Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Barang Jaminan yang Disita Oleh Kantor Pajak

BAB II
KEDUDUKAN HUKUM BARANG JAMINAN YANG TELAH DIPASANG
HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH KANTOR PAJAK

A. Pengertian Barang Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie yaitu
kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur,
yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai
tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.49
Dalam Perspektif hukum perbankan, istilah jaminan ini dibedakan dengan
istilah agunan. Di bawah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang PokokPokok Perbankan, tidak dikenal istilah agunan yang ada istilah jaminan. Sementara
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, memberikan pengertian yang tidak
sama dengan istilah jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.50
Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah
agunan atau tanggungan sedangkan jaminan menurut Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
diberi arti

49
50


lain yaitu keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan

Rachmadi Usman, Op.Cit., Hlm. 66
Ibid.

31

Universitas Sumatera Utara

32

nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan perjanjian.51
Penjelasan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan
sebagaimana berikut :
Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemapuan dan
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan

diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank
harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemapuan, modal,
agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur.
Adapun istilah agunan, ketentuan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, diartikan sebagai berikut :
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.
Dengan demikian berarti, istilah agunan sebagai terjemahan dari istilah
collateral merupakan bagian dari istilah jaminan pemberian kredit atau pembiayan
berdasarkan prinsip syariah. Artinya pengertian barang jaminan lebih luas yang
terdapat dalam undang-undang perbankan daripada pengertian agunan, di mana
agunan berkaitan dengan barang sedangkan jaminan tidak hanya berkaitan dengan

51

Ibid.


Universitas Sumatera Utara

33

barang tetapi berkaitan pula dengan character, capacity, capital dan condition of
economy dari nasabah debitur yang bersangkutan.52
Di dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarkan di
Yogyakarta ada yahun 1977 dapat disimpulkan pengertian jaminan adalah menjamin
dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda. 53
Jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto adalah sesuatu yang diberikan
kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
Sedangkan menurut M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditur
dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat.54
Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditur guna menjamin
dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat accesoir dari perjanjian pokok
(perjanjian kredit atau pembiayaan) oleh debitur dengan kreditur.
Perjanjian jaminan yang dibuat antara kreditur (bank) dengan debitur atau
pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau


52

Ibid.
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2004, Hlm. 22
54
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, gadai dan fidusia, Penerbit
Alumni,Bandung 1987, Hlm. 227-265
53

Universitas Sumatera Utara

34

kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian
hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok. 55
Barang yang dapat dijadikan jaminan haruslah suatu benda atau suatu hak yang
dapat dinilaikan ke dalam uang. Untuk menguangkan benda jaminan perlu bahwa
benda itu dialihkan kepada pihak lain. Oleh karena itu, barang yang dijadikan

jaminan haruslah juga benda atau hak yang boleh dialihkan kepada pihak lain.56
Karena Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan
pemberian kredit, jaminan yang baik (ideal) itu adalah57 :
a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang
memerlukannya.
b. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk meneruskan
usahanya.
c. Memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang
jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu apabila perlu dapat
dengan mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si pengambil kredit.
Adapun kegunaan kebendaan jaminan antara lain58:
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan
dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar
kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
55

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda lain Yang
Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2011, Hlm. 236
56

Rachmadi Usman, Op. Cit, Hlm. 70
57
Ibid.
58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

35

2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai
usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya
dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau
sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya
mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disetujui agar debitur dan atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak
kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan.
Mengenai lembaga jaminan, ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata
menyatakan :

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Kemudian dalam Pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan :
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.
Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut diatas lembaga jaminan dapat
dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu :
1. Hak jaminan yang bersifat umum
Jaminan yang bersifat umum ditujukan kepada seluruh kreditur dan
mengenai segala kebendaan debitur. Setiap kreditur mempunyai hak yang

Universitas Sumatera Utara

36

sama untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil pendapatan penjualan

segala kebendaan yang dipunyai debitur. Semua kreditur mempunyai
kedudukan yang sama (kreditur Konkuren), oleh karena itu untuk pelunasan
utang dibagi secara seimbang berdasarkan besar kecilnya jumlah tagihan dari
masing-masing kreditur. Hak jaminan yang bersifat umum ini timbul karena
undang-undang sehingga tidak perlu diperjanjikan sebelumnya.
2. Hak jaminan yang bersifat khusus
Kedudukan kreditur pada jaminan yang bersifat khusus ini tidak sama,
sesuai dengan ketentuan pasal 1132 KUH Perdata seorang kreditur tertentu
mempunyai kedudukan yang diutamakan daripada kreditur yang lainnya
(kreditur preferent). Yang menjadi kreditur preferent tersebut dinyatakan
dalam pasal 1133 KUH Perdata yang berbunyi :
Hal untuk didahulukan di antara orang-orang yang berpiutang terbit dari
hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek.
Dari ketentuan pasal diatas, diketahui bahwa hak jaminan yang bersifat
khusus itu terjadi 59:
a. Diberikan atau ditentukan oleh undang-undang sebagai piutang yang
diistimewakan (Pasal 1134 KUH Perdata)
b. Diperjanjikan antara debitur dan kreditur, sehingga menimbulkan hak
preferensi bagi kreditur atas benda tertentu yang diserahkan debitur.


