Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Barang Jaminan yang Disita Oleh Kantor Pajak Chapter III V

BAB III
KETENTUAN PENYITAAN YANG DILAKUKAN OLEH KANTOR PAJAK
ATAS BARANG JAMINAN YANG TELAH DIPASANG HAK
TANGGUNGAN

A. Pengertian Penyitaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah
bahasa Indonesia “Beslag” namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan.
Beberapa pengertiam yaitu :
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan
2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secra resmi (official)
berdasarkan permintaan Pengadilan atau Hakim
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang
disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas keputusan utang debitur atau tergugat denga jalan
menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.96
Pengertian penyitaan dirumuskan dalam pasal 1 butir 6 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak,


96

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Pustaka,Bandung, 1990, Hlm. 283

76

Universitas Sumatera Utara

77

berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan“.97
Dari pengertian di atas, secara hukum pidana dapat dikatakan bahwa
penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik untuk :
1. Mengambil atau merampas sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka,
pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan
hukum dan dilaksanakan menurut aturan Undang-Undang. Bukan perampasan
liar dengan cara yang melawan hukum (wederrechtelijk).
2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh dan disimpan

di bawah kekuasaannya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tujuan penyitaan dalam Hukum
Pidana

adalah

bertujuan

menjadikan

barang

yang

disita

sebagai

bukti


kejahatan/pelanggaran di depan Pengadilan.
Sedangkan penyitaan dalam Hukum Perdata terdiri dari :
1. Sita Conservatoir ialah penyitaan atas inisiatif atau usul dari kreditur selama
proses pengadilan, agar debitur tidak menggelapkan kekayaan sebagai jaminan.
2. Sita Revindicatoir ialah penyitaan atas inisiatif/usul dari pemilik barang untuk
mendapatkan kembali barang miliknya dari tangan debitur.
3. Sita Executoir ialah penyitaan untuk melaksanakan vonis hakim yang dilakukan
secara sukarela oleh pihak yang kalah berperkara.

97

Purwoe Sudarnoto, Eksekusi Objek Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan, Bumi
Aksara, Bandung, 2007, Hlm. 15

Universitas Sumatera Utara

78

Pengertian penyitaan menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) adalah tindakan

jurusita pajak untuk menguasai barang milik penanggung pajak, guna dijadikan
jaminan untuk melunasi utang pajaknya
Apabila penyitaan dalam Hukum Pajak dihubungan dengan Sita Executoir
dalam Hukum Perdata, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari Sita Executoir dalam
Hukum perdata sama dengan penyitaan dalam Hukum Pajak.98
Penguasaan barang milik penanggung pajak yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah agar penanggung pajak
tidak menghilangkan,

mengalihkan,

menjual

atau

memindahtangankan

hak

kepemilikan atas barang tersebut kepada pihak lain, sehingga ada jaminan bahwa

utang pajak tersebut akan dilunasi oleh penanggung pajak. Apabila tidak dilunasi,
maka fiskus akan menjual barang tersebut dengan cara dilelang untuk melunasi utang
pajak dan biaya penagihan yang dikeluarkan oleh fiskus. 99
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 PP Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, diatur bahwa penyitaan
adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak guna

98

Moeljo Hadi, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Juru Sita Pajak
Pusat Dan Daerah, PT. RajaGRafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm. 47
99
Marihot P., Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Paksa dengan Surat Paksa,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

79

dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundanganundangan yang berlaku. 100

Tujuan dari tindakan penyitaan sesungguhnya tidak untuk melakukan
penjualan barang milik penanggung pajak, melainkan hanya untuk menguasai barang
penanggung pajak sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sampai dengan dilakukan
penyitaan, wajib pajak masih diberikan kesempatan untuk melakukan pelunasan
untuk utang pajak dan biaya penagihan pajak. Akibat hukum dari penyitaan adalah
beralihnya hak kepemilikan atas barang penanggung pajak kepada negara, sehingga
selama masa penyitaan hak-hak kepemilikan barang penanggung pajak menjadi
hilang.101
Berdasarkan PP Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan, Pasal
(3) disebutkan bahwa yang dapat dijadikan objek sita adalah milik wajib pajak yang
berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain
termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan
sebagai pelunasan utang tertentu, salah satunya dengan diikat Hak Tanggungan.
Letak objek sita tidak menjadi masalah yang menjadi pertimbangan adalah
adanya kemungkinan dapat tidaknya pejabat melakukan penjualan atas barang milik
penanggung pajak tersebut, dikarenakan penguasaan barang berada di tangan pihak
lain, misalnya barang tersebut disewakan atau dipinjamkan. Dan objek sita

100
101


Ida Zuraida & Hari Sih Advianto, Op.cit., Hlm. 90
Ibid

Universitas Sumatera Utara

80

dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu, seperti barang-barang tersebut sedang
dibebani Hak Tanggungan, Hipotik dan Gadai.
Barang barang yang dapat dijadikan objek sita dapat berupa102 :
a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasaan, uang tunai, deposito,
tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya, yang
dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya
b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi
kotor tertentu. Kapal dapat dianggap sebagai barang tidak bergerak jika
minimum isi kotor 20 M3 (dua puluh meter kubik).
Barang-barang yang berkaitan dengan kebutuhan dasar penanggung pajak
dan pertimbangan lain tidak dapat dijadikan objek jaminan antara lain103 :
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh

penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta
perlengkapan memasak yang berada di rumah, termasuk obat-obatan yang
dipergunakan penanggung pajak beserta keluarga.
3. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari
negara.
4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak,
alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan.

