Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

27

BAB II
URAIAN TEORETIS

2.1 Paradigma Kajian
Agus Salim (2001) menyebutkan bahwa secara umum paradigma dapat
diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun
sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini sejalan
dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Khun yang dikenal sebagai tokoh
pencetus teori mengenai paradigma. Dimana paradigma diartikan sebagai
perangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah (Guba: 1990).
Selanjutnya paradigma diartikan sebagai (a) A set of assumptions
(seperangkat asumsi) (b) Belief concerning (asumsi yang dianggap benar).
Bhaskar dan Roy (1980: 88-90) berpendapat bahwa untuk dapat sampai pada
asumsi itu harus ada perlakuan empirik melalui pengamatan yang tidak
terbantahkan, yakni accepted to assume to be true (asumsi diterima untuk menjadi
benar). Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai A mental window,
yang berarti tempat terdapat “frame” yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya
karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan paradigma sebagai model
dalam teori ilmu pengetahuan. Bogdan dan Biklen (1982: 30) dalam hal ini
mengartikan paradigma sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara
logis dapat dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara
berpikir dan cara penelitian (Moleong: 2000: 8). Dalam paradigma ilmu, sejumlah
ilmuwan telah mengembangkan perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan
dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya. Tradisi mengenai perangkat ilmu ini telah ada secara sistematis
pada abad ke-17, ketika Descrates pada tahun 1596-1950 mengembangkan cara
pandang positivisme. Tradisi ini kemudian berkembang berdasarkan aspek-aspek
yang mempengaruhi perkembangan paradigma ilmu tersebut.
Disisi lain terdapat perbedaan pemaknaan dalam memahami paradigma.
Menurut Ardianto dan Q-Anees dalam buku Filsafat Ilmu Komunikasi,

Universitas Sumatera Utara

28

menggunakan istilah teori dalam bidang komunikasi tidak memadai karena
adanya perkembangan mutakhir pada manusia begitu pesat. Mereka sepakat

mengartikan perspektif sebagai cara pandang atau cara kita menentukan sudut
pandang ketika mengamati sesuatu. Hal ini diperkuat dengan kutipan dalam
paragraf berikut:
“.... bilamana seseorang mengamati peristiwa komunikasi, orang tidak
memandang apakah orang itu yakin pada teori komunikasi tertentu atau
memegang teguh proposisi aksiomatis tertentu dalam benaknya. Yang
terlihat olehnya adalah bahwa orang tadi membuat gerakan dan suara
tertentu. Relevansi atau arti dari konsep yang dipergunakan untuk
memahami peristiwa komunikatif tersebut. Konsep itu menentukan apa
yang relevan dalam peristiwa tadi; dan dalam pengertian ini maka apa
yang tidak dicakup oleh orang tadi, dicakup oleh konsep tadi dan
dinyatakan sebagai hal yang tidak relevan” (Fisher, 1990: 89)
Becker

(Mulyana,

2001:

5)


mendefinisikan

perspektif

sebagai

“seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan
pengambilan tindakan”; “suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak
dan masuk akal dilakukan orang”; “standar nilai yang memungkinkan orang dapat
dinilai” (Kriyantono, 2010: 47).
Paradigma dalam penelitian kualitatif digunakan untuk melihat cara
pandang peneliti berdasar kualitas-kualitas objek penelitian seperti nilai, makna,
emosi manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa
sejarah, simbol-simbol atau artefak tertentu. Kualitas tersebut selanjutnya diteliti
melalui pendekatan yang lebih banyak memberikan data yang rinci guna
menghindari metode matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang
muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat
spesifik dan selalu mengandung meaning (makna).
Dalam penelitian kualitatif, hal ini ditandai dari cara pandang seseorang
dalam menjawab tiga pertanyaan dasar yang menjadi aspek filosofis dan

metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

29

1. Dimensi Ontologi
What is the nature of reality? Artinya dalam dimensi ini seseorang harus
mampu menjawab apakah sebenarnya hakikat dari suatu kenyataan? Bagi
peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif jawaban dari pertanyaan
tersebut diatas adalah satu-satunya kenyataan adalah kenyataan yang
dikonstruksikan oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian.
2. Dimensi Epistimologi
Apakah sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan
objek yang ditemukan (known or knowable)? Pendekatan kualitatif
menjawab ketika peneliti berinteraksi dengan objek yang diteliti, interaksi
biasanya dilakukan dengan jarak dekat. Artinya peneliti terjun langsung ke
lapangan guna mendapatkan data yang berkualitas dan mendalam.
3. Dimensi Aksiologi
Bagaimana peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian? Kondisi

penelitian kualitatif menjawab sejalan dengan perkembangan jaman yang
dapat dilihat dari kebutuhannya. Seperti penggunaan bahasa dalam
penelitian yang cenderung menggunakan sudut pandang penulis dan lebih
bersifat personal.
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan
hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini. Paradigma ilmu
ini adalah: Positivisme, Pospositivisme (yang sekarang dikenal sebagai Classical
Paradigm atau Conventional Paradigm), Konstruktivisme atau Interpretatif, dan
Critical Theory (Realism).
Dalam hal ini, peneliti mengambil pendekatan kontrusktivisme atau
interpretatif yang merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan
dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Secara
ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacammacam kontruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan
spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Realitas yang diamatipun
tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang karena hubungan antara

