Ekonomi Politik Internasional dalam HI

Setudi Ekonomi Politik Internaisonal dan Hubungan Internasional
Oleh: Gigih Alislami

Abstraksi
international relations was a study of interstate relations that gave great concern base on hight political
issue. Sign by state centric studies, a phenomenon of international economics at 1970’s had been
changing. International oil creasis and the fall of bretoon woods sistem as an international monetary
sistem that held at that time showed the complect relations and the increasing in the international
studies. Some international phenomenon could be understood only by politacl analisys or iven
economical analisys. This situations brought some efort for internationl scholar to product an
approach that could representese and give the best explanations on a situations where the complecity
relations of international problems could be understood well.

Key Word: international relations, International Political Economic
Pendahuluan
Perjalanan hubungan antar manusia menjadi suatu kisah yang seolah menarik dan
mengesankan untuk dapat dirangkum kedalam satu tulisan layaknya alkitab yang akan
menjadi rujukan dan selalu diabadikan. Mencoba mengingat sebuah perjalanan singkat dari
sebuah perjalanan dalam mengenal manusia, diawali dengan kehidupan individu Adam yang
diyakini bagi beberapa kalangan sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan di dunia
untuk menjadi khalifah di muka bumi, Adam selanjtunya didampingi oleh Siti Hawa sebgai

istri dan pendamping hidup untuk Adam. Dalam gambaran mengenai kehidupan Adam dan
Hawa dilengkapi dengan dunia dan segala isinya yang mencakup segala macam hal di alam
semesta ini, air, udara, laut, binatang, tanaman dan lainnya sebagai hal yang dianugrahkan
kepada manusia untuk menjadi manfaat untuk menunjang segala kebutuhan manusia semasa
hidupnya.
Dari gambaran di atas jelas menunjukan betapa manusia memang sejatinya tercipta untuk
berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai hal yang ada di sekitarnya guna mencapai
intisari perjalanan hidupnya. Perjalanan panjang kehidupan manusia diwarnai oleh berbagai
macam hal, anugrah akal yang diberikan sebagai entitas tertinggi yang membedakan manusia
dengan makhluk lain di dunia ini, mengarahkan manusia kepada usaha mencapai keadaan
untuk menjadi lebih baik. Menciptakan sebuah kotak yang dikenal dengan istilah ilmu
pengetahuan.

Permasalahan mengenai ilmu kemanusia menjadi satu kajian tersendiri kedalam ilmu sosial,
yang mengkaji mengenai hubungan dan iteraksi manusia dengan sekitarnya. Perjalanan
peradaban manusia yang terus semakin maju dengan ditopang oleh pemahaman akan ilmu
pengetahuan menghantarkan manusia menemukan suatu konsepsi tentang Negara. Diawali
dengan penandatanganan perjanjian westphalia. Pola interaksi ini berkembang seiring
kemajuan peraaban, pencapaian suatu konsepsi tentang Negara Bangsa. Pembantukan entitas
yang menaungi manusia berdasarkan wilayah yang pasti dengan pengorganisiran oleh aturan

dan kelembagaan yang disebut Negara ini membawa peradaban manusia kepada masa dengan
interaksi yang berorientasikan batasan Negara Bangsa.
Dalam perjalanannya, interaksi antar entitas manusia ini dalam bentuk Negara Bangsa
mencapai suatu masa dimana banyak muncul perselisihan dan masalah di antara mereka.
Salah satunya adalah persoalan perang, perang yang melibatkan Negara – Negara sebagai
aktor yang mempelopori munculnya perang. Dampak perang yang ternyata membawa
kerugian bagi banyak Negara Bangsa, mengarahkan pengembangan setudi kemanusiaan
menuju usaha pemahaman mengenai perang untuk menghindari kembali munculnya perang
di antara Negara. Situasi ini yang melatarbelakangi munculnya setudi hubungan
internasional.
Dengan didukung oleh kemajuan bidang keilmuan yang telah lama berkembang sebelum
setudi hubungan internasional ini terbentuk, setudi hubungan berkembagn dengan cepat
dalam bidang kajiannya. Salahsatu yang menjadi kajian dalam setudi ini adlah bidang
ekonomi politik internasional. Dalam tulisan ini akan berusaha menjelaskan ekonomi politik
internasional (EPI) sebagai bagian dari setudi hubungan internasional.

