Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Landasan Teori

2.1.1

Belanja Modal

Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk
pengeluaran

yang

dilakukan

dalam

rangka


pembelian/pengadaan

atau

pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12
(duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam
bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan
jaringan, dan aset tetap lainnya (Permendagri No. 13 Tahun 2006)
Menurut PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,
belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi antara lain belanja untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan, aset tak berwujud.
Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah
yang manfaatnya melebih satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau
kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti
biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal
dapat juga disimpulkan sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris . Manfaat lebih

dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya

Universitas Sumatera Utara

pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,
meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
Belanja modal menurut Permendagri No.64 Tahun 2013 dibagi menjadi:
1.

Belanja tanah
Adalah seluruh pengeluaran untuk pengadaan, pembelian, pembebasan,

penyelesaian, balik nama, pengosongan, penimbunan, pematangan tanah, pembuatan
sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif
sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan
atau pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap digunakan atau dipakai.
2.

Belanja peralatan dan mesin
Adalah pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan


dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya
instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan
sampai peralatan dan mesin tersebut sampai digunakan.
3.

Belanja gedung dan bangunan
Adalah pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual

sampai dengan gedung dan bangunan siap digunakan, yang meliputi biaya pembelian
atau biaya konstruksi, termasuk biaya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB),
notaris, dan pajak (kontraktual). Belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan
pengawasan yang terkait dengan perolehan gedung dan bangunan.
4.

Belanja jalan, irigasi, dan jaringan
Adalah

pengeluaran


yang

digunakan

untuk

pengadaan/penambahan/

penggantian/peningkatan/pembangunan serta perawatan yang menambah kapasitas
jalan, irigasi, dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap digunakan.

Universitas Sumatera Utara

5.

Belanja aset tetap lainnya
Adalah pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal

untuk pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin,

gedung dan bangunan, jaringan (kanal, irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam
belanja modal ini adalah belanja modal non fisik yang besaran jumlahnya dapat
teridentifikasi dan terukur, seperti kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan atau
pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan
barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah
sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat.
Secara spesifik, sumber pendanaan untuk belanja modal belum ditentukan
aturannya. Namun, seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah dapat
dialokasikan untuk mendanai belanja daerah diantaranya belanja modal. Sumbersumber penerimaan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) yang dapat digunakan
sebagai sumber pendanaan belanja daerah berasal dari pendapatan daerah dan
pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari:
a. PAD, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
b. Dana Perimbangan, yaitu: dana bagi hasil (DBH), DAU, dan DAK.
c. Lain-lain pendapatan yang sah, yaitu: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentul lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan pembiayaan daerah bersumber dari: sisa lebih pembiayaan anggaran
daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan Hasil penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
Alokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan daerah kepada
belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah sendiri atas kebutuhan belanja
daerahnya. Pada umumnya sumber dana yang bersumber dari PAD lebih banyak
dialokasikan untuk belanja operasional daerah dan sisanya dialokasikan untuk
belanja daerah lainnya diantaranya belanja modal. DAU lebih banyak dialokasikan
kepada belanja pegawai, dan sisanya dialokasikan untuk belanja-belanja daerah
termasuk belanja modal. Abdullah (2008) juga menjelaskan bahwa belanja modal
pada umumnya berasal dari dana bantuan (fund).
Menurut Yustikasari dan Darwanto (2007), faktor-faktor fundamental yang
mempengaruhi

keputusan

dalam

pengalokasian


belanja daerah,

termasuk

pengalokasian belanja modal dibagi menjadi 2 variabel, yakni variabel-non
keuangan dan variabel keuangan. Variabel non-keuangan meliputi kebijakan
pemerintahan dan kondisi makroekonomi, sedangkan variabel keuangan meliputi
ukuran-ukuran atau jenis-jenis penerimaan pemerintah daerah lainnya. Variabel
non-keuangan yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi sebagai cerminan
kondisi makroekonomi daerah yang diteliti, sedangkan variabel keuangan yang
digunakan adalah beberapa ukuran atau jenis penerimaan daerah meliputi PAD dan
DAU. Menurut Verawaty, Meriana, dan Sari (2015) faktor penentu pengalokasian
belanja modal terdiri dari kinerja keungan daerah yang diukur dengan rasio
kemandirian keuangan daerah dan sumber pendapatan daerah yang terdiri dari PAD
dan DBH.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2


Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Organisasi sektor publik (pemerintah) merupakan organisasi yang bertujuan

memberikan pelayanan kepada masyarakat (publik) secara optimal, misalnya dalam
bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, penegakan hukum, transportasi dan
sebagainya. Pelayanan publik diberikan karena masyarakat merupakan salah satu
bentuk pertanggungjawaban organisasi sektor publik sehingga pemerintah tidak
hanya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat saja,
tetapi juga kepada masyarakat luas. Untuk itu diperlukan sistem pengukuran kinerja
yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi
melalui alat ukur finansial dan non finansial.
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk
menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi
kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan
kepada masyarakat, dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung
sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam
menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas
yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi, 1986 dalam Susantih dan
Saftiana, 2009). Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian

dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan
belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui
suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.
Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari
unsur pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD (Patriati,

Universitas Sumatera Utara

2010). Menurut Sularso dan Restianto (2011), kinerja keuangan adalah suatu
ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan
pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan
berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas
dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator
keuangan, alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis
keuangan.
Menurut Mardiasmo (2012), pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah
dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu :
1.

Memperbaiki kinerja pemerintah.


2.

Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan.

3.

Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Ketentuan Umumnya, menyatakan bahwa
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Kemampuan pemda dalam
mengelola keuangan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah,
pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. Pemerintah daerah sebagai pihak
yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan

masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya

Universitas Sumatera Utara

untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik
atau tidak. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007).
Hasil analisis rasio keuangan ini digunakan sebagai tolok ukur dalam:
1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan
otonomi daerah.
2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.
3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan
pendapatan daerahnya.
4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan
pendapatan daerah.
5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran
yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan
secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial,
sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat
terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama
dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang
transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio keuangan
terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan (Mardiasmo, 2002).
Menurut Mahmudi, (2011) beberapa rasio keuangan untuk mengukur kinerja
keuangan pemerintah, terdiri dari: Derajat Desetnraslisasi, Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah, asio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas PAD,

Universitas Sumatera Utara

Rasio Efisiensi PAD, Rasio Efektivitas Pajak, Rasio Efisiensi Pajak, Derajat
Kontribusi BUMD. Selain itu terdapat juga rasio aktivitas untuk organisasi
pemerintah berupa Rasio Keserasian Belanja. Beberapa rasio keuangan yang
digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah yang dikembangkan
berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah Rasio Kemandirian
(otonomi fiskal), Rasio efektivitas dan efisiensi, Debt Service Coverage Ratio
(Halim, 2007)

2.1.2.1 Rasio Kemandirian Keuangan
Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan
daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian keuangan daerah
menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin
tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin
rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian keuangan daerah diukur
dengan formula sebagai berikut (DJPK : 2011)
Kemandirian Keuangan =

PAD
Total Pendapatan

x 100%

Bila rasio kemandirian daerah semakin tinggi, hal ini berarti pemda semakin
baik dalam mengelola sumber pendanaannya dengan memaksimalkan PAD . Ada
asumsi

bahwa pengelolaan

sumber pendanaan

daerah

yang baik

akan

mempengaruhi jumlah alokasi belanja modal. Suatu daerah yang dikatakan mandiri
dapat meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan publik (Ardhini, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2 Rasio Efektivitas PAD
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan PAD yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang
ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai
minimal sebesar satu atau 100%. Namun demikian, semakin tinggi rasio efektivitas,
maka kemampuan pemerintah daerah pun semakin baik. Pengertian efektivitas
berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik,
sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai
pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang
merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Rasio efektifitas dapat
dihitung dengan formula sebagai berikut (Halim, 2007) :
Efektivitas PAD =

Realisasi PAD
Target PAD

x 100%

Menurut Mahsun (2009,) kriteria rasio efektivitas PAD, adalah:
1.

Jika diperoleh nilai kurang dari 100% (x < 100%), berarti tidak efektif

2.

Jika diperoleh nilai sama dengan 100 (x = 100%), berarti efektivitas berimbang

3.

Jika diperoleh lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif.
Suatu daerah dapat dikatakan efektif dalam mengelola potensi keuangan daerah

apabila dapat merealisasikan PAD lebih tinggi daripada target. Semakin besar
realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan PAD, dapat dikatakan
semakin efektif, begitu pula sebaliknya. Ardhini (2011) menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa efektivitas keuangan daerah tahun sebelumnya berpengaruh
positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya karena ada
indikasi bila suatu keuangan daerah dikatakan efektif maka timbul asumsi daerah

Universitas Sumatera Utara

tersebut merealisasikan jumlah anggaran belanja modal cukup tinggi khususnya
untuk kepentingan publik.

