Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

123

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

124

TIM PRODUKSI FILM DOKUMENTER DI BALIK FREKUENSI
(Sumber: behindthefrequency.com)

UCU AGUSTIN
Sutradara | Penulis | Produser | Eksekutif Produser | Periset | Periset Arsip
Ucu Agustin adalah penulis cum wartawan dan pembuat film dokumenter. Aktif
menulis sejak masih kuliah di Instiut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif
Hidyatullah Jakarta) dan menjadi kontributor serta anggota pada Serikat Penulis
Berita Pantau sejak 2000. Minatnya yang besar terhadap jurnalistik dan
ketertarikannya kepada dokumenter membuatnya memutuskan belajar audio
visual secara otodidak pada akhir 2005. Pada Desember 2005, skrip film
dokumenter pendek Ucu yang berjudul Death In Jakarta memenangkan
JIFFEST Script Development Competition, dan sejak itu ia terus membuat

beberapa film dokumenter hingga Februari 2009, film dokumenter Ragat’e
Anak yang tergabung dalam Antologi Pertaruhan (judul internasional: At Stake,
produksi Kalyana Shira Foundation) membawanya ke Berlinale Film Festival. At
Stake menjadi film dokumenter Indonesia pertama yang masuk dalam sesi
Panorama Documente pada festival film—tertua setelah Cannes—yang
diadakan di Jerman tersebut.

Universitas Sumatera Utara

125

URSULA TUMIWA
Produser | Eksekutif Produser
Ursula Tumiwa adalah produser yang telah menangani beberapa film yang
memiliki
ciri
khas
kekuatan
lokal
Indonesia. Generasi

Biru dan Metamorfoblus merupakan film yang telah dilahirkannya. Pernah
menetap lima tahun di Singapura dan bekerja sebagai konsultan data network
telekomunikasi di PT Ultracom serta mengelola workshop SERAI [sebuah
workshop yang mengorganisir hasil kerajinan perempuan Bantul dan Pengrajin
Lurik dari Klaten] sejak tahun 2000. Workshop yang berlokasi di Stamford
House, Singapura tersebut bekerjasama dengan NWA [organisasi perempuan
Jepang yang mengelola hasil kerajinan perempuan Bangladesh] untuk saling
mendukung kegiatan perempuan lokal di Asia. Karena consern-nya terhadap
generasi muda dan persoalan distribusi film di Indonesia, pada Oktober 2009,
mendirikan Rumah Pohon Indonesia untuk mewadahi kegiatan dan aspirasi para
pembuat film muda yang belakangan banyak bermunculan. Selain membuat film
dan mendirikan rumah produksi, Ursula juga adalah salah seorang founder dan
board member pada Goelali Children Festival yang telah memasuki tahun ketiga
pada tahun 2011.
SIDIK ILMAWAN
Line Producer
Sejak 2009 ia telah terlibat dalam produksi film, seperti "Jalan" yang disutradarai
oleh Tony Trimarsanto. Ia menyukai perencanaan dan desain produksi lapangan.
Luasnya jaringan dari berbagai latar belakang membantunya untuk melaksanakan
rencana dan strategi yang dia buat.

BINCE MULYONO
Finansial | Administrasi
Bince Mulyono bergabung di dunia film sejak tahun 2003 di SET Film. Pada 2007
bekerja untuk Produksi Jungle Run di Bali dan terlibat dengan banyak Produksi
seperti Discovery Chanel, BBC London, Nasional Geographic. Sekarang ia adalah
direktur di Rumah Pohon Indonesia. Bince menyukai banyak memiliki tantangan
dalam setiap proyek yang dia menangani. Projek yang paling berkesan baginya
adalah ketika ia dikirim ke Aceh pada tahun 2005, satu bulan setelah Tsunami
terjadi.

Universitas Sumatera Utara

126

DARWIN NUGRAHA
Cinematographer | Editor
Darwin Nugraha belajar film secara otodidak di Unit Kegiatan Mahasiswa MM
Kine Klub Jogja tahun 1999. Bersama beberapa kawan mendirikan dan mengelola
komunitas Buldozer Films Jogja 2002-2006. Ia meraih Piala Citra Festival Film
Indonesia 2009 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik dalam film

“Ayam Mati Di Lumbung Padi” (Buttonijo Pictures, 2009). Pada tahun 2010
meraih penghargaan dokumenter pendek terbaik Festival Film Dokumenter (FFD)
Yogyakarta 2010 dalam film “Music For A Film” (ECCO FILM Indonesia, 2010).
Film dokumenter terbarunya, “Kemijen Bergerak” (Transparency International
Indonesia, 2012) bisa ditonton dan diunduh di www.engagemedia.org. Ia juga
sebagai editor dan atau cameramen beberapa film dokumenter baik produksi
dalam maupun luar negeri.
AFFAN DIAZ
Cinematographer | Desainer Grafis dan Animasi | Website Desainer
ERICKSON SIREGAR
Desainer Grafis dan Animasi
DONO FIRMAN
Sound Desainer
FRANS MARTATKO
Komposer Musik
JUAN MAYO
Online Editor
Juan Mayo aktif di bidang audio visual sejak tahun 2007. Bersama kawankawannya mendirikan rumah produksi Gundala Pictures dan Mingle Motion
Documentary. Film pendek pertamanya "Ga semudah itu, Brur" berhasil meraih
penghargaan pertama kategori Jury's choice di Hello Motion 2010 dan masuk

dalam 10 nominasi Best Short Film Competition di Europe On Screen 2011.
Pertama kali bekerja bersama sutradara Ucu Agustin dalam film "Death in
Jakarta Reloaded" pada tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

127

KIKI FEBRIYANTI
Periset Arsip | Website Manajer | Publicist
Kiki Febriyanti belajar film secara otodidak dan mengikuti workshop film
dokumenter Kickstart! yang diselenggarakan oleh In-Docs pada 2008 di Surabaya,
Jawa Timur. Film dokumenter pertamanya "Jangan Bilang Aku Gila" menjadi
finalis Festival Film Dokumenter 2008 dan official selection Madurai Film
Festival 2009 di India. Pada tahun 2012 film dokumenter keduanya "Yup, It's My
Body" juga menjadi official selection IAWRT 8th Asian Women Film Festival di
India. Kini menjadi pekerja lepas di berbagai produksi film.

ALAM TOPANI
Website Desainer

Alam Topani aktif di bidang Web Desain dan Programming sejak tahun 2008.
Belajar secara otodidak, menguasai beberapa Tag pendukung dalam pembuatan
website seperti CSS3, html5, Javascript, Jquery dll. bahasa pemograman yang
disukai PHP dan Ruby On Rails. Selain sebagai freelancer ia juga berprofesi
sebagai web developer di sebuah perusahan swasta milik asing. Mottonya "Hard
Work to create something that has never existed".

