Pembuatan Nanosilikon Dari Pasir Alam Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Asahan Secara Magnesiotermik Dengan Penambahan Natrium Klorida Sebagai Penyerap Kalor

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pasir Kuarsa

Pasir kuarsa adalah bahan galian yang terdiri atas kristal-kristal silika (SiO2) dan
senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa juga
dikenal dengan nama pasir putih yang merupakan hasil pelapukan batuan yang
mengandung mineral utama, seperti kuarsa dan feldspar. Hasil pelapukan kemudian
tercuci dan terbawa oleh air atau angin dan diendapkan di tepi-tepi sungai, danau atau
laut.
Pasir kuarsa mempunyai komposisi gabungan dari SiO2, Fe2O3, Al2O3, TiO2,
CaO, MgO, dan K2O, berwarna putih bening atau warna lain bergantung pada
senyawa pengotornya, adapun sifat pasir kuarsa memiliki kekerasan 7 (skala Mohs),
berat jenis 2,65 kgL-1, titik lebur 1728°C, bentuk kristal hexagonal, panas sfesifik
0,185 J, dan konduktivitas panas 12 – 1000°C.
Dalam kegiatan industri, penggunaan pasir kuarsa sudah berkembang meluas,
baik langsung sebagai bahan baku utama maupun bahan aditif. Sebagai bahan baku

utama, misalnya digunakan dalam industri kaca, semen, tegel, mosaik keramik, bahan
baku fero silikon, silikon carbide, dan bahan abrasit (ampelas dan sand blasting).
Sedangkan sebagai bahan aditif digunakan dalam industri cor, industri perminyakan
dan pertambangan, bata tahan api (refraktori), dan lain sebagainya ( Asmuni,2000).
Untuk pasir kuarsa yang digunakan dalam penelitian bisa dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini:

Gambar 2.1. Pasir Kuarsa

Universitas Sumatera Utara

2.2.

Silika ( SiO2 )

Silika adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO2 (silicon dioxsida) yang
dapat diperoleh dari mineral silika dan sintesis kristal. Mineral silika adalah senyawa
yang banyak ditemui dalam bahan tambang atau galian yang berupa mineral seperti
pasir kuarsa, granit, dan feldspar yang mengandung kristal-kristal silika (SiO2)
(Kalapathy,2000). Selain terbentuk secara alami, silika dengan struktur kristal tridimit

dapat diperoleh dengan cara memanaskan pasir kuarsa pada suhu 870°C dan bila
pemanasan dilakukan pada suhu 1470°C dapat diperoleh silika dengan struktur
kristobalit. Silika juga dapat dibentuk dengan mereaksikan silikon dengan oksigen
atau udara pada suhu tinggi (Iler, 1979). Adapun sifat – sifat silika dapat dilihat pada
tabel 2.1. dibawah ini:

Tabel 2.1. Sifat – sifat Silika
Sifat

Hasil

Berat Jenis (g/cm3)

2,6

Bentuk

Padat

Daya larut dalam air


Tidak larut

Titik cair (°C)

1610

Titik didih (°C)

2230

Kekerasan (Kg/mm2)

650

Kekuatan tekuk (MPa)

70

Kekuatan tarik (MPa)


110

Modulus elastisitas (GPa)

73 - 75

Resistivitas ( m)

>1014

Koordinasi geometri

Tetrahedral

Struktur kristal

Kristobalit, Tridimit,
Kuarsa
Sumber : ( Iler, 1979)


Universitas Sumatera Utara

Silika terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat serta memiliki struktur
berupa empat atom oksigen yang terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom
pusat atom silikon (Cestari,2000).
Pada umumnya silika memiliki bentuk kristal tetrahedral, namun bila
pembakaran berlangsung terus-menerus pada suhu di atas 650°C maka tingkat
kristalinitasnya akan cenderung meningkat dan membentuk fasa quartz, crystobalite,
dan tridymite . Bentuk struktur quartz, crystobalite, dan tridymite yang memiliki
stabilitas dan kerapatan yang berbeda. Struktur Kristal quartz, crystobalite, dan
tridymite memiliki nilai densitas masing-masing sebesar 2,65×10 kgm-3, 2,27×103
kgm-3, dan 2,23×103 kgm-3. Berdasarkan perlakuan termal, pada suhu < 570°C
terbentuk low quartz, untuk suhu 570-870°C terbentuk high quartz yang mengalami
perubahan struktur menjadi crystobalite dan tridymite, sedangkan pada suhu 8701470°C terbentuk high tridymite, pada suhu ˃ 1470°C terbentuk high crystobalite, dan

pada suhu 1723°C terbentuk silika cair. Silika dapat ditemukan di alam dalam

beberapa bentuk meliputi kuarsa dan opal, silika memiliki 17 bentuk kristal, dan
memiliki tiga bentuk kristal utama yaitu kristobalit, tridimit, dan kuarsa (Scott,1993).