2.1.2.3 Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output
dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin
kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya dengan mengasumsikan
bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi
apa yang direncanakan. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika
pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input)
yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. Rasio
efisiensi diukur dengan:
Rasio Efisiensi =

Realisasi Pengeluaran
Realisasi Penerimaan

x 100%

Semakin kecil nilai rasio efisiensi ini, maka semakin baik kinerja pemerintah
dalam melakukan pemungutan pendapatan (Gerungan, 2013). Secara umum, nilai
rasio efisiensi pendapatan dapat dikategorikan sebagai berikut:
Sangat efisien

< 60%

Efisien

60% - 80%

Cukup efisien

80% - 90%

Kurang efisien

90% - 100%

Tidak efisien

> 100%

Sumber : Halim (2007)
Pemerintah daerah dapat mengkaji kemampuannya dalam memaksimalkan
penerimaan daerah dengan menggunakan analisis rasio efisiensi. Bila jumlah

Universitas Sumatera Utara

penerimaan meningkat, maka alokasi untuk belanja modal dalam struktur belanja
daerah dapat ditingkatkan.

2.1.2.4 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
Dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa SiLPA merupakan
selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode
anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan
PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lainlain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun
belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. SiLPA merupakan sumber
pembiayaan yang digunakan apabila daerah mengalami defisit APBD dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat selama tahun
berjalan. Presiden Republik Indonesia dalam penyerahan DIPA 2012 di Istana
Negara menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia belum
memuaskan dan menghendaki agar sisa anggaran tidak digunakan untuk keperluan
yang tidak jelas, namun dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur
(Kusnandar dan Siswantoro, 2012). SiLPA dapat menjadi sumber pendanaan
pemerintah daerah yang dapat dialokasikan untuk belanja modal.

2.1.3

DAK

Menurut UU No 33 tahun 2004, DAK adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional.

Universitas Sumatera Utara

Dalam UU No 33 Tahun 2004 juga dijelaskan tujuan pemberian DAK yaitu
untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang
merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk
membiayai kebutuhan sarana/ prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum
mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.
Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung
oleh pemerinntah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi
pembangunan, pengadaan, peningkatan, perbaikan sarana/ prasarana fisik pelayanan
publik dengan umur ekonomis panjang. Diarahkannya pemanfaatan DAK untuk
kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang
direalisasikan dalam belanja modal (Verawaty, Merina, dan Sari, 2015).
Jumlah DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN berdasarkan masing-masing
bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. DAK yang dialokasikan
kepada

daerah

tertentu

berdasarkan

usulan

kegiatan

dan

sumber-sumber

pembiayaannya yang diajukan kepada menteri teknis oleh daerah tersebut. Bila
kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat
diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai
seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagian daerah dari PBB,
bagian daerah dari BPHTB, bagian daerah dari penerimaan Sumber Daya Alam
(SDA), DAU, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang
penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah (Bratakusumah dan
Solihin, 2002).
DAK bersifat special grant, dimana peruntukanya untuk pembangunan yang
sudah ditentukan dari pusat, yang lebih diprioritaskan untuk belanja modal

Universitas Sumatera Utara

(Verawaty, Meriana dan Sari, 2015). Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan
dana pendamping dari penerimaan umum APBD sekurang-kurangnya 10% sebagai
komitmen dan tanggungjawab daerah dalam pembiayaan program-program yang
merupakan kebutuhan khusus tersebut. Jika usulan kegiatan belanja modal daerah
seluruhnya diterima menteri teknis, maka sumber pembiayaan belanja modal daerah
juga dapat berasal dari DAK. Tentunya dengan adanya alokasi DAK dari pusat,
pemerintah daerah dapat semakin memperbesar alokasi dana untuk kegiatan belanja
modal daerah.

2.2.

Reviu Penelitian Terdahulu
Adapun Penelitian terdahulu ataupun jurnal yang telah dipublikasikan yang

menjadi refrensi penelitian ini akan dibahas sebagai berikut :
1.