Universitas Sumatera Utara

30


pengamat dan objek bersifat satu kesatuan dan saling mempengaruhi, subjektif,
dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya.
Menurut Agus Salim (2001: 42-43) secara metodologis, aliran ini
menerapkan dua metode dasar dalam penelitian, yakni: Pertama, melakukan
identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang per orang. Kedua,
mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang per orang
yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus
kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu
kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan
spesifik mengenai hal-hal tertentu.
Interpretivisme pertama kali dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari
tradisi hermeneutika intelektual Jerman. Tradisi ini dikenal dengan istilah
Verstehen dalam bahasa Jerman yang berarti proses aktif memaknai sesuatu yang
kita amati seperti teks, perilaku, dan situasi. Teori ini dipengaruhi oleh tulisan
para filsuf bahasa yang mengkritik empirisme logis. Dalam paradigma
interpretivisme, suatu tindakan dapat memiliki banyak arti sehingga makna tidak
dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Teori interpretif umumnya menyadari
bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Untuk itu
disimpulkan bahwa interpretasi merupakan suatu tindakan kreatif dalam

mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna (Sendjaya, 2007).
Denzin & Lincoln (2009: 148) menyebutkan bahwa kalangan interpretivis
berupaya mempertahankan antagonisme antara subjektivitas dan objektivitas,
subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi (internalisasi nilai-nilai). Mereka
mempertahankan kelestarian dan signifikansi dunia riil orang pertama, yakni
pengalaman subjektif. Namun dalam gaya Cartesian sejati, mereka berusaha
melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka
berusaha menarik batas antara objek penelitian dengan peneliti. Dengan demikian,
paradoks terkait dengan bagaimana membangun ilmu pengetahuan interpretif
objektif mengenai pengalaman subjektif manusia pun muncul. Perjuangan untuk
mensintesiskan subjektivitas fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam
upaya Wilhelm Dilthey untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang
makna. Dalam usaha Max Weber untuk menghubungkan interpretasi makna

Universitas Sumatera Utara

31

dengan penjelasan-penjelasan kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam
penelitian sosial, dan dalam analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen

(Ulfa, 2012: 13)
Littlejohn dan Foss dalam Encyclopedia Of Communication Theory (2009:
557-559) mendefenisikan

bahwa teori

interpretif secara ontologis

dan

epistemologis merupakan alat yang digunakan dalam penelitian yang peduli untuk
memahami bagaimana individu dan kelompok menciptakan makna dalam praktik,
komunikasi, dan pengalaman hidup mereka sehari-hari. Teori interpretivisme juga
sangat terkait dan dipengaruhi oleh tradisi filosofis benua lain, yang disebut
hermeneutika. Hermeneutika adalah filosofi dari interpretasi dan pemahaman.
Hermeneutika merupakan salah satu paradigma yang ingin melihat bagaimana
pengalaman, bahasa, dan dialog berkontribusi pada proses interpretasi. Sejarah
hermeneutika pertama kali dikenal dari studi yang menafsirkan naskah keagamaan
kuno tapi akhirnya dimasukkan (melalui pemikiran Friedrich Schleiermacher dan
Hans Georg Gadamer) agenda akademik lainnya yakni, tradisi hermeneutika

mulai melihat interpretasi tidak hanya sebagai proses mengungkap makna teks,
tetapi juga sebagai proses untuk memahami pengalaman sehari-hari dan rata-rata
temuan dari dunia sosial.
Secara luas interpretivist diartikan sebagai berikut:
a. Peneliti yang tertarik terhadap cara, budaya, atau individu menciptakan
makna dari tindakan, ritual, interaksi, dan pengalaman mereka sendiri.
b. Peneliti yang ingin menafsirkan makna lokal dengan menempatkan
mereka ke dalam sejarah, geografis, lingkungan politik, linguistik,
ideologi, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
c. Peneliti yang melihat makna dari teks dan kode-kode dan aturan di mana
mereka bergantung untuk menyampaikan makna
d. Sarjana filsafat yang berorientasi dalam mengeksplorasi ide-ide makna dan
interpretasi dari diri mereka sendiri.
Bryman

(2008:

16)

menjelaskan


bahwa

pandangan-pandangan

interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran realitas sosial kaum empiris
menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu makna-makna umum serta
intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan dalam masyarakat yang

Universitas Sumatera Utara

32

diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang membentuk institusi dan
praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan interpretivis secara umum
memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan,
mempertahankan dan memodifikasi makna-makna tersebut dalam sebuah konteks
spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan
peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan prosesproses tersebut) inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman (Ulfa, 2012: 15).
Dengan kata lain paradigma interpretif melihat kebenaran sebagai suatu

yang subjektif dan diciptakan oleh partisan. Dalam hal ini peneliti sendirilah yang
bertindak sebagai salahsatu partisipan. Pada pendekatan ini setidaknya terdapat
lebih sedikit penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang sangat mutalk
tidaklah mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi
ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian
di luar diri peneliti. Seperti yang dikatan oleh Martin Hammersley (1992: 53)
mendukung berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka. West
& Turner (2009: 76) mengartikan bahwa pada realisme yang tidak kentara ini
Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi
cukup objektif. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa dalam tradisi ini, peneliti
percaya bahwa nilai-nilai sangat relevann dalam mengkaji komunikasi dan bahwa
peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan harus menyatakan secara
jelas kepada pembacanya, karena nilai-nilai akan secara alami masuk ke dalam
penelitian. Dijelaskan lagi bahwa peneliti pada tradisi ini tidak terlalu
mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak
orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya
mengenai individu yang mereka teliti.
Interpretif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.

Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada
pengalaman individual.

2.

Makna merupakan konsep kunci, dimana pengalaman dipandang
sebagai meaning centered (dasar pemahaman makna). Dalam hal ini
bahasa menjadi konsep sentral karena dipandang sebagai kekuatan
yang mengemudikan pengalaman manusia (Bungin, 2009: 115).

Universitas Sumatera Utara

33

2.2 Analisis Resepsi
2.2.1

Sejarah Perkembangan
Dalam perkembangan media, pembahasan khalayak dan wacana isi

media merupakan salah satu hal yang paling umum dan populer diteliti
oleh para akademisi. Terutama pada akademisi yang berbasis ilmu
komunikasi. Selain karena ranah dan fokusnya, hal yang dilihat adalah
bagaimana media mampu menstimuli wacana perbincangan dalam
kehidupan masyarakat dalam konteks budaya. Hal ini berikutnya secara
khusus menjadi bahan kajian para ilmuwan pada tahun 1980-an di Eropa.
Studi diskursus media dan khalayak ini dikenal dengan reception analysis
(analisis resepsi). Penelitian ini mempertimbangkan settingcontext historis
dan kultural yang mempengaruhi pemaknaan. Sebagai respon dari studi
tekstual, penelitian resepsi berpendapat bahwa khalayak media massa
harus diteliti sebagai suatu kondisi sosial yang spesifik untuk dianalisis.
Dalam tradisi audience, setidaknya pernah berkembang beberapa
varian diantaranya disebut secara berurutan berdasar perjalanan sejarah
lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary critism,
cultural studies, reception analysis (Jensen&Rosengen, 1995:174).
Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek
wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen,1999:135). Sebagai
respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception analyisis
menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah
itu kuantitatif atau kualitatif. Seharusnya didasarkan pada teori
representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi
seperti penggunaan skala dan kategori semantik (Adi, 2008).
Kemunculan reception analysis bukan sebagai reaksi terhadap
metode survey dalam riset audiens, melainkan lebih sebagai alternatif dari
metode analisis teks dalam studi media. Kedua metode tersebut sama-sama
memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama berupaya menemukan
makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah, dalam analisis teks
media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan atas teks oleh
peneliti; sementara dalam reception analysis, makna yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

34

merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang
diteliti.
Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan
bahwa para peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika)
terlalu percaya akan kemampuannya dalam memaknai teks media. Mereka
memilih cara pandang bahwa pemaknaan teks media yang dianggap
penting untuk dipelajari adalah pemaknaan teks media oleh audiens dan
bukan pemaknaan teks oleh peneliti (Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).
Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humanistik,
reception analysis

menyarankan baik audience maupun konteks

komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan
menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial
dan perspektif diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep
produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning).
Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba
mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana
wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana praktik kultural
audiensnya (Jensen, 1999:137)
Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam
kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak
tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent)
yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari
berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu
bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif
khalayak (Fiske, 1987).
Pendekatan ini juga berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu
yang tidak kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi
khalayak terhadap teks media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa
teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan dan
bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan
menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan
budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif

Universitas Sumatera Utara

35

dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang berbeda
pada masing-masing individu secara langsung turut membangun
kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam
hal ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang
khalayak dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media
(Croteau & Hoynes, 2000: 268).
Pendekatan ini juga mencoba untuk membuka dan menguraikan
pemahaman individu secara nyata, apa yang telah mereka alami dan
rasakan. Analisis Resepsi dapat berarti sebagai analisis perbandingan
tekstual dari sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang
menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks. Khalayak belum
tentu melakukan pembacaan sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat teks
atau dengan kata lain khalayak melakukan interpretasi makna yang
terdapat didalam teks secara aktif dan dikonstruksikan secara subjektif
pula. (Narottama, 2008:5). Biasanya khalayak memproduksi makna pesan
berdasarkan pengalaman dan pandangannya selama berinteraksi dengan
media
Adalah Morley pada tahun 1980 mempublikasikan Study of
Nationawide

Audience

kemudian

dikenal

sebagai

pakar

yang

mempraktikkan analisis resepsi secara mendalam. Pertanyaan pokok studi
Morley

tersebut

adalah

mengetahui

bagaimana

individu

menginterpretasikan suatu muatan program acara televisi dilihat dalam
kaitannya dengan latarbelakang sosio kultural pemirsanya. Kajian resepsi
sebagaimana dilakukan oleh Morley tersebut melandaskan diri pada
pemikiran Stuart Hall, sekarang adalah profesor Sosiologi di Universitas
Terbuka, dan merupakan tokoh utama dalam sejarah kebangkitan politik
kiri di Inggris di tahun 1960-an dan 1970-an. Hall sendiri mengikuti
gagasan Althusser dan berpendapat bahwa media muncul sebagai refleksi
atas realitas dimana media itu terlebih dahulu mengkonstruksikannya (Adi,
2008).
Hall memformulasi sebuah cadangan ke bentuk transmisi linear
(pengirim – pesan – penerima) dan membuktikkannya dengan melihat

