Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Berlakunya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk menentukan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) sendiri sesuai dengan kebutuhan dan potensi
daerah. Harapan dari pemberian otonomi daerah, pemerintah daerah semakin
mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, baik dalam hal
pembiayaan pembangunan maupun pengelolaan keuangan daerah. Hak otonomi yang
diperoleh pemerintah daerah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk
melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik.
Pengelolaan keuangan daerah berkaitan dengan kemampuan keuangan daerah. Upaya
pemerintah daerah dalam menggali kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari
kinerja keuangan daerah.
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja
di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan
yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Salah
satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan
daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang
telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah daerah sebagai pelaksana utama pembangunan di daerah mempunyai
kewajiban dalam melaksanakan program-program pembangunan yang berdampak
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Program pembangunan
ini, salah satunya ditentukan oleh faktor pengelolaan keuangan daerah. Kemampuan
pengelolaan keuangan mengindikasikan kemampuan pemerintah daerah menggali
sumber daya keuangan daerahnya serta mengalokasikannya ke belanja sesuai dengan
kebutuhan daerah yang harus berorientasi kepada kepentingan publik; ketersediaan
layanan sosial yang cukup dan berkualitas, perbaikan dan penyediaan kebutuhan
masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan serta penambahan dan perbaikan di
bidang infrastruktur, bangunan, peralatan, dan harta tetap lainnya. Pembangunan
infrastruktur dan sarana/prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana/prasarana memadai, masyarakat dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh
pada meningkatnya produktivitas masyarakat. Tentunya, untuk penyediaan
infrastruktur dan sarana/prasarana, pemerintah harus dapat mengalokasikan belanja
modal yang tidak sedikit.
Belanja modal merupakan angka yang memberi gambaran tentang upaya
pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerah. Untuk mendorong
pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah perlu
memberikan porsi yang lebih besar pada belanja modal dalam komposisi belanja
daerah. Belanja modal yang dilakukan pemerintah daerah dapat meningkatkan
perekonomian daerah dan membuka kesempatan investasi melalui pembangunan
infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan. Strategi alokasi anggaran
pembangunan
ini
pada
gilirannya
mampu
mendorong
dan
mempercepat
Universitas Sumatera Utara
pembangunan ekonomi nasional, sekaligus menjadi alat untuk mengurangi disparitas
regional. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi
anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Abimanyu, 2005).
Program peningkatan kesejahteraan masyarakat dilaksanakan secara nasional.
Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten/kota sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentunya ikut andil dalam hal ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari website www.djpk.depkeu.go.id. Proporsi
belanja modal dibandingkan belanja operasi yang diberikan masing-masing daerah
33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1 Perbandingan Belanja Modal dan Belanja
Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara (Tahun 2009 s/d 2013)
Tahun
Belanja Modal
Belanja Operasi
2009
Rp. 3,643,223,296,324
2010
Operasi
Persentase
Belanja
Modal
Persentase
Belanja
Operasi
Rp. 11,432,996,737,906
22,92%
71,94%
Rp. 3,257,223,207,322
Rp. 13,884,702,561,336
18.48%
80,51%
2011
Rp. 4,661,427,941,185
Rp. 15,582,317,396,411
21,86%
73,08%
2012
Rp. 5,719,629,484,413
Rp. 17,251,701,417,414
23,68%
71,45%
2013
Rp. 7,069,680,339,344
Rp. 19,220,026,242,302
24,50%
73,27%
Sumber: www.djpk.depkeu.go.id (data diolah)
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa realisasi alokasi belanja modal
untuk 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah berfluktuasi. Alokasi
belanja modal mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2011 jika dibandingkan
dengan tahun 2009, namun tahun 2012 dan tahun 2013 mengalami peningkatan
kembali, sementara alokasi belanja operasi selama 5 tahun amatan mengalami
fluktuasi. Alokasi belanja operasi bila dibandingkan dengan belanja modal memiliki
Universitas Sumatera Utara
gap yang sangat besar. Fenomena ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah
daerah dalam mengangarkan alokasi belanja modal untuk kepentingan sektor publik.