hubungan internasional
Sebagai sebuah kajian, hubugna internasional diresmikan dan disahkan menjadi kajian
akademis pada tahun 1919 di universitas Aberistwyth di Wales. Dilatarbelakngi oleh
pecahnya perang dunia I, disiplin ini membahas tekait dengan masalah internasional, seingga

diarahkan untuk mampu menciptakan suatau pemahaman mengenai hal – hal yang akhirnya
menimbulkan pecahnya perang dunia pertama. Tugaas ini lah yang mendorong setudi ini
untuk mampu memunculkan semacam struktur disiplin hubungan internasional dan
pendekatan yang harus digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya. Sebagai sebuah

disiplin ilmu, hubungan internasional pada masa awalnya memfokuskan kajiannya untuk
memahami perilaku Negara-Bangsa.1
Perang 30tahun 1618-1648 seringakali ditengarahi sebagai akhir and awal peradaban modern
dengan perdamaian Westphalia yang mengahiri perang tersebut.2 Perang tigapuluh tahun
ditengarahi sebagai perang benua yang pertama di Eropa dikarenakan perang ini yang
melibatkan berbagai aktor yang satu sama lain saling bersilangan, permasalahn toleransi
beragama ditengrahi sebagai akar maslah perselisihan ini. 3 Peperangan ini diakhiri dengan
penandatanganan perjanjian Westphalia pada 1948, perjanjian ini menegaskan kemenangan
penguasa (pangeran pada masa itu) untuk memiliki kekuasaan mutlak atas urusan
domestiknya terlepas dari tekanan eksternal (kekasiaran kristiani pada masa itu).
Keberhasilan ini menandakan kemenangan Negara untuk mengatur maslah internalnya secara
mandiri, dan dalam perjanjian ini disertakan beragam aturan dan prinsip politik masyarakat
Negara baru. Perjanjian ini dibentuk untuk menyediakan perjanjian yang fundamental dan
komperhensif bagi seluruh eropa.4
Implikasi perjanjian ini langsung terlihat pada pentas politki kala itu. Ssegera setelah

penetapan ini, Negara – Negara seolah menjadi satu – satunya sistem politik yang sah. Situasi
saat itu dapat terangkum kedalam beberapa karakterisrik. Pertama,ia terdiri atas Negara yang
saling berdekatan dan mengakui legitimasi dan kemerdekaan masing – masing. Kedua,
pengakuan tersebut tidak keluar dari sistem Negara Eropa. Sistem di luar Negara Eropa
dianggap inferior secara politik dan akhirnya berada di bawah aturan kekaisaran Bangsa
Eropa. Ketiga, hubungan Negara – Negara Eropa kala itu menjadi subjek hukum
internasional dan praktek – praktek diplomatik. Keempat, terdapat perimbangan kekuatan
diantara Negara untuk menghindari hegemoni yang dikhawatirkan akan kembali
membangkitkan pola kekaisaran atas benua tersebut.5
Pola hubungan antar Negara Bangsa ini yang melatarbelakngi kajian megnenai hubungan
antar Negara modern dalam pembahasan kajian hubungan internasional. Pada mulanya kajian
ini merupakan kajian yang mempelajari sejarah Diplomasi, Hukum Internasional, Dan

1 Ross Eventon, 2009, The Purpose of International Relations, London: Webster
University, p. 9.
2 Robert Jackson & George Sorensen, 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Pustaka Pelajar: Yogyakarta. P. 21 – 23.
3 Holsti (1991: 26-28) dalam Robert Jackson & George Sorensen, (2009), P. 21.
4 Watson (1992: 186) dalam ibid. P. 22.
5 Ibid. P. 22.


Ekonomi Internasional.6 Namun kajian hubungan internasional secara resmi diakui sebagai
kajian yang terpish dalam lingkungan keilmuan barat baru akhir Perang Dunia I dengan
diberdirikannya Dewan Hubungan Internasional di Universitas Wales, Abersytwyth pada
1919.7 Pada masa awal kajiannya, setudi ini bangyak membahas mengenai masalah perang,
mengenai sejarah perang dan penyebab – penyebab perang.aktifitas keilmuan HI masa ini
benar – benar di dorong oleh tujuan moral murni untuk menemukan sebab – sebab perang
demi terhindarnya bencana serupa di masa yang akan datang.8
Para pemikir awal hubungan internasional merupakan banyak berkembang diNegara yang
olah Burchill disebut sebagai “puas” atau “setatus quo” terutama Inggris dan Amerika Serikat
sebagai reaksi atas kekhawatiran akan konflik yang belum terjadi. Kajian awal HI
menghasilkan sebuah konsepsi mengenai usaha mencapai perdamaian oleh kalangan yang
dikenal dengan istilah kaum “idealis” atau “utopis”. Kalangan ini mengusulkan ide mengenai
keamanan bersama (a system of collective security) yang meliputi tindakan transformasi
konsep dan praktek masyarakat domestik ke lingkup internasional. Usulan kalangan ini
kemudian dikenalkan melalui konsep concert (kesepakatan bersama) yang secara konkrit
diimplementasikan melalui lembaga internasional seperti League of Nations. HI awal yang
merupakan perwujudan atas usaha menentang kebiadaban Perang Dunia I ini tidak serta
merta mendapati hakekat kajian disiplin HI yang sesungguhnya. Muncul berbagai pertanyaan
dan kesanksian akan pola pendekatan awal setudi ini. Pendekatannya yang normatis yaitu