Universitas Sumatera Utara

36

komunikasi sebagai sebuah proses dari produksi makna termasuk konsep
semiotik sebagai kode dan tanda yang memberikan lebih banyak manfaat
(Nightingale 1996; Gurevich and Scannel 2003). Istilah ‘encoder’ dan
‘decoder’ telah digunakan lebih dulu di beberapa versi dari bentuk
transmisi, contoh oleh Schramm pada tahun 1954. Namun dengan asumsi
yang berbeda Hall menggambarkan kerangka semiotik, dimana konsep
kode adalah pusatnya. Satu perbedaannya adalah Hall lebih kuat dalam
menekankan maksud, satu sebagai encoding, memproduksi ‘struktur
makna 1’ dan kemudian sebagai decoding, ketika si penerima
memproduksi ‘struktur

makna 2’ menggambar pada kerangka

pengetahuan. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.1
Sumber : users.aber.ac.uk
Dan proses-proses encoding dan decoding terlihat sebagai
‘momen’ yang sangat jelas bersifat independen yang berhubungan satu
sama lain. Satu sisi bisa membuktikan bahwa bentuk transmisi tradisional
tidak menganggap dirinya sendiri sebagai pengirim dan penerima yang
dilihat dengan cara yang sama, tapi fokus pada pengertian dan tulisan
tanpa keraguan yang lebih kuat pada bentuknya Hall. Perbedaan penting
lainnya adalah pada bentuk dalam konteks

diproses secara ideologi

Universitas Sumatera Utara

37

daripada informasi distribusi umum. Ini dibuat khusus dengan formulasi
atas apa yang disebut dengan tipe, tiga hipotesa mendecode beberapa
posisi; dominan-pokok, yang dinegoisasi, dan yang berlawanan. Tipe
seperti itu dianggap sebagai sebuah bagian penting pada bentuk
encoding/decoding. Laughey (2007:62) telah memasukkan tipe ini ke
dalam versi yang telah dimodifikasi pada bentuk grafiknya Hall, dan
Sturken (2009:72f) secara langsung ke tipe bahkan tanpa menyebutkan
bentuk yang tepat.
Menurut Hall, khalayak melakukan decoding terhadap pesan media
melalui tiga kemungkinan posisi, yaitu hegemoni dominan, negosiasi, dan
oposisi (Morissan dkk, 2010: 171-172):
1. Hegemoni Dominan (Dominant-Hegemonic Position)
Hall menjelaskan hegemoni dominan sebagai situasi dimana, media
menyampaikan pesan, khalayak menerimanya. Apa yang disampaikan
media secara kebetulan juga disukai oleh khalayak. Ini adalah situasi
dimana media menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode
budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan
khalayak, sama-sama menggunakan budaya dominan yang berlaku.
Media harus memastikan bahwa pesan yang diproduksinya harus
sesuai dengan budaya dominan yang ada dalam masyarakat. Jika,
misalnya, khalayak menginterpretasikan pesan iklan di media melalui
cara-cara yang dikehendaki media, maka media, pesan (iklan), dan
khalayak sama-sama menggunakan ideologi dominan (Morissan dkk,
2010: 171).
2. Negosiasi (Negotiated Position).
Posisi negosiasi adalah dimana khalayak secara umum menerima
ideologi dominan, namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus
tertentu. Dalam hal ini, khalayak bersedia menerima ideologi dominan
yang bersifat umum, namun mereka akan melakukan beberapa
pengecualian dalam penerapannya yang disesuaikan dengan aturan
budaya setempat (Morissan dkk, 2010: 171).

Universitas Sumatera Utara

38

3. Oposisi (Oppositional Position).
Oposisi terjadi ketika khalayak yang kritis mengganti atau mengubah
pesan atau kode yang disampaikan media dengan pesan atau kode
alternatif. Audien menolak makna pesan yang dimaksud atau disukai
media dan menggantikannya dengan cara berfikir mereka sendiri
terhadap topik yang disampaikan media (Morissan dkk, 2010: 172).

2.2.2

Kritik terhadap Analisis Resepsi
Meskipun dalam berbagai studi model teoritik ini sering digunakan

oleh peneliti dalam melakukan studi resepsi terhadap khalayak. Namun,
ada beberapa kritik yang coba dikemukakan oleh beberapa ahli dalam
rangka membangun dan memberikan solusi terhadap pola yang dianggap
masih ambigu.
Satu karakter penting yang sebelumnya tidak bisa diasumsi bahwa
yang terencode dan yang terdecode seharusnya berhubungan. Tergantung
pada kerangka pengetahuan atau kode yang diprogram terencode secara
langsung terdecode. Terkadang dianggap sebagai bagian fitur bentuk yang
penting (McQuail 2010 : 74). Sebuah masalah yang masih diragukan
adalah ‘program yang ditulis’ atau teks media. Menurut bentuk grafik di
atas hal itu berkesan untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari kedua
makna yang terencode dan yang terdecode, pada akhirnya ini jelas ada
sebelum decoding. Nightingale berkomentar, ini bisa ditafsirkan sebagai
‘diproduksi oleh satu dari dua grup yang berbeda : tim produksi atau
peneliti akademik, atau keduanya’ (Nightingale 1996 : 31). Wren – Lewis
(1983) memberikan solusi untuk permasalahan ini yakni, bisa diganti
dengan ‘program sebagai struktur penanda’. Maka bisa dikatakan
bermakna dalam arti memberikan bahan untuk interpretasi, struktur
penanda, tapi pada waktu yang sama tidak harus menganggap berbagai
interpretasi yang spesifik sebelum pendengar mendecoding (kecuali untuk
encoded yang dimaksud, ‘struktur makna 1’). Permbahasan terkait
menyangkut salah satu konsep yang paling sering dibahas dalam teks Hall,

