Bentuk Fisik Ransum Terhadap Performans dan Efisiensi Ransum Pada Ayam Broiler Chapter III V

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Program Studi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian ± 25
m diatas permukaan laut. Penelitian tahap 1 berlangsung dari tanggal 21 Oktober 2011
sampai tanggal 25 Nopember 2011 dan penelitian tahap 2 berlangsung dari tanggal
26 Nopember 2011 sampai tanggal 30 Nopember 2011.

Penelitian Tahap 1 Performans Ayam Broiler
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah DOC ayam broiler strain New
Lohmann (MB 202) sebanyak 165 ekor dan ransum yang digunakan adalah ransum
komersil yang diproduksi PT. Indojaya Agrinusa ( Group PT. Japfa Comfeed Indonesia,
Tbk) yaitu ransum komersil dengan merk dagang BR I dan BR II. Dimana ransum BR 1
bentuk Tepung , Fine Crumble dan Crumble diberikan pada pemeliharaan masa Starter
umur 0-21 hari sedangkan BR II bentuk coarse crumble, pellet diberikan pada
pemeliharaan masa finisher umur 22-35 hari. Selama penelitian juga dibutuhkan air minum,
obat-obatan (Consumix Plus), vaksin, vitamin (Perfexsol), Biocid dan kapur.
Alat

Peralatan yang digunakan selama dalam penelitian dalam masa periode
pemeliharaan adalah plot kandang ukuran 1 x 1 meter sebanyak 33 unit, tempat ransum
dan minuman masing-masing 1 buah per plot kandang sehingga total nya 33 buah, lampu
pijar 40 Watt untuk penerangan dan pemanas kandang, sapu lidi alat pembersih kandang,
alat tulis, handsprayer serta thermometer.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 11 perlakuan dan 3 ulangan sehingga diperoleh 33 susunan perlakuan dengan
masing-masing ulangan terdiri dari 5 ekor ayam sehingga diperoleh jumah ternak yang
diteliti adalah 165 ekor. Jenis perlakuan yang diberikan terhadap ransum ayam broiler
adalah:

Universitas Sumatera Utara

a) P0 = Perlakuaan sebagai kontrol, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-10 hari
* Ransum BR I berbentuk Crumble diberikan pada umur 11-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Pellet diberikan pada umur 22-35 hari
b) P1 = Perlakuaan pertama, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-21 hari

* Ransum BR II berbentuk Coarse Crumble diberikan pada umur 22-35 hari
c) P2 = Perlakuaan ke dua, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Pellet diberikan pada umur 22-35 hari
d) P3 = Perlakuaan ke tiga, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-10 hari
* Ransum BR I berbentuk Fine Crumble diberikan pada umur 11-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Coarse Crumble diberikan pada umur 22-35 hari
e) P4 = Perlakuaan ke empat, terdiri dari

:

* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-10 hari
* Ransum BR I berbentuk Fine Crumble diberikan pada umur 11-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Pellet diberikan pada umur 22-35 hari
f) P5 = Perlakuaan ke lima, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-7 hari
* Ransum BR I berbentuk Fine Crumble diberikan pada umur 8-14 hari
* Ransum BR I berbentuk Crumble diberikan pada umur 15-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Coarse Crumble diberikan pada umur 22-35 hari

g) P6 = Perlakuaan ke enam, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Tepung diberikan pada umur 0-7 hari
* Ransum BR I berbentuk Fine Crumble diberikan pada umur 8-14 hari
* Ransum BR I berbentuk Crumble diberikan pada umur 15-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Pellet diberikan pada umur 22-35 hari
h) P7 = Perlakuaan ke tujuh, terdiri dari :
* Ransum BR I berbentuk Fine Crumble diberikan pada umur 0-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Coarse Crumble diberikan pada umur 22-35 hari
h) P8 = Perlakuaan ke delapan , terdiri dari

:

* Ransum BR I berbentuk Fine Crumble diberikan pada umur 0-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Pellet diberikan pada umur 22-35 hari

Universitas Sumatera Utara

h) P9 = Perlakuaan ke sembilan , terdiri dari

:


* Ransum BR I berbentuk Crumble diberikan pada umur 0-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Coarse Crumble diberikan pada umur 22-35 hari
i) P10 = Perlakuaan ke sepuluh , terdiri dari

:

* Ransum BR I berbentuk Crumble diberikan pada umur 0-21 hari
* Ransum BR II berbentuk Pellet diberikan pada umur 22-35 hari

Metode linear yang digunakan menurut Hanafiah (2003) adalah :
Yij = μ + σi ± Σij
Dimana :
Yi = nilai pengamatan yang diperoleh dari satuan percobaan dari perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
i = 1,2,3..........(perlakuan)
j = 1,2,3..........(ulangan)
μ = rataan / nilai tengah
σi = efek dari perlakuan ke–i
Σij =efek error dari percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Peubah Penelitian
Konsumsi Ransum (g/ekor/minggu)
Konsumsi ransum dihitung dengan cara menghitung selisih ransun yang diberikan dengan
sisa ransum. Konsumsi ransum dihitung per minggu.
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/minggu)
Pertambahan bobot badan dihitung setiap minggu dengan menggunakan rumus yang
menurut Rasyaf (1994) sebagai berikut :
PBB = BB t – BB t-1
Keterangan :
PBB

= Pertambahan Berat Badan.