ditunjukan untuk tujuan tertentu mendapat tantangan dari kaum yang disebut dengan
“ralisme”. Kalangan ini meyakini bahwa hanya dengan kajian yang sungguh – sungguh
(objektif) mengenai perang itu sendiri yang hanya bisa mendapati pemahaman mengenai
sebab perang dan akan didapati formulasi yang tepat untuk mecegah pecahnya kembali
peperangan. Perdebatan ini dalam setudi hubungan internasional dikenal dengan istilah debat
akbar pertama (first great debate) antara tradisi Realisme dan Liberalisme yang
memfokuskan persoalan mengenai bagaimana seharunya mempelajari setudi hubungan
internasiona.9
Objek kajian setudi hubungan internasional mengalami perkembangan yang cukup pesat,
persoalan yang lebih lanjut seiring perkembangang setudi HI adalah persoalan mengenai
6 Anak Agung Banyu P., 2006, Ilmu Pengantar Hubungan Internasional, cetakan kedua,
Rosdakarya: Bandung, p. 2.
7 Scott B. & Andrew L., 1996, Theories of International Relations, ST Martin’s Press: New
York, terjemah bahasa indonesia oleh M. Sobirin, Nusa Media: Bandung, p. 5.
8 Ibid. P. 3.
9 Ibid. P. 7-9.

ketiadaan kesepakatan teori HI. Sekayaknya disiplin ilmu yang lain, sebut saja ilmu fisik
yang memiliki basis teoritis yang mampu menjelaskan fenomena dengan pendekatan dan
metodologi yang sudah pasti. Pada masa ini HI memasuki fase perdebatan kedua (second

great debate) antara tradisi awal HI dengan para penggagas tentang perlunya sebuah metode
pasti dalam mempelajari HI yang dikenal dengan kalangan positifis. Salagsatu teoritisi kajian
hubungan internasional yang membahas perdebatan besar kedua hubungan internasional
adalah Hedley bull melalui tulisanya International Theory.10
Istilah hubungan internasional yang diciptakan sebagaimana awalmulanya pun menjadi suatu
objek kajian yang interdebte studies, yaitu suatu setudi yang dicirikan dengan perdebatan
diantara tradisi pensetudi hubungan internasional. Istilah hubungan internasional sendiri
mengandung unsur perdebatan yang serius, seolah mengarahkan setudi kajian ini adalah
Negara – Bangsa sebagai objek kajiannya.11 Namun seiring perkembangannya, tema Negara –
Bangsa hanyalah merupakan bagian dari kajian HI. Perubahan sistem internasional yang
terjadi turut mempengaruhi objek kajian disiplin keilmuan ini, yang nyatanya menambah
objek kajian HI tidak hannya terbatas pada persoalan Negara - Bangsa. Maka Banyu Agung
Perwita menyebut bahwa HI sebagai disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang sedang
tumbuh.12 Istilah yang dirujukan oleh Anak Agung mengindikasikan bahwa formulasi
mengenai kajian HI itu masih dalam proses yang tengah berjalan dan belum rampung untuk
menjadi satu kajian yang tengah berusaha mencapai keutuhan kajian selayaknya disiplin ilmu
lain yang berkembang jauh sebelum HI dan telah mencapai kemapanan.
Selanjutnya Anak Banyu mengklasifikasikan perkembangan setudi HI melaui periodisai
tahun, pada awal 1930-an HI merupakan kajian yang didominasi oleh setudi masalah –
masakah politik internasional, geografi politik, dan opini publik. HI bukan lagi hanya

terfokus pada kajian masalh perang seperti awal pembentuykannya, walaupun setudi
mengenai perang masih memiliki porsi lebih dalam kajian HI. Setelah PD I tersebut, Liga
Bangsa – Bangsa yang digagas oleh tradisi liberal sebelumnya mengalami kemunduran akibat
pecahnya Perang Dunia II. Kondisi ini menunjukan keberhasilan tradisi realisme yang
selanjutanya mendominasi kajian HI yang berlanjut hungga masa sesudah Perang Dunia II
dan dibentuknya Perserikatan Bangsa – Bangsa yang merupakan bentuk transformasi dari
Liga Bangsa – Bangsa. Dunia memasuki fase baru yang dikenal dengan istilahPerang Dingin,
10 K. Knorr & James N. Rosenau, 1972, Contending Approach to International Politics,
scond editions, Princenton University Press: New Jersey, p. 21 – 37.
11 Opcit. P. 12.
12 Anak Banyu Agung P., P. 2.

