Isolasi, pengklonan dan analisis ekspresi gen penyandi heat shock proteins (HSPs) dari ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) C301 Chapter III VII

34

BAB III. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ULAT
SUTERA (Bombyx mori L.) C301 YANG DIBERI
KEJUT PANAS (HEAT SHOCK)
Abstrak
Pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera (Bombyx mori) sangat di pengaruhi
oleh perubahan lingkungan seperti suhu. Peranan suhu pada pertumbuhan dan perkembangan ulat termasuk studi baru pada protein heat shock. Pertumbuhan dan
perkembangan ulat sutera yang diberi kejut panas dengan suhu yang berbeda telah
dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Departemen Biologi Universitas
Sumatera Utara. Rancangan Penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak
lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan lima ulangan masing-masing terdiri dari
20 ulat. Perlakuan terdiri dari pemberian kejut panas yaitu suhu 34, 38 dan 42oC
serta tanpa kejut panas. Kejut panas dilakukan pada awal instar IV selama 3 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kejut panas dapat meningkatkan
persentase mortalitas, mempercepat stadium instar, menurunkan bobot tubuh
dengan cara menurunkan pertumbuhan, konsumsi pakan dan daya cerna. Selain
itu juga menurunkan produktivitas serta menimbulkan kegagalan pembentukan
kokon, pupa dan imago serta keperidian.

Kata kunci : Bombyx mori, kejut panas, perkembangan, pertumbuhan


Pendahuluan
Faktor utama yang mempengaruhi fisiologi serangga adalah suhu dan kelembaban (Couret et al. 2014). Sebagian besar serangga dapat menunjukkan adaptasi terhadap fluktuasi suhu lingkungan harian (Damos dan Savopoulou-Soultani
2011; Chen et al. 2015). Fluktuasi kondisi lingkungan dipertahankan dengan cara
mempertahankan suhu dan kadar air internal namun ini memiliki batas toleransi
(Singh et al. 2009). Bombyx mori sangat peka terhadap fluktuasi lingkungan, dan
tidak dapat bertahan hidup pada fluktuasi alam yang ekstrim. Kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan memberikan interaksi yang nyata pada fisiologi ulat. Hal ini tergantung pada kombinasi faktor lingkungan dan tahap perkembangan yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, produktivitas dan kualitas filamen. Adaptasi yang dilakukan seperti memperpanjang tahap metamor-

Universitas Sumatera Utara

35

fosis, survival dan laju multiplikasi serta memodifikasi proses melanisasi dan meningkatkan level enzim lisozim dan phenoloxidase (PO) (Khaliq et al. 2014;
Adamo dan Lovett 2011).
Suhu memiliki korelasi langsung dengan pertumbuhan ulat sutera. Fluktuasi
suhu yang lebar berbahaya bagi perkembangan ulat. Kenaikan suhu akan mempengaruhi peningkatan fisiologis dan penurunan suhu akan menimbulkan kegiatan
fisiologis menurun (Rahmathulla et al. 2004). Peningkatan suhu selama pemeliharaan khususnya instar akhir mempercepat pertumbuhan ulat dan memperpendek
periode instar. Di sisi lain pada suhu rendah, pertumbuhan dan periode instar menjadi lambat. Lebih dari sepertiga dari serangga herbivora menunjukkan penurunan
tingkat konsumsi pada suhu tinggi (Lemoine et al. 2014).
Ulat dipelihara untuk menghasilkan benang sutera dalam bentuk kepompong dengan mengkonsumsi daun murbei selama periode makan. Karakter biologi

serangga pada fase kepompong sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Kemampuan individu untuk bertahan di lingkungan yang bervariasi akan memberikan modal dasar yang kuat bagi organisme tersebut untuk beradaptasi pada
lingkungan yang tidak stabil atau ekstrim. Tetapi, keadaan ini akan membuat
suatu organisme yang apabila tidak mampu mengatasi stres akan berakibat fatal
dan menimbulkan kematian pada level individual dan kepunahan pada level populasi (Badyaev 2005).
Stres lingkungan dihadapi organisme dengan melakukan strategi menghindar atau tetap berada pada lingkungan tersebut dengan segala konsekuensinya.
Beberapa organisme mampu menghadapi stres yaitu dengan jalan merubah strategi fisiologi, morfologi maupun perilaku (Noor 2008; Adamo dan Lovett 2011;
Lemoine et al. 2014). Organisme akan menghadapi jenis stres lingkungan dengan

