Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

27

BAB II
FAKTOR YANG MENYEBABKAN BENTUK PERJANJIAN BAKU YANG
MELANGGAR UNDANG-UNDANG DIBATALKAN PADA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013)

A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perjanjian
1.

Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kuhperdata. Pasal 1313

KUHPerdata tersebut berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Perjanjian
dipandang sebagai hubungan hukum antar dua pihak yang berjanji atau dianggap
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan
memberikan kesempatan pada pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.37 Dalam
praktek, istilah kontrak atau perjanjian terkadang dipahami secara rancu dan pelaku
bisnis mencampuradukkan istilah itu seolah-olah pengertian yang berbeda.38
Pengertian perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut para

sarjana dipandang kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-kelemahan
dan terlalu luas pengertiannya, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup
juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud
adalah perbuatan melawan hukum.39

37

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Bale Bandung, 1986), hal. 19.

38

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dan Kontrak
Komersial), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 13.
39
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 49.

27

Universitas Sumatera Utara


28

Abdulkadir Muhammad yang berpendapat bahwa “Rumusan pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata masih ada beberapa kelemahan
yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan yang dimaksudkan, antara lain
meliputi:
a. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”,
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada
konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa
konsensus.
b. Dalam pengertian “suatu perbuatan” termasuk juga tindakan
penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan
hukum (onrectitmatighedaad) tidak mengandung suatu konsensus.
Perbuatan yang dimaksud di atas adalah perbuatan yang timbul dari
penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.
c. Pengertian penjanjian terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan Hukum Keluarga.
Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur

dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III
KUHPerdata sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).
d. Tanpa menyebut tujuan.40
Dalam rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian,
sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.41 Berkenaan dengan
pengertian perjanjian yang termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata belum terdapatnya
penjelasan secara detail, ada beberapa pendapat sarjana memberikan definisi tentang
perjanjian. Salah satunya yang dikemukakan oleh Rutten seperti dikutip Purwahid
Patrik. Rutten menyatakan bahwa perjanjian adalah “perbuatan yang terjadi sesuai
dengan formalitas-formalitas dan peraturan hukum yang ada tergantung dari
persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya

40

41

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 134.

Ibid.


Universitas Sumatera Utara

29

akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban lain atau demi
kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik”. 42
Wirjono Prodjodikoro berpendapat “Perjanjian adalah suatu perhubungan
hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu
hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.43 Pendapat lain
mengenai perjanjian juga dikemukakan oleh Subekti yang menyatakan bahwa “Suatu
perjanjan adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.44 Selanjutnya
Abdulkadir Muhammad memberikan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian
sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 45
Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak atau lebih didahului oleh
perbincangan-perbincangan diantara para pihak dan adakalanya mewujudkan suatu
perjanjian atau perikatan, tetapi adakalanya tidak mewujudkan perjanjian atau

perikatan.46
Perjanjian merupakan sendi yang penting dari Hukum Perdata, karena Hukum
Perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji

42

Purwahid Patrik, Azas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang: FH
UNDIP, 1982), hal. 1-3.
43
R. Wiryono Prodjodikoro, Asas -asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2004),
hal. 4.
44
R. Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal. 1.
45
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal. 78.
46
Duma Barrung, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Konsumen Pada Perjanjian
Kredit, makalah pada Dialog Sehari PP-INI dengan Perbanas, (Jakarta: tanggal 29 Mei 2002). hal. 9.

Universitas Sumatera Utara


30

seseorang. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara para pihak yang
membuatnya. Dengan demikian hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian
adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan
di samping sumber lain, yaitu Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1233
Kuhperdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena Undang-Undang”.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Berkenaan dengan syarat sahnya suatu perjanjian ada 4 unsur yang harus
dipenuhi, sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 yang menyatakan
bahwa:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari
Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan
adanya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling mengikatkan diri.
Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Dengan
kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus

bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh
pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. 47
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak
yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masing47

R. Subekti, Op.cit., hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

31

masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan
penipuan.48
Sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu:
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena khilaf atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Sepakat yang dimaksud adalah
sepakat yang harus diberikan secara bebas tanpa paksaan pihak mana pun
kepada para pihak.
Dalam hal ini kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataan kehendak.

Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak atau lebih yang saling
menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu. Inilah yang menjadi perbedaan pokok
antara perjanjian dengan perbuatan hukum sepihak. Pada perbuatan hukum sepihak
pernyataan kehendak hanya berasal dari satu pihak.49
Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa
pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran
(offer) dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh
pihak lain dalam kontrak tersebut.50
Berkenaaan dengan penawaran dan penerimaan yang merupakan salah satu
syarat dalam melakukan perjanjian ada juga diatur di dalam An Act To Ordain And
Institue The Civil Code of The Philippines, Republik Act 386, diatur dalam Pasal 1318
sampai dengan Pasal 1324 yang berbunyi sebagai berikut:
Article 1319:
48

Ridhuan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
1992), hal. 214.
49
Herlin Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
kenotariatan, (Bandung: Citra aditya, 2010), hal. 5-7.

50
Kontrak,
diakses
dari : http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum
perusahaan/kn_508_slide_hukum_kontrak_2.pdf, diakses pada tanggal 04 Maret 2016.

Universitas Sumatera Utara

32

Consent is manifested by the meeting of the offer and the acceptence upon the
thing and the cause which are to constitute the contract. The offer must be
certain and the acceptence absolute. A qualified acceptence constitutes a
counter-offer.
Accptence made by letter or telegram does not bind the offerer execpt from
the time in came to the knowledge. The contract, in such as case, is
presummed to have been entered in to the place where the offer was made.51
Terjemahan penulis:
Pasal 1319
Persetujuan diwujudkan oleh pertemuan dari penawaran dan permintaan atas

masalah dan penyebabnya yang mana akan membentuk kontrak. Penawaran
haruslah yakin dan mutlak diterima. Penawaran yang berkualitas membentuk
penawaran balik.
Persetujuan yang dilakukan melalui surat atau telegram tidak mengikat
penawaran kecuali dari waktu diketahuinya kontrak, dalam kasus seperti itu,
dianggap telah masuk kedalam tempat dimana penawaran itu telah dibuat.
Article 1320:
An acceptance may be express or implied.52
Terjemahan penulis:
Pasal 1320
Sebuah penerimaan dapat dinyatakan secara tersurat maupun tersirat.
Article 1321:
The person making the offer may fix the time, place, and manner of
acceptance, all of which must be complied with.53
Terjemahan penulis:
Pasal 1321
Orang yang membuat penawaran dapat mengatur tempat, waktu, dan cara
penerimaan, yang semuanya harus dipatuhi.
Article 1322
An offer mede throuht an agent is accepted from the time acceptance is

communicated to him.54
Terjemahan penulis:
Pasal 1322

51
Arellano V Busto, An Act To Ordain And Institue The Civil Code of The Philippines,
Republik Act 386, Edition 2003, (Manila: A.V.B. Printing Press, 2011), hal. 225.
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

33

Suatu penawaran yang dibuat melalui sesorang perantara adalah diterima
sejak waktu penerima telah disampaikan kepadanya.
Article 1323
An offer becomes ineffective upon the death, cilvil interdiction, insanitv.or
insolvency of either party before acceptance is conpeyed.55
Terjemahan penulis:
Pasal 1323
Sebuah penawaran menjadi tidak efektif setelah kematian, larangan sipil,
kegilaan, atau kebangkrutan dari salah satu pihak sebelum penerimaan
disampaikan.
Article 1324
When the offerer has allowed the offeree a certain period to accept, the offer
may be withdrawn at any time before acceptance by communicating such
withdrawal, exept when the option is founded upon a consideration, as
something paid or promised.56
Pasal 1324
Saat penawaran telah mengizinkan tawaran jangka waktu tertentu untuk
menerima, penawaran dapat ditarik kembali kapan saja sebelum diterima
dengan mengkomunikasikan penarikan tersebut, kecuali jika opsi tersebut
didasarkan atas pertimbangan sebagai sesuatu yang dibayar atau dijanjikan.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain . Mereka
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.57
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang
dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban,
baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika
55

Ibid.
Ibid.
57
R. Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta: PT Intermasa, 2005), hal. 20.
56

Universitas Sumatera Utara

34

yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus
memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau
badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa
syarat, yaitu:58
1. Syarat materiil (menurut doktrin)
a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya.
b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial)
c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut
d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran
Rumah Tangga.
2. Syarat Formal
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk
mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan
yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya
pengesahan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam
Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
pengesahan Yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang
Yayasan, dimana agar Perseroan Terbatas dan Yayasan dapat berstatus
sebagai badan hukum yang sah, akta pendirian Perseroan Terbatas dan
Yayasan yang telah dibuat oleh Notaris harus mendapat pengesahan dari
Menteri.