Martini dan Dwirandra (2015) telah meneliti tentang pengaruh kinerja
keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal. Kinerja keuangan daerah
sebagai variabel independen diukur dengan rasio ketergantungan keuangan
daerah, rasio efektivitas PAD, rasio ruang fiskal, rasio efisiensi, rasio
kontribusi BUMD dan tingkat pembiayaan SiLPA. Populasi penelitian ini
adalah 9 kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hasil penelitian menunjukkan rasio
ketergantungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja
modal, rasio efektivitas PAD berpengaruh positif namun tidak signifikan pada
alokasi belanja modal, rasio tingkat pembiayaan SiLPA berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap alokasi belanja modal, rasio efisiensi berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal, dan rasio kontribusi
BUMD berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap alokasi belanja
modal.

Universitas Sumatera Utara

2.

Sularso dan Restianto (2011) telah meneliti pengaruh pengaruh kinerja
keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Populasi penelitian ini adalah 35
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Metode analisis data menggunakan
Moment Structure Equation Modeling (SEM) dengan bantuan program
Analysis of Moment Structure (AMOS). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
alokasi belanja modal dipengaruhi oleh kinerja keuangan.dan alokasi belanja
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan ekonomi
secara tidak langsung dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah.

3.

Arsa (2015) telah meneliti pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja
modal dan pertumbuhan ekonomi pemerintah kabupaten/kota se-Provinsi Bali
pada Tahun 2006 s.d. 2013. Populasi penelitian ini adalah 9 kabupaten/kota di
Provinsi Bali. Hasil penelitian menunjukan bahwa derajat desentralisasi dan
efektivitas PAD berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal,
ketergantungan keuangan berpengaruh negatif signifikan terhadap belanja
modal. Kemandirian keuangan dan kontribusi BUMD tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap alokasi belanja modal. Alokasi belanja
modal berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
pemerintah kabupaten/kota se-Provinsi Bali.

4.

Gerungan, Saerang, dan Pontoh (2013) telah meneliti pengaruh keuangan
kabupaten/kota terhadap alokasi belanja modal di Provinsi Sulawesi Utara.
Populasi penelitian ini adalah 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara.
Hasil

penelitian

menunjukkan

bahwa

kemandirian

keuangan

daerah,

ketergantungan keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah,

Universitas Sumatera Utara

keserasian belanja berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal.
Sedangkan efektivitas belanja modal tidak berpengaruh terhadap alokasi
belanja modal.
5.

Ardhini (2011) telah meneliti pengaruh rasio keuangan daerah terhadap belanja
modal untuk pelayanan publik dalam perspektif teori keagenan (studi pada
kabupaten dan kota di Jawa tengah). Variabel independen adalah rasio
keuangan yang terdiri rasio kemandirian keuangan daaerah, rasio tingkat
efektivitas, rasio efisiensi, SiLPA. Populasi penelitian ini adalah 35
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, sementara variabel dependennya
adalah alokasi belanja modal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat
kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja
modal, tingkat efektivitas berpengaruh positif signifikan terhadap belanja
modal, efisiensi berpengaruh negatif namun signifikan terhadap belanja modal,
SiLPA berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal. Belanja Modal
berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

yang

diproksikan dengan Rasio Gini.
6.

Verawaty, Merina, dan Sari (2015) telah meneliti determinan (faktor penentu)
pengalokasian belanja modal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel
moderating pada pemerintah provinsi di Indonesia. Variabel independen
penelitian ini terdiri dari : rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas
keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, DAU, DAK, DBH, dan
PAD, sedangkan variabel dependen adalah alokasi belanja modal serta
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderating. Populasi penelitian adalah
seluruh pemerintah provinsi pada tahun 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

bahwa rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan negatif
terhadap aloaksi belanja modal sedangkan rasio efektivitas keuangan daerah,
rasio efisiensi keuangan daerah, DAU, DAK, pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal. PAD dan DBH
memiliki hubungan signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal.
Variabel moderating pertumbuhan ekonomi, menyatakan bahwa PAD dan
DAU tidak memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pengalokasian
belanja modal.
7.

Hafidh (2013) telah melakukan penelitian dengan judul analisis rasio keuangan
daerah dalam mempengaruhi belanja modal publik bagi pertumbuhan ekonomi.
Variabel independen adalah kinerja keuangan daerah yang diproksikan dengan
rasio kemandirian daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio efektivitas
keuangan daerah, sedangkan variabel dependen adalah rasio belanja modal dan
pertumbuhan ekonomi Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kuantitatif. Populasi penelitian adalah pemerintah kabupaten /kota di DIY
terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota. Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja
keuangan yang diukur dengan tingkat kemandirian, rasio efisiensi keuangan
daerah, rasio efektivitas keuangan daerah mempengaruhi belanja modal secara
positif dan signifikan.