102
103

Ibid
Richard Burton, Kajian Aktual Perpajakan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2009, Hlm. 61

Universitas Sumatera Utara

81

5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan

pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari
Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) atau jumlah lain yang ditetapkan
Menteri Keuangan atau Kepala Daerah.
6. Peralatan penyandang cacat yang dipergunakan oleh penanggung pajak dan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
Dalam pelaksanaan penagihan pajak sangat dimungkinkan terjadi keadaan
jurusita pajak tidak menemukan wajib pajak. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan
dalam pelaksanaan penagihan pajak. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut
dalam pelaksanaan penagihan pajak, jurusita diberikan kewenangan untuk tidak saja
melakukan tindakan terhadap wajib pajak tetapi juga terhadap pihak lain yang ikut
bertanggung jawab. Pihak lain dalam sistem perpajakan Indonesia dikenal sebagai
penanggung pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 UU KUP, penanggung pajak adalah
orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk
wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan yang dimaksud diatas adalah Peseroan Terbatas (PT), Badan Usaha
Tetap (BUT), Badan Usaha lain (Persekutuan, Firma, Perseroan Komanditer) dan
Yayasan.
Penyitaan terhadap penanggung pajak orang pribadi, dapat dilaksanakan atas

barang milik pribadi yang bersangkutan, isteri dan anak yang masih dalam

Universitas Sumatera Utara

82

tanggungannya, kecuali apabila terjadi perjanjian premarital secara tertulis tentang
adanya pemisahan harta dan penghasilan diantara suami dan isteri.
Untuk wajib pajak badan sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP
mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili dalam hal :
1. Badan oleh pengurus
2. Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator
3. Badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan
4. Badan dalam likuidasi oleh likuidator
5. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya atau
6. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali
atau pengampunya.

Wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) bertanggung jawab
secara pribadi dan atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali
apabila dalam membuktikan dan menyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka
dalam kedudukannnya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab
atas pajak yang terutang tersebut. Ditegaskan juga dalam Pasal 32 ayat (1) tersebut
pengurus yang dimaksud adalah orang yang nyata-nyata yang mempunyai wewenang
ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan
perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

83

Berdasarkan ketentuan pasal 32 tersebut diatas dimaksud dengan pengurus
bagi wajib pajak badan terdiri dari :
1. Orang yang namanya tercantum dalam susunan pengurus yang tertera dalam
akta pendirian dan perubahannya
2. Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan
dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, misalnya dalam
hal berwenang menandatangani cek. Termasuk dalam hal ini adalah komisaris
dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1a) UU PPSP, penyitaan terhadap
Wajib pajak badan dapat dilaksanakan atas barang milik perusahaan, pengurus,
kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat
kedudukan yang bersangkutan maupun ditempat tinggal mereka atau ditempat lain.
Dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap laporan keuangan perusahaan untuk
melihat barang-barang yang dapat disita. Pada penjelasan Pasal 14 ayat (1a) UU
PPSP tersebut,pada dasarnya penyitaan terlebih dahulu diutamakan terhadap barangbarang perusahaan, apabila tidak mencukupi atau barang perusahaan tidak dapat
ditemukan atau sulit dilakukan penyitaan maka penyitaan dilakukan atas barangbarang milik pengurus perusahaan, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung
jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan.

Universitas Sumatera Utara

84

Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian
sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang
bukti tersebut dikembalikan kepada penanggung pajak.104
Penyitaan dilakukan dengan mendahulukan barang bergerak, kecuali dalam
keadaan tertentu dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak. Penentuan urutan
penyitaan barang bergerak dan tidak bergerak dengan memperhatikan jumlah utang
pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya. Barang
bergerak cenderung lebih mudah penjualannya dibanding barang tidak bergerak.
Akan tetapi, harga objek sita diprioritaskan pada asset penanggung pajak yang mudah
untuk dijual atau diuangkan dan dalam jumlah yang memadai untuk melunasi utang
pajak.105
Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan sampai
dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Dalam memperkirakan nilai barang yang disita,
harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga
jurusita tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal ini, jurusita
dimungkinkan menggunakan jasa penilai.106

