Perlindungan Pemegang Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) (Studi Penelitian Di Kabupaten Aceh Utara)

(1)

PERLINDUNGAN PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN

DI ATAS HAK PENGELOLAAN

PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO)

(STUDI PENELITIAN DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Oleh

BUKHARI MUHAMMAD

097011129/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN

DI ATAS HAK PENGELOLAAN

PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO)

(STUDI PENELITIAN DI KABUPATEN ACEH UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

BUKHARI MUHAMMAD

097011129/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS HAK PENGELOLAAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) (STUDI PENELITIAN DI KABUPATEN ACEH UTARA) Nama Mahasiswa : Bukhari Muhammad

Nomor Pokok : 097011129

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 19 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

ABSTRAK

Pemberian Hak Guna Bangunan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di atas Hak Pengelolaan miliknya mendudukan pihak pemegang Hak Guna Bangunan pada posisi yang lemah. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan yang khusus mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak pemegang Hak Guna Bangunan tersebut. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang kewenangan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam memberikan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan miliknya, status tanah dan bangunan di atas Hak Pengelolaan yang jangka waktu Hak Guna Bangunannya telah berakhir dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif terhadap pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), dengan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut dengan Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksananya dan melakukan wawancara dengan informan yaitu: Pejabat PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dan Pejabat Kantor Pertanahan kabupaten Aceh Utara.

Hasil penelitian menunjukkan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) berwenang untuk memberi Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan miliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) PMDN Nomor 1 Tahun 1977. Status tanah apabila Hak Guna Bangunan tersebut berakhir akan dikembalikan ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan dan status bangunan apabila Hak Guna Bangunan tidak diperpanjang maka pemegang hak wajib membongkar bangunan yang ada di atasnya.Namun, apabila bangunan yang ada di atasnya diperlukan, maka kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan ganti rugi. Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan sangat lemah. Hal ini dapat diketahui dari tidak adanya aturan hukum khusus yang mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Perlindungan hukum yang harus didapat oleh pemegang Hak Guna Bangunan antara lain: mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur atas biaya-biaya yang harus dibayar sehubungan dengan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut.

Disarankan kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemegang Hak Pengelolaan dalam melakukan pemberian Hak Guna Bangunan kepada pihak ketiga, lebih memperhatikan segi-segi peruntukan atas tanah dan jangka waktu, sehingga tidak melanggar kewenangan yang diberikan kepadanya. Dalam surat perjanjian persewaan tanah yang dibuat antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan pihak penyewa, hendaknya memuat klausul yang menerangkan tentang status bangunan yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan tersebut apabila jangka waktu Hak Guna Bangunan telah berakhir.. Disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan hak dan kewajiban para


(6)

pihak yang terlibat dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan menjadi jelas dan semua pihak akan merasa terlindungi.


(7)

ABSTRACT

The assignment of title for building rights by the Railroad Company (Incorporated) on its supervision rights will eventually make the holder of the building rights in the weak position because there is no special regulation which regulates this case. Therefore, it is necessary to do some research on the rights of the Railroad Company in assigning the title for building rights on its supervision rights, the status of land and building after the term of the contract has come to end, and the legal protection for the holder of the building rights on the supervision rights.

This research was descriptive analytic with legal normative approach on the assignment of title for building rights on the supervision rights of the Railroad Company (Incorparated) by doing some research on the laws and regulations, especially those that deal with Land Act and its implementing regulation, and by interviewing the informants, such as the officials of the Railroad Company (Incorporated) and the officials of the Land Office in North Aceh Regency.

The result of the research showed that the Railroad Company (Incorporated) was competent in assigning of title for building rights on the provision rights of its property. This is in accord with the PMDN (Minister of Home Affairs Regulations) Number 1, 1977, Article I, Paragraph I. When the term of the contract ends, the holder of the building rights will return the land to the holder of the supervision rights and the term is not renewed, the holder of the building rights must tear down the house. But, if he still needs that house, he will get the compensation. In this case, the holder of the building rights does not have adequate legal protection because there is no special regulation concerning the building rights on the provision rights. This legal protection consists of accurate, clear, and reliable information about the cost which must be paid concerning the assignment of title for building rights.

It is recommended that the Railroad Company (Incorporated), as the holder of the supervision rights in assigning title for building rights as the third party, should pay more attention on the land allotment and the term of the contract so that it does not violate the law. The contract should contain the stipulation which explains the status of the building which is set up on the land when the terms have ended. It is also recommended that the government should issue the regulation concerning the building rights on the supervision rights so that the terms of the contract will be transparent and both parties will be legally protected.

Keywords : Protection, Building Rights, Supervision Rights


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, karena atas rahmad dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul PERLINDUNGAN PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS HAK PENGELOLAAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) (Studi Penelitian di Kabupaten Aceh Utara) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Komisi Pembimbing serta kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku anggota Komisi Pembimbing, dan juga kepada Bapak Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. dan Bapak Syafnil Gani, S.H., M.Hum. selaku Komisi Penguji, atas bimbingan dan arahan serta petunjuk yang diberikan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan


(9)

fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam administrasi yang dibutuhkan.

6. kepada rekan-rekan seangkatan mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis ayahanda Alm. H. Muahmmad dan Ibunda Hj. Rohani yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis dan juga kepada seluruh keluarga penulis ucapkan terima


(10)

kasih atas dorongan dan bantuan moril yang telah diberikan sehingga dapat selesaikan tesis ini.

Akhirnya kepada isteriku Hj. Fatimah serta anak-anak kami Nyak Raja, Safwan, Masyitah dan Intan Maisarah yang dengan pengorbanan, ketabahan hati serta kesabaran dan yang senantiasa mendorong dengan semangat kasih sayang sehingga penulis berhasil menyelesaikan penulisan tesis ini. Terima kasih buat perjuangan ini dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, segala cobaan yang telah diberikan-Nya selama ini kiranya dapat mempertebal iman kita kepada-diberikan-Nya dalam pengabdian untuk Agama, Nusa dan Bangsa.