8.

Fitri (2013) telah meneliti pengaruh rasio keuangan daerah PAD, DAU
terhadap alokasi belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Riau tahan
2009-2012. Variabel independen dalam penelitian ini adalah rasio keuangan
daerah yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas keuangan
daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, PAD serta DAU. Sedangkan variabel

Universitas Sumatera Utara

dependen adalah alokasi belanja modal. Hasil penelitian menunjukkan hanya
PAD yang memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal
sedangkan 4 variabel lain yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, rasio
efektvitas, keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, dan DAU tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal.
9.

Siswantoro (2012) telah melakukan penelitian pengaruh DAU, PAD, SiLPA,
dan luas wilayah terhadap belanja modal. Populasi penelitian adalah
pemerintah kaupaten/kota seluruh Indonesia. Variabel independen penelitian
adalah DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah, sedangkan variabel dependen
adalah belanja modal. Hasil penelitian membuktikan bahwa besarnya alokasi
belanja modal dipengaruhi oleh DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah. Secara
parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal sedangkan
PAD, SiLPA dan luas wilayah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.

10.

Felix (2012) telah melakukan penelitian tentang Effectiveness of Capital
Expenditure Budgeting in the local government system of Ondo State, Nigeria.
Populasi penelitian adalah 18 pemerintah daerah di Negara bagian Ondo. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
penganggaran belanja modal dan pencapaian belanja modal. Impilikasinya
peningkatan belanja modal yang dianggarkan akan meningkatkan realisasi
belanja modal untuk infrastruktur.
Keseluruhan penelitian diatas dapat disajikan secara ringkas sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Reviu Penelitian Terdahulu

No

1.

Tahun/
Nama
Peneliti
Martini
dan.Dwirandr
a
(2015)

Topik
Pengaruh
Kinerja
Keuangan
daerah
pada
Alokasi belanja
Modal
di
Provinsi Bali

Variabel
Yang Digunakan
Independen:
a. Rasio
ketergantungan
keuangan daerah (X1)
b. Rasio Efektifitas PAD
(X2)
c. Tingkat
pembiayaan
SiLPA (X3)
d. Rasio Efisiensi (X4)
e. Rasio kontribusi BUMD
(X5)
f. Rasio ruang fiskal (X6)
Dependen :
a. Alokasi Belanja Modal
(Y)

Hasil
1. Rasio ketergantungan keuangan
berpengaruh
negatif
dan
signifikan pada alokasi belanja
modal
2. Rasio
Efektifitas
PAD
berpengaruh positif namun tidak
signifikan pada alokasi belaja
modal
3. Rasio tingkat pembiayaan SiLPA
berpengaruh
negatif
dan
signifikan pada alokasi belanja
modal
4. Rasio
efisiensi
berpengaruh
negatif dan signifikan pada
alokasi belanja modal
5. Rasio kontribusi BUMD berpengaruh
positif namun tidak signifikan pada
alokasi belanja modal

2.

Sularso
dan
Restianto
(2011)

Pengaruh
Kinerja
Keuangan
terhadap
alokasi belanja
modal
dan
pertumbuhan
ekonomi
di
kabupaten/Kota
di Jawa Tengah

Independen:
a. Derajat Desentralisasi
(X1)
b. Ketergantungan
Keuangan (X2)
c. Kemandirian Keuangan
(X3)
d. Efektivitas PAD ( X4)
e. Derajat
kontribusi
BUMD ( X5)

6. Rasio ruang fiskal berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
alokasi belanja modal.
1. Pengalokasian belanja modal
dipengauhi kinerja keuangan
2. Alokasi
belanja
Modal
memberikan pegaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi
3. Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi secara tidak langsung
adalah kinerja kinerja keuangan
daerah.

Dependen :
Pertumbuhan Ekonommi
(Y1)
Alokasi belanja Modal
(Y2)
3.