59

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

37

Hak Jaminan yang bersifat khusus dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten),
Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada
seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena :
a. Kreditur

didahulukan

dan

dimudahkan


dalam

mengambil

pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau
sekelompok benda tertentu milik debitur dan atau
b. Ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau
terikat kepada hak kreditur, yang berharga bagi debitur dan dapat
memberikan suatu tekanan psikologis kepada debitur untuk
melunasi hutang-hutangnya adalah karena benda yang dipakai
sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga
baginya. Sifat manusia untuk berusaha mempertahankan apa yang
berharga dan telah dianggap atau diakui telah menjadi miliknya,
menjadi dasar hukum jaminan.60
Sesuai dengan sifat-sifat kebendaan, hak jaminan kebendaan
memiliki ciri-ciri yaitu61:
a. Mempunyai hubungan langsung dengan atau atas benda tertentu
milik debitur.

60


J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2007,

Hlm. 12
61

Rachmadi Usman, Op.Cit., Hlm. 77

Universitas Sumatera Utara

38

b. Dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja (semua
orang).
c. Mempunyai sifat droit de suite, artinya hak tersebut mengikuti
bendanya di tangan siapapun berada.
d. Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
e. Dapat dipindahtangankan atau dialihkan kepada orang lain.
Jaminan kebendaan ini dapat berupa benda bergerak dan tidak
bergerak. untuk benda bergerak, dapat dibebankan dengan gadai dan
fidusia, sedangkan benda tidak bergerak, dapat dibebankan dengan
hipotek, Hak Tanggungan dan fidusia
2. Jaminan perorangan
Jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas
benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan
seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang
bersangkutan. Jaminan perorangan ini dapat berupa penjaminan utang
atau borgtocht (personal guarantee), jaminan perusahaan (corporate
guarantee), perikatan tanggung menanggung dan garansi bank (bank
guarantee).
Sri Soedewi Masjchoen sofwan mengemukakan pengertian
jaminan materiil (kebendaan) berupa hak mutlak atas suatu benda,
yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tertentu,
dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti benda dan

Universitas Sumatera Utara

39

dapat dialihkan. Sedangkan jaminan imateriil (perorangan) adalah
jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan
tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu dan
terhadap harta kekayaan debi tur umumnya.62
Benda-benda yang dapat dijadikan objek jaminan di dalam
perjanjian kredit yaitu:
a) Benda bergerak dan tidak bergerak
Benda bergerak yaitu benda yang karena sifatnya dapat
dipndahkan atau karena ditentukan undang-undang. Dalam hal ini
benda tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa kategori yaitu benda
bergerak terdaftar dan benda bergerak tidak terdaftar. Perlunya
pembagian

tersebut dilakukan,

karena pembagian

tersebut

mempengaruhi jenis lembaga jaminan apakah yang akan dipakai
dalam mengikat benda tersebut dalam perjanjian kredit.
Benda tidak bergerak, lembaga jaminan yang dipakai untuk
mengikatnya

dalam

suatu

perjanjian

kredit

adalah

Hak

Tanggungan. Dalam hal ini objek jaminan haruslah berupa benda
tidak bergerak berbentuk tanah. Dan dalam proses pengikatannya
juga harus dilakukan ke dalam akta atau dokumen tersendiri yaitu
dalam bentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang

62

Sri Soedewi Maschjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, Hlm. 67

Universitas Sumatera Utara

40

dilakukan secara terpisah dari perjanjian pokok kreditnya namun
kedua perjanjian tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan
bulat dari perjanjian kredit itu sendiri.
b) Benda berwujud dan tidak berwujud
Benda berwujud dapat berupa benda atau barang bergerak dan atau
benda atau barang tidak bergerak. Sedangkan benda atau barang
tidak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan
kredit adalah berupa hak tagih debitur terhadap pihak ketiga.
B. Hak Tanggungan yang barang jaminan disita.
Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib
melakukan upaya pengamanan agar kreditur tersebut dapat dilunasi debitur yang
bersangkutan. Kreditur yang tidak dilunasi oleh debitur baik sebagian ataupun
seluruhnya akan berdampak kerugian bagi bank, kerugian yang menunjukkan jumlah
yang relatif besar akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha
bank. Oleh karena itu pengikatan barang jaminan menjadi penting dikarenakan
barang jaminan tersebut berfungsi sebagai pelunasan utang debitur apabila cidera
janji. Pengikatan barang jaminan yang beerupa tanah dilakukan dengan menggunakan
lembaga Hak Tanggungan.
Lahirnya undang-undang tentang Hak Tanggungan karena adanya perintah
dalam Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) berbunyi “Hak Tanggungan
yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan
tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 diatur dalam undang-undang”. Akan