104

Ibid
Ibid
106
Ibid
105

Universitas Sumatera Utara

85

B. Ketentuan Penyitaan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pajak Atas Barang
Jaminan Yang Telah Dipasang Hak Tanggungan
Penagihan aktif merupakan alat bagi negara untuk memperoleh haknya (utang
pajak). Penagihan aktif dimulai dengan penerbitan surat teguran, penyampaian surat
paksa, pelaksanaan sita, pelaksanaan lelang, pencegahan ke luar negeri, dan
penyanderaan wajib pajak dengan tujuan agar utang pajak beserta biaya penagihan
pajak dilunasi oleh wajib Pajak.
Salah satu penagihan aktif adalah dengan melakukan penyitaan terhadap asset
wajib pajak. Penyitaan terhadap asset CV. XX dilakukan pada Januari Tahun 2015,
setelah terlebih dahulu diberitahukan melalui surat teguran dan surat paksa kepada
CV. XX, tetapi dalam batas waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat jam) sejak
pemberitahuan surat Paksa tersebut CV. XX tidak juga melunasi utang pajaknya.
KPP Pratama Medan Kota menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan (SPMP), yang diterbitkan oleh Kepala KPP Pratama Medan Kota sebagai
pejabat yang telah menerbitkan Surat Paksa.
SPMP dapat diterbitkan oleh 107
a. Pejabat yang menerbitkan surat paksa
b. Pejabat lainnya dengan ketentuan :
1. Apabila objek sita berada di luar wilayah kerja pejabat yang menerbitkan
surat paksa. Pejabat tersebut meminta bantuan kepada pejabat yang
wilayah kerjanya meliputi tempat atau lokasi objek sita berada untuk

107

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, Op. Cit, Hlm. 55

Universitas Sumatera Utara

86

menerbitkan SPMP terhadap objek sita dimaksud. Selanjutnya pejabat
yang diminta bantuan segera menerbitkan SPMP tersebut.
2. Apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja pejabat. Pejabat
dimaksud dapat menerbitkan SPMP dan memerintahkan jurusita pajaknya
untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar
wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan pejabat setempat.
Berdasarkan SPMP, jurusita KPP Pratama Medan Kota melaksanakan
penyitaan atas barang milik CV. XX. Sebelum dilaksanakan penyitaan, jurusita KPP
Pratama Medan Kota terlebih dahulu :
a. Memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Juru Sita Pajak
b. Memperlihatkan SPMP
c. Memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
KPP Pratama Medan Kota melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan
penanggug pajak yang disimpan di Bank dan Sertifikat Tanah dan Bangunan108 .
1. Penyitaan terhadap harta kekayaan CV. XX di Bank
Penyitaan terhadap harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di
bank tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pemblokiran terlebih dahulu.
Pemblokiran

merupakan

tindakan

pengamanan

harta

kekayaan

penanggung pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta

108

Hasil Wawancara dengan Irvan Jurusita KPP Pratama Medan Kota pada Tanggal 25 Juli

2016

Universitas Sumatera Utara

87

kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah
atau nilai.
Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan penanggung pajak di
bank

diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000

tanggal 26 Desember 2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER109/PJ/2007 tanggal 6 Agustus 2007 tentang Perubahan atas Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 tanggal 24 September 2001 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan penanggung Pajak
yang tersimpan pada bank dalam rangka penangihan Pajak dengan surat paksa :
a. Harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank meliputi
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro atau bentuk
simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
b. Penyitaan harta kekayaan Penangggung pajak yang tersimpan di bank
dilaksanakan dengan cara pemblokiran terlebih dahulu, yang pelaksanaannya
mengacu pada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan
perundangan-udangan yang berlaku.
2. Penyitaan terhadap Sertifikat tanah dan Bangunan
Penyitaan tanah dan bangunan dilakukan oleh jurusita sebagai tindakan
pengambilalihan penguasanaan tanah dan bangunan milik penanggung pajak baik
secara fisik maupun yuridis menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, untuk jaminan pelunasan utang pajak.

Universitas Sumatera Utara

88

Kepemilikan atas tanah meliputi antara lain 109:
a. Hak Milik
b. Hak Pakai
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Guna Usaha
Prosedur penyitaan Tanah dan bangunan yang dilakukan oleh jurusita KPP
Pratama Medan Kota atas tanah dan bangunan setelah diterbitkannya SPMP,
berdasarkan Pedoman Penagihan Pajak 2009 sebagai berikut:
1. Persiapan
Sebelum melakukan penyitaan, jurusita harus menyiapkan dokumen dan
peralatan, saksi-saksi dari KPP dan Pemda, serta berkoordinasi dengan Kepolisian
setempat untuk bantuan pengaman sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan
yang dihadapi.
Saksi sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang: 110
a. Telah dewasa
b. Penduduk Indonesia
c. Dikenal oleh juru sita pajak dan
d. Dapat dipercaya
Kehadiran para saksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa penyitaan
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

109
110

Departeman Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, Op. Cit. Hlm. 49
Departeman Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, Op. Cit. Hlm. 49

Universitas Sumatera Utara

89

2. Jurusita melaksanakan penyitaan.
Jurusita diperbolehkan memasuki pekarangan atau rumah dengan terlebih
dahulu memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal jurusita pajak, memperlihatkan
SPMP dan memberitahukan maksud dan tujuan penyitaan. Apabila Penanggung
pajak, pegawainya atau penjaga tanah dan bangunan objek sita melarang jurusita
untuk memasuki pekarangan atau rumah, walaupun diberitahukan dan dijelaskan
maksud kedatangan jurusita, maka jurusita pajak diperkenankan memasuki
pekarangan atau rumah tersebut dengan kekerasan. Jurusita pajak dapat meminta
bantuan kepolisian, agar secara paksa membantu jurusita memasuki pekarangan
atau rumah objek untuk melakukan penyitaan. Apabila belum ada bantuan
kepolisian yang memungkinkan jurusita memasuki pekarangan atau rumah,
jurusita agar menunda pelaksanakan penyitaan pada hari tersebut, untuk
merencanakan pelaksanaan penyitaan pada hari atau waktu yang ditetapkan
kemudian.
Sementara pelaksanaan penyitaan ditunda, jurusita pajak atau Kepala KPP
membuat laporan/pengaduan kepada Kepolisian setempat atas tindakan
penanggung pajak atau pegawainya atau penjaga tanah atau bangunan objek sita,
atau yang menghalang-halangi atau mengagalkan tugas jurusita untuk melakukan
penyitaan berdasarkan tindak pidana yang diancam Pasal 216 ayat (1) KUH
Pidana. Jurusita mengulangi pelaksanaan penyitaan atas tanah dan bangunan
tersebut pada saat yang lebih tepat dan memungkinkan penyitaan berhasil baik.