Pemerintah daerah lebih banyak menghabiskan anggaran untuk belanja rutin berupa
belanja operasi yang
didominasi untuk belanja pegawai padahal belanja modal
merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah
melalui investasi pemerintah sebagai stimulus ekonomi (Sularso dan Restianto,
2011). Bila alokasi belanja modal dalam struktur belanja daerah rendah,
pembangunan untuk kepentingan publik akan terhambat. Kondisi infrastruktur di
Sumatera Utara masih belum baik, contohnya adalah infrastruktur jalan, dari total
2700 km jalan provinsi terdapat sepanjang 675 km jalan dalam kondisi
rusak
(http://okezonenews.com), kondisi ini berdampak pada kemajuan daerah tersebut.
Dilihat dari data yang disajikan pada Tabel 1.1, bahwa rata-rata alokasi belanja
modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun
2013 adalah sebesar 24,50 %, hal ini belum sesuai dengan himbauan Ditjen
Keuangan Daerah Kementrian Dalam Negeri yang menyebutkan bahwa
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah daerah harus
meningkatkan persentasi belanja modal, untuk tahun 2013 yaitu 28,00%.
Kondisi belanja modal dalam struktur belanja daerah pada kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara mengindikasikan bahwa seharusnya pemerintah daerah
melakukan pergeseran komposisi belanja untuk pemenuhan sarana dan prasarana
publik secara maksimal. Kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan pergeseran
komposisi belanja perlu mempertimbangkan banyak hal, baik dalam aspek finansial
maupun non finansial. Evaluasi atas kinerja keuangan daerah merupakan bagian
dari kebijakan yang perlu diambil pemerintah daerah. Analisis kinerja keuangan
Universitas Sumatera Utara
daerah dalam penelitian ini diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah,
rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), rasio efisiensi keuangan daerah,
dan rasio tingkat pembiayaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA).
Rasio kemandirian keuangan daerah mencerminkan keadaan otonomi suatu
daerah yang diukur dengan besarnya PAD terhadap jumlah total pendapatan daerah.
Suatu daerah yang dikatakan mandiri dapat meningkatkan jumlah belanja modal
untuk pelayanan publik (Ardhini, 2011). Rasio keuangan Efektivitas PAD dinilai
dengan membandingkan jumlah realisasi PAD dan target PAD (dihitung
berdasarkan alokasi PAD (tahun bersangkutan), sehingga suatu daerah dapat
dikatakan efektif apabila jumlah realisasi pendapatan lebih tinggi daripada target
yang ditetapkan (Ardhini, 2011). Kemampuan dan efektivitas keuangan daerah
dalam merealisasikan PAD akan memperlihatkan tingkat kemandirian daerah dalam
mengelola potensi dan manajemen keuangan daerah (Sularso dan Restianto, 2011).
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyebutkan SiLPA merupakan selisih
lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 32 Tahun 2004). DAK untuk tiap
daerah berbeda. Usulan DAK yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat akan dikaji lebih lanjut oleh menteri teknis. Bila pembiayaan
daerah diterima menteri teknis dan anggarannya ditampung dalam DAK, tentunya
daerah dapat mengalokasikan belanja modalnya dalam jumlah yang semakin besar
yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hafidh (2013) menyatakan
bahwa rasio kemandirian daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio
efektivitas keuangan daerah mempengaruhi belanja modal publik secara positif dan
signifikan. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2014)
dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah,
rasio efektivitas keuangan daerah, rasio efisiensi, dan Dana Alokasi Umum (DAU)
tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal, sedangkan
PAD memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal dengan DAK
sebagai variabel moderating pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, perumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut.
1.
Apakah kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan
rasio tingkat pembiayaan SiLPA berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal
pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara secara serempak dan parsial?
2.
Apakah DAK mampu memoderasi hubungan kinerja keuangan daerah yang
diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio
efisiensi keuangan daerah, dan rasio tingkat pembiayaan SiLPA dengan Alokasi
Belanja Modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah
1.
mengetahui dan menganalis pengaruh kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi
keuangan daerah, dan rasio tingkat pembiayaan SiLPA terhadap Alokasi Belanja
Modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara secara serempak dan
parsial;
2.
mengetahui dan menganalisis pengaruh moderasi DAK terhadap hubungan
kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian keuangan
daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio tingkat
pembiayaan SiLPA dengan alokasi belanja modal pada kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.