semacam perselisihan yang dilatarbelakangi oleh perselisihan ideologis antara Amerika
Serikat dan Unisoviet. Pada periode ini, kajian HI masih didominasi oleh pendekatan state
sentric yang mengedepankan kajian mengenai perilaku Negara dan mengedepankan entitas
Negara sebagai aktor utama dalam pentas politik internasional.
Selanjutnya periode 1960-an dan 1970-an, perkembangan setudi HI semakin kompleks,
dimana Negara Bangsa telah menjadi sistem global dimana jumlan Negara yang menganut
sistem Negara modern meningkat drastis. Keanggotaan PBB yang semula hannya berjumlah
50 anggota pada dasawarsa 1945 mengalami peningkatan hinggs mencapai 160 Negara

anggota. Situasi ini membawa perubahan pada objek kajian HI, formasi PBB menjadi
penanda penguatan peran IGOs (Internasional Government Organisations) yang juga mulai
menjadi fokus kajian HI. Selai itu juga mulai muncul INGOs (Internasional non
Giovenmental Organisations) menambah kajian HI melingkupi kajian mengenai organisasi
yang bersifat internasional. Pada periode ini mulai muncul sebuah fenomena yang berbeda
dari tradisi HI sebelumnya, fenomena krisis ekonomi akibat perilaku organisai OPEC yang
menghentikan pasokan minyak ke Negara – Negara industri. Kemudian runtuhnya sistem
moneter internasional Bretton Woods akibat kebijakan AS saat itu yang akhirnya
mengedapankan kepentingan domestiknya daripada mempertahankan tanggungjawabnya
kepada sistem internasional. Kondisi ini semakin memperparah kondisi moneter
internasional, dan sekalisgus menggambarkan keterkaitan antara ekonomi dan politik di satu
sisi. Bahwa kajian antara ekonomi dan politik semakin tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Berlanjut pada dekade 1980-an, ditengarahi sebagai perluasan setudi hubungan internasional
yang sangat signifikan, kajian HI yang masih diwarnai oleh bipolaritas politik internasional
antara AS dan Soviet dalam konteks Perang Dingin. Namun demikina telah muncul kekuatan
yang dikenal dengan istilah sub groups. Fenomena yang terjadi dalam pentas internasional
membawa HI untuk juga mengkaji aktor di luar Negara, aktor lain yang bukan hannya
Negara yang aktifitas atau perilakunya berpengaruh kepada Negara Bangsa. Hingga akhirnya
hubungan interansional mengacu kepada segala aspek bentuk interaksi.13
Memasuki masa pasca perang dingin, setudi HI kian kompleks dengan semakin menguatnya

aktor – aktor baru baik Negara maupun non Negara dalam pentas internasional yang
berpengaruh secara langsug maupun tidak langsung dalam dinamika politik internasional.

13 Ibid. P. 3.

Anak Agung menjelaskan bahwa dinamika HI dapat terlihat dari aspek praktis dan aspek
akademis.
Burchill merangkum pola baru dalam setudi HI kedalam sedikitnya empat kelompok besar.
Pertama adalah setudi mengenai hubungan terkit munculnya fenomena saling ketergantungan
ekonomi, hutang dan ketergantungan Dunia Ketiga, perdagangan internasional, kesenjangan,
identitas politik dan kewargaNegaraan model baru, rezim, komunitas Negara – Negara
internasional, anarki, kerjasama, ekonomi regional, keseimbangan kekuasaan, demokrasi,
keamanan pasca perang dingin; Kedua adalah aktor yang meluas meliputi Negara Bangsa,
perusahaan transnasional, pasar modal, perusahaan multinasional, pasar modal, organisasi
non-pemerintah, masyarakat politik supranasional dan subnasional, pasukan penjaga PBB,
gerakan sosial baru, G7, IMF-World Bank; Ketiga adalah isu – isu empiris mencakup
persoalan globalisasi dan isolasi, hak asasi manusia, intervensi dan kedaulatan, bantuan,
pengungsi, etnis, persoalan perempuan, konservasi lingkungan, AIDS, narkoba, kejahatan
terorganisir transnasional; Keempat adalah isu – isu filsafat mancakup pembahasan persoalan
terkait epistemologi, ontologi dan metodologi, perspektif gender, perdebatan antar pardigma,

etika dan kebijakan luar negri.14
Peroses menuju entitas kajian HI masih dalam proses yang memberikan peluang bagi
kalangan akademisi maupun paraktisi hubungan internasional untuk turut berpartisipasi aktif
untuk mengembangkan setudi HI.

Ekonomi Politik Intenasionaal
Kajian mengenai ekonomi kurang mendapat perhatian semasa perang, seorang presiden
prancis Charles de Gaulle mengistilahkan persoalan ekonomi dengan “quarter master’s
stuff” atau politik tiungkat rendah. Secara sederhana peryataan ini menunjukan mengenai
perhatian akan persoalan ekonomi sebagai persoalan yang hanya perlu dilihat sekedarnya
saja, sementara yang lebih penting adalah politik tingkat tinggi yang hirau dengan isu besar
seperti perang dan damai.15
Pada masa ini, pengamat ekonomi sering mengabaikan aspek kepentingan nasional sementara
para pengamat politik ecap kali memfokuskan perhatian kepada Negara – Bangsa. Kondisi ini
14 Scott Burchill & Andrew L., P. 12.
15 Robert J., & G. Sorensen, P. 229.