Universitas Sumatera Utara

36

berbagai strategi. Jika stres lingkungan disebabkan oleh faktor biotik, maka beberapa perubahan terutama perubahan perilaku akan disesuaikan interaksinya
dengan faktor biotik tersebut, ada yang bersifat mutual, parasit, atau pemangsa
dan mangsa (Badyaev 2005). Sebaliknya jika stres lingkungan berasal dari faktor
abiotik, umumnya respon organisme akan berupa perubahan fisiologi yang dimanifestasikan dengan perubahan fenotip, misalnya memperpendek atau memperpanjang stadium instar dalam siklus hidup. Hal ini dilakukan sebagai strategi bertahan dan melanjutkan tahap kehidupan selanjutnya (Whitman dan Agrawal
2009).

Bahan dan metode
Telur ulat sutera yang digunakan adalah strain polihibrida yang diperoleh

dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candiroto Temanggung Jawa tengah.
Bahan yang digunakan terdiri dari daun murbei, kapur tembok, kaporit, formalin,
alkohol, akuades dan larutan NaCl 0,9%. Peralatan yang dipakai adalah kotak
penetasan yang terbuat dari kertas putih ukuran 10x20 cm, keranjang wadah pemeliharaan berukuran 30-40 cm, petri plastik, baskom untuk tempat penyimpanan
daun murbei, gunting stek, pisau, ember, jaring ulat, ayakan, kain penutup daun,
kuas, kertas alas, kertas parafin, tisu, timbangan analitik, oven dan termometer.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri empat perlakuan dengan lima ulangan dan masingmasing ulangan terdiri dari 20 ulat sutera. Perlakuan adalah kejut panas yang diberikan pada ulat awal instar IV selama 3 jam dengan suhu kejut panas yang berbeda-beda. Perlakuan kejut panas terdiri dari :
P0 = tanpa kejut panas (suhu ambien)

Universitas Sumatera Utara

37

P1 = kejut panas suhu 34oC
P2 = kejut panas suhu 38oC
P3 = kejut panas suhu 42oC
Tahapan kerja
A. Penyediaan pakan daun murbei dan penetasan telur
Daun murbei sebagai pakan ulat sutera diperoleh dari kebun murbei yang

terletak di area Laboratorium Departemen Biologi, diambil setiap pagi sesuai
kebutuhan untuk satu hari pemberian pakan. Daun murbei yang digunakan adalah
Morus sp. Telur yang ditetaskan untuk setiap perlakuan masing-masingnya sebanyak 100 butir, kemudian dilakukan inkubasi telur agar penetasannya seragam.
Inkubasi telur dilakukan dengan cara: telur disebarkan pada 4 kotak penetasan,
masing-masing kotak berisikan 100 butir telur dan ditutup dengan kertas putih
yang tipis. Setelah terlihat bintik biru pada telur, kemudian telur dibungkus
dengan kain hitam untuk menghindari cahaya sehingga diharapkan penetasan
dapat terjadi secara bersamaan. Telur diamati setiap hari. Tiga hari sebelum pemeliharaan, ruangan dan semua peralatan didesinfeksi dengan menggunakan formalin 2-3% dengan cara disemprotkan secara merata. Upaya desinfeksi dilakukan
untuk menjaga kesehatan ulat. Setelah menetas, kemudian ulat instar I dipindahkan ke wadah pemeliharaan. Penetasan telur dan pemeliharaan ulat sutera berdasarkan prosedur kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Departemen
Kehutanan Bogor (Sasmijah dan Andadari 1992).
B. Pemeliharan ulat
Pemeliharaan ulat sutera meliputi pemeliharaan ulat sampai membentuk kokon. Pemeliharaan ulat instar I-II didahului dengan kegiatan hakitate yaitu penanganan ulat yang baru menetas disertai dengan pemberian pakan pertama. Ulat

Universitas Sumatera Utara

38

yang baru menetas (instar I) didesinfeksi dengan bubuk campuran kapur dan kaporit (19:1), lalu diberi daun murbei yang muda dan segar yang sebelumnya sudah
dipotong kecil-kecil. Setelah itu ulat dipindahkan ke cawan petri. Untuk menjaga
kelembaban cawan petri diberi tisu yang telah dibasahi dan dialasi kertas parafin.