Akhirnya kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 19 Agustus 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Bukhari Muhammad

Tempat/Tgl. Lahir : Samalanga, 6 Mei 1956 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Sukaramai No. 27, Lhokseumawe II. Keluarga

Ayah : H. Muhammad

Ibu : Hj. Rohani

Isteri : Hj. Fatimah

Anak : Nyak Raja

Safwan

Masyitah Intan Maisarah

III. Pekerjaan : Notaris dan PPAT Kota Lhokseumawe IV. Pendidikan

1. Sekolah Dasar Negeri I Medan

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri I Samalanga 3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Samalanga 4. Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan

5. Program Pendidikan Specialis Notariat (PPSN) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

6. Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan

Medan, 19 Agustus 2010 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian... 12

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teroi ... 13

2. Konsepsi... 18

G. Metode Penelitian... 20

BAB II. KEWENANGAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) SEBAGAI PEMEGANG HAK PENGELOLAAN ………….….. 24

A. Gambaran Umum PT. Kereta Api Indonesia (Persero) ... 24

B. Tinjauan Umum Mengenai Tanah dan Hak Pengelolaan Atas Tanah ... 29


(13)

C. Kewenangan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai Pemegang Hak Pengelolaan ... 43 D. Uang Pemasukan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan ... 51 BAB III. STATUS HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN YANG

DIDIRIKAN DI ATAS HAK PENGELOLAAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) SETELAH BERAKHIR JANGKA

WAKTU HAK GUNA BANGUNAN ... 52

A. Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di Kabupaten

Aceh Utara ... 52 B. Hak dan Kewajiban yang Timbul Dari Pemberian Hak Guna

Bangunan di Atas Hak Pengelolaan ... 64 C. Penggunaan Hak Pengelolaan ... 69

D.Tata Cara Peralihan Hak Atas Tanah di Atas Tanah Hak

Pengelolaan ... 72 E. Pengertian Hak Guna Bangunan ... 74 F. Status Hak Atas Tanah dan Bangunan Setelah Berakhir Jangka

Waktu Hak Guna Bangunan ... 83

BAB IV. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) ... 85

A. Kepastian Hukum Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah ... 85 B. Kelemahan Pemegang Hak Guna Bangunan Di atas Hak

Pengelolaan ... 90 C. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan Yang

Berdiri di Atas Tanah Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) ... 94


(14)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran-saran ... 98


(15)

ABSTRAK

Pemberian Hak Guna Bangunan oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di atas Hak Pengelolaan miliknya mendudukan pihak pemegang Hak Guna Bangunan pada posisi yang lemah. Hal ini dikarenakan tidak adanya aturan yang khusus mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak pemegang Hak Guna Bangunan tersebut. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang kewenangan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam memberikan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan miliknya, status tanah dan bangunan di atas Hak Pengelolaan yang jangka waktu Hak Guna Bangunannya telah berakhir dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif terhadap pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), dengan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut dengan Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksananya dan melakukan wawancara dengan informan yaitu: Pejabat PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dan Pejabat Kantor Pertanahan kabupaten Aceh Utara.

Hasil penelitian menunjukkan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) berwenang untuk memberi Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan miliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) PMDN Nomor 1 Tahun 1977. Status tanah apabila Hak Guna Bangunan tersebut berakhir akan dikembalikan ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan dan status bangunan apabila Hak Guna Bangunan tidak diperpanjang maka pemegang hak wajib membongkar bangunan yang ada di atasnya.Namun, apabila bangunan yang ada di atasnya diperlukan, maka kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan ganti rugi. Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan sangat lemah. Hal ini dapat diketahui dari tidak adanya aturan hukum khusus yang mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Perlindungan hukum yang harus didapat oleh pemegang Hak Guna Bangunan antara lain: mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur atas biaya-biaya yang harus dibayar sehubungan dengan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut.

Disarankan kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemegang Hak Pengelolaan dalam melakukan pemberian Hak Guna Bangunan kepada pihak ketiga, lebih memperhatikan segi-segi peruntukan atas tanah dan jangka waktu, sehingga tidak melanggar kewenangan yang diberikan kepadanya. Dalam surat perjanjian persewaan tanah yang dibuat antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan pihak penyewa, hendaknya memuat klausul yang menerangkan tentang status bangunan yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan tersebut apabila jangka waktu Hak Guna Bangunan telah berakhir.. Disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan hak dan kewajiban para


(16)

pihak yang terlibat dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan menjadi jelas dan semua pihak akan merasa terlindungi.


(17)

ABSTRACT

The assignment of title for building rights by the Railroad Company (Incorporated) on its supervision rights will eventually make the holder of the building rights in the weak position because there is no special regulation which regulates this case. Therefore, it is necessary to do some research on the rights of the Railroad Company in assigning the title for building rights on its supervision rights, the status of land and building after the term of the contract has come to end, and the legal protection for the holder of the building rights on the supervision rights.

This research was descriptive analytic with legal normative approach on the assignment of title for building rights on the supervision rights of the Railroad Company (Incorparated) by doing some research on the laws and regulations, especially those that deal with Land Act and its implementing regulation, and by interviewing the informants, such as the officials of the Railroad Company (Incorporated) and the officials of the Land Office in North Aceh Regency.

The result of the research showed that the Railroad Company (Incorporated) was competent in assigning of title for building rights on the provision rights of its property. This is in accord with the PMDN (Minister of Home Affairs Regulations) Number 1, 1977, Article I, Paragraph I. When the term of the contract ends, the holder of the building rights will return the land to the holder of the supervision rights and the term is not renewed, the holder of the building rights must tear down the house. But, if he still needs that house, he will get the compensation. In this case, the holder of the building rights does not have adequate legal protection because there is no special regulation concerning the building rights on the provision rights. This legal protection consists of accurate, clear, and reliable information about the cost which must be paid concerning the assignment of title for building rights.

It is recommended that the Railroad Company (Incorporated), as the holder of the supervision rights in assigning title for building rights as the third party, should pay more attention on the land allotment and the term of the contract so that it does not violate the law. The contract should contain the stipulation which explains the status of the building which is set up on the land when the terms have ended. It is also recommended that the government should issue the regulation concerning the building rights on the supervision rights so that the terms of the contract will be transparent and both parties will be legally protected.

Keywords : Protection, Building Rights, Supervision Rights


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Persoalan yang menyangkut tanah di Indonesia, sepertinya tidak ada habis-habisnya. Jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga terus bertambah, sedangkan tanah yang tersedia untuk itu tidak bertambah, dengan kata lain tanah yang ada bersifat tetap.

Untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.

Hak atas tanah ialah hak yang memberi wewenang kepada pemiliknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Ciri khasnya ialah pemilik hak berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.1

Tanah-tanah Negara dimaksud adalah tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh Negara, termasuk tanah-tanah hak ulayat dari masyarakat hukum adat.

1 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi

Hukum), Cetakan ke-3, Jakarta, Rajawali, 1991, hal. 229. 1


(19)

Sedangkan tanah-tanah hak adalah tanah-tanah yang sudah dipunyai oleh perorangan dan Badan Hukum dengan sesuatu hak atas tanah yang dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

Kewenangan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan tanah berpedoman pada peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan kebijaksaan dibidang pertanahan di Indonesia yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA).

Bumi, Air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demikian ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pengertian dikuasai dalam Pasal 2 ayat (1) bukan dalam arti memiliki, sebab Negara menurut konsepsi hukum tanah kita tidak bertindak sebagai pemilik tanah.2 Pengertian dikuasai menurut Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga

2 A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Mandar Maju,


(20)

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Penguasaan hak menguasai dari Negara menurut Pasal 2 ayat (4) UUPA dapat dikuasai kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional. Selain itu pelimpahan wewenang tersebut juga dapat diberikan kepada badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan negara dan perusahaan-perusahaan daerah dengan memberikan penguasaan tanah tersebut dengan “Hak Pengelolaan”.3

Hak Pengelolaan sendiri tidak secara tegas diatur dalam pasal-pasal UUPA seperti hak-hak atas tanah lainnya. Secara tersirat ketentuan mengenai Hak Pengelolaan ditemukan dalam Penjelasan Umum angka II UUPA yang menerangkan bahwa Negara dapat memberikan tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya dengan sesuatu hak atas tanah atau memberikannya hak “Pengelolaan“ kepada sesuatu badan Penguasa.4

Kemudian dalam rangka melaksanakan konversi menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan ketentuan-ketentuan tentang kebijaksanaan selanjutnya, di mana dengan berlakunya Peraturan Menteri Agraria

3 PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999, Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak

Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.


(21)

Nomor 9 Tahun 1965 tersebut istilah dan lembaga Hak Pengelolaan mulai diatur secara khusus.

Menurut Peraturan Menteri Agraria No.9 Tahun 1965 tersebut, Hak Pengelolaan yang pertama-tama ada pada waktu mulai berlakunya UUPA adalah yang berasal dan konversi Hak Penguasaan, yaitu yang tanahnya selain dipergunakan untuk kepentingan instansi yang bersangkutan, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan sesuatu hak. Adapun pelaksanaan konversinya diselenggarakan oleh Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan dan jika tanahnya belum didaftar, baru diselenggarakan setelah pemegang haknya datang mendaftarkannya ke Kantor Agraria setempat dan kepada pemegang haknya kemudian diberikan sertipikat.

Sedangkan menurut peraturan UUPA tersebut, Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dikonversi menjadi Hak Pakai, kalau tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dan konversi menjadi Hak Pengelolaan, jika selain dipergunakan sendiri dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga.

Pada hakekatnya Hak Pengelolaan bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana dimaksud oleh pasal 4 jo Pasal 16 UUPA, melainkan merupakan pemberian pelimpahan sebagian kewenangan untuk melaksanakan hak menguasai dan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUPA kepada pemegang hak Pengelolaan yang bersangkutan.


(22)

Peraturan yang menguraikan pengertian Hak Pengelolaan, diantaranya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan pada pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa: "Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya”

Pada awalnya pemberian hak-hak atas bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga diselesaikan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Hak AtasBagian-bagian tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya. Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada pihak ketiga atas bagian tanah Hak Pengelolaan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977, meliputi yakni: Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang tunduk pada ketentuan tentang hak-hak tersebut sebagaimana dimaksud dalam UUPA peraturan pelaksanaan lainnya.

Batasan dari luasnya Hak Menguasai dari Negara adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu:

“Hak Menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”


(23)

Hak Pengelolaan yang diberikan itu wajib didaftarkan pada Kantor Agraria sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 yang kini. digantikan oleh Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Pasal 9 ayat 2 tentang Pendaftaran Tanah yang bertujuan untuk:

a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak bersangkutan;

b. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah;

c. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. Dalam Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 diatur mengenai siapa saja yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, yaitu: Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada :

1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah 2. Badan Usaha Milik Negara

3. Badan Usaha Milik Daerah 4. PT. Persero

5. Badan Otorita


(24)

Pada Pasal 67 ayat (2) UUPA ditambahkan ketentuan pemberian haknya yaitu: “Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah.”

Sedangkan subjek dari Hak Pengelolaan adalah badan-badan hukum, disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu:

1. bank-bank yang didirikan oleh Negara

2. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian 3. badan-badan keagamaan

4. badan-badan sosial.

Menurut surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 17 September 1998, No.630.1-3433, Perihal “Agunan Sertipikat di atas tanah Hak Pengelolaan” dikatakan bahwa Hak Pengelolaan pada dasarnya adalah kewenangan untuk melaksanakan sebagian dari hak menguasai Negara atas tanah yang dilimpahkan kepada Instansi Pemerintah atau Badan Hukum pemegang Hak Pengelolaan. Kewenangan yang dilimpahkan itu adalah kewenangan untuk merencanakan penggunaan tanah yang bersangkutan dan menunjuk Badan Hukum atau orang yang diberi hak untuk menggunakannya dengan sesuatu hak atas tanah tertentu sesuai UUPA, misalnya Hak Guna Bangunan.

Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, lembaga, Instansi dan atau Badan Hukum Milik Pemerintah untuk pembangunan wilayah pemukiman, dapat diberikan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri


(25)

Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan di dalam pasal 1 angka 8 PMNA/Ka.BPN No. 9 Tahun 1999, menyatakan bahwa “pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak termasuk perikataan hak di atas Hak Pengelolaan.”