Universitas Sumatera Utara

41

tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang Hak
Tangungan

belum terbentuk,

maka

digunakan

ketentuan

tentang

Hipotek

sebagaimana yang diatur di dalam KUH Perdata dan Credietverband. Perintah Pasal
51 UUPA ini terwujud dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.
Definisi Hak Tanggungan menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT adalah
”Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnnya”
Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang,
Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah
dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu benda
jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa
Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria.63
Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada
kreditur, oleh karena itu Hak Tanggungan merupakan perjanjian accesoir pada suatu
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian
pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya Hak
Tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang
63

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005, Hlm. 13

Universitas Sumatera Utara

42

dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang secara tegas dijamin
pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada Hak Tanggungan. 64
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, menyebutkan bahwa yang
menjadi Objek Hak Tanggungan adalah :
1. Hak milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani
dengan Hak Tanggungan.
5. Hak Milik atas satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara
Pembebanan Hak Tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri atas dua
tahap, yaitu diawali dengan tahap pemberian Hak Tanggungan dan akan diakhiri
dengan tahap pendaftaran. Dimana tata cara pembebanan Hak Tanggungan ini wajib
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 (UUHT) tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah. Tahap pemberian Hak Tanggungan dilakukan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, dengan pembuatan Akta

64

Rosa Agustina, Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Citra Ilmu,
Surabaya, 2007, Hlm. 25

Universitas Sumatera Utara

43

Pemberian Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat spesialitas. Sedangkan tahap
pendaftaran Hak Tanggungan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten setempat, dengan pembuatan buku tanah Hak Tanggungan dan
Sertipikat Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat publisitas.65 Berdasarkan
prosedur diatas maka momentum lahirnya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah
adalah pada saat hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat 4 UUHT dinyatakan bahwa Hak
Tangungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan yaitu tanggal
hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya. Tanggal penerbitan buku tanah menentukan kedudukan kreditur
sebagai kreditur preferen maupun untuk menentukan peringkatnya terhadap sesama
kreditur preference.
Salah satu asas-asas Hak Tanggungan adalah Hak Tanggungan memberikan
kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan. Sesuai
dengan yang dikemukakan pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lainnya. Kreditur yang dimaksud disini adalah kreditur yang memperoleh
atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.

65

Muhidin Surianto, Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan, Bumi Aksara, Jakarta, 2007,

Hlm. 44

Universitas Sumatera Utara

44

Pada Pasal 4 UUHT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan memberikan
kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya ialah:
Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak
menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya. Kedudukan diutamakan
tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang Negara
menurut ketentuan hukum yang berlaku. 66
Hal ini juga tercantum pada Pasal 20 ayat 1 UUHT yaitu :
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :
a. Hak pemegang Hak tangungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2, Objek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.
Ketentuan ayat ini memberikan kemudahan bagi pemegang Hak Tanggungan
dalam melakukan eksekusi barang jaminan melalui pelelangan umum jika debitur
wanprestasi, kreditur memilik hak diutamakan atas pengambilan pelunasan dari hasil
penjualan objek Hak Tanggungan. Apabila dari hasil penjualan barang jaminan
tersebut lebih besar dari piutang maka sisanya akan dikembalikan kepada debitur.
Hak preference yang dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud menjadi tidak bermakna manakala berkaitan dengan piutang-piutang
negara. Negara memiliki hak yang lebih utama dari kreditur pemegang Hak
Tanggungan. Akan tetapi piutang negara yang dimaksudkan tidak menjelaskan
66

Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah
Yang Dihadapi Perbankan, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, Hlm. 16

Universitas Sumatera Utara

45

piutang negara yang dimaksud karena bisa saja piutang-piutang negara yang
berkaitan dengan objek Hak Tanggungan atau semua piutang-piutang negara yang
menjadi kewajiban debitur yang bersangkutan.
Defenisi piutang negara menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp
Tahun 1960 adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan
yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu
peraturan perjanjian atau sebab apapun. Penjelasan pasal tersebut menjabarkan
piutang negara sebagai hutang yang :
1. Langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2. Terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian
atau seluruhnya dimiliki oleh negara misalnya Bank-Bank Negara, PT-PT Negara,
Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persediaan dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960
piutang negara dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu
1. Piutang Perbankan yaitu kredit macet bank-bank pemerintah
2. Piutang Negara non Perbankan berupa tagihan dari lembaga atau instansi atau
badan pemerintah pusat dan daerah selain bank seperti tagihan macet Telkom,
PLN, dan lain-lain
Sedangkan