FRANSISKUS ADI PRAMONO
Poster Desainer
Fransiskus Adi Pramono mengambil jurusan hubungan internasional
waktu kuliah, tapi lebih aktif di bidang fotografi, gambar menggambar,
kunjungi
dan desain.
Sekarang
aktif
mengurus www.sorgemagz.com.
Tumblr pribadinya di frnss.tumblr.com

Universitas Sumatera Utara


128

DHYTA CATURANI
Penerjemah Bahasa Inggris
Transcriptor
Widianti
Widya
Okta
Stania
Nayla
Fransiskus
Nit

Adi

Budiarti
Arifianti
Pinanjaya
Puspawardhani
Majestica

Pramono

Universitas Sumatera Utara

129

DOKUMENTASI AKTIVITAS FILM DI BALIK FREKUENSI
(SUMBER: CIPTA WIKI MEDIA)
1. Individu
Ucu Agustin adalah seorang pembuat film dokumenter independen. Filmfilm yang dibuatnya banyak berbicara tentang isu perempuan, social
justice, kesetaraan, kesehatan, serta hak azasi manusia (HAM). Sebagai
penulis cum-wartawan dan documentary filmmaker. Aktif menulis sejak
masih kuliah di Instiut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidyatullah
Jakarta) dan menjadi kontributor serta anggota pada Serikat Penulis Berita
Pantau (Kajian Media dan Jurnalisme - Berita-berita yang ditulis serikat
ini disebar di Koran-koran Indonesia Timur) sejak tahun 2000. Pada tahun
yang sama, Ucu bekerja sebagai wartawan pada Kantor Berita Radio 68H,
dan pada 2002 menjadi penulis untuk sebuah INGO yang bergerak di
bidang Transformai Konfilk, Common Ground Indonesia. Bersama
Veronika Kusumaryati, ia membuat komunitas audio-visual Gambar

Bergerak sebuah komunitas terbuka bagi para pembuat film dokumenter
amatir dan profesional yang ingin mengembangkan project-nya bersama.
Pada Desember 2005, skrip film dokumenter pendek Ucu yang berjudul
”Death In Jakarta” memenangkan JIFFEST Script Development
Competition. Sejak saat itu Ucu terus membuat film dokumenter hingga
pada Februari 2009, film dokumenter “Ragat’e Anak” yang tergabung
dalam Antologi PERTARUHAN (judul internasional: AT STAKE produksi Kalyasa Shira Foundation) membawanya ke BERLINALE Film
Festival. AT STAKE menjadi film dokumenter Indonesia pertama yang
masuk dalam sesi Panorama Documente pada festival film—tertua setelah
Cannes—yang diadakan di Jerman tersebut.
2. Status resmi
Individu
3. Kontak
Ucu Agustin




Situs web: Facebook: Twitter: @doc_media


4. Posisi
Pemimpin proyek
5. Lokasi
Jakarta
Deskripsi Proyek
Proyek ini adalah sebuah proyek pembuatan feature dokumenter yang
akan bercerita tentang bagaimana pers Indonesia bekerja dalam melakukan
pemberitaan.

Universitas Sumatera Utara

130

Film ini akan terbagi dalam dua fase. Fase pertama yaitu 4 tahun lalu,
tepatnya bulan Januari 2008 dimana kebetulan saya berada di tengah
ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang melakukan reportase
krisisnya mantan presiden indonesia, diktator soeharto, sampai dengan ia
meninggal – dan kebetulan saya melakukan pengambilan gambar seputar
kinerja mereka. Berita tentang soeharto bukan hanya mendominasi
pemberitaan media selama lebih dari 3 minggu berturut-turut tapi juga

membuat hilang berita-berita yang seharusnya lebih penting untuk
diangkat, waktu itu. Fase kedua adalah 4 tahun kemudian atau bagaimana
pers Indonesia saat ini.
Bagaimanakah kini pers Indonesia bekerja? Adakah perubahan atau
masihkah kinerjanya sama? Untuk siapakah sebenarnya pers dan
jurnalisme di Indonesia bekerja? Bagaimana wajah pers Indonesia kini, di
era dimana internet memungkinkan komunitas atau seseorang yang
memiliki laptop dan modem bisa mengklaim diri melakukan kerja
jurnalisme? Masih perlukah sensor? Di sisi lain, sadarkah media dan para
pekerjanya kalau warga memperhatikan dan menilai kinerja mereka?
Tujuan:
1. Membuat project audio visual berupa film dokumenter yang bisa
mengajak semua pihak baik mereka yang bekerja di bidang media dan
pemberitaan maupun pihak lain diluar itu, untuk bisa bersama melihat dan
melakukan refleksi serta otokritik atas kinerja media dan pers di Indonesia
2. Perubahan perspektif publik di Indonesia tentang hak mereka akan
informasi melalui film dokumenter tentang cara bekerja media arus utama
di Indonesia pada tahun 2008 dan 2012 (dimana pengambilan gambar dan
produksi film akan kembali dilakukan)
3. Tersosialisasikannya film dokumenter yang telah dibuat melalui premiere
dengan mengundang media, melakukan roadshow, menyediakan link di
internet yang bisa di-unduh secara gratis, dan membuat serta menyediakan
copy DVD untuk lembaga atau komunitas yang berada di daerah fakir
bandwitch dan tak memiliki akses internet.

Sasaran:
A. Tersedianya film dokumenter tentang media arus utama di Indonesia ini
dapat membuat penontonnya menjadi kritis, tergugah, dan terinspirasi
untuk melakukan perubahan.
B. Tersosialisasinya film dokumenter tentang kinerja pers dan media ini
pada 5 target pemirsa:
1. Untuk pekerja media: perubahan perilaku yang lebih membela
kepentingan publik dibandingkan keuntungan perusahaan atau
pemilik stasiun berita.

Universitas Sumatera Utara

131

2. Untuk lembaga studi yang berkenaan dengan pers & media:
menambah satu referensi untuk kajian mereka tentang media &
pers indonesia.
3. Para mahasiswa di universitas-universitas yang memiliki Jurusan
Jurnalistik dimana mereka adalah para calon pekerja media di
masa depan: pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
media bekerja.
4. Untuk publik & komunitas penggiat film serta dokumenter:
perubahan sikap dari tadinya menerima apa adanya penayanganpenayangan berita menjadi lebih awas dalam memilih informasi
yang mereka terima. Memberi kontribusi untuk film-film
dokumenter Indonesia dengan angle yang membidik para pekerja
pers yang selama ini tidak dilirik oleh pembuat film dokumenter di
Indonesia.
5. Untuk publik luar Indonesia, melalui festival dan sharing di
jejaring maya (akan di share di portal2 media dan thread jalur
distribusi online juga crowd sourcing seperti Engage Media
/Youtube/Vimeo dll) : berbagi sudut pandang dan perspektif
tentang pers dan media di Indonesia, yang diharapkan melalui
komentar-komentar yang kontsruktif, bisa memberi feedback baik
untuk kondisi media dan pers Indonesia maupun untuk filmnya
sendiri.
Latar belakang:
A. Keterkaitan pada topik: Kebebasan dan Etika Bermedia
Dunia yang semakin global dan ditopang oleh sistem kapitalisme yang dari
hari ke hari tampak semakin stabil, mau tak mau mengguratkan pertanyaan
yang paling mendasar bila dikaitkan dengan pers dan jurnalisme. Untuk
siapakah sebenarnya pers dan jurnalisme kini bekerja? Untuk masyarakat
seperti yang menjadi alasan keberadaan mereka pada awalnya, ataukah
untuk kepentingan-kepentingan lain di luar itu? Bagaimanakah kini wajah
pers Indonesia di tengah era digital? Seperti apakah kebebasan pers juga
etika bermedia dalam situasi dimana cara kerja pers masa lalu masih
berlaku dan sangat dominan namun tuntutan pers di era digital pada masa
kini juga masih menunggu untuk ditaklukkan dan digarap dengan cara
kerja jurnalisme yang profesional.

