Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan khususnya di bidang ekonomi sangat memerlukan pengaturan
secara hukum bisnis agar terciptanya ketertiban dalam kegiatan usaha yang dilakukan
oleh para pelaku usaha. Pelaku usaha melakukan kegiatan bisnis dengan maksud
untuk memenuhi kepentingannya dan mencapai tujuan masing-masing. Di dalam
menjalankan bisnis, sering kali para pelaku usaha melupakan betapa pentingnya
perjanjian yang harus dibuat sebelum bisnis itu berjalan di kemudian hari. Sebagian
pihak melakukan perjanjian bisnis secara lisan, namun ada pula yang melakukan
perjanjian secara tertulis. Baik di Indonesia maupun di dunia Internasional, kerjasama
bisnis diantara para pihak dirasakan lebih mempunyai kepastian hukum bila diadakan
dengan suatu perjanjian tertulis.1
Disadari atau tidak, hubungan para pihak yang terjalin dalam aktivitas bisnis
komersial tersebut juga akan diikuti oleh kesepakatan-kesepakatan untuk membangun
aturan-aturan yang akan menjadi dasar pelaksanaan aktifitas tersebut yang harus
dipatuhi bersama oleh para pihak untuk mencapai tujuannya. Dari adanya
kesepakatan untuk membangun ketentuan atau aturan tersebut, lahirlah apa yang

dinamakan dengan kontrak atau perjanjian. Kontrak atau perjanjian tersebut
mengandung hubungan kontraktual di antara para pihak yang diwujudkan melalui
pelaksanaan kewajiban oleh para pihak yang membentuk dan melaksanakan
1

Richard Buton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 27.

1

Universitas Sumatera Utara

2

perjanjian tersebut. Beranjak dari adanya hak dan kewajiban inilah pentingnya hukum
hadir untuk memberikan pengaturannya karena eksistensi hukum itu sendiri sangat
erat dengan perlindungan hak manusia dan keadilan.2
Bila melihat dari tata cara pembentukannya (law making process), hukum
perdata lahir dari dua kewenangan pembentukan hukum, yaitu kewenangankewenangan pembentukan hukum yang dimiliki oleh negara (Lembaga Eksekutif
bersama dengan Lembaga Legislatif atau DPR) (Lebih jauh lihat Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta

Pasal 5, 20 dan 21 UUD 1945), serta juga kewenangan pembentukan hukum yang
dimiliki oleh setiap warga negara.3
Kewenangan pembentukan hukum yang dimiliki oleh negara memberikan
konsekuensi lahirnya hukum yang demi hukum (by law) akan berlaku dan mengikat
seluruh warga Negara yang tunduk padanya terhitung sejak hukum tersebut
diberlakukan. Sementara kewenangan pembentukan hukum yang dimiliki oleh setiap
warga merupakan kewenangan masing-masing pihak (party authonomy) yang pada
dasarnya lahir dari pelaksanaan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract)
yang harus dipatuhi berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda, dimana keberlakuan dari
hukum yang diciptakan oleh masing-masing warga negara tersebut hanyalah
mengikat sebagai hukum diantara pihak-pihak yang setuju untuk terikat padanya
(contracting parties).4

2

Faizal Kurniawan dan Ayik Parameswary, Konstruksi Hukum Perlindungan Adhered Party
dalam Kontrak Adhesi yang digunakan dalam Transaksi Bisnis, Perspektif, Vol.19 (3). 2014. hal. 145.
3
Ibid.
4

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3

Kewenangan pembentukan hukum oleh para pihak menghasilkan suatu produk
hukum yang dikenal dengan nama kontrak atau perjanjian, yang kemudian mengikat
bagi para pihak yang membuatnya tersebut layaknya sebagai undang-undang.
Keberlakuan kontrak atau perjanjian sebagai undang-undang yang mengikat dan
harus dipatuhi oleh yang membuatnya, secara eksplisit diatur Pasal 1338
KUHPerdata.
Perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi: “perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut namanya, hukum kontrak dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu hukum kontrak nominaat dan hukum kontrak innominaat.
Hukum kontrak nominaat merupakan ketentuan hukum yang mengkaji berbagai
kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata. Sedangkan hukum kontrak
innominaat merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji berbagai kontrak
yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini belum dikenal

pada saat KUHPerdata diundangkan.5
Bentuk perjanjian baku, telah muncul pada setiap level transaksi bisnis, mulai
dari transaksi bisnis yang berskala besar sampai pada “kaki lima”. Munculnya
perjanjian baku sebenarnya merupakan akibat tidak langsung dari introduksi asas
kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). Tidak adanya restriksi-restriksi
substsansial yang mampu menyeimbangkan posisi tawar (bargaining position)

