Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

(1)

(2)

TIM PRODUKSI FILM DOKUMENTER DI BALIK FREKUENSI (Sumber: behindthefrequency.com)

UCU AGUSTIN

Sutradara | Penulis | Produser | Eksekutif Produser | Periset | Periset Arsip Ucu Agustin adalah penulis cum wartawan dan pembuat film dokumenter. Aktif menulis sejak masih kuliah di Instiut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta) dan menjadi kontributor serta anggota pada Serikat Penulis Berita Pantau sejak 2000. Minatnya yang besar terhadap jurnalistik dan ketertarikannya kepada dokumenter membuatnya memutuskan belajar audio visual secara otodidak pada akhir 2005. Pada Desember 2005, skrip film dokumenter pendek Ucu yang berjudul Death In Jakarta memenangkan JIFFEST Script Development Competition, dan sejak itu ia terus membuat beberapa film dokumenter hingga Februari 2009, film dokumenter Ragat’e Anak yang tergabung dalam Antologi Pertaruhan (judul internasional: At Stake, produksi Kalyana Shira Foundation) membawanya ke Berlinale Film Festival. At Stake menjadi film dokumenter Indonesia pertama yang masuk dalam sesi Panorama Documente pada festival film—tertua setelah Cannes—yang diadakan di Jerman tersebut.


(3)

URSULA TUMIWA

Produser | Eksekutif Produser

Ursula Tumiwa adalah produser yang telah menangani beberapa film yang memiliki ciri khas kekuatan lokal Indonesia. Generasi Biru dan Metamorfoblus merupakan film yang telah dilahirkannya. Pernah menetap lima tahun di Singapura dan bekerja sebagai konsultan data network telekomunikasi di PT Ultracom serta mengelola workshop SERAI [sebuah workshop yang mengorganisir hasil kerajinan perempuan Bantul dan Pengrajin Lurik dari Klaten] sejak tahun 2000. Workshop yang berlokasi di Stamford House, Singapura tersebut bekerjasama dengan NWA [organisasi perempuan Jepang yang mengelola hasil kerajinan perempuan Bangladesh] untuk saling mendukung kegiatan perempuan lokal di Asia. Karena consern-nya terhadap generasi muda dan persoalan distribusi film di Indonesia, pada Oktober 2009, mendirikan Rumah Pohon Indonesia untuk mewadahi kegiatan dan aspirasi para pembuat film muda yang belakangan banyak bermunculan. Selain membuat film dan mendirikan rumah produksi, Ursula juga adalah salah seorang founder dan board member pada Goelali Children Festival yang telah memasuki tahun ketiga pada tahun 2011.

SIDIK ILMAWAN Line Producer

Sejak 2009 ia telah terlibat dalam produksi film, seperti "Jalan" yang disutradarai oleh Tony Trimarsanto. Ia menyukai perencanaan dan desain produksi lapangan. Luasnya jaringan dari berbagai latar belakang membantunya untuk melaksanakan rencana dan strategi yang dia buat.

BINCE MULYONO Finansial | Administrasi

Bince Mulyono bergabung di dunia film sejak tahun 2003 di SET Film. Pada 2007 bekerja untuk Produksi Jungle Run di Bali dan terlibat dengan banyak Produksi seperti Discovery Chanel, BBC London, Nasional Geographic. Sekarang ia adalah direktur di Rumah Pohon Indonesia. Bince menyukai banyak memiliki tantangan dalam setiap proyek yang dia menangani. Projek yang paling berkesan baginya adalah ketika ia dikirim ke Aceh pada tahun 2005, satu bulan setelah Tsunami terjadi.


(4)

DARWIN NUGRAHA Cinematographer | Editor

Darwin Nugraha belajar film secara otodidak di Unit Kegiatan Mahasiswa MM Kine Klub Jogja tahun 1999. Bersama beberapa kawan mendirikan dan mengelola komunitas Buldozer Films Jogja 2002-2006. Ia meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2009 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik dalam film “Ayam Mati Di Lumbung Padi” (Buttonijo Pictures, 2009). Pada tahun 2010 meraih penghargaan dokumenter pendek terbaik Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta 2010 dalam film “Music For A Film” (ECCO FILM Indonesia, 2010). Film dokumenter terbarunya, “Kemijen Bergerak” (Transparency International Indonesia, 2012) bisa ditonton dan diunduh di sebagai editor dan atau cameramen beberapa film dokumenter baik produksi dalam maupun luar negeri.