58

Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

35

Cakap berarti mampu, dan cakap melakukan perbuatan hukum berarti orang
yang dianggap mampu memikul seperangkat hak dan kewajiban, prinsipnya undangundang telah menganggap setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum, setiap
orang dapat membuat perjanjian.59
Pengecualian terhadap prinsip ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1330
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;
a) Anak yang belum dewasa;
Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut
memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum,
yaitu bahwa:60
1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. Telah berumur 21 tahun; atau
b. Telah menikah;
Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang
sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia
genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum
diwakili oleh:

59

Legal Akses, Orang Yang Tidak Cakap Melakukan Pebuatan Hukum, http:// www legal.
akses.com/orang-yang-tidak-cakap-melakukan-perbuatan-hukum/, Diakses tanggal 03 Maret 2016.
60
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 130.

Universitas Sumatera Utara

36

(a) Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah
kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
(b) Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang
tuanya saja).
b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau
boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan
tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap
bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di
bawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang
tuanya atau pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata).61
Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat
bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan
pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa.
Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya,
maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili
oleh pengampu atau kuratornya.62

61

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian - Perjanjian dalam Hubungan Industrial,
(Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16.
62
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2002), hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

37

c) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang
dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
membuat persetujuan tertentu.
Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi
digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan
hukum tanpa bantuan atau izin suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan
dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat
setelah perkawinan, dan lainlain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang
tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).63
Berkenaaan dengan Yang tak cakap untuk membuat persetujuan dalam
melakukan perjanjian ada juga diatur di dalam An Act To Ordain And Institue The
Civil Code of The Philippines, Republik Act 386, diatur dalam Pasal 1327, Pasal 1328
dan Pasal 1330 yang berbunyi sebagai berikut:
Article 1327
The following cannot give consent to a contract:
(1) Unemancipated minors;
(2) Insane or demented persons, and deaf-mutes who do not know how to
write.64
Terjemahan penulis :
Hal-hal berikut ini tidak dapat memberikan persetujuan pada sebuah
kontrak:
(1) Anak yang dibawah umur
(2) Orang-orang sakit mental atau gila dan tuli-bisu, siapa yang tidak
dapat menulis.

63

SieInfokum-Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id/in
formasihukum/Perjanjian.pdf, diakses pada tanggal 04 Februari 2016.
64
Arellano V Busto, Op.cit., hal. 225.

Universitas Sumatera Utara

38

Mengenai yang tidak dapat menulis disini dapat dijelaskan di dalam Pasal
1332 yang berbunyi:
Article 1332.
When one of the parties is unable to read, or if the contract is in a
language not understood by him, and mistake or fraud is alleged, the
person enforcing the contract must show that the terms thereof have been
fully explained to the former.65
Terjemahan Penulis:
Pasal 1332
Salah satu pihak tidak dapat membaca, atau kontrak itu berada dalam
bahasa yang tidak dapat ia mengerti, dan kesalahan atau penipuan diduga,
orang tersebut menegakkan kontrak harus menunjukkan bahwa ketentuan
tersebut telah dijelaskan kepada yang terdahulu.
Article 1328
Contract entered into during a lucid interval are valid. Contracts agreed
to in a state of drunkenness or during a hypnotic spell are voidable.66
Terjemahan penulis :
Pasal 1328
Kontrak yang dimasukkan selama jeda waktu yang jelas adalah sah.
Kontrak yang disepakati dalam kondisi keadaan mabuk atau selama masa
mantra hipnotis adalah tidak sah.
Article 1330
A contract where consent is given through mistake, violence, intimidation,
undue influence, or fraud is voidable.67
Terjemahan penulis :
Pasal 1330
Suatu kontrak dimana persetujuan diberikan melalui kesalahan, kekerasan,
intimidasi, pengaruh yang tidak semestinya, atau penipuan adalah tidak
sah.
c. Adanya Obyek.
Berkenaan dengan Adanya objek dalam suatu perjanjian sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1332: “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok persetujuan”. Kemudian Pasal 1333 ayat (1) “Suatu persetujuan
65