5

Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,(Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

4

diantara para pihak yang mengadakan perjanjian, maka melahirkan penguasaan oleh
satu pihak dan keterpaksaan pada pihak lainnya.
Hal tersebut menyebabkan posisi kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak
seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu

menguntungkan bagi salah satu pihak. Keuntungan kedudukan tersebut oleh pelaku
usaha sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan atau klausula
baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang
“lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian
maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau
ditawar-tawar oleh pihak lainnya.6 Salah satu hal yang menonjol dalam perjanjian
baku adalah terjadinya penekanan secara sepihak. Oleh karena itu perjanjian baku
cenderung menjadi perjanjian yang berat sebelah atau perjanjian sepihak, dengan kata
lain transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak
balance.
Perjanjian

baku

adalah perjanjian

yang mengikat para pihak yang

menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam
perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang

perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul
dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat
berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan

6

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001), hal. 53.

Universitas Sumatera Utara

5

klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.7
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka
pihak yang kedudukannya lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betulbetul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Hal yang
demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan
tersebut untuk menentukan klausula-klusula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga
perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam

perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi
perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.8 Perjanjian baku
semacam ini sering disebut dengan istilah take it or leave it (ambil atau tidak ambil).
Perjanjian

dengan

klausula

baku

cenderung

menguntungkan

pihak

yang

mempersiapkan atau merumuskannya, hal ini banyak dijumpai dalam kemasan

barang atau tercantum dalam produk tertentu, nota-nota penjualan, tiket/karcis
perjalanan, karcis parkir, tanda penitipan barang dan sebagainya.
Permasalahan mulai muncul ketika adanya kontrak atau perjanjian ditetapkan
secara sepihak oleh salah satu pihak yang lazimnya dilakukan oleh pelaku usaha,
yang disebut dengan nama kontrak baku atau kontrak adhesi (standard contract) yang
isi atau klausula dari perjanjian tersebut mengandung keadaan yang cenderung tidak
fair bagi konsumen dengan pencantuman klausula yang bersifat membatasi
7

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlidungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 2004, hal. 118.
8
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

6

kewajiban pelaku usaha dalam pelaksanaan perjanjian yang disebut dengan nama
klausula eksonerasi.9

Kontrak baku sendiri sebenarnya tidak dilarang karena merupakan perwujudan
asas kebebasan berkontrak namun dengan tidak adanya kesempatan bagi mitra
berkontraknya untuk secara face to face dapat menegosiasikan poin-poin kesepakatan
yang diinginkan ataupun diterimanya sehubungan dengan transaksi ataupun
perbuatan hukum yang akan mereka lakukan, membuat posisi mitra berkontraknya
secara langsung ataupun tidak langsung seolah-olah cenderung terpaksa, dimana
keadaan mitra berkontraknya tersebut terdesak oleh tingkat kebutuhan, sehingga tidak
mempunyai pilihan lain kecuali menandatangani kontrak yang sebenarnya
mengandung kelemahan pada hal hukumnya. Menjadi suatu persoalan, apakah hal ini
merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999
tentang Perlindungan Konsumen.10
Berdasarkan uraian kontrak baku di atas yang menjadi kajian dalam penelitian
ini adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 368K/Pdt.Sus-BPSK/2013 dalam
memeriksa perkara perdata khusus tentang keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen pada tingkat kasasi memutuskan sebagai berikut
dalam perkara antara: PT. Express Limo Nusantara, berkedudukan di Graha Niaga I
Blok A 3, Jalan Putri Hijau No. 20 Medan, Provinsi Sumatera Utara, Pelaku Usaha,

9


Faizal Kurniawan dan Ayik Parameswary, Op.cit., hal. 145.
Ibid.

