Pembuatan Nanosilikon Dari Pasir Alam Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Asahan Secara Magnesiotermik Dengan Penambahan Natrium Klorida Sebagai Penyerap Kalor

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Silikon dioksida merupakan elemen terbanyak kedua di alam semesta dari segi
massanya setelah oksigen, yang paling banyak terdapat pada debu, pasir, platenoid
dan planet dalam berbagai bentuk seperti mineral silikat. Silikon dioksida berbentuk
padat pada suhu ruangan, dengan titik lebur dan titik didih masing – masing 1.610°C
dan 2.230 °C dan bersifat menghantarkan panas. Dalam bentuk kristalnya, silikon
dioksida murni berwarna putih, dan memiliki struktur kristal heksagonal. Silikon
dioksida juga sulit larut dalam pelarut asam, kecuali untuk asam fluorida.
(Cotton,1989).
Silikon bisa diperoleh dari silikon dioksida secara reaksi reduksi – oksidasi.
Metode reaksi yang digunakan terdiri dari beberapa jenis, yaitu karbotermik,
kalsiotermik, magnesiotermik, dan aluminotermik. Masing – masing metode diatas
pada dasarnya sama yaitu terjadi karena adanya reaksi reduksi dan oksidasi, yang
membedakan hanyalah suhu yang diperlukan pada saat reaksi berlangsung

( Wynnyckuj,1976 ). Metode yang dikembangkan akhir – akhir ini yaitu metode
magnesiotermik karena suhu yang digunakan relatif rendah, seperti yang dilaporkan
Bao (2007), bahwa konversi silikon dioksida menjadi silikon cukup dilakukan pada
suhu 650°C tepat pada titik lebur magnesium.
Akhir – akhir ini telah banyak dilakukan pengembangan akan ukuran partikel
silikon, salah satunya adalah nanosilikon. Ukuran nanosilikon terdistribusi pada
ukuran ≤ 100 nm (Sigma Aldrich,2015). Nanosilikon adalah bentuk alotropik dari
silikon dengan struktur parakristal, yang mirip dengan silikon amorf.
Warna nanosilikon sangat bervariasi tergantung pada ukuran partikelnya , yang
terdistribusi dari warna kuning hingga coklat. Variasi warna ini disebabkan oleh kesan
kuantum pada kisi kristal silikon itu sendiri (Delley,1993).

Universitas Sumatera Utara

Nanosilikon memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan serbuk
silikon biasa. Nanosilikon memiliki daya mobilitas elektron yang lebih tinggi,
sehingga bisa dijadikan material yang bagus sebagai anoda pada baterai Li – ion untuk
meningkatkan masa pakai baterai (Cho, 2010). Nanosilikon juga memiliki daya
absorbsi gelombang inframerah yang lebih baik, sehingga banyak digunakan pada
solar sel silikon serta memiliki bentuk yang lebih stabil, karena memiliki ukuran

partikel yang lebih kecil ( Iwamura , 2012).
Liang telah membuat nanosilikon dengan mereduksi silika sol dengan
magnesium. Reaksi dilakukan di dalam autoclave selama 10 jam pada suhu 180°C.
Kemudian hasil reaksi dicuci dengan HCl 1M , HF 10% dan air deionisasi serta
etanol, kemudian dikarakterisasi XRD, TEM, dan BET. Dari hasil karakterisasi
diketahui nanosilikon yang diperoleh memiliki kemurnian yang rendah yakni 25% ,
dan ukuran partikel sebesar 80 nm(Liang, 2014).
Kumar telah membuat nanosilikon dengan menggunakan microwave plasma.
Dengan cara ini, nanosilikon disintesis dengan menggunakan nukleasi uap homogen
dari silikon yang dihasilkan oleh injeksi radial uap silikon tetraklorida. Secara teori,
reduksi fase gas dari silikon tetraklorida adalah reaksi yang sangat spontan pada suhu
ruangan, sehingga secara praktek kemungkinan silikon tetraklorida akan mengalami
oksidasi terlebih dahulu sebelum terbentuknya nukleasi dari uap silikon dan
nanosilikon yang dihasilkan dengan cara tersebut hanya memiliki kemurnian 40%
serta ukuran partikelnya memiliki jarak distribusi telalu besar yakni 20 nm – 50 nm
(Kumar, 2012).
Sitorus juga telah membuat sintesis silikon secara magnesiotermik pada suhu
800°C dengan variasi waktu 4 jam, 5 jam dan 6 jam, yang hasil reaksinya dicuci
dengan HCl 2M, CH3COOH 25%, dan HF 4,8%. Silikon yang dihasilkan memiliki
kemurnian silikon sebesar 85%, namun partikel silikon yang dihasilkan cenderung