Bagi peneliti, memberikan pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh kinerja
keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal pada kabupaten/kota Provinsi
sumatera Utara dengan DAK sebagai variabel moderating.
2.
Bagi Pemerintah Daerah kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara, untuk
memberikan informasi dan menjadi bahan masukan serta pertimbangan dalam
mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah maupun
alokasi belanja modal.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagi akademisi, penelitian ini kiranya berguna sebagai bahan literatur untuk
pengembangan wawasan maupun untuk melakukan penelitian yang berkaitan
dengan alokasi belanja modal.
1.5 Originalitas Penelitian
Penelitian ini mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Martini dan
Dwirandra (2015) dengan judul pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap
Alokasi Belanja Modal di Provinsi Bali. Adapun perbedaan penelitian ini dengan
Martini dan Dwirandra (2015) terdiri dari:
1.
Variabel penelitian. Penelitian yang dilakukan Martini dan Dwirandra (2015)
menggunakan variabel Kinerja Keuangan Daerah yang diukur dengan Rasio
Ketergantungan, Rasio Kontribusi BUMD, Rasio Tingkat Pembiayaan SiLPA,
Rasio Efektivitas PAD, Rasio Ruang Fiskal dan Rasio Efisiensi sebagai variabel
independen, sedangkan penelitian ini Kinerja Kinerja Keuangan Daerah diukur
dengan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas PAD, Rasio
Efisiensi, Rasio Tingkat Pembiayaan SiLPA sebagai variabel independen, selain
itu penelitian ini menambahkan DAK sebagai variabel moderating.
2.
Objek dan waktu penelitian. Objek penelitian Martini dan Dwirandra (2015)
adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali dengan tahun amatan 2008-2012,
sedangkan objek penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara dengan tahun amatan 2011-2014.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Berlakunya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk menentukan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) sendiri sesuai dengan kebutuhan dan potensi
daerah. Harapan dari pemberian otonomi daerah, pemerintah daerah semakin
mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, baik dalam hal
pembiayaan pembangunan maupun pengelolaan keuangan daerah. Hak otonomi yang
diperoleh pemerintah daerah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk
melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik.
Pengelolaan keuangan daerah berkaitan dengan kemampuan keuangan daerah. Upaya
pemerintah daerah dalam menggali kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari
kinerja keuangan daerah.
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja
di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan
yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Salah
satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan
daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang
telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah daerah sebagai pelaksana utama pembangunan di daerah mempunyai
kewajiban dalam melaksanakan program-program pembangunan yang berdampak
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Program pembangunan
ini, salah satunya ditentukan oleh faktor pengelolaan keuangan daerah. Kemampuan
pengelolaan keuangan mengindikasikan kemampuan pemerintah daerah menggali
sumber daya keuangan daerahnya serta mengalokasikannya ke belanja sesuai dengan
kebutuhan daerah yang harus berorientasi kepada kepentingan publik; ketersediaan
layanan sosial yang cukup dan berkualitas, perbaikan dan penyediaan kebutuhan
masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan serta penambahan dan perbaikan di
bidang infrastruktur, bangunan, peralatan, dan harta tetap lainnya. Pembangunan
infrastruktur dan sarana/prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana/prasarana memadai, masyarakat dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh
pada meningkatnya produktivitas masyarakat. Tentunya, untuk penyediaan
infrastruktur dan sarana/prasarana, pemerintah harus dapat mengalokasikan belanja
modal yang tidak sedikit.
Belanja modal merupakan angka yang memberi gambaran tentang upaya
pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerah. Untuk mendorong
pembangunan daerah dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah perlu
memberikan porsi yang lebih besar pada belanja modal dalam komposisi belanja
daerah. Belanja modal yang dilakukan pemerintah daerah dapat meningkatkan
perekonomian daerah dan membuka kesempatan investasi melalui pembangunan
infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan. Strategi alokasi anggaran
pembangunan
ini
pada
gilirannya
mampu
mendorong
dan
mempercepat
Universitas Sumatera Utara
pembangunan ekonomi nasional, sekaligus menjadi alat untuk mengurangi disparitas
regional. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi
anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Abimanyu, 2005).