Universitas Sumatera Utara

39

‘makna istimewa’ (atau bacaan istimewa). Hall mendefinisikan ini
sebagai:
“…there exists a pattern of 'preferred readings', and these both
have the institutional/political/ideoogical order imprinted in them
and have themselves become institutionalized. The domains of
‘preferred meanings’ have the whole social order embedded in them
as a set of meanings, practices and beliefs” (Hall 1980: 134)
Penjelasan di atas bermaksud bahwa sebuah pola ‘bacaan
istimewa’, dan keduanya mempunyai kelembagaan/politis/ideologis yang
secara berurutan tercetak didalamnya dan terlembagakan olehnya. Domain
dari ‘makna istimewa’ mempunyai keseluruhan tatanan sosial yang
tertanam dalam mereka sebagai satu set makna, praktik dan keyakinan.
Disisi lain peneliti resepsi ada yang menyatakan bahwa penelitian ini akan
membangun sebuah arti istimewa yang beralasan. Sebuah posisi yang lebih
radikal meninggalkan konsep mengakui bahwa tidak ada interpretasi
istimewa. Namun, dalam sebuah wawancara Hall kemudian berpendapat
bahwa makna disukai lebih merupakan milik teks.
“And preferred reading is simply a way of saying if you have
control of the apparatus of signifying the world, if you’re in control of the
media, you own it, you write the texts –to some extent it has a determining
shape. Your decodings are going to take place somewhere within the
universe of encoding.” (Hall 1994: 261)
Jadi, Hall menjelaskan bahwa ada konvergensi antara ideologi
dominan dan niat encoding dan praktek-praktek pengirim. Apa yang Hall
ingin katakan adalah bahwa makna tidak sepenuhnya berubah-ubah, itu
sangat dipengaruhi oleh pengkodean, tetapi tidak sepenuhnya ditentukan
juga (Hall 1994:261 f ).
Analisis penerimaan memiliki kekuatan dan kelemahan yang
masing-masing berpengaruh terhadap analisis ini, antara lain (Baran &
Davis, 2010: 306):

Universitas Sumatera Utara

40

a. Kekuatan
-

Memusatkan perhatian pada individu dalam proses komunikasi
massa

-

Menghargai kepandaian dan kemampuan konsumen media

-

Menerima berbagai jenis makna dalam teks media

-

Mencari pemahaman mendalam mengenai bagaimana orang
menafsirkan konten media

-

Menyediakan analisis mendalam mengenai bagaimana cara
media digunakan dalam konteks sosial sehari-hari

b. Kelemahan
-

Biasanya

berdasarkan

interpretasi

subjektif

dan

laporan

khalayak
-

Tidak dapat menunjukkan keberadaan atau ketiadaan efek

-

Menggunakan

metode

riset

kualitatif

yang

meniadakan

penjelasan sebab-akibat terlalu berorientasi kepada level mikro
(tetapi mencoba untuk lebih mikroskopik).
Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur
penanda yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi.
Struktur ini sangat bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan,
film, pakaian, dekorasi mobil, gestur dan lain sebagainya. Maka film Di
Balik Frekuensi dalam penelitian ini disebut dengan teks.
Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000:
266, 268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai
makna.Media dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman
interpretasi; teks terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
pemaknaan yang berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks
tidak terbuka begitu saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun
memiliki batasan interpretasi. Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh
keikutsertaan audiens dalam suatu kelompok dan faktor-faktor seperti usia,
etnis, kelas sosial, pekerjaan, status perkawinan, ras, gender, latar
belakang pendidikan dan keyakinan politik yang mana hal ini dapat
membatasi dan membentuk interpretasi potensial tentang suatu teks.

Universitas Sumatera Utara

41

Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilainilainya yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan
lebih sulit karena jarang disosialisasikan kepada masyarakat (Ulfa, 2008).

2.2.3

Interpretasi
Secara harafiah interpretasi merupakan proses aktif dan inventif.

Kemudian

didefinisikan

sebagai

suatu

tindakan

kreatif

dalam

mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan makna. Teori ini umumnya
menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh
pelaku. Alfred Schutz menyebutkan bahwa ada tiga asumsi dasar mengapa
orang bertindak dalam kehidupan sehari-hari (Djuarsa,dkk.2007) :
1. Mereka berasumsi bahwa realitas dan struktur kehidupan adalah
konstan, yaitu kehidupan akan tetap tampak seperti semula.
2. Mereka

beranggapan

bahwa

pengalaman

mereka

terhadap

kehidupan adalah valid. Sehingga orang menganggap bahwa
persepsi mereka teradap peristiwa adalah akurat.
3. Orang melihat dirinya sendiri memeliki kekuatan untuk bertindak
mencapai sesuatu dan mempengaruhi kehidupan.
Interpretasi juga didefinisikan sebagai kondisi aktif sesorang dalam
proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn,
1999:199).

Makna

pesan

media

tidaklah

permanen,

melainkan

dikonstruksikan oleh khalayak melalui komitmen dengan teks media
dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya, khalayak cenderung aktif
dalam menginterpretasikan dan memaknai teks media.