10

Universitas Sumatera Utara

7

yang diwakili oleh Herman Gozali, Direktur Utama PT. Express Limo Nusantara,
berkedudukan di di Graha Niaga I Blok A 3, Jalan Putri Hijau No. 20 Medan,
Provinsi Sumatera Utara, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat melawan Dedek
Cahyo, bertempat tinggal di Jalan Karya Gang Sosro No. 12 B, Kelurahan Karang
Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara,
Konsumen, sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2006, antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
telah sepakat mengadakan Perjanjian Sewa Beli atas 1 (satu) unit kendaraan bermotor
Jenis Taxi, Merek Toyota Limo, Nomor Rangka MR.053.HY 4259029198, Nomor
Mesin INZ-Z 311292, Nomor Polisi BK 1543 HA (untuk selanjutnya disebut Armada

Taxi), milik Penggugat (PT. Express Limo Nusantara), dimana Surat Tanda Nomor
Kenderaan (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKP) serta, Ijin
Trayek pengoperasian Armada Taxi tersebut adalah atas nama penggugat (PT.
Express Limo Nusantara) dengan syarat dan Ketentuan sebagaimana telah dituangkan
atau disebutkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006
yang telah ditanda tangani Pelaku Usaha dengan Konsumen.
Dalam praktik pelaksanaan perjanjian kerjasama, ada kalanya para pihak tidak
dapat melaksanakan kewajibannya karena adanya wanprestasi (ingkar janji).
Wanprestasi artinya adalah tidak memenuhi prestasi yang merupakan kewajiban
debitur yang telah ditetapkan dalam suatu perikatan. Dalam hal ini konsumen (Dedek
Cahyo) selaku pihak kedua telah melakukan wanprestasi.

Universitas Sumatera Utara

8

Wanprestasi yang dilakukan telah melanggar ketentuan perjanjian antara pihak
Pelaku Usaha dengan konsumen. Bahwa dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas,
sebagai akibat dari perbuatan konsumen yang tidak mematuhi atau melaksanakan
kewajiban hukumnya kepada Pelaku Usaha dengan kewajiban hukum konsumen
sebagaimana yang telah disebutkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal
10Agustus 2006 (konsumen tidak menyerahkan uang setoran kepada Pelaku Usaha
sesuai dengan yang telah ditentukan di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi
tertanggal 10 Agustus 2006), berdasarkan syarat atau Ketentuan yang disebutkan atau
dituangkan di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 yang
telah disepakati dan ditandatangani Pelaku Usaha dengan Konsumen, pada bulan Juli
2007 Pelaku Usaha telah mengakhiri hubungan hukum antara Pelaku Usaha dengan
Konsumen dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus
2006 tersebut.
Bahwa walaupun Pelaku Usaha telah mengakhiri hubungan hukum antara
Pelaku Usaha dengan Konsumen dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama Operasi
tertanggal 10 Agustus 2006 dan oleh karena itu Konsumen harus menyerahkan
Armada Taxi objek Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006
tersebut kepada Pelaku Usaha, namun Konsumen tidak menyerahkan kendaraan
bermotor Armada Taxi tersebut kepada Pelaku Usaha selaku pemiliknya, bahkan
Konsumen tetap menguasai dan mengusahai atau mengoperasikan kenderaan
bermotor Armada Taxi tersebut tanpa memperdulikan hak dari Pelaku Usaha selaku
pemiliknya. Perbuatan Konsumen yang tidak menyerahkan Armada Taxi tersebut
kepada Pelaku Usaha selaku pemiliknya terhitung setelah berakhirnya atau

Universitas Sumatera Utara

9

dibatalkannya Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 dan tetap
menguasai dan mengusahai atau mengoperasikan Armada Taxi tersebut hingga
sampai dengan sekarang, adalah merupakan perbuatan tanpa hak atau perbuatan yang
bertentangan dengan hukum dan dapat dikategorikan sebagai Perbuatan melawan
hukum.
Pihak Konsumen merasa keberatan atas pembatalan

Perjanjian Kerjasama

Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan
melakukan Pengaduan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Kota Medan, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Medan yang memeriksa perkara ini, dengan Putusannya No. 36/PEN/BPSKMDN/2007 tertanggal 1 November 2007.
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor 36/PEN/BPSKMDN/2007 tanggal 1 November 2007 yang amarnya antara lain sebagai berikut: 1)
Menyatakan bahwa “Surat Perjanjian Kerjasama Operasi" tertanggal 10 Agustus
2006 yang diperbuat oleh Pelaku Usaha dengan Konsumen adalah Klausula
Baku/Perjanjian Baku yang dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen
No.8/1999 dan menyatakan batal demi hukum Surat Perjanjian Kerjasama Operasi
tanggal 10 Agustus 2006 tersebut; 2) Menghukum/mewajibkan Pelaku Usaha untuk
menerima kembali/bergabung Konsumen dengan Pelaku Usaha terhitung sejak
Keputusan ini diterima oleh kedua belah pihak; dan 3) Menghukum/mewajibkan
Pelaku Usaha untuk memberikan kelonggaran pembayaran kepada Konsumen
terhitung sejak tanggal Konsumen tidak menyetor uang setorannya kepada Pelaku
Usaha terhadap keterlambatan pembayaran, dengan perincian sebagai berikut: a)