Program peningkatan kesejahteraan masyarakat dilaksanakan secara nasional.
Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten/kota sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentunya ikut andil dalam hal ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari website www.djpk.depkeu.go.id. Proporsi
belanja modal dibandingkan belanja operasi yang diberikan masing-masing daerah
33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1 Perbandingan Belanja Modal dan Belanja
Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara (Tahun 2009 s/d 2013)
Tahun
Belanja Modal
Belanja Operasi
2009
Rp. 3,643,223,296,324
2010
Operasi
Persentase
Belanja
Modal
Persentase
Belanja
Operasi
Rp. 11,432,996,737,906
22,92%
71,94%
Rp. 3,257,223,207,322
Rp. 13,884,702,561,336
18.48%
80,51%
2011
Rp. 4,661,427,941,185
Rp. 15,582,317,396,411
21,86%
73,08%
2012
Rp. 5,719,629,484,413
Rp. 17,251,701,417,414
23,68%
71,45%
2013
Rp. 7,069,680,339,344
Rp. 19,220,026,242,302
24,50%
73,27%
Sumber: www.djpk.depkeu.go.id (data diolah)
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa realisasi alokasi belanja modal
untuk 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah berfluktuasi. Alokasi
belanja modal mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2011 jika dibandingkan
dengan tahun 2009, namun tahun 2012 dan tahun 2013 mengalami peningkatan
kembali, sementara alokasi belanja operasi selama 5 tahun amatan mengalami
fluktuasi. Alokasi belanja operasi bila dibandingkan dengan belanja modal memiliki
Universitas Sumatera Utara
gap yang sangat besar. Fenomena ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah
daerah dalam mengangarkan alokasi belanja modal untuk kepentingan sektor publik.
Pemerintah daerah lebih banyak menghabiskan anggaran untuk belanja rutin berupa
belanja operasi yang
didominasi untuk belanja pegawai padahal belanja modal
merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah
melalui investasi pemerintah sebagai stimulus ekonomi (Sularso dan Restianto,
2011). Bila alokasi belanja modal dalam struktur belanja daerah rendah,
pembangunan untuk kepentingan publik akan terhambat. Kondisi infrastruktur di
Sumatera Utara masih belum baik, contohnya adalah infrastruktur jalan, dari total
2700 km jalan provinsi terdapat sepanjang 675 km jalan dalam kondisi
rusak
(http://okezonenews.com), kondisi ini berdampak pada kemajuan daerah tersebut.
Dilihat dari data yang disajikan pada Tabel 1.1, bahwa rata-rata alokasi belanja
modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun
2013 adalah sebesar 24,50 %, hal ini belum sesuai dengan himbauan Ditjen
Keuangan Daerah Kementrian Dalam Negeri yang menyebutkan bahwa
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah daerah harus
meningkatkan persentasi belanja modal, untuk tahun 2013 yaitu 28,00%.
Kondisi belanja modal dalam struktur belanja daerah pada kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara mengindikasikan bahwa seharusnya pemerintah daerah
melakukan pergeseran komposisi belanja untuk pemenuhan sarana dan prasarana
publik secara maksimal. Kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan pergeseran
komposisi belanja perlu mempertimbangkan banyak hal, baik dalam aspek finansial
maupun non finansial. Evaluasi atas kinerja keuangan daerah merupakan bagian
dari kebijakan yang perlu diambil pemerintah daerah. Analisis kinerja keuangan
Universitas Sumatera Utara
daerah dalam penelitian ini diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah,
rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), rasio efisiensi keuangan daerah,
dan rasio tingkat pembiayaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA).
Rasio kemandirian keuangan daerah mencerminkan keadaan otonomi suatu
daerah yang diukur dengan besarnya PAD terhadap jumlah total pendapatan daerah.
Suatu daerah yang dikatakan mandiri dapat meningkatkan jumlah belanja modal
untuk pelayanan publik (Ardhini, 2011). Rasio keuangan Efektivitas PAD dinilai
dengan membandingkan jumlah realisasi PAD dan target PAD (dihitung
berdasarkan alokasi PAD (tahun bersangkutan), sehingga suatu daerah dapat
dikatakan efektif apabila jumlah realisasi pendapatan lebih tinggi daripada target
yang ditetapkan (Ardhini, 2011). Kemampuan dan efektivitas keuangan daerah
dalam merealisasikan PAD akan memperlihatkan tingkat kemandirian daerah dalam
mengelola potensi dan manajemen keuangan daerah (Sularso dan Restianto, 2011).
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyebutkan SiLPA merupakan selisih
lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 32 Tahun 2004). DAK untuk tiap
daerah berbeda. Usulan DAK yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat akan dikaji lebih lanjut oleh menteri teknis. Bila pembiayaan
daerah diterima menteri teknis dan anggarannya ditampung dalam DAK, tentunya
daerah dapat mengalokasikan belanja modalnya dalam jumlah yang semakin besar
yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hafidh (2013) menyatakan
bahwa rasio kemandirian daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio
efektivitas keuangan daerah mempengaruhi belanja modal publik secara positif dan
signifikan. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2014)
dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah,
rasio efektivitas keuangan daerah, rasio efisiensi, dan Dana Alokasi Umum (DAU)
tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal, sedangkan
PAD memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti
pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal dengan DAK
sebagai variabel moderating pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, perumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut.
1.
Apakah kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan
rasio tingkat pembiayaan SiLPA berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal
pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara secara serempak dan parsial?
2.
Apakah DAK mampu memoderasi hubungan kinerja keuangan daerah yang
diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio
efisiensi keuangan daerah, dan rasio tingkat pembiayaan SiLPA dengan Alokasi
Belanja Modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara?
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah
1.
mengetahui dan menganalis pengaruh kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi
keuangan daerah, dan rasio tingkat pembiayaan SiLPA terhadap Alokasi Belanja
Modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara secara serempak dan
parsial;
2.
mengetahui dan menganalisis pengaruh moderasi DAK terhadap hubungan
kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian keuangan
daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, dan rasio tingkat
pembiayaan SiLPA dengan alokasi belanja modal pada kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.
Bagi peneliti, memberikan pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh kinerja
keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal pada kabupaten/kota Provinsi
sumatera Utara dengan DAK sebagai variabel moderating.
2.
Bagi Pemerintah Daerah kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara, untuk
memberikan informasi dan menjadi bahan masukan serta pertimbangan dalam
mengambil kebijakan yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah maupun
alokasi belanja modal.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagi akademisi, penelitian ini kiranya berguna sebagai bahan literatur untuk
pengembangan wawasan maupun untuk melakukan penelitian yang berkaitan
dengan alokasi belanja modal.
1.5 Originalitas Penelitian
Penelitian ini mengembangkan penelitian yang dilakukan oleh Martini dan
Dwirandra (2015) dengan judul pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap
Alokasi Belanja Modal di Provinsi Bali. Adapun perbedaan penelitian ini dengan
Martini dan Dwirandra (2015) terdiri dari:
1.
Variabel penelitian. Penelitian yang dilakukan Martini dan Dwirandra (2015)
menggunakan variabel Kinerja Keuangan Daerah yang diukur dengan Rasio
Ketergantungan, Rasio Kontribusi BUMD, Rasio Tingkat Pembiayaan SiLPA,
Rasio Efektivitas PAD, Rasio Ruang Fiskal dan Rasio Efisiensi sebagai variabel
independen, sedangkan penelitian ini Kinerja Kinerja Keuangan Daerah diukur
dengan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas PAD, Rasio
Efisiensi, Rasio Tingkat Pembiayaan SiLPA sebagai variabel independen, selain
itu penelitian ini menambahkan DAK sebagai variabel moderating.
2.
Objek dan waktu penelitian. Objek penelitian Martini dan Dwirandra (2015)
adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali dengan tahun amatan 2008-2012,
sedangkan objek penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara dengan tahun amatan 2011-2014.
Universitas Sumatera Utara