B. Masalah yang ingin diatasi dan keterkaitan dengan aktivitas
Saat ini pers dan jurnalisme di Indonesia seolah dituntut untuk turut
melebur dalam artian komunikasi yang ‘lebih luas’, hingga independensi
kerap tergantikan oleh komersialisme, kepentingan pribadi atau golongan,
juga perusahaan. Banyak sekali kepentingan yang menyaru sebagai berita

Universitas Sumatera Utara

132

dan menghilangkan prinsip-prinsip yang harusnya melekat dalam diri
sebuah berita/jurnalisme, yaitu Independensi.
Film ini adalah sebuah usaha untuk bersama membuat pancingan supaya
bisa menciptakan situasi dimana harapan akan sebuah jurnalisme yang
lebih baik di Indonesia, semoga bisa tercipta.
C. Keterkaitan pada kategori: Konten Lokal, Kemitraan, Strategi Kreatif,
Aksi, dan Teknologi Tepat Guna
Aksi
Dalam bentuk film dokumenter, membuat sebuah media yang berbicara
tentang kinerja media dan pers Indonesia.
Mensosialisasikannya melalui berbagai media (offline dan online) dan
aneka jaringan.
Menggagas berbagai kerjasama dengan pihak-pihak yang bekerja di
bidang media dan pers untuk bersama memutar film dokumenter yang
membahas isu media ini. Selain bisa jadi bahan diskusi, film dokumenter
yang dibuat dengan harapan bisa menjadi bahan refleksi saat menontonnya
ini, juga diharapkan mampu menjadi sarana bercermin bersama guna
terciptanya kinerja pers dan media di Indonesia ke depan yang lebih baik.
Strategi Kreatif
Dengan mengolah berbagai sumber dan data audio visual serta aneka
footage koran dan foto dari aneka media juga aneka masa yang
berhubungan dengan bagaimana pers Indonesia bekerja dari waktu ke
waktu (dengan penekanan pada masa 4 tahun lalu/januari 2008 dimana
soeharto kritis sampai dengan meninggal, dan saat ini/4 tahun kemudian
saat era digital telah betul-betul menjadi tuan di era pers kita kini), akan
dibuat suatu gambaran cerita visual yang diharapkan cukup menarik,
penuh emosi, dan bisa bercerita tentang pers indonesia secara utuh (meski
tidak menyuluruh). Membawa keluar apa yang sebenarnya menjadi
permasalahan yang dihadapi pers di masa lalu, dan apa pula yang harus
dipersiapkan di masa mendatang supaya kegagalan jurnalisme dalam
berpihak pada kebenaran semakin bisa dihindarkan dan spirit independensi
bisa tumbuh di dada para jurnalis generasi masa kini.
Semua cerita yang digambarkan dalam film dokumenter ini, akan
didukung dengan grafis yang menarik, dan struktur cerita yang diharapkan
bisa menggugah dan menginspirasi.
D. Aktifitas dan keterkaitan pada sasaran


Kontribusi untuk sasaran A – Melalui scene-scene gambar yang tak
dimanipulasi, memberikan gambaran tentang fakta-realita cara kerja pers di
lapangan dalam melakukan peliputan. Cara kerja pers yang baik, ataupun yang
buruk. Dengan begitu, diharapkan membuat media dan para pekerja pers
mampu melakukan refleksi dan me-redefiniskan kembali apa arti media,
jurnalisme, dan profesi mereka.

Universitas Sumatera Utara

133

Aktivitas:






Kontribusi untuk sasaran B – Secara spisifik melakukan perbandingan
kinerja pers 4 tahun yang lalu – melalui peristiwa krisis soeharto pada Januari
2008 dimana era social network belum populer, dengan kinerja pers kini di
era digital yang semakin penuh tantangan. Adakah perubahan? Ke arah yang
positif atau justru lebih ke arah kehancuran pers kita? Membuat perbandingan
konperenhensif kinerja pers Indonesia aneka jaman dan pergulatan
permasalahan media di dalamnya, termasuk tentang bagaimana awal mula
munculnya infotainment yang keberadaannya sampai sekarang masih menjadi
kontroversi. Bagaimana pula posisi pers di antara banyaknya portal online
independen dan berita yang dibuat oleh para citizen journalist yang
bersungguh-sungguh ingin memberikan pelaporan yang baik, jujur dan akurat
kepada sesama warga.
Aktifitas:






Menggarap isu media dengan perencaan strategi pembuatan story yang
kuat dan kreatif. Membuat desain produksi yang kuat sejak dari awal
dengan membentuk tim untuk melakukan riset akurat serta mendalam
tentang kinerja pers indonesia. Selain dari data gambar yang telah ada
(yang telah diambil pada tahun 2008) dan yang akan diambil (melalui
shooting dan produksi) kami juga berencana untuk mencari arsip dan
footage serta stockshoot dari lembaga arsip dll, hingga penyusunan
cerita dalam film tentang gambaran fakta realita cara kerja pers di
lapangan dalam melakukan peliputan (kinerja pers yang baik ataupun
yang buruk) menjadi kredibel dan akurat.
Melakukan pemutaran film/ Roadhsow di tempat atau aliansi dimana
para jurnalis bernaung, (lampiran di bawah)
Forum diskusi

Dalam produksi dan pembuatan alur cerita dalam film, diperlihatkan
perbedaan yang terjadi antara bagaimana pers bekerja pada saat itu,
serta bagaimana pers bekerja pada jaman kini yang tengah bergulat
menghadapi era digital.
Melalui riset mendalam tentang aneka berita tentang berita jaman lalu
di perpusnas, mencari arsip stockshoot gambar yang berkenaan dengan
bagaimana media jaman dulu bekerja, dan dibandingkan dengan keaad
sekarang serta bagaimana kemungkinan ke depannya, di mana pernah
dikatakan bahwa era kertas di koran akan segera berakhir.

Kontribusi untuk sasaran C - Mempertanyakan etika media, juga prinsipprinsip utama jurnalisme di era digital yang kerap dikesampingkan dalam

Universitas Sumatera Utara

134

pemberitaan demi untuk persaingan dalam kecepatan dan komersialisme.
Dimanakah akurasi dan verifikasi? kenapa rating begitu penting?
Aktivitas:







Kontribusi untuk sasaran D - Memberi alternatif isu dan cerita bagi para
pecinta film dokumenter dengan memunculkan cerita tentang kinerja media
dan para pekerja pers di Indonesia. Diharapkan .
Aktivitas:





Dalam produksi, akan mengikuti seorang pekerja media yang bergerak
di media online, mengikuti pekerja pers yang bekerja di media tv dan
juga media radio. Melalui karakter-karakter tersebut kita akan dibawa
dalam story yang lebih konperensif yang berbicara tentang isu media
yang juga melibatkan emosi. Dari situ, para mahasiswa bisa belajar
bagaimana sebuah berita diproduksi dan sebagai penonton mereka
akan melihat bagaimana alur pembuatan sebuah berita hingga berita
tersebut terhidang dan sampai ke khalayak sebagai konsumen
informasi.
Melakukan pemutaran film di kampus-kampus/ Roadshow * (lampiran
di bawah)
Membuat Forum diskusi mahasiswa dan mengajak mereka terus
membicarakan hal ini supaya permasalahan tersebut tampak ‘ada’ dan
sedang terjadi.

Melakukan pemutaran film di Komunitas-komunitas Film/ Roadshow
* (lampiran di bawah)
Membuat Forum diskusi dan Q&A, serta share tentang cerita-cerita
behind the scene.

Kontribusi untuk sasaran E – Film ini bermaksud untuk menampilkan
permasalahan-permasalahan pers dan kinerjanya, ke publik. Dipertontonkan
kepada para mahasiswa dan pekerja media serta para peneliti, juga mereka
yang konsern terhadap isu media serta publik yang lebih luas guna
menstimulus diskusi dan menumbuhkan awareness berbagai pihak akan
kebutuhan terhadap pers yang berpihak pada kebenaran dan rakyat.
Aktifitas:


Mengupload di internet dan men-share nya untuk bisa dilihat dan
diunduh serta digunakan semaksimal mungkin untuk membuat media
dan kinerja pers yang lebih baik di indonesia.