AFFAN DIAZ

Cinematographer | Desainer Grafis dan Animasi | Website Desainer ERICKSON SIREGAR

Desainer Grafis dan Animasi DONO FIRMAN

Sound Desainer

FRANS MARTATKO Komposer Musik JUAN MAYO Online Editor

Juan Mayo aktif di bidang audio visual sejak tahun 2007. Bersama kawan-kawannya mendirikan rumah produksi Gundala Pictures dan Mingle Motion Documentary. Film pendek pertamanya "Ga semudah itu, Brur" berhasil meraih penghargaan pertama kategori Jury's choice di Hello Motion 2010 dan masuk dalam 10 nominasi Best Short Film Competition di Europe On Screen 2011. Pertama kali bekerja bersama sutradara Ucu Agustin dalam film "Death in Jakarta Reloaded" pada tahun 2011.


(5)

KIKI FEBRIYANTI

Periset Arsip | Website Manajer | Publicist

Kiki Febriyanti belajar film secara otodidak dan mengikuti workshop film dokumenter Kickstart! yang diselenggarakan oleh In-Docs pada 2008 di Surabaya, Jawa Timur. Film dokumenter pertamanya "Jangan Bilang Aku Gila" menjadi finalis Festival Film Dokumenter 2008 dan official selection Madurai Film Festival 2009 di India. Pada tahun 2012 film dokumenter keduanya "Yup, It's My Body" juga menjadi official selection IAWRT 8th Asian Women Film Festival di India. Kini menjadi pekerja lepas di berbagai produksi film.

ALAM TOPANI Website Desainer

Alam Topani aktif di bidang Web Desain dan Programming sejak tahun 2008. Belajar secara otodidak, menguasai beberapa Tag pendukung dalam pembuatan website seperti CSS3, html5, Javascript, Jquery dll. bahasa pemograman yang disukai PHP dan Ruby On Rails. Selain sebagai freelancer ia juga berprofesi sebagai web developer di sebuah perusahan swasta milik asing. Mottonya "Hard Work to create something that has never existed".

FRANSISKUS ADI PRAMONO Poster Desainer

Fransiskus Adi Pramono mengambil jurusan hubungan internasional waktu kuliah, tapi lebih aktif di bidang fotografi, gambar menggambar, dan desain. Sekarang aktif mengurus Tumblr pribadinya di


(6)

DHYTA CATURANI Penerjemah Bahasa Inggris Transcriptor

Widianti Budiarti Widya Arifianti Okta Pinanjaya Stania Puspawardhani Nayla Majestica Fransiskus Adi Pramono Nit


(7)

DOKUMENTASI AKTIVITAS FILM DI BALIK FREKUENSI (SUMBER: CIPTA WIKI MEDIA)

1. Individu

Ucu Agustin adalah seorang pembuat film dokumenter independen. Film-film yang dibuatnya banyak berbicara tentang isu perempuan, social justice, kesetaraan, kesehatan, serta hak azasi manusia (HAM). Sebagai penulis cum-wartawan dan documentary filmmaker. Aktif menulis sejak masih kuliah di Instiut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta) dan menjadi kontributor serta anggota pada Serikat Penulis Berita Pantau (Kajian Media dan Jurnalisme - Berita-berita yang ditulis serikat ini disebar di Koran-koran Indonesia Timur) sejak tahun 2000. Pada tahun yang sama, Ucu bekerja sebagai wartawan pada Kantor Berita Radio 68H, dan pada 2002 menjadi penulis untuk sebuah INGO yang bergerak di bidang Transformai Konfilk, Common Ground Indonesia. Bersama Veronika Kusumaryati, ia membuat komunitas audio-visual Gambar Bergerak sebuah komunitas terbuka bagi para pembuat film dokumenter amatir dan profesional yang ingin mengembangkan project-nya bersama. Pada Desember 2005, skrip film dokumenter pendek Ucu yang berjudul ”Death In Jakarta” memenangkan JIFFEST Script Development Competition. Sejak saat itu Ucu terus membuat film dokumenter hingga pada Februari 2009, film dokumenter “Ragat’e Anak” yang tergabung dalam Antologi PERTARUHAN (judul internasional: AT STAKE - produksi Kalyasa Shira Foundation) membawanya ke BERLINALE Film Festival. AT STAKE menjadi film dokumenter Indonesia pertama yang masuk dalam sesi Panorama Documente pada festival film—tertua setelah Cannes—yang diadakan di Jerman tersebut.

