Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan

(1)

TINJAUAN SOSIAL–EKONOMI KELOMPOK MASYARAKAT ADAT FURAI DI DESA BAWAMATALU’O KECAMATAN FANAYAMA

KABUPATEN NIAS SELATAN

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara Disusun Oleh

REVORMANUEL IP. DUHA (110902051)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Revormanuel IP. Duha NIM : 110902051

Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul : Tinjauan Sosial–Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten NiasSelatan

Medan, Agustus 2015 PEMBIMBING

(Drs. Bengkel Ginting, M.Si) NIP. 19630103 198903 1 003

KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

(Hairani Siregar, S.Sos, M.SP) NIP. 19710927 199801 2 001

DEKAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 19680525 199203 1 003


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Revormanuel IP. Duha

NIM : 110902051

ABSTRAK

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 106 halaman, 2 bagan, 3 gambar, 3 tabel, 11 daftar pustaka)

Skripsi ini berjudul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o berdasarkan indikator–indikator sosial–ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan dan sandang). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi untuk masyarakat Desa Bawamatalu‘o, pemangku kepetingan di Desa Bawamataluo dan Pemerintah Daerah Nias Selatan dalam mengusahakan kondisi sosial–ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bawamatalu‘o di masa yang akan datang. Memaksimalkan potensi pariwisata untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian bentuk deskriptif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai informan kunci adalah Kepala Desa Bawamatalu‘o dan sebagai informan utama antara lain empat orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang mewakili empat jenis pekerjaan sektor informal di Desa Bawamatalu‘o. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara dan observasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi sosial–ekonomi kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o mayoritas berada pada kriteria kelompok Keluarga Pra Sejahtera. Dimana kondisi sosial–ekonomi mayoritas masyarakat Desa Bawamatalu‘o masih belum mencapai tingkat kesejahteraan. Potensi pariwisata yang terdapat di Desa Bawamatalu‘o belum mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, maka kemiskinan mayoritas masyarakat di Desa Bawamatalu‘o disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) dikarenakan perilaku masyarakat disebut penyebab individual, atau patologis dan (2) dikarenakan kurangnya peran pemerintah disebut penyebab agensi.


(4)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE

DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name : Revormanuel IP. Duha

NIM : 110902051

ABSTRACT

(This thesis consists of 6 chapters, 106 pages, 2 charts, 3 pictures, 3 tables, 11 bibliography)

This thesis titled ―Review Social–Economic Community Groups Customary Furai in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District‖. This study attempts to described the condition of social–economic indigenous people in the Village Bawamatalu‘o based on an indicators of social–economic (income, housing, education, health, food and clothing). The result of this research is expected to become a material reflection to the Village community Bawamatalu‘o, stakeholders in the Village Bawamatalu‘o and Regional Governments in South Nias in trying to establish the social conditions economic better for the Village community Bawamatalu‘o in the future will come. Maximize potential tourist destinations to bring forth welfare for all levels of society in Village Bawamatalu‘o.

This research was conducted in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District. This research is descriptive research forms. As for who became informants in this research, that is as key informants is the Village Head Bawamatalu‘o and as an informer main among other four people the Village community Bawamatalu ‗o representing four types of work the informal sector in the Village Bawamatalu‘o. Data collection techniques with the literature study, field studies, interviews and observations. The data collected then processed and analyzed by the researchers described qualitatively, that in turn would be the implications of those results.

The result of this study concluded that the conditions of social–economic a group of indigenous people in the Village Bawamatalu‘o majority of the criteria are in the Pre Prosperous Family groups. Where the social conditions economic the majority of the Village community Bawamatalu‘o still not reached the level of welfare. The potential of tourism in the Village of Bawamatalu‘o hasn't been able to improve the degree of people's lives. Associated with the cause of poverty, poverty and the majority community in the Village Bawamatalu‘o caused by two things, (1) is due to the people called the individual, or pathological and (2) due to the lack of the role of government is called the cause of agency.

Keywords : Conditions of socialeconomic, a group of indigenous people,


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah berkenan melimpahkan berkat dan rahmat–Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, yang berjudul ―Tinjauan Sosial– Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis membuka diri untuk saran dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang mendatang. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos. M.SP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Bengkel Ginting, M.SP, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi dukungan kepada penulis dengan sebaik


(6)

4. Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Staf Administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, terutama buat Ibu Juraidah Hanum dan Kak Deby, yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Ariston Sahbudi Manaö, selaku Kepala Desa Bawamatalu‘o tempat dimana penulis melakukan penelitian lapangan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Terkhusus untuk kedua orangtua saya tercinta, bapak saya (alm.) Ismael Duha dan ibu saya Nurtina Telaumbanua. Terima kasih sudah membesarkan, mendidik, dan menjaga saya selama ini. Terima kasih pula untuk semua doa yang terucap atas nama saya menjadi tambahan tenaga dan semangat buat saya dalam menjalani hidup. Sekiranya cinta dan kasih Tuhan Yesus selalu menyertai sebagai ganjaran untuk semua yang sudah kalian korbankan demi saya.

8. Kakak dan adik–adik saya, Rya Sukma Duha, Christwilliam Ananda Putra Duha, Budi Prasetyo Duha dan Putri Maryam Samaeri Duha.


(7)

10. Buat semua teman–teman mahasiswa stambuk 2011 Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak dan Ibu yang telah sudi menjadi informan utama dalam penelitian ini, Ikaria Gowasa, Firmina Fa‘u, Taguikhöu Wa‘u dan Budiman Wa‘u.

12. Terima kasih kepada sahabat–sahabat saya Rocky NB. Manaö, Asa Mitra Immanuel, Ronni Situmorang, Septiyana Agnes Margaretha, dan sahabat– sahabat saya lainnya , yang sudah turut membantu saya dalam meyelesaikan penulisan skripsi ini.

Semoga kasih Tuhan Yesus Kritus membalas dan melimpahkan rahmat serta karunia–Nya atas segala bantuan dan dukungan baik moril maupun materil yang sudah diberikan kepada penulis.

Semoga hasil karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber referensi dalam membantu semua pihak yang berkompeten untuk menyelesaikan permasalahan–permasalahan kemiskinan di Indonesia terutama di Desa Budaya Bawamatalu‘o.

Medan, Juli 2015 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR BAGAN, GAMBAR DAN TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat penelitian ... ... 12

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 12

1.4.2 Manfaat Praktis ... 13

1.5 Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sosial–Ekonomi ... 15

2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi ... 15

2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi ... 16

2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi ... 20

2.2 Kemiskinan ... 25

2.2.1 Definisi Kemiskinan ... 25


(9)

2.2.3 Penyebab Kemiskinan ... 33

2.3 Teori Kesejahteraan Sosial ... 35

2.4 Konsep Masyarakat Adat ... 36

2.4.1 Tinjauan Tentang Masyarakat ... 36

2.4.2 Tinjauan Tentang Adat Istiadat ... 39

2.5 Kerangka Pemikiran ... 40

2.6. Definisi Konsep ... 43

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 45

3.2 Informan ... 46

3.2.1 Informan Kunci ... 46

3.2.2 Informan Utama ... 46

3.3 Lokasi Penelitian ... 47

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.5 Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Singkat Desa Bawamatalu‘o sebagai Desa Wisata Budaya ... 50

4.2 Kondisi Geografi Desa Bawamatalu‘o ... 53

4.3 Profil Desa Bawamatalu‘o ... 55

4.4 Sistem Pemerintahan Desa Bawamatalu‘o ... 60

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ... 64

5.2 Identitas Informan ... 65 –


(10)

5.3.1 Informan Utama (1) Profesi Petani ... 68

5.3.2 Informan Utama (2) Profesi Pedagang Makanan ... 70

5.3.3 Informan Utama (3) Profesi Pengrajin dan Tukang ... 72

5.3.4 Informan Utama (4) Profesi Nelayan ... 74

5.3.5 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu‘o Berdasarkan Keterangan Informan Kunci ... 77

5.4 Analisa Deskripsi Hasil Penelitian ... 79

5.4.1 Kondisi Sosial–Ekonomi Masyarakat Desa Bawamatalu‘o ... 79

5.4.2 Penyebab Kemiskinan di Desa Bawamatalu‘o ... 89

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(11)

DAFTAR BAGAN, GAMBAR DAN TABEL

BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Alur Pemikiran ... 42 Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Bawamatalu‘o ... 60 GAMBAR

Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa

di Indonesia Tahun 1999-2013 ... 2 Gambar 4.1 Sketsa Batas–batas Wilayah Desa Bawamatalu‘o ... 53 Gambar 4.2 Denah Desa Bawamatalu‘o ... 54 TABEL

Tabel 4.1 Nama–nama Leluhur Pendiri Desa Bawamatalu‘o

– Pertama ... 63 Tabel 4.2 Nama–nama Pemangku Adat Desa Bawamatalu‘o

– Keenam ... 63 Tabel 5.1 Kondisi Sosial–Ekonomi Keempat Informan Utama ... 76


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Dosen Pembimbing 2. Berita Acara Seminar Proposal Penelitian

3. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Surat Balasan Izin Penelitian dari Kepala Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan


(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Revormanuel IP. Duha

NIM : 110902051

ABSTRAK

(Skripsi ini terdiri dari 6 bab, 106 halaman, 2 bagan, 3 gambar, 3 tabel, 11 daftar pustaka)

Skripsi ini berjudul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan‖. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o berdasarkan indikator–indikator sosial–ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, pangan dan sandang). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi untuk masyarakat Desa Bawamatalu‘o, pemangku kepetingan di Desa Bawamataluo dan Pemerintah Daerah Nias Selatan dalam mengusahakan kondisi sosial–ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bawamatalu‘o di masa yang akan datang. Memaksimalkan potensi pariwisata untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian bentuk deskriptif. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai informan kunci adalah Kepala Desa Bawamatalu‘o dan sebagai informan utama antara lain empat orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang mewakili empat jenis pekerjaan sektor informal di Desa Bawamatalu‘o. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara dan observasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti yang dijelaskan secara kualitatif, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi sosial–ekonomi kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o mayoritas berada pada kriteria kelompok Keluarga Pra Sejahtera. Dimana kondisi sosial–ekonomi mayoritas masyarakat Desa Bawamatalu‘o masih belum mencapai tingkat kesejahteraan. Potensi pariwisata yang terdapat di Desa Bawamatalu‘o belum mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, maka kemiskinan mayoritas masyarakat di Desa Bawamatalu‘o disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) dikarenakan perilaku masyarakat disebut penyebab individual, atau patologis dan (2) dikarenakan kurangnya peran pemerintah disebut penyebab agensi.


(14)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE

DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name : Revormanuel IP. Duha

NIM : 110902051

ABSTRACT

(This thesis consists of 6 chapters, 106 pages, 2 charts, 3 pictures, 3 tables, 11 bibliography)

This thesis titled ―Review Social–Economic Community Groups Customary Furai in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District‖. This study attempts to described the condition of social–economic indigenous people in the Village Bawamatalu‘o based on an indicators of social–economic (income, housing, education, health, food and clothing). The result of this research is expected to become a material reflection to the Village community Bawamatalu‘o, stakeholders in the Village Bawamatalu‘o and Regional Governments in South Nias in trying to establish the social conditions economic better for the Village community Bawamatalu‘o in the future will come. Maximize potential tourist destinations to bring forth welfare for all levels of society in Village Bawamatalu‘o.

This research was conducted in the Village of Bawamatalu‘o Sub–district Fanayama South Nias District. This research is descriptive research forms. As for who became informants in this research, that is as key informants is the Village Head Bawamatalu‘o and as an informer main among other four people the Village community Bawamatalu ‗o representing four types of work the informal sector in the Village Bawamatalu‘o. Data collection techniques with the literature study, field studies, interviews and observations. The data collected then processed and analyzed by the researchers described qualitatively, that in turn would be the implications of those results.

The result of this study concluded that the conditions of social–economic a group of indigenous people in the Village Bawamatalu‘o majority of the criteria are in the Pre Prosperous Family groups. Where the social conditions economic the majority of the Village community Bawamatalu‘o still not reached the level of welfare. The potential of tourism in the Village of Bawamatalu‘o hasn't been able to improve the degree of people's lives. Associated with the cause of poverty, poverty and the majority community in the Village Bawamatalu‘o caused by two things, (1) is due to the people called the individual, or pathological and (2) due to the lack of the role of government is called the cause of agency.

Keywords : Conditions of socialeconomic, a group of indigenous people,


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat kontradiktif. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah/negara Indonesia adalah kemiskinan, dewasa ini pemerintah belum mampu menyelesaikan permasalahan tersebut, padahal setiap yang memimpin negara Indonesia selalu membawa isu pengentasan kemiskinan sebagai misi utama program kerjanya.

Upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai awal tahun 1970-an, diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya pengentasan kemiskinan di tahun 1970-an tersebut tidak optimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an kembali naik. Hal ini diperparah dengan kecenderungan ketidak–merataan pendapatan yang melebar mencakup antar sektor, antar kelompok, dan antar wilayah.

Kondisi kemiskinan di Indonesia semakin parah akibat krisis ekonomi pada tahun 1998. Namun ketika pertumbuhan ekonomi yang sempat menurun akibat krisis dapat teratasi dan dapat dipulihkan, kemiskinan tetap saja sulit untuk ditanggulangi. Pada tahun 1999, 27% dari total penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan. Sebanyak 33,9% penduduk desa dan 16,4% penduduk kota adalah orang miskin. (http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-


(16)

Gambar 1.1 Grafik Persentase Penduduk Miskin di Kota dan Desa di Indonesia Tahun 1999-2013. Sumber : http://revolusidesa.com

Persentase penduduk miskin di desa selalu lebih tinggi daripada di kota, sekitar 6-8% lebih tinggi. Demikian halnya dengan laju tingkat penurunan kemiskinan, di desa relatif lebih rendah daripada di kota, yaitu 4 berbanding 5. Jika ditelisik lebih jauh diketahui bahwa tingkat kemiskinan di desa juga jauh lebih dalam dan lebih parah dibandingkan di kota. Indeks kedalaman kemiskinan di kota 1,25 sementara di desa 2,24. Indeks keparahan kemiskinan di kota 0,31 sementara di desa 0,56. Profil kemiskinan di Indonesia masih merupakan fenomena pedesaan. Artinya, sebagian besar penduduk miskin Indonesia berada di pedesaan. (http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-


(17)

Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah banyak meluncurkan program penanggulangan kemiskinan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), KUR (Kredit Usaha Rakyat), Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan masih banyak program-program lainnya. Sayangnya itu semua masih belum cukup berhasil. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas. Itu semua semata-mata untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan kesejahateraan di bumi Indonesia ini.

Dalam mencapai tujuan kesejahteraan, negara dituntut dapat melakukan cara apa pun demi mengakomodasi kehidupan yang layak bagi seluruh warga masyarakatnya. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara memiliki banyak sekali tantangan dalam menjalankan perannya memberantas kemiskinan. Hal ini terjadi pula di negara kita Indonesia yang sampai saat ini masih stagnan dalam kategori negara berkembang.

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tepatnya pada tahun 2013 lalu telah menorehkan sejarah dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 6,4%. Pertumbuhan ekonomi tersebut tertinggi pasca berakhirnya pemerintahan orde baru dan krisis moneter tahun 1998. Tidak sampai disitu saja. Baru-baru ini rilis resmi yang dikeluarkan oleh World Bank berdasarkan penggunaan metode Purchasing Power Parity (PPP), menunjukkan kekuatan ekonomi Indonesia telah berada pada rangking 10 (sepuluh) terbesar di dunia.


(18)

Metode Purchasing Power Parity (PPP) adalah mengukur size dan kekuatan ekonomi setiap negara berdasarakan aspek perbedaan harga barang antar negara dan biaya hidup di setiap negara.

Catatan membanggakan di atas kemudian seketika menjadi percuma bila melihat permasalahan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial di Indonesia yang belum terselesaikan sampai kini. Khususnya di daerah–daerah terisolir dan pulau terluar Indonesia. Eskalasi kemiskinan dan pengangguran malahan tidak terbendung. Belum lagi inflasi yang tinggi dan ketersediaan komoditas- komoditas pokok yang terbatas menambah sulit keberlangsungan kehidupan sosial- ekonomi masyarakat di daerah terisolir dan pulau terluar Indonesia. Sehingga, alokasi pertumbuhan ekonomi nasional yang mancapai 6,4% tidak berdampak signifikan pada kehidupan sosial–ekonomi mereka.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2014 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.360.600 jiwa atau sebesar 9,85 persen dari jumlah total penduduk. Kondisi ini lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi bulan Maret 2014 yang jumlah penduduk miskinnya sebanyak 1.286.700 jiwa atau sebesar 9,38 persen. Dengan demikian, ada peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 73.900 jiwa serta peningkatan persentase penduduk miskin sebesar 0,47 poin. Kepulauan Nias menjadi salah satu penyumbang terbanyak masyarakat kategori miskin di Sumatera Utara. (http://www.medanmagazine.com/penduduk- miskin-di-sumut-bertambah/, diakses 17 April 2015 pukul 01:30 WIB)


(19)

Kepulauan Nias sendiri pada awalnya hanya memiliki satu daerah administrasi berbentuk Kabupaten Nias dengan ibukota Gunung Sitoli, seiring terus bergulirnya pemekaran yang masif di berbagai daerah di Indonesia, Kepulauan Nias pun tidak mau ketinggalan untuk memekarkan beberapa daerahnya yang dianggap potensial menjadi daerah otonomi. Hingga kini Kepulauan Nias sudah memiliki empat daerah administrasi berbentuk kabupaten dan satu kotamadya. Salah satu kabupaten hasil pemekaran besar-besaran di Kepulauan Nias adalah Kabupaten Nias Selatan.

Kabupaten Nias Selatan sendiri sesuai data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal per tahun 2012 memiliki sekitar 56.100 jiwa kategori masyarakat miskin atau 19,04% dari 294.069 jiwa jumlah penduduk Nias Selatan. Ironisnya, Kabupaten Nias Selatan berada pada posisi tiga dengan presentase jumlah masyarakat miskin terbanyak di Sumatera Utara, hanya kalah dari Kabupaten Nias Barat dan Nias Utara yang notabene merupakan daerah hasil pemekaran Kepulauan Nias lainnya.

Bawamatalu‘o adalah satu desa di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Desa ini berada pada ketinggian 324 meter dari permukaan laut. Sebelumnya desa ini masuk Kecamatan Telukdalam. Namun, setelah mengalami pemekaran wilayah, beberapa desanya masuk ke dalam hasil pemekaran Kecamatan Telukdalam, yakni Kecamatan Fanayama.


(20)

Desa Bawamatalu‘o sendiri terkenal sebagai desa budaya dan budaya yang terkenal di desa ini adalah tradisi Hombo’batu (lompat batu). Desa ini diusulkan menjadi kawasan warisan budaya dunia dalam Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2009. Sejak menyandang status sebagai desa budaya oleh UNESCO, Bawamatalu‘o memiliki agenda budaya tahunan yaitu ―Festival Budaya Bawamatalu‘o‖ yang penyelenggaraanya dari tanggal 13 sampai 15 Mei.

Secara harafiah Bawamatalu’o memiliki arti ―Bukit Matahari‖. Desa ini diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840 merupakan sebuah perkampungan dengan deretan rumah adat tradisional (omo hada) khas Nias Selatan dengan jumlah 137 omo hada yang masih utuh dengan sebuah omo sebua (rumah adat besar/rumah raja di tengah-tengahnya).

Desa representatif dari Kebudayaan Nias Selatan ini dihuni oleh sekitar 1.310 kepala keluarga atau total jumlah laki-laki 3.096 jiwa dan perempuan 3.122 jiwa. Peran seorang Si’ila (ketua suku/tetua adat) dan Si’ulu (penghubung/perantara masyarakat) masih dominan dalam tatanan kehidupan masyarakat di desa budaya ini, meskipun desa ini sendiri sudah mempunyai perwakilan pemerintah seperti kepala desa dan perangkat desa lainnya. (http://wisata.kompasiana.com/jalan- jalan/2013/09/12/bawomataluo-warisan-budaya-dunia-di-bukit-matahari-


(21)

Potensi sebagai desa budaya yang sering dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar negeri belum mampu mendongkrak roda perekonomian yang mendatangkan kesejahteraan menyeluruh bagi kelompok masyarakat adat di desa ini. Dampak dari sumber daya pendapatan sebagai desa budaya yang potensial hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat desa, bahkan hal ini memunculkan masalah lainnya berupa ketimpangan sosial. Pengelolaan sumber daya yang kurang baik dan kurangnya keseriusan serta perhatian pemerintah dituding sebagai penyebabnya.

Bila berkunjung ke desa ini, mungkin akan terlihat selangkah lebih maju kehidupan masyarakat dan infrastrukturnya dibanding mayoritas desa lain di Nias Selatan. Namun hal tersebut tidak berlaku jika membandingkannya dengan desa– desa di luar Nias Selatan yang benar–benar sudah maju dan berkembang, terlebih lagi bila menilai desa ini menggunakan indikator daerah tertinggal sebagai alat ukur daerah tertinggal yang digunakan Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal.

Mayoritas bahkan hampir semua masyarakat Desa Bawamatalu‘o menggantungkan kehidupannya dalam pekerjaan–pekerjaan informal. Mungkin sampai disini tidak terlalu salah, kemudian yang menjadi persoalan ialah sejumlah pekerjaan–pekerjaan sektor informal yang digeluti oleh masyarakat desa belum mampu secara produktif dan konsisten menghadirkan kehidupan yang layak bagi mereka.


(22)

Setidaknya terdapat empat jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan profesi oleh kebayakan masyarakat Desa Bukit Matahari ini, seperti nelayan, bercocok tanam sebagai petani, pengrajin/pembuat souvenir, dan berjualan sebagai pedagang. Aktivitas sebagai petani dan peternak merupakan pekerjaan sektor informal yang paling banyak dikerjakan oleh masyarakat desa ini. Terdapat pula segelintir masyarakatnya bekerja di sektor pekerjaan formal sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Penyebab utama masyarakat desa bekerja di sektor informal dikarenakan latar belakang pendidikan yang rata–rata hanya menamatkan ijazah bangku sekolah dasar atau pernah mengenyam pendidikan tingkat sekolah menengah pertama namun berhenti begitu saja, tidak memiliki keterampilan yang spesifik dan memadai, dan pola pikir yang masih belum visioner; ―kerja hanya untuk menghasilkan uang membeli makan hari ini‖ dan ―untuk apa anak saya sekolah kalau waktunya hari ini bisa langsung digunakan membantu saya mencari uang.‖

Sehingga ketersediaan lapangan kerja yang juga terbatas di Kabupaten Nias Selatan belum mampu banyak mangakomodasi masyarakat desa ini yang belum punya daya saing memadai di dunia kerja formal. Tidak sedikit pula masyarakat desa ini yang kerja serabutan dan mengaggur. Hal Ini sebenarnya juga merupakan gambaran dari kehidupan masyakarat desa yang terdapat di seluruh Kabupaten Nias Selatan.


(23)

Banyak putra–putri Desa Bawamatalu‘o yang sudah berpendidikan tinggi lebih memilih menetap di Kota Telukdalam dan cukup banyak pula dari mereka yang berpergian jauh atau merantau ke luar Pulau Nias bertujuan mendapatkan kesempatan yang lebih besar di kota besar untuk menjadi orang besar. Hal ini jelas berpengaruh besar bagi desa adat ini. Dimana seharusnya mereka sebagai putra-putri asli terbaik Desa Bawamatalu‘o dapat memberi sumbangsih dan konstribusi memajukan desanya dan kehidupan masyarakat di dalamnya.

Akses jalan menuju Desa Bawamatalu‘o memang sudah beraspal baik yang mempermudah naik dan turun dari desa ini. Namun, para nelayan desa ini masih saja kesulitan untuk melaut dikarenakan jarak yang cukup jauh antara TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang juga tempat berkumpulnya para nelayan dari berbagai desa lainnya sebelum dan sesudah melaut dengan desanya. Begitu pula dengan petani desa ini yang kesulitan menempuh jarak yang jauh untuk memasarkan hasil panennya maupun sekedar untuk membeli pupuk juga peralatan bertaninya di Kota Telukdalam.

Kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o pun belum berjalan dengan baik, hal ini disebabkan oleh infrastruktur sarana publik yang menunjang belum memadai. Desa ini belum memiliki sarana kesehatan publik seperti Puskesmas terlebih rumah sakit, sarana transportasi yang tidak terjadwal serta dalam jumlah terbatas, dan pasar tempat untuk jual–beli sembako dan komoditas pokok juga belum tersedia.


(24)

Mereka harus menempuh jarak 2,1 kilometer meter menuruni desanya ditambah jarak sekitar 12 kilometer perjalanan lagi untuk bisa sampai di Kota Telukdalam bila ingin mendapati fasilitas serta sarana publik yang tidak mereka temukan di desanya. Belum lagi sumber perairan desa bergantung pada bantuan ILO (International Labour Organisation) yang terdapat di luar rumah masyarakat dan desa ini belum terfasilitasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).

Sektor pembuatan souvenir seperti membuat patung pahatan dari kayu dan mengukir patung dari bebatuan, membuat miniatur rumah adat Nias Selatan, menjahit dan membuat baju tari perang yang merupakan baju adat pria Nias Selatan serta baju maena yang merupakan baju adat wanita Nias Selatan dan berbagai jenis cindera–mata lainnya merupakan beberapa contoh aktivitas para pembuat souvenir di desa ini. Kemasan pemasarannya yang hanya di sekitar desa saja dan promosi yang kurang, menjadikan tidak maksimal pula pendapatan masyarakat yang bersumber dari penjualan souvenir.

Setidaknya kita dapat melihat terdapat dua sumber daya potensial Masyarakat Adat Bawamatalu‘o yang bisa saja mendatangkan kemakmuran di desa ini, yaitu berupa potensi pendapatan dari sektor wisata desa budaya dan potensi pekerjaan informal yang beragam. Sedikitnya terdapat empat masalah utama penghambat perbaikan kehidupan masyarakat adat Desa Bawamatalu‘o, yakni sumber daya manusia/daya saing masyarakat yang tidak memadai, infrastruktur dan sarana publik penunjang kegiatan sosial–ekonomi masyarakat yang terbatas/kurang memadai, pengeloaan sumber daya wisata desa budaya dan penjualan souvenir yang tidak mendapatkan perhatian khusus pemerintah daerah, dan jarak tempuh yang cukup jauh menuju pusat Kota Telukdalam.


(25)

Jembatan kesejahteraan berupa sumber daya pariwisata sebagai destinasi desa budaya, memiliki sanggar kebudayaan yang sudah mentas di berbagai Festival Kebudayaan Nasional di berbagai daerah Indonesia bahkan beberapa kali ikut diundang untuk mempertontonkan seni Kebudayaan Nias Selatan di panggung mancanegara, memiliki dan menyelenggarakan festival kebudayaan sendiri setiap bulai Mei, dan berbagai jenis pekerjaan sektor informal yang menjadi andalan mata pencaharian masyarakatnya. Semua itu belum cukup sebagai jembatan yang membawa kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o.

Mulai dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, Pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah), program pemulihan Aceh–Nias oleh USAID (United State Agency for International Development) pasca Kepulauan Nias dilanda musibah gempa dan tsunami pada bulan Maret 2005, dan KUR (Kredit Usaha Rakyat) sudah pernah mampir dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan masyarakat adat di desa budaya yang berada di Kecamatan Fanayama ini.

Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulisan ini berusaha memparkan penyebab pekerjaan sektor informal yang dilakoni mayoritas masyarakat Bawamatalu‘o dan potensi wisata-budaya di Desa Bawamatalu‘o, dimana keduanya belum mampu membangun kesejahteraan bagi masyarakat adat di desa ini. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul ―Tinjauan Sosial–Ekonomi Kelompok Masyarakat Adat F urai


(26)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang di atas, maka hal-hal yang ingin diketahui dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan ―Bagaimana kondisi kehidupan sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan?‖.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi sosial–ekonomi masyarakat adat di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain: 1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu

sosial terutama pada bidang kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai tinjauan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o. 2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk

meneliti lebih jauh mengenai kondisi kehidupan sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.


(27)

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o mengenai kondisi sosial ekonominya.

2. Menjadi sumbangan informasi bagi instansi pemerintah terkait di Kabupaten Nias Selatan, sebagai referensi dalam memberikan dukungan bagi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

3. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini

mengenai kondisi sosial–ekonomi Masyarakat Adat Furai di Desa Bawamatalu‘o.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran, dan definisi konsep.


(28)

BAB III : METODE PENELITIAN

Metode penelitian berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan penyajian data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Deskripsi lokasi penelitian berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Analisa data berisi tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sosial–Ekonomi

2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi

Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan dan kesejahteraan sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:958). Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain disekitarnya. Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat.

Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu oikos yang berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum. Maka secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga.


(30)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti keuangan, perindustrian dan perdagangan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:251).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Untuk melihat kedudukan sosial–ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35).

2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi

Pembangunan sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis (Midgley, 2005:37).

Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu diperhatikan, diantara lain :

1. Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi. Aspek ini yang membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan dengan pendekatan lain dalam mengangkat kesejahteraan orang banyak.


(31)

Pembangunan sosial mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan program-program sosial untuk mengangkat kesejahteraan sosial, pembangunan sosial melakukannya dengan konteks proses pembangunan.

2. Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu (interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan sosial secara khusus terinspirasi dari politik dan ekonomi. Pembangunan sosial juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu- isu ideologis, pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat.

3. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan sosial sebagai konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan perubahan yang bersifat eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih berkonotasi pada semangat akan perubahan yang positif. Secara literal, pembangunan adalah satu proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses perubahan itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial telah tercapai.

4. Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk perbaikan bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial sangat dibutuhkan dalam pembangunan sosial.


(32)

5. Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai tujuan pembangunan sosial.

6. Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi sosial dengan usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan dan ideologi yang berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun masih ditemui kesulitan untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.

7. Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus makronya menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat. Pembangunan sosial lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena pertumbuhan ekonomi atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan (orang miskin dalam kota, penduduk desa yang miskin, etnis minoritas dan wanita). Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian daerah seperti dalam kota, masyarakat pedesaan, perkotaan, daerah-daerah atau negara.


(33)

8. Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan sosial disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya kesempatan sosial (Midgley, 2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah (Midgley, 2005:19).

Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama. Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.

Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social services, (b) social welfare services, dan (c) community development.


(34)

Meminjam asumsi Todaro (Todaro, 1989:92), ada tiga sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :

a. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok.

b. Meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.

c. Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.

2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi

Keluarga dan kelompok masyarakat dapat digolongkan memiliki sosial- ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35). Berdasarkan hal tersebut kita dapat mengklasifikasikan keadaan sosial ekonominya yang dapat dijabarkan sesuai dengan indikator sebagai berikut :

a. Pendapatan

Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan ditemui dalam masyarakat yang matrealis dan tradisonal yang menghargai status sosial–ekonomi yang tinggi terhadap kekayaan. Pendapatan berdasarkan


(35)

kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba, dan lainnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) merinci pendapatan dalam beberapa kategori sebagai berikut :

1. Pendapatan berupa uang ialah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya reguler dan biasanya diterima sebagai balasan atau kontrak prestasi.

2. Pendapatan yang berupa barang adalah pembayaran upah dan gaji yang berbentuk beras, pengobatan, transportasi, perumahan, dankreasi. Berkaitan dengan hal tersebut mendefenisikan pendapatan sebagai seluruh penerimaan baik berupa uang ataupun barang baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri, dengan cara menilai sejumlah atas harga yang berlaku saat ini.

b. Perumahan

Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung keluarga, dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga dikatakan sebagai lambung sosial. Rumah ialah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (Undang–undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992).

Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih


(36)

melindungi penghuninya dari berbagai penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah, dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan, dan (4) melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas.

c. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Dalam (Undang–undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2013) pendidikan didefenisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Menurut Ki Hajar Dewantara yang tidak lain merupakan ‗bapak pendidikan nasional‘ mengemukakan pengertian dari pendidikan ialah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sabagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.


(37)

d. Kesehatan

Menurut World Health Organization (WHO), ada empat komponen penting yang merupakan satu kesatuan dalam definisi sehat yaitu :

1. Sehat Jasmani.

Sehat jasmani merupakan komponen penting dalam arti sehat seutuhnya, berupa sosok manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bersinar, rambut tersisir rapi, berpakaian rapi, berotot, tidak gemuk, nafas tidak bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit dan seluruh fungsi fisiologi tubuh berjalan normal.

2. Sehat Mental.

Sehat Mental dan sehat jasmani selalu dihubungkan satu sama lain dalam pepatah kuno ―Jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat (Men Sana In Corpore Sano)‖.

Atribut seorang insan yang memiliki mental yang sehat adalah selalu merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya, tidak ada tanda-tanda konflik kejiwaan, dapat bergaul dengan baik, dapat menerima kritik serta tidak mudah tersinggung atau marah, dapat mengontrol diri, tidak mudah emosi, dapat menyelesaikan masalah secara cerdik dan bijaksana.

3. Kesejahteraan Sosial.

Batasan kesejahteraan sosial yang ada di setiap tempat atau negara sulit diukur dan sangat tergantung pada kultur, kebudayaan dan tingkat kemakmuran masyarakat setempat.


(38)

Dalam arti yang lebih hakiki, kesejahteraan sosial adalah suasana kehidupan berupa perasaan aman damai dan sejahtera, cukup pangan, sandang dan papan. Dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera, masyarakat hidup tertib dan selalu menghargai kepentingan orang lain serta masyarakat umum.

4. Sehat Spiritual.

Spiritual merupakan komponen tambahan dan memiliki arti penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap individu perlu mendapat pendidikan formal maupun informal, kesempatan untuk berlibur, mendengar alunan lagu dan musik, siraman rohani seperti ceramah agama dan lainnya agar terjadi keseimbangan jiwa yang dinamis dan tidak monoton.

Keempat komponen ini dikenal sebagai sehat positif atau disebut sebagai ―positive health‖ karena lebih realistis dibandingkan dengan definisi WHO yang hanya bersifat idealistik semata-mata.

e. Pangan dan Sandang

Pangan ialah sumber makanan bagi manusia dan merupakan kebutuhan pokok manusia. Sedang sandang adalah pakaian manusia. Pakaian menjadi kebutuhan primer, dan meskipun manusia dapat hidup tanpa pakaian, tetapi dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat sehingga pakaian adalah hal yang penting dalam kesehariannya.

(https://helpmeups.files.wordpress.com/2012/07/modul-dewa89s-

bookletjuli2006/Beberapa-Indikator-Penting-Sosial-Ekonomi-Indonesia/, diakses 23 Maret 2015 pukul 02:07 WIB)


(39)

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Definisi Kemiskinan

Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non–makan.

Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:

a. Kemiskinan Absolut

Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia. Lebih dari itu kondisi kehidupan seseorang atau sekelompok orang itu sedemikian rupa sehingga secara fisik mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang itu tidak mampu melakukan aktivitas yang wajar.

b. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan


(40)

miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan (Siagian, 2012:47-49).

Untuk memahami masalah kemiskinan, maka perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskinan sebagai suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia (Siagian, 2012:2-3).

2.2.2. Model Pengukuran dan Indikator Kemiskinan

Terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu model tingkat konsumsi, model kesejahteraan keluarga dan model pembangunan manusia.

1) Model Tingkat Komsumsi.

Menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat


(41)

konsumsi pendududuk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998, yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non–makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi Susenas (Survei

Sosial Ekonomi Nasional).

(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)

2) Model Kejahteraan Keluarga.

Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.


(42)

Atas dasar pemikiran tersebut, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

1. Keluarga Miskin

Keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS – I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :

- Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.

- Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.

- Luas lantai rumah paling kurang 8 M2 untuk tiap penghuni. 2. Keluarga Pra Sejahtera

Keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.

3. Keluarga Sejahtera Tahap I

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, yaitu :

- Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing–masing anggota keluarga.

- Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.

- Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.


(43)

- Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

- Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.

4. Keluarga Sejahtera Tahap II

Keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis 6 sampai 14, yaitu :

- Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.

- Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.

- Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun.

- Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.

- Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat. - Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun

keatas mempunyai penghasilan tetap.

- Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.

- Seluruh anak berusia 5-15 tahun bersekolah pada saat ini.

- Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil).


(44)

5. Keluarga Sejahtera Tahap III

Keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :

- Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

- Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga.

- Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.

- Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. - Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan. - Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.

- Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.

6. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus

Keluarga yang dapat memenuhi kriteria 1 sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya, yaitu : - Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan

sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil. - Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus

perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.

(http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm, diakses 26 Juli 2015 pukul 04:25 WIB)


(45)

3) Model Pembangunan Manusia.

Pengukuran angka kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek sebagai sebagai berikut :

- Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan manusia yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar hidup yang layak. Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.

- Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)

Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Indeks tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin tinggi.

- Indeks Kehidupan Fakir Miskin

Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum yang layak.


(46)

Dimensi yang diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori, (2) Kualitas hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial dasar dan pembangunan.

Untuk mengetahui jumlah angka kemiskinan mengunakan lima versi indikator kemiskinan, sebagai berikut :

- Bank Dunia, kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal UU$ 2 per hari.

- Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator (1) Tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya, (2) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, (3) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, (4) Bagian terluas rumahnya terdiri atas tanah, (5) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan. - Dinas Kesehatan, menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan

pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak.

- Badan Pusat Statistik (BPS), mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan). Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per bulan sebagai batas miskin perkotaan dan Rp. 131.256,- di pedesaan.


(47)

(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)

2.2.3. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan :

1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.

2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.

3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.

4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.

5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

Kemiskinan tidak hanya menyangkut tentang pendapatan tetapi juga menyangkut tentang aspek kehidupan lainnya. Kemiskinan di berbagai hal ini disebut dengan kemiskinan plural. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan, diakses 24 Maret 2015 pukul 01:20)


(48)

Todaro (2006) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non–ekonomi. Tiga komponen utama sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, faktor tersebut adalah rendahnya taraf hidup, rendahnya rasa percaya diri dan terbebas kebebasan ketiga aspek tersebut memiliki hubungan timbal balik. Rendahnya taraf hidup disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka pengangguran dan rendahnya investasi perkapita.

Untuk kasus Indonesia diperkirakan ada empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut adalah rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi keterisolasian. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan, diakses 24 Maret 2015 pukul 01:20)

Asnawi (1994) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan, dependensi ratio, nilai sikap, partisipasi, keterampilan pekerjaan, dan semuanya itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri, kalau sosial budaya masyarakatnya masih terbelakang maka rendahlah mutu sumber daya manusianya. Sebaliknya kalau sosial budaya modern sesuai dengan tuntutan pembangunan maka tinggilah mutu sumber daya manusia tersebut.


(49)

2.3 Teori Kesejahteraan Sosial

Menurut defenisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan, dan kesejahteraan sosial sebagai ilmu. Kesejahteraan sosial adalah termasuk sebagai suatu proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial (Suharto, 2005:3).

Mengenai konsep kesejahteraan sosial, perlu didapat pemahaman. Oleh karena itu, beberapa defenisi tentang kesejahteraan sosial dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Secara umum (Edi Suharto), kesejahteraan sosial yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

b. Kesejahteraan sosial menurut Undang–undang Nomor 11 Tahun 2009 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Martin Wolins mengatakan bahwa ―social welfare is a device for maintaining or strengthening the existing social structure of an industrial society‖. Artinya, kesejahteraan sosial adalah suatu usaha untuk memelihara atau memperkuat struktur sosial yang ada dalam masyarakat industri.


(50)

c. Menurut PBB (Perserikatan Bangsa–bangsa), kesejahetaran sosial adalah suatu kegiatan yang terorganisasi dalam tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka.

d. Arthur Dunham, mengemukakan kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang usaha manusia, dimana di dalamnya terdapat berbagai macam badan atau usaha sosial yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan dari segia sosial pada bidang-bidang kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial.

2.4 Konsep Masyarakat Adat

2.4.1 Tinjauan Tentang Masyarakat

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu : 1) Interaksi antar warga—warganya, 2) Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009: 115- 118).


(51)

Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soekanto, 2009:22), memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat.

Menurut Ralph Linton (dalam Soekanto, 2009:22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas, sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soekanto, 2009:23) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Menurut Emile Durkheim (dalam Taneko, 1984:11) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu- individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang mencakup.


(52)

Adapun unsur-unsur tersebut adalah :

1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;

2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;

3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;

4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

Menurut Emile Durkheim (dalam Muhni, 1994:29-31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam bermasyarakat.

Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soekanto, 2009: 22). Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society.

Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.


(53)

2.4.2 Tinjauan Tentang Adat Istiadat

Adat istiadat adalah segala dalil dan ajaran mengenai bagaimana orang bertingkah-laku dalam masyarakat. Rumusannya sangat abstrak, karena itu memerlukan usaha untuk memahami dan merincinya lebih lanjut. Adat dalam pengertian ini berfungsi sebagai dasar pembanguan hukum adat positif yang lain. Adat istiadat yang lebih nyata yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Ali, 1999:196).

Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama, jika mendengar kata adat istiadat biasanya aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas selalu berulang dalam jangka waktu tertentu. Adat istiadat dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat istiadat dan hukum adat. Suatu adat istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (hukum adat) (Taneko, 1987:12). Pandangan bahwa agama memberi pengaruh dalam proses terwujudnya hukum adat, pada dasarnya bertentangan dengan konsepsi yang diberikan oleh Van den Berg yang dengan teori reception in complex menurut pandangan adat istiadat suatu tradisi dan kebiasaan nenek moyang kita yang sampai sekarang masih dipertahankan untuk mengenang nenek moyang kita juga sebagai keanekaragaman budaya.


(54)

Adat istiadat suatu masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Biasanya diikuti atau diwujudkan oleh banyak orang. Dapat disimpulkan bahwa adat istiadat adalah aktivitas prilaku-prilaku, tindakan-tindakan individu satu terhadap yang lain yang kemudian menimbulkan reaksi, sehingga menghasilkan suatu interaksi sosial. Perilaku dan tindakan manusia pada dasarnya adalah gerak tumbuh manusia.

2.5 Kerangka Pemikiran

Di Indonesia tingkat kehidupan sosial–ekonomi masyarakat memang masih belum merata. Permasalahan disintegrasi sosial sangat jelas terlihat. Hal pelik ini terlebih menyasar masyarakat yang secara geografis berada di daerah–daerah terisolir dan pulau terluar. Daerah pedesaan merupakan profil dari cerminan kemiskinan yang melanda Indonesia hingga kini. Semangat otonomi daerah berupa slogan percepatan dan pemerataan pembangunan, eksekusinya belum terealisasi dengan baik.

Kelompok Masyarakat Adat Furai yang berada di desa budaya Desa Bawamatalu‘o di Kepulauan Nias menjadi salah satu contoh gambaran tersebut. Pasca mendapat identitas baru berupa predikat sebagai desa budaya oleh UNESCO pada tahun 2009 lalu, masyarakat desa ini masih belum mendapati kehidupannya didatangi oleh kesejahteraan. Negara dalam hal ini melalui pemerintah daerah setempat belum mampu menghadirkan kesejahteraan sosial–ekonomi dalam tatanan kehidupan kelompok Masyarakat Adat Furai yang memiliki potensi sektor pariwisata sebagai desa budaya. Dimana para wisatawan dalam maupun luar negeri selalu ramai mendatangi desa ini sebagai salah satu destinasi wajib bila berpergian ke Pulau Nias.


(55)

Kehidupan kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Budaya Bawamatalu‘o sendiri dari segi pendapatan tergolong rendah dan belum cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari–hari. Dalam kelompok masyarakat adat di Desa Bawamatalu‘o ini terlihat pula ketimpangan sosial dalam kehidupan perekonomian masyarakatnya. Mayoritas masuk kategori masyarakat miskin dan ada segelintir masyarakat lainnya yang kehidupan ekonominya tergolong layak/lebih dari berkecukupan. Hal ini ikut dipengaruhi oleh profesi/pekerjaan masyarakat yang didominasi oleh pekerjaan sektor informal, kerja serabutan dan pengangguran.


(56)

Untuk memperjelas alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut disajikan bagan alur pikirnya :

KELOMPOK MASYARAKAT ADAT F URAI DI DESA BAWAMATALU‘O KECAMATAN FANAYAMA KABUPATEN NIAS SELATAN

SOSIAL–EKONOMI Indikator Sosial–Ekonomi :

1. Pendapatan 4. Kesehatan 2. Perumahan 5. Pangan 3. Pendidikan 6. Sandang

SUMBER PENDAPATAN POTENSIAL MASYARAKAT : SUMBER DAYA PARIWISATA DESA BUDAYA DAN

PEKERJAAN INFORMAL

KONDISI SOSIAL– EKONOMI MASYARAKAT


(57)

2.6 Definisi Konsep

Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep–konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang penelti harus menegaskan dan membatasi makna– makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:138).

Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi, dan hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa–peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat megaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009:23).

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini, antara lain :

a. Tinjauan adalah melihat atau meninjau mengenai sesuatu hal dan kemudian mendeskripsikan hasil peninjauan tersebut dengan sebuah pendapat mengenai apa yang sedang berlangsung atau fenomena apa yang terlihat.


(58)

b. Kondisi sosial–ekonomi ialah memberikan penilaian berdasarkan pada indikator-indikator yang mempengaruhi sosial-ekonomi itu sendiri. Selanjutnya terdapat dua hal yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sosial– ekonomi sekaligus yang menjadi kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa Bawamatalu‘o, yaitu wisata desa budaya dan pekerjaan sektor informal.

c. Kelompok masyarakat adat dalam penelitian ini ialah kelompok Masyarakat Adat Fura‘ yang berdomisili di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan di Kepulauan Nias.


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian bentuk deskriptif, yakni suatu penelitian yang memberikan gambaran secara sistematis mengenai kondisi sesungguhnya dari obyek yang diteliti. Metode penelitian deskriptif ialah salah satu metode penelitian yang banyak digunakan pada penelitian yang bentujuan untuk menjelaskan suatu kejadian (Sugiyono, 2011:8).

Penelitian deskriptif bersifat menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu (Bungin, 2001:48).

Penelitian bentuk deskriptif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi dan kalrifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti antara fenomena yang diuji.


(60)

3.2 Informan

Pada penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian. Pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian pada penelitian kualitatif disebut informan. Informan adalah orang- orang yang dipilih untuk diobservasi dan diwawancarai sesuai tujuan peneliti untuk memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian (Suyanto & Sutinah, 2005: 171-172). Adapun informan dalam penelitian ini meliputi informan kunci dan informan utama.

3.3.1 Informan Kunci

Informan kunci adalah orang yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian (Suyanto & Sutinah, 2005: 171-172). Informan kunci merupakan orang-orang yang sangat mengetahui juga memahami permasalahan yang diteliti. Ada seorang yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini, yaitu Kepala Desa Bawamatalu‘o. Ini dikarenakan kepala desa dianggap benar-benar mengetahui serta memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian ini.

3.3.2 Informan Utama

Informan utama adalah orang yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial dengan memberikan dampak terhadap permasalahan tersebut (Suyanto & Sutinah, 2005: 171-172). Adapun yang menjadi informan utama dalam penelitian ini yakni 4 (empat) orang masyarakat Desa Bawamatalu‘o yang merupakan representasi masyarakat pekerja informal.


(61)

3.3 Lokasi Penelitiaan

Lokasi dari penelitian ini dilakukan di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Desa yang berada pada ketinggian 324 meter dari permukaan laut ini merupakan desa budaya yang menjadi cerminanan Kebudayaan Nias Selatan. Alasan itulah kemudian yang menjadi daya tarik penulis ingin lebih lagi mengetahui kehidupan sosial–ekonomi masyarakatnya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang akurat dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik sebagai berikut :

1. Studi Kepustakaan.

Studi Pustaka dalam pengumpulan data yang diperlukan, dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research). Data akan diolah dari berbagai sumber kepustakaan, antara lainnya dari sumber buku-buku ilmiah, majalah, surat kabar, jurnal, dan bahan tulisan lainnya yang erat kaitannya dengan subyek penelitian.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial: Formatformat Kuantitatif dan

Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Koentjaraningrat. (2009). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Midgley, J. (2005). Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam

Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam

Depag RI.

Moeleong, & Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung : Rosda Karya.

Siagian, M. (2011). Metode Penelitian Sosial, Pedoman Praktis Penelitian Bidang

Ilmu Sosial dan Kesehatan. Medan: PT. Grasindo Monoratama. Siagian, M.

(2012). Kemiskinan dan Solusi. Medan : Grasindo Monoratama. Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama. Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : CV. Alfabeta.

Suharto, E. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian

Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung :

Rafika Aditama.

Suyanto, B., & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan


(2)

Sumber Lain :

- Kamus Besar Bahasa Indonesia

- Undang–undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992

- Undang–undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2013 - Undang–undang Nomor 11 Tahun 2009

Sumber Internet :

- http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_ INDIKATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB - http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/09/12/bawomataluo-warisan-

budaya-dunia-di-bukit-matahari-591131.html, diakses 22 Maret 2015 pukul 02:29 WIB

- https://helpmeups.files.wordpress.com/2012/07/modul-dewa89s-

bookletjuli2006/Beberapa-Indikator-Penting-Sosial-Ekonomi-Indonesia/, diakses 23 Maret 2015 pukul 02:07 WIB

- https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan, diakses 24 Maret 2015 pukul 01:20 - http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/URBANISASI-DAN-

KEMISKINAN-DESA, diakses 15 April 2015 pukul 01:22 WIB

- http://www.medanmagazine.com/penduduk-miskin-di-sumut-bertambah/, diakses 17 April 2015 pukul 01:30 WIB

- http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm, diakses 26 Juli 2015 pukul 04:25 WIB


(3)

LAMPIRAN FOTO

Dokumentasi berbagai foto yang menggambarkan kondisi sosial–ekonomi keempat informan utama dan masyarakat di Desa Bawamatalu‘o Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan :


(4)

Foto (5) Foto (6)


(5)

Foto (9) Foto (10)


(6)

Foto (13)

Keterangan Foto :

1. Foto (1) = Ikaria Gowasa (24), informan utama (1) petani 2. Foto (2) = Rumah Ikaria Gowasa

3. Foto (3) = Firmina Fa‘u (53), informan utama (2) pedagang makanan 4. Foto (4) = Rumah Firmina Fa‘u

5. Foto (5) = Taguikhöu Wa‘u (53), informan utama (3) pengrajin dan tukang 6. Foto (6) = Rumah Taguikhöu Wa‘u

7. Foto (7) = Budiman Wa‘u (55), informan utama (4) nelayan 8. Foto (8) = Rumah Budiman Wa‘u

9. Foto (9) = Kegiatan Budiman Wa‘u dan KUB Nelayan ―Batumandi‖ 10. Foto (10) = Pelabuhan mini KUB Nelayan ―Batumandi‖

11. Foto (11) = Salah satu sumber perairan masyarakat Desa Bawamatalu‘o 12. Foto (12) = Seorang masyarakat Desa Bawamatalu‘o pulang bertani 13. Foto (13) = Desa Bawamatalu‘o