menunjukan ketersampingan perhatian akan keterkaitan poltik dan ekonomi yang menjadi ciri
utama kajian Ekonomi Politik. Ketidakmampuan penjelasan hubungan antara ekonomi dan
politik ini berusaha dijelaskan oleh Charles P. Kinderberger dalam tulisannya yang bertajuk
Hegemoyi dan Kenneth N. Waltz melalui Man, State and War.16
Kajian ekonomi dan politik seolah memiliki tembok pemisah yang tebal diantara mereka
yang berakibat pada berkembangnya pandangan bahwa Ekonomi merupakan kesatuan yang
mandiri dan begitu pula dengan politik. Hingga 1960-an perhatian mengenai isu politik
merupakan hal yang sangat minim, salah satu penyebabnya adalah perang dingin.
Pengalaman praktisi maupun akademisi masa ini merupakan hasil yang didominasi oleh
pengalaman perang, yang bahkan terjadi sebanyak dua kali untuk kurun waktu yang singkat.
Hal ini yang kemudian mendorong munculnya fokus pilihan; yang bahkan dapat dibilang
logis; kepada para akademisi maupun praktisi untuk memberi porsi lebih dalam
memperhatikan persoalan poltik ketimbang ekonomi sebagai dapak traumatik kekejaman
perang. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah konsepsi mengenai pemisahan antara
politik dengan ekonomi, pemisahan antara wilayah politik bagi Negara dan pasas sebagai
ekonomi merupakan bentuk dari masyarakat kapitalisme modern.17
Pemahaman pemisahan Negara dan pasar memang tidak semestinya mengabaikan segi
keterikatan antara ekonomi dan politik. Pemahaman akan keterpisahan ekonomi dan politik
oleh tembok diantara keduannya segera runtuh segera setelah pada permulaan 1970-an terjadi
krisis global. Sebagai dampak krisis, AS yang merupakan stabilitas hegemoni internasional
melalui permberlakuan Dollar AS sebagai katalisator keuangan internasional melalui sistem
moneter internasional Bretton Woods runtuh pada 15 Agustus 1971 melalui keputusan
Presiden Ricard Nixon.18 AS membatalkan konvertibilitas emas Dollar AS, akibat kesulitan
ekonomi AS sebagai akibat keterlibatan perang Vietnam (1961-1973). Keputusan politik yang
diambil AS secara langsung merubah aturan main bagi pasar ekonomi internasional.19
Krisis minyak internasional menjadi indikator lain bagi penanda keterkaitan ekonomi dan
politik. Kondisi ini menyebabkan perasaan kehilangan kekebalan bagi Negara – Nagara
adidaya yang secara politis memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam ancaman.
Embargo minyak oleh Negara Arab 1973-74 dan penguatan peran OPEC (Organisation of
16 Michael Veset dalam International Political Economy diakses melalui
http://www2.ups.edu/ipe/whatis.pdf 24/04/12 Pkl. 20:46.
17 R. Jackson & G. Sorensen, P. 229.
18 Opcit.
19 Opcit. P. 229.

Petrolium Exporting Countries) semakin menambah kompleksitas hubungan politik dan
ekonomi, bahwa keputusan politik tidak selayaknya mengabaikan potensi hubungan ekonomi
atau dampak ekonomi.
Situasi dekolonialisasi juga menandai kebangkitan isu ekonomi, kondisi ini telah
menciptakan kemunculan negara baru yang secara politik lemah dan secara ekonomi miskin
dalam sistem internasional. Golongan ini digolongan sebagai subordinat dalam sistem
ekonomi internasional oleh Sorensen. Keberadaan PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsat)
merupakan instruneen penting usaha politik negara baru merdeka yang melakukan usaha
politik dalam bentuk usulan pembentukan “ Tata Ekonomi Internasional Baru” untuk
memberikan kesempatan bagi negara Dunia Ketiga mencapai perbaikan taraf ekonomi.
Usulan ini menandakan betapa kondisi ekonomi sangat mempengaruhi tindakan – tindakan
politik.20
Pendekatan yang berkembang saat itu kurang mampu menjelaskan fenomena yang mengubah
pandangan dan pemahaman internasional betapa ekonomi dan politik sesungguhnya saling
berkaitan begitu erat. Pendekatan poltiki amaupun ekonomi kurangmampu menjelaskan
fenomena internasional ini, maka dibutuhkan sebuah pendekatan yang mampu menjelaskan
kompleksitas hubungan antara politik dan ekonomi dalam sistem internasiona. Dan situasi ini
yang akhirnya melatarbelakangi dikembangkannya tradisi baru dalam kajian internasional
yang dikenal sebagai Ekonomi Politik Internasional.
Ekonomi Politik Internasional secara sederhana dapat dipahamai sebaga setudi yang
menjelaskan kompleksitas hubunga ekonomi dan politik dalam sisteminternasional. Michael
Veset EPI sebagai setudi probelmatika (problematique), yaitu setudi yang membahas
hubungan antar masalah yang saling terkait satu sama lain, probelmatika adalah seperangkat
masalah internasional yang tidak dspat dijelaskan hanya melalui satu persepektif saja. 21 Veset
menggolongkan objek kajian EPI kedalam kelompok kajian mengenai; Perdagangan
Internasional, Keuangan Internasional, Hubungan Utara – Selatan, MNC, Masalah Ekonomi
dan kemudian Kajian Globalisai.
Sementara Joan Spero memformulasikan definisi EPI yang lebih konstruktif melalui
penjabaran politik internasional dan ekonomi internasional. Politik Internasional adalah
interaksi diantara Negara – Negara dalam upaya mencapai tujuan masing – masing dan
20 Ibid. P. 230.
21 Michael Veset.