Arsa
(2015)

Pengaruh
Kinerja
Keuangan
Terhadap
Alokasi Belanja
Modal
dan
Pertumbuhan
Ekonomi
Pemerintah
kabupaten/Kota
se-Provinsi Bali
Tahun 2006 s.d
2013

Independen:
a. Derajat Desentralisasi
(X1)
b. Ketergantungan
Keuangan (X2)
c. Kemandirian Keuangan
(X3)
d. Efektivitas PAD ( X4)
e. Derajat
kontribusi
BUMD ( X5)

Dependen :
a. Alokasi Belanja Modal
(Y1)
b. Pertumbuhan Ekonomi
(Y2)

1. Derajat
desentralisasi
dan
efektivitas PAD berpengaruh
positif signifikan terhadap
belanja modal
2. ketergantungankeuangan
be
rpengaruh negatif signifikan
terhadap alokasi belanja modal
3. kemadirian
keuangan
dan
kontribusi
BUMD
tidak
berpengaruh
pada
alokasi
belanja modal
4. Alokasi
belanja
modal
berpengaruh positif signifikan
terhadappertumbuhan ekonomi
5. Derajat desentralisasi keuangan
dan efektivitas PAD, secara
tidak langsung

Universitas Sumatera Utara

No

Tahun/
Nama
Peneliti

Topik

Variabel
Yang Digunakan

Hasil
berpengaruh
positif
signifikan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
melalui
alokasi belanja modal dan
ketergantungan
keuangan,
secara tidak langsung
berpengaruh
negatif
signifikan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
melalui
belanja modal, sedangkan
kemandirian keuangan dan
kontribusi BUMD
secara tidak langsung tidak
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ekonomi
melalui alokasi belanja modal

4

Gerungan,
Saerang,
dan
Pontoh
(2013)

Pengaruh
Kinerja
Keuangan
Kabupaten/Kot
a Terhadap
Alokasi belanja
Modal di
Provini
Sulawesi Utara

Independen:
a. Kemandirian Keuangan
Daerah (X1)
b. Ketergantungan
Keuangan (X2)
c. Efektivitas Pendapatan
( X3)
d.

Efektivitas
Belanja
Modal BM ( X4)
e. Efisiensi
Keuangan
Daerah (X5)
f. Keserasian Belanja (X6)

Dependen :
a. Alokasi Belanja Modal
(Y)

5.

Ardhini
(2011)

Pengaruh Rasio
keuangan
daerah terhadap
alokasi Belanja
modal untuk
pelayanan

Independen:
a. Kemandirian
Keuangan
Daerah (X1)
b.
Efektivitas Keuangan
Daerah ( X2)

1. Kemandirian Keuangan Daera
berpengaruh
signifikan
terhadap
Alokasi
Belanja
Modal
2
Keuangan Daerah tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap Alokasi Belanja
Modal
3.
Efektivitas PAD
berpengaruh
signifikan terhadap Alokasi
Belanja Modal
4. Efektivitas Belanja Modal tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
Alokasi
Belanja
Modal
5. Efisiensi Keuangan Daerah
berpengaruh
signifikan
terhadap
Alokasi
Belanja
Modal
6. Keserasian
Belanja
berpengaruh
signifikan
terhadap
Alokasi
Belanja
Modal
7. Kemandirian
Keuangan
Daerah,Ketergantungan
Keuangan Daerah, Efektivitas
PAD,
Efektivitas
Belanja
Modal,
Efisiensi,
dan
Keserasian Belanja secara
serempak
berpengaruh
signifikan terhadap Alokasi
Belanja Modal
1. Tingkat kemandirian keuangan
daerah
tidak
berpengaruh
signifikan terhadap belanja
modal.
2. Tingkat efektivitas berpengaruh
positif dan signifikan terhadap

Universitas Sumatera Utara

No

Tahun/
Nama
Peneliti

Topik
publik dalam
perspektif teori
keagenan (studi
pada kabupaten
dan kota di
jawa tengah)

Variabel
Yang Digunakan
c.