BBt

= Bobot Badan pada waktu – t (bobot badan akhir).

BBt-1 = Bobot badan pada waktu yang lalu (bobot badan awal).
t


= Waktu satu minggu.

Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung dengan membandingkan jumlah ransum yang dikonsumsi
dengan pertambahan bobot badan yang dicapai dalam waktu satu minggu.

Universitas Sumatera Utara

Ransum Terbuang (g)
Ransum terbuang adalah sisa ransum yang diluar tempat ransum yang tidak bisa
dikonsumsi lagi oleh ayam broiler, yang dikumpulkan setiap harinya lalu ditimbang.
Income Over Feed Cost (IOFC)
Efisiensi penggunaan ransum dari segi perhitungan ekonomisnya dapat dilihat dari
kategori Income Over Feed Cost nya. Income Over Feed Cost (IOFC) merupakan
pendapatan kotor yang dihitung dari jumlah pendapatan hasil penjualan ayam hidup
dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan selama pemeliharaan. Perhitungan IOFC
untuk ayam pedaging adalah sebagai berikut :
(BB x harga ayam/kg hidup) – (Σ konsumsi pakan (kg) x harga pakan/kg
Pelaksanaan Penelitian
Dilakukan untuk mendapatkan parameter performans ternak ayam broiler

(konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum) dan efisiensiensi
penggunaan ransum

berdasarkan ransum terbuang dan IOFC (income over feed cost),

meliputi :
Persiapan Penelitian
Sebelum kandang dan peralatan kandang dipergunakan terlebih dahulu disemprot
atau disucihamakan dengan desinfektan yaitu rodalon. Kemudian kandang dan peralatan
kandang tersebut diistrahatkan selama satu minggu.
Pengacakan DOC
DOC terlebih dahulu diacak sebelum dimasukkan kedalam setiap plot kandang dengan
tujuan untuk memperkecil nilai keragaman.
Pemeliharaan
Setelah sampai di kandang, DOC diberikan anti stres melalui air minum agar dapat
dicegah kemungkinan terjadinya stres. DOC ditimbang terlebih dahulu agar diperoleh
bobot badan awal. Selanjutnya penimbangan pertambahan bobot badan dilakukan sekali
seminggu sedangkan pengumpulan sisa konsumsi ransum dilakukan setiap hari dan
penimbangannya dilakukan setiap minggu. Pada minggu pertama diberikan lampu 40 Watt
pada setiap plot kandang yang berfungsi sebagai pemanas sekaligus penerang kandang

yang lama penggunaannya 24 jam per hari. Setelah umur anak ayam lebih dari satu
minggu, lampu digunakan pada malam hari saja yang berfungsi sebagai penerang kandang.
Ransum dan air minum diberikan secara ad-libitum. Air minum diganti pada pagi dan sore
hari. Ayam divaksin dengan vaksin ND pada umur 4 hari melalui tetes mata dan diberikan

Universitas Sumatera Utara

vitamin (Perfexsol) untuk mencegah stres saat cuaca kurang baik. Ransum diberikan secara
ad-libitum, dihitung konsumsi harian dan mingguan. Setiap minggu dilakukan
penimbangan bobot badan ayam untuk mendapatkan pertambahan bobot badan mingguan
dan dihitung konversi ransum mingguan. Setelah penelitian tahap-1 selesai maka dihitung
income over feed cost (IOFC) selama penelitian tahap ke – 1 dan dikumpulkan ransum
terbuang setiap harinya, ditimbang dan dihitung.

Penelitian Tahap 2 Efisiensi Penggunaan Ransum
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler strain New
Lohmann (MB 202) umur 35 hari sebanyak 18 ekor dan larutan H₂SO₄ sebanyak 1 liter
Alat

Peralatan yang digunakan selama dalam penelitian adalah kandang individual
ukuran

30 cm x 40 cm sebanyak 18 plot, tempat minuman masing masing 1 buah per

kandang individu, handsprayer, alat tulis.
Rancangan Penelitian
Adapun rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan sehingga diperoleh 15 susunan perlakuan dengan
masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor ayam sehingga diperoleh jumah ternak yang
diteliti adalah 15 ekor.
Peubah Penelitian
Nilai Energi Metabolisme
Pengukuran nilai Energi Metabolis mengacu kepada persamaan yang dikemukakan
Sibbald and Wolynetz (1985) yang persamannya sebagai berikut:

EMMn (kkal/kg) =

{(EB x X) - {(Ebe x Y) - (Ebk x Z) + (8.22RN)}
X


Keterangan :
EMMn :

Energi metabolis ransum yang terkoreksi nitrogen (kkal/kg)

EB

:

Energi bruto ransum (kkal/kg)

Ebe

:

Energi bruto ekskreta (kkal/kg)

Ebk


:

Energi bruto endogenus (kkal/kg)

Universitas Sumatera Utara

X

:

Banyaknya ransum yang dikonsumsi (gram)

Y

:

Berat ekskreta ayam yang diberi ransum (gram)

Z

:

Berat ekskreta ayam yang dipuasakan (gram)

RN

:

Retensi nitrogen (gram)

8,22

:

Konstanta nilai energi nitrogen yang diretensi

Retensi Nitrogen
Nilai retensi nitrogen mengacu juga kepada persamaan Sibbald and Wolynetz (1985)
dengan rumus sebagai berikut :

RN = KN – (EN - ENN )
KN
Keterangan :
RN

:

Retensi nitrogen (%)

KN

:

Konsumsi nitrogen (gram)

EN

:

Nitrogen ekskreta (gram / ekor)

ENN

:

Nitrogen endogenus (gram / ekor)

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahap ke – 1 dengan tujuan untuk
mendapatkan parameter energi metabolisme dan retensi nitrogen meliputi :
Persiapan Penelitian
Sebelum penelitian tahap ke - 2 dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan kandang individual
untuk mempermudah koleksi ekskreta ayam selama penelitian.
Pengacakan Ayam
Ayam terlebih dahulu diacak sebelum dimasukkan kedalam setiap plot kandang dengan
tujuan untuk memperkecil nilai keragaman.
Pemeliharaan
Perlakuan selama penelitian tahap ke – 2 adalah :
R1 = ayam diberi ransum broiler starter (BR1) bentuk tepung
R2 = ayam diberi ransum broiler starter (BR1) bentuk fine crumble
R3 = ayam diberi ransum broiler starter (BR1) bentuk crumble
T4 = ayam diberi ransum broiler finisher (BR2) bentuk coarse crumble
T5 = ayam diberi ransum broiler finisher (BR2) bentuk pellet

Universitas Sumatera Utara

Hari pertama ayam diberi ransum dan air minum seperti biasa sesuai perlakuan untuk
adaptasi selanjutnya hari kedua ayam dipuasakan selama satu hari (24 jam) pada hari ketiga
ayam perlakuan kontrol (R0) diambil ekskreta nya sedangkan ayam pada perlakuan R1, R2,
R3, T4, T5 diberi ransum sebanyak 120 gram / hari (ransum langsung habis dikonsumsi)
selama 3 hari.
Fases ayam pada perlakuan R1, R2, R3, T4, T5 di spray dengan larutan H 2 SO 4 0,01
M setiap 2 jam sekali. Ayam pada perlakuan R1, R2, R3, T4, T5 setiap pagi hari selama 3
hari dilakukan koleksi ekskreta.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tahap 1 : Performans Ayam Broiler
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah kemampuan ternak untuk menghabiskan sejumlah ransum
yang diberikan. Dari hasil penelitian diperoleh rataan konsumsi ransum ayam broiler yang
diberi perlakuan bentuk fisik ransum, dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Rataan konsumsi ransum ayam broiler umur 0-35 hari (g/ekor/minggu)
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10

Fase starter
(umur 0-21 hari)
397.94
397.04
386.68
383.79
374.93
378.74
396.59
403.59
428.95
404.53
398.93

± 18.16tn
± 19.75tn
± 11.10tn
± 8.67tn
± 14.19tn
± 15.53tn
± 6.71 tn
± 8.73tn
± 61.31tn
± 9.40 tn
± 9.87tn

Fase finisher
(umur 22-35 hari)
916.36
952.77
932.75
904.16
921.28
917.79
926.42
962.12
966.70
927.12
923.71

Fase total
(umur 0-35 hari)

± 9.90DE
± 18.14ABCD
± 20.11ABCDE
± 40.53E
± 17.52CDE
± 34.90CDE
± 8.66BCDE
± 15.71AB
± 12.87A
± 8.22BCDE
± 4.26BCDE

605.31 ± 14.62b
619.33 ± 9.40ab
605.11 ± 9.05b
591.94 ± 20.79b
593.47 ± 15.51b
594.36 ± 22.42b
620.52 ± 6.66ab
627.00 ± 10.89ab
644.05 ± 40.85a
613.56 ± 8.50ab
608.84 ± 7.57ab

Keterangan : Superskrip kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P≤0,05) dan superskrip besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P≤0,01)
tn = tidak berbeda nyata (P≥0,05)

Rataan konsumsi ransum ayam broiler pada fase starter yang tertinggi terdapat pada
perlakuan P8 yaitu 428.95 g/ekor/minggu dan terendah terdapat pada perlakuan P4 yaitu
374.93 g/ekor/minggu. Jika dibandingkan dengan rataan konsumsi ransum pada perlakuan
P0 sebagai kontrol adalah 397.94 g/ekor/minggu maka perlakuan P8 lebih tinggi rataan
konsumsi ransumnya. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan
bentuk fisik ransum memberikan pengaruh berbeda tidak nyata
≥0,05) (Pterhadap
konsumsi ransum ayam broiler fase starter.
Rataan konsumsi ransum ayam broiler pada fase finisher yang tertinggi terdapat
pada perlakuan P8 yaitu 966.70 g/ekor/minggu dan terendah terdapat pada perlakuan P3
yaitu 904.16 g/ekor/minggu. Jika dibandingkan dengan rataan konsumsi ransum pada
perlakuan P0 sebagai kontrol adalah 916.36 g/ekor/minggu maka perlakuan P8 lebih tinggi
rataan konsumsi ransumnya. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa

Universitas Sumatera Utara

perlakuan bentuk fisik ransum memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P≤0,01)
terhadap konsumsi ransum ayam broiler fase finisher. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Brickett et al. (2007) yang menyatakan bahwa ada interaksi sangat nyata
antara densiti dan bentuk pakan terhadap konsumsi ransum khususnya di fase grower dan
finisher.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum

terhadap konsumsi ransum ayam broiler fase finisher maka dilakukan Uji Duncan.
Sehingga diketahui bahwa perlakuan P7 dan P8 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P0
dan P3. Perlakuan P7 dan P8 hanya memakai satu bentuk fisik ransum dimana di fase
staternya menggunakan satu bentuk fisik ransum sedangkan diperlakuan P0 dan P3
menggunakan dua bentuk fisik ransum sehingga dengan pemberian bentuk fisik ransum
yang banyak jenisnya bisa menyebabkan penurunan konsumsi ransum di fase berikutnya.
Hal ini sesuai dengan Kartasudjana dan Suprijatna (2006) yang menyatakan bahwa
penggantian fisik ransum starter dengan ransum finisher sebaiknya tidak dilakukan
sekaligus dan tidak menggunakan fisik ransum yang banyak dan besar karena bisa
mengakibatkan nafsu makan ayam menurun untuk beberapa hari dan dikhawatirkan akan
menghambat pertumbuhan.
Rataan konsumsi ransum ayam broiler umur 0-35 hari yang tertinggi terdapat pada
perlakuan P8 yaitu 644.05 g/ekor/minggu dan terendah terdapat pada perlakuan P3 yaitu
591.94 g/ekor/minggu. Jika dibandingkan dengan rataan konsumsi ransum pada perlakuan
P0 sebagai kontrol adalah 605.31 gr/ekor/minggu maka perlakuan P8 lebih tinggi rataan
konsumsi ransumnya. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan
bentuk fisik ransum memberikan pengaruh berbeda nyata (P≤0.05) terhadap konsumsi
ayam broiler umur 0-35 hari. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1985)
yang menyatakan bahwa bentuk fisik pakan berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan
ayam broiler. Konsumsi pakan bentuk crumble dan pellet berbeda nyata (P≤0,05) lebih
besar dibandingkan dengan bentuk mash. Ini menunjukkan bahwa ayam broiler lebih
menyukai pakan bentuk crumble dan pellet dibandingkan mash/tepung. Lebih lanjut
menurut CPI (2006) bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan diantaranya
keadaan lingkungan, kondisi unggas serta kondisi pakan. Salah satu kondisi pakan
diantaranya ukuran partikel size pakan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
performans unggas ayam dan efisiensi dari penggunaan suatu pakan.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum

terhadap konsumsi ransum ayam broiler umur 0-35 hari maka dilakukan Uji Duncan.
Sehingga diketahui bahwa perlakuan P8 berbeda nyata dengan perlakuan P0, P2, P3, P4,
P5. Jika dilihat dari rataan konsumsi ransum pada perlakuan P8 menunjukkan
kecenderungan bahwa tingkat konsumsi ransum yang baik diperoleh dengan tidak
menggunakan bentuk fisik ransum yang terlalu banyak dalam satu periode pemeliharaan,
dimana perlakuan P8 menggunakan bentuk fisik ransum dua jenis saja selama
pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan Kartasudjana dan Suprijatna (2006) yang menyatakan
bahwa penggantian fisik ransum starter dengan ransum finisher sebaiknya tidak dilakukan
sekaligus dan tidak menggunakan fisik ransum yang banyak dan besar karena bisa
mengakibatkan nafsu makan ayam menurun untuk beberapa hari dan dikhawatirkan akan
menghambat pertumbuhan. Jika dilihat dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa bentuk
kombinasi fisik ransum mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler dimana rataan
konsumsi ransum yang tertinggi ketika di fase starter menggunakan ransum bentuk fisik
fine crumble dan di fase finisher menggunakan ransum bentuk fisik pellet.
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan ternak unggas diukur dengan pertambahan bobot badannya.
Pertambahan bobot badan dapat dihitung setiap minggunya yaitu selisih bobot badan akhir
dengan bobot badan awal. Dari hasil penelitian diperoleh rataan pertambahan bobot badan
ayam broiler yang diberi perlakuan bentuk fisik ransum, dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 0-35 hari (g/ekor/minggu)
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10

Fase starter
(Umur 0-21 hari)
326.36
272.82
252.82
314.46
316.10
315.50
339.87
342.25
342.65
330.10
330.56