Kemungkinan dibebankannya Hak Tanggungan pada Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dapat.dijelaskan bahwa:

a. Sesuai dengan ketentuan dalam UUPA maupun Undang-undang Hak Tanggungan (UU No.4 Tahun 1996), maka Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dibebani Hak Tanggungan.

b. Dalam pasal 34 Peraturan pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah ditentukan bahwa pengalihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan memerlukan persetujuan tertulis dan pemegang Hak Pengelolaan.

Perseroan Terbatas PT. Kereta Api Indonesia (Persero) adalah salah satu perusahaan milik negara yang memiliki Hak Pengelolaan yang diberikannya, dengan lahan yang sangat luas membuat perusahaan sulit untuk mengelolanya dengan baik dan pada akhirnya membuat PT. Kereta Api Indonesia (Persero) menyewakan


(26)

lahan-lahan yang terlantar tersebut pada pihak ketiga, baik itu kepada badan hukum maupun perseorangan.

Dalam pemberian hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Kabupaten Aceh Utara telah menetapkan syarat-syarat dan ketentuan di dalam setiap perjanjian pemberian penggunaan tanah dengan pihak ketiga.

Perjanjian antara pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga inilah yang akan digunakan sebagai alas hak bagi pihak ketiga dalam mengajukan permohonan penerbitan hak baru pada Kantor Pertanahan setempat. Untuk itu secara intem pemegang Hak Pengelolaan juga mengeluarkan kebijaksanaan berupa peraturan intern yang juga dipedomani dalam membuat perjanjian-perjanjian penyerahan tanah kepada pihak ketiga dengan tetap berpedoman pada pertauran-perundangan yang berlaku.

Pihak ketiga selanjutnya mendaftarkan tanah yang telah diperoleh ke Kantor Pertanahan setempat untuk diproses permohanan haknya. Hak atas tanah yang disepakati dalam perjanjian merupakan hak-hak atas tanah yang tunduk pada UUPA dan peraturan perundangan yang terkait.

Seluruh ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai Hak Guna Bangunan pada umumnya berlaku pula bagi Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan dengan ketentuan bahwa sepanjang mengenai penggunaannya setiap pemegang Hak Guna Bangunan, terikat oleh syarat penggunaan yang ditentukan dalam perjanjian pemberian penggunaan tanah antara pemegang Hak Pengelolaan dengan pemegang


(27)

Hak Guna Bangunan. Perjanjian pemberian hak di atas Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga yang dilakukan sekurang-kurangnya mengatur tentang:

1. Identitas para pihak yang bersangkutan. 2. Letak, batas-batas dan luas tanah dimaksud. 3. Jenis penggunaan.

4. Macam/jenis hak yang akan diberikan kepada pihak ketiga, jangka waktu serta kemungkinan untuk memperpanjang hak tersebut.

5. Jenis bangunan-bangunan yang akan didirikan dan ketentuan status bangunan setelah berakhirnya hak-hak atas tanah yang diberikan.” 5

Yang menjadi permasalahan adalah pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan belum ada aturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus dan bangunan yang berdiri di atas Hak Pengelolaan milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tersebut tidak mempunyai perlindungan hukum yang kuat apabila Hak Guna Bangunan tersebut tidak diperpanjang oleh pemegang Hak Pengelolaan. Hal ini dapat berakibat pada kerugian yang akan dialami oleh pemegang Hak Guna Bangunan, baik pemegang Hak Guna Bangunan pertama atau pemegang Hak Guna Bangunan selanjutnya.

Permasalahan lainnya yang timbul adalah pemegang Hak Guna Bangunan kesulitan untuk mengalihkan haknya kepada pihak lain, karena dalam Hak Guna Bangunan ini tidak dapat ditingkat haknya menjadi Hak Milik dan untuk memperpanjang hak Guna Bangunan tersebut harus dengan persetujuan atau rekomendasi dari PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak


(28)

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul:

“PERLINDUNGAN PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS HAK PENGELOLAAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) (Studi Penelitian di Kabupaten Aceh Utara).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mempunyai kewenangan dalam

memberikan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan miliknya?

2. Bagaimana status hak atas tanah dan bangunan berdiri di atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) setelah berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan?

3. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero)?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kewenangan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam memberikan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan miliknya.


(29)

2. Untuk mengetahui status hak atas tanah dan bangunan yang didirikan di atas Hak Pengelolan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) setelah berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan.

3. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Guna Bangunan yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu Hukum Agraria, terutama mengenai aspek hukum pemberian Hak Guna Bangunan yang berdiri di atas Hak Pengelolaan.

a. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan perusahaan atau pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemberian Hak Guna Bangunan yang berdiri di atas Hak Pengelolaan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada perpustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terhadap judul ini belum ada penelitian yang dilakukan sebelumnya.


(30)

Penelitian mengenai “Perlindungan Pemegang Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di Kabupaten Aceh Utara” merupakan hal yang baru dan asli, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.”6 Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. “Bukan karena

dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam

kelangsungan hidup masyarakat.”7

Lebih lanjut fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan mengenai gejala yang diamati. Berdasarkan dari pengertian tersebut serta berangkat dari konsep bahwa dalam masyarakat Indonesia

6 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 2 7 Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar


(31)

hukum tanah memegang peranan yang sangat penting yang bertalian erat dengan sifat masyarakat “Jiwa rakyat dan tanahnya tidak dapat dipisah-pisahkan, setiap perubahan dalam jiwa rakyat, menghendaki juga perubahan dalam hukum tanah, demikian juga sebaliknya”.8

Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut hukum tanah.9 Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Semua hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk “berbuat sesuatu” mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolak ukur pembeda berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah negara yang bersangkutan.10

Telah disinggung sebelumnya bahwa penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan Pemberian Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan Perseroan Terbatas PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di Kabupaten Aceh Utara, yang tentunya berhubungan erat dengan hukum agraria.

Hak atas permukaan bumi atau hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada pemegang haknya untuk

8 B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta,

Toko Gunung Agung, 2005, hal. 51.

9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2003, hal. 17.


(32)

mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang dihakinya. Kewenangan untuk mempergunakan diartikan bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan kewenangan untuk mengambil rnanfaat diartikan bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.11

Dalam setiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Pada dasarnya semua jenis hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu terhadap tanah yang di haki. Maksud bahwa sesuatu yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat merupakan isi hak penguasaan yang bersangkutan, dan yang menjadi kriteria untuk membedakan sesuatu hak penguasaan atas tanah dengan hak penguasaan yang lain.12

Dalam UUPA Hak Pengelolaan di dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah, akan tetapi keberadaanya tersirat dalam penjelasan umum Pasal 2 ayat (4), yang menyatakan:

“Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan

11

Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, ed. 1, cet. 2, Jakarta kencana, 2006, hal. 82.

