Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

(1)

(ANALISIS RESEPSI INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM)

SKRIPSI

DWI MAHLIZA ULFA

090904091

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN

2013


(2)

INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM

(ANALISIS RESEPSI INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

DWI MAHLIZA ULFA

090904091

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Dwi Mahliza Ulfa

NIM : 090904091

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul Skripsi : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a)

Medan, Juli 2013

Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NIP. 197711062005011001 NIP. 196208281987012001 Dra. Fatma Wardy Lbs, MA

Dekan FISIP-USU,

NIP. 196805251992031002 Prof. Drs. Badaruddin, M.Si


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Dwi Mahliza Ulfa NIM : 090904091

Tanda Tangan : Tanggal : Juli 2013


(5)

i

Universitas Sumatera Utara Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Dwi Mahliza Ulfa

NIM : 090904091

Departemen : Ilmu Komunikasi (Humas)

Judul Skripsi : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di :

Tanggal :


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, telah merancang skenario terindah dalam hidup peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta tidak lupa pula shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.

Penelitian skripsi ini berjudul “Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a)”, merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang tak kenal henti hingga akhir hidup. Begitupun dengan skripsi ini adalah bagian dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Peneliti berterima kasih kepada orangtua peneliti, ayahanda Hayat Dieng, yang semangatnya dalam menghidupi keluarga menjadi motivasi terbesar bagi peneliti untuk menyelesaikan jenjang pendidikan. Ibunda Parithoh Hanum, yang tidak hanya menjadi ibu bagi peneliti, tapi juga menjadi teman bercanda dan tempat berkeluh kesah. Terima kasih atas kesabaran kalian yang luar biasa dalam menghadapi tingkah polah peneliti. Terima kasih atas dukungan, nasehat, semangat dan do’a yang tiada putus-putusnya menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan untuk kakak dan adik peneliti, Hilda Mahdianty dan Mhd. Nurul Ikhsan atas perhatian dan pengertian yang telah banyak diberikan pada peneliti selama ini.

Pada akhirnya, skripsi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa uluran tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karena-Nya. Terima Kasih sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.


(7)

iii

Universitas Sumatera Utara 3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi

FISIP USU.

4. Bapak Drs. Safrin, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti. 5. Abangda Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing

Skripsi yang dengan sabar telah membimbing, meluangkan waktu dan memberi nasehat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

6. Ketua LDIK, Kak Jovita Sabarina Sitepu, M.Si. Terima Kasih atas diskusi dan sarannya yang telah banyak membantu peneliti memahami Studi Analisis Resepsi.

7. Ibu Dr. Nurbani, M.Si, selaku kepala stasiun Radio USUKOM yang banyak menasihati dan membimbing peneliti baik sebagai mahasiswa maupun sebagai pribadi.

8. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.

9. Seluruh sahabat peneliti. Rebecka, Damai, Sarah, dan Rina yang tetap konsisten dari awal hingga akhir perjuangan bergerilya bersama. Untuk Wina dan Nisa yang senantiasa hadir dan selalu bisa diandalkan di saat senang maupun susah. Dhana, Sheila, Yadi, bang Amir, Yasir yang membawa warna baru dan tak segan berbagi banyak hal. Terkhusus untuk Long Lasting Friends peneliti, Arifah, Devi, Faisal, Fajar, Annisa yang selama hampir delapan tahun bermimpi dan berproses bersama menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih atas semua yang telah dilalui selama ini. Terima kasih atas kesabaran, dukungan dan bantuannya. Dari kalian


(8)

peneliti belajar banyak hal. Mudah-mudahan kita tetap menjadi sahabat untuk selama-lamanya.

10.Kak Windi Siregar, bang Rianda, kak Ande, Cessi, Icha, Agus, Wanda, Melany, Audy, Wisnu, Apung, Endang, Pita, Ghina, Susan, Marjul, Adhe, Hanna, Adin beserta rekan- rekan USUKOM lainnya yang telah menjadi keluarga kedua bagi peneliti. Terima kasih atas tawa, omelan dan dukungan yang kalian berikan.

11.Kak Icut, kak Maya dan seluruh staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti sejak masa kuliah.

12.Kak Siti, bang Iqbal, kak Hanim dan kak Puan yang selalu menjadi tempat diskusi paling tokcer. Terima kasih atas bantuan dan waktu yang telah diluangkan.

13.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2009, para senior dan junior. Terima kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja. 14.Sahabat, keluarga, teman, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,

tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, insya Allah, di syurgaNya kelak. Amin. Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Juli 2013 Peneliti


(9)

v

Universitas Sumatera Utara Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dwi Mahliza Ulfa

NIM : 090904091

Departemen : Ilmu Komunikasi (Humas) Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Krya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekslusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a), berserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : Juli 2013

Yang Menyatakan

(Dwi Mahliza Ulfa)


(10)

ABSTRAK

Hadirnya film Cin(T)a pada tahun 2009 yang mengangkat cerita tentang percintaan dua muda mudi yang berasal dari keluarga dengan budaya dan keyakinan berbeda, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Film indie garapan Sammaria Simanjuntak ini dianggap menghidupkan kembali wacana pluralisme setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram pada tahun 2005. Adegan yang dimunculkan dalam film Cin(T)a menghadirkan gambaran unik seputar perbedaan dua tokohnya yang mewakili kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia, serta dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat akan makna.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai pluralisme yang ditampilkan dalam film Cin(T)a. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalamterhadap lima informan dengan latar belakang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan film Cin(T)a dimaknai oleh informan sebagai film yang menampilkan fenomena keragaman dan kemajemukan di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan pluralisme serta toleransi melalui adegan dan dialog di dalamnya. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Cin(T)a, perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka.


(11)

vii

Universitas Sumatera Utara Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings.

The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds.

The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning.

Keyword: Pluralism, Diversity, Plurality, Tolerance


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 10

2.1.1 Paradigma Interpretivisme ... 12

2.1.2 Analisis Resepsi ... 15

2.2 Kajian Pustaka ... 21

2.2.1 Komunikasi ... 21

2.2.2 Pluralisme ... 26

2.2.3 Ideologi ... 33

2.3 Model Teoritik ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 38

3.2 Objek Penelitian ... 38

3.3 Subjek Penelitian ... 39

3.4 Kerangka Analisis ... 40

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.6 Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 46

4.1.1 Sinopsis Film Cin(T)a ... 46

4.1.2 Latar Belakang Informan ... 47

4.1.3 Interpretasi Penonton ... 45

4.1.3.1 Interpretasi terhadap Film Cin(T)a ... 55

4.1.3.2 Pengetahuan Seputar Pluralisme ... . 68

4.2 Pembahasan ... 75


(13)

ix

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2. 1 Ilustrasi Proses Interpretasi ... 26

2. 2 Model Teoritik ... 37

3. 1 Metode Snowball Sampling ... 40


(15)

vi

Universitas Sumatera Utara Hadirnya film Cin(T)a pada tahun 2009 yang mengangkat cerita tentang percintaan dua muda mudi yang berasal dari keluarga dengan budaya dan keyakinan berbeda, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Film indie garapan Sammaria Simanjuntak ini dianggap menghidupkan kembali wacana pluralisme setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram pada tahun 2005. Adegan yang dimunculkan dalam film Cin(T)a menghadirkan gambaran unik seputar perbedaan dua tokohnya yang mewakili kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia, serta dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat akan makna.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai pluralisme yang ditampilkan dalam film Cin(T)a. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalamterhadap lima informan dengan latar belakang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan film Cin(T)a dimaknai oleh informan sebagai film yang menampilkan fenomena keragaman dan kemajemukan di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan pluralisme serta toleransi melalui adegan dan dialog di dalamnya. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Cin(T)a, perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka.