Adapun bentuk – bentuk silika dapat dilihat pada tabel 2.2. dibawah ini:
Tabel 2.2. Bentuk – bentuk silika
Bentuk
Kristobalit
Tridmit
Kuarsa

Rentang Stabilitas(°C)
1470 - 1723
870 - 1470
< 870

Modifikasi
kubik
tetragonal
heksagonal
ortorombik
heksagonal
trigonal
Sumber: ( Scott, 1993 )


Universitas Sumatera Utara

2.3.

Silikon

Silikon adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Si dan
nomor atom 14. Senyawa yang dibentuk bersifat paramagnetik. Unsur kimia ini
ditemukan oleh Jöns Jakob Berzelius. Silikon merupakan unsur metaloid tetravalensi,
bersifat kurang reaktif dibanding karbon. Silikon merupakan elemen terbanyak
kedelapan di alam semesta dari segi massanya, tetapi tidak pernah ditemukan dalam
bentuk murni di alam. Silikon paling banyak terdistribusi pada debu, pasir, planetoid,
dan planet dalam berbagai bentuk seperti silikon dioksida atau silikat. Lebih dari 90%
kerak bumi terdiri dari mineral silikat, menjadikan silikon sebagai unsur kedua paling
melimpah di kerak bumi (sekitar 28% massa) setelah oksigen (Makarim,2007).
Silikon berbentuk padat pada suhu ruangan, dengan titik lebur dan titik didih
masing-masing 1.400 dan 2.800 °C, silikon mempunyai massa jenis yang lebih besar
ketika dalam bentuk cair dibanding dalam bentuk padatannya.


Silikon juga

mempunyai konduktivitas thermal yang tinggi (149 Wm−1K−1), sehingga silikon
mudah mengalirkan panas oleh karena itu silikon tidak pernah dipakai untuk
mengisolasi benda panas.
Dalam bentuk kristalnya, silikon murni berwarna abu-abu metalik,agak kuat
tapi sangat rapuh dan mudah mengelupas. Silikon mengkristal dalam struktur kristal
tetrahedral, dengan jarak kisi 0,5430710 nm (5.430710 Å).
Orbital elektron terluar dari silikon mempunyai 4 elektron valensi. Kulit atom
1s,2s,2p, dan 3s terisi penuh, sedangkan kulit atom 3p hanya terisi 2 dari jumlah
maksimumnya 6 (Ceccaroli,2005).

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Nanosilikon

Nanosilikon dikenal juga sebagai mikrokristalin silikon. Nanosilikon adalah bentuk
silikon berpori yang merupakan fase alotropik dari silikon yang strukturnya mirip

dengan silikon amorf . Nanosilikon memiliki butiran kristal yang kecil pada fase
amorf. Hal ini berbeda dengan silikon polikristal yang terdiri dari biji-bijian silikon
kristal. Perbedaan mendasar dari keduanya berasal dari ukuran butir kristal.
Nanosilikon memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan silikon biasa,
salah satunya adalah memiliki mobilitas elektron yang lebih tinggi, karena adanya
bentuk kristal pada fase amorfnya. Selain itu nanosilikon juga menunjukkan adanya
peningkatan penyerapan dalam panjang gelombang merah dan inframerah, yang
membuat nanosilikon menjadi bahan penting dalam pembuatan sel surya. Salah satu
kelebihan yang paling penting dari silikon nanokristalin, adalah nanosilikon memiliki
stabilitas yang lebih baik dibanding dengan silikon biasa, hal ini disebabkan
nanosilikon memiliki ukuran partikel yang lebih kecil. Selain itu nanosilikon memiliki
daya simpan yang lebih baik dibanding dengan silikon biasa maupun polikristalin
silikon lainnya.
Nanosilikon sendiri memiliki titik didih 2355°C dan titik lebur 1410°C serta
densitas 2,33 gml-3, dan memiliki distribusi warna kuning hingga coklat (Luo,2013).
Adapun contoh serbuk nano silikon dapat dilihat pada gambar 2.2. dibawah ini:

Gambar 2.2. Serbuk nanosilikon ( Sigma Aldrich,2014 )
Perbedaan warna pada serbuk silikon yang dihasilkan disebabkan oleh emisi
gelombang pantulan cahaya pada serbuk yang ukurannya berbeda ( Delley,1993 ).