Efesiensi
Keuangan
Daerah (X3)
d. SiLpa ( X4)
e. DAK (X5)
Luas Wilayah (X6)

Dependen :
a. Belanja Modal untuk
Pelayanan Publik (Y)
6

Verawaty,
Merina, dan
Sari (2016)

Determinan
Pengalokasian
Belanja Modal
dengan
pertumbuhan
ekonomi
sebagai
variabel
moderating
pada
pemerintah
provinsi
di
Indonesia

Independen:
a.
Rasio
kemandirian
keuangan (X1)
b. Rasio Efektivitas PAD
(X2)
c. Rasio
Efisiensi
Keuangan Daerah (X3)
d. PAD (X4)
e. DBH (X5)
f. DAU (X6)
g. DAK (X7)
Dependen :
a. Alokasi Belanja Modal
(Y)
Moderating
a. Pertumbuhan ekonomi

7

Hafidh
(2013)

Analisis Rasio
keuangan
Daerah dalam
mempengaruhi
Belanja Modal
Publik
bagi
pertumbuhan
Ekonomi

Hasil
belanja modal
3. Efisiensi berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap belanja
modal
4. SiLPA berpengaruh positif
terhadap Belanja Modal
5. Belanja Modal berpengaruh
negatif signifikan terhadap
Pertumbuhan ekonomi.

1. Rasio kemandirian keuangan
daerah berpengaruh signifikan
negatif terhadap aloaksi belanja
modal
2. Rasio
efektivitas,
rasio
efisiensi,
DAU,
DAK,
pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh positif terhadap
pengalokasian belanja modal
3. PAD, DBH memiliki hubungan
signifikan positif terhadap
pengalokasian belanja modal
4. Variabel
moderating
pertumbuhan
ekonomi,
menyatakan bahwa PAD dan
DAU tidak memiliki pengaruh
signifikan positif terhadap
pengalokasian belanja modal.

Independen :
a. Rasio
kemandirian
daerah (X1)
b. Rasio efisiensi keuangan
daerah (X2)
c. Rasio
Efektifitas
keuangan daerah (X3)
Dependen :

Rasio Kemandirian daerah,
Rasio efisiensi keuangan
Daerah, rasio efektifitas
keuangan
daerah
mempengaruhi belanja modal
publik secara positif dan
signifikan.

a. Belanja Modal (Y)
8

9

Fitri (2014)

Kusnanda
r
dan
Siswantor
o (2012)

Pengaruh Rasio
keuangan
daerah,Pendapa
tan Asli Daerah
(PAD),
dan
Dana Alokasi
Umum (DAU)
terhadap
Alokasi Belanja
Modal
pada
Kabupaten/Kot
a Provinsi Riau
tahun
20092012
Pengaruh Dana
Alokasi Umum,
Pendapatan
Asli
Daerah,

Independen:
a. Rasio
Kemandirian
keuangan daerah (X1)
b. Rasio
efektivitas
keuangan daerah (X2)
c. Rasio
Efisiensi
keuangan daerah (X3)
d. Pendapatan asli daerah
(X4)
e. Dana Alokasi Umum
(DAU) (X5)
Dependen :
a. Alokasi Belanja Modal
(Y)
Independen:
a. DAU (X1)
b. PAD (X2)
c. SiLPA (X3)

1.

2.

1.

2.

PAD memiliki pengaruh
signifikasi terhadap alokasi
belanja modal
Rasio kemandirian keuangan
daerah,
rasio
efektifitas
keuangan daerah, rasio efisiensi
keuangan aerah dan DAU tidak
memiliki pengaruh signifikan
terhadap alokasi belanja modal

DAU, secara parsial tidak
berpengaruh terhadap Belanja
Modal
PAD, Luas wilayah, SiLPA

Universitas Sumatera Utara

No

10

Tahun/
Nama
Peneliti

Felix
(2012)

Topik
Sisa
lebih
Pembiayaan
anggaran dan
luas Wilayah
Terhadap
Belanja Modal
Analysis of the
effectiveness of
capital
expenditure
budgeting
in
the
local
government
system of Ondo
state, Nigeria

Variabel
Yang Digunakan
d.

Luas wilayah (X4)

Hasil
berpengaruh positif terhaddap
Belanja Modal.

Dependen :
a. Belanja Modal (Y)

a.
b.

Penganggaran
modal
belanja modal

belanja

Terdapat hubungan positif dan
signifikan antara penganggran
belanja modal dan pencapaian
belanja modal.Impilikasinya ,
peningkatan belanja modal
yang
dianggarkan
akan
menigkatkan realisasi belanja
modal untuk infrastruktur

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara

7 83 104

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal sebagai variabel intervening studi empiris di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara

7 101 90

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Terhadap Kinerja Keuangan Dengan Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Riau

7 67 103

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Alokasi Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating

0 4 98

Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 8

Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Chapter III VI

0 0 40

Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dengan Dana Alokasi Khusus sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 3

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal sebagai Variabel Moderating pada Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara

0 0 16