Kata kunci: Pluralisme, Keragaman, Kemajemukan, Toleransi


(16)

ABSTRACT

Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings.

The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds.

The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning.


(17)

1

Universitas Sumatera Utara

1.1 Konteks Masalah

Pembahasan pluralisme di Indonesia selalu menjadi pembicaraan yang hangat.Hal ini dikarenakan kondisi alamiah Indonesia yang berbeda-beda dari segala aspek mulai dari kondisi geografis, suku, bahasa, warna kulit, dan agama.Untuk itulah semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto menjadi cerminandari perbedaan Indonesia.Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya.

Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus BPS tahun 2010 tercatat 1.340 suku bangsa di Indonesia dengan jumlah total penduduk 237.556.363 jiwa sebagai warga negara.

Secara etimologi pluralisme merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni, plural yang berarti ragam dan isme yang berarti paham.Jadi pluralisme bisa diartikan sebagai berbagai paham atau bermacam-macam paham. Sedangkan dalam Webster’s Third International Dictionary pluralisme didefinisikan sebagai berikut:

(1)”a state of society in which members of diverse ethnic, religious, racial, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization;[and] (2) A concept, doctrine, or policy advocating this state”(Ghazali, 2009: 180)

Berdasarkan pengertian di atas, pluralisme didefinisikan sebagai sebuah keadaan masyarakat di mana anggota suatu etnis, agama, ras atau kelompok sosial yang beragam mempertahankan partisipasi otonom dan pengembangan budaya


(18)

2

tradisional mereka ataupun minat khusus dalam batas-batas peradaban umum.Selain itu pluralisme juga diartikan sebagai sebuah konsep, doktrin atau kebijakan untuk menyokong keadaan ataupun situasi masyarakat yang beragam. Latar belakang munculnya gerakan pluralisme adalah sebagai akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Karenanya, para penggiat gerakan ini mengharapkan paham pluralisme dapat menjadi penawar dari berbagai konflik dalam wacana keberagaman terutama persoalan agama.

Indonesia dengan segala kekayaan adat istiadat, suku dan agamanya pun tidak luput dari terpaan paham pluralisme ini.Tidak sedikit masyarakat yang mendukung, karena pluralisme dianggap dapat menjembatani segala perbedaan yang ada dan menumbuhkan sikap toleransi antar berbagai kelompok, sehingga dapat meminimalisir adanya potensi konflik.Konflik horizontal adalah bukti nyata kurangnya kesadaran maupun kemampuan masyarakat dalam menyikapi perbedaan dan keragaman secara bijak.

Di indonesia sendiri konflik horizontal bukanlagi menjadi hal yang asing ataupun baru. Mengingat bahwa heterogenitas bangsa Indonesia baik suku, agama, etnis maupun budaya adalah sesuatu yang tak terbantahkan, maka konflik dan perpecahan juga tidak bisa terhindarkan.Konflik horizontal yang terjadi kini tengah menyebar hampir di setiap pulau besar di Indonesia. Mulai dari Timika, Ambon, Poso, Bima, Flores Timur, Sampit, Sampang, Cikeusik, Tumenggung, Lampung Selatan, hingga Aceh pernah menjadi saksi bisu pecahnya kerusuhan antar warga tersebut.

Penyebab dan akar permasalahan tiap konflik horizontal jugaberagam.Mulai dari etnosentrisme, wilayah kekuasaan, kecemburuan sosial hingga yang paling sering muncul adalah masalah agama dan kepercayaan.Tidak mengherankan jika paham pluralisme bagi sejumlah orang disambut hangat dandianggap menjadi angin segar yang diharapkan dapat meredakan konflik di Indonesia.


(19)

Universitas Sumatera Utara Namun seiring berjalannya waktu, pengertian pluralisme telah banyak mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.Salah satu perkembangan definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang diungkapkan oleh John Hick. Pada artikel pluralisme dalam Religious Research, John Hick menuliskan konflik horizontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama mereka yang paling benar. Ia mengatakan bahwa semua agama sama efektifnya, atau sama tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah haluan kehidupan mereka dari ‘ingat diri sendiri’ ke ‘ingat akan Yang Lain’.Menurutnya itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, dan menganggap yang lain salah.Ia pun mengasumsikan pluralisme sebagai identitas kultural, kepercayaan dan agama yang harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut akan berevolusi menjadi satu (Knitter, 2008: 134-145).

Selain itu, dalam makalah Muhammad Nurdin Salim dengan judul Telaah

Kritis Pluralisme Agama, John Hick menganalogikan agama-agama yang ada di

dunia dengan matahari dan planet.Dia menyatakan bahwa Kristen dan agama-agama lainnya “mengelilingi” tuhan, seperti planet planet mengelilingi matahari.Karenanya ia menyarankan agar manusia berpindah dari sentralitas agama menuju sentralitas tuhandan menegaskan bahwa Kristen bukanlah agama yang paling benar. Begitu juga agama dan kepercayaan lain belum tentu lebih baikdari agamaKristen.

Perkembangan definisi pluralisme juga terjadi di Indonesia. Ulil Abshar Abdalla dalam wawancaranya dengan Gatra, Desember 2002 mengatakan:

“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.Jadi, Islam bukan yang paling benar”.

Bahkan dalam artikelnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas, November 2002, ia menulis sebagai berikut:

“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang


(20)

4

beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”

Hal inilah yang mengundang protes keras serta penolakan dari para pemuka dan organisasi keagamaan.Di Indonesia khususnya, dominasi penolakan dan perdebatan seputar pluralisme tersebut datang dari kaum fundamentalis Islam dan Kristen.Mereka mencurigai adanya bahaya pluralisme yang dianggap sebagai agendadari pihak-pihak tertentu.Menurut mereka, pluralisme akan memudahkan terjadinya proses liberalisme sosial politik, sehingga menyebabkan wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan. Melalui paham pluralisme tersebut wilayah yuridiksi serta nilai-nilai keagamaanakan direduksi, dimarjinalkan dan didomestikkan sedemikian rupa. Sehingga pada akhirnya hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling pribadi.