mengeras dan menyatu satu dengan yang lainnya (Sitorus, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan penelitian sebelumnya, nanosilikon yang dihasilkan secara
magnesiotermik selama ini memiliki ukuran partikel yang besar ( ≥ 50 nm ) dan
distribusi partikel yang tidak merata, hal tersebut dikarenakan ketika nanosilikon
terbentuk pada saat reaksi berlangsung cenderung akan meleleh dan membentuk
aglomerasi antara partikel yang satu dengan partikel lainnya yang disebabkan oleh
suhu yang terlalu tinggi dari suhu yang telah diatur sebelumnya. Suhu yang terlalu
tinggi tersebut diakibatkan oleh kalor yang dilepaskan oleh magnesium ketika reaksi
reduksi berlangsung, sekitar -245 kJ/mol (Sadique,2010) dan faktor lamanya waktu
pemanasan pada saat reaksi berlangsung, dimana reaksi reduksi sebenarnya telah
terjadi pada titik lebur magnesium yaitu pada suhu sekitar 650°C,tetapi untuk
memastikan agar reaksi berlangsung sempurna, suhu reaksinya biasanya dibuat lebih
tinggi dari 650°C. Tentunya hal ini akan melepaskan kelebihan kalor selain dari kalor
yang dilepaskan oleh magnesium. Kelebihan kalor tersebut tentunya akan diserap oleh
nanosilikon sehingga menyebabkan nanosilikon melebur dan membentuk aglomerasi
(∆Hfusi Nanosilikon = +50,2 kJ/mol(Luo,2013).
Untuk mengatasi masalah di atas, maka akan dibuat penelitian tentang

pembuatan nanosilikon dari silika yang berasal dari pasir alam yang memiliki ukuran
partikel yang lebih kecil dan distribusi ukuran partikel yang lebih merata dengan
mengadopsi prosedur dari Wei Luo (Luo,2013), dimana silika yang akan direduksi
oleh magnesium terlebih dahulu dicampurkan dengan NaCl dengan bantuan
ultrasonik. Diharapkan NaCl akan menyerap kelebihan kalor yang dilepaskan oleh
magnesium dan kelebihan kalor yang diakibatkan oleh lamanya waktu pemanasan
( ∆Hfusi NaCl = +28,8 kJ/mol ), sehingga partikel nanosilikon yang dihasilkan tidak
melebur dan partikel nanosilikon yang dihasilkan akan lebih kecil.
1.2.

Permasalahan

Reaksi reduksi dengan magnesium sangat eksotermik dan berlangsung dalam waktu
yang lama sehingga menghasilkan kelebihan kalor yang akan menyebabkan produk
silikon meleleh dan membentuk aglomerasi sehingga menghasilkan silikon yang
memiliki ukuran partikel yang besar. Penambahan NaCl yang memiliki energi fusi
sebesar 28,8 kJ/mol dapat menyerap kelebihan kalor yang dihasilkan oleh magnesium
dan kelebihan kalor yang diakibatkan oleh lamanya waktu pemanasan, sehingga
diharapkan dapat dihasilkan nanosilikon yang memiliki ukuran partikel ≤ 50 nm.


Universitas Sumatera Utara

1.3.

Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada penggunaan pasir alam yang berasal
dari Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Asahan yang digunakan untuk mensintesis
nanosilikon dan penggunaan NaCl dalam menyerap kelebihan kalor yang dihasilkan
oleh magnesium dan akibat berlebihnya waktu pemanasan.
1.4.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
1.

Untuk mengetahui pengaruh NaCl dalam menyerap kelebihan kalor yang
dihasilkan selama reaksi reduksi berlangsung.


2.

Untuk menghasilkan nanosilikon yang memiliki ukuran partikel ≤ 50 nm dan
distribusi partikel yang lebih merata.

1.5.

Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah untuk :
1.

Meningkatkan nilai ekonomis dari silikon yang dihasilkan pada proses reduksi.

2.

Memberikan informasi teknik sintesis nanosilikon dengan ukuran partikel yang
lebih kecil dan distribusi partikel yang lebih merata.

1.6.


Lokasi Penelitian

Bahan pasir kuarsa diperoleh dari Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA
USU, Medan, Laboratorium Ilmu Dasar USU, Medan dan Laboratorium Kimia Fisika
FMIPA USU, Medan. Karakterisasi dengan difraktometer dilakukan di Laboratorium
Fisika Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan karakterisasi dengan Transmisi
Elektron Mikroskop dilakukan di Laboratorium Fisika Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara

1.7.

Metodologi Penelitian

Pasir kuarsa dibersihkan dan dibuat dalam ukuran partikel 115 mesh. Kemudian
diisolasi silikanya dengan penambahan HCl pekat dan H2SO pekat untuk melarutkan
zat – zat pengotor berupa oksida logam dan senyawa organik seperti jasad renik

makhluk hidup yang tertinggal di pasir kuarsa, lalu ditanur pada suhu 900°C untuk
menghilangkan sisa senyawa karbon pada partikel silika, lalu silika dikarakterisasi
dengan menggunakan difraktometer. Silika yang diperoleh kemudian dicampur
dengan NaCl dengan perbandingan mol 1:10 dan diultrasonik dengan frekuensi 40
kHz selama 1 jam kemudian dikeringkan didalam oven pada suhu 110°C selama 30
menit. Campuran silika dan NaCl kemudian direduksi secara magnesiotermik dengan
perbandingan mol silika dan magnesium 1:2 dan diaduk hingga merata kemudian
direduksi didalam tanur listrik sebanyak dua kali yakni pada suhu 800°C selama 6 jam
dan pada suhu 800°C selama 7 jam. Masing – masing hasil reduksi kemudian
dimurnikan secara bertahap yaitu dengan penambahan Akuabides, HCl 2N, campuran
HCl 2N dan CH3COOH 25% serta campuran HF 4,8% dan CH3COOH 25%. Padatan
pemurniannya kemudian dikarakterisasi dengan Difraktometer dan Transmisi Elektron
Mikroskop (TEM).

Universitas Sumatera Utara