Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat kontradiktif. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah/negara Indonesia adalah kemiskinan, dewasa ini pemerintah belum mampu menyelesaikan permasalahan tersebut, padahal setiap yang memimpin negara Indonesia selalu membawa isu pengentasan kemiskinan sebagai misi utama program kerjanya.

Upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai awal tahun 1970-an, diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya pengentasan kemiskinan di tahun 1970-an tersebut tidak optimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Hal

ini diperparah dengan kecenderungan ketidak–merataan pendapatan yang melebar

mencakup antar sektor, antar kelompok, dan antar wilayah.

Kondisi kemiskinan di Indonesia semakin parah akibat krisis ekonomi pada tahun 1998. Namun ketika pertumbuhan ekonomi yang sempat menurun akibat krisis dapat teratasi dan dapat dipulihkan, kemiskinan tetap saja sulit untuk ditanggulangi. Pada tahun 1999, 27% dari total penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebanyak 33,9% penduduk desa dan 16,4% penduduk kota adalah orang miskin. (http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-


(2)

Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa di Indonesia

Tahun 1999-2013. Sumber : http://revolusidesa.com

Persentase penduduk miskin di desa selalu lebih tinggi daripada di kota, sekitar 6-8% lebih tinggi. Demikian halnya dengan laju tingkat penurunan kemiskinan, di desa relatif lebih rendah daripada di kota, yaitu 4 berbanding 5. Jika ditelisik lebih jauh diketahui bahwa tingkat kemiskinan di desa juga jauh lebih dalam dan lebih parah dibandingkan di kota. Indeks kedalaman kemiskinan di kota 1,25 sementara di desa 2,24. Indeks keparahan kemiskinan di kota 0,31 sementara di desa 0,56. Profil kemiskinan di Indonesia masih merupakan fenomena pedesaan. Artinya, sebagian besar penduduk miskin Indonesia berada di pedesaan. (http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-


(3)

Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah banyak meluncurkan program penanggulangan kemiskinan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), KUR (Kredit Usaha Rakyat), Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan masih banyak program-program lainnya. Sayangnya itu semua masih belum cukup berhasil. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas. Itu semua semata-mata untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan kesejahateraan di bumi Indonesia ini.

Dalam mencapai tujuan kesejahteraan, negara dituntut dapat melakukan cara apa pun demi mengakomodasi kehidupan yang layak bagi seluruh warga masyarakatnya. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara memiliki banyak sekali tantangan dalam menjalankan perannya memberantas kemiskinan. Hal ini terjadi pula di negara kita Indonesia yang sampai saat ini masih stagnan dalam kategori negara berkembang.

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tepatnya pada tahun 2013 lalu telah menorehkan sejarah dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 6,4%. Pertumbuhan ekonomi tersebut tertinggi pasca berakhirnya pemerintahan orde baru dan krisis moneter tahun 1998. Tidak sampai

disitu saja. Baru-baru ini rilis resmi yang dikeluarkan oleh World Bank berdasarkan

penggunaan metode Purchasing Power Parity (PPP), menunjukkan kekuatan


(4)

Metode Purchasing Power Parity (PPP) adalah mengukur size dan kekuatan ekonomi setiap negara berdasarakan aspek perbedaan harga barang antar negara dan biaya hidup di setiap negara.

Catatan membanggakan di atas kemudian seketika menjadi percuma bila melihat permasalahan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial di

Indonesia yang belum terselesaikan sampai kini. Khususnya di daerah–daerah

terisolir dan pulau terluar Indonesia. Eskalasi kemiskinan dan pengangguran malahan tidak terbendung. Belum lagi inflasi yang tinggi dan ketersediaan komoditas- komoditas pokok yang terbatas menambah sulit keberlangsungan kehidupan sosial- ekonomi masyarakat di daerah terisolir dan pulau terluar Indonesia. Sehingga, alokasi pertumbuhan ekonomi nasional yang mancapai 6,4% tidak berdampak

signifikan pada kehidupan sosial–ekonomi mereka.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2014 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.360.600 jiwa atau sebesar 9,85 persen dari jumlah total penduduk. Kondisi ini lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi bulan Maret 2014 yang jumlah penduduk miskinnya sebanyak 1.286.700 jiwa atau sebesar 9,38 persen. Dengan demikian, ada peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 73.900 jiwa serta peningkatan persentase penduduk miskin sebesar 0,47 poin. Kepulauan Nias menjadi salah satu penyumbang terbanyak masyarakat kategori miskin di Sumatera Utara. (http://www.medanmagazine.com/penduduk-