2.2.4

Khalayak Aktif
Studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson &

Goldings, 1997: 123–124) dalam penelitian skripsi Ulfa (2012: 8) bahwa
penelitian khalayak pada studi media dikarakteristikkan oleh dua asumsi:
(a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b) bahwa isi media selalu bersifat
polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi di atas berarti bahwa

Universitas Sumatera Utara

42

mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah berbagai
ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media.
Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil
konstruksi khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak
di sini adalah siapa saja yang menggunakan segala bentuk media
penyiaran, dalam keadaan apapun serta memberikan pemaknaannya pada
media tersebut. Frank Biocca menyatakan bahwa ada lima karakteristik
khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu:
1.

Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih
media yang mereka gunakan.

2.

Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media
untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.

3.

Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang
mereka inginkan.

4.

Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan
media.

5.

Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media.
Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat

membuat individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang
ditampilkan oleh media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh,
naif dan mudah untuk didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif
ditekankan pada kecerdasan dan otonomi dari individu, serta khalayak
memiliki kekuatan dalam menggunakan media. Salah satu cara dasar
khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif yaitu melalui
interpretasi produksi media oleh khalayak.
Proses interpretasi terjadi apabila khalayak mampu meberikan
makna tersendiri atas ritual konsumsi media yang dilakukan dalam
konteks sosialnya setiap hari. Ada tiga cara yang memperlihatkan aktifnya
khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000:262), yaitu:
1. Interpretasi
Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan
oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting, dan

Universitas Sumatera Utara

43

bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama atau
bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh
produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi
berbeda untuk sebuah pesan yang sama.
2. Konteks Sosial Interpretasi
Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial disekitarnya.
Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi
terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial.
3. Aksi Kolektif
Khalayak terkadang melakukan aksi kolektif sehubungan dengan isi media
massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka akan melakukan
sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media massa.

2.3 Kajian Pustaka
2.3.1

Komunikasi Massa
Menurut Wright (1959) defenisi komunikasi massa bisa dibagi

kedalam tiga ciri yakni; Pertama, komunikasi massa diarahkan kepada
audiens yang relatif besar, heterogen, dan anonim. Kedua, pesan-pesan
yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai
sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya
sementara. Ketiga, komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam
sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang
besar.
Secara umum John Vivian (2008: 450) mengartikan komunikasi
massa sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk
mengirimkan pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi
informasi, menghibur, atau membujuk. Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa pusat dari komunikasi massa adalah media. Adapun
menurut Sendjaya, dkk (2007) media merupakan organisasi yang
menyebarkan informasi berupa produk budaya atau pesan yang
mempengaruhi dan mencerminkan budaya dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

44

Selanjutnya Vivian (2008: 4) merujuk sebuah pengertian bahwa
media massa biasanya dianggap sebagai sumber berita dan hiburan yang
juga membawa pesan persuasi. Dalam konteks penelitian ini, media massa
dianggap memiliki arti penting karena pengaruhnya pada struktur tatanan
sosial. Hal ini ditandai dengan terjadinya kebergantungan masyarakat
terhadap informasi yang disajikan oleh media massa. Vivian memberikan
contoh bahwa setiap pagi sebagian besar masyarakat bangun lalu
mendengarkan radio, tokoh politik menghabiskan sebagian besar dana
kampanyenya melalui iklan televisi untuk menjaring pemilih. Para
pengusaha tergantung kepada iklan untuk menciptakan pangsa pasar yang
besar. Peranan media massa ini semakin terasa begitu penting sesuai
dengan pemaparan Vivian dalam poin-poin berikut:
1. Melalui media massa kita mengetahui hampir segala sesuatu yang kita
tahu tentang dunia di luar lingkungan dekat kita.
2. Warga yang berpengetahuan (informed) dan aktif sangat mungkin
terwujud di dalam demokrasi modern hanya jika media massa berjalan
dengan baik.
3. Orang membutuhkan media massa untuk mengekspresikan ide-ide
mereka ke khalayak luas. Tanpa media, gagasan kita hanya akan
sampai kepada jaringan terdekat kita.
4. Negara-negara kuat menggunakan media massa untuk menyebarkan
ideologinya dan untuk tujuan komersial. Dimana, media massa adalah
alat utama para propagandis, pengiklan, dan sebagainya.
Pengenalan media massa perlu didalami melalui kajian literasi
media. Vivian membagi jenis-jenis media massa yakni, buku, surat kabar,
majalah, sound recording, film, radio, televisi, dan internet. Media massa
tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan
hiburan kepada khalayak. Media massa tidak hanya dianggap sekedar
hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai
penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan
pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks
berinteraksi dengan khalayak untuk memproduksi makna berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

45

peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan
strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau
pendekatan linear (Fiske, 2007: 39).

2.3.1.1 Film
Isi media massa termasuk film, pada hakikatnya adalah
hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.
Bahasa bukan saja sebagai alat dalam mempresentasikan realitas,
namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang ingin
diciptakan oleh produsen media tentang realitas tersebut. Akibatnya
media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk
mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas
yang dikonstruksikannya.
Menurut UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang perfilman pada
Pasal (1) poin 1 menjabarkan bahwa pengertian Film adalah karya
cipta, seni, dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video,
dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan
dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan/atau lainnya.
Ephraim Kate mendefinisikan filmologi sebagai sebuah
studi dan analisis terhadap landasan psikologis dan aspek estetika
sebuah film dan konsekuensi sosial, moral, dan emosional yang
ditimbulkan. Sedangkan filmografi didefinisikan sebagai gambaran
kerja dari pihak yang terlibat dalam sebuah karya film, biasanya
secara

kronologis,

(scriptwriter),

khususnya

kamerawan,

aktor,

sutradara,
dan

penulis

setiap

orang

naskah
yang

berhubungan dengan film (Ramli, Ahmad dan Faturahman, 2005:
49).