Ibid., hal. 226.
Ibid.
67
Ibid.
66

Universitas Sumatera Utara

39

harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan
jenisnya”. Dan Pasal 1333 ayat (2) mengatakan bahwa “Jumlah barang itu tidak perlu
pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang
menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya.
Setidak-tidaknya dari keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa
yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.68
d. Adanya kausa yang halal.
Sebab adalah sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian. Di dalam Pasal 1335
KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Selanjutnya pada Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan: “Jika tidak dinyatakan semua
sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada sebab lain yang
tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Penjanjian
itu dibuat harus didasarkan oleh sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, baik
mengenali hak yang melekat pada objek perjanjian maupun tentang perjanjian itu
sendiri.69
Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh
Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada

68

C. S. T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), hal. 194.
69
R. Subekti dan R. Tjipto Sudiro, KUHPerdata, (Jakarta: Padnya Paramita, 2001), hal. 339.

Universitas Sumatera Utara

40

Pasal 1337 Kuhperdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang
tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum.70
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat
tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Sedangkan syarat ketiga dan syarat
keempat disebut syarat obyektif, karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek
perjanjian.71
Tidak terpenuhinya syarat Subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian
menjadi dapat dibatalkan. Maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal apabila
ada yang memohon pembatalan. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif akan
mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula
dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan.72
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para
pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan
obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati
untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan
menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan
kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap
70

Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal. 95.

71

Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hal. 175-177.

72

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

41

unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur
obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak
dapat dipaksakan pelaksanaannya.73
Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan
artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap
mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya
adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan.74
3.

Unsur-unsur Perjanjian
Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat

dibuat secara lisan dan secara tertulis. Dalam hal dibuat secara tertulis, maka
perjanjian ini bersiftat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Menurut
Mariam Daruz Badrulzaman untuk beberapa perjanjian, undang-undang telah

menentukan dengan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi maka
perjanjian itu menjadi tidak sah.75
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:

73

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 93.
Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum,
diakses pada tanggal 04 Februari 2016.
75
Marial Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 137.
Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman- I.
74

Universitas Sumatera Utara

42

a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai
subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang
menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakuka
hubungan hukum.
Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum
tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya
harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai
kepentingan sendiri, ada organisasi;76
b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam
membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan
tawar-menawar diantara mereka;
c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh
pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai
tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling
berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi,
bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;
e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai
dengan ketentuan yang ada;
f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat
tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai
suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat
tertentu.77
Menurut J. Satrio yang menyatakan suatu perjanjian apabila diamati dan
diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
a. Unsur Esentialia
Hal ini berkaitan dengan unsur perjanjian yang selalu harus ada atau unsur
mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.
Contohnya, “Sebab yang halal” merupakan esensialia untuk adanya
perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga barang yang disepakati kedua
76

Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh. blogspot.com/
2012/02/syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, diakses pada tanggal 04 Februari 2016
77
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:
Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 5-6.

Universitas Sumatera Utara

43

belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek
perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan
essensialia dari perjanjian formal. Sama halnya dengan perjanjian sewa
menyewa, unsur-unsur perjanjian tersebut adalah:
1. Memberikan kenikmatan dari sesuatu barang;
2. Jangka waktu sewa;
3. Pembayaran uang sewa;
4. Bentuk tertulis.
Sedangkan unsur essensial dalam seuatu perjanjian sewa menyewa pada
dasarnya meliputi 4 hal, yakni:
1. Sepakat dari para pihak;
2. Objek Sewa;
3. Jangka Waktu;
4. Uang sewa;
b. Unsur Naturalia
Unsur Naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasar sifatnya dianggap ada
tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian dari
perjanjian ini bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama. Disini unsur
tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah
(regelend/aanvullend recht). Contohnya : kewajiban penjual untuk
menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin (vriwaren) yang dapat
disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Ketentuan yang bersifat
mengatur yang merupakan unsur Naturalia dalam perjanjian sewa menyewa
adalah:
1. Jika barang yang disewakan musnah sebagaian, penyewa dapat memilih
meminta pengurangan harga sewa atau pembatalan. Namun, untuk kedua
hal tersebut tidak berhak menuntut ganti rugi.
2. Penyewa dilarang mengubah bentuk bangunan rumah tanpa izin tertulis
pemilik.
3. Penyewa tidak berhak mengoperkan hak sewa/memindahkan hak
penghunian atau mengulang sewakan/menyewakan kembali tanpa izin
dari pemilik.
4. Perjanjian sewa-menyewa tidak berakhir dengan meninggalnya atau
dibubarkannya salah satu pihak.
5. Perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa,
kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian,
penyewa berhak menuntu ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan
tegas.
c. Unsur Accidentalia
Unsur ini berkaitan dengan unsur perjanjian yang ditambahkan para pihak
karena tidak diatur dalam undang-undang. Di dalam suatu perjanjian jual beli,
benda-benda pelengkap tertentu dapat dikecualikan, seperti dalam jual beli

