Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan tatanan pemberi jasa layanan kesehatan memiliki peran
yang strategis dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia
(Sumijatun, 2010). Tantangan ini memaksa rumah sakit untuk mengembangkan
kemampuannya dalam berbagai aspek untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang
bertanggung jawab dan bermutu.
Menurut UU No.44 tahun 2009 rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang
lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.

2.2. Keperawatan
Pengertian manajemen keperawatan adalah suatu tugas khusus yang harus
dilaksanakan oleh pengelola keperawatan untuk merencanakan, mengorganisasi,
mengarahkan, serta mengawasi sumber-sumber yang ada baik sumber daya manusia,
alat maupun dana, sehingga dapat memberikan pelayanan keperawatan yang efektif,

baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat. Dikatakan juga merupakan pengelolaan
pelayanan keperawatan membutuhkan sistem manajerial keperawatan yang tepat

Universitas Sumatera Utara

untuk mengarahkan seluruh sumber daya keperawatan dalam menghasilkan
pelayanan keperawatan yang prima dan berkualitas. Manajemen keperawatan
merupakan koordinasi dan integrasi dari sumber-sumber keperawatan dengan
menerapkan proses manajemen untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan. Hal
ini tentu perlu didukung oleh seorang manajer yang mempunyai kemampuan
manajerial yang handal untuk melaksanakan fungsi perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian aktivitas-aktivitas keperawatan (Marquis dan Huston,
2010).
Tujuan keperawatan umum meliputi :
a.

Meningkatkan dan mempertahankan kualitas pelayanan rumah sakit.

b.


Meningkatkan penerimaan masyarakat tentang profesi keperawatan dengan
mendidik perawat agar mempunyai sikap profesional dan bertanggung jawab
dalam pekerjaan.

c.

Meningkatkan hubungan dengan pasien, keluarga dan masyarakat.

d.

Meningkatkan pelaksanaan kegiatan umum dalam upaya memberi kenyamanan
pasien.

e.

Meningkatkan komunikasi antara staf.

f.

Meningkaatkan kualitas dan produktifitas kerja staf keperawatan.

Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan

kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu yang sehat maupun sakit yang
mengalami gangguan fisik, psikis dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan
yang optimal. Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki dan melakukan
rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu (Nursalam,
2009).
Profesi keperawatan sebagai salah satu bagian integral dari sistem kesehatan
dapat menjadi kunci utama disamping dokter dalam keberhasilan pelayanan
kesehatan/ rumah sakit. Dikatakan utama karena peran dan tanggung jawab secara
langsung berdampak pada hasil akhir pelayanan klien. Dengan semakin majunya
rumah sakit yang telah berkembang menjadi industri jasa yang kompleks, membuat
tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit juga
semakin tinggi, sehingga seluruh karyawan harus dapat bekerja secara profesional
untuk memberikan asuhan kesehatan kepada pasien/ klien (Sumijatun, 2010).


2.3. Kinerja
2.3.1. Defenisi Kinerja
Moeheriono (2009), menyatakan kinerja atau performance merupakan
gambaran mengetahui tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau
kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang
dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Menurut Ilyas (2001)
kinerja adalah penampilan hasil karya personil dalam suatu oprganisasi.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja
Menurut Gibson dalam (Ilyas, 2001), ada tiga faktor (variabel) yang
memengaruhi kinerja seseorang yaitu :
a.

Faktor individu, terdiri dari kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan
demografis. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama
yang memengaruhi perilaku dan kinerja invidu, variabel demografis
mempunyai efek tidak langsung pada prilaku dan kinerja individu.


b.

Faktor psikologi, terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi.
Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja
sebelumnya, dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap,
kepribadian, dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur.

c.

Faktor organsisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja
individu, terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain
pekerjaan.

2.4. Pengetahuan dan Sikap
2.4.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Dimana pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia yaitu indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman,
indra rasa dan indra raba. Telah disebutkan diatas bahwa kognitif (pengetahuan)


Universitas Sumatera Utara

merupakan salah satu domain perilaku. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007) bahwa
pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif, mempunyai 6 tingkat, yaitu :
1.

Tahu (know) yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.

2.

Memahami (comprehension) yang diartikan sebagai kemampuan menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui.

3.

Aplikasi (application), yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4.


Analisis

(analysis)

yang

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjabarkan materi ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi.
5.


Sintesis (synthesis) menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sistensis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6.

Evaluasi (evaluation) yang diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian suatu materi atau obyek. Pengetahuan merupakan
aspek pokok untuk menentukan perilaku seseorang untuk menyadari dan tidak,
maupun untuk mengatur perilakunya sendiri (Notoadmojo, 2007).

2.4.2. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi”.

Universitas Sumatera Utara

(Notoatmodjo, 2007). Menurut Petty Cocopio dalam (Azwar, 2000) sikap adalah

evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau
isue.

Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan
(reaksi terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku atau
tindakan (reaksi tertutup) (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007) seperti halnya pengetahuan, sikap juga
mempunyai tingkat – tingkat berdasarkan intensitasnya yaitu:
1.

Menerima (receiving), atas stimulus yang diberikan.

2.

Menanggapi (responding), atas objek yang dihadapi.

3.


Menghargai (valuing), yaitu memberikan nilai yang positif.

4.

Bertanggung jawab (responsible), dengan apa yang telah diyakininya.