Universitas Sumatera Utara

46

Film sebagai media komunikasi pandang-dengar (audiovisual) memiliki beberapa karakteristik, antara lain sebagai berikut:
1. Adanya permintaan yang banyak sesuai dengan keinginan
masyarakat

tanpa

membedakan

usia,

latarbelakang

atau

pengalaman.
2. Memiliki dampak psikologis yang besar, dinamis, dan mampu
mempengaruhi penonton.
3. Mampu membangun sikap dengan memperhatikan rasio dan emosi
sebuah film.
4. Mudah didistribusikan dan dipertunjukkan.
5. Terilustrasikan dengan cepat sebagai pengejawantahan sebuah ide
atau sesuatu lainnya.
6. Biasanya lebih dramatis den lengkap dari hidup itu sendiri.
7. Terdokumentasikan dengan tepat, baik gambar maupun suara
8. Observatif; secara selektif mampu meperlihatkan karakter dan
peristiwa yang menceritakan sebuah cerita.
9. Interpretatif; mampu menghubungkan sesuatu yang sebelumnya
tidak berhubungan.
10. Mampu menjual sebuah produk dan ide (sebuah alat propaganda
yang ampuh).
11. Dapat menunjukkan situasi yang kompleks dan terstruktur.
12. Mampu menjembatani waktu; baik masa lampau maupun masa
yang akan datang.
13. Dapat mencakup jarak yang jauh dan menembus ruang yang sulit
ditembus.
14. Mampu

memperbesar

dan

memperkecil

objek;

dapat

memperlihatkan sesuatu secara mendetail (microscopically).
15. Mampu

untuk

menghentikan

gerak,

mempercepat

atau

memperlambat gerakan yang nyata dan memperlihatkan hubungan
waktu yang kompleks (speed photography) dapat memperlihatkan
sebuah peristiwa yang terjadi dalam mikrosekon (microseconds);

Universitas Sumatera Utara

47

time lapse photography, dapat memperlihatkan aktivitas berjamjam dan berhari-hari dalam beberapa detik.
16. Konstan dalam isi dan penyampaian.
Menurut Quick dan Tom (1972) secara umum, film dapat
digunakan setiap orang. Baik untuk menghibur, menginformasikan,
mempersuasikan, merekam, dan eksperimen. Berikut penjabaran filmfilm tersebut (Ramli, Ahmad dan Faturahman, 2005: 52):
1. Film Hiburan.
Film kategori ini biasanya menggunakan anggaran biaya yang
cukup besar dan ditujukan untuk bioskop-bioskop. Film ini
biasanya memperkerjakan aktor dan menggunakan kru film yang
banyak. Muatan film ini dapat berupa musik, komedi, drama,
sinema aksi (seperti film perang, cowboys,detektif, dll).
2. Film Informasi.
Sebagai sebuah media komunikasi, film sebenarnya memiliki
fungsi informasi hanya saja film ini menekankan pada proses
menginformasikan disbanding menghibur. Film ini mendiskusikan
bagaimana sesuatu itu bekerja, bagaimana sesuatu itu terbuat dll.
3. Film Persuasi.
Film ini digunakan untuk mempengaruhi orang lain. Yang
termasuk dalam film ini antara lain, iklan, propaganda, dan
promosi.
4. Film Rekaman (Dokumenter).
Film ini berusaha merekam fakta atau peristiwa kedalam bentuk
film yang biasanya dikenal film dokumenter. Film jenis ini
berusaha menjelaskan sebuah realitas atau kehidupan nyata. Film
ini

menggambarkan

serta

mendiskusikan

kondisi

sosial

sebagaimana adanya serta melukiskan kehidupan dan aktifitas
sebagaimana yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara

48

5. Film Eksperimen.
Film jenis ini berisikan eksperimen atau percobaan yang
diharapkan

dapat

memperlihatkan

kepada

dunia

berbagai

pemikiran baru yang cenderung subjektif .

2.3.1.2 Film Dokumenter
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) defenisi
Film Dokumenter adalah dokumentasi dalam bentuk film
mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya
yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat
penerangan dan alat pendidikan. Sebagai tambahan kajian yang
lebih teoritis untuk melengkapi penelitian ini, peneliti menyadur
tulisan Teresa Bergman dalam Encyclopedia Of Communication
Theory (2009: 317-320) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia. Dimana menurut Teresa, teori film dokumenter
berusaha untuk mencapai beberapa tujuan, yang meliputi definisi
genre film dokumenter, artikulasi berbagai komponen, dan
menggambarkan efek dan digunakan dalam masyarakat. Film
dokumenter menginformasikan teori. Isu-isu ini sangat relevan
untuk bidang komunikasi dan retorika karena sebagian besar film
dokumenter terlibat dalam berbagai bentuk persuasi.
Sesuai paparan John Vivian dalam bukunya berjudul Teori
Komunikasi Massa pada Edisi kedelapan (2008), salah satu yang
menjadi sejarah dan awal mulanya tercipta film dokumenter adalah
film documenter berjudul Nanook of The North karya Robert
Flaherty. Film non-fiksi ini mengeksplorasi kejadian historis, masa
kini

dari

fenomena

alam

dan

kehidupan

sosial

dengan

menggunakan video film sejak tahun 1922 tentang kehidupan
Eskimo. Film ini dianggap sebagai upaya untuk merekam realitas –
tidak ada aktor, tidak ada rancangan plot cerita. Film ini kuat
terutama bukan hanya karena ia menggunakan pendekatan baru