penentuan “ who gets what, when, and how?”. Sementar Ekonomi internasional adalah
perilaku negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dalam kondisi keterbatasan
sumberdaya. Maka interraksi ekonomi adalah interaksi ekonomi dalam arena internasional.22
Lebih jauh Spero menjabarkan keterkaitan ekonomi dan politik melalui stidaknya empat
situasi;23
1. Struktur dan oprasi sitem ekonomi internasional dipengaruhi oleh struktur dan oprasi
politik internasional;
2. Kepedulian – kepedulian politik selalu mempengaruhi kebijakan ekonomi;
3. Kebijakan – kebijakan ekonomi dituntun oleh kepentingan politik;
4. Hubungan dalam ekonomi internasional adalah hubungan politik interaksi ekonomi
internasional, dan hubungan politik adalah proses dimana Negara – Negara dn aktor
non Negara mengatur konflik dan kerjasama untuk mencapai tujuan.
EPI merupakan setudi yang berkembang guna menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak
dapat dijawab melalui satu pendekatan atau kacamata ilmu tertentu saja atau hanya melalui
analisa satu aktor dalam satu level of analysis. EPI merupakan setudi yang menerobos batasan
tradisional

guna menjelaskan fenomena internasional hingga mencapai penjelasan

komperhensif melalui penggunaan kombinasi pendekatan bidang ekonomi maupun politik
internasional.24

Secara

ringkas

dapat

dipahami

sebagai

bentuk

interdependensi

(salingketergantungan) yang kian meningkat antar berbagai aktor terutama dalam bentuk
transnasionalisme ekonomi yang bersifat lintas batas negara sehingga meniadakan peluang
kebijakan ekonomi politik yang benar – benar bersifat domestik.25
Setelah penjabaran di atas dapat dipahaami bahwasanya EPI merupakan setudi yang berusaha
menjelaskan hubungan antara politik dan ekonomi dalam pentas internasional. Hendaknya
kesimpulan ini mencoba menjadi tolak pikir bersama guna mendapati pemahaman minimum
mengenai setudi EPI. Penulis menyadari definisi minimum mengenai EPI ini tidak akan
mampu menggambarkan secara detail mengenai setudi EPI, selanjutnya definisi minimum ini
yang akan menjadi rujukan untuk istilah EPI.

22 Joan Edelman Spero ,1985, The Political of International Economic Relations dalam
Anag Agung Banyu Perwita, 2006, Ilmu Pengantar Hubungan Internasional, cetakan
kedua, Rosdakarya: Bandung, p. 76.
23 Ibid.
24 David N. Balaam & Michael Veset, 1996, Introductions to International Political
Economy dalam Opcit. P. 77.
25 Anak Agung Banyu P. Ibid.

Ekonomi Politik Internasional dan Hubungan Internasional
Sebagai seorang ilmuan hubungan internasional, sudah selayaknya memiliki kerangka
berpikir yang bercorak hubungan internasional. Sebagaimana disebutkan diawal pembahasan,
bahwa HI adalah interdebate studies, sebagagi kajian yang seringkali menunjukan perdebatan
di antara tradisi keilmuan dalam hubungan internasional itu sendiri. Kondisi ini menurut
Scott Burcill terjadi akibat terdapat du wilayah yang sangat berbeda dalam kajian teoritis
hubungan internasional,; yaitu pertama aspek perilaku negara (kebijakan luar negeri dan
kedua pendekatan dan diskusi di lingkungan akademisi (universitas dan ranah intelektual
umum) yang antara keduanya seringkali bertentangan satu sama lain sehingga sulit
menemukan konsensus mengenai pendekatan dalam setudi hubungan internasional.26
Burcill melanjutkan penjelasannya mengenai bagaimana dominasi realisme dalam
menjelaskan perilaku AS semasa Nixon dan Kissinger dalam politik luar negrinya justru
bersamaan dengan saat derasnya tantangan dari kalangan akademisi untuk yang pertama
kalinya. Pada 1980-an digambarkan bagaimana neo-liberalisme justru mendominasi agenda
politik barat disaat derasnya kritik muncul melalui kajian EPI.27 Beberapa contoh lain saat ini
mungkin kasus yang nampak adalah bagaimana dominasi paradigma relaisme yang mampu
menggambarkan perilaku AS semasa pemerintahan George W. Bush disaat tradisi realisme
justru tengah mendapat tantangan berat dalam kalangan akademisi melalui dominasi tradisi
liberal. Situasi lain adalah bagaimana neo-liberalisme jusrtu menguasai agenda pemerintahan
negara maju disaat muncul perdebatan besar mengenai ekonomi politik akibat ketimpangan
yang disebabkan oleh sistem kapitalisme global.
Sifat studi hubungan internasional yang semacam ini merupakan ciri yang menjadi kunci
setudi HI. Bekumadanya paradigma yang dominan dan tunggal dalam studi ini memberikan
peluang untuk memiliki berbagai macam sisi dalam memandang dan mengkaji fenomena
internaasional. Satu paradigma akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam
mengkajui hal yang sama. Untuk itu, dalam kajian hubungan internasional menjadi penting
ntuk mampu membatasi kajian pada ranah interparadigm ini. Tradisi perdebatan antar
paradigma ini juga merambah ke bidang kajian HI yang lain, termasuk setudi Ekonomi
Politik Internasional.