Universitas Sumatera Utara

10

Kekurangan setoran dibayar dimuka sebesar 10% dan b) Sisanya 90 % lagi dicicil
sebesar Rp50.000.- (lima puluh ribu rupiah) setiap harinya sampai lunas.
Amar putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut, Pelaku Usaha
keberatan dan telah mengajukan keberatan di depan persidangan Pengadilan Negeri
Medan yang pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa dalam Perjanjian Kerjasama
Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 yang telah disepakati Pelaku Usaha dengan
Konsumen melalui penandatanganan yang dilakukan Pelaku Usaha dengan
Konsumen tersebut, dinyatakan bahwa setelah masa Perjanjian ini selesai pada akhir
periode sebagaimana tertuang dalam Perjanjian ini, Armada Taxi tersebut di atas akan
menjadi milik Konsumen, dan Uang muka akan menjadi milik Pelaku Usaha (PT.
Express Limo Nusantara); 2) Bahwa dalam, Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal
10 Agustus 2006 yang telah disepakati Konsumen dengan Pelaku Usaha yang telah
ditandatangani Konsumen dengan Pelaku Usaha tersebut, juga disebutkan bahwa
selama seluruh uang setoran belum lunas dilakukan Konsumen kepada Pelaku Usaha,
Armada TAXI tersebut masih tetap milik Pelaku Usaha (PT. Express Limo
Nusantara); dan 3) Pelaku Usaha berhak mengenakan sanksi/pembatalan Perjanjian
ini secara sepihak apabila keterlambatan tersebut melebihi 3 (tiga) jam dan dalam 1
(satu) bulan terjadi 3 (tiga) kali keterlambatan.
Berdasarkan uraian di atas penulis mempunyai ketertarikan untuk melakukan
penelitian terkait dengan pembatalan perjanjian baku dengan mengambil judul
“Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-undang (Studi Kasus Putusan
MA No.368k/Pdt.Sus-BPSK/2013)”.

Universitas Sumatera Utara

11

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana faktor yang menyebabkan bentuk perjanjian baku yang melanggar
undang-undang dibatalkan pada putusan Mahkamah Agung (Nomor 368
K/Pdt.Sus-BPSK/2013) ?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian baku yang melanggar
undang-undang berdasarkan putusan Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.SusBPSK/2013) ?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaku usaha yang mengalami kerugian
atas pembatalan perjanjian baku yang melanggar undang-undang pada putusan
Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013) ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang disebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan bentuk perjanjian baku yang
melanggar undang-undang dibatalkan pada putusan Mahkamah Agung (Nomor
368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013).
2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian baku yang
melanggar undang-undang berdasarkan putusan Mahkamah Agung (Nomor 368
K/Pdt.Sus-BPSK/2013).

Universitas Sumatera Utara

12

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pelaku usaha yang mengalami
kerugian atas pembatalan perjanjian baku yang melanggar undang-undang pada
putusan Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013).
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara Teoritis maupun
secara Praktis dibidang hukum perdata, dan perlindungan konsumen.
1.

Secara Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata khususnya perjanjian baku dan
Hukum Kenotariatan.
b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan
andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya
perjanjian baku.

2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sehubungan dengan Perjanjian
Baku.
b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan
hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan
perjanjian baku.

Universitas Sumatera Utara

13

c. Memperbaharui peraturan-peraturan yang menyangkut dengan pelaksanaan
perjanjian baku terhadap adanya pembatalan perjanjian baku yang melanggar
undang-undang bagi pemerintah dan pihak legislatif.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
“Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-undang (Studi Kasus Putusan
MA No.368k/Pdt.Sus-BPSK/2013) belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan
beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini diantara lain :
1. Oki Andriansyah Kurniadi, NIM. 087011090, dengan judul Tinjauan Hukum
Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar
Wanprestasi (Studi PT. Telemedia Network Cakrawala), dengan rumusan
Masalah:
a. Akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian kerjasama pengadaan barang
atas dasar wanprestasi ?
b. Bagaimana wanprestasi perjanjian kerjasama antara PT. TNC dengan PT.
Moratel ?
c. Bagaimana penyelesaian dalam sengketa pengadaan barang ?
2. Siti Ayu Revani, NIM. 107011075, dengan judul Analisis Yuridis Atas
Pembatalan Perjanian Kerjasama Event Organizer dengan Pengguna Jasa (Studi