2.5. Infeksi Nosokomial
2.5.1. Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau yang disebut sebagai hospital acquired infection (HAI)
adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien dirawat di rumah sakit
(WHO, 2002). Seseorang mendapatkan Infeksi nosokomial apabila penderita mulai
dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis infeksi tersebut (Depkes,
2003). Pada saat penderita dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi

Universitas Sumatera Utara

penyakit, tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan. Infeksi tersebut bukan merupakan infeksi sisa dari
infeksi sebelumnya. Apabila saat pasien dirawat di rumah sakit sudah terlihat adanya
tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi didapat bukan dari rumah sakit, tidak bisa

disebut sebagai infeksi nosokomial.
Menurut Djojosugito (2001) suatu infeksi dikatakan didapat di rumah sakit
apabila :
a)

Waktu mulai dirawat tidak didapatkan tanda klinis infeksi dan tidak sedang
dalam masa inkubasi infeksi tersebut

b)

Infeksi sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat

c)

Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari waktu
inkubasi infeksi tersebut

d)

Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari rumah
sakit

e)

Infeksi terjadi pada neonatus yang didapatkan dari ibunya pada saat persalinan
atau selama perawatan di rumah sakit

Infeksi nosokomial mudah terjadi karena kondisi tertentu (Widodo, 2004), misalnya :
a)

Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit sehingga jumlah dan
jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada di tempat lain

b)

Orang sakit mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah tertular

Universitas Sumatera Utara

c)

Di rumah sakit, seringkali penderita dilakukan tindakan invasif mulai dari yang
sederhana, misalnya pemberian obat suntikan sampai dengan tindakan yang
lebih invasif misalnya operasi

d)

Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotika, akibat
penggunaan berbagai macam antibiotika yang seringkali tidak rasional

e)

Adanya kontak langsung antar pasien, atau petugas dengan pasien yang dapat
menularkan kuman pathogen

f)

Penggunaaan alat/peralatan kedokteran yang telah terkontaminasi oleh kuman.

2.5.2. Insiden
Hasil survey point prevalensi dari 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta yang
dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti
Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi nosokomial untuk Infeksi
Luka Operasi (ILO) 18.9%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) 15.1%, Infeksi Aliran
Darah Primer (IADP) 26.4%, Pneumonia 24.5%, Infeksi Saluran Nafas lain 15.1%
serta infeksi lain 32.1%. Namun angka kejadian nasional infeksi nosokomial belum
diketahui secara pasti (Depkes R.I, 2008).
2.5.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial pada diri pasien terdiri dari 2 (dua) faktor, yaitu faktor endogen dan
faktor eksogen. Faktor endogen meliputi usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya
tahan tubuh, kondisi-kondisi lokal. Faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat,
kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan (Parhusip, 2005). WHO (2002)

Universitas Sumatera Utara

faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial adalah tindakan invasif
yang dapat menembus barier, contohnya pemasangan infus, kateterisasi, intubasi,
ruangan yang terlalu penuh dengan pasien, kurangnya staf perawat, penyalahgunaan
antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak sesuai prosedur, dan ketidakpatuhan petugas
kesehatan terhadap prosedur pencegahan infeksi, khususnya mencuci tangan.
Secara umum, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi
nosokomial adalah sebagai berikut :
1.

Usia
Yelda (2003) dalam penelitiannya tentang faktor risiko yang berpengaruh

terhadap kejadian infeksi nosokomial di beberapa rumah sakit di DKI Jakarta
menemukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia terhadap kejadian
infeksi nosokomial.
2.

Jenis kelamin
Pada neonatus, bayi dengan berat badan rendah dan berjenis kelamin laki-laki

memiliki risiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial sebanyak 1,7 kali
dibandingkan dengan bayi dengan berat badan rendah yang berjenis kelamin
perempuan.
3.

Lama hari rawat
Menurut Yelda (2003) lama hari rawat inap merupakan faktor yang cukup

dominan yang dapat memengaruhi angka kejadian infeksi nosokomial di RS Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

4.

Kelas ruang rawat
Kelas ruang rawat merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

kejadian infeksi. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh latar belakang dan
kondisi kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang buruk, seperti
ventilasi yang tidak adequat, kerapatan antara satu pasien ke pasien lainnya yang
tidak sesuai standar, cahaya yang kurang bisa menjadi sumber infeksi nosokomial.
5.

Komplikasi dan penyakit penyerta
Pasien dengan komplikasi penyakit penyerta sangat rentan mendapatkan infeksi

nosokomial, hal ini dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh (Parhusip,
2005).
6.

Penggunaan alat invasif
Semakin lama pemakaian ventilator mekanik, kateter urine, terapi intravena dan

infus akan meningkatkan risiko untuk terkena infeksi nosokomial di ruang PICU dan
NICU antara lain adalah dengan pemasangan kateter arteri umbilikal, pemberian
nutrisi parenteral dan penggunaan ventilasi mekanik.
7.

Pemakaian antibiotik
Penggunaan antibiotik baik jenis maupun jumlah yang irasional tanpa

menunggu hasil kultur dapat menyebabkan timbulnya infeksi nosokomial. Penelitian
Sax tahun 2002, dalam (Yelda, 2003) menemukan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara infeksi nosokomial dan pemaparan antibiotika. Ada hubungan
bermakna antara kejadian infeksi nosokomial dengan pemaparan terhadap antibiotik
beresiko mendapatkan infeksi 3,45 kali (Yelda, 2003). Adanya organisme patogen

Universitas Sumatera Utara

yang resisten terhadap antibiotik tertentu akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi
nosokomial.
8.

