. Setelah jernih, larutan
masuk ke tahap netralisasi dan destilasi,
dimana larutan hasil destruksi dimasukkan
ke labu destilasi dengan dibilas oleh
akuades kemudian ditambahkan 10 ml
NaOH.Na2S2O3.
Dalam
erlenmeyer
penampung destilat ditambahkan 3 tetes
indikator metil merah biru dan 2 ml

H3BO3-. Destilasi kemudian dilakukan
hingga volume destilat mencapai 100 ml.
destilat tersebut kemudian dititrasi dengan
larutan HCl 0,02 N hingga berwarna pink
berbayang. Volume yang digunakan dalam
titrasi ini kemudian digunakan untuk
menghitung persentase nitrogen yang
selanjutnya
dapat
dipakai
dalam
penentuan kadar protein.

Kadar N ( )

( V sampel −V blanko ) x N HCl x Ar

mg sampel
Kadar protein(%bb)=%N x Faktor konversi
Analisis Kadar HCN

Sampel yang akan digunakan
dihaluskan dulu dengan grinder kemudian
ditimbang sebanyak 50 gram untuk ubi
jalar dan masing-masing 25 gram untuk
sampel lainnya. Sampel kemudian
dimasukkan dalam labu didih dan
ditambahkan akuades hingga sampel
terendam. Sampel kemudian dilakukan
destilasi dengan 50 ml AgNO3 dan 1 ml
HNO3
sebagai
penampung
pada
erlenmeyer hingga volume destilat
mencapai 150 ml. Setelah destilat
mencapai 150 ml, larutan kemudian
didinginkan. Destilat kemudian disaring
lalu filtrat hasil saringan dipindahkan
kedalam labu ukur 250 ml dan
ditambahkan akuades hingga tanda batas.

Filtrat sebanyak 50 ml kemudian diambil
dan ditambahkan indikator FAS lalu
dititrasi menggunakan NH4CNS hingga
berwarna merah.

Kadar HCN =

W HCN
W awal sampel

6

x 10 ppm

PEMBAHASAN
Analisis Kadar Protein
Prinsip analisis Kjeldahl cara AOAC,
2001, adalah bahan organik dididihkan
dengan asam sulfat pekat sehingga unsurunsusr dapat terurai. Atom karbon menjadi
CO2 dan nitrogen menjadi amonium

sulfat. Larutan tersebut kemudian dibuat
alkalis dengan menambahkan NaOH
berlebihan sehingga ion amonium bebas
menjadi amonia bebas. Amonia yang
dipisahkan dengan cara distilasi kemudian
dijerat dengan larutan asam borat. Garam
borat yang terbentuk dititrasi dengan HCl
(Sudarmadji, 1996).
Sampel yang dipanaskan dalam asam
sulfat pekat dalam tahap destruksi akan
terurai menjadi unsur-unsur C, H, O, N, S,
dan P. Fungsi asam sulfat yaitu sebagai
pengikat nitrogen dan juga menguraikan
unsur-unsurnya. Unsur N dalam protein
ini dipakai untuk menentukan kandugan
protein suatu bahan. Penambahan K2SO4
dan HgO dilakukan agar proses destruksi
berjalan dengan lebih cepat, dimana
sampel didestruksi pada suhu sekitar
340oC hingga sampel menjadi jernih.

Tabel 1. Hasil Analisis Kadar Protein
Sampel
Wsampel (g)
VHCl (ml)
0,1003
8
Tepung Hanjeli
0,1005
11,4
0,1003
7
0,1004
12
0,0997
6,9
Susu Bubuk
0,1007
8,2
0,1019
8,1
0,1012
6,5
Hasil analisis didapat bahwa sampel
tepung hanjeli menghasilkan nilai kadar
protein yang memiliki perbedaan yang
cukup signifikan. Hal ini bisa disebabkan
oleh pembilasan filtrat dengan akuades
yang memakai akuades dengan jumlah