2. Status resmi Individu

3. Kontak Ucu Agustin

 Situs web: -

 Facebook: -

 Twitter:

4. Posisi

Pemimpin proyek 5. Lokasi

Jakarta Deskripsi Proyek

Proyek ini adalah sebuah proyek pembuatan feature dokumenter yang akan bercerita tentang bagaimana pers Indonesia bekerja dalam melakukan pemberitaan.


(8)

Film ini akan terbagi dalam dua fase. Fase pertama yaitu 4 tahun lalu, tepatnya bulan Januari 2008 dimana kebetulan saya berada di tengah ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang melakukan reportase krisisnya mantan presiden indonesia, diktator soeharto, sampai dengan ia meninggal – dan kebetulan saya melakukan pengambilan gambar seputar kinerja mereka. Berita tentang soeharto bukan hanya mendominasi pemberitaan media selama lebih dari 3 minggu berturut-turut tapi juga membuat hilang berita-berita yang seharusnya lebih penting untuk diangkat, waktu itu. Fase kedua adalah 4 tahun kemudian atau bagaimana pers Indonesia saat ini.

Bagaimanakah kini pers Indonesia bekerja? Adakah perubahan atau masihkah kinerjanya sama? Untuk siapakah sebenarnya pers dan jurnalisme di Indonesia bekerja? Bagaimana wajah pers Indonesia kini, di era dimana internet memungkinkan komunitas atau seseorang yang memiliki laptop dan modem bisa mengklaim diri melakukan kerja jurnalisme? Masih perlukah sensor? Di sisi lain, sadarkah media dan para pekerjanya kalau warga memperhatikan dan menilai kinerja mereka?

Tujuan:

1. Membuat project audio visual berupa film dokumenter yang bisa mengajak semua pihak baik mereka yang bekerja di bidang media dan pemberitaan maupun pihak lain diluar itu, untuk bisa bersama melihat dan melakukan refleksi serta otokritik atas kinerja media dan pers di Indonesia 2. Perubahan perspektif publik di Indonesia tentang hak mereka akan

informasi melalui film dokumenter tentang cara bekerja media arus utama di Indonesia pada tahun 2008 dan 2012 (dimana pengambilan gambar dan produksi film akan kembali dilakukan)

3. Tersosialisasikannya film dokumenter yang telah dibuat melalui premiere dengan mengundang media, melakukan roadshow, menyediakan link di internet yang bisa di-unduh secara gratis, dan membuat serta menyediakan copy DVD untuk lembaga atau komunitas yang berada di daerah fakir bandwitch dan tak memiliki akses internet.

Sasaran:

A. Tersedianya film dokumenter tentang media arus utama di Indonesia ini dapat membuat penontonnya menjadi kritis, tergugah, dan terinspirasi untuk melakukan perubahan.

B. Tersosialisasinya film dokumenter tentang kinerja pers dan media ini pada 5 target pemirsa:

1. Untuk pekerja media: perubahan perilaku yang lebih membela kepentingan publik dibandingkan keuntungan perusahaan atau pemilik stasiun berita.


(9)

2. Untuk lembaga studi yang berkenaan dengan pers & media: menambah satu referensi untuk kajian mereka tentang media & pers indonesia.

3. Para mahasiswa di universitas-universitas yang memiliki Jurusan Jurnalistik dimana mereka adalah para calon pekerja media di masa depan: pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana media bekerja.

4. Untuk publik & komunitas penggiat film serta dokumenter: perubahan sikap dari tadinya menerima apa adanya penayangan-penayangan berita menjadi lebih awas dalam memilih informasi yang mereka terima. Memberi kontribusi untuk film-film dokumenter Indonesia dengan angle yang membidik para pekerja pers yang selama ini tidak dilirik oleh pembuat film dokumenter di Indonesia.

