Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma Kajian

Salah satu dari banyak hal yang sangat memengaruhi dan membentuk ilmu dan teori adalah paradigma (paradigm). Thomas Khun dikenal sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah paradigma ini.Paradigma atau dalam bidang keilmuan sering disebut sebagai perspektif (perspective), terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kaca mata atau cara pandang untuk memahami dunia nyata. Dalam hal ini, Patton berpendapat bahwa:

A paradigm is a world view, a generalperspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such,paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners:paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are alsonormative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential orepistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes boththeir strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm” (Mulyana, 2002: 9).

Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, simbol-simbol atau artefak tertentu.Kualitas-kualitas itu harus dinilai atau diukur berdasarkan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan pendekatan hermeneutika, semiotika, analitika bahasa, verstehen, dan metode lainnya yang sesuai dengan objek penelitian. Penelitian kualitatif menghindari metode matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu mengandung meaning.

Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan


(2)

objektiv, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Karena menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2002: 10) paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula yang memengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari suatu kitab suci yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang.

Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak konsisten itu sama-sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan panduan, antara lain memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap publik.

Bagi ilmu sosial, keistimewaannya justru terdapat pada keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas) memang berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya, antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui (dalam Mulyana, 2002: 17), disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial, dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan berikut.

a. Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.

b. Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan menjadi sulit.


(3)

d. Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik. e. Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan.

Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Keempat paaradigma itu ialah: positivisme, postpositivisme, konstruktivisme (constructivism) dan teori kritik (critical theory).

Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan).

Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis dalam Handbook of Qualitative Research, mengidentifikasi perbedaan dan aliran pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh penentangan keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini, seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada soal-soal tentang cara mengetahui ( epistemologi ) dan wujud ( ontologi ) daripada oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik dan idiografik terhadap penelitian(Denzin & Lincoln, 2009 : 124).

2.1.1 Paradigma Interpretivisme

Interpretivisme dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi hermeneutika intelektual Jerman dan tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik-kritik terhadap saintisme dan positivisme dalam ilmu sosial yang dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang mengkritik empirisisme logis (misalnya, Peter Winch, A.R. Louch, Isaiah Berlin). Secara historis, paling tidak para interpretivis menegaskan kekhasan penelitian manusia. Mereka menyatakan berbagai penolakan terhadap interpretasi naturalistik atas ilmu sosial (yakni pandangan bahwa tujuan dan metode ilmu sosial identik dengan tujuan dan metode ilmu alam). Mereka menyatakan bahwa ilmu jiwa (Geisteswissenschaften) atau ilmu budaya (Kulturwissenschaften)


(4)

berbeda dengan ilmu alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu alam adalah untuk memberikan penjelasan ilmiah (Erklaren), sedangkan tujuan ilmu jiwa dan budaya adalah memahami atau mengetahui (Verstehen) “makna” fenomena sosial (Denzin & Lincoln, 2009: 148).

Kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi (internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya

Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian dengan peneliti.Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna, dalam usaha Max Weber untuk menghubungkan interpretasi makna dengan penjelasan-penjelasan kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Denzin & Lincoln, 2009: 148).

Para penerus teoritis kontemporer dari para pendiri interpretivis ini telah memusatkan perhatian mereka kepada paradoks tersebut dengan beberapa cara. Hammersley merupakan wakil dari para kalangan pakar interpretivis yang mengupayakan sintetis antara realisme dengan konstruktivisme sosial.LeCompte dan Preissle (1993) serta Kirk dan Miller (1986) mengandalkan metode sebagai strategi untuk mengeliminasi kekeliruan. John K. Smith menyebutnya dengan metodologi “jalan tengah”. Para penganjur solusi ini berpendapat bahwa meskipun ide-ide tentang objektivitas, penjarakan dan hambatan metodologis sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum empiris adalah sebuah fiksi, penelitian interpretif harus dibuat lebih sistematisdan lebih menyeluruh (rigorous). Alasannya disini adalah bahwa meskipun metode tidak dapat menghilangkan subjektivitas peneliti, ia tentu dapat menguranginya. Dengan demikian layak


(5)

menjadi kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan bahwa sejumlah hasil lebih objektif daripada yang lain (Bryman, 2008: 17).

Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi, fokus pendekatan interpretif ini terletak pada arti individu dan persepsi manusia terhadap realitas, bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka. Menurut Alfred Schutz, manusia secara terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif serta logika materil dan logika probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep (Sumaryono, 1999: 23).

Karena mereka memusatkan perhatian kepada makna sebagai sesuatu yang primer, kalangan interpretivis menafsirkan dunia realitas sosial secara sangat berbeda dengan kalangan pakar yang mendukung kerangka kerja ilmu sosial empiris. Di mata kaum empiris, realitas sosial terdiri atas serangkaian fakta sosial yang meliputi tindakan kasat mata (perilaku) para individu yang dapat dijelaskan secara fisik atau institusional dan kepercayaan–kepercayaan, keadaan-keadaan afektif dan seterusnya yang menjelaskan motivasi-motivasi tindakan. Kedua jenis fakta ini dianggap sebagai data kasar, yakni data yang dapat diidentifikasi dan diverifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan interpretasi. Dengan cara ini, kaum empiris menjelaskan perilaku manusia sekaligus makna perilaku tersebut bagi para pelaku yang terlibat.


(6)

Pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen

atau pemahaman (Bryman, 2008: 16). 2.1.2 Analisis Resepsi

Menurut Stanley J. Baran (2003), analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Hadi, 2009: 3). Hal ini bisa diartikan individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sejarah riset audiens, reception studies mulai berkembang pada awal 1980-an di Eropa. Dalam kajian komunikasi, reception studies biasanya dipakai sebagai salah satu alternatif dalam riset audiens. Kemunculan reception studies bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens, melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media. Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah, dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception studies, makna yang ditemukan merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti.

Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan kemampuannya dalam memaknai teks media. Mereka memilih cara pandang


(7)

bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah pemaknaan teks media oleh audiens, dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti (Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).

Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (Hadi, 2007: 16).

Analisis resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada pesan -pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan media senantiasa polisemi dan harus ditafsirkan.

Pendekatan studi analisis resepsi digunakan karena pada dasarnya audiens aktif meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, meresepsi atau dalam membuat kesimpulan. Penelitian resepsi mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan peristiwa dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apa yang muncul.

Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang berbeda pada masing-masing individu secara langsung turut membangun


(8)

kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000: 268).

Dalam studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson & Goldings, 1997: 123–124) penelitian khalayak pada studi media dikarakteristikkan oleh dua asumsi : (a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b) bahwa isi media selalu bersifat polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi di atas berarti bahwa mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah berbagai ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media.

Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil konstruksi khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak di sini adalah siapa saja yang menggunakan segala bentuk media penyiaran, dalam keadaan apapun serta memberikan pemaknaannya pada media tersebut. Frank Biocca menyatakan bahwa ada lima karakteristik khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu:

1. Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih media yang mereka gunakan.

2. Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.

3. Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang mereka inginkan.

4. Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan media. 5. Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media.

Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat membuat individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh, naif dan mudah untuk didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif ditekankan pada kecerdasan dan otonomi dari individu, serta khalayak memiliki kekuatan dalam menggunakan media. Salah satu cara dasar khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif yaitu melalui interpretasi produksi media oleh khalayak. Ada tiga cara yang memperlihatkan aktifnya khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000: 262), yaitu:


(9)

1. Interpretasi

Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting dan merupakan bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama atau bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi berbeda untuk sebuah pesan yang sama.

2. Konteks Sosial Interpretasi

Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial di sekitarnya. Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial. 3. Aksi Kolektif

Khalayak terkadang melakukan aksi-aksi secara kolektif sehubungan dengan isi media massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka akan melakukan sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media massa.

Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model

encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Model ini fokus pada ide bahwa audiens memiliki respon yang bermacam-macam pada sebuah pesan media karena pengaruh posisi sosial, gender, usia, etnis, pekerjaan, pengalaman, keyakinan dan kemampuan mereka dalam menerima pesan. Hal tersebut terlihat pada premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall yang merupakan dasar dari analisis resepsi (Narottama, 2008: 7):

1. Peristiwa yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara.

2. Pesan selalu mengandung lebih dari satu potensi pembacaan. Tujuan pesan dan arahan pembacaan memang ada, tetapi itu tidak akan bisa menutup hanya menjadi satu pembacaan saja: mereka masih polisemi (secara prinsip masih memungkinkan munculnya variasi interpretasi).

3. Memahami pesan juga merupakan praktek yang problematik, sebagaimanapun itu tampak transparan dan alami. Pengiriman pesan


(10)

secara satu arah akan selalu mungkin untuk diterima atau dipahami dengan cara yang berbeda.

Objek dari model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana.Kebanyakan teori komunikasi bersifat linear karena hanya berfokus pada pesan dan tidak memperhatikan pada faktor-faktor penyusun pesan. Oleh Fiske, analisa ini kemudian disempurnakan dengan memberikan perhatian pada kultur media dan menganalisa hubungan yang kompleks antara teks, khalayak, industri media, politik dan konteks sejarah sebagai sebuah kesatuan.

Melalui model encoding-decoding dapat diketahui bahwa struktur makna (meaning structure) satu dan struktur makna dua kemungkinan tidak sama. Kode

encoding dan decoding kemungkinan juga tidak sejajar. Derajat simetrisnya akan tergantung dari derajat simetri dan asimetri yang dibangun antara

decoder/receiver dan encoder/producer. Derajat asimetri disini adalah derajat pengertian dan salah pengertian dalam pertukaran komunikasi (Durham & Kellner, 2002: 173).

Decoding adalah proses melalui mana audiens menggunakan pengetahuan mereka secara implisit tentang teks dan nilai-nilai budaya guna menginterpretasikan teks media. Decoding berkaitan dengan kapasitas subyektif untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda lainnya. Model ini memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode oleh produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak. Berdasarkan model ini, khalayak akan men-decode pesan suatu teks dengan menggunakan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta mengaitkannya dengan keadaan lingkungan secara menyeluruh. Namun apa yang di-encode oleh pembuat teks tidak selalu simetri dengan apa yang di-decode oleh khalayaknya.

Namun demikian khalayak tidak bisa men-decode pesan semaunya karena teks media memiliki batasan intrpretasi, seperti yang dikatakan oleh Hall, (Hagen & Wasko, 2000: 19) “Encoding will have the effect of constructing some of the limits within wich decoding will operate.” Karena encoding akan memiliki efek membangun batasan interpretasi maka menurut Hall akan ada tiga bentuk


(11)

pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175).

1. Dominant-Hegemonic Position.

Yaitu, audience mengambil makna yang mengandung arti dari isi media dan meng-decode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud (preferred reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya pemahaman yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan komunikator dan komunikan sama, langsung menerima.

2. Negotiated Position.

Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah didefinisikan dan ditandakan dalam teks media. Audience bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain. 3. Oppositional Position.

Yaitu, audience memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya bias dalam penyampaian pesan dan berusaha untuk tidak menerimanya secara mentah-mentah. Dalam hal ini audience berusaha untuk melakukan demitologisasi terhadap teks.

Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur penanda yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi.Struktur ini sangat bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan, film, pakaian, dekorasi mobil, gestur, dan lain sebagainya. Maka film Cin(T)a dalam penelitian ini disebut dengan teks.

Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000: 266, 268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai makna.Media dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman interpretasi; teks terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemaknaan yang berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks tidak terbuka begitu saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun memiliki batasan interpretasi. Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh keikutsertaan audiens dalam suatu kelompok dan faktor-faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, pekerjaan, status perkawinan, ras, gender, latar belakang pendidikan dan keyakinan politik yang mana hal ini dapat membatasi dan membentuk interpretasi potensial tentang suatu


(12)

teks. Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilai-nilainya yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan lebih sulit karena jarang disosialisasikan kepada masyarakat.

2.2 Kajian Pustaka

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah dan meneliti kegiatan – kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup (scope)-nya dan banyak dimensinya. Para mahasiswa selalu mengklasifikasikan aspek – aspek komunikasi ke dalam jenis – jenis yang satu sama lain berbeda konteksnya (Effendy, 2006: 52).

2.2.1 Komunikasi

Setiap sendi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi dapat diikhtisarkan sebagai berikut (Lubis, 2007: 11).

1. Komunikasi berasal dari bahasa latin, communis yang berarti ‘sama’. Maksudnya bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang lain maka terlebih dahulu harus menyadarkan persamaan lambang dengan orang yang dituju sebagai sasaran komunikasi.

2. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan komunikasi dari seseorang atau sekelompok kepada seseorang atau sekelompok lainnya. 3. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber,

pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan efek.

4. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu, kelompok kecil, public speaking komunikasi massa atau komunikasi antar kebudayaan.

Menurut Frey, Botan dan Kreps (2000), Communication is the process of managing messages for the purpose of creating meaning, bahwa komunikasi adalah suatu proses mengelola pesan dengan tujuan menciptakan makna. Pada pengertian ini terdapat 3 kata kunci, diantaranya messages (pesan), managing

(mengelola), dan meaning (makna). Messages (pesan) disini dinyatakan dalam bentuk simbol, yaitu simbol verbal dan nonverbal. Pesan verbal diantaranya


(13)

dinyatakan dalam kata-kata, sedangkan pesan nonverbal dinyatakan dalam simbol yang berupa tindakan dan isyarat. Managing (mengelola) yaitu mengelola pesan dengan cara menerima pesan untuk direspon kemudian diolah untuk menjadi pesan yang mungkin dijadikan pilihan yang dapat memengaruhi makna yang akan ditimbulkan. Meaning (makna) yaitu penafsiran seseorang terhadap pesan yang telah diberikan kepadanya untuk kemudian dipahami (Griffin, 2006: 52).

Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu berlangsung. Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang ingin menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang kepadasiapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim meng-enkode (encodes) ide dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.

Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan untuk penerima.Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel). Saluran tersebut bisa berupa laporan formal, e-mail, pertemuan dengan berhadapan secara langsung, lagu bahkan film. Penerima pesan kemudian men-dekode (decodes) simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini.

Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal, jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat (artefak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya. Semua itu bisa dijadikan lambang.

Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap


(14)

kata-kata itu. Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi makna yang sama pada suatu kata.

Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lainnya, dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lainnya. Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang tersebut. Kita hanya memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Akan tetapi, makna yang diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu, meskipun perubahan makna itu berjalan lambat.

Menggunakan lambang, baik dalam penyandian ataupun penyandian-balik, manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan, bukan hanya antara mereka yang sama-sama hadir, bahkan juga antara mereka yang tinggal berjauhan dan tidak pernah saling bertemu, atau antara pihak-pihak yang berbeda generasi. Kita tidak hanya dapat menyampaikan pengetahuan dari orang ke orang, namun juga gagasan dari satu generasi ke genarasi lainnya, meskipun generasi-generasi tersebut dipisahkan oleh waktu ratusan tahun.

Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang disekitar kita dan untuk memperngaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).

Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland diatas menunjukan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (Effendy, 2006: 10).

Komunikasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penyampaian dan penerimaan pesan dengan menggunakan simbol atau tanda sebagai medianya, dapat pula menjadi sebuah proses pertukaran makna. Dalam


(15)

sebuah tanda yang dipertukarkan akan memerlukan makna-makna yang juga dipertukarkan untuk membentuk sebuah komunikasi yang baik.

Hal tersebut diatas akan mengacu pada bagaimana cara menciptakan makna. Ini yang akan memberikan penekanan yang berbeda dalam bidang komunikasi, karena dalam model tersebut tidak dilihat pada proses transmisi pesan atau proses penyampaian pesan, tetapi lebih menekankan pada relasi antar unsur-unsur dalam menciptakan makna. Menyangkut hal ini, Fiske mengklasifikasikannya dalam dua paradigma utama, yaitu:

Paradigma pertama yang disebut juga paradigma ‘proses’ yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter mengunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Sedangkan paradigam kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification) dan tidaak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi.” (Fiske, 2007: 8).

Dari pandangan diatas dapat diketahui pada dasarnya komunikasi merupakan proses interaksi sosial melalui pesan. Pada paradigma pertama melihat komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (transmission of message). Hal ini berhubungan dengan bagaimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) menyampaikan serta menerima pesan. Disini komunikasi dimaknai sebagai suatu proses dimana seseorang berusaha mempengaruhi tingkah laku atau pikiran orang lain. Dengan kata lain, pandangan ini melihat interaksi sosial sebagai proses hubungan seseorang dengan yang lain, atau proses mempengaruhi sikap, tingkah laku dan respon emosional terhadap orang lain.

Pada paradigma kedua lebih melihat komunikasi sebagai suatu aktifitas produksi serta pertukaran makna-makna pesan (production and exchange of meaning). Ini berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam hal penciptaan makna. Pandangan ini melihat interaksi


(16)

sosial dengan menyatakan individu sebagai bagian dari sebuah kebudayaan atau masyarakat tertentu. Pandangan ini juga tidak mempertimbangkan kesalahpahaman yang akan menyebabkan kegagalan komunikasi, karena ini menyangkut perbedaan latar belakang budaya antara pengirim dan penerima pesan. Oleh sebab itu, dalam paradigma ini lebih menekankan pada studi komunikasi sebagai studi terhadap teks dan budaya.

Makna merupaka hakekat komunikasi. Bagaimana tidak, seseorang yang terlibat dalam kondisi percakapan, ia dan lawan bicaranya terus menerus memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan maupun yang diterimanya. Pemaknaan yang dilakukan para pihak yang terlibat dalam komunikasi, berada dalam koridor mencari kebenaran, melalui langkah-langkah kreatif dalam memberi makna.

Dalam konteks komunikasi, makna dan interpretasi selalu muncul dalam episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dan terdiri dari berbagai perspektif termasuk individualis, sosialis interpretif dan kritik. Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesan-pesan dihasilkan yang bermuara pada produk pesan. Sementara itu penerimaan pesan berfokus pada bagaimana pesan diterima. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaimana diketahui bahwa komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh berbagai informasi.

Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Makna pesan media tidaklah permanen, melainkan dikonstruksi oleh khalayak melalui komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya, khalayak aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.

Gambar 2.1


(17)

Sumber : Journal of Communication, 1990, vol. 40 no. 1, Hal 73 Proses interpretasi terjadi setelah pesan diorganisir dan individu akan mengenali bentuk dan makna dari rangsangan yang diterimanya. Dari rangsangan yang diterima, ditarik kesimpulan dan menciptakan gambaran akhir mengenai makna dari rangsangan di dalam pikiran individu. Dapat diibaratkan menafsirkan suatu hal dari sudut pandang kita sendiri.

Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, angka atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar maupun tidak, melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.

2.2.2 Pluralisme

Secara etimologi pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.

Pluralisme dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Sementara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam “kebenaran terakhir” yang dipertentangkan dengan aliran “monoisme” atau “dualisme”. Monoisme terbagi kepada physical monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme


(18)

bahwa seluruh alam adalah benda, serta mental monoism atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau ide. Sedangkan pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat dunia terbagi kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind) dan benda (matter) (Ka’bah, 2005: 68).

Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mempunyai tiga pengertian.

Pertama, pengertian kegerejaan sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofi sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politis suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karaktiristik diantara kelompok-kelompok. Bila digabungkan dari ketiganya, pluralisme yaitu “Koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpelihara perbedaan-perbedaan dan karesteristik masing-masing”(Thoha, 2005: 11).

Namun demikian, menurut Nurcholis Madjid (Rachman, 2001: 31), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).

Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama menyampaikan bagaimana sejarah awal kemunculan pluralisme di Eropa berkaitan dengan konflik yang terjadi pada abad ke 18 diantara para pemeluk agama khususnya gereja. Dari konflik yang didasarkan pada agama itu pada akhirnya muncul pemikiran modern kala itu untuk membebaskan akal dari pengaruh agama atau sering muncul dengan istilah Liberalisme.

“Pemikiran puralisme muncul pada masa yang disebut pencerahan Eropa, tepatnya pada abad ke-18 masehi, masa yang sering


(19)

disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern.Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana - wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama.Ditengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi diantara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja muncullah suatu faham yang disebut sebagai liberalisme, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak heran jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam keemasan pluralisme politik yang merupakan produk dari liberalisme politik”(Thoha, 2005: 16).

Pluaralisme dianggap sebagai sebuah ekses dari lahirnya konflik etnis yang terjadi pada sekitar abad 18 sampai 20.Bahkan konflik yang terjadi di Eropa sudah sampai pada titik yang cukup klimaks yakni pertumpahan darah. Kejenuhan konflik yang terjadi di Eropa melahirkan sebuah perkembangan pemikiran untuk mengambil jalan keluar atas konflik yang terjadi. Pluralisme dianggap sebagai sebuah pemikiran untuk membawa Eropa pada saat itu keluar dari konflik yang tengah terjadi.

Thoha juga mengungkapkan bahwa munculnya paham liberalisme politik di Eropa pada abad ke-18 sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang carut marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran serta konflik-konflik etnis dan sektarian, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah antar sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan.Hal ini membuktikan bahwa paham liberalisme tidak lebih sebagai respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini hanya terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama baru kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.

Dalam wacana yang berkembang berikutnya, pluralisme tidak saja menyentuh ranah filsafat dan sosiologi, akan tetapi pembahasannya juga turut menyentuh wilayah teologi, bahkan yang terakhir lebih dominan dimaknai dari dua aspek sebelumnya (filsafat dan sosiologi). Ketika memasuki abad ke-20,


(20)

gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi barat.Tokoh yang tercatat dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah seorang teolog Kristen liberal Ernest Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalah berjudul posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia, Troelsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif bahwa dalam semua agama, termasuk kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan dimuka bumi ini beragam dan tidak hanya satu (Thoha, 2005: 17).

Pluralisme yang dimaknai dalam dimensi teologis secara awam kerap dipahami sebagai “pembenaran atas seluruh agama dan kepercayaan yang ada”. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pluralisme dalam pemahaman semacam ini menganggap bahwa “semua agama benar”. Terlepas dari perdebatan di atas, Pluralisme dalam ranah teologis ditengarai memiliki hubungan dengan pemikiran filsafat yang menandai lahirnya zaman baru yang disebut post-modern di Barat. Kesadaran ini lahir dari kalangan gereja melalui Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 yang berisikan pengakuan gereja bahwa kebenaran dan keselamatan dapat juga ditemukan di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan).

Mencermati sejarah awal wacana pluralisme sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa wacana ini muncul berkaitan dengan bagaimana sikap keagamaan dalam memaknai kebenaran pada agama lain. John Hick, seorang profesor teologi, dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain (Knitter, 2004 : 44).

Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahwa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja. Bagi orang Nasrani, Jesus Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur “extra ecclesiam nulla salus” yang berarti tak ada keselamatan di luar gereja. Hal ini menyebabkan Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan berpandangan negatif terhadap agama-agama lain.

Paradigma selanjutnya yaitu inklusivisme mengatakan bahwa keselamatan tuhan berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap


(21)

mengakui keunikan Jesus Kristus. Inklusivisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah tuhan dalam Jesus Kristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik Roma sesudah Konsili Vatikan II yang menandai perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang mencetuskan istilah “anonymous Christian” (Kristen tanpa nama).

Pada akhirnya John Hick lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggapnya masih plin-plan. Ia menyatakan :

“Kalau kita berpendapat bahwa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar (selain Kristen), bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahwa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan tuhan ? (Knitter, 2004: 44).

Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan.

Dalam pandangan John Hick, ada beberapa model pluralisme yang mencuat ke permukaan (Legenhausen, 2002: 43). Pertama, pluralisme religius normatif. Pluralisme model ini adalah doktrin yang menunjukan bahwa secara moral, umat beragama wajib untuk memberikan sikap tertentu pada pemeluk agama lain. Kedua, pluralisme religius soteriologis, yakni ajaran bahwa umat non-Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme soteriologis dikembangkan untuk mengefektifkan pluralisme normatif secaara psikologis. Hal ini dipandang perlu untuk dikembangkan karena sulit membayangkan umat Kristen untuk menghormati pemeluk agama selain Kristen jika mereka percaya bahwa orang-orang non-Kristen itu tak bisa diselamatkan atau masuk neraka.

Ketiga, pluralisme religius epistemologis. Istilah ini bisa disederhanakan bahwa umat Kristiani tidak memiliki justifikasi atau pembenaran yang lebih


(22)

mantap atas keimanan mereka dibandingkan para penganut agama lain. Dengan demikian pluralisme menjadi perdebatan filosofis. Hanya saja ini bukan berarti menunjukan bahwa agama-agama memiliki kelemahan dalam mengemukakan landasan rasionalnya. Tetapi akan lebih tepat jika pluralisme religius epistemologis ini didefinisikan sebagai klaim bahwa semua umat beragama memiliki keyakinan religius yang akan ditemukan dalam pengalaman religius.

Keempat, pluralisme religius aletis. Pluralisme aletis menegaskan bahwa kebenaran religius harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama sebagaimana yang ditemukan dalam agama Kristen. Perbedaan tentang klaim keselamatan (salvation claim), tentang benar dan salah semuanya akan memiliki derajat yang sama jika ditinjau dari kacamatanya masing-masing.

Kelima, pluralisme religius deontis. Pluralisme dalam model ini selalu tampil sebagai kehendak atau perintah Tuhan untuk mengikuti suatu kaidah atau tradisi agama. Pluralisme ini berupaya memberikan pemahaman akan tanggung jawab manusia di hadapan keragaman tradisi agama di dunia.

Pluralisme kemudian berkembang menjadi teori politik tentang bagaimana mengurus urusan bersama dalam masyarakat yang bersifat pluralistik dari segi kecenderungan politik, agama, kebudayaan, kepentingan dan lain-lain. Henry S. Kariel menyebut 6 proposisi umum yang terintegrasi ke dalam teori politik pluralisme. (1) Individu terwakili dalam unit-unit kecil pemerintahan yang merupakan perwakilan satu-satunya; (2) Penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang tidak representatif menimbulkan kekacauan; (3) Masyarakat terdiri dari berbagai asosiasi keagamaan, kebudayaan, pendidikan, profesi dan ekonomi yang berdiri sendiri-sendiri; (4) Asosiasi ini bersifat suka rela dimana tidak ada keharusan bahwa semua orang hanya berafiliasi dengan satu agama saja; (5) Kebijakan umum yang diterima sebagai pengikat adalah hasil interaksi bebas antara asosiasi-asosiasi ini; (6) Pemerintahan publik wajib mengakui dan bertindak hanya berdasarkan common denominator kesepakatan kelompok (Ka’bah, 2005 : 68).

Alwi Shihab memberikan gambaran pluralisme dengan batasan-batasan tertentu (Ma’arif, 2005 : 14-15) :


(23)

1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.

3. Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai, ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini, agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”. 4. Pluralisme bukan sinkretisme. Dimana terdapat usaha untuk menciptakan

suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.

Di Indonesia, isu pluralisme dan dialog antarumat beragama menjadi marak setelah diintrodusir oleh Nurcholish Madjid, Mukti Ali dan Djohan Efendi. Kemudian pada tahun-tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu Budhy Munawar Rahman dan Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya.

Sementara itu bagi kelompok Islam radikal seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengharamkan pluralisme karena menurut MUI, implikasi pemahaman seperti ini akan mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti ajaran lain, yang demikian itu tidak dikehendaki oleh ajaran manapun.

2.2.3 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein


(24)

yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti

“something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti

science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut arti kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke – 18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun menjadi perhatian utama para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra ahli semiotika, ahli retorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2). Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya. Dalam proses itu, konstelasi-konstelasi ide yang terpilih memperoleh arti penting yang terus menerus meningkat, dengan memperkuat makna semula dan memperluas dampak sosialnya (Lull, 1998: 4).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi.Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser. Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah satu hal yang paling penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai subjek dan ideologi. Pada intinya, seperti yang ditulis Hari Cahyadi (Eriyanto, 2001: 99), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya dalam posisi tertentu dalam relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut.


(25)

Sementara itu, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan suatu kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sasaran dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti yang dikatakan Raymond William (Eriyanto, 2001: 104), hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui bagaimana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditukarkan.

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Soedibyo, 2001: 12).

Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyrakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat. Menurut Hall (Eriyanto, 2001: 94) ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulisan dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya. Pertama posisi pembaca dominan. Terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang diterima oleh umum, sehingga akan menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut. Tidak terjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca disebabkan keduanya mempunyai ideologi yang sama.

Kedua, pembaca dinegoisasikan. Tidak ada pembaca dominan, yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus-menerus diantara kedua belah pihak. Ketiga pembacaan oposisi. Pembaca akan menandakan secara berkala atau membaca secara berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh khalayak tersebut, karena keduanya memiliki ideologi yang berbeda.

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau


(26)

kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja dan sebagainya.

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan melalui berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan ideologi ini adalah sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan.

Menurut Teun A. Van Dijk (Eriyanto, 2001: 13-14), ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota diri kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting.


(27)

Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam ini, teks media lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap teks media selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.

Ada beberapa pendekatan dalam mengkaji ideologi.

1. Orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi populer filsafat atau tradisi politik terutama suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.

2. Menelaah ideologi dengan menanyakan “apakah faktor-faktor pentingnya?”. Apakah kelas, kedudukan sosial, atau afiliasi etnis atau agama.

3. Pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang dipenuhi.

4. Ideologi tidak hanya menghubungkan individu dengan masyarakat secara prinsipil, tetapi juga penguasa dengan rakyat. Ideologi merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah.

Selain itu David D. Apter juga melukiskan ideologi itu berada pada perpotongan antar prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual serta nilai-nilai umum dan khusus.

2.3 Model Teoritik

Untuk mengetahui keseluruhan teori dalam penelitian ini, maka dibawah ini dapat dilihat bagaimana model teoritik dalam penelitian ini.


(28)

Model Teoritik

Ideologi dalam Film Cin(T)a

Interpretasi Penonton terhadap Pluralisme dalam Film Cin(T)a

Posisi Penonton •

Dominant-Hegemonic

Negotiated


(1)

1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.

3. Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai, ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini, agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”. 4. Pluralisme bukan sinkretisme. Dimana terdapat usaha untuk menciptakan

suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.

Di Indonesia, isu pluralisme dan dialog antarumat beragama menjadi marak setelah diintrodusir oleh Nurcholish Madjid, Mukti Ali dan Djohan Efendi. Kemudian pada tahun-tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu Budhy Munawar Rahman dan Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya.

Sementara itu bagi kelompok Islam radikal seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengharamkan pluralisme karena menurut MUI, implikasi pemahaman seperti ini akan mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti ajaran lain, yang demikian itu tidak dikehendaki oleh ajaran manapun.

2.2.3 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein


(2)

yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut arti kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke – 18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun menjadi perhatian utama para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra ahli semiotika, ahli retorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2). Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya. Dalam proses itu, konstelasi-konstelasi ide yang terpilih memperoleh arti penting yang terus menerus meningkat, dengan memperkuat makna semula dan memperluas dampak sosialnya (Lull, 1998: 4).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi.Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser. Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah satu hal yang paling penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai subjek dan ideologi. Pada intinya, seperti yang ditulis Hari Cahyadi (Eriyanto, 2001: 99), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya dalam posisi tertentu dalam relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut.


(3)

Sementara itu, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan suatu kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sasaran dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti yang dikatakan Raymond William (Eriyanto, 2001: 104), hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui bagaimana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditukarkan.

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Soedibyo, 2001: 12).

Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyrakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat. Menurut Hall (Eriyanto, 2001: 94) ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulisan dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya. Pertama posisi pembaca dominan. Terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang diterima oleh umum, sehingga akan menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut. Tidak terjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca disebabkan keduanya mempunyai ideologi yang sama.

Kedua, pembaca dinegoisasikan. Tidak ada pembaca dominan, yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus-menerus diantara kedua belah pihak. Ketiga pembacaan oposisi. Pembaca akan menandakan secara berkala atau membaca secara berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh khalayak tersebut, karena keduanya memiliki ideologi yang berbeda.

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau


(4)

kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja dan sebagainya.

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan melalui berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan ideologi ini adalah sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan.

Menurut Teun A. Van Dijk (Eriyanto, 2001: 13-14), ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota diri kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting.


(5)

Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam ini, teks media lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap teks media selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.

Ada beberapa pendekatan dalam mengkaji ideologi.

1. Orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi populer filsafat atau tradisi politik terutama suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.

2. Menelaah ideologi dengan menanyakan “apakah faktor-faktor pentingnya?”. Apakah kelas, kedudukan sosial, atau afiliasi etnis atau agama.

3. Pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang dipenuhi.

4. Ideologi tidak hanya menghubungkan individu dengan masyarakat secara prinsipil, tetapi juga penguasa dengan rakyat. Ideologi merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah.

Selain itu David D. Apter juga melukiskan ideologi itu berada pada perpotongan antar prinsip atau tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual serta nilai-nilai umum dan khusus.

2.3 Model Teoritik

Untuk mengetahui keseluruhan teori dalam penelitian ini, maka dibawah ini dapat dilihat bagaimana model teoritik dalam penelitian ini.


(6)

Model Teoritik

Ideologi dalam Film Cin(T)a

Interpretasi Penonton terhadap Pluralisme dalam Film Cin(T)a

Posisi Penonton

Dominant-Hegemonic Negotiated Oppositional