± 4.86A
± 13.89B
± 29.75B
± 18.42A
± 9.12A
± 11.63A
± 7.63A
± 20.78A
± 12.45A
± 11.96A
± 14.27A

Fase finisher
(Umur 22-35 hari)
459.12
575.60
552.94
482.96
507.36
460.68
514.89
523.33
545.78
486.27
455.87

± 60.40c
± 97.12a
± 23.74a
± 28.07bc
± 21.88bc
± 9.70c
± 45.70bc
± 28.96ab
± 39.76ab
± 22.19bc
± 10.40c

Fase total
(Umur 0-35 hari)
379.46
393.93
372.87
381.86
392.60
373.57
409.88
414.68
423.90
392.56
380.68

± 22.68bc
± 31.41bc
± 13.15c
± 18.69bc
± 14.19bc
± 10.86c
± 19.63bc
± 23.66ab
± 23.31a
± 16.04bc
± 12.12bc

Keterangan : Superskrip kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P≤0,05) dan superskrip besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P≤0,01)

Universitas Sumatera Utara

Rataan pertambahan bobot badan ayam broiler pada fase starter yang tertinggi
terdapat pada perlakuan P8 yaitu 342.65 g/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada
perlakuan P2 yaitu 252.82 g/ekor/minggu. Jika dibandingkan dengan rataan pertambahan
bobot badan pada perlakuan P0 sebagai kontrol adalah 326.36 g/ekor/minggu maka
perlakuan P8 lebih tinggi rataan pertambahan bobot badannya. Berdasarkan hasil sidik
ragam dapat diketahui bahwa perlakuan bentuk fisik ransum memberikan pengaruh
berbeda sangat nyata (P≤0,01) terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler fase
starter.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum

terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler fase starter maka dilakukan Uji Duncan.
Sehingga diketahui bahwa perlakuan P0, P3, P4, P5, P6, P7, P8, P9, P10 sangat berbeda
nyata dengan perlakuan P1 dan P2. Jika dibandingkan perbedaaan antara perlakuan P1 dan
P2 dengan perlakuan P0, P3, P4, P5, P6, P7, P8, P9, P10 dimana perlakuan P1 dan P2 pada
fase starter umur

0-21 hari menggunakan ransum bentuk tepung. Jika diamati ada

kecenderungan menurun feed intake ransum bentuk tepung sehingga kurang optimal dalam
medukung pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan Ichwan (2005) yang
menyatakan bahwa bentuk pakan tepung kurang diminati ayam pedaging, sehingga
bobot akhir pada umur yang sama akan lebih ringan dibandingkan bentuk crumble.
Rataan pertambahan bobot badan pada fase finisher yang tertinggi terdapat pada
perlakuan P1 yaitu 575.60 g/ekor/minggu dan yang terendah terdapat pada perlakuan P10
yaitu 455.87 g/ekor/mnggu. Jika dibandingkan dengan rataan pertambahan bobot badan
pada perlakuan P0 sebagai kontrol adalah 459.60 g/ekor/minggu maka perlakuan P1, P2,
P8 lebih tinggi rataan pertambahan bobot badannya. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat
diketahui bahwa perlakuan bentuk fisik ransum memberikan pengaruh berbeda nyata
(P ≤0,05) terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler fase finisher.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum

terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler fase finisher maka dilakukan Uji Duncan.
Sehingga diketahui bahwa perlakuan P1, P2, P7, P8 berbeda nyata dengan perlakuan P0,
P3, P4, P5, P6, P9, P10. Perlakuan P1, P2, P7, P8 saat fase starter hanya menggunakan satu
jenis bentuk fisik ransum di fase starter sedangkan perlakuan P0, P3, P4, P5, P6, P9, P10
menggunakan 2-3 jenis bentuk fisik ransum, sehingga dengan demikian pengaruh
pemberian beberapa jenis atau banyak jenis bentuk fisik ransum akan mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

pertambahan bobot badan ayam. Hal ini sesuai dengan Kartasudjana dan Suprijatna (2006)
yang menyatakan bahwa penggantian fisik ransum starter dengan ransum finisher
sebaiknya tidak dilakukan sekaligus dan tidak menggunakan fisik ransum yang banyak dan
besar karena bisa mengakibatkan nafsu makan ayam menurun untuk beberapa hari dan
dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan. Lebih lanjut menurut Brickett et.all (2007)
bahwa penyerapan density nutrisi ransum sangat dipengaruhi oleh bentuk ransum untuk
mencapai banyak parameter dari performans. Ada interaksi sangat nyata antara densiti dan
bentuk ransum terhadap pertambahan bobot badan khususnya di fase grower dan finisher.
Rataan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 0-35 hari yang tertinggi
terdapat pada perlakuan P8 yaitu 423.90 g/ekor/minggu dan terendah terdapat pada
perlakuan P3 yaitu 372.87 g/ekor/minggu. Jika dibandingkan dengan rataan pertambahan
bobot badan pada perlakuan P0 sebagai kontrol adalah 379.46 g/ekor/minggu maka
perlakuan P8 lebih tinggi rataan pertambahan bobot badannya. Berdasarkan hasil sidik
ragam dapat diketahui bahwa perlakuan bentuk fisik ransum memberikan pengaruh
berbeda nyata (P≤0.05) terhadap konsumsi ayam broiler umur 0-35 hari.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum

terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler umur 0-35 hari maka dilakukan Uji
Duncan. Sehingga diketahui bahwa perlakuan P7,P8 berbeda nyata dengan perlakuan P0,
P1, P2, P3, P4, P5, P6, P9, P10. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2008) bahwa
bentuk ransum semi crumble dan pellet akan lebih efisien dalam menghasilkan berat badan
jika dibandingkan dengan ransum dalam bentuk tepung. Lebih lanjut menurut Amrumlah
(2004) bahwa keuntungan dari pemberian ransum bentuk crumble dan pellet dapat
meningkatkan penampilan bobot badan ayam, juga lebih lanjut menurut Brickett et.al
(2007) bahwa bobot badan lebih tinggi jika memakai ransum bentuk crumble dan pellet
ataupun kombinasi crumble dan pellet.
Jika dilihat dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa bentuk kombinasi fisik
ransum mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam broiler dimana rataan pertambahan
bobot badan yang tertinggi ketika di fase starter menggunakan ransum bentuk fisik fine
crumble dan di fase finisher menggunakan ransum bentuk fisik pellet.
Konversi Ransum
Konversi ransum dapat dihitung dengan membandingkan jumlah ransum yang
dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dicapai dalam waktu satu minggu. Dari

Universitas Sumatera Utara

hasil penelitian diperoleh rataan konversi ransum ayam broiler yang diberi perlakuan
bentuk fisik ransum, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan konversi ransum ayam broiler umur 0-35 hari (%).
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10

Fase Starter
(Umur 0-21 hari)
1.18 ± 0.06B
1.37 ± 0.01A
1.45 ± 0.13A
1.16 ± 0.03B
1.14 ± 0.01B
1.17 ± 0.03B
1.13 ± 0.01B
1.12 ± 0.05B
1.15 ± 0.09B
1.16 ± 0.02B
1.14 ± 0.03B

Fase Finisher
(Umur 22-35 hari)
2.07 ± 0.26a
1.73 ± 0.17c
1.69 ± 0.06c
1.89 ± 0.01ab
1.84 ± 0.05ab
2.00 ± 0.03ab
1.90 ± 0.19ab
1.84 ± 0.08ab
1.78 ± 0.11ab
1.91 ± 0.06ab
2.06 ± 0.05a

Fase Total
(Umur 0-35 hari)
1.53 ± 0.08ab
1.51 ± 0.07abc
1.54 ± 0.06a
1.45 ± 0.01abc
1.42 ± 0.03bc
1.50 ± 0.03abc
1.44 ± 0.07bc
1.41 ± 0.06d
1.41 ± 0.04d
1.46 ± 0.04abc
1.51 ± 0.02abc

Keterangan : Superskrip kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P≤0,05) dan superskrip besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P≤0,01)

Rataan konversi ransum ayam broiler pada fase starter yang terendah terdapat pada
perlakuan P7 yaitu 1,12% dan yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu 1.45%.
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan bentuk fisik ransum
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata ≤0,01)
(P
terhadap konversi ransum ayam
broiler fase starter.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum

terhadap konversi ransum ayam broiler fase starter maka dilakukan Uji Duncan. Sehingga
diketahui bahwa perlakuan P0, P3, P4, P5, P6, P7, P8, P9, P10 sangat berbeda nyata
dengan perlakuan P1 dan P2. Hal ini disebabkan pada perlakuan P1 dan P2 di fase
starternya menggunakan pakan bentuk tepung, hal ini sejalan dengan Fadilah (2004) yang
menyatakan walaupun bentuk ransum tepung atau mash lebih mudah dicerna dan lebih
murah harganya tetapi jika dipakai lebih dominan atau lebih lama dibandingkan dengan
bentuk crumble / pellet maka bisa menyebabkan nilai konversi ransumnya semakin naik.
Rataan konversi ransum ayam broiler pada fase finisher yang terendah terdapat
pada perlakuan P2 yaitu 1,69% dan yang tertinggi terdapat pada perlakuan P0 yaitu
2,07%. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan bentuk fisik
ransum memberikan pengaruh berbeda nyata (P≤0,05) terhadap konversi ransum ayam
broiler fase finisher.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik
terhadap konversi ransum

ransum

ayam broiler fase finisher maka dilakukan Uji Duncan.