5. Untuk publik luar Indonesia, melalui festival dan sharing di jejaring maya (akan di share di portal2 media dan thread jalur distribusi online juga crowd sourcing seperti Engage Media /Youtube/Vimeo dll) : berbagi sudut pandang dan perspektif tentang pers dan media di Indonesia, yang diharapkan melalui komentar-komentar yang kontsruktif, bisa memberi feedback baik untuk kondisi media dan pers Indonesia maupun untuk filmnya sendiri.

Latar belakang:

A. Keterkaitan pada topik: Kebebasan dan Etika Bermedia

Dunia yang semakin global dan ditopang oleh sistem kapitalisme yang dari hari ke hari tampak semakin stabil, mau tak mau mengguratkan pertanyaan yang paling mendasar bila dikaitkan dengan pers dan jurnalisme. Untuk siapakah sebenarnya pers dan jurnalisme kini bekerja? Untuk masyarakat seperti yang menjadi alasan keberadaan mereka pada awalnya, ataukah untuk kepentingan-kepentingan lain di luar itu? Bagaimanakah kini wajah pers Indonesia di tengah era digital? Seperti apakah kebebasan pers juga etika bermedia dalam situasi dimana cara kerja pers masa lalu masih berlaku dan sangat dominan namun tuntutan pers di era digital pada masa kini juga masih menunggu untuk ditaklukkan dan digarap dengan cara kerja jurnalisme yang profesional.

B. Masalah yang ingin diatasi dan keterkaitan dengan aktivitas

Saat ini pers dan jurnalisme di Indonesia seolah dituntut untuk turut melebur dalam artian komunikasi yang ‘lebih luas’, hingga independensi kerap tergantikan oleh komersialisme, kepentingan pribadi atau golongan, juga perusahaan. Banyak sekali kepentingan yang menyaru sebagai berita


(10)

dan menghilangkan prinsip-prinsip yang harusnya melekat dalam diri sebuah berita/jurnalisme, yaitu Independensi.

Film ini adalah sebuah usaha untuk bersama membuat pancingan supaya bisa menciptakan situasi dimana harapan akan sebuah jurnalisme yang lebih baik di Indonesia, semoga bisa tercipta.

C. Keterkaitan pada kategori: Konten Lokal, Kemitraan, Strategi Kreatif, Aksi, dan Teknologi Tepat Guna

Aksi

Dalam bentuk film dokumenter, membuat sebuah media yang berbicara tentang kinerja media dan pers Indonesia.

Mensosialisasikannya melalui berbagai media (offline dan online) dan aneka jaringan.

Menggagas berbagai kerjasama dengan pihak-pihak yang bekerja di bidang media dan pers untuk bersama memutar film dokumenter yang membahas isu media ini. Selain bisa jadi bahan diskusi, film dokumenter yang dibuat dengan harapan bisa menjadi bahan refleksi saat menontonnya ini, juga diharapkan mampu menjadi sarana bercermin bersama guna terciptanya kinerja pers dan media di Indonesia ke depan yang lebih baik.

Strategi Kreatif

Dengan mengolah berbagai sumber dan data audio visual serta aneka footage koran dan foto dari aneka media juga aneka masa yang berhubungan dengan bagaimana pers Indonesia bekerja dari waktu ke waktu (dengan penekanan pada masa 4 tahun lalu/januari 2008 dimana soeharto kritis sampai dengan meninggal, dan saat ini/4 tahun kemudian saat era digital telah betul-betul menjadi tuan di era pers kita kini), akan dibuat suatu gambaran cerita visual yang diharapkan cukup menarik, penuh emosi, dan bisa bercerita tentang pers indonesia secara utuh (meski tidak menyuluruh). Membawa keluar apa yang sebenarnya menjadi permasalahan yang dihadapi pers di masa lalu, dan apa pula yang harus dipersiapkan di masa mendatang supaya kegagalan jurnalisme dalam berpihak pada kebenaran semakin bisa dihindarkan dan spirit independensi bisa tumbuh di dada para jurnalis generasi masa kini.

Semua cerita yang digambarkan dalam film dokumenter ini, akan didukung dengan grafis yang menarik, dan struktur cerita yang diharapkan bisa menggugah dan menginspirasi.