berdasarkan

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga Dan

Universitas Sumatera Utara

46

Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih mengklasifikasikan piutang negara
menjadi dua yaitu :
1. Piutang negara penerimaan bukan pajak
2. Piutang pajak yang meliputi dibidang perpajakan dan kepabeanan dan cukai
Dalam Rapat antara BUPLN dengan direksi Bank-Bank Pemerintah yang
diadakan pada tanggal 25 April 1996, dikemukan bahwa menurut pandangan BUPLN
yang dimaksud dengan piutang negara dalam UUHT itu tidak hanya terbatas pajak
saja tetapi juga termasuk semua piutang negara sebagaimana menurut UndangUndang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Tidak ada
prioritas antara utang pajak dang piutang negara lainnya termasuk didalamnya kreditkredit macet bank-bank pemerintah dan piutang-piutang macet dari BUMN-BUMN
yang lain yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 diserahkan
penagihannya kepada BUPLN.67
Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2012
BUMN/BUMD tidak termasuk kedalam piutang negara dikarenakan pelimpahan
penyelesaiannya tidak lagi kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) melainkan
dapat diselesaikan oleh masing-masing manajemen BUMN/BUMD.
Kedudukan piutang negara yang ditafsirkan dalam Angka 4 penjelasan umum
UUHT, dapat dilihat pada Pasal 1137 KUH Perdata, ditafsirkan hak untuk didahului
dari Negara, Kantor Lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk pemerintah,
diatur dalam Undang-Undang Khusus. Dengan kata lain, dapat ditafsirkan bahwa
67

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

47

jenis piutang negara hanya didahulukan sepanjang hal itu ditentukan dalam UndangUndang Khusus. Untuk mengetahui jenis-jenis piutang negara yang mana saja harus
didahulukan dari gadai dan hipotik serta Hak Tanggungan haruslah kita pelajari
adakah Undang-Undang Khusus yang dimaksudkan oleh Pasal 1137 KUH Perdata.68
Dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Urusan Piutang
Negara, tidak ditemukan ketentuan yang mengatur

mengenai didahulukannya

piutang negara dari gadai dan hipotik. Dengan demikian juga untuk didahulukan dari
Hak Tanggungan sehingga oleh karena itu pendapat Adolf Warouw, ketentuan
PUPN/BUPLN tersebut diatas tidak dapat diterima.69
Setelah mempelajari berbagai Undang-Undang yang lain, dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dapat
ditemukan ketentuan yang menyatakan tagihan pajak mempunyai hak mendahului
melebihi segala hak mendahului lainnya. Dalam Pasal 21 ayat (3) undang-undang
tersebut ditetapkan bahwa hak mendahulu tagihan pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya kecuali terhadap :
a. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang.
b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang.

68
69

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

48

c. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian
suatu warisan.
Dengan demikian, tagihan pajak sebagai salah satu jenis piutang negara
berkedudukan lebih tinggi dari gadai dan Hipotik. Mengingat Hak Tanggungan
merupakan pengganti dari hipotik atas tanah, tagihan pajak harus pula didahulukan
dari Hak Tanggungan.70
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa berpedoman kepada
ketentuan Pasal 1137 KUH Perdata, piutang negara yang kedudukannya lebih tinggi
dari Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 Penjelasan Umum
UUHT hanya tagihan pajak.71
C. Kewenangan Kantor Pajak dalam Penyitaan Barang Jaminan
Menurut Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dikatakan bahwa negara
mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang wajib pajak,
begitu pula atas barang-barang milik wakilnya yang bertanggungjawab secara pribadi
dan atau secara renteng. Berdasarkan pasal tersebut diatas maka kedudukan negara
adalah sebagai kreditur preference yang mempunyai hak yang diutamakan atau hak
mendahului atas barang-barang wajib pajak dan barang-barang milik wakilnya.

70
71

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

49

Adanya utang pajak yang dimiliki wajib pajak maka negara berwenang untuk
melakukan penagihan pajak. Defenisi penagihan pajak menurut Rochmad Soemitro,
adalah serangkaian tindakan dari Aparatur Direktorat Jenderal Pajak karena wajib
pajak tidak memenuhi ketentuan undang-undang khususnya mengenai pembayaran
pajak.72
Pada

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) defenisi penagihan pajak adalah
serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang disita.
Berdasarkan defnisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penagihan pajak
merupakan serangkaian tindakan yang dimulai dengan tindakan yang bersifat teguran
atau peringatan, kemudian dilanjutkan dengan tindakan-tindakan yang bersifat
memaksa yang tujuan agar utang pajak terlunasi.
Penagihan pajak berfungsi yaitu73 :
1. Sebagai tindakan penegakan hukum kepada wajib pajak atau penanggung
pajak untuk mematuhi peraturan perundang-undangan.
2. Sebagai tindakan pengamanan penerimaan pajak.