Universitas Sumatera Utara

14

Pada CV. Bintang Mandiri IN7 Wedding Organizer & Decoration di Medan),
dengan Rumusan Masalah:
a. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan kerjasama CV.
Bintang Mandiri In7 Wedding Organizer & Decoration dengan pengguna jasa
jika terjadi wanprestasi yang dikarenakan oleh salah satu pihak ?
b. Bagaimanakah pentingnya pencantuman klausula force majeure dalam sebuah
perjanjian yang dilakukan oleh CV. Bintang Mandiri In7 Wedding Organizer
& Decoration dengan pengguna jasa ?
c. Bagaimana ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian
dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama yang terjadi antara CV. Bintang
Mandiri In7 Wedding Organizer & Decoration dengan pengguna jasa ?
3. Rio Adrian Sukma, Nim. 097011118, dengan judul Tinjauan Yuridis Perjanjian
Kerjasama dalam Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan
Hotel J.W. Marriot Medan, dengan rumusan masalah:
a. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.
Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ?
b. Bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan
voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan?
c. Bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara
salah satu pihak.
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara

15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam penelitian suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila
pembahasan dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asasasas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan
pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan
yang muncul dalam penelitian hukum.11
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini
adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan
gejala yang diamati.12
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuanpenemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar
penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaanpertanyaan. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari perjanjian
baku yang melanggar undang-undang. Hal ini berarti teori yang digunakan untuk
menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
11

Salim H. S., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Rajawali Pers: Jakarta,2010), hal. 54.

12

J. J. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: UI
Press, 1996), hal. 203.

Universitas Sumatera Utara

16

Pembahasan mengenai perjanjian baku dan akibat hukumnya jika terjadi
pembatalan perjanjian baku yang melanggar undang-undang pada hakekatnya tidak
dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum, dimana adanya
kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa. Teori kepastian hukum mengandung 2
(dua) pengertian yaitu:
a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim
yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan”.13
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak

13

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008), hal. 158.

Universitas Sumatera Utara

17

pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Pemikiran pada umumnya beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan
dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan
berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis,
pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan
oleh Thomas Hobbes bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo
hominilupus)”. Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh
rasionalisme

yang

dikumandangkan

Rene

Descartes

(cogito

ergo

sum),

fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme
kuantitatif yang digemakan oleh FrancisBacon menjadikan sekomponen manusia di
Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap
hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan
ketertiban).14
Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum
yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak
saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan
terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.
Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di
hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi,
tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan
realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi
14

Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu
kepastian-hukum/, diakses tanggal 15 September 2015.

Universitas Sumatera Utara

18

yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat
tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and
order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and
order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan theorder by the law (law
dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan
hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan
hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian
perilaku terhadap hukum secara benar-benar”.15
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang
telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku
pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh
subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan
secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang
menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme. Hukum diciptakan
untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah
kedudukan hukumnya.16
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan
sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu
perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh

15

Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu
kepastian-hukum/, diakses tanggal 15 September 2015.
16
Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu
kepastian-hukum/, diakses tanggal 15 September 2015.

Universitas Sumatera Utara

19

negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian
dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau
menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam
hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum
melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk Undang-undang
memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah Undang-undang bagi para subjek hukum
yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam
memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu
kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar
subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum
adalah perwujudan dari itikad baik.
Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah
peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar
pengutamaan kepastian hukum. Dengan tersedianya pelanggar hukum yang tertulis,
siapapun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya,
bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan yang
ada didalamnya17

17

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
(Bandung: Alumni, 1982), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