Universitas Sumatera Utara

135

E.Latar belakang dan demografi pelaku proyek
Pemimpin Proyek yang berkenaan dengan kreatif dan produksi: Ucu
Agustin, perempuan dengan pengalaman berorganisasi selama 12 tahun,
berpengalaman sebagai penulis selama 12 tahun, bekerja di bidang media
sebagai wartawan profesional selama 5 tahun, berpengalaman dengan
media audio visual khususnya dokumenter selama 6 tahun, berumur 35
dan berasal dari kelas menengah. Secara kreatif akan mengepalai tim
produksi dan Staf lainnya berjumlah total 15 orang, laki-laki dan
perempuan, berasal dari kelas menengah, berfungsi sebagai konsultan, coproducer, line producer, tim administrasi, cameraman, sound man, editor
(online dan offline) desainer grafis, ilustrator music, sound desainer dan
tim publicist.
Pemimpin proyek yang berkenaan dengan pekerjaan publikasi dan
distribusi: Ursula Tumiwa, Perempuan, berpengalaman di bidang film dan
distribusi alternatif selama 5 tahun. Bekerja di bidang media, memiliki
production house dan telah bekerja bersama para filmmaker muda
indonesia, berasal dari kelas menengah. Bertanggungjawab untuk
pekerjaan administrasi, sensor, pengurusan kontrak dan royalti dengan
para pihak, distribusi, perijinan lokasi pemutaran, bekerjasama dengan
kampus-kampus dan komunitas serta hubungan komunikasi dengan media.
Akan mengepalai mengepalai tim produksi dan staf lainnya berjumlah
total 15 orang, laki-laki dan perempuan, berasal dari kelas menengah,
berfungsi sebagai konsultan, co-producer, line producer, tim administrasi,
cameraman, sound man, editor (online dan offline) desainer grafis,
ilustrator music, sound desainer dan tim publicist.

F. Demografik kelompok target
Pekerja pers, Media, Lembaga-lembaga studi yang berkenaan dengan pers,
kampus-kampus – terutama yang memiliki fakultas komunikasi jurusan
jurnalistik, para penggiat dan komunitas film serta festival film [nasional
dan internasional], dan terbuka untuk siapa saja yang mau mengetahui pers
indonesia (dalam dan luar negeri) karena rencananya akan di share di
portal2 media dan thread jalur distribusi online juga crowd sourcing
seperti Engage Media – Youtube – Vimeo.

G. Hasil yang diharapkan dan indikator keberhasilan
Media dan pers sebagai pihak yang selama ini selalu menjadi dan
menganggap diri paling kritis terhadap banyak hal dan kebijakan,
diharapakan tidak alergi saat melihat ada pihak yang juga mengkritisi atau
mempertanyakan cara kerja mereka. Upaya yang dilakukan oleh tim
pembuat film dokumenter ini adalah upaya seorang teman yang ingin
mengajak temannya untuk bersama berdiam sebentar dan memandang
kembali dari perjalanan yang sudah terjadi, arti jurnalisme dan arti profesi
jurnalist dalam kacamata pandang yang lebih lebar.

Universitas Sumatera Utara

136

Jadi, salah satu indikator keberhasilannya adalah ketika para jurnalis
terusik, mau berdiskusi, membicarakan serta membahas juga memutar film
ini sebanyak mungkin. Inilah salah satu tanda bahwa film dokumenter ini
berhasil dan bisa diterima. Dijadikannya film ini sebagai materi untuk
workshop yang dilakukan oleh lembaga seperti AJI, ISAI, LSPP juga
respon dari kampus dan mahasiswa yang berminat untuk memutar, tentu
merupakan indikator yang menunjukkan keberhasilan project film
dokumenter ini.

H. Keterkaitan proyek dengan perbaikan media dan keadilan sosial
Perbaikan media
Andai film ini bisa diterima, sudah dipastikan bahwa harapan untuk
perbaikan media dan jurnalisme di Indonesia ke depan pasti akan terjadi.
kemauan media untuk mendengar adalah harapan untuk terciptanya insaninsan pers dan lembaga-lembaga pers yang lebih berpihak pada rakyat,
hati nurani dan kebenaran.
Keadilan sosial
Pers yang memihak pada rakyat dengan menerapkan prinsip jurnalisme
yang profesional adalah pers yang akan membantu terbangunnya budaya
demokrasi. Dalam suasana demokrasi yang baik dan terjaga, prinsip
keadilan sosial akan sangat mudah tumbuh dan dinikmati oleh lebih
banyak orang.
I. Durasi waktu aktifitas dilaksanakan:
Januari 2012 – Desember 2012 (12 bulan)
J. Total kebutuhan dana untuk melakukan aktifitas:
Rp. 800. 475.000,K. Dana yang diminta dari Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama:
Rp. 750.000.000,L. Sumber dana lainnya (bila ada):
Gambar Bergerak
Rp. 20.250.000,M. Kontribusi organisasi:
Rp. 30.225.000,N. Kontribusi dari kelompok target:
Akan diusahakan untuk mencari kembali foto, stockshoot video dan segala
dokumentasi yang berkenaan dengan peristiwa yang berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

137

kinerja wartawan – yang dimiliki oleh teman-teman yang para pekerja
media dan diharapkan, mereka bahkan akan bisa membantu
menyumbangkan stockshoot dan footage tersebut dan juga turut
mensosialisasikan project film dokumenter ini, baik ketika pembuatan
maupun ketika film telah rampung dibuat.

Universitas Sumatera Utara

138

HASIL WAWANCARA
Informan I
Nama
TTL
Jenis Kelamin
Usia
Anak ke
Suku
Agama
Hobi
Pendidikan
Profesi
Film Favorit
Film Dokumenter Favorit
Pelaksanaan wawancara
P
I
No
1

2

3

: SY
: Medan, 4 Desember 1990
: Perempuan
: 23 tahun
: 3 dari 6 bersaudara
: Aceh
: Islam
: Nyanyi, Main Biola, Acting, Nari
: S1 Ilmu Komunikasi (S.Ikom)
: Analis Media Yayasan KIPPAS
: My Sister Keeper, Wedding Dress
: Sixty Minutes, Lentera Indonesia
: Senin, 22 Juli 2014. (...). Kantor Yayasan KIPPAS

: Peneliti
: Informan
ISI WAWANCARA
REFLEKSI
P : Apakah anda tahu film Di Balik
Frekuensi ?
I : Tahu
P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi?
I : Jadi sebenernya aku tahu itu sekitar awal
2013 kayanya. Jadikan aku akhir 2012 aku
masuk ke KIPPAS. Disitu aku kan kerjanya
sebagai media analis, jadi aku ya lihat juga
websitenya remotivi. Jadikan mereka pernah
review itu film. Aku kan penasaran, tapi kan
itu gak jual di pasaran. Aku Cuma baca
review nya terus baca wawancara si
produsernya trus gimana wawancara motifmotifnya yang jadi tokoh utamanya, Luviana.
Aku penasaran tapi belum bisa nonton. Nah,
aku baru nontonnya itu tahun ini (2014), sama
tahun kemaren aku bikin pelatihan buat
jurnalis. Jadi salah satu trainernya itu pernah,
Mas Stenli. Dia tadinya orang Komnas HAM,
sekarang jadi di Dewan Pers kan dia bawa itu
film. Jadi disitulah aku nonton film Di Balik
Frekuensi.
P : Apa yang anda bayangkan tentang film
Di Balik Frekuensi sebelum menonton?
I : Jadikan karena aku udah baca reviewnya
dan udah baca interviewnya juga sama
sutradara dan kak Luvinya itu. Ya aku,

Universitas Sumatera Utara

139

4.