72

Rochmad Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, PT. Refika Aditama, Bandung, 1991,

Hlm. 76
73

Ida Zuraida & Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak Pusat dan Pajak Daerah, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2011, Hlm. 38

Universitas Sumatera Utara

50

Terdapat 3 (tiga) jenis kegiatan penagihan pajak yang dikenal secara umum,
1. Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif adalah seluruh kegiatan penagihan di luar
penagihan aktif dimana seksi penagihan tidak melakukan tindakan yang
nyata terhadap wajib pajak atau penanggung pajak agar melunasi utang
pajak. Kegiatan ini meliputi saat antara penerbitan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan
Pembetulan (SK Pembetulan), Surat Keputusan Keberatan (SK Keberatan)
dan Putusan Banding oleh seksi terkait hingga Penerbitan Surat Teguran
olek seksi penagihan.
Penagihan pajak pasif lebih diarahkan untk mengingatkan wajib
pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Dilihat dari sisi aktivitas fiskus,
pihak fiskus mulai berperan aktif dalam penagihan pajak tesebut. Tetapi
penagihan pasif bukan hanya ditujukan untuk menagih pajak itu sendiri,
melainkan juga untuk memberikan pendidikan mengenai tanggung jawab
perpajakan kepada rakyat.74
2. Penagihan pajak aktif.
Penagihan pajak aktif adalah keseluruhan kegiatan penagihan yang
merupakan

kelanjutan

dari

penagihan

pajak

pasif

dimulai

dari

74

Sri Pudyatmoko, Penegakan dan Perlindungan Hukum Di Bidang Pajak, Penerbit Salemba
Empat, Jakarta, 2007, Hlm. 105

Universitas Sumatera Utara

51

pemberitahuan Surat Paksa hingga menjual barang yang telah disita dan
dalam hal ini seksi penagihan melakukan tindakan yang nyata atas wajib
pajak atau penanggung pajak.75
Tahapan Penagihan aktif meliputi :
1. Surat Teguran
Surat teguran atau dapat juga disebut surat peringatan atau surat lain
yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya.76
Dalam ketentuan Pasal 27 ayat 5 PP Nomor 80 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan diatur bahwa dalam
hal wajib pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih dibayar dalam
jangka waktu yang telah ditentukan, pajak yang masih harus dibayar tersebut
ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan surat teguran, surat tersebut
diterbitkan setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008,
tanggal 2 Februari 2008, sebagaimana diubah dengan peraturan Menteri
Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 diatur bahwa mengenai saat penerbitan
surat teguran, tergantung pada ada tidaknya sengketa dalam penetapan pajak.
Berbeda dari ketentuan di atas untuk jenis pajak Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPTHB)
75

Direktorat Jenderal Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-19/PJ/1995
tentang Pedoman Tata Usaha Piutang dan Penagihan Pajak
76
Ida Zuraida dan Hari Sih Advianto, Op.Cit., Hlm. 65

Universitas Sumatera Utara

52

memiliki tanggal jatuh tempo pembayaran yang dihitung mulai dari tanggal
surat diterima oleh wajib pajak. Dalam Jangka waktu 1 (satu) Bulan sejak
diterima oleh wajib pajak harus dilunasi. Sedangkan untuk penagihan pajak
daerah, berdasarkan pasal 101 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah diatur bahwa Kepala Daerah
menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib
pajak.
Surat Teguran tidak perlu diterbitkan apabila penanggung pajak
telah menyampaikan permohonan angsuran atau permohonan penundaan
pembayaran pajak, atau telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus.
2. Surat Paksa (SP)
Sesuai dengan Pasal 1 angka 12 yang dimaksud dengan surat paksa
adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak.77 SP harus menggunakan kepala “Atas Nama Keadilan” Karena
perkataan-perkataan itulah SP mendapat kekuatan eksekutorial (kekuatan
untuk dijalankan) dan kekuatan itu didapatkannya karena keadilanlah yang
semata-mata memerintahkan pelaksanaan itu.78

77

Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2011, Hlm. 75
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2008,
Hlm. 197
78

Universitas Sumatera Utara

53

Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa (SP)
yaitu 79:
a. Apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Bahwa terhadap penanggung pajak telah dilakukan penagihan seketika
dan sekaligus.
c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
SP yang diterbitkan oleh Kepala kantor Pelayanan Pajak/Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) tercantum
“Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh karena itu
mempunyai kekuatan eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan. Pemberitahuan SP
kepada penanggung pajak harus dengan dibacakan oleh juru sita pajak dan
kedua belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa
sebagai pernyataan bahwa SP tersebut telah diberitahukan.
SP paling lambat disampaikan 21 (dua puluh satu) hari setelah surat
teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. SP
yang disampaikan melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi
batal demi hukum.
79