Universitas Sumatera Utara

Menurut Favorz (2014) ketika nanosilikon dikarakterisasi TEM, hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa Nanosilikon memiliki ukuran partikel yang sangat kecil dan
cenderung membentuk aglomerasi antara satu dengan yang lainnya dan memiliki
ukuran partikel yang terdistribusi sekitar 9 nm. Adapun gambar analisa TEM nya
dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini :

Gambar 2.3.

2.5.

Hasil analisis TEM nanosilikon. a. Hasil analisa TEM dengan
perbesaran 20 nm b. Hasil analisa TEM dengan perbesaran 10 nm
( Favorz, 2014 )

Metode Reduksi Silika

Ada beberapa metode reduksi silika, antara lain :

1.

Reduksi Karbotermik

Silikon dapat diperoleh dengan mereduksi silika dengan adanya karbon pada
temperatur yang tinggi. Silikon diproduksi di dalam tanur listrik. Pada proses ini silika
ataupun batuan yang mengandung siilika dimasukkan kedalam tanur beserta agen
pereduksi berupa karbon dan suhu dikontrol sekitar 2127°C (Lynch,2009). Berikut
adalah reaksi yang terjadi pada proses reduksi silika menggunakan karbon:
SiO2(l) + Si(l)

2SiO(g)

SiO(g) + 2C(s)

SiC(s) + CO(g)

SiO(g) + SiC(s)

2Si(l) + CO(g)

Adapun skema prosesnya dapat dilihat pada gambar 2.4.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Proses reduksi silika dengan karbon (Sadique,2010)
2.

Reduksi Aluminotermik
Pada proses reduksi ini digunakan aluminium sebagai agen pereduksi.

Aluminium adalah logam yang lebih reaktif dibanding dengan silikon. Aluminium
dapat mereduksi silikon dioksida untuk memproduksi silikon. Reaksi yang
berlangsung biasanya bersifat sangat eksotermik dan akan membebaskan panas yang
tinggi ( Wang, 2002 ).
Adapun reaksi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
3SiO2(s) + 4Al(s)

2Al2O3(s) + 3Si(s)

3Al2O3(s) + 2SiO2(s)

Al6Si2O13(s)

8Al(s) + 3Al6Si2O13(s)

13Al2O3(s) + 6Si(s)

3.

Reduksi Kalsiotermik
Reduksi kalsiotermik mirip dengan reduksi aluminotermik. Sebuah proyek

telah dilakukan pada proses reduksi silika amorf ( silika yang diperoleh dari sekam
padi ) menjadi silikon dengan menggunakan kalsium sebagai agen pereduksinya
(Mishra,1985). Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:.
SiO2(s) + 2Ca (s)

2CaO(s) + Si(s)

Reduksi silika amorf menjadi silikon oleh kalsium dilakukan pada suhu 720°C,
dan pada akhirnya diperoleh silikon dengan kemurnian 99,9% setelah dilakukan
pencucian dengan HNO3 dan HF ( Ryningen, 2010 ).

Universitas Sumatera Utara

4.

Reduksi Magnesiotermik

Silika dapat direduksi oleh magnesium untuk menghasilkan silikon melalui reaksi
dibawah ini:
SiO2(s) + 2Mg(s)

2MgO(s) + Si(s)

Reaksi ini mungkin melibatkan pembentukan Mg2Si pada tahap awal, kemudian
diikuti reduksi silika melalui reaksi dibawah ini:
SiO2(s) + 4Mg(g)

2MgO(s) + Mg2Si(s) ΔG°(900°C) -308.5 kJ/mol

Mg2Si(s) + SiO2(s)

2MgO(s) + 2Si(s) ΔG°(900°C)

Dengan adanya kelebihan Mg pada reaktan, Mg2Si

-181.8 kJ/mol
yang lebih banyak akan

terbentuk, sesuai reaksi dibawah ini:
Si(s) + 2Mg(g)

