STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 582.K/PDT.SUS/2011 TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN KPPU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN HUKUM ACARA PERDATA (HIR).
iv
ABSTRAK
STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
582.K/PDT.SUS/2011 TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN KPPU DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN
HUKUM ACARA PERDATA (HIR)
YOGI SAPUTRA
110110110404
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum
dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif. Terkait penegakkan hukum
persaingan usaha di Indonesia maka dibentuklah KPPU. Selain KPPU, Pengadilan Negeri diberi
wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU, sedangkan Mahkamah Agung
diberi kewenangan menangani pelanggaran hukum persaingan apabila terjadi kasasi terhadap
putusan Pengadilan Negeri. Salah satu kasus yang ditangani KPPU adalah dugaan pelanggaran
Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 dalam industri minyak goreng, kasus tersebut
bermuara pada putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan KPPU. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung mengenai bukti tidak langsung (indirect evidence)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, serta upaya hukum apa yang seharusnya
dilakukan KPPU setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dihubungkan dengan UU No. 5
tahun 1999 dan Hukum Acara Perdata (HIR).
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu dengan menggambarkan,
memaparkan dan menganalisis kasus yang termuat putusan Pengadilan Negeri Nomor
03/KPPU/2010/PN.JKT.PST dan putusan Mahkamah Agung Nomor 582 K/Pdt.Sus/2011
kemudian dianalisis dengan menggunakan UU No. 5 tahun 1999 dan Hukum Acara Perdata
(HIR), teori hukum dan asas dalam hukum persaingan usaha.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum Majelis
Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung berkaitan dengan penggunaan bukti tidak
langsung (indirect evidence) dinilai tidak tepat karena indirect evidence dapat digolongkan
sebagai alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 42 huruf d UU No. 5 tahun 1999.
Selanjutnya, upaya hukum yang seharusnya dilakukan oleh KPPU adalah Peninjauan Kembali
karena putusan Mahkamah Agung tersebut terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata. Meskipun UU No. 5 tahun 1999 sebagai lex specialis tidak mengatur upaya hukum
Peninjauan Kembali, akan tetapi Hukum Acara Perdata sebagai lex generali mengatur upaya
hukum tersebut sehingga dapat diberlakukan. Akan tetapi alasan pengajuan Peninjauan Kembali
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 huruf f UU Mahkamah Agung dibatasi tenggang waktu 180
hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap yang menutup peluang diajukannya upaya
hukum Peninjauan Kembali oleh KPPU.
ABSTRAK
STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
582.K/PDT.SUS/2011 TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN KPPU DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN
HUKUM ACARA PERDATA (HIR)
YOGI SAPUTRA
110110110404
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum
dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif. Terkait penegakkan hukum
persaingan usaha di Indonesia maka dibentuklah KPPU. Selain KPPU, Pengadilan Negeri diberi
wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU, sedangkan Mahkamah Agung
diberi kewenangan menangani pelanggaran hukum persaingan apabila terjadi kasasi terhadap
putusan Pengadilan Negeri. Salah satu kasus yang ditangani KPPU adalah dugaan pelanggaran
Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 dalam industri minyak goreng, kasus tersebut
bermuara pada putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan KPPU. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung mengenai bukti tidak langsung (indirect evidence)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, serta upaya hukum apa yang seharusnya
dilakukan KPPU setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dihubungkan dengan UU No. 5
tahun 1999 dan Hukum Acara Perdata (HIR).
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu dengan menggambarkan,
memaparkan dan menganalisis kasus yang termuat putusan Pengadilan Negeri Nomor
03/KPPU/2010/PN.JKT.PST dan putusan Mahkamah Agung Nomor 582 K/Pdt.Sus/2011
kemudian dianalisis dengan menggunakan UU No. 5 tahun 1999 dan Hukum Acara Perdata
(HIR), teori hukum dan asas dalam hukum persaingan usaha.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum Majelis
Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung berkaitan dengan penggunaan bukti tidak
langsung (indirect evidence) dinilai tidak tepat karena indirect evidence dapat digolongkan
sebagai alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 42 huruf d UU No. 5 tahun 1999.
Selanjutnya, upaya hukum yang seharusnya dilakukan oleh KPPU adalah Peninjauan Kembali
karena putusan Mahkamah Agung tersebut terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata. Meskipun UU No. 5 tahun 1999 sebagai lex specialis tidak mengatur upaya hukum
Peninjauan Kembali, akan tetapi Hukum Acara Perdata sebagai lex generali mengatur upaya
hukum tersebut sehingga dapat diberlakukan. Akan tetapi alasan pengajuan Peninjauan Kembali
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 huruf f UU Mahkamah Agung dibatasi tenggang waktu 180
hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap yang menutup peluang diajukannya upaya
hukum Peninjauan Kembali oleh KPPU.