Ibid

Universitas Sumatera Utara

54

SP terhadap wajib badan diberitahukan jurusita pajak kepada :
1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab,
pemiliki modal, baik ditempat kedudukan badan yang bersangkutan, di
tempat tinggal mereka, maupun di tempat lain yang memungkinkan.
Dengan demikian pemberitahuan SP terhadap wajib pajak badan dapat
disampaikan :
1. Untuk Perseroan Terbatas (PT) kepada pengurus meliputi direksi,
komisaris pemegang saham tertentu dan orang-orang yang nyata
mempunyai wewenang ikut menentukan kebijakan atau pengambilan
keputusan dalam menjalankan PT tersebut. Pemegang saham
tertentu yang dimaksud disini adalah pemegang saham mayoritas
atau pemegang saham pengendali.
2. Untuk bentuk usaha tetap kepada kepala perwakilan, kepala cabang
atau penanggung pajak
3. Untuk badan usaha lainnya seperti persekutuan, firma dan perseroan
komanditer kepada dierktur, pemilik modal atau orang yang ditunjuk
untuk melaksanakan, mengendalikan serta bertanggung jawab atas
perusahaan tersebut.
4. Untuk yayasan kepada ketua atau orang yang melaksanakan,
mengendalikan dan bertanggung jawab atas yayasan tersebut

Universitas Sumatera Utara

55

2. Pegawai tetap ditempat kedudukan atau tempat usaha badan yang
bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana yang disebutkan diatas.
4. Surat perintah melaksanakan penyitaan
Kepala KPP yang telah menerbitkan SP dapat menerbitkan Surat
Melakukan Penyitaan (SPMP) dalam hal utang pajak tidak dilunasi dalam
jangka waktu 2x 24 jam terhitung sejak tanggal SP diberitahukan kepada
wajib pajak atau penanggung pajak. Dalam Hal ini, SPMP paling cepat
diterbitkan setelah lewat waktu 2x24 jam sejak tanggal Surat Paksa
diberitahukan kepada penanggung pajak.
Seperti dalam penyampaian SP, maka pejabat yang menerbitkan SP
dapat memerintahkan jurusitanya untuk menerbitkan SPMP terhadap objek
sita yang dimaksud kecuali ditetapkan lain oleh Keputusan Menteri atau
Keputusan Kepala Daerah. Kegiatan penyitaan dilaksanakan oleh jurusita
pajak dengan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Setiap
pelaksanaan penyitaan harus dibuat dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita
(BAPS) yang ditandatangi oleh jurusita dan saksi-saksi sehingga BAPS
tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penyitaan
tetap dapat dilakukan sekalipun penanggung tidak hadir, sepanjang salah
seorang saksi dari Pemda setempat sekurang-kurangnya dihadiri setingkat
Kepala Kelurahan atau Kepala desa. Salinan BAPS akan ditempelkan pada
barang yang disita.

Universitas Sumatera Utara

56

Berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh pejabat
KPP Pratama, pencabutan sita dilaksanakan apabila :
1. Penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak.
2. Adanya Putusan Badan Peradilan Pajak, Misalnya putusan atas gugatan
penanggung pajak terhadap pelaksanaan sita.
3. Ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia, misalnya karena adanya sebab-sebab di luar kekuasaan
pejabat yang bersangkutan seperti objek sita terbakar, hilang atau
musnah.
5. Pelaksanaan lelang
Lelang adalah setiap penjualan di muka umum yang dipimpin oleh
pejabat lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/lisan dan atau
tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang.80
Dasar hukum pelaksanaa lelang saat ini diatur dalam vendu
Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908-198) dan Vendu Instructie (Instruksi
Lelang, Stbl. 1908-190) sebagai landasan penyelenggaraan lelang di
Indonesia. Lelang dalam hal sita pajak merupakan salah satu bagian dari
berbagai jenis lelang untuk melaksanakan eksekusi atas barang-barang milik
penanggung pajak dalam rangka penagihan piutang pajak. Pelaksanaan
pelelangan terhadap barang yang telah disita dilakukan sekurang-kurangnya
80

Ibid

Universitas Sumatera Utara

57

14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Pengumuman lelang itu
sendiri dilakukan dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari
setelah pelaksanaan penyitaan.81
Pelaksanaan lelang dalam rangka eksekusi pajak merupakan upaya
hukum terakhir dalam rangka mencairkan tunggakan pajak sebagaimana
diatur dalam pasal 25 UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang PPSP dikatakan
bahwa “Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi
setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan
secara lelang terhadap barang yang disita”.
Lelang eksekusi pajak yang penyelenggaraanya dilakukan melalui
Kantor Lelang Negara (KLN), mempunyai nilai kekhususan lain yaitu
bahwa tindakaan lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun tidak ada
dokumen-dokumen bukti kepemilikan sepanjang dalam Berita Acara
Pelaksanaan Sita disebutkan bahwa dokumen tidak dapat disita.
Namun demikian, khusus untuk lelang dengan objek berupa tanah
dan atau bangunan, meskipun tidak ada dokumennya, tetap harus ada
dokumen lain berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dapat diperoleh
dari instansi yang berwenang.82