Universitas Sumatera Utara

49

dan subjek yang menarik, tetapi juga karena secara kebetulan,
Nanook mati kelaparan ditengah padang es saat film ini dirilis.
Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian
C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film
dokumenter penting, Grass: A Nation’s Battle for Life (1925) yang
menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di
wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of
the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang
mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme
film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi)
fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa,
beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di
Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia
berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai
lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya
melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek,Kino Pravda
(1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang
menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet.
Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter
Ruttman dengan filmnya, Berlin – Symphony of a Big City (1927)
lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures.
Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk
film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik.
Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung
produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam.
Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will
(1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan
sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama,
Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya,
yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di
Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit

Universitas Sumatera Utara

50

Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior
ketimbang atlit-atlit negara lain.
Pada tahun 1936 di Amerika, era depresi besar memicu
pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan
informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu
sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan
The Plow that Broke the Plains dan sukses film ini membuat
Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter
berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film
tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi
makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan
ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang
dunia berkecamuk.
Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke
tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta
bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film
(propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter
menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul,
publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang
melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar
secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas
Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan
John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi filmfilm dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri
film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945)
yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik
yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney
untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford
melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui
Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar
untuk film dokumenter terbaik.

Universitas Sumatera Utara

51

Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan
film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak
studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya
televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas
dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah
tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru
mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini
aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal
dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film
dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang
semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi
teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus,
seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even
penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.
(http://coffilosofia.wordpress.com/2013/02/02/sejarah-filmdokumenter-dan-implikasinya-pada-perkembangan-film-sertafestival-dokumenter-di-indonesia/)

2.3.2

Konglomerasi Media
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian

konglomerasi adalah keutuhan yang terjadi dari bermacam-macam unsur.
Sementara media yang dikaitkan didalam pembahasan ini berarti sarana
atau saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan
pesan kepada masyarakat luas. Pada dasarnya konglomerasi media sematamata tidak muncul dan berdiri sendiri tanpa landasan teoretis yang lebih
tinggi. Namun, dalam penelitian ini dibutuhkan perhatian khusus yang
tepat sasaran terhadap konteks kepemilikan media. Peneliti menemukan
bahwa teori yang melandasi konteks kepemilikan media adalah ekonomipolitik.
Adapun

empat

teori

besar

ekonomi-politik

yang

sedang

berkembang di dunia diantaranya adalah: libertarianisme, kapitalisme,

Universitas Sumatera Utara

52

sosialisme, dan liberalisme modern. Diantara keempat teori tersebut
konglomerasi media cenderung masuk pada bagian teori kapitalisme.
Berdasarkan pengertiannya menurut Usman Kansong dalam buku
Ekonomi Media (2009: 22) kapitalisme adalah sistem ekonomi yang
mengijinkan individu atau kosporasi bisnis (bukan pemerintah, publik,
atau negara) memiliki dan mengontrol sumber-sumber kekayaan atau
kapital negara. Dimana menurut teori ini, individu atau perusahaan bebas
berkompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, misalnya
melalui harga, promosi, dan lain-lain. Industri media dimiliki oleh swasta
dan bebas berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Dennis McQuail (1991) menyebutkan bentuk-bentuk kepemilikan
media menjadi tiga bentuk:
1. Perusahaan Komersial (Media Swasta)
2. Institusi Nirlaba (Media komunitas dan media pemerintah)
3. Lembaga yang dikontrol publik (Media Publik).
Sementara Usman Kansong (2009) menjelaskan bahwa ada tiga
bentuk kepemilikan media, yaitu monopoli, oligopoli, dan kompetisi
monopolistik. Dalam tipe kepemilikan monopoli, suatu industri media
sangat mendominasi pasar. Tipe kepemilikan monopoli biasanya terdapat
di negara-negara otoriter atau komunis. Hanya saja media pemerintah
seperti itu lebih merupakan institusi sosial, politik, dan alat propaganda ,
tidak bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam tipe oligopoli,
industri media ditandai dengna beberapa perusahaan media yang dimiliki
oleh pemilik berbeda yang bermain di pasar. Mereka saling bersaing di
dalam pasar, namun ada satu produsen atau satu pemilik media saja yang
relatif lebih dominan dibanding yang lainnya. Sementara dalam kompetisi
monopolitstik, banyak industri media yang memproduksi jasa sejenis yang
dimiliki oleh pemilik yang berbeda-beda yang beroperasi di pasar.
Konglomerasi media dalam hal ini disebut juga sebagai konsentrasi
kepemilikan media. Artinya, dari beragam media yang ada, rata-rata
pemiliknya hanya terdiri dari kaum elite yang jumlahnya tidak banyak.
Kansong (2009) menyebutkan bahwa permasalahan konsentrasi kapital

Universitas Sumatera Utara

53

oleh media dibedakan dalam beberapa hal, yaitu level konse

Dokumen yang terkait

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

6 105 126

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 46 197

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 1 28

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 25

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 6 18

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 2

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 9

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 72