D. Aktifitas dan keterkaitan pada sasaran

Kontribusi untuk sasaran A – Melalui scene-scene gambar yang tak dimanipulasi, memberikan gambaran tentang fakta-realita cara kerja pers di lapangan dalam melakukan peliputan. Cara kerja pers yang baik, ataupun yang buruk. Dengan begitu, diharapkan membuat media dan para pekerja pers mampu melakukan refleksi dan me-redefiniskan kembali apa arti media, jurnalisme, dan profesi mereka.


(11)

Aktivitas:

 Menggarap isu media dengan perencaan strategi pembuatan story yang kuat dan kreatif. Membuat desain produksi yang kuat sejak dari awal dengan membentuk tim untuk melakukan riset akurat serta mendalam tentang kinerja pers indonesia. Selain dari data gambar yang telah ada (yang telah diambil pada tahun 2008) dan yang akan diambil (melalui shooting dan produksi) kami juga berencana untuk mencari arsip dan footage serta stockshoot dari lembaga arsip dll, hingga penyusunan cerita dalam film tentang gambaran fakta realita cara kerja pers di lapangan dalam melakukan peliputan (kinerja pers yang baik ataupun yang buruk) menjadi kredibel dan akurat.

 Melakukan pemutaran film/ Roadhsow di tempat atau aliansi dimana para jurnalis bernaung, (lampiran di bawah)

 Forum diskusi

Kontribusi untuk sasaran B – Secara spisifik melakukan perbandingan kinerja pers 4 tahun yang lalu – melalui peristiwa krisis soeharto pada Januari 2008 dimana era social network belum populer, dengan kinerja pers kini di era digital yang semakin penuh tantangan. Adakah perubahan? Ke arah yang positif atau justru lebih ke arah kehancuran pers kita? Membuat perbandingan konperenhensif kinerja pers Indonesia aneka jaman dan pergulatan permasalahan media di dalamnya, termasuk tentang bagaimana awal mula munculnya infotainment yang keberadaannya sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Bagaimana pula posisi pers di antara banyaknya portal online independen dan berita yang dibuat oleh para citizen journalist yang bersungguh-sungguh ingin memberikan pelaporan yang baik, jujur dan akurat kepada sesama warga.

Aktifitas:

 Dalam produksi dan pembuatan alur cerita dalam film, diperlihatkan perbedaan yang terjadi antara bagaimana pers bekerja pada saat itu, serta bagaimana pers bekerja pada jaman kini yang tengah bergulat menghadapi era digital.

 Melalui riset mendalam tentang aneka berita tentang berita jaman lalu di perpusnas, mencari arsip stockshoot gambar yang berkenaan dengan bagaimana media jaman dulu bekerja, dan dibandingkan dengan keaad sekarang serta bagaimana kemungkinan ke depannya, di mana pernah dikatakan bahwa era kertas di koran akan segera berakhir.

Kontribusi untuk sasaran C - Mempertanyakan etika media, juga prinsip-prinsip utama jurnalisme di era digital yang kerap dikesampingkan dalam


(12)

pemberitaan demi untuk persaingan dalam kecepatan dan komersialisme. Dimanakah akurasi dan verifikasi? kenapa rating begitu penting?

Aktivitas:

 Dalam produksi, akan mengikuti seorang pekerja media yang bergerak di media online, mengikuti pekerja pers yang bekerja di media tv dan juga media radio. Melalui karakter-karakter tersebut kita akan dibawa dalam story yang lebih konperensif yang berbicara tentang isu media yang juga melibatkan emosi. Dari situ, para mahasiswa bisa belajar bagaimana sebuah berita diproduksi dan sebagai penonton mereka akan melihat bagaimana alur pembuatan sebuah berita hingga berita tersebut terhidang dan sampai ke khalayak sebagai konsumen informasi.

 Melakukan pemutaran film di kampus-kampus/ Roadshow * (lampiran di bawah)

 Membuat Forum diskusi mahasiswa dan mengajak mereka terus membicarakan hal ini supaya permasalahan tersebut tampak ‘ada’ dan sedang terjadi.

Kontribusi untuk sasaran D - Memberi alternatif isu dan cerita bagi para pecinta film dokumenter dengan memunculkan cerita tentang kinerja media dan para pekerja pers di Indonesia. Diharapkan .

Aktivitas:

 Melakukan pemutaran film di Komunitas-komunitas Film/ Roadshow * (lampiran di bawah)

 Membuat Forum diskusi dan Q&A, serta share tentang cerita-cerita behind the scene.