12 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar Dan


(33)

Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.”

Hak Pengelolaan pada hakekatnya merupakan Hak Menguasai Dan Negara, sebagaimana berdasarkan dan pengertian Hak Pengelolaan yang dirumuskan dalarn Pasal 1 angka 2 PP No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal I. angka 3 PNNA/KaBPN No-9 Tahun 1999 bahwa Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

A.P.Parlindungan berpendapat bahwa:

Hak Pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam UUPA, dan hanya secara tidak langsung dijumpai dalam pengertian Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan bahwa pelaksanaan Hak Menguasai Negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Dari Uraian ayat 4 tersebut ternyata ada kemungkinan dibuka untuk menerbitkan suatu hak baru yang namanya ketika itu belum ada tetapi merupakan suatu delegasi pelaksanaan kepada daerah-daerah otonom dan masyarakat hukum adat.13

Sementara Sudargo Gautama mengenai Hak Pengelolaan berpendapat sebagai berikut :

1. Terhadap tanah-tanah yang belum dipunyai oleh seseorang kekuasaan Negara lebih luas dan penuh sehingga :

a. dapat memberikannya kepada seseorang atau badan hukum dengan hak atas tanah tertentu sesuai dengan peruntukan dan keperluannya.

b. dapat diberikan kepada badan penguasa dalam “pengelolaan” untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Peraturan Pemerintah akan memberikan ketentuan khusus mengenai hal ini. Jadi kita saksikan bahwa pemerintah dapat melakukan delegasi kekuasaan pada badan-badan penguasa rendahan.14

13 A.P.Parlindungan, Op.cit, hal. 1.

14 Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996


(34)

2. Hak-hak yang mungkin diadakan atas tanah disebut dalam pasal 16, tetapi perinciannya tidak limitatip. Selain hak-hak yang disebut disini, mungkin diadakan hak-hak lainnya menurut Undang-undang sendiri kelak.15

Hak Pengelolaan tersebut selain dipergunkan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Pengelolaan dapat menyerahkan bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga lainnya.

Berhubung dengan hal tersebut, tanah-tanah Negara dapat dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu :

1. Tanah Negara yang bebas (vrij landsdomein), artinya tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.

2. Tanah Negara yang tidak bebas (onvrij landsdomein), artinya tanah yang terikat dengan hak bangsa Indonesia.

Tanah Negara yang bebas mengandung pengertian bahwa di atasnya bebas sama sekali dari hak-hak seseorang. Terhadap tanah ini Negara bebas untuk memberikannya kepada pihak lain.

Anggapan yang demikian tersebut tidak dimengerti oleh rakyat, bahkan bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat. Oleh karena itu UUPA dalam Penjelasan Umum Bagian II butir 2 menyatakan “Asas Domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada Negara Modern”.


(35)

Teori domein yang mendudukan Negara sebagai pemilik tanah memang bukan konsepsinya Negara modern, melainkan konsepsi feodal dari zaman abad pertengahan (Middle Ages), seperti yang melandasi hukum tanah di Inggris dan bekas negara-negara jajahannya. Dalam konsepsi ini semua tanah adalah milik Raja dan siapapun hanya menguasai dan menggunakan tanah milik “Lordnya” sebagai tenure.

Ini disebut doktrin “tenure”.16

Meskipun Hak Pengelolaan jangka waktunya tidak terbatas atau diberikan kepada pemegang haknya selama diperlukan, namun Hak Pengelolaan dapat hapus atau menjadi batal jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

1. Pembatalan hak oleh menteri karena tidak memenuhi kewajibannya sebagai penerima Hak Pengelolaan.

2. Pembatalan hak karena cacat hukum administratif.

3. Pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Dilepaskan haknya oleh pemegang Hak Pengelolaan kepada Negara.

2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”17 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis

16 Ibid, hal. 45


(36)

yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”18

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.19

b. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) tahun.20

c. Perlindungan Hak adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum atau undang-undang kepada orang atau badan hukum yang mempunyai hak tertentu yang diakui oleh perundang-undangan.

d. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) adalah perusahaan yang sahamnya 100% (seratus persen) dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan usaha dalam bidang perkereta-apian.

18 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,

1984, hal.. 133

19

Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996 jo Pasal 1 angka 3 PMNA/Ka.BPN No. 9 Tahun 1999

20 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


(37)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya penulis ingin menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas pelaksanaan perjanjian pinjaman modal kerja dalam kaitannya dengan Pemberian Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan Perseroan Terbatas PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di Kabupaten Aceh Utara.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimasudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Di mana Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur tentang Perlindungan Pemegang Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan, sehingga akan diketahui


(38)

secara hukum tentang Perlindungan Pemegang Hak Guna Bangunan di Atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) di Kabupaten Aceh Utara.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan Dengan Tanah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Akta Pembebanan Hak Tanggunan.

2. Bahan Hukum Sekunder

yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.”21

3. Bahan Hukum Tertier

yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum

21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005,


(39)

primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.

1. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. “Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.”22

2. wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini digunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung.

22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 13-14, .


(40)

5. Analisis Data

Analisa data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam Proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian. Penarikan kesimpulan menggunakan logika berfikir


(41)

BAB II

KEWENANGAN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) SEBAGAI PEMEGANG HAK PENGELOAAN

A. Gambaran Umum PT. Kereta Api Indonesia (Persero)

Perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi memiliki karakteristik dan keunggulan khusus, terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut, baik orang maupun barang secara massal, menghemat energi, menghemat penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, memiliki tingkat pencemaran yang rendah, serta lebih efisien dibandingkan dengan moda transportasi jalan untuk angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang padat lalu lintasnya, seperti angkutan perkotaan.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kondisi perkeretaapian nasional yang masih bersifat monopoli dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain kontribusi perkeretaapian terhadap transportasi nasional masih rendah, prasarana dan sarana belum memadai, jaringan masih terbatas, kemampuan pembiayaan terbatas, tingkat kecelakaan masih tinggi, dan tingkat pelayanan masih jauh dari harapan. 23

Secara de-facto hadirnya kereta api di Indonesia dimulai dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen-Tanggung yang dibangun oleh NV.

Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

23 Suryo Hapsoro Tri Utomo,

“Sejarah Transportasi Kereta Api”, http://sipilugm.

wordpress.com/2008/08/11/sejarah-kereta-api-indonesia/, Diakses tanggal 30 Juni 2010.


(42)

Pembangunan jalan rel tersebut dimulai dengan penyangkulan pertama pembangunan badan jalan rel oleh Gubernur Jenderal Belanda Mr. L.A.J. Baron Sloet Van De Beele, pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 1864. Jalur kereta api lintas Kemijen-Tanggung mulai dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867.

Sedangkan landasan de-jure pembangunan jalan rel di Jawa ialah disetujuinya undang-undang pembangunan jalan rel oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 April 1875.24

Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia mencatat pengambilalihan kekuasaan perkereta-apian dari pihak Jepang oleh Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) pada peristiwa bersejarah tanggal 28 September 1945. Pengelolaan kereta api di Indonesia telah ditangani oleh institusi yang dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Institusi pengelolaan dimulai dengan nasionalisasi seluruh perkereta-apian oleh Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI), yang kemudian namanya dipersingkat dengan Djawatan Kereta Api (DKA), hingga tahun 1950.

Institusi tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963 dengan PP. No. 22 tahun 1963, kemudian dengan PP. No. 61 tahun 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).

Perubahan kembali terjadi pada tahun 1990 dengan PP. No. 57 tahun 1990 status perusahaan jawatan diubah menjadi perusahaan umum sehingga PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kerata Api (Perumka). Perubahan besar terjadi pada tahun 1998, yaitu perubahan status dari Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT


(43)

Kereta Api (Persero), berdasarkan PP. No. 19 tahun 1998. Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 No. 16; Tambahan Lembaran Negara No. 2890) tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. 25

Pengalihan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api dinyatakan bubar pada saat pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) tersebut dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersangkutan.26 Pendirian PT. Kereta Api Indonesia (Persero) didirikan dengan Akte tertanggal 1 Juni 1999, Nomor 2, dibuat dihadapan Imas Fatimah, SH., Notaris di Jakarta,

Maksud dan tujuan Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah untuk menyelenggarakan usaha sebagai berikut:

a. Usaha pengangkutan orang dan barang dengan kereta api; b. Kegiatan perawatan prasarana perkeretaapian;

c. Pengusahaan prasarana kereta api;

25

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Pasal 1 ayat (1).

26 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk


(44)

d. Pengusahaan usaha penunjang prasarana dan sarana kereta api.27

Dilihat dari regulasi yang mengatur perkeretaapian Indonesia, dapatlah disimpulkan sarana angkutan massal itu sejak diambil alih dari Belanda hingga kini telah mengalami perubahan status yang luar biasa. Pada mulanya perusahaan Negara terdiri atas tiga bentuk badan usaha, yaitu perusahaan jawatan (Perjan), perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perseroan (Persero). Setelah keluarnya UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka perubahan Negara terdiri atas Perum dan Persero.

Perkeretaapian Indonesia pada awal kemerdekaan hanyalah berstatus sebagai salah satu bagian dari Departemen Perhubungan dengan nama jawatan kereta api Indonesia. Dalam perkembangannya instansi ini kemudian diubah menjadi perusahaan jawatan. Sejak itulah badan-badan usaha milik negara di Indonesia terkelompok dalam apa yang disebut Perjan, Perum dan Persero.

Sedangkan struktur susunan organisasi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) terdiri dari:28

1. Kereta Api Pusat di Bandung 2. Divisi Sarna Bandung

3. Divisi Usaha Pendukung di Bandung 4. Divisi Pelatihan di Bandung

5. Divisi Angkutan Perkotaan di Bandung 6. Divisi Regional I Sumatera Utara di Medan

27 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk

Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Pasal 2.


(45)

7. Divisi Regional II di Padang

8. Divisi Regional III Sumatera Selatan di Palembang 9. Daerah Operasional

a. Daerah Operasi 1 di Jakarta b. Daerah Operasi 2 di Bandung c. Daerah Operasi 3 di Cirebon d. Daerah Operasi 4 di Semarang e. Daerah Operasi 5 di Purwokerto f. Daerah Operasi 6 di Yogyakarta g. Daerah Operasi 7 di Madiun h. Daerah Operasi 8 di Surabaya i. Daerah Operasi 9 di Jember

Proses perubahan PERUMKA sehingga menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) melalui keputusan Presiden atau Kepres Nomor 39/1999, 1 Juni 1999 PERUMKA secara resmi berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengoperasikan kelas Bisnis, Eksekutif, Ekonomi dan kelas khusus secara komersil pada Kereta Api.

Struktur Organisasi diperlukan untuk membedakan batas-batas wewenang dan tanggung jawab secara sistematis yang menunjukkan adanya hubungan/ keterkaitan antar setiap bagian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan PT. Kereta Api (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara memiliki struktur organisasi garis dan staf (line and staff organization) yang sesuai dengan kondisi perusahaan.


(46)

B. Tinjauan Umum Mengenai Tanah dan Hak Pengelolaan Atas Tanah. 1. Pengertian Tanah, Hak Atas Tanah dan Hak Penguasaan Atas Tanah.

Negara Indonesia sebagai salah satu Negara agraris, di mana tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai faktor produksi yaitu sebagai sarana untuk membudidayakan tanaman pangan, perkebunan, tanaman industri, peternakan dan perikanan. Selain digunakan sebagai faktor produksi, tanah juga digunakan sebagai sarana untuk membangun bangunan yang diperlukan yang salah satunya adalah bangunan untuk rumah tinggal.

Pengaturan mengenai tanah di wilayah Indonesia tercantum dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan ketentuan Hukum Tanah Nasional. Tanah sebagai kekayaan alam di dalam UUPA dicakup dengan pengertian agraria dalam arti luas yaitu bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUPA menyatakan bahwa dalam pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut dengan tanah), tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air.

Dengan demikian pengertian tanah secara yuridis adalah permukaan bumi sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu:

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.”