(5)

Kepulauan Nias sendiri pada awalnya hanya memiliki satu daerah administrasi berbentuk Kabupaten Nias dengan ibukota Gunung Sitoli, seiring terus bergulirnya pemekaran yang masif di berbagai daerah di Indonesia, Kepulauan Nias pun tidak mau ketinggalan untuk memekarkan beberapa daerahnya yang dianggap potensial menjadi daerah otonomi. Hingga kini Kepulauan Nias sudah memiliki empat daerah administrasi berbentuk kabupaten dan satu kotamadya. Salah satu kabupaten hasil pemekaran besar-besaran di Kepulauan Nias adalah Kabupaten Nias Selatan.

Kabupaten Nias Selatan sendiri sesuai data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal per tahun 2012 memiliki sekitar 56.100 jiwa kategori masyarakat miskin atau 19,04% dari 294.069 jiwa jumlah penduduk Nias Selatan. Ironisnya, Kabupaten Nias Selatan berada pada posisi tiga dengan presentase jumlah masyarakat miskin terbanyak di Sumatera Utara, hanya kalah dari Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara yang notabene merupakan daerah hasil pemekaran Kepulauan Nias lainnya.

Bawamatalu‘o adalah satu desa di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias

Selatan. Desa ini berada pada ketinggian 324 meter dari permukaan laut. Sebelumnya desa ini masuk Kecamatan Telukdalam. Namun, setelah mengalami pemekaran wilayah, beberapa desanya masuk ke dalam hasil pemekaran Kecamatan Telukdalam, yakni Kecamatan Fanayama.


(6)

Desa Bawamatalu‘o sendiri terkenal sebagai desa budaya dan budaya yang

terkenal di desa ini adalah tradisi Hombo’batu (lompat batu). Desa ini diusulkan

menjadi kawasan warisan budaya dunia dalam Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2009. Sejak menyandang status sebagai desa budaya oleh UNESCO,

Bawamatalu‘o memiliki agenda budaya tahunan yaitu ―Festival Budaya

Bawamatalu‘o‖ yang penyelenggaraanya dari tanggal 13 sampai 15 Mei.

Secara harafiah Bawamatalu’o memiliki arti ―Bukit Matahari‖. Desa ini

diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan

dengan deretan rumah adat tradisional (omo hada) khas Nias Selatan dengan jumlah

137 omo hada yang masih utuh dengan sebuah omo sebua (rumah adat besar/rumah

raja di tengah-tengahnya).

Desa representatif dari Kebudayaan Nias Selatan ini dihuni oleh sekitar 1.310 kepala keluarga atau total jumlah laki-laki 3.096 jiwa dan perempuan 3.122 jiwa.

Peran seorang Si’ila (ketua suku/tetua adat) dan Si’ulu (penghubung/perantara

masyarakat) masih dominan dalam tatanan kehidupan masyarakat di desa budaya ini, meskipun desa ini sendiri sudah mempunyai perwakilan pemerintah seperti kepala desa dan perangkat desa lainnya. (http://wisata.kompasiana.com/jalan- jalan/2013/09/12/bawomataluo-warisan-budaya-dunia-di-bukit-matahari-


(7)

Potensi sebagai desa budaya yang sering dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar negeri belum mampu mendongkrak roda perekonomian yang mendatangkan kesejahteraan menyeluruh bagi kelompok masyarakat adat di desa ini. Dampak dari sumber daya pendapatan sebagai desa budaya yang potensial hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat desa, bahkan hal ini memunculkan masalah lainnya berupa ketimpangan sosial. Pengelolaan sumber daya yang kurang baik dan kurangnya keseriusan serta perhatian pemerintah dituding sebagai penyebabnya.

Bila berkunjung ke desa ini, mungkin akan terlihat selangkah lebih maju kehidupan masyarakat dan infrastrukturnya dibanding mayoritas desa lain di Nias

Selatan. Namun hal tersebut tidak berlaku jika membandingkannya dengan desa–

desa di luar Nias Selatan yang benar–benar sudah maju dan berkembang, terlebih

lagi bila menilai desa ini menggunakan indikator daerah tertinggal sebagai alat ukur daerah tertinggal yang digunakan Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal.