Kontribusi untuk sasaran E – Film ini bermaksud untuk menampilkan permasalahan-permasalahan pers dan kinerjanya, ke publik. Dipertontonkan kepada para mahasiswa dan pekerja media serta para peneliti, juga mereka yang konsern terhadap isu media serta publik yang lebih luas guna menstimulus diskusi dan menumbuhkan awareness berbagai pihak akan kebutuhan terhadap pers yang berpihak pada kebenaran dan rakyat.

Aktifitas:

 Mengupload di internet dan men-share nya untuk bisa dilihat dan diunduh serta digunakan semaksimal mungkin untuk membuat media dan kinerja pers yang lebih baik di indonesia.


(13)

E.Latar belakang dan demografi pelaku proyek

Pemimpin Proyek yang berkenaan dengan kreatif dan produksi: Ucu Agustin, perempuan dengan pengalaman berorganisasi selama 12 tahun, berpengalaman sebagai penulis selama 12 tahun, bekerja di bidang media sebagai wartawan profesional selama 5 tahun, berpengalaman dengan media audio visual khususnya dokumenter selama 6 tahun, berumur 35 dan berasal dari kelas menengah. Secara kreatif akan mengepalai tim produksi dan Staf lainnya berjumlah total 15 orang, laki-laki dan perempuan, berasal dari kelas menengah, berfungsi sebagai konsultan, co-producer, line co-producer, tim administrasi, cameraman, sound man, editor (online dan offline) desainer grafis, ilustrator music, sound desainer dan tim publicist.

Pemimpin proyek yang berkenaan dengan pekerjaan publikasi dan distribusi: Ursula Tumiwa, Perempuan, berpengalaman di bidang film dan distribusi alternatif selama 5 tahun. Bekerja di bidang media, memiliki production house dan telah bekerja bersama para filmmaker muda indonesia, berasal dari kelas menengah. Bertanggungjawab untuk pekerjaan administrasi, sensor, pengurusan kontrak dan royalti dengan para pihak, distribusi, perijinan lokasi pemutaran, bekerjasama dengan kampus-kampus dan komunitas serta hubungan komunikasi dengan media. Akan mengepalai mengepalai tim produksi dan staf lainnya berjumlah total 15 orang, laki-laki dan perempuan, berasal dari kelas menengah, berfungsi sebagai konsultan, co-producer, line producer, tim administrasi, cameraman, sound man, editor (online dan offline) desainer grafis, ilustrator music, sound desainer dan tim publicist.

F. Demografik kelompok target

Pekerja pers, Media, Lembaga-lembaga studi yang berkenaan dengan pers, kampus-kampus – terutama yang memiliki fakultas komunikasi jurusan jurnalistik, para penggiat dan komunitas film serta festival film [nasional dan internasional], dan terbuka untuk siapa saja yang mau mengetahui pers indonesia (dalam dan luar negeri) karena rencananya akan di share di portal2 media dan thread jalur distribusi online juga crowd sourcing seperti Engage Media – Youtube – Vimeo.

G. Hasil yang diharapkan dan indikator keberhasilan

Media dan pers sebagai pihak yang selama ini selalu menjadi dan menganggap diri paling kritis terhadap banyak hal dan kebijakan, diharapakan tidak alergi saat melihat ada pihak yang juga mengkritisi atau mempertanyakan cara kerja mereka. Upaya yang dilakukan oleh tim pembuat film dokumenter ini adalah upaya seorang teman yang ingin mengajak temannya untuk bersama berdiam sebentar dan memandang kembali dari perjalanan yang sudah terjadi, arti jurnalisme dan arti profesi jurnalist dalam kacamata pandang yang lebih lebar.


(14)

Jadi, salah satu indikator keberhasilannya adalah ketika para jurnalis terusik, mau berdiskusi, membicarakan serta membahas juga memutar film ini sebanyak mungkin. Inilah salah satu tanda bahwa film dokumenter ini berhasil dan bisa diterima. Dijadikannya film ini sebagai materi untuk workshop yang dilakukan oleh lembaga seperti AJI, ISAI, LSPP juga respon dari kampus dan mahasiswa yang berminat untuk memutar, tentu merupakan indikator yang menunjukkan keberhasilan project film dokumenter ini.