Mikroorganisme
Dari sisi organisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari organisme

tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan juga
kolonisasi, dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibiotik dan rendahnya
pertahanan tubuh. Kemampuan mikroorganisme untuk dapat menyebabkan infeksi
nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang
diakibatkannya (Potter & Perry, 2005).
2.5.4. Pengendalian Infeksi Nosokomial
Menyadari akan bahaya dan masalah yang dihadapi akibat terjadinya infeksi
nosokomial, maka diperlukan suatu program pengendalian yang bertujuan untuk
menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial, mencegah terjadinya infeksi
nosokomial dan untuk menjaga keselamatan pasien maupun karyawan rumah sakit.
Dukungan jajaran manajemen sampai staf merupakan hal yang penting mengingat
infeksi nosokomial ini merupakan masalah utama yang harus dicegah karena angka
nosokomial yang tinggi menunjukkan indikator mutu rumah sakit yang buruk.
Menurut Depkes (2009), upaya pencegahan terhadap terjadinya infeksi
nosokomial di rumah sakit dimaksudkan untuk menghindarkan kejadian infeksi
selama pasien dirawat di rumah sakit. Dibutuhkan peran petugas kesehatan khususnya
perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dengan menerapkan kewaspadaan
umum yang dilakukan melalui tindakan perawat dalam mencuci tangan sebelum dan

Universitas Sumatera Utara

sesudah melakukan tindakan, penggunaan alat pelindung diri, dekontaminasi alat-alat,
dan pengelolaan limbah padat di ruang rawat inap.
Untuk mengetahui betapa pentingnya upaya pencegahan infeksi nosokomial,
berikut ini dijelaskan peran perawat dalam melaksanakan tindakan pencegahan
infeksi nosokomial yaitu antara lain mencuci tangan, proses dekontaminasi, dan
pengelolaan limbah padat (Depkes, 2009).
1.

Cuci Tangan
Dari sudut pandang pencegahan dan pengendalian infeksi, cuci tangan adalah

cara sederhana pencegahan infeksi yang penting dilakukan pada saat sebelum dan
sesudah melakukan kegiatan. Cuci tangan merupakan proses secara mekanik
melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan air
(Depkes, 2009).
Berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar cuci tangan.
a)

Tujuan :
-

Menghilangkan seluruh kotoran dan debris serta menghambat atau
membunuh mikroorganisme pada kulit

b)

-

Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan

-

Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan.

Indikasi :
-

Segera : setelah tiba di tempat kerja.

Universitas Sumatera Utara

-

Sebelum : kontak langsung dengan pasien, menggunakan sarung tangan,
menyiapkan obat-obatan, menyiapkan makanan, memberi makan pasien,
dan meninggalkan rumah sakit.

-

Setelah : kontak dengan pasien, melepas sarung tangan, melepas alat
pelindung diri, kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi,
eksudat, luka, kontak dengan peralatan yang diketahui atau mungkin
terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh, menggunakan toilet.

c)

Prosedur standar :
-

Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir

-

Tuangkan sabun cair 3-5 cc di bagian telapak tangan yang basah

-

Ratakan dengan kedua telapak tangan

-

Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan dan
sebaliknya

-

Gosok kedua telapak dan sela-sela jari

-

Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci

-

Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan
sebaliknya

-

Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri dan
sebaliknya.

-

Bilas kedua tangan dengan air mengalir

-

Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai benarbenar kering

Universitas Sumatera Utara

-

Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran

-

Pada cuci tangan aseptik dilarang menyentuh permukaan tidak steril, waktu
yang dibutuhkan untuk mencuci tangan antara 5-10 menit

Untuk menghindari tumbuhnya mikroorganisme berkembang biak pada
keadaan lembab, maka:
a)

Dispenser sabun harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum pengisian ulang

b)

Jangan menambahkan sabun cair kedalam tempatnya bila masih ada isinya,
penambahan ini dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang
dimasukkan

c)

Jangan gunakan baskom isi air untuk mencuci tangan walaupun didalamnya
telah diberikan antiseptik, karena mikroorganisme dapat bertahan dan
berkembang biak dalam larutan ini.
Cuci tangan, teknik barier dan peralatan desinfeksi merupakan instrumen

mendasar bagi pencegahan dan pengendalian infeksi yang tepat. Sabun, desinfektan
dan handuk atau pengering lainnya tersedia di lokasi dimana prosedur cuci tangan
dan desinfektan dipersyaratkan. Pedoman cuci tangan ditetapkan oleh rumah sakit
dan ditempel di area yang tepat dan staf teredukasi didalam prosedur cuci tangan
yang benar, desinfeksi tangan atau prosedur disinfeksi diketahui.
2.

Penggunaan Alat Pelindung Diri
Peran perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial dilakukan melalui

penggunaan alat pelindung diri saat melakukan tindakan atau kontak dengan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Alat pelindung diri ini meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata
(pelindung wajah dan kaca mata), topi, gaun, apron dan pelindung lainnya.
3.