26 Scott Burcill & Andrew L. P. 13 – 14.
27 Ibid.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tradisi awal HI didominasi olah isu high politics,
seperti persoalan perang dan damai, keamanan, militeristik yang tergolang kedalam persoalan
politik internasional. Perhatian mengenai masalah ekonomi kurang mendapat sorotan para
pengkaji setudi hubungan internasional. Diawali dengan situasi krisis global akibat
keruntuhan sistem moneter Bretton Woods, krisis minyak dan dekolonialisasi sebagai mana
dijelaskan sebelumnya semsa 1970-an, setudi mengenai ekonomi mulai mendapat perhatian
khusus melalui tajuk Ekonomi Politik Internasional.
Dalam perkembangannya, dekolonialisasi melahirkan negara baru yang selanjutnya lebih
dikenal sebagai negara Dunia Ketiga, ssebagai istilah yang ditunjukan bagi negara dengan
posisi ketertinggalan dalam sistem internasional. Adalah penetrasi setudi ekonomi politik ala
Neo-Marxis yang membawa HI menuju babak baru dalam perkembangan setudinya.
Berangkat dari tradisi politik ekonomi yang dikembangkan Karl Marx, tradisi keilmuan ini
mencoba merumuskan teori untuk menjelaskan tentang keterbelakangan ekonomi di dunia
ketiga.28
Masuknya isu kesejahteraan internasional dan kemiskinan internasional ini melatarbelakangi
perdebatan besar ketiga (the thrid great debate) dalam tradisi keilmuan hubungan
internasional, yaitu mengenai kajian Ekonomi Politik Internasional. Perdebatan besar ini
berangkat dari kritik kalangan Neo-Marxis terhadap perekonomian dunia kapitalisme yang
ditanggapi melalui penjelasan tradisi keilnuan HI awal realisme dan liberalisme dalam tajuk
EPI liberal dan EPI realis dengan jawaban masing – masing dalam menjelaskan hubungan
antara politik dan ekonomi dalam hubungan internasional.29
Tradisi Neo – Marxis memperluas analisis Karl Marx atas kapitalisme Eropa yang hannya
merupakan eksploitasi atas kaum buruh yang oleh Marx dikonsepsikan dalam tajuk hubungan
eksploitatif kalangan borjuis atas kaum ploretar. Neo – Marxis kemudian memperluas
analisis ala Marx pada Dunia Ketiga melalui pendapat bahwa perekonomian kapitalisme
global yang dikendalikan oleh negara kaya dipergunakan untuk memiskinkan negara – negara
miskin dunia. Ketegantungan adalah konsep utama neo – Marxis, mereka menyatakan bahwa
pola hubungan tidak seimbang antara negara maju dan negara miskin menciptakan pertukaran
tidak swimbang dalam bentuk eksploitasi. Dimana negara miskin untuk dapat berpartisipasi
dalam dalam sistem kapitalisme global, akhirnya negara miskin harus menjual bahan mentah
kepada negara maju dan harus membeli barang jadi dengan harga yang mahal.
28 Robert Jackson & George Sorensen, P. 75.
29 Ibid.