Universitas Sumatera Utara

44

rumah para pihak dapat sepakat untuk tidak meliputi pintu pagar besi yang
ada di halaman rumah.78
Herlien Budiono dalam kaitan di atas mengemukakan bahwa untuk dapat
mengetahui lebih dalam mengenai suatu perjanjian atau bukan perjanjian, sangatlah
diperlukan mengetahui unsur-unsur dari suatu perjanjian tersebut. Unsur-unsur yang
dimaksudkan adalah sebagai berikut :
a. Kata Sepakat dari dua pihak atau lebih;
Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu
pernyataan kehendak beberapa orang. Artinya, perjanjian hanya dapat timbul
dengan kerjasama dari dua orang atau lebih atau perjanjian dibangun oleh
perbuatan beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai
perbuatan hukum berganda. Unsur Pihak disini adalah subyek perjanjian
dimana sedikitnya dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai
wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undangundang. Perjanjian harus dibedakan dengan perbuatan hukum sepihak.
Perbuatan hukum sepihak adalah pernyataan kehendak dari cukup satu orang
saja dan pernyataan ini menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum sepihak
mencakup perbuatan-perbuatan seperti penerimaan suatu warisan, membuat
wasiat, pengakuan anak diluar kawin.
b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak;
Kata sepakat tercapai pihak satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak
lainnya. Kehendak para pihak tersebut tidaklah menimbulkan akibat hukum
apabila kehendak tersebut tidak dinyatakan. Perjanjian terjadi apabila para
pihak saling menyatakan kehendaknya dan adanya kesepakatan diantara para
pihak.
c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;
Tidak semua janji dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum.
Walaupun janji yang dibuat seseorang dapat memunculkan suatu kewajiban
sosial atau kesusilaan, akan tetapi hal itu muncul bukanlah sebagai akibat
hukum. Ada kemungkinan para pihak tidak sadar bahwa janji yang dibuatnya
berakibat hukum. Kesemuanya tergantung pada keadaan dan kebiasaan di
dalam masyarakat. Faktor itulah yang perlu dipertimbangkan terkait suatu
pernyataan kehendak yang muncul sebagai janji yang akan memunculkan
akibat hukum atau sekedar kewajiban sosial dan kemasyarakatan semata.
d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain
atau timbal balik;
78

J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

45

Suatu keinginan para pihak tidak selalu memunculkan akibat hukum. Untuk
terbentuknya suatu perjanjian maka diperlukan adanya unsur akibat hukum
tersebut untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain.
Mengenai akibat hukum suatu perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak
dapat mengikat pihak ketiga, lagi pula tidak dapat membawa kerugian bagi
pihak ketiga.
e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan
Format perjanjian pada umumnya bebas ditentukan oleh para pihak. Namun
demikian undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian diharuskan
dalam format tertentu. Penetapan oleh undang-undang mengenai bentuk
perjanjian yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak
untuk terjadinya perbuatan hukum tersebut.79
4. Macam-Macam Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
perjanjian obligator.80 Perjanjian obligator adalah perjanjian yang mewajibkan
seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.81 Sedangkan perjanjian non
obligator adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan
atau membayar sesuatu.82
Perjanjian obligator terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Perjajian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada
satu pihak. Misalnya perjanjian hibah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah
perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya jual
beli.83
79

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hal. 9.
80
Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hal. 169
81
Ibid.
82
Ibid., hal.171.
83
Herlien Budiono, Op.cit., hal. 54-55.