Dekontaminasi
Adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran sehingga aman

untuk pengelolaan selanjutnya (Depkes, 2009). Agar seorang perawat dapat
melakukan dekontaminasi dengan benar, berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan
prosedur standar dekontaminasi alat kesehatan.
a)

Tujuan :
-

Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan

-

Mematikan mikroorganisme misalnya HIV, HBV dan kotoran lain yang
tidak tampak

b)

Melindungi petugas dan pasien dari kuman patogen

Indikasinya adalah sebagai proses awal :
-

Alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci dan diproses lebih lanjut

-

Penanganan tumpahan darah atau cairan tubuh lain

-

Dekontaminasi meja atau permukaan lain yang mungkin tercemar darah
atau cairan tubuh lain

c) Prosedur standar :
-

Cuci tangan

-

Kenakan sarung tangan rumah tangga, masker, kaca mata/ pelindung wajah

Universitas Sumatera Utara

-

Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan desinfektan
(klorin 0.5%) selama 10 menit. Seluruh alat harus terendam dalam larutan
klorin

-

Segera bilas dengan air sampai bersih

-

Lanjutkan dengan pembersihan

-

Buka sarung tangan, masukkan dalam wadah sementara menunggu
dekontaminasi sarung tangan dan proses selanjutnya

4.

Cuci tangan.

Pengelolaan Limbah Padat
Pengelolaan limbah padat di ruang perawatan merupakan bagian dari

pencegahan infeksi nosokomial. Berikut ini dijelaskan tentang jenis limbah, cara
pengelolaan dan penanganan limbah.
a)

Jenis limbah
Limbah yang ada di rumah sakit dapat dibagi dua yaitu limbah padat dan
limbah cair. Limbah padat yang berasal dari rumah sakit secara umum
dibedakan atas:
-

Limbah medis, yaitu limbah yang kontak dengan darah atau cairan tubuh
pasien dan dikategorikan sebagai limbah risiko tinggi. Limbah medis
terdiri dari limbah klinis dan limbah laboratorium. Contoh limbah klinis
antara lain kasa, pembalut wanita, potongan tubuh, jarum bekas pakai dan
alat infuse bekas pakai, dan kantong drain bekas pakai

Universitas Sumatera Utara

-

Limbah non medis atau limbah rumah tangga yaitu limbah yang tidak
kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien, sehingga disebut sebagai
limbah risiko rendah

b)

Cara pengelolaan limbah Untuk mengetahui bagaimana cara mengelola limbah
padat yang ada di ruangan rawat inap, berikut ini akan dijelaskan mengenai cara
penanganan limbah klinis, prosedur pengelolaan limbah, dan indikator
penanganan limbah tajam.

c)

Cara penanganan limbah
-

Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir semua jenis limbah klinis
ditampung dalam kantong kedap air, biasanya kantong berwarna kuning

d)

Ikat rapat kantong yang sudah terisi 2/3 penuh

Prosedur pengelolaan limbah
-

Pemilahan limbah sesuai jenis risiko limbah

-

Semua limbah risiko tinggi harus dilabelkan dengan jelas

-

Menggunakan kode kantong plastic berbeda warna untuk setiap jenis
limbah, misalnya kuning untuk limbah medis dan hitam untuk limbah non
medis

-

Penyimpanan limbah

-

Apabila 2/3 kantong telah terisi maka kantong harus diikat kuat dan diberi
label

-

Kantong dikelompokkan pada tempat pengumpulan kantong sewarna

Universitas Sumatera Utara

-

Semua tempat sampah yang digunakan untuk meletakkan limbah harus
dikosongkan dan dicuci setiap hari

e)

Pemisahan limbah
Untuk memudahkan pengelolaan limbah padat maka limbah dipilah-pilah untuk
dipisahkan (Djojosugito, 2001). Untuk memisahkan limbah padat ini digunakan
kantong berwarna, yaitu kantong kuning untuk limbah medis dan kantong hitam
untuk limbah non medis.

f)

Indikator penanganan limbah tajam yang aman dan benar, adalah sebagai
berikut :
-

Selalu dibuang ke tempat penampungan sementara

-

Tidak menyerahkan limbah tajam secara langsung dari orang ke orang

-

Lindungi

jari

tangan

terhadap

bahaya

tusukan,

contoh

dengan

menggunakan penjepit
-

Tidak menyarungkan kembali jarum suntik bekas pakai

-

Menempatkan segera jarum suntik setelah dipakai pada wadah tahan
tusukan sebelum siap dibawa ke tempat pembuangan akhir

-

Letakkan wadah penampung jarum bekas dekat dengan lokasi tindakan
misalnya di ruang tindakan

-

Tidak meletakkan limbah tajam kedalam wadah lain selain yang tahan
tusukan

-

Menjauhkan tempat penampungan limbah tajam jauh dari jangkauan anakanak

Universitas Sumatera Utara

-

Agar jangan sampai tumpah, kirim wadah penampung limbah sebelum
penuh (2/3 penuh) untuk didekontaminasi atau untuk diinserasi.

2.5.5. Standar Penilaian Infeksi Nosokomial
Beberapa elemen penilaian yang dilakukan pihak rumah sakit dalam
menentukan infeksi nosokomial antara lain:
1.

Tersedia suatu program yang komprehensif dan rencana menurunkan risiko
pelayanan kesehatan terkait infeksi pada pasien.

2.

Tersedia suatu program yang komprehensif dan rencana menurunkan risiko
pelayanan kesehatan terkait infeksi pada tenaga kesehatan.

3.

Program termasuk kegiatan surveillance secara proaktif dan sistematik untuk
menetapkan angka infeksi biasa (endemic).

4.

Program termasuk kegiatan sistem investigasi outbreak dari penyakit infeksi.

5.

Program berpedoman pada peraturan dan prosedur yang berlaku.

6.

Tujuan penurunan risiko dan sasaran terukur dibuat dan secara teratur direview.

7.