Mayoritas bahkan hampir semua masyarakat Desa Bawamatalu‘o

menggantungkan kehidupannya dalam pekerjaan–pekerjaan informal. Mungkin

sampai disini tidak terlalu salah, kemudian yang menjadi persoalan ialah sejumlah

pekerjaan–pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh masyarakat desa belum

mampu secara produktif dan konsisten menghadirkan kehidupan yang layak bagi mereka.


(8)

Setidaknya terdapat empat jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan profesi oleh kebayakan masyarakat Desa Bukit Matahari ini, seperti nelayan,

bercocok tanam sebagai petani, pengrajin/pembuat souvenir, dan berjualan sebagai

pedagang. Aktivitas sebagai petani dan peternak merupakan pekerjaan sektor informal yang paling banyak dikerjakan oleh masyarakat desa ini. Terdapat pula segelintir masyarakatnya bekerja di sektor pekerjaan formal sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Penyebab utama masyarakat desa bekerja di sektor informal dikarenakan latar

belakang pendidikan yang rata–rata hanya menamatkan ijazah bangku sekolah dasar

atau pernah mengenyam pendidikan tingkat sekolah menengah pertama namun berhenti begitu saja, tidak memiliki keterampilan yang spesifik dan memadai, dan

pola pikir yang masih belum visioner; ―kerja hanya untuk menghasilkan uang

membeli makan hari ini‖ dan ―untuk apa anak saya sekolah kalau waktunya hari ini

bisa langsung digunakan membantu saya mencari uang.‖

Sehingga ketersediaan lapangan kerja yang juga terbatas di Kabupaten Nias Selatan belum mampu banyak mangakomodasi masyarakat desa ini yang belum punya daya saing memadai di dunia kerja formal. Tidak sedikit pula masyarakat desa ini yang kerja serabutan dan mengaggur. Hal Ini sebenarnya juga merupakan gambaran dari kehidupan masyakarat desa yang terdapat di seluruh Kabupaten Nias Selatan.


(9)

Banyak putra–putri Desa Bawamatalu‘o yang sudah berpendidikan tinggi lebih memilih menetap di Kota Telukdalam dan cukup banyak pula dari mereka yang berpergian jauh atau merantau ke luar Pulau Nias bertujuan mendapatkan kesempatan yang lebih besar di kota besar untuk menjadi orang besar. Hal ini jelas berpengaruh besar bagi desa adat ini. Dimana seharusnya mereka sebagai putra-putri

asli terbaik Desa Bawamatalu‘o dapat memberi sumbangsih dan konstribusi

memajukan desanya dan kehidupan masyarakat di dalamnya.

Akses jalan menuju Desa Bawamatalu‘o memang sudah beraspal baik yang

mempermudah naik dan turun dari desa ini. Namun, para nelayan desa ini masih saja kesulitan untuk melaut dikarenakan jarak yang cukup jauh antara TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang juga tempat berkumpulnya para nelayan dari berbagai desa lainnya sebelum dan sesudah melaut dengan desanya. Begitu pula dengan petani desa ini yang kesulitan menempuh jarak yang jauh untuk memasarkan hasil panennya maupun sekedar untuk membeli pupuk juga peralatan bertaninya di Kota Telukdalam.

Kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o pun belum

berjalan dengan baik, hal ini disebabkan oleh infrastruktur sarana publik yang menunjang belum memadai. Desa ini belum memiliki sarana kesehatan publik seperti Puskesmas terlebih rumah sakit, sarana transportasi yang tidak terjadwal serta dalam

jumlah terbatas, dan pasar tempat untuk jual–beli sembako dan komoditas pokok


(10)

Mereka harus menempuh jarak 2,1 kilometer meter menuruni desanya ditambah jarak sekitar 12 kilometer perjalanan lagi untuk bisa sampai di Kota Telukdalam bila ingin mendapati fasilitas serta sarana publik yang tidak mereka temukan di desanya. Belum lagi sumber perairan desa bergantung pada bantuan ILO

(International Labour Organisation) yang terdapat di luar rumah masyarakat dan

desa ini belum terfasilitasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

Sektor pembuatan souvenir seperti membuat patung pahatan dari kayu dan

mengukir patung dari bebatuan, membuat miniatur rumah adat Nias Selatan, menjahit dan membuat baju tari perang yang merupakan baju adat pria Nias Selatan

serta baju maena yang merupakan baju adat wanita Nias Selatan dan berbagai jenis

cindera–mata lainnya merupakan beberapa contoh aktivitas para pembuat souvenir di

desa ini. Kemasan pemasarannya yang hanya di sekitar desa saja dan promosi yang kurang, menjadikan tidak maksimal pula pendapatan masyarakat yang bersumber

dari penjualan souvenir.