Universitas Sumatera Utara

46

b. Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian Atas Beban.
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan
suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi
dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga dan
penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian
yang mewajibkan pihak yang satu melakukan prestasi berkaitan langsung dengan
prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain, contoh perjajian atas beban adalah
jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dengan bunga.84
c. Perjanjian konsensuil, Perjanjian Riil dan Formil.
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan
dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa
menyewa.85 Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya
mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan obyek
perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan perjanjian
pinjam pakai.86 Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata
sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu. Sesuai dengan apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Contohnya jaminan fidusia.87
d. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tak Bernama dan Perjanjian Campuran.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam undangundang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus
84
85
86
87

Ibid., hal. 59.
Komariah Op.cit., hal. 171.
Herlien Budiono, Op.cit., hal. 46
Ibid., hal. 47-48

Universitas Sumatera Utara

47

di dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising dan factoring.
Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi
dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost)
yang merupakan campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk
melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju dan membersihkan
kamar).88
Perjanjian non obligator terbagi menjadi:
a. Zakelijk overeenkomst adalah perjajian yang menetapkan suatu hak dari seseorang
kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.89
b. Bevist overeenkomst adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain
dari suatu kewajiban.90
c. Liberatior overeenkomst adalah perjanjian dimana seorang membebaskan pihak
lain dari suatu kewajiban91
d. Vaststelling overeenkomst adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan
mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.92
Berdasarkan pemaparan macam-macam perjanjian yang telah disebutkan di
atas, dikaitakan dengan perjanjian baku, maka akan timbul pertanyaan apakah
perjanjian baku (adhesi) ini dapat dikatakan sebagai “perjanjian” sebagaimana yang
ditentukan oleh KUHPerdata.93

88

Ibid., hal. 35-36
Komariah Op.cit., hal. 171.
90
Ibid.
91
Ibid., hal. 172.
92
Ibid.
93
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standard), Perkembangannya Di Indonesia
(Medan, Universitas Sumatera Utara, 1980), hal. 11. Selanjutnya disebut Mariam Darus BadrulzamanII.
89

Universitas Sumatera Utara

48

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan ada empat syarat sahnya
perjanjian yaitu:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas esensial dari Hukum
Perjanjian. Azas ini dinamakan juga Azas “konsensualisme” yang menentukan
“ada”nya (rasion d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian. Azas “konsensualisme” yang
terdapat di dalam Pasal 1320 Kuhperdata mengandung arti “kemauan” (wil) para
pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan
ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Azas
kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Manusia terhormat
akan memenuhi janjianya, kata Eggens.94
Azas konsensualisme ini mempunyai hubungan erat dengan azas kebebasan
berkontrak (contractvrijheid) dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam
Pasal 1338 al. 1 Kuhperdata. Ketentuan ini berbunyi “semua perstujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. “semua”
mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun
tidak dikenal oleh Undang-undang. Azas kebebasan berkontrak (contractvrijheid)
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan
94

Ibid., hal. 12.

Universitas Sumatera Utara

49

“siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320
jo Pasal 1338 al. 1 KHU Perdata.95
Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” perjanjian baku, maka
secara teoritis jurudis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang
dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 al. 1 Kuhperdata. Perbedaan posisi para pihak ketika
perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk
mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak
mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam
menentukan isi perjanjian. Karena perjanjian baku ini tidak memenuhi elemenelemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 al. 1 Kuhperdata dan akibat hukumnya
tidak ada.96
Beberapa ahli hukum tidak memberikan dukungan terhadap perjanjian baku
ini. Sluijter mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-undang swasta
(legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam
perjanjian itu adalah undang-undang dan bukan perjanjian. Pitlo mengatakannya
sebagai perjanjian paksa (dwang contract).97
Berkenaan dengan perjanjian paksa disini dapat diartikan sebagai berikut:
Duress is illegilimate pressure exerted by one party to force another party to
consent to a contract against that latter party's will. The presence of duress
allows the oppressed party to rescind the contract. There are three kinds of
duress:
a. Duress to the person;
95

Ibid., hal. 13.
Ibid., hal. 13-14.
97
Ibid., hal. 14.
96

Universitas Sumatera Utara

50

b. Duress of goods;
c. Economic duress
terjemahan penulis:
Paksaan adalah tekanan tidak sah yang diberikan oleh salah satu pihak untuk
memaksa pihak lain untuk menyetujui kontrak terhadap kehendak pihak
tersebut. Kehadiran paksaan memungkinkan pihak yang tertindas untuk
membatalkan kontrak. Ada 3 jenis dari paksaan:
a. Paksaan kepada orang
b. Paksaan dari barang
c. Paksaan ekonomi.98
Adapun penjelasan dari ketiga jenis paksaan tersebut sebagai berikut:
1. Duress to the person
Duress to the person involves actual or threatened violence to or actual
or threatened confinement of the person coerced or an associate.
In Barton v Armstrong (1973) 47 ALJR 781, Barton entered into a
contact to sell shares to Armstrong. Barton established, in proceedings to
have the sele set aside, that he entered into the contract because
Armstrong had threatened to kill him. Armstrong argued that this was not
the only reason that Barton sold; he had pressing financial needs.
The court held that once the coerced party proves that there was duress,
there is a right to rescind even if the duress was not the only motivation
for the contract. It need not be the only reason; it is sufficient if it is one
of the reasons for the contract.
As with other voidable contracts, the right to rescind can be lost through
affir-mation or delay. There may also be a right to damages.
2. Duress of goods
Where one party unlawfully seizes or detains, damages or destroys the
goods of another or threatens to do so, there is a duress of goods. There
have been difficulties in this area and the courts have distinguished
between duress of goods and duress of the person. It seems that this
distinction is becoming less important.
3. Economic duress
In recent years the courts have recognised the principle of economic
duress which is conduct aimed at the contractual, proprietary or other
rights of a party, whether actual or by threat, in order to obtain some

98

John Carvan, John Gooley, Eveln McRae, A Guide to Business Law, Twelfth Edition, (Sydney:
LBC Information services, 1997), hal. 189-190.

Universitas Sumatera Utara

51

benefit to which the person is not entitled. The difficulty in this area is the
fine line between ligitimate and illegitimate commercial pressure.99
Terjemahan penulis:
1. Paksaan kepada Orang
Paksaan kepada orang melibatkan kekerasan yang sesungguhnya ataupun
hanya ancaman maupun ancaman kurungan, dari orang yang dipaksa
ataupun terkait.
Dalam Barton v Amstrong (1973) 47 ALJR 781, Barton membuat suatu
kontrak penjualan saham kepada Amstrong. Barton tidak bisa
memungkiri, bahwa dalam proses untuk memiliki sisa penjualan, bahwa ia
membuat kontrak tersebut karena Amstrong telah mengancam untuk
membunuhnya. Amstrong membantah bahwa ini bukanlah satu-satunya
alasan penjualan Barton; dia telah menekan kebutuhan keuangannya.
Pengadilan menyatakan bahwa setelah pihak dipaksa membuktikan bahwa
ada paksaan, maka ada hak untuk membatalkan bahkan jika paksaan itu
bukanlah satu-satunya motivasi dibuatnya kontrak. Hal tersebut tidak
harus menjadi satu-satunya alasan; itu sudah cukup untuk menjadi salah
satu alasan dibuatnya kontraknya.
Seperti dengan kontrak tidak sah lainnya, hak untuk membatalkan dapat
hilang melalui penegasan atau keterlambatan. Dan terdapat juga hak untuk
ganti rugi.
2. Paksaan dari Barang
Dimana satu pihak yang tidak sah merebut atau menahan, merusak atau
menghancurkan barang-barang orang lain atau mengancam untuk
melakukannya, maka itu termasuk suatu paksaan dari barang. Ada
kesulitan-kesulitan dalam area ini dan pengadilan telah membedakan
antara paksaan dari barang dengan paksaan dari orang. Kelihatannya
bahwa perbedaan ini telah dianggap menjadi kurang penting.
3. Paksaan dari Ekonomi
Dalam beberapa tahun terakhir pengadilan telah mengakui prinsip-prinsip
dari paksaan ekonomi yang mana merupakan perilaku yang ditujukan
pada kontrak, hak milik atau hak-hak lainnya dari suatu pihak, apakah
dengan sebenarnya atau dengan ancaman, untuk mendapatkan beberapa
keuntungan dimana orang tersebut tidak berhak mendapatkannya.
Kesulitan dalam area ini adalah adanya garis tipis antara tekanan
komersial yang sah dan tidak sah.
Walaupun secara teoritis juridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan
undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya,
99

Ibid., hal 190.