Program sesuai dengan besar kecilnya rumah sakit, lokasi geografi,
pelayanannya dan pasien.
Pada umumnya peralatan medis (cairan infus, kateter, benang dan lainnya) ada

tanggal kadaluwarsanya. Pada waktu tanggal kadaluwarsa telah terlewati, barang
tersebut tidak tergaransi sterilitasnya, keamanan atau stabilitas dari item tersebut.
Kebijakan mengidentifikasi proses tersebut untuk menjamin penanganan yang sesuai
dari kadaluwarsanya peralatan tersebut. Sebagai tambahan, peralatan habis pakai
yang single-use mungkin bisa di re-use didalam keadaan khusus yang terpaksa. Ada

Universitas Sumatera Utara

dua risiko terkait single-use dan re-use peralatan habis pakai : ada risiko
meningkatnya infeksi dan ada risiko bahwa kekuatan peralatan habis pakai tersebut
mungkin tidak adekuat atau tidak memuaskan setelah diproses kembali. Pada waktu
single use menjadi re-use maka di rumah sakit ada kebijakan yang menjadi acuan

juga re-use. Kebijakan konsisten dengan peraturan dan perundangan nasional dan
standar profesi dan termasuk mengidentifikasi dari :
a)

Peralatan dan peralatan habis pakai yang tidak bisa di re-use.

b)

Jumlah maksimum spesifik re-use untuk setiap peralatan dan peralatan yang di
re-use.

c)

Tipe pemakaian dan keretakan, diantara lainnya, dan indikasi bahwa peralatan
habis pakai tidak bisa di re-use.

d)

Proses pembersihan untuk setiap peralatan yang mulai dengan segera sesudah
digunakan dan diikuti dengan protokol yang jelas.

e)

Proses untuk pengumpulan, analisa dan data yang berhubungan dengan
pencegahan dan pengendalian infeksi peralatan dan material yang digunakan
dan re-use.

2.6. Flebitis
2.6.1. Pengertian Flebitis
Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu oleh mikroorganisme yang dialami
oleh pasien yang diperoleh selama dirawat dirumah sakit diikuti dengan manifestasi
klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Flebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri,
kemerahan, bengkak, indurasi dan serta mengeras di bagian vena yang terpasang
kateter intravena. Flebitis juga dikarakteristikkan dengan adanya rasa lunak pada area
insersi atau sepanjang vena. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya
pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH
dan tonisitasnya, ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang
tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan) (Smeltzer & Bare,
2002).
Flebitis dapat menyebabkan trombus yang selanjutnya menjadi tromboflebitis,
perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika trombus terlepas
dan kemudian diangkut ke aliran darah dan masuk jantung maka dapat menimbulkan
seperti katup bola yang menyumbat atrioventikular secara mendadak dan
menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan flebitis sebagai salah satu permasalahan
yang penting untuk dibahas di samping flebitis juga sering ditemukan dalam proses
keperawatan.
2.6.2. Tanda dan Gejala Flebitis
a.

Rubor (Hyperemia)
Kemerahan atao rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang ditemukan
didaerah yang mengalami peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut
mengalami pelebaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal
lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara

b.

Kalor (Hypertermi)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan. Daerah
sekitar peradangan menjadi lebih panas, karena darah yang disalurkan kedaerah
tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya yang normal.

c.

Tumor (Oedem)
Pembengkaka lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi
kejaringan intrerstitiel, campuran antara sel yang tertimbun didaerah
peradangan disekitar eksudat. Pada keadaan ini rekasi peradangan eksudatnya
adalah cairan.

d.

Nyeri (Dolor)
Rasa nyeri pada daerah peradangan dapat disebabkan oleh perubahan pH lokal
ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung saraf. Selain itu
pembengkakan yang terjadi dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan lokal
yang dapat merangsang sakit.

2.6.3. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Flebitis
a.

Pemberian informasi
Semua tindakan yang dilakukan perawat, pasien perlu mengetahui tujuan dari
terapi mereka, perkiraan lamanya pengobatan dan pembatasan-pembatasan
gerak pada ekstremitas yang mengalami penusukan harus diobservasi selama
pemberian infus. Selain itu pasien harus diajari untuk mengenali dan
melaporkan tanda dan gejala misalnya pembengkakan, nyeri, panas, kemerahan

Universitas Sumatera Utara

pada tempat penusukan darah dalam selang, balutan basah serta aliran yang
tidak lancar.
b.

Keterampilan perawat
Pemasangan infus perifer untuk resiko terjadinya flebitis lebih terjadi pada
infus yang dipasang oleh perawat umum dibandingkan dengan perawat khusus
menangani masalah infus.

c.

Rotasi tempat penusukan
Penggantian tempat penusukan kateter intravena antara 48-72 jam. Pemasangan
kateter lebih dari 72 jam meningkatkan resiko flebitis dan kolonisasi bakteri.

d.

Tempat penusukan
Pada orang dewasa ekstremitas bawah memiliki resiko lebih tinggi terhadap
flebitis dibandingkan ekstremitas atas. Vena pada punggung telapak tangan
mempunyai resiko lebih kecil terhadap flebitis dibandingkan dengan yang
dipasang pada lengan atau siku. Pada anak-anak pemasangan kanula dapat
dilakukan pada lengan, punggung atau kulit kepala.

e.

Bahan dan ukuran kateter
Kateter polyurethane 30% lebih rendah resikonya terhadap flebitis dibanding
dengan kateter yang berbahan teflon.

f.