20

Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo,
kepastian hukum adalah “Sicherkeit Des Rechts Selbst” (kepastian mengenai hukum
itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang erat kaitannya dengan makna kepastian hukum.18
a. Hukum itu positif, dengan maksud bahwa hukum adalah perundangundangan(gesetzliches Recht).
b. Hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen),bukan pada suatu rumusan
tentang penilaian yang nantinya akan diterapkan oleh hakim, seperti
“kemauan baik” dan ”kesopanan”.
c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga nantinya
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan,di samping itu juga bertujuan
agar mudah dijalankan.
d. Bahwa hukum positifitu tidak boleh sering diubah-ubah atau diganti.
Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo diatas, bahwa
hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), fakta itu harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping
itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.
Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum tersebut bahwa perjanjian baku
tidak memiliki kepastian hukum yang jelas, disebabkan karena peraturan perundangundangan yang belum baku mengenai perjanjian baku di Indonesia sangat sering
menimbulkan permasalahan dan kebingungan dalam masyarakat. Suatu perjanjian
jika kedua belah pihak kurang mengerti dan melangar undang-undangakan
menimbulkan permasalahan jika dilakukan pembatalan perjanjian.
2. Konsepsi
Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat
kepemahaman lain, diluar maksud yang diinginkan. Konsepsional ini merupakan alat

18

Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKI Press, 2006), hal. 102.

Universitas Sumatera Utara

21

yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh
karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu sari halhal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi
mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran
penelitian untuk keperluan analisis.19
Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau
pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi
yang dalam bahasa Latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam
bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk
ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistimologi
atau teori ilmu pengetahuan.20 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa
konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum.21
Di sini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka
konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih
konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat
abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak
sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di

19

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H.
Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 48-49.
20
Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang
menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Ibid dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Ibid
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: UI Press, 1986), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

22

dalam proses penelitian.22 Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang perlu
diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan adanya
hubungan empiris.23
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut :
a. Pembatalan menurut kamus umum bahasa indonesia yaitu berasal dari kata batal,
yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada.
b. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.24
c. Kontrak standar adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak
mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan
secara tertulis.25
d. Perjanjian baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan atau ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen.26
e. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.27
22
23

Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 30.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Cet 3, (Jakarta: Gramedia, 1980),

hal. 21.
24

Subekti, Hukum Perjanjian, Cet 13, (Jakarta: Intermasa, 1991), hal. 1
Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991) hal. 6.
26
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
27
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
25

Universitas Sumatera Utara

23

G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.28
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu penelitian
hukum kepustakaan. Pendekatan normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah
hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam
arti sempit (value), Peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum
normatif berupa asas-asas hukum, system hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan
horisontal.29
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka
yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang
hukum atau bahan rujukan bidang hukum.30

28

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 2008), hal. 42.
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan
Singkat,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 70.
29

30

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

24

b. Sifat Penelitian
Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat
deskriptis analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran
secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisi
dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis
secara cermat untuk menjawab permasalahan31
2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder sebagai data yang
dapat menunjang keberadaan data primer tersebut, adapun kedua data tersebut
meliputi sebagai berikut:
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelahaan
terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau
materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.32 Data sekunder berasal
dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :
1) Bahan Hukum Primer.
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan
utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu: Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2) Bahan Hukum Sekunder.

31

Sunaryati Hartanto, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal. 101.
32
Fajat dan Yulianto, Dualisme Penelitan Hukum. Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

25

Yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil karangan dari kalangan hukum, dan seterusnya.33
3) Bahan Hukum Tertier.
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan seterusnya.34
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara
penelitian

kepustakaan

(library

research).

Dengan

penelitian

kepustakaan,

dikumpulkan data, membaca dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terkait
dengan judul.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman).35
Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang
menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang

33

Ibid.
Ibid.
35
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.
34

Universitas Sumatera Utara

26

terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek
penelitian.36
Bahwa penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data
diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila
dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan
dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari
hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan
menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalildalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik
kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, guna menjawab permasalahanpermasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

36

Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi: Mandar Maju, 2008), hal. 174.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 890K/PDT.SUS/2012 TAHUN 2013 MENGENAI PEMBATALAN MEREK WHITE HORSE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK.

0 0 1

Putusan Mahkamah Agung No. 295K/Pdt.Sus/2013 Tentang Pembatalan Paten Sederhana Dihubungkan Dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

0 1 1

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 582.K/PDT.SUS/2011 TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN KPPU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN HUKUM ACARA PERDATA (HIR).

0 0 1

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 K/Pdt.Sus/HKI(M)/2013 TENTANG PEMBATALAN MEREK DAGANG BABY DIOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK.

0 0 1

Pembatalan Putusan Pengadilan Niaga Oleh Mahkamah Agung Dalam Hal Terjadi Kesalahan Penerapan Hukum Pembuktian (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 45 K/Pdt.Sus/2013).

0 1 14

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

0 0 18

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

1 1 2

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

0 0 47

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

0 0 5