(47)

Hak atas permukaan bumi atau hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kewenangan untuk mempergunakan diartikan bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan kewenangan untuk mengambil manfaat diartikan bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.29

Selain diberikan kewenangan untuk mempergunakan tanah, pemegang hak atas tanah juga diberikan kewenangan untuk mempergunakan tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA yaitu:

“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang mi dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”

Dengan demikiam meskipun pemilikan hak atas tanah hanya atas permukaan bumi, tetapi penggunaannya selain atas tanah itu sendiri juga atas tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya. Menurut Oloan Sitorus hal tersebut sangat logis karena suatu hak atas tanah tidak akan bermakna apapun jika kepada pemegang haknya tidak

29 Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, cet. 2, Jakarta, Kencana, 2006,


(48)

diberikan kewenangan untuk menggunakan sebagian dan tubuh bumi, air dan ruang di atasnya.30

Dalam setiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Pada dasarnya semua jenis hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu terhadap tanah yang dihaki. Maksud bahwa sesuatu yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat merupakan isi hak penguasaan yang bersangkutan, dan yang menjadi kriteria untuk membedakan sesuatu hak penguasaan atas tanah dengan hak penguasaan yang lain.31

Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam UUPA dan disusun dalam jenjang tata susunan atau hierarkhi sebagai berikut:

1. Hak Bangsa Indonesia

Adalah hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Indonesia, dan merupakan tanah bersama yang bersifat abadi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasaan atas tanah yang lain. Pengaturan Hak Bangsa Indonesia dimuat dalam Pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA.

2. Hak Menguasai Dari Negara

30 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, Op.cit., hal. 71. 31 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 24.


(49)

Hak menguasai dari Negara bersumber pada Hak Bangsa Indonesia yang merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, oleh karena itu dalam penyelenggaraannya dilimpahkan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

Pelaksanaan hak menguasai dari Negara dapat dilimpahkan kepada Pemerintah daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Pasal 2 ayat (4) UUPA). Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Negara tersebut dapat juga diberikan kepada Badan Otorita, Perusahaan Negara, dan Perusahaan Daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan Hak Pengelolaan (HPL).32

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yang mengandung pernyataan pengakuan mengenai eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, maka hak ulayat itu dibiarkan tetap berlangsung dan diatur oleh masyarakat hukum adat masing-masing. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat


(50)

hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.33

4. Hak-hak Perorangan Atas Tanah.

Hak-hak perorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai atau menguasai, menggunakan, dan mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Hak-hak perorangan atas tanah terdiri dari:

a. Hak-hak Atas Tanah, yang dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: 1) Hak-hak atas Tanah Yang Primer

Yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara dan bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia. Jenis hak atas tanahnya yaitu: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. 2) Hak-hak Atas Tanah Yang sekunder

Yaitu hak-hak atas tanah yang bersumber pada hak pihak lain. Jenis hak atas tanahnya yaitu: Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Gadai Atas Tanah, dan Hak Menumpang.

b. Hak Atas Tanah Wakaf


(51)

Hak atas tanah wakaf diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu perwakafan tanah Hak Milik yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. c. Hak-hak Jaminan Atas Tanah

Hak jaminan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Nasional adalah Hak Tanggungan yang pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2. Hak Menguasai Negara dan Hak Pengelolaan

Hak Menguasai Negara pada hakekatnya adalah Hak dari Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang memberikan kewenangan untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan Bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak Pengelolaan tidak diatur secara tegas di dalam UUPA sebagaimana hak-hak atas tanah yang lain yang diuraikan dalam Pasal 16, melainkan tersirat dalam Pasal 2 ayat (4) mengenai hak menguasai Negara terutama yang mengatur wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


(52)

dengan bumi, air dan ruang angkasa yang pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemegangnya yang di dalam Penjelasan Umum II angka 2 diberikan dalam bentuk pengelolaan kepada suatu badan penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Wewenang tersebut dapat merupakan sumber keuangan bagi pemegangnya.

Hak Pengelolaan ini merupakan pengembangan dari hak penguasaan

(beheersrecht) sebagaimana diatur sebelumnya di dalam Peraturan Pemerintah No.

8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Dalam Pasal 12 peraturan tersebut ditetapkan bahwa kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak dengan tujuan menyelenggarakan “perusahaan tanah”, selain menambah pemasukan kepada keuangan daerah juga mengusahakan perbaikan perumahan penduduknya.

Selanjutnya Hak Pengelolaan ini untuk pertama kalinya disebut dan ditegaskan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang “Pelaksanaan Konversi Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya”. Di dalam peraturan ini ditetapkan bahwa sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai, tetapi jika selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut dikonversi menjadi Hak Pengelolaan yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan.


(53)

Dari uraian di depan maka yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan menurut UUPA adalah suatu Hak Penguasaan (menguasai) atas tanah Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dapat dilimpahkan kepada pemegangnya. Hak penguasaan dalam Hukum Tanah Indonesia menurut pendapat ahli dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti yuridis serta mengandung dua aspek yaitu perdata dan publik, tetapi semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Hak Pengelolaan selain mengandung kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki untuk keperluan usahanya, pemegang haknya diberi wewenang juga untuk melakukan kegiatan yang merupakan sebagian dari kewenangan negara, yang diatur dalam Pasal 2 UUPA. Sehubungan dengan itu maka Hak Pengelolaan pada hakekatnya bukan Hak Atas Tanah yang murni, melainkan merupakan gempilan34 hak menguasai dari Negara.

3. Pengertian Hak Pengelolaan.

Nama Hak Pengelolaan yang dikenal sekarang tidak dari semula bernama Hak Pengelolaan, tetapi mengambil terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Beheersecht yang diterjemahkan menjadi Hak Penguasaan.35

34 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah gempilan (cuil) berasal dari bahasa

Jawa yang artinya rompal sedikit pada bagian pinggir atau luarnya. Istilah ini sering digunakan oleh Boedi Harsono dalam kaitannya dengan pengertian dari Hak Pengelolaan yang merupakan bagian dari hak menguasai negara.