Universitas Sumatera Utara

52

kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan
hukum.100
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat
bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan (fictie van wi en vertrouwen) yang membangkitkan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur
menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian
tersebut.101
Asser Rutten mengatakan pula bahwa: “setiap orang yang menanda tangani
perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya. Jika ada
orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku, tanda
tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan
menghendaki isi formulir yang ditanda tangani. Tidak mungkin seseorang menanda
tangani apa yang tidak diketahui isinya”.102
Para pakar tidak menyetujui perjanjian baku, sebab:
a. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk
undang-undang swasta (legio particuliere wetgevers), karenanya
perjanjian baku bukan merupakan perjanjian;
b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangkontract);
c. Negara-negara
Common
Law
System
menerapkan
doktrin
unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang
kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai
bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan
keadilan.103
100

Mariam Darus Badrulzaman - II, Op.cit., hal. 14-15.
Ibid., hal. 15.
102
Ibid.
103
Rachmadi Usman, Aspek - Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hal. 265.
101

Universitas Sumatera Utara

53

Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku
sebagai suatu perjanjian, karena:
a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan (fictie van vertouwen) yang membangkitkan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;
b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi
dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan
tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu
membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui
dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya.
c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiaasaan
(gebruik) yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas perdagangan. 104
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian baku
kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Posisi monopoli pihak kreditur
membuka peluang luas baginya untuk menyalah gunakan kedudukannya. Pengusaha
hanya mengatur hak-haknya saja dan tidak kewajibannya. Dari segi lain, perjanjian
baku hanya memuat sejumlah kewajiban-kewajiban yang harus dipikul debitur.105
Ketidak seimbangan dari para pihak dalam membuat perjanjian dapat memunculkan
adanya klausul eksonerasi atau klausul pembebasan (dari tanggung jawab) yang
tertera di dalam perjanjian baku tersebut.106
Bagi Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausula
eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan satusatunya baru ditemukan dalam UU Perlindungan Konsumen, walaupun di situ

104

Ibid., hal. 256.
Mariam Darus Badrulzaman- II. Op.cit., hal. 23.
106
Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 149.
105

Universitas Sumatera Utara

54

digunakan istilah “klausula eksonerasi” Dalam berbagai negara pertumbuhan dan
perkembangan perjanjian baku ini didukung oleh yurisprudensi.107
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ternyata apa yang dimaksud dengan perjanjian baku tidak didifinisikan,
karena Undang-Undang tersebut hanya memberikan perumusan tentang klusula baku.
Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa: “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, setidak-tidaknya dapat ditemukan 2 (dua) larangan yang diberlakukan
bagi pelaku usaha (bank) yang membuat perjanjian baku. Pasal 18 ayat (1)
menentukan bahwa:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana klausula baku tersebut akan
mengakibatkan:
a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa`pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;

107

Made Suryana dan Rina Suwasti, Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Perjanjian Baku,
GaneÇ Swara.Vol. 3 No.2 September 2009, hal 22.

Universitas Sumatera Utara

55

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lan jutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memnafaatkan jasa
yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jamina

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 890K/PDT.SUS/2012 TAHUN 2013 MENGENAI PEMBATALAN MEREK WHITE HORSE DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK.

0 0 1

Putusan Mahkamah Agung No. 295K/Pdt.Sus/2013 Tentang Pembatalan Paten Sederhana Dihubungkan Dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

0 1 1

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 582.K/PDT.SUS/2011 TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN KPPU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN HUKUM ACARA PERDATA (HIR).

0 0 1

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 K/Pdt.Sus/HKI(M)/2013 TENTANG PEMBATALAN MEREK DAGANG BABY DIOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK.

0 0 1

Pembatalan Putusan Pengadilan Niaga Oleh Mahkamah Agung Dalam Hal Terjadi Kesalahan Penerapan Hukum Pembuktian (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 45 K/Pdt.Sus/2013).

0 1 14

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

0 0 18

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

1 1 2

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

1 1 26

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

0 0 5