Jenis cairan
pH cairan yang lebih rendah memiliki resiko flebitis yang lebih tinggi, tetapi
perlu juga diingat tentang pemberian obat melalui intravena.

Universitas Sumatera Utara

g.

Host agent
Sistem imun manusia juga berkompeten dalam melindungi tubuh dari berbagai
organisme. Manusia yang memiliki gangguan imun akan lebih mudah terkena
infeksi.

2.6.4. Penyebab Flebitis
Penyebab flebitis adalah flebitis kimia, flebitis mekanis dan flebitis bakterial.
a.

Flebitis Kimia

1)

Jenis cairan infus
ph dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi.

pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, di mana keasaman diperlukan untuk
mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang
mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral
bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline.
2)

Jenis obat yang dimasukan melalui infus
Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain

Kalium Klorida, Vancomycin, Amphotrecin B, Cephalosporins, Diazepam,
Midazolam dan banyak obat kemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900
mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral. Mikropartikel yang terbentuk bila
partikel obat tidak larut sempurna dalam pencampuran juga merupakan faktor
kontribusi terhadap flebitis. Jadi, jika diberikan obat intravena masalah bisa diatasi
dengan penggunaan filter sampai 5 μm. Jenis obat – obatan yang bisa di berikan
melalui infus antara lain seperti: golongan antibiotik (Ampicicilin, amoxcicilin,

Universitas Sumatera Utara

clorampenicol, dll), anti diuretic (furosemid, lasix dll) anti histamin atau setingkatnya
(Adrenalin, dexamethasone ,dypenhydramin). Karena kadar puncak obat dalam darah
perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke
pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai.
Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa,
pada penderita diabetes melitus.
Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui
infus/suntikan,

namun

perlu

diingat

bahwa

banyak

antibiotika

memiliki

bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah
untuk membunuh bakteri.
Dalam pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran
serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti
tromboplebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara baik. Biasanya
untuk mencampur serbuk antibiotik / obat-oabat yang lain yang diberikan secara IV
adalah cairan aquades dengan perbandingan 4cc larutan aquades berbanding 1 vial
antibiotik atau 6cc larutan aquades berbanding 1 vial serbuk antibiotik. Bila
pencampuran obat terlalu pekat maka aliran dalam infus terhambat dan dapat
menyebabkan flebitis.
3)

Jenis kateter infus
Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding

Politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih termoplastik dan

Universitas Sumatera Utara

lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil
klorida atau polietilen.
b.

Flebitis mekanis :

1)

Lokasi pemasangan infus
Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat

dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Misalnya
Dextrose 5%, NaCl 0,9%, produk darah, dan albumin. Hindarkan vena pada
punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut, karena akan
menganggu kemandirian lansia.
2)

Ukuran kanula
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang

dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis. Ukuran
kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik.
c.

Flebitis bakterial

1)

Teknik pencucian tangan yang buruk
Infeksi di rumah sakit dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari

orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Oleh karena itu perlu usaha pencegahan dan pengendalian
penyakit infeksi yaitu dengan meningkatkan perilaku cuci tangan yang baik.

Universitas Sumatera Utara

2)

Teknik aseptik tidak baik
Faktor yang paling dominan menimbulkan kejadian flebitis adalah perawat

pada saat melaksanakan pemasangan infus tidak melaksanakan tindakan aseptik
dengan baik dan sesuai dengan standar operasional prosedur.
3)

Teknik pemasangan kanula yang buruk
Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk, pasien akan terpapar pada resiko

terkena infeksi nosokomial berupa flebitis.
4)

Lama pemasangan kanula
Kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena sebagai

akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama.
The Center for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter

setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.
5)

Perawatan infus
Perawatan infus bertujuan untuk mempertahankan tehnik steril, mencegah

masuknya bakteri ke dalam aliran darah, pencegahan/meminimalkan timbulnya
infeksi, dan memantau area insersi sehingga dapat mengurangi kejadian flebitis.
6)

Faktor pasien
Faktor pasien yang dapat memengaruhi angka flebitis mencakup usia, jenis

kelamin dan kondisi dasar (yaitu diabetes melitus, infeksi, luka bakar).
Flebitis post-infus merupakan komplikasi lain yang biasa dilaporkan oleh
pasien dengan terapi infus. Komplikasi ini berhubungan dengan inflamasi pada vena
yang biasanya terjadi dalam waktu 48 sampai 96 jam setelah kateter dipasang. Faktor-

Universitas Sumatera Utara

faktor yang memengaruhi terjadinya flebitis post-infus adalah kurangnya kemampuan
dalam tehnik insersi kateter, kelemahan pasien, kondisi vena yang jelek, cairan
hipotonis atau cairan yang asam, filtrasi yang tidak sesuai, ukuran kateter yang besar
tetapi dipasang pada vena yang kecil dan ketidaksesuaian dalam penggunaan alat set
infus, jenis balutan, penggunaan akses injeksi dan bahan kateter.
2.6.5. Skala Flebitis
Ada beberapa standar yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat keparahan
flebitis:
a.

Skala menurut Intgravenous Nurses Society dalam, keparahan flebitis di
identifikasi sebagai berikut :

Skala 0 : tidak nyeri, tidak kemerahan, tidak edema, tidak hangat dan tidak terjadi
pembengkakan lokal.
Skala 1 : terasa nyeri, kemerahan, tidak hangat, tidak terjadi pembengkakan lokal
dan mungkin bisa terjadi edema atau tidak terjadi edema.
Skala 2 : terasa nyeri, kemerahan, hangat, tidak terjadi pembengkakan lokal dan
mungkin bisa terjadi edema atau tidak terjadi edema.
Skala 3 : terasa nyeri, kemerahan, hangat, terjadi pembengkakan lokal dan
mungkin bisa terjadi edema atau tidak edema.
b.