Sehingga diketahui bahwa perlakuan P1 dan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P0, P3,
P4, P5, P6, P7, P8, P9, P10. Hal ini disebabkan rataan pertambahan bobot badan ayam
broiler di fase finishernya tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan P0, P3, P4, P5, P6,
P7, P8, P9, P10 dimana menurut Tillman et.al (1998) yang menyatakan bahwa konversi
ransum ransum erat hubungannya dengan pertambahan bobot badan. Lebih lanjut Ichwan
(2005) menyatakan bahwa ransum berbentuk campuran antara butiran dengan crumble
(butiran pecah) dan pellet mempunyai konversi pakan terbaik..
Rataan konversi ransum ayam broiler umur 0-35 hari yang terendah terdapat pada
perlakuan P7 dan P8 yaitu masing-masing 1,41% dan yang tertinggi terdapat pada
perlakuan P2 yaitu 1,54%. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan
bentuk fisik ransum memberikan pengaruh berbeda nyata (P≤0,05) terhadap konversi
ransum ayam broiler umur 0-35 hari.
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum terhadap

konversi ransum ayam broiler umur 0-35 hari maka dilakukan Uji Duncan. Sehingga
diketahui bahwa perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P7 dan P8 juga berbeda
nyata dengan perlakuan P4 dan P6 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan P0, P1, P2,
P3, P5, P9, P10. Hal ini disebabkan pada perlakuan P7 dan P8 untuk tingkat konsumsi
ransum dan pertambahan bobot badan lebih baik dibandingkan pada perlakuan P0, P1, P2,
P3, P4, P5, P6, P9, P10 sehingga secara otomatis mempengaruhi konversi ransum. Dimana
menurut Tillman et al. (1998) yang menyatakan bahwa konversi ransum ransum erat
hubungannya dengan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan. Lebih lanjut
menurut Gillespie (1991) bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konversi pakan
antara lain adalah suhu, daya cerna ransum, bentuk fisik pakan dan konsumsi pakan.
Ransum Terbuang (g)
Ransum terbuang adalah sisa ransum yang diluar tempat ransum yang tidak bisa
dikonsumsi lagi oleh ayam broiler, yang dikumpulkan setiap harinya lalu ditimbang. Dari
hasil penelitian diperoleh rataan ransum terbuang yang diberikan perlakuan bentuk fisik
ransum, dapat dilihat pada Tabel 6.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Rataan ransum terbuang ayam broiler umur 0-5 hari (g/petak/hari)
Perlakuan

Rataan

P0
4.70 ± 1.40AB
P1
3.25 ± 0.28B
P2
4.07 ± 1.05AB
P3
4.06 ± 1.49AB
P4
4.08 ± 1.11AB
P5
7.30 ± 3.92A
P6
5.73 ± 1.31AB
P7
1.89 ± 0.15CD
P8
2.68 ± 0.41CD
P9
1.09 ± 0.25D
P10
1.68 ± 0.40CD
Keterangan : Superskrip besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P≤0,01)

Rataan ransum terbuang yang terendah terdapat pada perlakuan P9 yaitu 1,09
g/petak/hari dan yang tertinggi terdapat pada perlakuan P5 yaitu 7,30 g/petak/hari.
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan bentuk fisik ransum
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata ≤0,01)
(P
terhadap ransum terbuang ayam
broiler.
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik ransum terhadap ransum
terbuang ayam broiler maka dilakukan Uji Duncan. Sehingga diketahui bahwa perlakuan
P0, P1, P2. P3, P4, P5, P6 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P7, P8, P9, P10 karena
pada perlakuan P0, P1, P2. P3, P4, P5, P6 diawal pemeliharaan menggunakan ransum
bentuk fisik tepung sedangkan pada perlakuan P7, P8, P9, P10 diawal pemeliharaan
menggunakan ransum bentuk fisik fine crumble dan crumble. Hal ini sesuai dengan Fadilah
(2004) yang menyatakan bahwa biasanya jumlah ransum terbuang paling banyak di fase
starter karena bentuk fisik ransumnya banyak tepungnya. Lebih lanjut menurut Amrullah
(2004) yang menyatakan bahwa untuk masa brooding, dianjurkan menggunakan ransum
berbentuk fine crumble (butiran halus) karena bentuk fine crumble lebih mudah dikonsumsi
anak ayam baik dan lebih efisien tidak banyak terbuang.
Income Over Feed Cost (IOFC)
Perhitungan IOFC untuk ayam pedaging adalah sebagai berikut :
(BB x harga ayam/kg hidup) – (Σ konsumsi pakan (kg) x harga pakan/kg

Universitas Sumatera Utara

Dari hasil penelitian diperoleh rataan IOFC untuk setiap perlakuan bentuk ransum pada
ayam broiler umur 0-35 hari seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan income over feed cost ayam broiler umur 0-35 hari.
Perlakuan
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10

Rataan Biaya
Ransum (Rp/ekor)
15582.30
15838.30
15480.50
15228.57
15273.17
15324.49
15985.17
16182.71
16092.98
15827.87
15704.94

Rataan Bobot Badan
Akhir (Kg/ekor)
1.89897
2.00523
1.94130
1.95564
2.00705
1.91455
2.09444
2.11697
2.16249
2.01733
1.94751

Rataan Harga
Jual (Rp/ekor)
28484.55
30078.45
29119.50
29483.46
30105.75
28718.25
31416.60
31754.55
32437.35
30259.95
29212.65