Cawan petri ditutup dengan kertas parafin. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore.
Pada setiap instar ulat akan mengalami masa istirahat dan pergantian kutikula. Apabila sebagian besar ulat istirahat (90%) dengan cara memperhatikan ulat
tidak lagi makan dan mengangkat kepala ke atas, pemberian pakan dihentikan dan
ditaburi kapur. Pada setiap akhir instar dilakukan penjarangan dan daya tampung
tempat disesuaikan dengan perkembangan ulat. Pembersihan wadah pemeliharaan,
pencegahan hama dan penyakit dilakukan secara teratur.
Pada instar I dan II, pembersihan dilakukan masing-masing 1 kali sedangkan instar III sampai V dilakukan 2 kali yaitu setelah pemberian makan kedua dan
menjelang moulting. Penempatan keranjang pada meja tidak boleh menyentuh
dinding ruangan dan pada kaki meja diberi kaleng berisi air, untuk mencegah
gangguan semut. Desinfeksi tubuh ulat dilaksanakan setiap kali ganti kutikula dan
sebelum pemberian pakan pertama.
Setelah ulat memasuki instar III sampai V, daun yang diberikan adalah daun
utuh bersama cabang, penempatannya diselang selingi secara teratur bagian ujung
dan pangkal. Setiap kali pemberian pakan dilakukan penimbangan berat pakan
yang diberikan sebanyak ±1-2g. Untuk pengamatan terhadap lama instar dan efisiensi pakan, ulat dimasukkan ke dalam 20 cawan petri plastik. Masing-masing
cawan petri diisi dengan satu ulat. Pada setiap awal dan akhir instar diambil 20
ulat, kemudian ulat ditimbang. Setelah ditimbang ulat dibungkus dengan alumini-

Universitas Sumatera Utara


39

um foil dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 105oC. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data berat kering ulat untuk menghitung indeks nutrisi.
C. Pemberian perlakuan
Perlakuan kejut panas dilakukan pada ulat awal instar IV. Ulat diletakkan
dalam keranjang yang dialasi kertas dan tetap diberikan pakan daun murbei. Kejut
panas diberikan dengan cara meletakkan ulat ke dalam oven selama 3 jam sesuai
dengan suhu kejut panas perlakuan yaitu suhu 34, 38 dan 42oC. Setelah 3 jam ulat
dikeluarkan dari oven kemudian diletakkan kembali pada ruangan pemeliharaan.
D. Peubah yang diamati
Peubah yang diamati terdiri atas :
a. Stadium ulat, meliputi :
- Persentase mortalitas. Persentase mortalitas didapatkan dengan cara menghitung jumlah ulat pada akhir instar dari jumlah total awal ulat. Perhitungan pada setiap instar dilakukan dengan menggunakan rumus:
Mortalitas =

jumlah ulat awal instar − jumlah ulat akhir instar
x 100%
jumlah ulat awal instar

- Stadium instar (hari). Menghitung berapa hari setiap instar dari instar awal

sampai akhir atau sampai ulat berhenti makan, dilakukan pada instar IV dan V.
- Bobot larva akhir instar IV dan V. Dilakukan penimbangan bobot ulat instar
awal dan instar akhir. Pertambahan bobot badan didapatkan dengan cara mengurangi bobot akhir dengan bobot awal instar menggunakan timbangan digital
preset counter yang mempunyai akurasi 0,01g.
Menurut Scriber dan Slansky (1981), efisiensi konversi pakan dapat diketahui
dengan mengetahui :
- Konsumsi bahan kering (gram), dihitung dengan menggunakan rumus :

Universitas Sumatera Utara

40

Berat kering pakan yang diberikan – berat kering sisa pakan
Berat kering pakan yang diberikan = berat basah pakan x 1 - % kadar air pakan.
Berat kering sisa pakan diperoleh dengan menimbang sisa pakan setelah dioven
selama 24 jam, pada suhu 105oC.
- Daya cerna (%), dihitung dengan menggunakan rumus :