Perbedaan dalam memaknai pluralisme ini akhirnya membawa kepada perdebatan dan pertentangan dua kubu.Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian.Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan interpretasi kata pluralisme itu sendiri.Maka wajarlah pluralisme mendapat dukungan sekaligus penolakan karena maknanya sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu. Media massa dalam masyarakat pluralis memainkan peranan yang sangat signifikan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak maupun dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini, media massa bekerja dan mengembangkan wacana. Pengembangan wacana oleh media massa dapat diamati melalui bagaimana bentuk-bentuk isi media seperti berita, film, musik ataupun sinetron yang dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang dalam konteks masyarakat pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti suku bangsa, budaya dan agama.

Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar pengaruhnyaterhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri dari berbagai tandadan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga bisa diinterpretasikan olehorang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi dan kemampuan berpikir orangtersebut.Sebagai media massa, film digunakan


(21)

Universitas Sumatera Utara sebagai media yang merefleksikan realitas atau bahkan membentuk realitas.Film mengkomunikasikan pesan dari pembuat film (film maker) kepada penonton (audience).

Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut.Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki unsur paksaan.Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film, komunikasi yang terjadi lebih bersifat satu arah. Kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film sehingga tanpa sadar diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari pembuatnya.

Film kerap digunakan sebagai penyebar berbagai kepentingan dan ideologi karena dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan popularitas yang hebat.Film merupakan media yang paling cepat ditangkap oleh khalayak karena sifatnya yang audio visual.Oleh karena itu, pesan-pesan yang terdapat pada film akan dengan mudah ditangkap oleh khalayak dan diinterpretasikan.

Dalam aspek jangkauan, film mampu menjangkau jutaan (bahkan puluhan juta) audiens didunia dalam waktu yang sangat singkat.Disamping itu, film juga memiliki kemampuan untuk memanipulasi realitas (kenyataan) yang sebenarnya dalam bentuk efek-efek videografi tanpa kehilangan kredibilitasnya.

Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat. Lebih-lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan konstitusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif bagi para penontonnya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga harus disadari media mampu mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar.Tentunya banyak cerita menarik yang bisa dikupas dari begitu banyak


(22)

6

individu.Film yang disajikan di layar lebar kini juga telah banyak disesuaikan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Film Cin(T)a adalah salah satunya.

Cin(T)aadalah sebuah film produksi Moonbeam Creationdan Sembilan Matahari Filmdi tahun 2009. Film ini menyentuh persoalan yang cukup sensitif, yaitumenyangkut percintaan yang dibalut dengan perbedaan agama.Film indie yangdisutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan pernah mendapatkehormatan untuk diputar di NationalFilm Theater – British Film Institute London ini, berani menampilkan beberapa testimoni dari pasanganbeda agama yang menjelaskan keharmonisan mereka walaupun hidupdengan memegang keyakinan masing-masing, sehingga menambah daya tarik tersendiri dari film ini.

Film yang meraih penghargaan skenarioasli terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) ini, juga mencoba menyampaikan pesan-pesan yang menarik mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama.Pesan-pesan tersebut tertuang jelas dalam setiap adegan dan percakapan dalam film ini. Sebagai contoh, di salah satu adegan saat Annisa dan Cina sedang makan bersama, doa yang Annisa baca sebelum makan adalah “Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, dan disembah dengan berbagai cara”. Hebatnya lagi, film ini tidak segan menampilkan penggalan dialog yang secara jelas menggugat Tuhan seperti "Kenapa Tuhan nyiptain kita beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara?". Selama 79 menit film ini membahas secara gamblang perbedaan antara Cina dan Annisa.Cina (diperankan oleh Sunny Soon) adalah mahasiswa baru ber-etnis Batak Cina. Cina tumbuh menjadi seorang remaja yang lugu tapi ia yakin bisa mewujudkan impiannya dengan modal tekad yang kuat. Annisa (diperankan oleh Saira Jihan), mahasiswi muslimah 24 tahun ber-etnis Jawa yang kuliahnya terhambat oleh kariernya di industri perfilman. Ketenaran dan kecantikan membuatnya kesepian,sehingga ia bersahabat dengan jari bermuka sedih, yaitu teman imajiner yang ia ciptakan.

Dialog-dialog mengenai konsep Tuhan menurut sudut pandang Cina dan Anissa yang dalam film ini dinyatakan sebagai the unpredictable character dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat makna.Hal yang juga membuat film ini bertambah istimewa adalah kehadirannya di tengah


(23)

Universitas Sumatera Utara banyaknya pro dan kontra mengenai pluralisme.Apalagi setelahMUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram terhadap pluralisme padatahun 2005 yang lalu.

Film ini layak diteliti karena beberapa keunikan yang dimilikinya.Tema yang diangkat masih jarang ditemui pada film-film kebanyakan.Berani menyentuh ranah pluralisme, khususnya pluralisme agama yang di Indonesia sendiri masih tabu untuk memperbincangkannya.

Walau sekarang mulai muncul beberapa film dengan genre serupa seperti 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010), Tanda Tanya (2011), dan yang terbaru Cinta Tapi Beda (2012) tidak serta merta mengurangi nilai film ini. Film Cin(T)a tetap menyajikan pesan pluralisme secara berbeda. Hal ini bisa terlihat dari dari pengemasan film yang menggunakan dua konsep sinematografi (http://www.godisadirector.com).

Konsep pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'.Reaksi penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan.Konsep kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua, sedangkan yang lainoff - frame.’Terlihat dengan hanya ditampilkannya dua pemeran utama di setiap scene, walaupun ada figuran hanya ditampilkan suaranya saja sedangkan wajah mereka selalu disembunyikan.Di satu sisi film ini juga tidak ‘banjir’ romansa dan merupakan pelopor film dengan tema ’beda agama’.

Kehadiran film ini juga serta merta ‘menyentil’ masyarakat Indonesia yang mulai nyaman dengan bauran perbedaan sejak digadang oleh Gus Dur di masa pemerintahannya.Wacana pluralisme yang mulai ‘dingin’, kembali memanas hingga menuai perdebatan dan kontroversi di tengah masyarakat.Perlu disadari bahwa perdebatan yang terjadi, bermuara dari perbedaan memaknai pluralisme itu sendiri.

Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai maksud, bahasa, maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca, dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya konsumen konten media. Penonton menginterpretasikan


(24)

8

teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah serta tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi analisis resepsi.