Universitas Sumatera Utara

90

3. Penandatangan Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS)
Setelah penyitaan dilakukan dilakukan penandatangan BAPS oleh :
a.Jurusita Pajak
b.Penanggung Pajak
c.Saksi-saksi
Apabila Penanggung pajak atau wakilnya menolak untuk menandatangani
BAPS, jurusita tetap dapat melanjutkan penyitaan dan membuat BAPS,
menandatanganinya bersama-sama 2 (dua) orang saksi dengan menuliskan
adanya penolakan Penanggung Pajak pada BAPS Tersebut. BAPS tersebut tetap
sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kepada semua pihak.
BAPS merupakan pemberitahuan kepada penanggung pajak dan
masyarakat bahwa penguasaan barang penanggung pajak telah berpindah dari
penanggung pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu dalam setiap penyitaan yang
dilakukan jurusita pajak harus membuat BAPS secara jelas dan lengkap yang
sekurang-nya memuat :
a. Hari dan Tanggal
b. Nomor
c. Nama Jurusita Pajak
d. Nama Penanggung Pajak
e. Nama dan jenis barang yang disita
f. Tempat penyitaan

Universitas Sumatera Utara

91

Pihak yang menandatangani BAPS untuk penanggung pajak badan adalah
pihak yang juga kepada mereka diberitahukan surat paksa yaitu pengurus, kepala
perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau pegawai tetap
perusahaan. Penandatanganan oleh pihak-pihak tersebut dimaksudkan untuk
memberi pengertian bahwa mereka turut bertanggung jawab atas kewajiban
badan usaha tersebut sehingga barang-barang milik mereka juga dapat dijadikan
jaminan utang pajak (dapat disita).
BAPS paling sedikit dibuat rangkap 6 (enam) :
a. Lembar ke 1 untuk Kepala Seksi Penagihan
b. Lembar ke 2 untuk ditempelkan pada objek sita
c. Lembar ke 3 untuk penanggung pajak
d. Lembar ke 4 untuk BPN/Kepala Keluarahan/Kepala Desa
e. Lembar ke 5 untuk Pengadilan Negeri
Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipun penanggung pajak tidak
hadir, sepanjang salah seorang saksi berasal dari Pemda setempat, sekurangkurangnya Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa
BAPS untuk penyitaan yang tidak dihadiri oleh penanggung pajak tersebut
ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi dan harus memuat alasan
ketidakhadiran penanggung pajak.
Diperlukannya saksi dari Pemda setempat berfungsi sebagai saksi
legalisator. Dengan demikian, BAPS dimaksud tetap sah dan mempunyai
kekuatan mengikat.

Universitas Sumatera Utara

92

4. Penempelan Salinan BAPS
Salinan BAPS ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak
bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak atau tidak bergerak yang
disita berada atau di tempat-tempat umum
Pada dasarnya terhadap barang yang disita harus ditempeli salinan BAPS
kecuali jika terdapat barang yang disita yang sesuai sifatnya tidak dapat
ditempeli salinan BAPS, misalnya uang tunai atau sebidang tanah.
Barang BAPS yang telah ditandatangani oleh jurusita dan saksi-saksi dan
segel sita yang telah ditandatangani jurusita, ditempel pada tanah atau bangunan
yang disita sedemikian rupa agar penanggung pajak dan masyarakat umum
mengetahui status tanah atau bangunan tersebut dalam penyitaan oleh Negara c.q
Kepala KPP Pratama Medan Kota. Penempelan atau pemberian segel sita tetap
dilakukan baik dihadiri atau tidak dihari oleh penanggung pajak.
5. Penyampaian Salinan BAPS
Terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, maka salinan BAPS
diserahkan kepada instansi tempat kepemilikan barang dimaksud terdaftar. Hal
tersebut dimaksudkan tidak dapat dipindahtangankan sebelum utang pajak beserta
biaya penagihan pajak dan biaya lainnya dilunasi oleh penanggung pajak.
Salinan BAPS atas penyitaan barang yang kepemilikannya terdaftar antara
lain :
1) Kendaraan bermotor, diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia

Universitas Sumatera Utara

93

2) Tanah, diserahkan kepada Badan Pertanahan Nasional
3) Kapal Laut, dengan Isi Kotor tertentu, diserahkan kepada Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.
Penyampaian