(54)

Dalam perkembangannya, pemerintah kota memerlukan tanah-tanah untuk pelaksanaan tugasnya, sehingga banyak terjadi penyimpangan, diantaranya dari tanah yang dibeli rakyat untuk keperluan pemerintah, termasuk juga tanah-tanah Hak Penguasaan dari pemerintah daerah yang kadangkala ditukar/dijual tanpa prosedur yang benar, sehingga dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 (PP No.8/1953).36

Berdasarkan PP No. 8/1953, maka istilah Hak Penguasaan berisikan, antara lain:

a. Merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah tersebut.

b. Menggunakan tanah tersebut untuk Keperluan pelaksanaan tugasnya. c. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.

Jika diberikan kepada pihak ketiga, maka pemerintah daerah tersebut dapat menarik pemasukan atau ganti rugi ataupun uang wajib tahunan sebagai uang pemasukan kas daerahnya.

Kemudian, Hak Penguasaan itu disinggung lagi dalam Surat Keputusan Menteri Agraria No.SK VI/5/Ka, tanggal 20 Januari 1962 yang menyatakan bahwa Hak Penguasaan harus didaftarkan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.37

36 Ibid. 37 Ibid, hal. 7.


(55)

Dengan telah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 ditetapkanlah konversi Hak Penguasaan atas tanah negara tersebut.

Hak Penguasaan yang dipergunakan untuk keperluan sendiri yaitu untuk Departemen-departemen dan untuk Direktorat-direktorat dikonversi menjadi Hak Pakai, sedangkan tanah yang dikuasai untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.38

Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Kemuadian dalam penjelasan umum UUPA menyatakan:

“Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4) UUPA).”39

Hak Pengelolaan pada hakekatnya merupakan Hak Menguasai Dari Negara, sebagaimana berdasarkan dari pengertian Hak Pengelolaan yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 PP No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal 1 angka 3 PMNA/Ka.BPN No. 9

38 Ibid, hal. 9 -10.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemegang Hak Pengelolaan berwenang untuk memberikan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan yang dimilikinya. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 1 ayat (1) PMDN Nomor 1 Tahun 1977 yaitu:

a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;

c. menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Status hak atas tanah dan bangunan yang didirikan di atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan adalah:

a. Status tanah dikembalikan ke dalam pengusaan pemegang Hak Pengelolaan yaitu PT. Kereta Api Indonesia (Persero);


(2)

diperpanjang atau diperbaharui, maka pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah Hak Pengeloaan tersebut kepada pemegangnya dalam keadaan kosong.

Namun, apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda yang ada di atasnya diperlukan oleh pemegang Hak Pengeloaan, maka kepada pemegang Hak Guna Bangunan diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

3. Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sangat lemah. Hal ini dapat diketahui dari tidak adanya aturan hukum khusus yang mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Perlindungan hukum yang harus didapat oleh pemegang Hak Guna Bangunan antara lain: mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur atas biaya-biaya yang harus dibayar sehubungan dengan pemberian Hak Guna Bangunan tersebut, sehingga tidak ada pembebanan biaya-biaya lain selain yang sudah diperjanjikan dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga selaku pemegang Hak Guna Bangunan.

B. Saran

1. Disarankan kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemegang Hak Pengelolaan dalam melakukan pemberian Hak Guna Bangunan kepada pihak


(3)

segi-segi peruntukan atas tanah dan jangka waktu, sehingga tidak melanggar kewenangan yang diberikan kepadanya.

2. Dalam surat perjanjian persewaan tanah yang dibuat antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan pihak penyewa, hendaknya memuat klausul yang menerangkan tentang status bangunan yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan tersebut apabila jangka waktu Hak Guna Bangunan telah berakhir. Hal ini diperlukan agar pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengetahui akibat yuridis yang akan diterima sehingga tidak merasa dirugikan.

3. Disarankan kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan menjadi jelas dan semua pihak akan merasa terlindungi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku :

Barata, Samadi Surya, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998. Bosu, Benny, Perkembangan Terbaru (Tanah, Tanggungan dan Condominium),

Jakarta, Medisa, 1997.

Chandra, S., Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah: Persyaratan Permohonan di

Kantor Pertanahan, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2003.

__________, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum

Tanah, cet. 17, Jakarta, Djambatan, 2000.

__________, Aspek Pertanahan dan Tata Ruang Dalam Pembangunan Pokok-Pokok

Kebijaksanaan Pertanahan di Indonesia, Seri IV, Jakarta, BPN

Proyek P2HT.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.

Friedmann, W., Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,1996. Gautama, Sudargo, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun

1996 No. 4, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN.Balai Pustaka, Jakarta, 1979

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005.


(5)

Parlindungan, A.P., Beberapa Masalah dalam UUPA, Cet.II, Bandung, Mandar Maju, 1993.

__________, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan dan Sejarah

Terbentuknya, Bandung, Mandar Maju, 1996.

__________, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Bandung, Mandar Maju, 1994.

Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum), Cetakan ke-3, Jakarta, Rajawali, 1991.

__________, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi

Hukum, Jakarta, Rajawali, 1986.

Santoso, Urip, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, ed. 1, cet. 2, Jakarta, Kencana, 2006.

Sihombing, B.F, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, Toko Gunung Agung, 2005.

Sitorus, Oloan dan Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar Dan

Implementasi, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006.

Sitorus, Oloan dan Nomadyawati, Hak Atas Tanah dan Kondomonium, Suatu

tinjauan Hukum, Jakarta, Dasamedia Utama, 1995.

Suryasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan

Singkat , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Usman, Rachmadi, Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta Djambatan, 1999.


(6)

Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2006.

Zein, Ramli, Hak Pengelolaan dalam Sistem Undang-Undang Pokok Agraria, Jakarta, Rineka Cipta, 1995.

B. Internet:

http://portal.bumn.go.id/keretaapi, diakses tanggal 9 Juli 2010.

http://www.bpn.go.id/, Peralihan Hak Pewarisan, diakses tanggal 20 Juni 2010. Suryo Hapsoro Tri Utomo, “Sejarah Transportasi Kereta Api”, http://sipilugm.

wordpress.com/2008/08/11/sejarah-kereta-api-indonesia/, Diakses tanggal 30 Juni 2010.

C. Undang-undang:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang berkaitan Dengan Tanah.

Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1977, Tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penerbitan dan Penyalahgunaan

Tanah Terlantar

PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999, Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.