Setidaknya kita dapat melihat terdapat dua sumber daya potensial Masyarakat

Adat Bawamatalu‘o yang bisa saja mendatangkan kemakmuran di desa ini, yaitu

berupa potensi pendapatan dari sektor wisata desa budaya dan potensi pekerjaan informal yang beragam. Sedikitnya terdapat empat masalah utama penghambat

perbaikan kehidupan masyarakat adat Desa Bawamatalu‘o, yakni sumber daya

manusia/daya saing masyarakat yang tidak memadai, infrastruktur dan sarana publik

penunjang kegiatan sosial–ekonomi masyarakat yang terbatas/kurang memadai,


(11)

Jembatan kesejahteraan berupa sumber daya pariwisata sebagai destinasi desa budaya, memiliki sanggar kebudayaan yang sudah mentas di berbagai Festival Kebudayaan Nasional di berbagai daerah Indonesia bahkan beberapa kali ikut diundang untuk mempertontonkan seni Kebudayaan Nias Selatan di panggung mancanegara, memiliki dan menyelenggarakan festival kebudayaan sendiri setiap bulai Mei, dan berbagai jenis pekerjaan sektor informal yang menjadi andalan mata pencaharian masyarakatnya. Semua itu belum cukup sebagai jembatan yang

membawa kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Mulai dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah), program

pemulihan Aceh–Nias oleh USAID (United State Agency for International

Development) pasca Kepulauan Nias dilanda musibah gempa dan tsunami pada bulan

Maret 2005, dan KUR (Kredit Usaha Rakyat) sudah pernah mampir dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan masyarakat adat di desa budaya yang berada di Kecamatan Fanayama ini.

Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulisan ini berusaha memparkan penyebab pekerjaan sektor informal yang dilakoni mayoritas masyarakat

Bawamatalu‘o dan potensi wisata-budaya di Desa Bawamatalu‘o, dimana keduanya

belum mampu membangun kesejahteraan bagi masyarakat adat di desa ini. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan

mengangkat judul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat F urai


(12)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang di atas, maka hal-hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan

―Bagaimana kondisi kehidupan sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya

Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan?‖.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi sosial–ekonomi

masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten

Nias Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu

sosial terutama pada bidang kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai

tinjauan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk

meneliti lebih jauh mengenai kondisi kehidupan sosial–ekonomi Masyarakat


(13)

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para Masyarakat Adat

Furai di Desa Bawamatalu‘o mengenai kondisi sosial ekonominya.

2. Menjadi sumbangan informasi bagi instansi pemerintah terkait di Kabupaten

Nias Selatan, sebagai referensi dalam memberikan dukungan bagi

Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

3. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat

sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini

mengenai kondisi sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa

Bawamatalu‘o.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran, dan definisi konsep.


(14)

BAB III : METODE PENELITIAN

Metode penelitian berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan penyajian data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Deskripsi lokasi penelitian berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Analisa data berisi tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP


(1)

Banyak putra–putri Desa Bawamatalu‘o yang sudah berpendidikan tinggi lebih memilih menetap di Kota Telukdalam dan cukup banyak pula dari mereka yang berpergian jauh atau merantau ke luar Pulau Nias bertujuan mendapatkan kesempatan yang lebih besar di kota besar untuk menjadi orang besar. Hal ini jelas berpengaruh besar bagi desa adat ini. Dimana seharusnya mereka sebagai putra-putri asli terbaik Desa Bawamatalu‘o dapat memberi sumbangsih dan konstribusi memajukan desanya dan kehidupan masyarakat di dalamnya.

Akses jalan menuju Desa Bawamatalu‘o memang sudah beraspal baik yang mempermudah naik dan turun dari desa ini. Namun, para nelayan desa ini masih saja kesulitan untuk melaut dikarenakan jarak yang cukup jauh antara TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang juga tempat berkumpulnya para nelayan dari berbagai desa lainnya sebelum dan sesudah melaut dengan desanya. Begitu pula dengan petani desa ini yang kesulitan menempuh jarak yang jauh untuk memasarkan hasil panennya maupun sekedar untuk membeli pupuk juga peralatan bertaninya di Kota Telukdalam.

Kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o pun belum berjalan dengan baik, hal ini disebabkan oleh infrastruktur sarana publik yang menunjang belum memadai. Desa ini belum memiliki sarana kesehatan publik seperti Puskesmas terlebih rumah sakit, sarana transportasi yang tidak terjadwal serta dalam jumlah terbatas, dan pasar tempat untuk jual–beli sembako dan komoditas pokok juga belum tersedia.


(2)

Mereka harus menempuh jarak 2,1 kilometer meter menuruni desanya ditambah jarak sekitar 12 kilometer perjalanan lagi untuk bisa sampai di Kota Telukdalam bila ingin mendapati fasilitas serta sarana publik yang tidak mereka temukan di desanya. Belum lagi sumber perairan desa bergantung pada bantuan ILO

(International Labour Organisation) yang terdapat di luar rumah masyarakat dan

desa ini belum terfasilitasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

Sektor pembuatan souvenir seperti membuat patung pahatan dari kayu dan mengukir patung dari bebatuan, membuat miniatur rumah adat Nias Selatan, menjahit dan membuat baju tari perang yang merupakan baju adat pria Nias Selatan serta baju maena yang merupakan baju adat wanita Nias Selatan dan berbagai jenis cindera–mata lainnya merupakan beberapa contoh aktivitas para pembuat souvenir di desa ini. Kemasan pemasarannya yang hanya di sekitar desa saja dan promosi yang kurang, menjadikan tidak maksimal pula pendapatan masyarakat yang bersumber dari penjualan souvenir.

Setidaknya kita dapat melihat terdapat dua sumber daya potensial Masyarakat Adat Bawamatalu‘o yang bisa saja mendatangkan kemakmuran di desa ini, yaitu berupa potensi pendapatan dari sektor wisata desa budaya dan potensi pekerjaan informal yang beragam. Sedikitnya terdapat empat masalah utama penghambat perbaikan kehidupan masyarakat adat Desa Bawamatalu‘o, yakni sumber daya manusia/daya saing masyarakat yang tidak memadai, infrastruktur dan sarana publik penunjang kegiatan sosial–ekonomi masyarakat yang terbatas/kurang memadai, pengeloaan sumber daya wisata desa budaya dan penjualan souvenir yang tidak mendapatkan perhatian khusus pemerintah daerah, dan jarak tempuh yang cukup


(3)

Jembatan kesejahteraan berupa sumber daya pariwisata sebagai destinasi desa budaya, memiliki sanggar kebudayaan yang sudah mentas di berbagai Festival Kebudayaan Nasional di berbagai daerah Indonesia bahkan beberapa kali ikut diundang untuk mempertontonkan seni Kebudayaan Nias Selatan di panggung mancanegara, memiliki dan menyelenggarakan festival kebudayaan sendiri setiap bulai Mei, dan berbagai jenis pekerjaan sektor informal yang menjadi andalan mata pencaharian masyarakatnya. Semua itu belum cukup sebagai jembatan yang membawa kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Mulai dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah), program pemulihan Aceh–Nias oleh USAID (United State Agency for International

Development) pasca Kepulauan Nias dilanda musibah gempa dan tsunami pada bulan

Maret 2005, dan KUR (Kredit Usaha Rakyat) sudah pernah mampir dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan masyarakat adat di desa budaya yang berada di Kecamatan Fanayama ini.

Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulisan ini berusaha memparkan penyebab pekerjaan sektor informal yang dilakoni mayoritas masyarakat Bawamatalu‘o dan potensi wisata-budaya di Desa Bawamatalu‘o, dimana keduanya belum mampu membangun kesejahteraan bagi masyarakat adat di desa ini. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat F urai


(4)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang di atas, maka hal-hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan

―Bagaimana kondisi kehidupan sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan?‖.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain: 1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu

sosial terutama pada bidang kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai tinjauan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o. 2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk

meneliti lebih jauh mengenai kondisi kehidupan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.


(5)

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para Masyarakat Adat

Furai di Desa Bawamatalu‘o mengenai kondisi sosial ekonominya.

2. Menjadi sumbangan informasi bagi instansi pemerintah terkait di Kabupaten Nias Selatan, sebagai referensi dalam memberikan dukungan bagi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

3. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini

mengenai kondisi sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran, dan definisi konsep.


(6)

BAB III : METODE PENELITIAN

Metode penelitian berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan penyajian data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Deskripsi lokasi penelitian berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Analisa data berisi tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP