Isolasi, pengklonan dan analisis ekspresi gen penyandi heat shock proteins (HSPs) dari ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) C301

1

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sumber daya
yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan
yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi
penambahan devisa negara (Rapat Koordinasi Pengembangan Hasil Hutan Bukan
Kayu Di Regional IV 2010). HHBK salah satunya adalah benang sutera. Hampir
seluruh kebutuhan lokal bahan baku benang sutera saat ini diimpor dari China karena bahan baku pasokan dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 5% dari
total bahan baku. Kurangnya pasokan bahan baku lokal dan ketergantungan bahan
baku dari luar negeri mengakibatkan meningkatnya biaya produksi (Departemen
Kehutanan 2011). Tingkat produksi cenderung meningkat di tahun 2013 dan menurun secara drastis pada tahun 2014. Indonesia mengimpor benang sutera hingga
900 ton/tahun (Harbi et al. 2015).
Benang sutera didapatkan dengan cara melakukan budidaya. Budidaya ulat
sutera sudah dilakukan sejak tahun 1960 di beberapa daerah di Sulawesi Selatan
seperti Soppeng, Enrekang, Wajo dan Gowa. Potensi Sulawesi Selatan sebagai
produsen sutera alam cukup besar, bahkan merupakan basis pengembangan persuteraan alam di Indonesia. Pengembangan persuteraan alam sudah dilakukan sejak tahun 1963 sampai sekarang dan mempunyai peranan dalam penyediaan kesempatan kerja, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, walaupun perkem-

Universitas Sumatera Utara


2

bangannya mengalami pasang surut. Persuteraan alam di Sulawesi Selatan merupakan budaya yang melekat pada masyarakat di daerah ini. Namun demikian,
hampir seluruh sistem usaha persuteraan alam dikelola secara tradisional, berskala
kecil dan berpola subsistem (Nuraeni 2008).
Produksi benang sutera dari tahun ke tahun tidak pernah mencapai target.
Besarnya target yang dicanangkan, kemungkinan sangat sulit untuk dicapai karena
banyaknya kendala yang dihadapi oleh petani sutera saat ini. Kendala utama adalah banyaknya petani sutera yang beralih ke komoditas lain dengan menggantikan
tanaman murbei baik yang bersifat sementara ataupun untuk selamanya yang lebih
menjanjikan pasarannya seperti kakao, kelapa sawit dan karet (Departemen Kehutanan 2012).
Pengembangan persuteraan alam merupakan kegiatan agroindustri yang meliputi pembibitan ulat sutera, budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat, pemintalan benang, pertenunan, pembatikan dan pencelupan, garmen dan pembuatan
barang jadi lain serta pemasaran. Banyak faktor yang mempengaruhi produksi sutera antara lain permasalahan bibit atau telur yang digunakan. Bibit ulat sutera
yang beredar saat ini adalah hasil persilangan dari induk yang berasal dari daerah
sub tropis (bivoltine). Hasil persilangan tersebut sampai saat ini belum bisa beradaptasi dengan baik di daerah tropis seperti Indonesia (Budisantoso 2001).
Bibit yang resmi beredar saat ini adalah yang diproduksi oleh Perum Perhutani sejak tahun 1980-an. Perkembangan mutu bibit ini mengalami pasang surut karena rendahnya mutu sehingga mendorong munculnya produsen bibit lainnya yang belum bisa direkomendasikan seperti produsen bibit baru yang didatangkan dari negara China. Jenis bibit ini baik aspek biologis ulatnya ataupun kualitas
seratnya belum ada data secara yang lengkap. Strain bibit ulat sutera yang di-

Universitas Sumatera Utara

3


cobakan oleh Nguku et al. (2007) di Kenya yaitu strain ICIPE I, Chun-Lei X
ZhengZhu (C X Z), QuiFeng X BaiYu (Q X B), Quingsong X Haoyoe (Q X H),
Suju X Minghu (S X M) dan 75xin X 7532 (75xin) ternyata strain yang sesuai
untuk negara tersebut hanya ICIPE I dan Chun-Lei X ZhengZhu (C X Z). Dilanjutkan uji laboratorium dan uji lapangan ternyata strains ICIPE I mampu beradaptasi dengan baik dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena kualitas raw silk dan
yarn (benang) sangat baik (Nguku et al. 2009). Dalam hal ini perlu dilakukan
adaptasi yang cukup spesifik agar bibit impor bisa sesuai dengan daerah pemeliharaan.
Impor bibit merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas
ulat sutera di Indonesia tetapi dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup tajam. Upaya impor bibit menghadapi beberapa kendala seperti
cekaman (stress) yang diakibatkan oleh faktor lingkungan. Ulat sutera impor yang
berasal dari negara-negara penghasil sutera seperti Jepang, Korea, Thailand dan
Rumania dapat mengalami berbagai macam cekaman, seperti suhu lingkungan
yang tinggi, kualitas makanan rendah dan manajemen pemeliharaan yang buruk
serta berbagai macam parasit atau penyakit yang merugikan yang tidak dialami di
daerah asalnya. Keadaan ini dapat menimbulkan ulat sutera tersebut tidak dapat
mengekspresikan fenotipnya secara penuh, walaupun memiliki potensi genetik
yang tinggi dibandingkan dengan ulat sutera lokal (Jakaria 2004).
Suhu merupakan faktor dominan dalam membangun pertumbuhan, reproduksi dan distribusi organisme. Dalam kondisi lingkungan yang ekstrim, organisme berupaya untuk menyesuaikan diri di berbagai proses fisiologis untuk dapat
beradaptasi akibat perubahan suhu lingkungan (Hochachka dan Somero 2002;
Bhattacharjee 2008; Kumar dan Tripathy 2009). Kemampuan organisme untuk


Universitas Sumatera Utara

4

memperoleh thermotolerance pada suhu eksrim dengan cara menimbulkan respon
adaptif (Hong dan Vierling 2000).
Bombyx mori (Lepidoptera: Bombycidae) adalah serangga yang telah mengalami domestikasi terus menerus dan telah menjadi lebih rentan terhadap perubahan lingkungan. Hal ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar terutama kondisi iklim panas dan lembab. Perubahan suhu memiliki efek langsung terhadap
berbagai aktivitas fisiologis. Secara umum, ulat sutera instar awal tahan terhadap
suhu tinggi. Hal ini dapat membantu dalam meningkatkan kelangsungan hidup
dan karakter kokon. Suhu juga memiliki korelasi langsung dengan pertumbuhan
ulat sutera. Fluktuasi suhu yang lebar berbahaya bagi perkembangan ulat. Peningkatan suhu dapat meningkatkan fungsi fisiologis dan penurunan suhu juga akan
menurunkan kegiatan fisiologis. Peningkatan suhu selama pemeliharaan ulat
sutera khususnya di instar akhir mempercepat pertumbuhan ulat dan memperpendek periode instar. Pada suhu rendah, pertumbuhan menjadi lambat dan periode
instar akan lebih lama. Suhu optimum untuk pertumbuhan normal ulat sutera
adalah antara 20-28oC dan suhu yang diinginkan untuk produktivitas maksimum
adalah 23-28oC. Suhu di atas 30oC langsung mempengaruhi kesehatan ulat. Jika
suhu berada di bawah 20oC semua kegiatan fisiologis terlambat terutama di awal
instar, akibatnya ulat menjadi lemah dan rentan terhadap berbagai penyakit (SamEun 1998).
Di Indonesia suhu sangat bervariasi, di kota Medan suhu dapat mencapai

38oC (BPS 2015), jauh di atas suhu normal pertumbuhan ulat sutera yaitu 20-28oC
(Sam-Eun 1998), pertumbuhan ulat sutera memerlukan suhu optimum (Brasla dan
Matei 1998; Singh et al. 2009), sehingga suhu tinggi menjadi salah satu faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya cekaman pada ulat sutera teruta-

Universitas Sumatera Utara

5

ma ulat sutera impor. Ulat sutera yang dipelihara pada suhu 28oC dapat menyebabkan konsumsi bahan kering lebih tinggi tetapi menurunkan efisiensi konversi
pakan (Muniraju et al. 2004).
Fenomena yang sering terjadi akibat kegiatan impor bibit adalah adanya interaksi antara genetik dan lingkungan. Noor (1996) menyatakan interaksi genetik
dan lingkungan dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan untuk
daerah tropis terutama untuk program ekspor-impor bibit. Dalam hal ini kebijakan
pemasukan bibit unggul dari daerah dingin atau daerah beriklim sedang ke daerah
tropis bukan merupakan alternatif yang tepat. Pada ulat sutera, fenomena interaksi
antara genetik dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap bobot badan, daya
tahan hidup dan daya tetas telur (Jakaria et al. 2001).
Noor (1996) menyatakan bahwa salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi adanya interaksi antara genetik dan lingkungan yaitu dengan cara

membentuk bibit yang secara genetik dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
tanpa banyak mengalami perubahan performa. Individu yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan atau mampu menampilkan lebih
dari satu bentuk morfologi, status fisiologi dan tingkah laku, maka dikatakan memiliki kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) yang dikontrol oleh gen. Kelenturan fenotipik telah dilaporkan pada tanaman, serangga, amphibi dan ikan (Noor
1996), mencit (Mus musculus) (Nafiu 1996) dan itik (Dewantari 1998). Perbedaan
kelenturan fenotipik antar populasi ulat sutera juga ditemukan terutama pada bobot badan instar IV dan V serta daya tahan hidup ulat, sedangkan sifat kuantitatif
lainnya tidak ditemukan adanya perbedaan kelenturan fenotipik. Ulat sutera ras
Cina memiliki nilai kelenturan fenotipik yang lebih baik dibandingkan dengan
ulat sutera ras Jepang dan ras Tropis (poli) untuk sifat bobot badan instar IV dan

Universitas Sumatera Utara

6

V serta daya tahan hidup ulat. Nilai kelenturan fenotipik ulat sutera ras Jepang dan
ras Tropis sama untuk semua sifat kuantitatif yang diamati kecuali bobot badan
instar IV dan bobot kokon betina (Jakaria 2004). Interaksi genotip dan lingkungan
sangat berpengaruh terhadap daya tetas, bobot badan instar IV dan V, daya tahan
hidup dan tebal filament terutama pada ras China dan ras Jepang (Jakaria et al.
2001).
Keberhasilan dari setiap strain ulat baru di lapangan dipengaruhi oleh mekanisme molekuler dari sel yang melibatkan respon heat shock proteins (Hsp). Mekanisme respon heat shock proteins ini merupakan proses sintesis protein khusus

yaitu protein heat shock setelah adanya stres lingkungan (Garrido et al. 2001;
Kregel 2002; Park et al. 2008). Protein heat shock (Hsp) bertindak sebagai molekul chaperone untuk menjamin kelangsungan hidup yang lebih baik dalam kondisi
stres, termasuk thermostress (Santoro 2000; Parcellier et al. 2003; Mosser dan
Morimoto 2004) dan telah terlibat dalam imunogenisitas untuk kanker dan penyakit menular (Srivastava 2002).
Heat shock proteins (Hsp) adalah jenis protein yang memungkinkan sel untuk mengatasi masalah sintesa protein setelah stres, yang dapat mengenali dan
mengikat ke sisi yang terkena. Dengan demikian molekul chaperone mencegah
kelompok sisi terikat untuk terlibat pada interaksi yang tidak pantas dengan komponen seluler lainnya, serta menstabilkan protein terikat dalam keadaan tidak dilipat dan dapat menargetkan protein terikat untuk mengalami degradasi atau penghapusan dari sel. Heat shock protein melakukan peran ini dengan membentuk
polipeptida baru atau protein yang terungkap selama proses seluler normal,
sedangkan yang diinduksi Hsp berfungsi dalam menanggapi denaturasi protein
akibat stres (Park et al. 2008).

Universitas Sumatera Utara

7

1.2 Perumusan masalah
Ulat sutera (B. mori) merupakan salah satu serangga yang paling sensitif terhadap suhu. Domestikasi intensif yang dilakukan menyebabkan hilangnya kemampuan untuk dapat beradaptasi terhadap suhu. Kerentanan ini lebih parah pada
ulat jenis bivoltin dibandingkan dengan yang polivoltin. Banyak faktor dikaitkan
dengan kinerja yang buruk dari strain bivoltin dalam kondisi tropis, yaitu kurangnya toleransi terhadap suhu. Banyak karakter kuantitatif menurun tajam pada suhu yang tinggi. Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan hibrida bivoltin pada daerah tropis adalah dibutuhkan ras bivoltin yang termotoleran. Hal ini dapat
dicapai melalui hibridisasi polivoltin dengan ras bivoltin, namun hal ini membutuhkan kerja yang lama dan akhirnya menimbulkan penurunan nilai ekonomi.

Kualitas kokon menurun apabila ulat dipelihara pada suhu tinggi (Tazima dan
Ohuma 1995). Kemajuan terbaru dalam pemuliaan ulat sutera dengan mengaktifkan sintesis protein akibat stres. Hal ini membuka jalan untuk perkembangan
hibrida yang kuat dan ulat yang produktif.
Berbagai percobaan pemuliaan konvensional menghadapi kemacetan, peternak ulat mencari pilihan lain dengan memanfaatkan penanda molekuler dalam
membantu pemuliaan dan peternakan transgenik. Meskipun kemajuan luar biasa
yang dicapai dalam bidang genomik ulat, bioteknologi dan perkembangbiakan
ulat, belum ada hasil yang baik dalam mengembangkan keturunan ulat bivoltin
toleran terhadap suhu. Mekanisme molekular yang terjadi di dalam tubuh ulat
akibat stres suhu melibatkan faktor kejut panas (Hsfs), yang terdapat dalam sitosol. Hsfs terikat pada protein heat shocks (Hsps) dalam keadaan tidak aktif.
Sebuah rangsangan fisiologis (stres) dapat mengaktifkan Hsfs, menyebabkan terjadi pemisahkan diri dari Hsps. Hsfs yang terfosforilasi oleh protein kinase dan

Universitas Sumatera Utara

8

terbentuk trimer dalam sitosol. Trimer Hsfs kompleks memasuki inti dan mengikat untuk memanaskan elemen kejutan (Hse) di wilayah promotor dari gen Hsp.
mRNA Hsp kemudian ditranskripsi dan meninggalkan inti menuju sitosol, sehingga terbentuk Hsp baru (Kregel 2002). Konsep ini diharapkan dapat dicobakan
untuk membangkitkan kembali persuteraan alam, khususnya di Sumatera Utara.
Sumatera Utara sebelumnya memiliki profit industri sutera alam, yang didirikan pada tanggal 30 Agustus 1999 oleh PT Ira Widya Utama dengan nama
NOSDEC yaitu Proyek Persuteraan Alam Terpadu hasil kerja sama dengan Pemerintah Jepang (Qahhar dan Rinaldi 2004). Perusahaan ini memiliki pabrik pemintalan benang sutera dengan mesin pemintalan benang berkapasitas produksi 10 ton

kokon perbulan beserta kelengkapan sarana dan prasarana pabrik yang terletak di
Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang. Kebun murbei seluas 32 hektar beserta
infrastruktur yang memadai juga disiapkan untuk memenuhi kebutuhan budidaya
ulat sutera skala industri, selain itu juga diperuntukkan sebagai pusat penelitian
dan pelatihan sutera alam, yang terletak di Kabanjahe Kabupaten Karo.
Pada tahun 2003 mulai dilakukan pengembangan sistem plasma ke berbagai
daerah di Sumatera Utara antara lain: Kabupaten Simalungun, Dairi dan Mandailing Natal untuk menambah produksi pabrik pemintalan benang. Kendati dengan
pengembangan sedemikian rupa, ternyata jumlah bahan baku kokon belum mampu memenuhi atau mendekati kapasitas terpasang industri pemintalan tersebut.
Akibatnya biaya produksi jauh melebihi kemampuan yang diperoleh dari produksinya. Pada tahun 2004 aktivitas produksi menjadi tidak normal, dan kondisi ini
berlangsung hingga akhir tahun 2005. Sejak tahun 2005 persuteraan alam Sumatera Utara tersebut resmi ditutup. Saat ini, usaha sutera alam benar-benar dalam
keadaan tidak berdaya, terjepit dari sisi teknis maupun pasar. Sentra produksi