Salinan

BAPS

atas

barang

tidak

bergerak

yang

kepemilikannya belum terdaftar
Apabila penyitaan dilaksanakan terhadap barang tidak bergerak yang
kepemilikannya belum terdaftar, maka juru sita pajak menyampaikan salinan
BAPS kepada Pemda dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut
cara yang lazim di tempat tersebut.
Penyitaan tanah sebagai barang tidak bergerak, yang kepemilikannya
belum terdaftar di badan Pertanahan Nasional, Salinan BAPS disampaikan kepada
Daerah setempat untuk digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Keterangan
Riwayat Tanah untuk mencegah pemindahtangan tanah yang dimaksud.
Penyampaian Salinan BAPS dimaksud untuk didaftarkan kepada kepaniteraan
Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dan Pemda setempat selanjutnya
mengumumkan penyitaan tersebut.
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila :
a. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
dan utang pajak
b. Hasil lelang barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan
dan utang pajak

Universitas Sumatera Utara

94

Dengan demikian, penyitaan dapat dilakukan lebih dari satu kali sampai
dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan, baik
sebelum maupun sesudah lelang dilaksanakan.
Apabila telah dilakukan penyitaan maka penangung pajak dilarang untuk :
a. Memindahkan

hak,

menindahtangankan,

menyewakan,

meminjamkan,

menyembunyikan, menghilangkan atau merusak barang yang telah disita.
b. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan Hak Tanggungan
untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan.
c. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan
untuk pelunasan utang tertentu.
d. Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau salina BAPS yang
telah ditempel barang sitaan.
Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan tidak dilunasi setelah
dilaksanakan penyitaan, maka pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara
lelang melalui Kantor Lelang. Walaupun penanggung Pajak telah melunasi utang
pajak, akan tetapi untuk biaya penagihan pajak belum dilunasi, maka penjualan
secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK
TANGGUNGANTERHADAP BARANG JAMINAN YANG DISITA
OLEH KANTOR PAJAK

A.

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan
Berdasarkan UUHT Nomor 4 tahun 1996.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum

untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Ada dua bentuk perlindungan hukum yaitu pertama perlindungan hukum
preventif artinya rakyat diberi kesempatan mengajukan pendapatnya sebelum
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa. Kedua perlindungan hukum represif yang bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam proses pemberian kredit yang dilakukan oleh pihak bank selaku
kreditur kepada debitur, kemungkinan terjadinya resiko seperti kemacetan dalam
pelunasan hutang oleh debitur sangatlah besar. Sehingga diperlukan jaminan
kebendaan yang dipersyaratkan oleh bank kepada kreditur guna menjamin pelunasan
kredit tersebut. Jaminan yang paling banyak digunakan adalah hak atas tanah, karena
nilai atau harganya yang cenderung meningkat.
Lembaga jaminan yang dianggap efektif dan aman oleh lembaga perbankan
adalah Hak Tanggungan. Hal ini disebabkan karena mudah dalam mengindentifikasi
objek Hak Tanggungan serta jelas dan mudah dalam pelaksanaan eksekusinya,
mendapat pelunasan utang telebih dahulu atas penjualan objek Hak Tanggungan dan

95

Universitas Sumatera Utara

96

sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuataan eksekutorial. Dalam hak tesebut
diatas, jelas bahwa perlindungan hukum diberikan kepada kreditur melalui UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas tanah Berserta BendaBenda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT).
UUHT dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi suatu lembaga hak
jaminan yang kuat dan menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang
berkepentingan secara seimbang.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHT adalah :
1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference).
Dalam UUHT tentang kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lain, ditentukan pada Pasal 1 ayat (1) UUHT
yang antara lain menyebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Bahwa yang dimaksud dengan memberikan kedudukan diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur adalah bahwa jika kreditur
cidera janji, kreditur pemgang Hak Tanggungan yang berhak menjual melalui
pelelangan umum, tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur
lainnya. Hak mendahulu yang dimaksud adalah hak untuk mengambil pelunasan
atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan.

Universitas Sumatera Utara

97

2. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan
siapapun berada.
Sesuai dengan ciri hak kebendaan. Hak Tanggungan juga mempunyai ciri
dan sifat droit de suite, bahwa benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan
walaupun beralih atau dialihkan, tetap mengikuti dalam tangan siapapun benda
yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut berada.
Keetentuan dalam pasal 7 UUHT menegaskan mengenai sifat droit de
suite dijelaskan sebagai berikut :
Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan
pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain. Kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji.
Sifat droit di suite yang dimaksud untuk melindungi kepentingan
kreditur, dimana piutang kreditur terjamin pelusanannya, walaupun benda yang
telah dijaminkan dengan Hak Tanggungan telah berpindah tangan atau beralih
menjadi milik pihak ketiga. Kreditur tetap memiliki hak untuk mengeksekusi
benda yang menjadi objek Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil
pelunasan terhadap piutangnya, apabila debitur cidera janji.
3. Keharusan pemenuhan asas spesialitas berkenaan dengan identitas pemegang Hak
Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan, serta domisili masing-masing pihak,
piutang yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan (Pasal 11) ayat (1), dan
pemenuhan asas publisitas, yakni pendaftran Hak Tanggungan (Pasal 13)

Universitas Sumatera Utara

98

Keberadaan Hak Tanggungan ditentukan melalui pemenuhan tata cara
pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yakni tahap pemberian Hak
Tanggungan dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan
perjanjian pokok, yakni perjanjian utang-piutang, dan tahap pendaftaran Hak
Tanggungan oleh kantor pertanahan yang menandakan saat lahirnya Hak
Tanggungan. APHT memuat substansi yang bersifat wajib, yakni berkenaan
dengan nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, domisili
pihak-pihak bersangkutan, penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin,
nilai tanggungan, dan uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan (Pasal 11
UUHT). Di dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji sebagaimana lazimnya,
yang pada umumnya membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
melakukan tindakan tertentu terhadap obyek Hak Tanggungan tanpa ijin tertulis
dari pemegang Hak Tanggungan, satu dan lain hal agar obyek Hak Tanggungan
tetap dalam keadaan terpelihara atau tidak merosot nilainya. Bahkan apabila hak
atas tanah dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya
untuk kepentingan umum, maka dapat diperjanjikan bahwa pemegang Hak
Tanggungan akan memperoleh seluruh/sebagian dari ganti kerugian yang
diterima oleh pemberi Hak Tanggungan.111
Dalam kaitannya dengan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek Hak
111

Maria Sumardjono, “Prinsip Dasar Hak Tanggungan Dan Beberapa Permasalahan Yang
Berkaitan Dengan Kredit Perbankan”. Kumpulan Makalah Dan Hasil Diskusi Panel I sampai IV
Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, (Jakarta: Dep. Keu. RI, BUPLN, 1998), Hlm. 522

Universitas Sumatera Utara

99

Tanggungan apabila debitur cidera janji dan mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendaki untuk berlaku,
harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengingat bahwa penjualan obyek
Hak Tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberi Hak Tanggungan harus
dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain. Demikian
pula untuk melindungi debitur, maka janji yang memberi kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan (kreditur) untuk memiliki obyek Hak Tanggungan
apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Dengan terbitnya Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (HT), APHT, Buku Tanah Hak Tanggungan
dan Sertifikat Hak Tanggungan, maka segala macam janji itu sudah tercantum di
dalam formulir APHT.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996
tersebut merupakan peraturan pelaksanaan tentang bentuk dan isi APHT dan
buku tanah Hak Tanggungan serta hal-hal yang berkaitan dengan pemberian dan
pendaftaran Hak Tanggungan berdasarkan peraturan pemerintah yang dimaksud
dalam Pasal 19 UUPA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
Tentang Pendaftaran Tanah. Pada tanggal 30 Mei 1996 telah terbit Peraturan
Menteri Negara/ Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran
Hak Tanggungan yang merupakan peraturan pelaksanaan UUHT. Pembuatan
APHT wajib diikuti dengan pengiriman aktanya beserta warkah lain yang
diperlukan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan dalam waktu selambat-lambatnya 7

Universitas Sumatera Utara

100

(tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT tersebut (Pasal 13 UUHT).
Dalam waktu tujuh hari kerja setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan untuk pendaftaran, Kantor Pertanahan melakukan pendaftaran Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni dengan
membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah
hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan, serta menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, dan jika hari ketujuh
itu jatuh pada hari libur, buku-tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan diberi
bertanggal hari kerja berikutnya. Saat pemberian tanggal pada buku-tanah
tersebut adalah sangat penting, karena pada saat itulah Hak Tanggungan lahir,
yang berarti mulainya kedudukan preferent bagi kreditur, penentuan peringkat
Hak Tanggungan, dan berlakunya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga
(pemenuhan asas publisitas). Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan,
Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irahirah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan menyerahkannya kepada pemegang Hak Tanggungan. Kecuali apabila
diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan. Apabila Hak Tanggungan beralih karena cessie, subgrosi,
pewarisan, atau karena sebab-sebab lain, misalnya penggabungan atau
pengambil-alihan perusahaan, maka Hak Tanggungan pun beralih dan peralihan
tersebut harus dicatat oleh Kantor Pertanahan sesuai dengan peraturan

Universitas Sumatera Utara

101

perundang-undangan yang berlaku berdasarkan akta yang membuktikan
peralihan Hak Tanggungan tersebut. Analog dengan pendaftaran Hak
Tanggungan, tanggal pencatatan peralihan oleh Kantor Pertanahan adalah hari
ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk
pendaftaran peralihannya. Penentuan waktu ini penting karena menentukan saat
berlakunya peralihan Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.112
4. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti
Salah satu ciri dan sifat lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat yaitu,
pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti, bahwa pelaksanaan
eksekusi Hak Tanggungan dilakukan melalui mekanisme yang sederhana tanpa
melalui proses beracara di muka pengadilan.113
Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan
dalam rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga
cara, yaitu: 114
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda yang berkaitan dengan Tanah.

112

Maria Sumardjono, Op. Cit., hlm. 524-525
Rachmadi Usman, Op.cit. Hlm. 348
114
Sudjana Rivai, Analisis Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996
Dalam Kaitannya Dengan Praktek Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Perbankan,
Tarsito, Bandung, 2008, Hlm. 52
113

Universitas Sumatera Utara

102

b. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah.
c. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan. Penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat
(2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah
penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak
Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang atau pihak
lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan
dimaksud. Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek Hak
Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin melakukan
penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau agunan
kredit apabila debitur tidak menyetujuinya.
Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek Hak
Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

Universitas Sumatera Utara

103

semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur
dapat terjadi karena: 115
a.

Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik
sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif

b.

Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.
Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak

mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank
mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi
kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan
atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang
memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut
secara di bawah tangan. Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan
“jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitur membayar utangnya
dengan lancar.116
Menurut pasal 6 UUHT, apabila debitur cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal 6 UUHT ini memberikan hak bagi
pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi yang artinya

115

Ridwuan Khairandy, Problematika Yuridis Eksekusi Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 22
116
Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan),
PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 16

Universitas Sumatera Utara

104

pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi
Hak Tanggungan dan juga tidak perlu meminta penetapan Pengadilan setempat
apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan
utang debitur, dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat
langsung datang dan meminta kepada kepala Kantor Lelang untuk melakukan
pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. karena kewenangan
pemgang Hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang (kewenangan tersebut dipunyai demi hukum), Kepala
Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.
Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang dipunyai oleh pemegang
Hak Tanggungan, atau oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal
terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan, jadi dalam Hak
Tanggungan, pemegang Hak tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi
adalah hak yang diberikan oleh pasal 6 UUHT. Dengan kata lain, diperjanjikan
atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak
Tanggungan.117
Sertifikat Hak Tanggungan, yang merupakan tanda bukti adanya Hak
Tanggungan yang diterbitkan oleh kantor Pertanahan dan ada yang memuat irahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

117

Henny Tanuwidjaja, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum
Notariat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2012, Hlm. 36

Universitas Sumatera Utara

105

YANG MAHA ESA” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku senagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas
tanah. Demikian ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UUHT. Dengan
demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah
dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat
menggugat (proses litigasi) apabila debitur cidera janji.
Selain kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi, bagi kepentingan kreditur
pemegang Hak Tanggungan disediakan tambahan perlindungan yang dinyatakan
dalam Pasal 21. Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang
Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya
menurut ketentuan UUHT. Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan yang
diutamakan dari pemegang Hak Tanggungan, dengan mengecualikan berlakunya
akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan.
Pemegang Hak Tanggungan berhak menjual lelang obyek Hak Tanggungan lebih
dahulu untuk pelunasan piutangnya, dan sisanya dimasukkan dalam “boedel
kepailitan” pemberi Hak Tanggungan.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan
Terhadap Barang Jaminan Yang Disita Oleh Kantor Pajak
Kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam kedudukannya sebagai kreditur
preference pada prinsipnya mendapat kedudukan yang didahulukan dibandingkan

Universitas Sumatera Utara

106

deng kreditur lainnya. Kedudukan didahulukan ini ada Pasal 1133 ayat (1) KUH
Perdata, dinyatakan bahwa “ hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang
terbit dari hak istimewa, dari gadai dan hipotik”, dimana apabila debitur cidera janji
maka kreditur pemegang Hak Tanggungan akan mempunyai kedudukan yang
didahulukan dalam pelunasan piutangnya dibandingkan dengan kreditur-kreditur
lainnya yang bukan pemegang Hak Tanggungan.118
Menurut J. Satrio Memberikan penjelasan tentang hak didahulukan disini
adalah sebagai berikut :
“Didahulukan dalam mengambil pelunasan atas penjualan eksekusi benda
hipotik (hak Tanggungan), bahwa kedudukan preferen (lebih didahulukan)
berkaitan dengan hasil eksekusi, akan tampak jelas kalau kita hubungkan
dengan Pasal 1132 KUH Pedata yang menyatakan bahwa pada asasnya para
kreditur berbagi pond’s-pond’s harta benda milik debitur. Dengan
mempejanjikan dan memasang Hak Tanggungan dulu hipotik maka kreditur
prefent atas hasil penjualan benda tertentu milik debitur atau milik pemberi
jaminan yang diberikan sebagai jaminan khusus, dalam arti menyimpang dari
asas 1132 tersebut di atas, ia berhak mengambil lebih dulu uang hasil
hipotik”.119
Apa yang dikatakan J. Satrio dapat disimpulkan bahwa yang menjadi unsur
dari kedudukan yang diutamakan atau didahulukan dari kreditur pemegang Hak
Tanggungan adalah berkaitan dengan pelunasan piutang kreditur pemegang Hak
Tanggungan, dan cara pelunasannya yaitu dengan cara penjualan lelang terhadap
tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan (eksekusi Hak Tanggungan).

118

Herowati Poseko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi Konflik Norma
dan Kesesatan Penalaran dalm UUHT), Laksbang Pressindo, Yogyarta, 2008, Hlm. 17
119
J. Satrio, Op.Cit, Hlm. 56

Universitas Sumatera Utara

107

Sebenarnya sarana perlindungan hukum kepada kreditur secara umum diatur
dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut sudah
merupakan asas yang sifatnya universal yang terdapat pada sistem hukum jaminan
setiap Negara. Kemudian hak kreditur terhadap hasil penjualan harta kekayaan
debitur diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kedua pasal tersebut merupakan
jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua
kreditur. Para kreditur disini mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorium),
kecuali apabila kreditur mempunyai hak istimewa yang dalam Pasal 1133 KUH
Perdata yaitu Gadai dan hipotik, dan dalam perkembangan Hukum Indonesia hak
istimewa diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan.
Hak Tanggungan sebagai suatu lembaga jaminan yang kuat yang memberikan
kedudukan yang diutamakan dalam pengambilan pelunasan piutang debitur.
Pelaksanaan eksekusi yang mudah dan pasti merupakan salah satu prinsip dari Hak
Tanggungan yang dijabarkan dalam Pasal 20 UUHT, eksekusi Hak Tanggungan
memuat 3 (tiga) cara yakni :
1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama menjual obyek Hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT (parate executie).
2. Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)

Universitas Sumatera Utara

108

3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (Pasal 20 ayat (2)
UUHT).
Namun kedudukan pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference
menjadi berbeda apabila debitur tersangkut masalah utang pajak. Berdasarkan
ketentuan pasal 14 dan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP Nomor 19 Tahun 2000 dan Pasal
21 UU KUP Nomor 16 Tahun 2000, Negara dalam hal ini kantor pajak mempunyai
hak mendahului untuk tagihan pajak debitur sehingga negara berhak melakukan
penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak termasuk penguasaannya ditangan
pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu. Termasuk utang
kredit yang dimiliki debitur di bank. Ketentuan ini menetapkan kedudukan negara
sebagai kreditur preference yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barangbarang milik penanggung pajak yang akan dilelang dimuka umum. Pembayaran
kepada kreditur lain akan diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Pada

putusan

Mahkamah

Konstitusi

Nomor

67/PUU-XI/2013

yang

dikeluarkan karena adanya permohonan judicial review, dalam permohonannya
meminta penafsiran yang tegas terhadap ketentuan Pasal 95 ayat (4) Nomor 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan terkait dengan pengertian frasa “didahulukan
pembayarannya”. Pemohon menilai pada praktiknya, ketika perusahaan dinyatakan
pailit, pembayaran upah untuk pekerja tidak didahulukan.Yang diprioritaskan adalah
hak Negara (ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama) diikuti oleh kreditur
separatis (pemgenang Hak Tanggungan, gadai, fidusia dan hipotik). Sedangkan untuk

Universitas Sumatera Utara

109

upah buruh ditempat setelah pelunasan terhadap hak-hak Negara dan para kreditur
separatis. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memutuskan apabila terjadi
kepailitan, hak mendahulu atas utang pajak tidak berlaku apabila bertemu dengan
upah buruh dan hak-hak pekerja.Upah buruh dan hak pekerja menjadi prioritas
pertama, kemudian prioritas pelunasan kedua diberikan kepada Negara dan terakhir
diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan. Kedudukan pemegang Hak
Tanggungan berdasarkan putusan Mahkamah konstitusi 67/PUU-XI/2013 sebagai
kreditur separatis dikalahkan dengan upah buruh dan utang pajak.
Perlindungan hukum kepada kreditur yang terdapat dalam UUHT terabaikan
hak-haknya apabila berhadapan dengan negara yang mengalami kerugian akibat
utang pajak debitur yang juga merupakan wajib pajak. Berdasarkan Pasal 21 UU
KUP, negara dipandang memiliki kepentingan

yang diutamakan daripada

kepentingan kreditur preference yang dijamin oleh UUHT. Hal ini merupakan
ketidakadilan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan yang telah disita barang
jaminannnya oleh negara meskipun kreditur pemegang Hak Tanggungan tersebut
telah sah berdasarkan UUHT melakukan perjanjian pengikatan Hak Tanggungan
sehubungan dengan adanya perjanjian pokok yaitu hutang piutang yang dilaksanakan
antara debitur dengan keditur.
UU KUP sendiri tidak mengatur secara jelas mengenai hak-hak pemegang
Hak Tanggungan yang berkaitan dengan penyitaan utang pajak. Pengaturan dalam
UU KUP hanya diperuntukkan untuk debitur sebagai wajib pajak. Perlindungan yang
diberikan diberikan yaitu preventif untuk mencegah benturan kepentingan antara

Universitas Sumatera Utara

110

wajib pajak dan penanggung pajak dengan publik dan represif untuk benturan
kepentingan antara wajib pajak dan penanggung pajak dengan Negara selaku fiskus.
Perlindungan hukum yang represif yang diberikan kepada wajib pajak dan
penanggung pajak yaitu dengan menggunakan upaya hukum yang tersedia seperti
keberatan, banding atau juga gugatan yang diajukan terhadap ketetapan pajak pusat
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayan Pajak Pratama,
di mana wajib pajak berdomisili atau berkedudukan dan untuk Pajak Daerah
keberatan dapat diajukan kepada Kepala Daerah di mana pajak daerah tersebut
terutang.
Pada pasal 1 angka 5 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak,
yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding
atau gugatan kepada Pengadilan Pajak.
Badan Peradilan pajak yang dimaksud dalam UU KUP adalah pengadilan
pajak yang juga merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999.
Sengketa pajak merupakan kompetensi absolut dari pengadilan pajak.
Eksistensi Pengadilan pajak sebagai salah satu pengadilan khusus di lingkungan
badan peradilan dituangkan dalam Pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Universitas Sumatera Utara

111

kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dib