5

memang ini ya, Metro TV udah jelas kan
afiliasi politiknya gimana ya terus ya
keliatanlah tokohnya siapa yang punya. Dan
kuat sekali dariawal ada Nasdem, sebelum
jadi partai yang masih apasih gerakan
masyarakat gitu, ya keliatan keliatan kali itu
digunain buat kepentingan si Surya Paloh.
Bahkan setelah Deklarasi Parpol itu memang
dimanfaatin
betul
medianya.
Karena
kebetulan aku anak komunikasi juga bergelut
di jurnalistik juga sedikit tidaknya sudah
lumayan pahamlah tentang konglomerasi.
Apalagi juga dulu di kampus juga bahas
tentang konglomerasi media. Jadi memang
penasaran kali gitu sampe segimananya dan
baca reviewnya. Dan gimana si kakak ini mau
apa ya, minta haknya dana temen-temennya
tapi gak boleh gitu. Kayanya emang udah
parah gitu loh. Jadi, ya gitu sih. Kebayang aku
pekerja media memang cuma buruh doang
gitulah.
P : Kenapa anda tertarik menonton film Di
Balik Frekuensi?
I : Karena tema yang diangkat film ini
P: Kapan anda pertama kali menonton
film Di Balik Frekuensi?
I : Mm.. Aku tanggalnya gak inget. Tapi
bulannya inget. Bulan Februari tahun ini
(2014). Karena, trainingnya itu ya mas Stenli
di Bulan Februari, makanya aku inget.

6

7

P : Nontonnya sendirian atau
berkelompok?
I : Rame-rame. Jadi karena
pelatihannya untuk jurnalis jadi
ada sekitar 12 atau 13 jurnalis
terus ada beberapa orang staf
KIPPAS juga disitu yang nonton
P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Selain tema, kontennya sih aku penasaran
ya samanya sama tema. Trus karena kebetulan
pas ada kan. Jadi ya, emang kayanya harus
nontonlah, pokoknya kayanya aku kerja di
bagian ini, di bidang ini tapi aku tu gak tau
kayanya gimana gitu. Kayanya emang udah
kebutuhan lah kalo orang yang kerja di bagian
media. Apalagi kalo analis kaya aku itu ya
harus taulah gitu.

Universitas Sumatera Utara

140

8

9

10

P : Menurut anda apa alasan pembuatan
film Di Balik Frekuensi ?
I : Kalo menurut aku pribadi sih, jelas ya
mereka pengen ngasih tau ke publik gimana
sebenarnya internal media. Gimananya kan
masyarakat Cuma tau berita yang muncul ke
mereka, yang mereka konsumsi. Tapi mereka
gak tahu gimana pekerjanya itu dan gimana
seluk beluk dapurnya media-media itu sendiri
gitu. Gimana they treat their reporter,
employee. Jadi ya memang pengen ngasih
tunjuk. Nih advokasikan karena memang
selain tindakan represif terhadap pekerja pers.
Banyak hak-hak yang gak dikasih ke pekerja
pers. Jadi ya ini memang baguslah, nilai
advokasinya kuat sebenernya.
P : Seperti media literasi ke
masyarakat maksud anda?
I : Iya. He’eh. Cuma aku sih gak
yakin ini ke masyarakat. Karena
ini kalangan terbatas kan. Dan
gak bener-bener massive gitu
penyebarannya. Jadi ya segmented
menurut aku, gak keseluruhan.
Kayanya mungkin aku pikir ini
lebih ke gimana orang benerbener aware kalo ini ada dan yang
ngeliat inikan emang orang yang
konsern di bidang ini gitu. Jadi
aku pikir ya mereka sekedar mau
ngebukak ini realitanya, gitu.
P : Jadi menurut anda film Di
Balik Frekuensi ini yang tahu
hanya kalangan jurnalis, gitu?
I : Nah menurut aku kan, kita kan
kalo menurut misalnya strata
sosial
itu,
ini
(kalangan)
menengahnya,
gitu.
Kelas
menengah. Karena kalo kelas
lapisan
bawah
masyarakat
mayoritas Indonesia kan kalangan
bawah sebenarnya, ya yang gak
terlalu
berpendidikan
tinggi,
mengecap bangku kuliah. Jadi ini
aku rasa memang kalangan yang
udah intelektual atau praktisi,
gitu. Jadi paling engga mahasiswa
ke atas gitu. Kalo misalnya untuk

Universitas Sumatera Utara

141

yang pendidikannya SMA atau
yang pekerjaannya karyawan yang
gak gimana-gimana kali ya
mereka mungkin gak kepikiran
buat ngeliat ini film gitu.
P : Menurut anda ada alasan
yang lebih khusus tidak
mengapa
film ini
hanya
ditujukan ke kalangan tertentu
saja?
I : Engga sih, engga. Maksudnya
aku sih ngeliatnya dari pola
distribusi
mereka.
Mungkin
karena keterbatasan budget juga
buat
memperoduksi
terlalu
banyak. Jadi mereka ya aku rasa
ini mungkin gak tembus ke 21
atau ke bioskop-bioskop kan. Jadi
ya distribusinya ya ke lingkaranglingkaran baru nanti nyebarnyebar dari mulut ke mulut. Jadi
kalo misalnya anak MIPA kita
tanya mereka mungkin belum
tentu tau gitu. Kalo guru, belu
tentu tahu juga. Ya paling orang
yang bersinggungan dengan inilah
yang paling tidak tahu atau yang
ngeliat media-media sosial atau
media-media online, gitulah..

11

12

13

P: Bagaimana tanggapan anda terhadap isi
dari film Di Balik Frekuensi?
I : Sebenarnya cukup jelas ya yang mereka
angkat apa. Padet sih, Cuma kadang ada yang
banyak yang ditengah itu agak membosankan.
Mungkin kalo misalnya dipadetin jadi lebih
klop gitu, jadi lebih catchy gitu. Dibandingin
panjang. Jadi mungkin ada bagian-bagian
yang lebih baik dihilangkan gitu.
P : Bagaimana tanggapan anda tentang
dialog dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Aku sih ngeliat gak ada masalah ya karena
untuk film dokumenter, aku ngertilah
dokumenter itu sebenernya susahkan. Gimana
nyiptain dialognya dan gimana reporter itu
harus bener-bener ngasih pertanyaan yang
saklet dan orangnya juga kita harap bisa
ngasih jawaban-jawaban yang saklet biar asik
gitu. Tapi kemaren, ya over all udah enak

Universitas Sumatera Utara

142

gitu. Gak terlalu gimana-gimana kali. Karena
biasanya
dokumenter
bisa
lebih
membosankan dari itu gitu.
14