Daya cerna =


BK konsumsi pakan − BK feses
x 100%
BK konsumsi pakan

Bobot kering (BK) feses diperoleh dengan menimbang feses yang diekskresikan setelah dioven selama 24 jam dengan suhu 105oC.
- Efisiensi konversi pakan dikonsumsi (ECI), dihitung dengan menggunakan
rumus :
ECI =

pertambahan BK bobot ulat
x 100%
BK konsumsi pakan − BK feses

Pertambahan bobot kering ulat (gram) = BK ulat akhir instar – BK ulat awal
instar. Bobot kering ulat diperoleh dengan menimbang sampel (5 ulangan setiap perlakuan) sebagai bobot basah dan dikeringkan dalam oven dengan suhu
105oC, selama 24 jam sehingga diketahui bobot kering ulat. Bobot kering ulat
= bobot basah ulat x % bobot kering ulat sampel.
- Efisiensi konversi pakan di cerna (ECD), dihitung dengan menggunakan
rumus:
ECD =


pertambahan BK bobot ulat
x 100%
BK konsumsi pakan

b. Stadium pupa, meliputi :
- Bobot pupa (g). Penimbangan bobot pupa dilakukan dengan cara membelah
kokon, kemudian dikeluarkan pupa lalu dilakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan digital preset counter yang mempunyai akurasi 0.01g.

Universitas Sumatera Utara

41

- Bobot kokon. Bobot kokon ditimbang dengan cara : setelah 10 hari ulat membentuk kokon. Kokon dilepaskan dari tempat pengokonan kemudian ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital preset counter yang mempunyai
akurasi 0,01g.
- Bobot kulit kokon. Bobot kulit kokon ditimbang setelah kokon dibelah
kemudian dikeluarkan pupanya. Penimbangan kulit kokon memakai timbangan
digital preset counter yang mempunyai akurasi 0,01g.
c. Stadium imago

Setiap satu pasang imago diletakkan dalam satu wadah plastik berdiameter
14 cm dengan tinggi 8 cm. Pengamatan terhadap peneluran antara lain: waktu meletakkan telur, jumlah telur dan kematian induk dilakukan setiap hari mulai inokulasi sampai imago mati.
Banyaknya telur yang diletakkan ngengat betina pada masing-masing perlakuan dan ulangan dihitung lalu dijumlahkan. Ngengat betina yang telah mati
segera dibedah untuk mengetahui banyaknya telur yang masih ada di dalam ovarium. Pembedahan dilakukan sepanjang abdomen bagian ventral dengan menggunakan gunting kecil dan jarum.
Untuk menghitung banyaknya telur yang ada di dalam ovarium, ngengat
diletakkan di bawah mikroskop binokuler. Keperidian ngengat betina ditentukan
dengan menghitung banyaknya telur yang diletakkan oleh setiap ngengat betina
ditambah dengan banyaknya telur yang masih ada dalam ovarium, lalu dijumlahkan sesuai masing-masing perlakuan.
Lama hidup imago ditentukan dengan menghitung sejak menjadi imago
sampai mati. Dari percobaan di atas diketahui waktu dan banyaknya telur yang
diletakkan oleh seekor ngengat betina. Telur-telur itu dipelihara sampai menetas.

Universitas Sumatera Utara

42

Pengamatan bentuk, perubahan warna dan saat telur menetas dilakukan setiap
hari.
Analisis data
Data kuantitatif (variable dependent) yang didapatkan, diuji kemaknaannya

terhadap pengaruh kelompok perlakuan (variable independent) dengan bantuan
program statistik komputer yaitu program SPSS release 20. Uji sidik ragam
(ANOVA) satu arah untuk data yang pengamatannya berulang dan jika berbeda
nyata maka dilanjutkan dengan uji analisis post hoc-Bonferroni tahap 5% (p =
0,05).

Hasil dan pembahasan
a. Stadium ulat
- Persentase mortalitas
Persentase mortalitas ulat sutera yang diberi kejut panas pada suhu yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Persentase mortalitas ulat sutera (B.mori) C301 yang diberi kejut panas
dengan suhu yang berbeda
Perlakuan
Akhir instar IV (%)
Akhir instar V (%)
P0
0a
0a
b
P1
20
25b
P2
35c
55c
c
P3
45
70cd
Keterangan : P0 = tanpa kejut panas; P1 = kejut panas suhu 34oC; P2 = kejut panas suhu 38oC; P3
= kejut panas suhu 42oC. Nilai rataan dalam kolom yang diikuti dengan hurut yang
berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P