2. Penelitian ini terbatas hanya pada orang-orang yang pernah menonton film Cin(T)a.

3. Penelitian ini akan mulai dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga selesai.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi yang diberikan penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah peneliti dan pembaca mengenai kajian resepsi.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca agar lebih memahami pemaknaan suatu media.


(25)

Universitas Sumatera Utara 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Depertemen

Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma Kajian

Salah satu dari banyak hal yang sangat memengaruhi dan membentuk ilmu dan teori adalah paradigma (paradigm). Thomas Khun dikenal sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah paradigma ini.Paradigma atau dalam bidang keilmuan sering disebut sebagai perspektif (perspective), terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kaca mata atau cara pandang untuk memahami dunia nyata. Dalam hal ini, Patton berpendapat bahwa:

A paradigm is a world view, a generalperspective, a way of

breaking down the complexity of the real world. As such,paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners:paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are alsonormative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential orepistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes boththeir strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm” (Mulyana, 2002: 9).

Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, simbol-simbol atau artefak tertentu.Kualitas-kualitas itu harus dinilai atau diukur berdasarkan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan pendekatan hermeneutika, semiotika, analitika bahasa, verstehen, dan metode lainnya yang sesuai dengan objek penelitian. Penelitian kualitatif menghindari metode matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu mengandung meaning.

Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan


(27)

Universitas Sumatera Utara objektiv, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Karena menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2002: 10) paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula yang memengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari suatu kitab suci yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang.

Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak konsisten itu sama-sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan panduan, antara lain memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap publik.

Bagi ilmu sosial, keistimewaannya justru terdapat pada keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas) memang berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya, antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui (dalam Mulyana, 2002: 17), disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial, dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan berikut.

a. Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.

b. Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan menjadi sulit.

c. Fakta bahwa komunikasi adalah instrument dan objek studi


(28)

12

d. Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik. e. Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan.

Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Keempat paaradigma itu ialah: positivisme, postpositivisme, konstruktivisme (constructivism) dan teori kritik (critical theory).

Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan).

Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis dalam Handbook of Qualitative Research, mengidentifikasi perbedaan dan aliran pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh penentangan keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini, seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada soal-soal tentang cara mengetahui ( epistemologi ) dan wujud ( ontologi ) daripada oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik dan idiografik terhadap penelitian(Denzin & Lincoln, 2009 : 124).

2.1.1 Paradigma Interpretivisme

Interpretivisme dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi hermeneutika intelektual Jerman dan tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik-kritik terhadap saintisme dan positivisme dalam ilmu sosial yang dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang mengkritik empirisisme logis (misalnya, Peter Winch, A.R. Louch, Isaiah Berlin). Secara historis, paling tidak para interpretivis menegaskan kekhasan penelitian manusia. Mereka menyatakan berbagai penolakan terhadap interpretasi naturalistik atas ilmu sosial (yakni pandangan bahwa tujuan dan metode ilmu sosial identik dengan tujuan dan metode ilmu alam). Mereka menyatakan bahwa ilmu jiwa (Geisteswissenschaften) atau ilmu budaya (Kulturwissenschaften)


(29)

Universitas Sumatera Utara berbeda dengan ilmu alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu alam adalah untuk memberikan penjelasan ilmiah (Erklaren), sedangkan tujuan ilmu jiwa dan budaya adalah memahami atau mengetahui (Verstehen) “makna” fenomena sosial (Denzin & Lincoln, 2009: 148).

Kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi (internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian dengan peneliti.Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna, dalam usaha Max Weber untuk menghubungkan interpretasi makna dengan penjelasan-penjelasan kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Denzin & Lincoln, 2009: 148).

Para penerus teoritis kontemporer dari para pendiri interpretivis ini telah memusatkan perhatian mereka kepada paradoks tersebut dengan beberapa cara. Hammersley merupakan wakil dari para kalangan pakar interpretivis yang mengupayakan sintetis antara realisme dengan konstruktivisme sosial.LeCompte dan Preissle (1993) serta Kirk dan Miller (1986) mengandalkan metode sebagai strategi untuk mengeliminasi kekeliruan. John K. Smith menyebutnya dengan metodologi “jalan tengah”. Para penganjur solusi ini berpendapat bahwa meskipun ide-ide tentang objektivitas, penjarakan dan hambatan metodologis sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum empiris adalah sebuah fiksi, penelitian interpretif harus dibuat lebih sistematisdan lebih menyeluruh (rigorous). Alasannya disini adalah bahwa meskipun metode tidak dapat menghilangkan subjektivitas peneliti, ia tentu dapat menguranginya. Dengan demikian layak


(30)

14

menjadi kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan bahwa sejumlah hasil lebih objektif daripada yang lain (Bryman, 2008: 17).

Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi, fokus pendekatan interpretif ini terletak pada arti individu dan persepsi manusia terhadap realitas, bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka. Menurut Alfred Schutz, manusia secara terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif serta logika materil dan logika probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep (Sumaryono, 1999: 23).

Karena mereka memusatkan perhatian kepada makna sebagai sesuatu yang primer, kalangan interpretivis menafsirkan dunia realitas sosial secara sangat berbeda dengan kalangan pakar yang mendukung kerangka kerja ilmu sosial empiris. Di mata kaum empiris, realitas sosial terdiri atas serangkaian fakta sosial yang meliputi tindakan kasat mata (perilaku) para individu yang dapat dijelaskan secara fisik atau institusional dan kepercayaan–kepercayaan, keadaan-keadaan afektif dan seterusnya yang menjelaskan motivasi-motivasi tindakan. Kedua jenis fakta ini dianggap sebagai data kasar, yakni data yang dapat diidentifikasi dan diverifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan interpretasi. Dengan cara ini, kaum empiris menjelaskan perilaku manusia sekaligus makna perilaku tersebut bagi para pelaku yang terlibat.


(31)

Universitas Sumatera Utara Pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman (Bryman, 2008: 16).

2.1.2 Analisis Resepsi

Menurut Stanley J. Baran (2003), analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Hadi, 2009: 3). Hal ini bisa diartikan individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sejarah riset audiens, reception studies mulai berkembang pada awal 1980-an di Eropa. Dalam kajian komunikasi, reception studies biasanya dipakai sebagai salah satu alternatif dalam riset audiens. Kemunculan reception

studies bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens,

melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media. Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah, dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception studies, makna yang ditemukan merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti.

Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan kemampuannya dalam memaknai teks media. Mereka memilih cara pandang


(32)

16

bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah pemaknaan teks media oleh audiens, dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti (Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).

Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi

antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (Hadi, 2007: 16).

Analisis resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada pesan -pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan media senantiasa polisemi dan harus ditafsirkan.

Pendekatan studi analisis resepsi digunakan karena pada dasarnya audiens aktif meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, meresepsi atau dalam membuat kesimpulan. Penelitian resepsi mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan peristiwa dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apa yang muncul.

Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang berbeda pada masing-masing individu secara langsung turut membangun


(33)

Universitas Sumatera Utara kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000: 268).

Dalam studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson & Goldings, 1997: 123–124) penelitian khalayak pada studi media dikarakteristikkan oleh dua asumsi : (a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b) bahwa isi media selalu bersifat polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi di atas berarti bahwa mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah berbagai ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media.

Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil konstruksi khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak di sini adalah siapa saja yang menggunakan segala bentuk media penyiaran, dalam keadaan apapun serta memberikan pemaknaannya pada media tersebut. Frank Biocca menyatakan bahwa ada lima karakteristik khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu:

1. Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih media yang mereka gunakan.

2. Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.

3. Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang mereka inginkan.

4. Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan media. 5. Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media.

Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat membuat individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh, naif dan mudah untuk didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif ditekankan pada kecerdasan dan otonomi dari individu, serta khalayak memiliki kekuatan dalam menggunakan media. Salah satu cara dasar khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif yaitu melalui interpretasi produksi media oleh khalayak. Ada tiga cara yang memperlihatkan aktifnya khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000: 262), yaitu:


(34)

18

1. Interpretasi

Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting dan merupakan bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama atau bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi berbeda untuk sebuah pesan yang sama.

2. Konteks Sosial Interpretasi

Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial di sekitarnya. Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial. 3. Aksi Kolektif

Khalayak terkadang melakukan aksi-aksi secara kolektif sehubungan dengan isi media massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka akan melakukan sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media massa.

Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model

encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah

pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Model ini fokus pada ide bahwa audiens memiliki respon yang bermacam-macam pada sebuah pesan media karena pengaruh posisi sosial, gender, usia, etnis, pekerjaan, pengalaman, keyakinan dan kemampuan mereka dalam menerima pesan. Hal tersebut terlihat pada premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall yang merupakan dasar dari analisis resepsi (Narottama, 2008: 7):

1. Peristiwa yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara.

2. Pesan selalu mengandung lebih dari satu potensi pembacaan. Tujuan pesan dan arahan pembacaan memang ada, tetapi itu tidak akan bisa menutup hanya menjadi satu pembacaan saja: mereka masih polisemi (secara prinsip masih memungkinkan munculnya variasi interpretasi).

3. Memahami pesan juga merupakan praktek yang problematik, sebagaimanapun itu tampak transparan dan alami. Pengiriman pesan


(35)

Universitas Sumatera Utara secara satu arah akan selalu mungkin untuk diterima atau dipahami dengan cara yang berbeda.

Objek dari model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana.Kebanyakan teori komunikasi bersifat linear karena hanya berfokus pada pesan dan tidak memperhatikan pada faktor-faktor penyusun pesan. Oleh Fiske, analisa ini kemudian disempurnakan dengan memberikan perhatian pada kultur media dan menganalisa hubungan yang kompleks antara teks, khalayak, industri media, politik dan konteks sejarah sebagai sebuah kesatuan.

Melalui model encoding-decoding dapat diketahui bahwa struktur makna (meaning structure) satu dan struktur makna dua kemungkinan tidak sama. Kode encoding dan decoding kemungkinan juga tidak sejajar. Derajat simetrisnya akan tergantung dari derajat simetri dan asimetri yang dibangun antara decoder/receiver dan encoder/producer. Derajat asimetri disini adalah derajat pengertian dan salah pengertian dalam pertukaran komunikasi (Durham & Kellner, 2002: 173).

Decoding adalah proses melalui mana audiens menggunakan pengetahuan

mereka secara implisit tentang teks dan nilai-nilai budaya guna menginterpretasikan teks media. Decoding berkaitan dengan kapasitas subyektif untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda lainnya. Model ini memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode oleh produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak. Berdasarkan model ini, khalayak akan men-decode pesan suatu teks dengan menggunakan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta mengaitkannya dengan keadaan lingkungan secara menyeluruh. Namun apa yang di-encode oleh pembuat teks tidak selalu simetri dengan apa yang di-decode oleh khalayaknya.

Namun demikian khalayak tidak bisa men-decode pesan semaunya karena teks media memiliki batasan intrpretasi, seperti yang dikatakan oleh Hall, (Hagen & Wasko, 2000: 19) “Encoding will have the effect of constructing some of the limits within wich decoding will operate.” Karena encoding akan memiliki efek membangun batasan interpretasi maka menurut Hall akan ada tiga bentuk


(36)

20

pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175).

1. Dominant-Hegemonic Position.

Yaitu, audience mengambil makna yang mengandung arti dari isi media dan meng-decode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud (preferred reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya pemahaman yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan komunikator dan komunikan sama, langsung menerima.

2. Negotiated Position.

Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah didefinisikan dan ditandakan dalam teks media. Audience bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain. 3. Oppositional Position.

Yaitu, audience memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya bias dalam penyampaian pesan dan berusaha untuk tidak menerimanya secara mentah-mentah. Dalam hal ini audience berusaha untuk melakukan demitologisasi terhadap teks.

Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur penanda yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi.Struktur ini sangat bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan, film, pakaian, dekorasi mobil, gestur, dan lain sebagainya. Maka film Cin(T)a dalam penelitian ini disebut dengan teks.

Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000: 266, 268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai makna.Media dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman interpretasi; teks terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemaknaan yang berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks tidak terbuka begitu saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun memiliki batasan interpretasi. Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh keikutsertaan audiens dalam suatu kelompok dan faktor-faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, pekerjaan, status perkawinan, ras, gender, latar belakang pendidikan dan keyakinan politik yang mana hal ini dapat membatasi dan membentuk interpretasi potensial tentang suatu


(37)

Universitas Sumatera Utara teks. Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilai-nilainya yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan lebih sulit karena jarang disosialisasikan kepada masyarakat.

2.2 Kajian Pustaka

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah dan meneliti kegiatan – kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup (scope)-nya dan banyak dimensinya. Para mahasiswa selalu mengklasifikasikan aspek – aspek komunikasi ke dalam jenis – jenis yang satu sama lain berbeda konteksnya (Effendy, 2006: 52).

2.2.1 Komunikasi

Setiap sendi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi dapat diikhtisarkan sebagai berikut (Lubis, 2007: 11).

1. Komunikasi berasal dari bahasa latin, communis yang berarti ‘sama’. Maksudnya bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang lain maka terlebih dahulu harus menyadarkan persamaan lambang dengan orang yang dituju sebagai sasaran komunikasi.

2. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan komunikasi dari seseorang atau sekelompok kepada seseorang atau sekelompok lainnya. 3. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber,

pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan efek.

4. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu, kelompok kecil, public speaking komunikasi massa atau komunikasi antar kebudayaan.

Menurut Frey, Botan dan Kreps (2000), Communication is the process of

managing messages for the purpose of creating meaning, bahwa komunikasi

adalah suatu proses mengelola pesan dengan tujuan menciptakan makna. Pada pengertian ini terdapat 3 kata kunci, diantaranya messages (pesan), managing (mengelola), dan meaning (makna). Messages (pesan) disini dinyatakan dalam bentuk simbol, yaitu simbol verbal dan nonverbal. Pesan verbal diantaranya


(38)

22

dinyatakan dalam kata-kata, sedangkan pesan nonverbal dinyatakan dalam simbol yang berupa tindakan dan isyarat. Managing (mengelola) yaitu mengelola pesan dengan cara menerima pesan untuk direspon kemudian diolah untuk menjadi pesan yang mungkin dijadikan pilihan yang dapat memengaruhi makna yang akan ditimbulkan. Meaning (makna) yaitu penafsiran seseorang terhadap pesan yang telah diberikan kepadanya untuk kemudian dipahami (Griffin, 2006: 52).

Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu berlangsung. Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang ingin menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang kepadasiapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim meng-enkode (encodes) ide dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.

Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan untuk penerima.Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel). Saluran tersebut bisa berupa laporan formal, e-mail, pertemuan dengan berhadapan secara langsung, lagu bahkan film. Penerima pesan kemudian men-dekode (decodes) simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini.

Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal, jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat (artefak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya. Semua itu bisa dijadikan lambang.

Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap


(39)

Universitas Sumatera Utara kata-kata itu. Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi makna yang sama pada suatu kata.

Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lainnya, dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lainnya. Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang tersebut. Kita hanya memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Akan tetapi, makna yang diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu, meskipun perubahan makna itu berjalan lambat.

Menggunakan lambang, baik dalam penyandian ataupun penyandian-balik, manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan, bukan hanya antara mereka yang sama-sama hadir, bahkan juga antara mereka yang tinggal berjauhan dan tidak pernah saling bertemu, atau antara pihak-pihak yang berbeda generasi. Kita tidak hanya dapat menyampaikan pengetahuan dari orang ke orang, namun juga gagasan dari satu generasi ke genarasi lainnya, meskipun generasi-generasi tersebut dipisahkan oleh waktu ratusan tahun.

Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang disekitar kita dan untuk memperngaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).

Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland diatas menunjukan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (Effendy, 2006: 10).

Komunikasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penyampaian dan penerimaan pesan dengan menggunakan simbol atau tanda sebagai medianya, dapat pula menjadi sebuah proses pertukaran makna. Dalam


(40)

24

sebuah tanda yang dipertukarkan akan memerlukan makna-makna yang juga dipertukarkan untuk membentuk sebuah komunikasi yang baik.

Hal tersebut diatas akan mengacu pada bagaimana cara menciptakan makna. Ini yang akan memberikan penekanan yang berbeda dalam bidang komunikasi, karena dalam model tersebut tidak dilihat pada proses transmisi pesan atau proses penyampaian pesan, tetapi lebih menekankan pada relasi antar unsur-unsur dalam menciptakan makna. Menyangkut hal ini, Fiske mengklasifikasikannya dalam dua paradigma utama, yaitu:

Paradigma pertama yang disebut juga paradigma ‘proses’ yang

melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter mengunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Sedangkan paradigam kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification) dan tidaak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi.” (Fiske, 2007: 8).

Dari pandangan diatas dapat diketahui pada dasarnya komunikasi merupakan proses interaksi sosial melalui pesan. Pada paradigma pertama melihat komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (transmission of message). Hal ini berhubungan dengan bagaimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) menyampaikan serta menerima pesan. Disini komunikasi dimaknai sebagai suatu proses dimana seseorang berusaha mempengaruhi tingkah laku atau pikiran orang lain. Dengan kata lain, pandangan ini melihat interaksi sosial sebagai proses hubungan seseorang dengan yang lain, atau proses mempengaruhi sikap, tingkah laku dan respon emosional terhadap orang lain.

Pada paradigma kedua lebih melihat komunikasi sebagai suatu aktifitas produksi serta pertukaran makna-makna pesan (production and exchange of

meaning). Ini berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan atau teks berinteraksi


(41)

Universitas Sumatera Utara sosial dengan menyatakan individu sebagai bagian dari sebuah kebudayaan atau masyarakat tertentu. Pandangan ini juga tidak mempertimbangkan kesalahpahaman yang akan menyebabkan kegagalan komunikasi, karena ini menyangkut perbedaan latar belakang budaya antara pengirim dan penerima pesan. Oleh sebab itu, dalam paradigma ini lebih menekankan pada studi komunikasi sebagai studi terhadap teks dan budaya.

Makna merupaka hakekat komunikasi. Bagaimana tidak, seseorang yang terlibat dalam kondisi percakapan, ia dan lawan bicaranya terus menerus memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan maupun yang diterimanya. Pemaknaan yang dilakukan para pihak yang terlibat dalam komunikasi, berada dalam koridor mencari kebenaran, melalui langkah-langkah kreatif dalam memberi makna.

Dalam konteks komunikasi, makna dan interpretasi selalu muncul dalam episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dan terdiri dari berbagai perspektif termasuk individualis, sosialis interpretif dan kritik. Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesan-pesan dihasilkan yang bermuara pada produk pesan. Sementara itu penerimaan pesan berfokus pada bagaimana pesan diterima. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaimana diketahui bahwa komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh berbagai informasi.

Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Makna pesan media tidaklah permanen, melainkan dikonstruksi oleh khalayak melalui komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya, khalayak aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.

Gambar 2.1

Ilustrasi proses Interpretasi yang berbeda pada masing-masing individu


(42)

26

Sumber : Journal of Communication, 1990, vol. 40 no. 1, Hal 73 Proses interpretasi terjadi setelah pesan diorganisir dan individu akan mengenali bentuk dan makna dari rangsangan yang diterimanya. Dari rangsangan yang diterima, ditarik kesimpulan dan menciptakan gambaran akhir mengenai makna dari rangsangan di dalam pikiran individu. Dapat diibaratkan menafsirkan suatu hal dari sudut pandang kita sendiri.

Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, angka atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar maupun tidak, melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.

2.2.2 Pluralisme

Secara etimologi pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.

Pluralisme dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Sementara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam “kebenaran terakhir” yang dipertentangkan dengan aliran “monoisme” atau “dualisme”. Monoisme terbagi kepada physical monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme


(43)

Universitas Sumatera Utara bahwa seluruh alam adalah benda, serta mental monoism atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau ide. Sedangkan pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat dunia terbagi kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind) dan benda (matter) (Ka’bah, 2005: 68).

Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofi sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politis suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karaktiristik diantara kelompok-kelompok. Bila digabungkan dari ketiganya, pluralisme yaitu “Koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpelihara perbedaan-perbedaan dan karesteristik masing-masing”(Thoha, 2005: 11).

Namun demikian, menurut Nurcholis Madjid (Rachman, 2001: 31), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).

Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama menyampaikan bagaimana sejarah awal kemunculan pluralisme di Eropa berkaitan dengan konflik yang terjadi pada abad ke 18 diantara para pemeluk agama khususnya gereja. Dari konflik yang didasarkan pada agama itu pada akhirnya muncul pemikiran modern kala itu untuk membebaskan akal dari pengaruh agama atau sering muncul dengan istilah Liberalisme.

“Pemikiran puralisme muncul pada masa yang disebut pencerahan Eropa, tepatnya pada abad ke-18 masehi, masa yang sering


(44)

28

disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern.Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana - wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama.Ditengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi diantara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja muncullah suatu faham yang disebut sebagai liberalisme, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak heran jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam keemasan pluralisme politik yang merupakan produk dari liberalisme politik”(Thoha, 2005: 16).

Pluaralisme dianggap sebagai sebuah ekses dari lahirnya konflik etnis yang terjadi pada sekitar abad 18 sampai 20.Bahkan konflik yang terjadi di Eropa sudah sampai pada titik yang cukup klimaks yakni pertumpahan darah. Kejenuhan konflik yang terjadi di Eropa melahirkan sebuah perkembangan pemikiran untuk mengambil jalan keluar atas konflik yang terjadi. Pluralisme dianggap sebagai sebuah pemikiran untuk membawa Eropa pada saat itu keluar dari konflik yang tengah terjadi.

Thoha juga mengungkapkan bahwa munculnya paham liberalisme politik di Eropa pada abad ke-18 sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang carut marut akibat memuncaknya sikap-sikap intoleran serta konflik-konflik etnis dan sektarian, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah antar sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan.Hal ini membuktikan bahwa paham liberalisme tidak lebih sebagai respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini hanya terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama baru kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.

Dalam wacana yang berkembang berikutnya, pluralisme tidak saja menyentuh ranah filsafat dan sosiologi, akan tetapi pembahasannya juga turut menyentuh wilayah teologi, bahkan yang terakhir lebih dominan dimaknai dari dua aspek sebelumnya (filsafat dan sosiologi). Ketika memasuki abad ke-20,


(45)

Universitas Sumatera Utara gagasan pluralisme agama telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi barat.Tokoh yang tercatat dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah seorang teolog Kristen liberal Ernest Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalah berjudul posisi agama Kristen diantara agama-agama dunia, Troelsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif bahwa dalam semua agama, termasuk kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memliki kebenaran mutlak, konsep ketuhanan dimuka bumi ini beragam dan tidak hanya satu (Thoha, 2005: 17).

Pluralisme yang dimaknai dalam dimensi teologis secara awam kerap dipahami sebagai “pembenaran atas seluruh agama dan kepercayaan yang ada”. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pluralisme dalam pemahaman semacam ini menganggap bahwa “semua agama benar”. Terlepas dari perdebatan di atas, Pluralisme dalam ranah teologis ditengarai memiliki hubungan dengan pemikiran filsafat yang menandai lahirnya zaman baru yang disebut post-modern di Barat. Kesadaran ini lahir dari kalangan gereja melalui Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 yang berisikan pengakuan gereja bahwa kebenaran dan keselamatan dapat juga ditemukan di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan).

Mencermati sejarah awal wacana pluralisme sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa wacana ini muncul berkaitan dengan bagaimana sikap keagamaan dalam memaknai kebenaran pada agama lain. John Hick, seorang profesor teologi, dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain (Knitter, 2004 : 44).

Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahwa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja. Bagi orang Nasrani, Jesus Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur “extra ecclesiam nulla salus” yang berarti tak ada keselamatan di luar gereja. Hal ini menyebabkan Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan berpandangan negatif terhadap agama-agama lain.

Paradigma selanjutnya yaitu inklusivisme mengatakan bahwa keselamatan tuhan berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap


(46)

30

mengakui keunikan Jesus Kristus. Inklusivisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah tuhan dalam Jesus Kristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik Roma sesudah Konsili Vatikan II yang menandai perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang mencetuskan istilah “anonymous Christian” (Kristen tanpa nama).

Pada akhirnya John Hick lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggapnya masih plin-plan. Ia menyatakan :

“Kalau kita berpendapat bahwa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar (selain Kristen), bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahwa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan tuhan ? (Knitter, 2004: 44).

Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara. Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan.

Dalam pandangan John Hick, ada beberapa model pluralisme yang mencuat ke permukaan (Legenhausen, 2002: 43). Pertama, pluralisme religius normatif. Pluralisme model ini adalah doktrin yang menunjukan bahwa secara moral, umat beragama wajib untuk memberikan sikap tertentu pada pemeluk agama lain. Kedua, pluralisme religius soteriologis, yakni ajaran bahwa umat non-Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme soteriologis dikembangkan untuk mengefektifkan pluralisme normatif secaara psikologis. Hal ini dipandang perlu untuk dikembangkan karena sulit membayangkan umat Kristen untuk menghormati pemeluk agama selain Kristen jika mereka percaya bahwa orang-orang non-Kristen itu tak bisa diselamatkan atau masuk neraka.

Ketiga, pluralisme religius epistemologis. Istilah ini bisa disederhanakan bahwa umat Kristiani tidak memiliki justifikasi atau pembenaran yang lebih


(1)

berpihak ke satu agama saja. Jadi lebih adil untuk keduanya.

23 Tanggapan terhadap dialog dalam film Cin(T)a

Sangat filosofis. Simpati Pro Inklusi

Banyak dialog yang terbilang berani, tapi untuk membuat film semakin menarik.

Permisif Inklusi Inklusi

24 Tanggapan terhadap adegan dalam film Cin(T)a

Adegan-adegan dalam film ini seperti menunjukkan pada kita kalau ternyata berbeda bukan berarti kita tidak bisa rukun dalam menjalankan aktivitas kita masing-masing. Suka adegan-adegan film Cin(T)a ini yang istilahnya tidak muluk-muluk.

Simpati Pro Inklusi

Gambaran pluralismenya tidak se-ekstrem di film Tanda Tanya. Di film itu terkesan dipaksakan sekali. Sedangkan di film ini benar-benar natural dan simpel tapi tetap memiliki makna yang dalam. Seperti misalnya saling sambung do’a saat makan. Lalu buat ketupat dan hias pohon natal. Saat Annisa sholat ditunggu oleh Cina. Saat Cina ke gereja ditunggu juga oleh Annisa di kosannya. Kurang lebih seperti itu. Adegannya sederhana tapi maknanya juga dapat.