15

16

17

P: Menurut anda ada atau tidak
dialog yang sengaja di setting
dalam film dokumenter Di
Balik Frekuensi?
I : Aku gak inget persis ya.
Karena aku udah nonton berapa
bulan lalu jadi aku gak inget
semua dialognya satu per satu
gitu. Cuma, aku ngerasa yang di
closing, ending itu kayanya
adegannya emang reka ulang yang
kawan si bapak itu yang terus dia
kaya galau gitu. Nah itu kayanya
settingan sih. Tapi kalo yang lain
kayanya aku gak inget.
P : Bagaimana tanggapan anda tentang
adegan dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Adegannya ya udah cukup apa adanya. Ya
masksudnya ya yang kek mana si Luvinya itu
ngurus anak di rumah, ya gimana dia sama
suaminya, gimana dia yang.. nah aku suka dia
yang bagian mereka demonstrasi di depan
kantor “aku memperjuangkan hak kalian gitu.
Ayo sini samaku” tapi kawannya pada buang
muka trus masuk ke dalam. Itu tuh kayanya
nyess gitu (tarik napas). Karena mereka
sebenarnya kerja sama-sama tapi ya kek gitu
itu. Tapi ya susah sih memang kalo sistemnya
udah kaya gitu. Satu sisi jurnalis perlu duit
perlu untuk kehidupan. Jadi mau idealis itu
juga susah gitu.
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik
Frekuensi?
I : Yang aku tahu itu ada Luvi dan ada
beberapa temen dia yang mereka rapat
bareng-bareng itu kan. Terus ada juga yang
advokasi, terus yang jumpai pihak metro tv
dan pengacaranya. Terus yang mereka
kemana. Suaminya. Si Bapak yang dari
Sidoarjo ke Jakarta.
P : Menurut anda apakah
interaksi antar tokoh saling
berkesinambungan?
I : Ada beberapa yang kalo

Universitas Sumatera Utara

143

misalnya kelompoknya Luvi ya
nyambung. Tapi kalo misalnya
sama yang bapak Sidoarjo aku
rasa sih engga gitu. Aku sih
ngerasa dia (filmaker) pingin
loncat-loncat
supaya
menggambarkan keseluruhan. Jadi
trus biar gak bosen juga. Ada
peralihan-peralihan cerita gitu.
18

19

P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
pesan yang disampaikan dalam film Di
Balik Frekuensi?
I : Tanggapannya ya aku jadi ngeh kalo
misalnya ya susah gitu. Masih susah
ngelawan konglomerasi kalo emang kita gak
kompak ya karenakan mereka yang punya
modal, mereka yang punya kuasa. Ya kita
bisa apa kaya gitu loh. Jadi kalo memang
semuanya bisa gak mogok ya itu perusahan
media gak bakal kelimpungan. Karena kita
yang perlu mereka. Istilahnya gitu loh.
Kalopunlah semua dipecatin.. Nah itu kan ada
yang di akhir mereka ngerekrut orang, dan
semua pada mau masuk jadi reporter gitu kan
ya kaya gitu “Lah, elu gak mau kerja disini,
masih banyak yang ngantri mau kerja sini
kan” Istilahnya kaya gitu. Jadi ya susah gitu.
Karena kita ngelawan sistem. Ibaratnya kaya
gitu. Jadi kalo memang dari pihak
perusahaannya sendiri gak berubah ya
bakalan kaya gitu selamanya, gitu.
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
gambaran campur tangan pemilik media
terhadap konten media dalam film Di
Balik Frekuensi?
I : Campur tangan itu ya gak bagus gitu. Ya
dimanapun ya gak boleh. Karena kan gini,
kaya misalnya Surya Paloh, misalnya dia
orasi terus diliput orasinya lama gitu.
Durasinya berapa lama. Terus ada lawan
politiknya. Ya di stel-stel lah kontennya gitu
ya susah sih sebenernya. Ya itu pemiliknya
memang dia. Sebenernya masyarakat bisa
nilai sendiri kualitas medianya gimana gitu.
Tapi ya gimana ya, sedih sebenernya. Kalo
gambarannya ya udah karena emang apa
adanya. Ya wajar, pekerja-pekerja nya disitu
pasti banyak gak nyaman. Sama kaya di TV

Universitas Sumatera Utara

144

20

21

22

23

24

One sekarang. Aku ngebayanginnya pasti
mereka gak nyaman. Tapi, ya mau gimana
mereka kerjanya disitu, atau mereka masih
terikat kontrak.
P : Apakah hal yang pertama kali anda
pikirkan ketika selesai menonton film Di
Balik Frekuensi?
I : Kayanya ngenes gitu loh. Sesak napas.
Yang aku pikiran aku tau bakalan seperti itu.
Tapi aku gak nyangka bakal sepahit itu gitu.
Karena inikan bener-bener dapat contoh riil
kisah nyata, dan itu tu bener-bener mengetuk
hati kali gitu lo. Memang menyakitkanlah
gitu.
P : Bagaimana anda menanggapi judul
film Di Balik Frekuensi setelah menonton?
I : Kalo dipikir-pikir cocok aja sih. Karena
mereka kerjanya di tivi, ya banyak hal-hal
yang gak keliatan dari masyarakat gitu tapi
sebenernya ada. Jadi nyambung-nyambung
aja sih kurasa.

Judulnya sudah sesuai. Kan film
nya itu tentang di balik frekuensi.
Mungkin warga masyarakat yang
nonton tv cuma tahu apa yang
muncul di layar, tapi gimana yang
di balik frekuensi dan chanel apa
yang ada di tv itu. Jadi ini seperti
menunjukkan ginilo media dan
campur tangan pemilik dalam
media

P : Satu kata apa yang anda pikirkan
setelah menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Ironis. Filmnya boleh lah. Okelah.
P : Bagaimana tanggapan anda terhadap
penggambaran pemusatan kepemilikan
media massa dalam film Di Balik
Frekuensi?
I : Ya jelaslah. Kadangkan orang yang tadinya
gak ngerti setelah nonton itu jadi tau gitu kalo
misalnya sebenarnya itu Cuma dipegang oleh
beberapa gitu. Dan sahamnya itu disitu-situ
aja muternya yang sampe ke korannya,
onlinenya , radionya. Jadi ya memang cukup
jelas sih.
P : Apakah menurut anda film ini
berusaha
menampilkan
pesan
konglomerasi media?
I : Mereka ini sih. Konglomerasi.. Biasa kan
adalah superpowernya dan yang tertindasnya.
Maksudnya adegan demi adegan yang
disusun. Terus alur ceritanya, informasiinformasinya yang mereka susun. Jadi over
all keliatan gitu. Walaupun mereka gak ada
bilang secara tersurat “Ini loh konglomerasi”

Universitas Sumatera Utara

145

25

26

27

28

29

Tapi, penonton pasti udah ngeh gitu.
P : Bagaimana anda melihat fenomena
konglomerasi media massa di Indonesia
saat ini?
I : Ya emang udah kaya gitu. Kaya misalnya
TV luar yang baru masuk kaya Bloomberg
akhirnya digandeng sama transcorp. Terus ya
memang disitu-situ aja karena memang ya
merekayang punya modal besar. Karena
media kan susah kalo gak punya modal.
Sementara yang punya modal ya orang-orang
kaya, yang punya bisnis entah dimana-mana.
Jadi, susahlah memang kalo media
independen kaya Tempo aja gajinya mungkin
gak setinggi media-media yang lain gitu.
Karena mereka bertahan dengan segala
idealisme dan segala macemnya gitu. Jadi ya,
aku sih sebenernya senang dengan Net TV.
Karena ga, walaupun yang punya juga
bussinessman yang juga gimana-gimana gitu.
Tapi gak keliatan langsung. Orientasinya
politik. Karena kalo udah bisnis okelah bisnis.
Tapi kalo udah bisnis, politik, digabungin
sama media ya gitu jadi tunggangan politik
aja medianya. Gak ada nyuarain ke
masyarakat lagi. Kasihanlah masyarakat kita
dibodoh-bodohin terus.
P : Menurut anda apa defenisi atau
pengertian dari konglomerasi media?
I : Konglomerasi media sih kalo menurut aku
(ini bener atau salah ya) mm gini ya. Ada
beberapa orang yang dia punya power dan dia
megang media itu. Dan dia jadi kayak
semacam tokoh sentral gitu di medianya. Jadi
ya itu sahamnya banyak yang punya dia. Dia
punya wewenang ngapa-ngapain di media itu
gitu. Jadi ya sesuka hati dialah gitu mau
ngapain aja.
P : Apakah anda suka atau tidak terhadap
penggambaran konglomerasi media dalam
film Di Balik Frekuensi?
I : Sejauh ini sih aku suka-suka aja.
Maksudnya ya keliatanlah gimana gitu.
P : Apakah anda setuju atau tidak dengan
pesan yang coba ditampilkan dalam film
Di Balik Frekuensi?
I : Setuju
P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan

Universitas Sumatera Utara

146

setelah menonton film Di Balik Frekuensi
terkait konglomerasi media?
I : Aku gak ingat haha. Kayanya ada sih sama
Ridha dikit-dikit.
30

31

32

P
:
Apakah
hal
itu
mempengaruhi tanggapan anda
sebelumnya?
I : Engga. Karena pemikiran kami
sedikit banyak sama gitu. Dan
yang kami omongin “Ih segitunya
yaa.. Ih ya ampun.” Kami
mengulas konten dari film itu,
gitu.
P: Bagaimana kesan yang anda terima
terhadap keseluruhan isi film setelah
menonton?
I : Aku sih.. Inti dari film itu dapat walaupun
ada part-part yang membosankan tapi inti
dari konglomerasi medianya itu dapet gitu.
Dan gimana struggle buat memperjuangkan
hak. Soalnya kan memang banyak kasuskasus yang mau mendirikan serikat pekerja
tapi gak bisa gitu. Terus soal yang si bapak
dari Sidoarjo. Aku gak tau kalo misalnya di
akhir, si bapak itu bikin pernyataan kaya gitu.
Aku Cuma tau dia mau jalan kaki aksi itu.
Tapi aku gak tau kalo endingnya misalnya si
bapak itu bakal minta maaf dan bakal bilang
dia disuruh orang bla bla bla. Aku gak
nyangka kaya gitu. Dari situ aku mikir luar
biasa sekali media ini. Apa yang dia lakukan
sampai si bapak ini bisa ngomong kaya gitu.
Kita gak tau. Tiba-tiba dia udah ada di studio
dan itu kayanya nampar kali. Itu yang paling
berkesan disitu.
P : Apakah menurut anda tema yang
diusung dalam film ini dapat dipercaya
sepenuhnya?
I : Ya, sebagaimana kalo misalnya wartawan
nulis berita pastti ada angle. Dan karena kita
gak mungkin bikin keseluruhan kaya gitu.
Karena ini memang tujuannya advokasi jelas
ada pihak-pihak yang dibela. Dan karena yang
dibela disini adalah Luviana. Jelas sudut
pandang yang digunakan adalah sudut
pandang Luviana. Ya, sebagai orang yang
ngerti media literasi seharusnya paham ini
tujuannya apa dan sudut pandangnya apa. Jadi

Universitas Sumatera Utara

147

33

ya kita harus aware kalo harus kalo ini dari
sudut pandang nya Luviana dan tujuannya
apa. Mmmm percaya. Tapi itu aku percaya
dari sudut pandang Luviana, kalo yang lainlain aku gak tau. Kalo untuk sudut pandang
filmaker aku percaya kalo si filmmaker itu
bikin ini untuk advokasi yang kontra dengan
konglomerasi media, aku pikir itu.
P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara
berpikir anda?
I : Sesuai sih. Tapi gini, mungkin ada hal-hal
yang tadinya aku gak tau jadi tau di film ini.
Mungkin kalo tadinya aku taunya secara
umum aku sekarang jadi tau spesifik contoh
riilnya. Jadi sedikit banyaknya film ini jadi
ngebentuk pola pikir aku terhadap
konglomerasi media gitu. Jadi aku gak tau
apakah aku yang sepikiran sama film ini atau
film ini yang bikin aku mikir kaya mereka.
Kalo misalnya film ini berhasil bikin aku kaya
mereka berarti sukseskan filmnya.

34

35

P: Menurut anda apakah film
ini berhasil membuat anda
sepikiran dengan filmmaker?
I : Iya berhasil. Karena tadinya
aku tau global dan akhirnya
setelah tau ini aku makin benci
sama konglomerasi media. Jadi
aku makin gak suka gitu loh.
P : Apakah anda memiliki pengalaman
langsung terkait konglomerasi media
massa?
I : Aku pribadi sih engga. Tapi kalo misalnya
kaya temen aku ada. Kaya misalnya gini,
akukan gak langsung kerja di media tapi kalo
misalnya aku ngelatih wartawan dan dia
kebetulan senior aku di Suara USU. Dia kerja
di salah satu surat kabar harian di Medan. Jadi
dia suka bikin berita-berita yang panjang,
mendalam, dan itu nyindir perusahaan
tertentu. Dan dia bikin berita kaya gitu. Nah
media tempat dia kerja itu gak ngebolehin itu
berita gara-gara nanti ngerusak iklan. Nah jadi
media nya dia, dia ditekan Pemred (Pemimpin
Redaksi) dan redaktur dia gak gak boleh bikin
berita kaya gitu. Karena nanti hubungan baik
terganggu. Jadi dia ngerasa sakit hati gitu
bukannya apa, tujuannya apa media ini.

Universitas Sumatera Utara

148

Kayanya dia gak bisa idealis gitu, dan dia
benci dengan kondisi yang kaya gitu. Jadi ya
itukan termasuk salah satu kan media jadi gak
bisa independen karena urusan politik ataupun
urusan apa ya relasi itukan termasuk politik
ya aku pikir. Juga urusan iklan. Bisnis. Jadi,
masih banyak sih kaya gitu. Itu Cuma media
yang kecil di Medan yang mungkin ga ada
afiliasi politik dengan bla bla bla gitu tuh gak
ada.
36

37

P : Sebagai orang ketiga yang
tidak terkena dampak langsung
terkait konglomerasi media,
bagaimana
menurut
anda
sebaiknya media bekerja?
I : Kalo kita ngebahas the
nya
Bill
elementsjournalism
Kovach jelaslah media itu
harusnya gimana. Aku ngerasa
memang paling penting itu media
harus independen. Jadi apapun
yang mereka beritakan, apapun
keberpihakan mereka, itu bukan
karena urusan dengan kepentingan
tertentu atau karena ditekan atau
karena
ya
tujuan-tujuan
tertentulah.
Jadi,
walaupun
mereka berpihak. Jadi jelas gitu
kenapa mereka berpihaknya untuk
masyarakat gitu. Bukan untuk
modal atau politik tertentu. Jadi
apapun keputusan mereka, ya
netral itu gak mungkinkan di
media tapi independen. Tapi
harusnya independen yang harus
dijaga. Independensilah.
P: Kesimpulan apa yang anda dapatkan
mengenai film Di Balik Frekuensi?
I : Mungkin karena aku udah terpaut melihat
kontennya secara teknis kalo mereka bikin
dokumenter aku rasa ini sih termasuk yang
asik gitu. Gak terlalu membosankan,
walaupun ada yang membosankan. Karena
mereka masih bisa bikin naik turun emosi
penonton gitu. Gak datar aja gitu, kadang bisa
flat sampe abis. Tapi ternyata mereka bisa
naik turunin gitu. Terus mereka bisa ngalihin
ke topik mana tiba-tiba dibalikin. Terus nanti

Universitas Sumatera Utara

149

38

dimasukin visualisasi-visualisasi tertentu.
Jadi, ya bolehlah.
P : Menurut anda ada atau tidak pengaruh
ideologi filmmaker terkait isi film Di Balik
Frekuensi?
I : Tentulah aku pikir.