81

Ibid
Surat Edaran Bersama, Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara, Nomor . SE-214/PJ/1999; SE-17/PN?1999 tanggal 25 Agustus 1999
82

Universitas Sumatera Utara

58

6. Penagihan seketika dan sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak
yang dilaksanakan oleh juru sita pajak kepada penanggung pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran dan meliputi seluruh uang pajak
dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.83
Penagihan pajak seketika dan sekaligus dilakukan ketika 84:
a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
atau berniat untuk itu
b. Penanggung pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan
perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun
memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya
c. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan
badan usahanya atau berniat untuk itu
d. Badan udaha akan dibubarkan oleh negara
e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
Dalam hal terjadi penagihan seketika dan sekaligus, maka penagihan
dilakukan terhadap seluruh utang pajak dan semua jenis pajak, masa pajak
dan tahun pajak. Penyampaian Surat Perintah Penagihan seketika dan

83
84

Sri Pudyatmoko, Op.Cit, Hlm. 108
Ibid

Universitas Sumatera Utara

59

sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh jurusita pajak kepada
peanggung pajak.
Ujung tombak dalam pelaksanaan penagihan pajak KPP Pratama
dalam hal ini secara khusus adalah jurusita. Jurusita pajak sendiri adalah
pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan”. Jurusita
pajak diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan untuk penagihan
pajak pusat, dan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak
daerah. Kedudukan jurusita adalah jabatan struktural dan bertanggung jawab
atas penagihan pajak yang ditugaskan kepadanya oleh atas langsung.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat menjadi jurusita pajak
adalah kemampuan fisik, mental dan professional.
Kewenangan jurusita menurut Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2000
tentang PPSP yaitu berwenang dalam melakukan penyitaan, berwenang
memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci,
dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat
kedudukan, atau di tempat tinggal penanggung pajak atau di tempat lain
yang diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita. Tetapi dalam
pelaksanaan penyitaan tetap memperhatikan norma yang berlaku di
masyarakat, seperti sebelum dilakukan penyitaan dengan meminta izin
terlebih dahulu kepada penanggung pajak.

Universitas Sumatera Utara

60

Daluarsa penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan dan
biaya penagihan pajak adalah setelah melampaui waktu 5 (lima ) tahun
terhitung sejak penerbitan85:
1. Surat Tagihan Pajak
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
4. Surat Keputusan Pembetulan
5. Surat Keputusan Keberatan
6. Putusan Banding
7. Putusan Peninjauan Kembali
Saat daluarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberikan
kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluarsa penagihan pajak tertangguh apabila :
1. Diterbitkan surat paksa
2. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak
langsung
3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan
4. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

85

Departemen Keuangan Republin Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, Pedoman Penagihan
Pajak 2009, Jakarta, 2009, Hlm.132

Universitas Sumatera Utara

61

D. Kedudukan Hukum Barang Jaminan yang telah Dipasang Hak Tanggungan
yang Disita oleh Kantor Pajak
Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui
bank, harus segera diikat sebagai jaminan utang. Bank seharusnya mengikat objek
jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur jaminan utang. Pengikatan atau penguasaan
jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum diizinkannya debitur menarik dana
kredit. Keharusan pengikatan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari
persyaratan administratif yang sudah diselesaikan sebelum kredit disalurkan kepada
debitur. Sehubungan dengan adanya persyaratan administrasi yang ditetapkan dalam
peraturan intern bank, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan hendaknya bank
tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum
seluruh persyaratan adminstratif diselesaikan oleh debitur, termasuk mengenai
pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya.86
Perjanjian pengikatan jaminan utang adalah perjanjian accesoir. Perjanjian
accesoir adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan atau berkaitan dengan perjanjian
pokok. Perjanjian ini timbul karena adanya perjanjian pokok yang mendasarinya.
Salah satu perjanjian accesoir adalah berupa perjanjian pengikatan objek jaminan
kredit yang dibuat bank bersama debitur atau pemilik objek jaminan kredit berupa
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

86

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 132

Universitas Sumatera Utara

62

Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri.
Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk.
Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian utang piutang
yang menimbulkan utang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian Hak
Tanggungan adalah suatu perjanjian accesoir. Dalam butir 8 UUHT disebutkan :
” Oleh karena Hak tanggungan menurut sifat merupakan ikutan atau accesoir
pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang
piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan
oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”.
Bahwa perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian accesoir adalah
berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT yaitu karena :
(a) Pasal 10 ayat (1) UUHT menentukan bahwa perjanjian untuk memberikan
hak tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan.
(b) Pasal 18 ayat (1) huruf a menentukan Hak Tanggungan hapus karena
hapusnya utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan.
Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan atas barang jaminan mempunyai
hak didahulukan dari kreditur lain untuk memperoleh pelunasan kredit dari hasil
penjualan (pencairan) objek jaminan kredit bila debitur cidera janji. Dalam ketentuan
Pasal 1132 KUH Perdata ditetapkan tentang adanya kreditur yang didahulukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan
yang menetapkan hak didahulukan (hak diutamakan) kepada kreditur sebagimana