IOFC
(Rp/ekor)
12902.25
14240.15
13639.00
14254.89
14832.58
13393.76
15431.43
15571.84
16344.37
14432.08
13507.71

Keterangan : Harga BR1 Tepung = Rp 5150/kg, BR1 FC = Rp 5250/kg, BR1 Crb = Rp 5250/kg,
BR2 SP = Rp 5100/kg, BR2 Pellet = Rp 5250/kg. Harga ayam hidup = Rp 15000/kg

Dari table 7 dapat diketahui bahwa IOFC tertinggi terdapat pada perlakuan P8 yaitu
Rp 16.344,37 dan IOFC yang terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu Rp 12.902,25.
Penelitian Tahap-2 : Efisiensi Penggunaan Ransum
Nilai Energi Metabolisme (kkal/kg)
Nilai energi metabolisme dapat dihitung dengan energi metabolisme terkoreksi
nitrogen. Dari hasil penelitian diperoleh rataan nilai energi metabolisme ransum ayam
broiler yang diberi perlakuan bentuk fisik ransum, dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini.
Tabel 8. Rataan nilai energi metabolisme ransum ayam broiler (kkal/kg)
Perlakuan
Rataan
R1
3240.61 ± 75.82B
R2
3266.35 ± 29.07B
R3
3414.73 ± 38.70A
T4
3350.08 ± 33.78A
T5
3112.57 ± 38.60B
Keterangan : Superskrip besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P≤0,01) dimana R1,R2,R3 memakai ransum fase starter dan T4,T5 memakai ransum
fase finisher

Universitas Sumatera Utara

Rataan nilai energi metabolisme ransum fase starter yang paling tinggi terdapat
pada perlakuan R3 yaitu 3414 kkal/kg ransum dan yang terendah terdapat pada perlakuan
R1 yaitu 3424.73 kkal/kg ransum. Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa
perlakuan bentuk ransum memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P≤0,01) terhadap
nilai energi metabolisme ransum pada ayam broiler fase starter. Untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan bentuk fisik ransum terhadap nilai energi metabolisme ransum
maka dilakukan Uji Duncan. Sehingga diketahui bahwa perlakuan R3 berbeda sangat nyata
dengan perlakuan R1 dan R2. Dimana perlakuan R3 menggunakan pakan bentuk crumble,
perlakuan R1 menggunakan pakan bentuk tepung, perlakuan R2 menggunakan pakan
bentuk fine crumble.
Rataan nilai energi metabolisme ransum fase finisher yang paling tinggi terdapat
pada perlakuan T4 yaitu 3350.08 kkal/kg ransum dan yang terendah terdapat pada
perlakuan T5 yaitu 3112.57 kkal/kg ransum. Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui
bahwa perlakuan bentuk ransum memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P ≤0,01)
terhadap nilai energi metabolisme ransum pada ayam broiler fase finisher. Untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan bentuk fisik

ransum terhadap nilai energi

metabolisme ransum maka dilakukan Uji Duncan. Sehingga diketahui bahwa perlakuan T4
berbeda sangat nyata dengan perlakuan T5. Dimana perlakuan T4 menggunakan pakan
bentuk coarse crumble dan perlakuan T5 menggunakan pakan bentuk pellet.
Jadi dengan perbedaan bentuk fisik ransum akan mempengaruhi nilai energi
metabolisme suatu ransum, dimana dapat diketahui bahwa di fase starter, ransum bentuk
fisik crumble lebih tinggi nilai energi metabolismenya jika dibandingkan dengan ransum
bentuk fisik tepung dan fine crumble sedangkan di fase finisher, ransum bentuk fisik coarse
crumble lebih tinggi nilai energi metabolismenya jika dibandingkan dengan ransum bentuk
fisik pellet. Hal ini sesuai dengan North and Bell (1990) yang menyatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan adalah fisik ransum yang
diberikan. Lebih lanjut CPI (2006) yang menyatakan bahwa salah satu kondisi pakan
diantaranya ukuran partikel size pakan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi dari
penggunaan suatu pakan (penyerapan protein/nitrogen dan energi metabolisme dan
efisiensi ekonomis), serta menurut Mc. Donald et.al (1994) yang menyatakan bahwa
rendahnya daya cerna terhadap suatu ransum mengakibatkan banyaknya energi yang hilang
dalam bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolis menjadi rendah.

Universitas Sumatera Utara

Retensi Nitrogen (%)
Retensi nitrogen dapat dihitung dari selisih konsumsi nitrogen dengan nitrogen
yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nitrogen endogenus. Dari hasil penelitian
diperoleh rataan retensi nitrogen ransum ayam broiler yang diberi perlakuan bentuk fisik
ransum, dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan retensi nitrogen ransum ayam broiler (%).
Perlakuan
Rataan
R1
94.23 ± 0.14a
R2
92.46 ± 0.11b
R3
92.34 ± 1.02b
T4
92.71 ± 0.10a
T5
92.10 ± 0.33b
Keterangan : Superskrip kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P