Keterbelakangan yang dimiliki oleh negara miskin adalah akibat dari ketidakperdulian negara
maju dan kaya.30
Tradisi ini berkembang baik pada masa ini, adalah Andre Gunfer Frank yang menjelaskan
betapa kapitalisme memberikan hanya sedikit surplus ekonomi dan akhirnya memunculkan
begitu banyak penderitaan. Sepanjang kapitalisme menjadi sistem ekonomi global, Negara
Dunia Ketiga akan selalu mengalami keterbelakangan. Kemudian ditegaskan kembali oleh
Immanuel Wallerstein yang secara komperhensif melakukan penelitian atas sistem
kapitalisme global semenjak awal perkembangannya pada abad keenambelas. Wallstrein
memberikan kemungkinan bagi Negara Dunia Ketiga untuk memiliki kesempatan bergerak
ke atas dalam sistem ekonomi global. Namun hanya sedikit yang akan mencapai itu, tidak ada
tempat teratas bagi setiap orang dalm istilah Wallstrein. Kapitalisme adalah suatu hirarki yang
didasrkan atas eksploitasi si miskin oleh sikaya yang situasinya tidak akan pernah breubah
sejauh sistem ini belum diganti.31
Jawaban berbeda dijelaskan oleh EPI liberal yang dikenal sebagai Neo-Liberalism, kalangan
liberalisme menentang pandangan ketergantungan dan eksploitasi ala Neo-Marxis. Mereka
berangkat dari tradisi ekonomi liberal Adam Smith, kesejahteraan manusia akan dapat dicapai
melalui pemisahan antara negara dengan pasar. Pasar yang bebas deengan kepemilikan
swasta dan kebebasan individu akan memberikan dasar bagi kemajuan ekonomi yang
progresif bagi siapa pun yang terlibat. Friedman menjelaskan bahwa Masyarakat tidak akan
melakukan pertukaran selain mereka yakin akan mendapatkan keuntungan dari tindakan
mereka itu. Tradisi liberal memegang keyakinan bahwa kapitalisme sebagai peluang untuk
menuju perkembangan yang progresif bagi negara mana pun.32
Tradisi reais juga menanggapi secara berbeda, tradisi neo-Realism mengangkat pendekatan
mengenai ekonomi sebagai intrumen kekuatan negara yang seharusnya diatur dan
dimanfaatkan untuk pencapaian kepentingan nasional. Pendekatan EPI Realis lebih dikenal
denga sebutan Merkantilisme Ekonomi atau Nasionalisme Ekonomi, tradisi ini berangkat
melalui dasar pemikiran Frienddrich List bahwa ekonomi seharusnya diletakan sebagai
landasan kekuatan negara dan menopang pencapaian kepentingan nasional. Selanjutnya
Robert Gilpin hadir menegaskan bahwa lancarnya fungsi pasar akan tergantung kepada
kekuatan politik, tanpa hegemonik atau kekuatan ekonomi dominan, tidak akan tercapai
30 Ibid.
31 Ibid.
32 Ibid. P. 76.

perekonomian yang liberal. Analisa tradisi neo-Realis akhirnya bermuara pada mundurnya
AS sebagai Hegemnik ekonomi global yang akhirnya mundur dan melemahkan
perekonomian dunia liberal akibat tantangan dari Jepang dan Eropa sehingga tidak ada lagi
hegemoni global.33
Tradisi perdebatan HI kemudian menjadi rambu tersendiri dalam kajian EPI, bagi pensetudi
HI yang berminat dalam kajian ini hendaknya memiliki posisi yang jelas dalam
memposisikan diri untuk menggunakan tradisi yang lebih tepat dalam menjelaskan satu
fenomena. Perlu ditekankan kembali bahwa dalam setudi HI pendekatan yang berbeda akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam mengkaji persoalan yang sama. Hal ini dapat
terjadi akibat tadisi keilmuan HI yang kaya akan pendekatan; jika tidak disebut tidak pasti;
dalam berusaha menjelaskan fenomena internasional.

Kesimpulan
HI adalah disiplin ilmu yang inter debate, artinya bercirikan perdebtan antar pendekatan
dalam menjelaskan fenomena. Rambu – rambu kajian HI ini harus menjadi pedoman
tersendiri dalam setiap kajian HI. Begitu pula dengan kajian EPI, dalam tradisi keilmuan HI
yang penuh dengan perdebatan ini juga berimbas pada pembahasan EPI yang juga diwarnai
dengan perdebatan antar pendekatan yang satu sama lain sangatlah berbeda. Dalam hal ini
bagi persetudi HI perlu mengedepankan pilihan pendekatan yang akan digunakan dalam
menganalisa fenomena internsional untuk menghindarkan inkonsistensi pembahasan yang
akhirnya berujung pada kesalahan kesimpulan.

33 Ibid. 77.

Daftar Pustaka
Anak Agung Banyu P., 2006, Ilmu Pengantar Hubungan Internasional, cetakan kedua,
Rosdakarya: Bandung
Burcill, Scott & Andrew L., 1996, Theories of International Relations, ST Martin’s Press:
New York, terjemah bahasa indonesia oleh M. Sobirin, Nusa Media: Bandung
Eventon, Ross, 2009, The Purpose of International Relations, London: Webster University
Jackson, Robert & George Sorensen, (2009), Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Knorr , K. & James N. Rosenau, 1972, Contending Approach to International Politics, scond
editions, Princenton University Press: New Jersey