Penambahan NaOH pada tahap
destilasi dilakukan untuk memberikan
suasana basa karena reaksi tidak dapat
berlangsung dalam keadaan asam. Tahap
destilasi ini memecah ammonium sulfat
menjadi ammonia (NH3). Indikator metil
merah biru yang ditempatkan dalam
erlenmeyer merupakan indikator yang
bersifat amfoter, yaitu bisa bereaksi
dengan asam maupun basa. Indikator ini
digunakan untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebih. Asam borat dalam
erlenmeyer berfungsi sebagai penangkap
NH3 sebagai destilat berupa gas yang
bersifat basa. Agar ammonia dapat
ditangkap secara maksimal, ujung alat
destilasi harus tercelup ke dalam larutan
asam borat sehingga dapat ditentukan
jumlah protein sesuai dengan kadar
protein bahan. Larutan asam borat akan
berubah warna menjadi hijau muda karena
larutan menangkap adanya ammonia
dalam bahan.
Titrasi dilakukan untuk menentukan
seberapa banyak volume HCl yang
diperlukan dengan indikator perubahan
warna destilat menjadi warna merah muda
berbayang. Titrasi harus dilakukan dengan
hati-hati agar perhitungan total protein
akurat. Berikut adalah hasil analisis kadar
protein dari sampel tepung hanjeli dan
susu bubuk.
Kadar N (%)
Kadar Protein (%)
1,61
10,0625
2,38
14,8750
1,7
10,65
3,096
19,35
1,37
8,739
1,65
10,527
1,9784
12,6223
1,5494
9,8851
yang tidak sama pada saat memasukkan
kedalam
labu
destilasi
sehingga
mempengaruhi perhitungan kadar protein.
Rata-rata kadar protein yang didapat dari
sampel tepung hanjeli adalah 13,73%.
Kadar protein tepung hanjeli pada literatur

Grubben dan Partohardjono, 1996, berada
pada nilai 14,1%. Kesimpulan dari
perbandingan hasil analisis dengan
literatur adalah hasil analisis kadar protein
tepung hanjeli termasuk akurat karena
relatif sama dengan literatur.
Tepung hanjeli sendiri merupakan
bahan pangan yang dapat dijadikan
sebagai alternatif pangan karena tepung
hanjeli memiliki nilai gizi yang relatif
lebih baik dari serealia lain. Kandungan
protein dalam hanjeli lebih banyak
dibandingkan serealia lain seperti beras,
jagung, millet, sorgum, dan barley,
sehingga produk olahan dari tepung
hanjeli ini bisa menghasilkan suatu produk
pangan dengan nilai gizi yang lebih baik.
Hasil analisis kadar protein pada
sampel susu bubuk terdapat masalah yang
sama seperti pada sampel tepung hanjeli,
dimana terdapat perbedaan nilai kadar
protein yang cukup signifikan, dimana hal
ini bisa disebabkan hal yang sama seperti
pada tepung hanjeli. Rata-rata kadar
protein yang terkandung dalam susu
bubuk hasil analisis adalah 10,44%. Kadar
protein yang tertera dalam kemasan susu
bubuk sendiri adalah 9%. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai gizi yang tertera
dalam kemasan sesuai dengan hasil
analisis.
SNI 01-2970-2006 tentang susu
bubuk sendiri menyebutkan kadar
minimal protein yang harus terkandung
dalam susu bubuk berlemak adalah 23%
b/b sedangkan untuk susu bubuk bebas
lemak adalah 30% b/b. susu bubuk
berlemak sendiri adalah susu bubuk yang
diperoleh dari susu cair, atau susu hasil
pencampuran susu cair dengan susu kental
atau krim bubuk yang telah dipasteurisasi
dan melalui proses pengeringan. Susu
bubuk bebas lemak adalah produk susu
berbentuk bubuk yang diperoleh dengan
pengeringan susu skim pasteurisasi. Kadar
protein pada susu bubuk bebas lemak
lebih banyak dibandingkan susu bubuk
berlemak karena susu bubuk bebas lemak
tidak memiliki komponen lemak susu