Mg2Si(s) ΔG°(900°C)

-63.4 kJ/mol

Bao, (2007) melaporkan konversi silikon dioksida menjadi silikon nanokristalin
dilakukan pada suhu 650°C tepat pada suhu titik lebur magnesium. Dalam keadaan
ini reaksi reduksi terjadi dari permukaan silika menuju ke dalam partikel silika dan
menghasilkan campuran produk reaksi berupa MgO dan Si. Dalam skala industri
reaksi reduksi dengan menggunakan Mg sangat jarang digunakan, karena diduga akan
menghasilkan Mg2Si sebagai reaksi samping (Wynnyckuj,1976 ).

Universitas Sumatera Utara

2.6.

Struktur Kristal

Dalam usaha mengklasifikasikan material perlu ditentukan apakah material berbentuk
kristalin, non kristalin atau campuran dari kedua jenis struktur tersebut. Perbedaan
yang perlu diperhatikan antara struktur kristalin dan non kristalin dapat dilakukan
dengan menerapkan konsep tatanan. Susunan bahan padat tergantung pada susunan
atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul yang saling berikatan. Kristal adalah bahan
padat yang atom – atomnya tersusun dalam satu pola yang berulang dalam tiga
dimensi yang disebut sebagai padatan kristalin. Susunan atom – atom yang beraturan
tersebut disebut struktur kristal. Keteraturan atau kekristalan suatu struktur tidak dapat
dijumpai pada gas dan cairan. Diantara padatan, logam, keramik, dan polimer dapat
berupa kristalin ataupun non kristalin tergantung pada proses pembuatannya atau
parameter komposisinya ( Mangonoon, 1999 ). Keteraturan susunan atom ini dapat
digambarkan dengan menggunakan tiga sistem sumbu (x,y,z) seperti gambar 2.5 di
bawah ini:

Gambar 2.5. Struktur Kristal dalam sistem sumbu X, Y, Z ( Mangonoon, 1999 ).
Struktur kristal yang umumnya terdapat pada logam murni adalah BCC ( Body
Centered Cubic ), FCC ( Face Centered Cubic ), dan HCP ( Hexagonal Closed
Packed ).

Universitas Sumatera Utara

1.

Kubik Berpusat Badan ( Body Centered Cubic/ BCC )
Pada kristal yang memiliki struktur Body Centered Cubic

setiap atom pusat

dikelilingi oleh 8 atom terdekat. Dari setiap unit selnya terlihat bahwa ada satu
atom utuh terletak di tengah sel satuan dan 1/8 atom pada setiap sudut sel
satuan. Sehingga dalam satu sel satuan BCC terdapat 2 atom. Adapun gambar
struktur kristal BCC dapat dilihat pada gambar 2.6 di bawah ini:

Gambar 2.6. Struktur Kristal Kubik berpusat Badan ( BCC) ( Smallman , 1999).
2.

Kubik Berpusat Muka ( Face Centerd Cubic /FCC )
Pada kristal yang memiliki struktur Face Centerd Cubic

terlihat bahwa

setiap sel satuan terdiri dari satu titik lattice pada setiap sudut dan satu titik
lattice pada setiap sisi kubus. Setiap atom pada struktur kristal FCC dikelilingi
oleh 12 atom, dimana dalam setiap satuan sel terdapat 4 buah atom. Adapun
gambar struktur kristal FCC dapat dilihat pada gambar 2.7 di bawah ini:

Gambar 2.7. Struktur Kristal Kubik berpusat Muka ( FCC ) ( Smallman, 1999).

Universitas Sumatera Utara

3.

Hexagonal Closed Packed
Pada struktur kristal Hexagonal Closed Packed, setiap atom dikelilingi oleh
12 atom, dan setiap satuan selnya memiliki jumlah atom sebanyak 6 buah.
Adapun gambar struktur kristal hexagonal closed packed dapat dilihat pada
gambar 2.8 di bawah ini:

Gambar 2.8. Struktur Sel Satuan Hexagonal Closed – Packed ( Smallman, 1999).
Dalam usaha mengklasifikasikan kristal juga tidak terlepas dari kisi suatu
kristal. Pada penentuan struktur kristal kita harus mengacu pada bidang dan arah
tertentu dalam suatu kisi kristal. Untuk penentuan tersebut maka diungkapkan dalam
notasi yang disebut sistem indeks miller. Dalam sistem itu dipilih tiga sumbu : X, Y,
Z, yang masing - masing sejajar dengan ketiga rusuk sel kristal. Untuk menetapkan
suatu bidang kristal kita perlu menentukan perpotongannya dengan ketiga sumbu X,
Y, Z, kemudian mengambil kebalikannya dan menyamakan penyebutnya. Bentuk
kebalikan perpotongan itu akan menjadi h/n , k/n, l/n, sehingga bila bilangan bulat hkl
ditulis dalam kurung akan menyatakan indeks miller untuk bidang bersangkutan
(h,k,l) ( Smallman,1999 ). Adapun beberapa contoh bidang yang dinyatakan bentuk
indeks miller dapat dilihat pada gambar 2.9 di bawah ini:

Gambar 2.9. Indikasi Miller mengenai bidang dalam kristal kubik ( Smallman, 1999 ).

Universitas Sumatera Utara

2.7.

Karakterisasi Nanosilikon

2.7.1. Difraksi Sinar X
Sinar X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895.
Karena asalnya tidak diketahui waktu itu, maka disebut sinar-X. Sinar X digunakan
untuk tujuan pemeriksaan yang sifatnya tidak merusak pada material maupun
manusia. Disamping itu, sinar X dapat juga digunakan untuk menghasilkan pola
difraksi tertentu yang dapat digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif
material.
Pada saat suatu material dikenai sinar X, maka intensitas sinar yang
ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya
penyerapan energi oleh material dan juga penghamburan sinar oleh atom-atom dalam
material tersebut.Berkas sinar X yang dihamburkan tersebut ada yang saling
menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena
fasanya sama. Berkas sinar X yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai
berkas difraksi ( Warren,1969). Peristiwa terjadinya sinar X dapat dilihat pada gambar
2.10 di bawah ini:

Gambar 2.10. Difraksi sinar X (Cullity, 1967 )
Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan yang
harus dipenuhi agar berkas sinar X yang dihamburkan tersebut merupakan berkas
difraksi. Sinar X dihasilkan dari tumbukan antara elektron kecepatan tinggi dengan
logam target. Dari prinsip dasar ini, maka dibuatlah berbagai jenis alat yang
memanfaatkan prinsip dari Hukum Bragg ini.
X-Ray Diffraction atau XRD merupakan salah satu alat yang memanfaatkan
prinsip tersebut dengan menggunakan metode karakterisasi material yang paling tua
dan paling sering digunakan hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk
mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter
struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel.

Universitas Sumatera Utara

Dasar dari prinsip pendifraksian sinar X yaitu difraksi sinar-X terjadi karena
adanya hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik.
Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang
konstruktif. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari kisi kristal
adalah berdasarkan persamaan Bragg:
n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2,.....
Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel
kristal,maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang
gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan
akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi.
Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas
pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili
satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi.
Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan
dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini disebut
JCPDS( Cullity,1967).
Prinsip kerja XRD secara umum adalah sebagai berikut : XRD terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar X.
Sinar X dihasilkan di tabung sinar X yang terdiri katoda untuk memanaskan filamen,
sehingga menghasilkan elektron. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan
elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang
tinggi dan menabrak elektron dalam objek maka dihasilkan pancaran sinar X. Objek
dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar X.
Detektor merekam dan memproses sinyal sinar X dan mengolahnya dalam bentuk
grafik (Chung,1973).

Universitas Sumatera Utara

2.7.2. Mikroskop Transmisi Elektron ( Transmission Electron Microscopy )
Mikroskop Transmisi Elektron adalah mikroskop yang mampu melakukan
pembesaran objek sampai 2 juta kali, dengan menggunakan elektrostatik dan
elektromagnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar. Mikroskop
Transmisi Elektron juga memiliki kemampuan pembesaran objek dengan resolusi
yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini
menggunakan lebih banyak energi dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek
dibandingkan mikroskop cahaya .
Mikroskop Transmisi Elektron memiliki fungsi untuk analisis morfologi,
struktur kristal, dan komposisi spesimen. Mikroskop Transmisi Elektron menyediakan
resolusi lebih tinggi dibandingkan SEM, dan dapat memudahkan analisis ukuran atom
(dalam jangkauan nanometer) dengan menggunakan energi berkas elektron sekitar 60
sampai 350 keV. Mikroskop Transmisi Elektron bagus digunakan sebagai alat untuk
menganalisis material padat pada resolusi atomik. Informasi struktural material
diperoleh dari pencitraan resolusi yang tinggi dan difraksi elektron yang dihasilkan.
Ketika elektron ditumbukkan pada sebuah permukaan material, dari permukaan
tersebut akan dipancarkan elektron. Dari pancaran elektron ini bisa diketahui bentuk
permukaan zat tersebut. Adapun skema alat mikroskop transmisi elektron bisa dilihat
pada gambar 2.11 di bawah ini:

Gambar 2.11. Skema Mikroskop Transmisi Elektron (Miroslav,2001)
Dari skema di atas dapat diterangkan bahwa elektron ditembakkan dari electron gun
yang kemudian melewati oleh dua lensa kondenser yang berguna menguatkan elektron
yang ditembakkan. Setelah melewati dua lensa kondenser, elektron diterima oleh
spesimen yang tipis kemudian diteruskan ke tiga lensa yaitu lensa objektif, lensa
intermediet dan lensa proyektor.

Universitas Sumatera Utara

Lensa objektif merupakan lensa utama dari TEM, lensa intermediet sebagai penguat
dari lensa objektif dan lensa proyektor berguna untuk menggambarkan objek pada
layar flourescent yang ditangkap oleh film fotografi atau kamera CCD ( Charged
Coupled Deviced ) ( Bendersky,2001 ).
2.6. Ultrasonik
Ultrasonik merupakan bunyi yang mempunyai frekuensi tinggi. Bunyi pada dasarnya
mempunyai frekuensi dari yang kecil hingga tinggi. Berdasarkan kegunaannya, bunyi
dapat dibedakan menjadi:
1. Bunyi yang bisa didengar oleh manusia ( 16 Hz – 18 Hz )
2. Tenaga ultrasonik konvensional ( 20 kHz – 100 kHz )
3. Sonochemistry (20 kHz – 2MHz )
4. Diagnostic ultrasound ( 5MHz – 10 MHz )
Pemanfaatan

ultrasonik

pada

bidang

kimia

disebut

dengan

istilah

sonochemistry. Pemanfaatannya sangat luas, seperti proses ekstraksi, kristalisasi,
sintesis bahan, dan pembuatan katalis.
Tenaga ultrasonik pada proses – proses kimia tidak secara langsung kontak
dengan media yang bersangkutan, akan tetapi melalui media perantara yang berupa
cairan. Gelombang bunyi yang dihasilkan oleh tenaga listrik, diteruskan oleh media
cair ke media yang dituju melalui fenomena kavitasi. Fenomena kavitasi yaitu
terbentuknya gelembung kecil pada media perantara, yang lama kelamaan gelembung
akan bertambah besar dan akhirnya akan pecah dan mengeluarkan tenaga besar.
Tenaga inilah yang digunakan dalam proses kimia. Fenomena kavitasi dapat dilhat
pada gambar 2.12 di bawah ini:

Gambar 2.12. Fenomena kavitasi ( Wardiyati,2004 )

Universitas Sumatera Utara

2.7.1

Cleaning Bath Ultrasonic

Ultrasonik jenis bath secara umum mempunyai spesifikasi sebagai berikut:
a. Daya tranduser : 1 sampai 5 Wcm-2
b. Frekuensi : 40kHz
c. Kapasitas: 1,5 L ( satu transduser) sampai dengan 50.000 ( lebih dari satu
transduser )
d. Medium : air ditambah sedikit surfaktan atau detergen untuk menurunkan
tegangan permukaan
Beberapa jenis cleaning bath, yaitu:
a. Indirect cleaning bath
b. Direct cleaning bath
Direct cleaning bath lebih cocok digunakan pada proses kimia dengan bahan yang
tidak bersifat mudah menguap dan volumenya relatif besar sedangkan untuk indirect
cleaning bath ultrasonic digunakan untuk bahan yang mudah menguap , maka wadah
perlu dilengkapi penutup (Wardiyati, 2004). Skema perbedaan antara indirect cleaning
bath dan direct cleaning bath dapat dilihat pada gambar 2.13 di bawah ini:

Gambar 2.13. Gambar Indirect dan direct bath ultrasonic ( Wardiyati,2004)

Universitas Sumatera Utara