Skala Baxter

Skala 0 : tidak nyeri, tidak eritema, tidak ada indurasi, tidak ada pembengkakan
lokal.

Universitas Sumatera Utara

Skala 1 : nyeri, eritema, tidak ada indurasi, tidak ada pembengkakan lokal, tidak
demam.
Skala 2 : nyeri dengan eritema, tidak ada indurasi, tidak ada pembengkakan lokal.
Skala 3 : nyeri dengan eritema, demam, indurasi atau pembengkakan lokal kurang
dari 3 cm disekitar tempat penusukan.
Skala 4 : nyeri, eritema, demam indurasi atau pembengkakan lokal lebih dari 3 cm.
Skala 5 : adanya trombosis dan ditemukan 4 tanda diatas, tetapi intravena harus
dilepas dan diganti tempat penusukan.
2.6.6. Pencegahan Flebitis
Pencegahan flebitis adalah :
a.

Mencegah flebitis bacterial.
Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan daerah

infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan Chlorhexidine 2%,
Tinctura Yodium, Iodofor atau alkohol 70% juga bisa digunakan.

b.

Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptic.
Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian

infus IV dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang
potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira
45-50% dalam serangkaian besar kajian.
c.

Rotasi kanula.
Mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari ada 15

pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak kateter bisa

Universitas Sumatera Utara

dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontra indikasi. The
Center for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap

72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan
atas bukti yang cukup.
d.

Aseptic dressing.

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa steril diganti setiap
24 jam.
e.

Laju pemberian.
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik

diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk
pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai
1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam
untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini
membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150-330 mL/jam). Vena perifer yang
paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk
mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0,45 mm. Kanula harus diangkat
bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan
dalam pemberian infus jaga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan
maintenance atau nutrisi parenteral.
f.

Titratable acidity
Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan dalam

kejadian flebitis.

Universitas Sumatera Utara

g.

Heparin dan hidrikortison.
Heparin sodium, bila ditambahkan cairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL,

mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko flebitis yang
berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal : Kalium Klorida, Lidocaine,
dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian aditif intravena tertentu
seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison
secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yang diinfus lidokain,
kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau
dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan flebitis, tetapi
penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan
pembentukan endapan kalsium.
h.

In-line Filter
In-line Filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang

mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat
intravaskular dan sistem infus. Pemasangan infus yang benar dapat mengurangi
flebitis.
Prosedur pemasangan terapi intravena yaitu :
a.

Tentukan lokasi pemasangan, sesuaikan dengan keperluan rencana pengobatan,
punggung tangan kanan / kiri, kaki kanan / kiri, 1 hari / 2 hari.

b.

Lakukan tindakan aseptik dan antiseptic.

c.

Lencangkan kulit dengan memegang tangan / kaki dengan tangan kiri, siapkan
intravena kateter di tangan kanan.

Universitas Sumatera Utara

d.

Tusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan lubang jarum
menghadap keatas, sudut tusukan 30-40 derajat arah jarum sejajar arah vena,
lalu dorong.

e.

Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk
kedalam bagian reservoir jarum.

f.

Pisahkan bagian jarum dari bagian kanul dengan memutar bagian jarum sedikit.
Lanjutkan mendorong kanul kedalam vena secara

perlahan sambil diputar

sampai seluruh kanul masuk.
g.

Cabut bagian jarum seluruhnya perhatikan apakah darah keluar dari kanul,
tahan bagiann kanul dengan ibu jari kiri.

h.

Hubungkan kanula dengan transfusion set. Buka saluran infus perhatikan
apakah tetesan lancer. Perhatikan apakah lokasi penusukan membengkak,
menandakan elestravasasi cairan sehingga penusukan harus diulang dari awal.

i.

Bila tetesan lancar, tak ada ekstravasasi lakukan fiksasi dengan plester dan pada
bayi / balita diperkuat dengan spalk.

j.

Kompres dengan kasa betadine pada lokasi penusukan.

k.

Atur tetesan infus sesuai instruksi.

l.

Laksanakan proses administrasi, lengkapi berita acara pemberian infus, catat
jumlah cairan masuk dan keluar, catat balance cairan selama 24 jam setiap
harinya, catat dalam perincian harian ruangan. Bila sudah tidak diperlukan lagi,
pemasangan infus dihentikan (Potter dan Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.7. Standar Operasional Prosedur (S.O.P)
2.7.1. Pengertian SOP
Menurut Potter dan Perry (2005), S.O.P merupakan suatu standar / pedoman
yang tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu
kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur
merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.
2.7.2. Manfaat, Tujuan dan Fungsi S.O.P
Dalam penerapannya, terdapat beberapa manfaat standar operasional prosedur
(S.O.P), antara lain :
a.

Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan
pekerjaannya.

b.

Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

c.

Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
individu pegawai organisasi secara keseluruhan.

d.

Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada intervensi
manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan
proses sehari-hari.

e.

Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan pegawai cara konkrit
untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha yang telah
dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

f.

Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai
oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Sedangkan tujuan dari S.O.P antara lain : (1) agar pegawai menjaga konsistensi

dan tingkat kinerja pegawai atau tim dalam organisasi atau instalasi kerja, (2) agar
mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, (3)
memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pegawai terkait, (4)
melindungi organisasi/ instalasi kerja dan pegawai dari malpraktek atau kesalahan
administrasi, (5) untuk menghindari kesalahan, keraguan dan duplikasi.
Fungsi dari SOP itu sendiri antara lain : (1) memperlancar tugas pegawai atau
tim/ instalasi kerja, (2) sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, (3)
mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya, (4) mengarahkan pegawai untuk
sama-sama disiplin dalam bekerja, (5) dan sebagai pedoman dalam melaksanakan
pekerjaan rutin (Karisma, 2014).
2.7.3. Pelaksanaan S.O.P
Pelaksanaan SOP dilakukan pada saat :
a.

S.O.P harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.

b.

S.O.P digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan
dengan baik atau tidak.

c.

Uji S.O.P sebelum dijalankan, melakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja
yang dapat memengaruhi lingkungan kerja.

Universitas Sumatera Utara

2.8. Landasan Teori
Flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada dinding pembuluh darah balik
atau vena (Hingawati Setio & Rohani, 2010). Sedangkan menurut Philips (2005)
flebitis adalah inflamasi lapisan vena dimana sel endotelia dinding vena mengalami
iritasi dan permukaan sel menjadi kasar, sehingga memungkinkan platelet menempel
dan kecenderungan terjadi inflamasi penyebab flebitis. Terjadinya kejadian plebitis,
bengkak, dan trauma akibat pemasangan infus yang berulang- ulang adalah akibat
tindakan pemasangan infus yang tidak mengutamakan keselamatan pasien, sehingga
pasien akan banyak dirugikan akibatnya rentang waktu rawat inap pasien akan
bertambah panjang.
Salah satu tindakan dalam intervensi keperawatan adalah tindakan pemasangan
infus yang dilakukan perawat harus berdasarkan dengan Standar Operasional
Prosedur (S.O.P ) yang sudah ditetapkan. Akibat pemasangan yang kurang tepat
dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien, salah satunya adalah pemasangan
infus. Untuk meningkatkan kenyaman pasien dalam pemasangan infus salah satu
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemasangan sesuai prosedur dengan
terampil sehingga mengurangi kegagalan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan
pada pasien.
S.O.P berasal dari bahasa Inggris, yang merupakan kepanjangan dari Standart
Operating Procedure, yang artinya standar operasional prosedur. Istilah SOP

merujuk pada pengertian mengenai sebuah prosedur operasi standar yang merupakan
serangkaian instruksi yang bersifat membatasi prosedur operasi tanpa kehilangan

Universitas Sumatera Utara

keefektivitasannya atau merupakan petunjuk tertulis yang menggambarkan dengan
tepat tahapan pelaksanaan tugas/ pekerjaan/ kegiatan (Insani, 2010). Sedangkan
menurut Potter dan Perry (2005), S.O.P merupakan suatu standar / pedoman yang
tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok
untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara
atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu
proses kerja tertentu.
Sehingga peran perawat dalam pelaksanaan pemasangan infus sesuai dengan
S.O.P berhubungan dengan angka kejadian flebitis. Jika perawat melakukan tindakan
sesuai dengan prosedur dapat mengurangi komplikasi flebitis dan ketidaknyaman
pasien.

2.9. Kerangka Teoritis

Pengendalian Infeksi
Nosokomial:

 Peran Perawat

Pemasangan
infus

S.O.P Pemasangan
Infus

Flebitis
Gambar 2.1 Kerangka Teoritis

Universitas Sumatera Utara

2.10. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut :

Variabel Indepeden

Karakteristik Individu
1.Umur
2. Jenis Kelamin
3. Masa Kerja
4. Pendidikan

Variabel Depeden

Penerapan S.O.P
Perawat Dalam
Pemasangan Infus

Perilaku Perawat
1. Pengetahuan
2. Sikap
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep di atas merupakan rangkuman sementara dari gambaran
tentang perilaku perawat dalam penerapan S.O.P pemasangan infus terhadap
terjadinya flebitis di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Medan tahun 2016. Dapat

dijelaskan variabel independent tentang karakteristik

individu dan perilaku perawat dalam penerapan S.O.P pemasangan infus yang
terdapat di rumah sakit sebagai upaya pengendalian infeksi nosokomial yang perlu
dianalisis. Pengendalian infeksi nososkomial salah satu bentuk upaya pencegahan
yang dilihat melalui dari karakteristik individu, pengetahuan dan sikap. Sehingga
dalam pengendalian infeksi nosokomial diperlukan penilaian terhadap kinerja
perawat dalam pemasangan infus. Sehingga menurunkan kejadian flebitis dan
mengendalikan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik
Medan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengembangan Sistem Registrasi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan

3 132 86

Karakteristik Penderita Carcinoma Nasopharynx Rawat Inap di Rumah Sakit St. Alisabeth Medan Tahun 2002-2007

0 54 94

Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I Medan Tahun 2000-2004

0 28 94

Karakteristik Penderita Carcinoma Nasopharynx Rawat Inap Di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan Tahun 2002-2007

0 34 94

Karakteristik Penderita Kanker Hati Rawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2005-2009

3 39 97

Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016

0 0 17

Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016

0 0 2

Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016

0 0 7

Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016 Chapter III VI

0 0 42

Analisa Karakteristik dan Perilaku Perawat Terhadap Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Dalam Pencegahan Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016

0 2 29