sebanyak susu bubuk berlemak sehingga
konsentrasi protein pada susu bubuk bebas
lemak menjadi lebih banyak.
Analisis Kadar HCN
Prinsip dari analisis kadar HCN ini
adalah HCN dalam sampel diekstraksi
dengan akades, kemudian dilakukan
destilasi. Destilat yang mengandung HCN
diikat oleh AgNO3 dalam suasana asam.
Kelebihan AgNO3 ini kemudian dititrasi
dengan
NH4CNS
dimana
volume
NH4CNS yang terpakai selama titrasi ini
kemudian digunakan untuk perhitungan
kadar HCN.
Sampel dihaluskan agar dapat
mengeluarkan HCN dari sampel. Sampel
kemudian ditambahkan akuades agar HCN
larut
dalam
akuades
dengan
memanfaatkan sifat HCN yang mudah
larut dalam air sehingga HCN dalam
sampel dibiarkan untuk larut terlebih
dahulu dalam air sebelum di destilasi.
Penambahan AgNO3 dimaksudkan untuk
menangkap HCN dengan baik karena
AgNO3 merupakan basa yang digunakan
untuk menghidrolisis HCN. HNO3
berfungsi untuk menciptakan suasana
asam karena dalam kondisi basa Fe3+ pada
FAS akan terhidrolisis (Harjadi, 1990).
Ferri ammonium sulfat atau FAS
digunakan sebagai indikator yang mudah
bereaksi dengan HCN sehingga dapat
mempermudah dalam penentuan titik
akhir titrasi. Sisa AgNO3 kemudian
dititrasi dengan NH4CNS. Reaksi yang
terjadi saat penampungan HCN dalam
erlenmeyer adalah:
HCN + AgNO3 → AgCN + HNO3
Titrasi dengan NH4CNS sampai warna
berubah menjadi merah menandakan titik
akhir titrasi. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut:
AgNO3 berlebih + NH4CNS → NH4NO3 + AgCNS
CNS- + F3+ → F(CNS)2+

dimana AgCNS berwarna putih dan
petai, kulit petai, daun singkong, dan ubi
2+
F(CNS) berwarna merah. Berikut adalah
jalar.
hasil analisis kadar HCN pada sampel
Tabel 2. Hasil Analisis Kadar HCN
Sampel
Wsampel (g)
VNH4CNS (ml)
WHCN (mg)
Kadar HCN
(ppm)
25,01
0,2
23,4
935,6257
Petai
25,01
0,2
23,4
935,6257
25,0069
0,1
25,2
1007,686
25,0081
0,3
21,6
863,72
Kulit Petai
20,0001
1,4
1,8
89,9995
20,0031
1,4
1,8
89,9861
25,00
1,2
5,4
216
Daun Singkong
25,00
1,3
3,6
144
20,0066
1,2
5,4
269,91
20,0085
1,3
3,6
179,9
Ubi Jalar
50,00
1,1
7,6
144
50,03
1,5
0
0
Hasil
analisis
kadar
HCN
jauh lebih sedikit hingga mencapai
menunjukkan bahwa petai adalah sampel
setengahnya.
yang mengandung HCN paling banyak.
HCN dalam singkong sendiri tidak
Rata-rata HCN yang terkandung dalam
terdapat bebas melainkan terikat dalam
petai adalah 935,6643 ppm. Tetapi jumlah
bentuk senyawa yang disebut linamarin
ini berkurang pada saat pengujian HCN
atau
glukosida
aseton
sianohidrin
pada
kulit
petai.
Hasil
analisis
(Winarno, 1992). HCN baru bersifat
menyebutkan bahwa kulit petai hanya
toksik apabila linamarin diurai oleh enzim
mengandung sekitar 89,9928 ppm
linamerase yang secara alami terdapat
kandungan HCN. Hal ini menunjukkan
dalam singkong.
bahwa kandungan HCN pada petai lebih
Hasil analisa kadar HCN pada sampel
terkonsentrasi di dalam daging petai
ubi jalar menunjukkan dua hasil yang
dibandingkan dalam kulit petai tersebut.
berbeda signifikan. Hasil pertama
Hasil analisis kadar HCN pada
menunjukkan
bahwa
ubi
jalar
sampel daun singkong menunjukkan
mengandung sebesar 144 ppm HCN
bahwa daun singkong mengandung
dalam sampel. Uji kedua menyatakan
sebanyak 202,4525 ppm kandungan HCN
bahwa tidak terkandung senyawa HCN
dalam sampel. Literatur Sutrisno dan
dalam sampel. Hal ini bisa disebabkan
Keman, 1981, menyebutkan bahwa
karena sifat HCN yang mudah menguap
kandungan sianida pada daun singkong
akibat pengaruh suhu. Dengan adanya
muda berkisar antara 560 – 620 ppm,
kenaikan suhu dan waktu inkubasi yang
sementara untuk daun tua berkisar antara
relatif lama pada proses analisis, dapat
400 – 530 ppm. Kadar ini digolongkan
menyebabkan hilangnya sianida yang akan
dalam umbi jenis singkong pahit (Fukuba
diukur (Darmawan, 1987)
dan Mendosa, 1984). Hal ini dapat
diartikan sampel daun singkong yang
KESIMPULAN
diujikan dalam praktikum merupakan
daun singkong dari umbi jenis singkong
Tepung hanjeli dalam analisis kadar
manis karena kandungan sianida nya yang
protein mengandung sebanyak 13,73%
protein dalam bahan. Hal ini sesuai