Universitas Sumatera Utara

9

sutera alam yang dahulu dibanggakan di Sumatera Utara kini sudah tidak menghasilkan produk lagi, dan industri pemintalan benang pun mengalami stagnasi.
Situasi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat, petani sutera alam,
pengusaha maupun pemerintah daerah.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut penulis mencoba menggali

hal-hal yang perlu diketahui tentang usaha bagaimana mengadaptasikan ulat sutera terhadap perubahan suhu pemeliharaan yang tidak optimum di kota Medan,
maka dilakukan penelitian tentang isolasi, pengklonan dan analisis ekspresi gen
penyandi heat shock proteins (Hsps) pada ulat sutera (Bombyx mori) C301 (Lepidoptera: Bombycidae) untuk meningkatkan produksi benang sutera Nasional maupun Internasional.

1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Membandingkan gambaran pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera (B.
mori) C301 yang diberi heat shock (kejut panas) pada beberapa suhu yang
berbeda.
b. Mengisolasi fragmen cDNA gen aktin dari ulat sutera (B. mori) C301
sebagai gen kontrol internal untuk analisis ekspresi gen.
c. Mengisolasi RNA total dari beberapa bagian organ tubuh ulat sutera (B.
mori) C301.
d. Mengisolasi dan mengkloning gen penyandi heat shock protein (Hsp) ulat
sutera (B. mori) C301.

Universitas Sumatera Utara

10


e. Menganalisis ekspresi gen penyandi heat shock protein (Hsp) pada ulat
sutera (B. mori) C301 yang diberi kejut panas dengan beberapa suhu yang
berbeda.

1.4 Hipotesa penelitian
Hipotesa dari penelitian ini adalah:
a. Pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera (B. mori) C301 yang diberi heat
shock (kejut panas) pada beberapa suhu yang berbeda akan meningkatkan
persentase kematian dan menurunkan nilai indeks nutrisi.
b. Isolasi fragmen cDNA gen aktin pada ulat sutera (B. mori) C301 ditentukan
oleh desain primer aktin.
c. Isolasi RNA total pada beberapa bagian organ tubuh ulat sutera (B. mori)
C301 dipengaruhi oleh komponen organik yang terdapat pada organ tersebut.
d. Isolasi dan pengklonan gen penyandi heat shock protein (Hsp) pada ulat sutera (B. mori) C301 ditentukan oleh primer yang digunakan.
e. Terdapat perubahan ekspresi gen penyandi heat shock protein (Hsp) pada
ulat sutera yang diberi heat shock (kejutan panas) dengan suhu yang berbeda.

1.5 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam:
a. Meningkatkan daya dukung lingkungan terutama pemanfaatan lahan-lahan

krisis menjadi lahan produktif untuk daun murbei sebagai pakan larva
sutera.

Universitas Sumatera Utara

11

b. Mendapatkan fragmen gen Hsp dan plasmid yang tersisip gen penyandi heat
shock protein untuk dapat dilanjutkan dalam program perbanyakan ulat
sutera transgenik yang tahan terhadap suhu khususnya di Sumatera Utara.
c. Memberikan masukan kepada para petani sutera Nasional dalam menambah
pendapatan masyarakat khususnya dan devisa negara pada umumnya.
d. Peningkatan kebutuhan sandang berupa produksi benang sutera Nasional
umumnya dan khususnya membangkitkan kembali persuteraan alam Sumatera Utara.
e. Meningkatkan minat dan perhatian serta peran aktif pemerintah daerah
Sumatera Utara untuk kembali bisa menunjang produksi sutera Nasional
maupun Internasional.

Universitas Sumatera Utara

12

KERANGKA PENELITIAN
Tahap I
Penetasan dan pemeliharaan ulat sutera

Perlakuan heat shock/kejut panas (34, 38 dan 42oC) pada ulat sutera

Gambaran pertumbuhan dan
perkembangan ulat sutera

Tahap II

Isolasi RNA total ulat sutera dari kepala, kelenjar sutera,
kutikula dan rektum

Sintesis
cDNA

Desain primer

PCR

Desain primer

PCR

Fragmen gen Hsp

Tahap III
Pengklonan fragmen gen Hsp

Desain primer

Uji ekspresi gen Hsp

Universitas Sumatera Utara