39

40

41

P : Menurut anda ada atau
tidak
pengaruh
sponsor
terhadap konten film Di Balik
Frekuensi?
I : Aku rasa kalo secara
background pasti ada gitu karena
mereka kan pasti punya tujuan.
Dan mereka pasti se-visi. Kalo
gak, gak mungkin film ini ada.
Jadi
ya
memang
saling
berpengarruh. Kalo ada aja yang
gak setuju dengan pemikiran ini
pasti kontennya mungkin gak
kaya gini.
P : Menurut anda ada atau tidak kritik
yang hendak disampaikan pada film Di
Balik Frekuensi?
I : Ya itu. Buang adegan yang agak-agak gak
penting yang bikin bosen. Terus mungkin
yang diakhir itu reka ulangnya terlalu ga
natural. Karena kitakan nontonnya film
dokumenter kan. Yang kita tau semua
dokumenter emang natural apa adanya gitu.
Tapi dengan adanya reka adegan jadi malah
keliatan fake nya. Gak sekasar itu juga sih.
Keliatanlah settingannya gitu. Kalo di
epilognya bagus sih, disitulah ironinya gitu.
Jadi maksudnya kaya yang aku bilang “Lo
mau pergi? Ya pergi aja. Masih banyak yang
ngantri kerja tempat aku.” Kaya gitu. Jadi
disitulah bener-bener dapet ironinya kaya
gitu. Dalem. Ya gimana freshgraduate
kayanya gengsi kan masuk media gede kaya
gitu. Mereka gak tau aja didalemnya kaya
apa. Mereka gak cukup tahu dan mereka gak
cukup paham untuk tau gimana sebenernya
iklim di dalam tempat yang ingin mereka
pikir luar biasa itu.
P : Menurut anda apa tema yang disajikan
dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Tentang kepemilikan media dimana
pemilik modal itu jadi menguasai berbagai

Universitas Sumatera Utara

150

aspek, gitulah.
42

P : Implementasi konsep
konglomerasi
media
di
Indonesia?
I : Happening aja karen
akondisinya kaya gini, karena
mereka yang punya modal besar
ya ada unsur kapitalisme dan
segala macem. Kaya misalnya
kompas mungkin yang paling
netral, konten tv nya juga bagus.
Tetep aja modalnya juga banyak,
dari mana-mana. Ya memang
begitu, mereka yang punya modal
besar mereka lah yang bisa bikin
media. Bahaya nya itu kalo dia
banyak modal banyak media tapi
susahnya kalu dia itu punya
kepentingan politik.
Apakah pengaruh konglomerasi
media di Indonesia baik atau
tidak?
Meresahkan. Karena masy Ind
yang paham literasi media itu
bener-bener minim, gitu. Gak
banyak tang aware, bahkan untuk
tingkat sarjana pun yang kita
anggap sudha berpendidikan
tinggi masih banyak yang gak
aware sama konten media, masih
gampang disetir. Karena warga
Indonesia belum cerdas jadi
meresahkan gitu apalagi kaya
kondisi pemilu kemarin. Gak
nyaman sekali nonton televisi,
gitu.

Universitas Sumatera Utara

151

Informan II
Nama
TTL
Jenis Kelamin
Usia
Anak ke
Suku
Agama
Hobi
Pendidikan
Profesi
Film Favorit
Film Dokumenter Favorit
Pelaksanaan Wawancara
Kareng
P
I
No
1

2

3

: LAD
: Jakarta, 10 April 1986
: Laki-laki
: 28 tahun
: 1 dari 7 bersaudara
: Batak Simalungun
: Kristen Prostestan
: Nonton film, Bersosialisasi
: S1 Ilmu Komunikasi
: Wartawan Harian Tribun Medan
: Biografi, Drama
: The cov (pembantaian lumba-lumba di jepang)
: Rabu, 24 Juli 2014. 19:00. Keude Kupie Ule

: Peneliti
: Informan
ISI WAWANCARA
REFLEKSI
P : Sudah berapa lama anda tahu tentang
film Di Balik Frekuensi?
I : Engga tahu. Tapi aku tahu kasusnya.
Karena di dalam film itupun ada beberapa
beberapa oknum yang kukenal.
P : Apa yang anda bayangkan tentang film
DBF sebelum menonton?
I : Karena dari judulnya kan Di Balik
frekuensi dan aku juga denger dari kawankawan pas itu. Misalnya aku yang kutangkep
sih pertama-tama katanya tentang Metro TV.
Jadi aku langsung kaitannya memang tentang
penggunaan frekuensi publik yang untuk
kepentingan politik pemilik media. Itu sih
yang aku pikirin.
P : Kenapa anda tertarik menonton film Di
Balik Frekuensi?
I : Karena aku suka film juga. Maksudnya
karena diminta mungkin. Menurutku ini
sesuatu yang setengah-setengah sih ke publik.
Terutama ke publik Sumatera Utara. Ikut
prihatin juga, walaupun di cerita itu, film itu
mm apa.. si pembuat film mengucapkan
terimakasih kepada komisi penyiaran. Tapi
kalo menurutku komisi penyiaran itu sangat
lemahlah, terutama yang di daerah-daerah.
Trus semenjak kuliah aku pernah menggagas
ngundang anggota KPI untuk membahas

Universitas Sumatera Utara

152

4

tentang gimana sih kelangsungan tentang
televisi-televisi di daerah itu, kan katanya
harus apa ya gak boleh nyiar ini lagi ya kalo
tivi-tivi daerah itu ada batasannya ya, gak bisa
semuanya. Terus ya orang-orang KPI aku
kenal beberapa.
P : Kapan anda pertama kali menonton
film Di Balik Frekuensi?
I : Dua minggu lalu

5

6

7

P : Apakah anda tahu kapan
pembuatan film ini bermula?
I : 2012 ke 2013 ya.
P : Apa motivasi yang mendorong anda
untuk menonton film Di Balik Frekuensi?
I : Selain karena aku suka film ya itu filmnya
bagus juga sih menurut aku, ya itu tadilah
sebagai anak ilmu komunikasikan, wartawan,
ya aku cukup konsern lah dengan film
frekuensi publik.
P : Menurut anda apa tema yang disajikan
dalam film Di Balik Frekuensi?
I : Secara sempit itu tentang ini sih, tentang ya
perjuangan seorang pekerja media yang
menduduki tadinya kan gitu. Itu sebenernya
representasi dari TV. Eksploitasi dari sebuah
perusahaan media yang memang sering kita
jumpai gitu. Jadi naiknya lagi ini sebenarnya
cerita ironi sih karena media itu kan mau
gakmau bisa di dan harus dikaitkan dengan
demokrasi. Mau gak mau. Baik dilihatnya dia
secara objek atau subjek gitu. Media lahir
karena demokrasi. Demokrasi juga tunduk
karena media gitu. Itu kaya udah nempel.
Kenapa kubilang ironi? Karena kenyataan di
dalam gak nyaman, gak demokratis juga.
Kalo aku sih bisa ngerti dari sudut pandang
usaha ya. Kita perlu stabilitas,

Dokumen yang terkait

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

6 105 126

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 46 197

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 1 28

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 25

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 6 18

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 2

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 9

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 4 30

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 4