dengan literatur yang menyebutkan bahwa
tepung hanjeli mengandung sekitar 14,1%
protein dalam bahan. Susu bubuk hasil
analisis mengandung sebanyak 10,44%
protein. Kemasan susu menyebutkan
bahwa produk tersebut mengandung
sekitar 9% protein dalam bahan. Hal ini
menandakan bahwa tidak terdapat
penipuan terhadap konsumen.
Kadar HCN paling banyak dari
sampel-sampel yang dianalisis terdapat
pada sampel petai dimana kadar HCN
pada petai mencapai 935,6643 ppm. Tetapi
pada kulit petai kandungan HCN
berkurang jauh dimana hanya terdapat
89,9928 ppm HCN. Sampel daun
singkong mengandung 202,4525 ppm
kandungan HCN dan pada analisis ubi
jalar terdapat pengujian yg tidak
menunjukkan adanya kandungan HCN
sama sekali, yang bisa diakibatkan karena
teruapkannya HCN sebelum dapat
dianalisis.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 2006. Susu
Bubuk. SNI 01-2970-2006. Badan
Standardisasi Nasional. Jakarta.
Darmawan. 1987. Beberapa Prosedur
Pengujian
Sianida.
Fakultas
Peternakan IPB. Bogor.
Fukuba, H. dan EMT. Mendosa. 1984.
Determination of
Cyanide
in
Cassava. Tropical Root Crop.
Postharvest
Physiology
and
Processing. Japan Scientific Societies
Press. Tokyo.
Grubben, G.J.H., dan S. Partohardjono.
1996. Plant Resources of South-East
Asia. Prosea. Bogor.
Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik
Dasar. Penerbit Gramedia. Jakarta.

Sudarmadji, Slamet et al. 1996. Prosedur
Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian.
Penerbit
Liberty.
Yogyakarta.
Sutrisno, D. dan S. Keman. 1981. Nilai
Makanan Hijauan Segar Ketela
Pohon untuk Ternak Sapi dan
Kerbau. Pros. Seminar Penelitian
Peternakan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Toha, A.H. 2001. Biokimia: Metabolisme
Biomolekul. Alfabeta. Bandung
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan
Gizi. Gramedia. Jakarta