Universitas Sumatera Utara

63

yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata adalah mengatur tentang
lembaga jaminan, gadai, hipotek, hak tanggungan dan jaminan fidusia dan dalam hal
ini merupakan lembaga jaminan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang dalam ketentuannya menetapkan memberikan hak didahulukan kepada
kreditur.87
Sebagai pemegang Hak Tanggungan tersebut bank memang mendapatkan hak
didahulukan, akan tetapi hal tersebut dapat dikesampingkan apabila barang jaminan
yang dipasang Hak Tanggungan tersebut berkaitan dengan pailit, perampasan barang
jaminan oleh negara karena korupsi dan karena penyitaan barang jaminan oleh Kantor
Pajak.
Dalam hal penyitaan barang jaminan yang disita oleh Kantor Pajak seperti
terjadi pada KPP Pratama Medan Kota yaitu CV XX merupakan wajib pajak
sekaligus sebagai pengusaha kena pajak (PKP) yang bergerak dalam usaha jual-beli.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan jasa Kena pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk pengusah kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Syarat pengusaha yang wajib menjadi PKP yaitu apabila

87

Ibid, Hlm. 136

Universitas Sumatera Utara

64

memiliki Pendapatan bruto (omset) dalam 1 (satu) tahun buku mencapai Rp.
4.800.000,000,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah).88
Pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau
penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean dan atau melakukan ekspor
barang kena pajak berwujud, ekspor jasa kena pajak dan atau ekspor barang kena
pajak tidak berwujud diwajibkan: 89
1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
2. Memungut pajak yang terutang.
3. Menyetorkan pajak pertambahan nilai yang masih harus dibayarkan dalam hal
pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukkan yang dapat dikreditkan
serta menyetorkan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang.
4. Melaporkan perhitungan pajak
CV. XX selain wajib pajak dan PKP juga merupakan nasabah kredit pada
Bank YY. Pada Tahun 2010 CV. XX melakukan pengikatan kredit dengan Bank YY
dengan jaminan berupa Sertifikat Tanah yang terletak di Kota Medan. CV. XX yang
bergerak di bidang usaha jual beli, mulai tahun 2008 s/d 2011 terutang PPN. Dimana
setiap transaksi jual beli yang dilakukan, CV. XX sebagai PKP diwajibkan memungut
PPN sebesar 10 % dari setiap transkasi jual- beli yang dilakukannya. Pembeli telah
membayarkan PPN tersebut kepada CV. XX tetapi CV. XX tidak pernah melaporkan

88

Hasil Wawancara dengan Irvan Jurusita KPP Pratama Medan Kota pada Tanggal 25 Juli

2016
89

Thomas Sumarsan, Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak, PT. Indeks, Jakarta, 2012,
Hlm. 177.

Universitas Sumatera Utara

65

dan menyetorkan PPN yang telah dipungutnya kepada KPP Pratama Medan Kota.
Penyetoran PPN oleh PKP harus dilakukan paling lama ahir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak dan sebelum surat pemberitahuan masa pajak PPN
disampaikan. Keterlambatan pembayaran PPN yang terutang adalah sebesar 2 (dua)
% (persen) setiap bulan dan bagian bulan dihitung satu bulan penuh dan dikenakan
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk
penyampaian surat pemberitahuan masa pajak PPN yang terlambat.
Setiap transaksi penjualan yang dilakukan, CV. XX memberikan faktur
kepada pembeli sebagai bukti pemungutan pajak. Faktur pajak tidak perlu dibuat
secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan, faktur pajak dapat berupa faktur
penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai faktur pajak oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Faktur pajak harus dibuat pada: 90
a. Saat penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak.
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan barang kena pajak dan atau sebelum penyerahan jasa
kena pajak.
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan.
d. Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada bendahara pemerintah
sebagai pemungut PPN.
90

Ibid

Universitas Sumatera Utara

66

Pemungutan PPN menganut prinsip akrual artinya terutangnya pajak terjadi
pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak meskipun pembayaran
atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada
saat impor barang kena pajak, dan saat terutangnya pajak untuk transaksi yang
dilakukan melalui electronic commerce.91
PPN yang telah dipungut oleh PKP wajib dilaporkan kepada KPP Pratama
Medan Kota. Pelaporan pajak dengan mengunakan surat pemberitahuan (SPT)
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah
pajak yang terutang.
SPT adalah surat atau formulir atau atau sarana yang digunakan oleh wajib
pajak untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan
atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketetentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.92
Setiap wajib pajak wajib mengisi SPT baik dalam bentuk formulir kertas atau
elektronik dengan benar, lengkap dan jelas dan menandatangani serta menyampaikan
ke Kantor Jenderal Pa