Komparasi Persepsi Persepsi

25 Tanggapan terhadap penokohan dalam film Cin(T)a

Penokohan dalam film ini berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Cina mewakili kalangan minoritas yang cerdas dan taat, sedangkan Annisa mewakili kalangan mayoritas yang santun dan bersahaja.

Stereotype Persepsi Persepsi

26 Tanggapan terhadap pesan dalam film Cin(T)a

Yang coba disampaikan pembuat film supaya kita sadar kalau Indonesia ini tidak dimiliki oleh golongan tertentu saja. Punya semua warga negara Indonesia, apapun suku, etnis dan agamanya. Selain itu mungkin kita disuruh memilih cinta sama tuhan atau cinta sama manusia. Mana yang lebih kita

Asumsi terhadap filmmaker


(2)

Universitas Sumatera Utara prioritaskan ?

27 Tanggapan terhadap pernikahan beda agama dalam film Cin(T)a

Dalam agama sudah jelas dilarang. Tidak mungkin dilanggar. Hanya karena cinta sama manusia, kita jadi melanggar perintah Allah.

Agama Believe Ideologi

Kalo kita melakukan itu sama saja kita menghina agama kita sendiri. Sama aja dengan murtad.

Lagipula pernikahan agama ini justru mendatangkan konflik. Pertama, dengan keluarga besar kita yang tidak menyetujui, dengan lingkungan, belum lagi konflik dalam keluarga itu tentang agama yang akan dianut anaknya.

Kontra Ekslusi Ekslusi

28 Definisi Pluralisme Pluralisme sebagai keberagaman dan perbedaan. Ideologi Ideologi Ideologi Keberagaman dan perbedaan bisa membuat

orang-orang semakin akrab dan dekat. Hal-hal yang beragam dan berbeda yang menimbulkan rasa ingin tahu seseorang terhadap orang lain. Karena kalau keseluruhannya sama pasti tidak akan menimbulkan minat untuk mengenal lebih jauh.

Asumsi Persepsi Persepsi

29 Implementasi Konsep pluralisme di Indonesia

implementasi pluralisme di indonesia masih berada pada level yang sangat rendah dan sebatas wacana.

Ideologi Ideologi Ideologi

30 Tanggapan terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a

Dalam film ini pluralisme ditampilkan secara berbeda karena ada unsur cinta. Pluralisme bisa kita lihat saat mereka berdo’a bersama, membuat ketupat, menghias pohon natal. Pluralismenya sengaja dibuat ‘manis’ supaya yang nonton juga merasa bahwa beda itu tidak sulit dan enak kalau dijalanin sama-sama selama kita saling menghormati satu sama lain

Gambaran pluralisme dalam film

Pemaknaan Ideologi

31 Pengalaman Seputar Pluralisme

Sempat mengalami ‘culture shock’ saat datang ke kota Medan untuk melanjutkan kuliah. Lahir dan

Pengalaman Pengalaman Pribadi


(3)

dibesarkan di lingkungan yang sangat homogen, dimana semua teman, guru, bahkan tetangga

berdarah Minang dan beragama Islam. Setibanya di kota Medan yang sangat heterogen, mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan semua perbedaan yang ada. Ditambah lagi harus menghadapi beberapa stereotype negatif dari teman-teman terhadap suku Minang. Sekarang sudah terbiasa dan memiliki banyak teman yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama dan etnis.


(4)

Universitas Sumatera Utara Tim Produksi Film Cin(T)a

No. Jabatan Nama

1. Producer

M. Adi Panuntun, M. Budi Sasono, Sammaria

Simanjuntak

2. Executive Producer Rolan Samosir, Kathleen Lee 3. Director Sammaria Simanjuntak 4. Screenplay Sally Anom Sari & Sammaria

Simanjuntak 5. Director of Photography Budi Sasono 6. Assistant Director of

Photography Arie Prabowo 7. First Assistant Director Burhan Yogaswara 8. Second Assistant Director Yunitanti

9. Production Manager Erika Suwarno 10. Casting Director Nora Samosir 11. Art Director Rezki Ridha 12. Assistant Art Director Firmansyah

13. Wardrobe Director Yufie Safitri Sobari 14. Assistant Wardrobe

Director Wenti

15. Editor Anky Prasetya 16. Sound Editor Andri Yargana

17. Composer Muhammad Betadikara 18. Additional Composer Gugun Strangers, Lanlan

Strangers

19. Behind The Scene Risky Budi Ramdhani 20. Photographer Glam

Photoloft Wei Xu, Pepen, Elsa 21. Graphic Designer Erickson Siregar 22. Publicist A.Andiarti

23. Production Assistant

Widya Ekarianie, Fauziah R. S, Dina Rismala, Galih Rahasiwi, Awal Wahyu Rahmadi, Asep Ramdhan, Reza Andika, Shendi Abdi Maulana, Mohammad Bagus Satria

24. Promo Manager Dini Aprilia

25. Cast Sunny Soon – Cina Saira Jihan – Annisa


(5)

BIOGRAFI PENELITI

NAMA : DWI MAHLIZA ULFA TEMPAT/TANGGAL LAHIR : MEDAN/ 21 DESEMBER 1991

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN AGAMA : ISLAM

ALAMAT : JL. LETDA SUJONO NO. 148 D MEDAN ORANGTUA : HAYAT DIENG

PARITHOH HANUM JUMLAH SAUDARA : 2 ORANG, YAITU :

• HILDA MAHDIANTY • M. NURUL IKHSAN

ALAMAT ORANGTUA : JL. LETDA SUJONO NO. 148 D MEDAN PENDIDIKAN : TK DIAN EKAWATI (1996-1997)

SD NEG 10170 (1997-2003) SMP NEG I PS. TUAN (2003-2006) SMA NEG 11 MEDAN (2006-2009)


(6)

Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Dwi Mahliza Ulfa NIM : 090904091

PEMBIMBING : Haris Wijaya S,Sos, M.Comm.

NO TANGGAL

PERTEMUAN PEMBAHASAN

PARAF PEMBIMBING 1. 18 Februari 2013 Penyerahan Bab I

2. 25 Februari 2013 Revisi Bab I

3. 15 Maret 2013 ACC Bab I, Penyerahan Bab II & III

4. 27 Maret 2013 Revisi Bab II & III

5. 17 April 2013

ACC Bab II & III , Konsultasi dan Penyerahan Draf

Wawancara 6. 12 Juni 2013 Penyerahan Bab IV 7. 24 Juni 2013 Penyerahan Bab V 8. 6 Juli 2013 Revisi Bab IV & V 9. 11 Juli 2013 ACC Bab IV & V 10. 15 Juli 2013 Penyerahan Bab I – V 11. 23 Juli 2013 ACC Sidang Meja Hijau