H. Keterkaitan proyek dengan perbaikan media dan keadilan sosial Perbaikan media

Andai film ini bisa diterima, sudah dipastikan bahwa harapan untuk perbaikan media dan jurnalisme di Indonesia ke depan pasti akan terjadi. kemauan media untuk mendengar adalah harapan untuk terciptanya insan-insan pers dan lembaga-lembaga pers yang lebih berpihak pada rakyat, hati nurani dan kebenaran.

Keadilan sosial

Pers yang memihak pada rakyat dengan menerapkan prinsip jurnalisme yang profesional adalah pers yang akan membantu terbangunnya budaya demokrasi. Dalam suasana demokrasi yang baik dan terjaga, prinsip keadilan sosial akan sangat mudah tumbuh dan dinikmati oleh lebih banyak orang.

I. Durasi waktu aktifitas dilaksanakan:

Januari 2012 – Desember 2012 (12 bulan)

J. Total kebutuhan dana untuk melakukan aktifitas: Rp. 800. 475.000,-

K. Dana yang diminta dari Ford Foundation melalui Cipta Media Bersama: Rp. 750.000.000,-

L. Sumber dana lainnya (bila ada): Gambar Bergerak

Rp. 20.250.000,-

M. Kontribusi organisasi: Rp. 30.225.000,-

N. Kontribusi dari kelompok target:

Akan diusahakan untuk mencari kembali foto, stockshoot video dan segala dokumentasi yang berkenaan dengan peristiwa yang berhubungan dengan


(15)

kinerja wartawan – yang dimiliki oleh teman-teman yang para pekerja media dan diharapkan, mereka bahkan akan bisa membantu menyumbangkan stockshoot dan footage tersebut dan juga turut mensosialisasikan project film dokumenter ini, baik ketika pembuatan maupun ketika film telah rampung dibuat.


(16)

No

HASIL WAWANCARA Informan I

Nama : SY

TTL : Medan, 4 Desember 1990

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 23 tahun

Anak ke : 3 dari 6 bersaudara

Suku : Aceh

Agama : Islam

Hobi : Nyanyi, Main Biola, Acting, Nari Pendidikan : S1 Ilmu Komunikasi (S.Ikom) Profesi : Analis Media Yayasan KIPPAS Film Favorit : My Sister Keeper, Wedding Dress Film Dokumenter Favorit : Sixty Minutes, Lentera Indonesia

Pelaksanaan wawancara : Senin, 22 Juli 2014. (...). Kantor Yayasan KIPPAS

P : Peneliti I : Informan

ISI WAWANCARA REFLEKSI

1 P : Apakah anda tahu film Di Balik

Frekuensi ? I : Tahu

2 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang film Di Balik Frekuensi?

I : Jadi sebenernya aku tahu itu sekitar awal 2013 kayanya. Jadikan aku akhir 2012 aku masuk ke KIPPAS. Disitu aku kan kerjanya sebagai media analis, jadi aku ya lihat juga websitenya remotivi. Jadikan mereka pernah review itu film. Aku kan penasaran, tapi kan itu gak jual di pasaran. Aku Cuma baca review nya terus baca wawancara si produsernya trus gimana wawancara motif-motifnya yang jadi tokoh utamanya, Luviana. Aku penasaran tapi belum bisa nonton. Nah, aku baru nontonnya itu tahun ini (2014), sama tahun kemaren aku bikin pelatihan buat jurnalis. Jadi salah satu trainernya itu pernah, Mas Stenli. Dia tadinya orang Komnas HAM, sekarang jadi di Dewan Pers kan dia bawa itu film. Jadi disitulah aku nonton film Di Balik Frekuensi.

3 P : Apa yang anda bayangkan tentang film Di Balik Frekuensi sebelum menonton? I : Jadikan karena aku udah baca reviewnya dan udah baca interviewnya juga sama sutradara dan kak Luvinya itu. Ya aku,


(17)

memang ini ya, Metro TV udah jelas kan afiliasi politiknya gimana ya terus ya keliatanlah tokohnya siapa yang punya. Dan kuat sekali dariawal ada Nasdem, sebelum jadi partai yang masih apasih gerakan masyarakat gitu, ya keliatan keliatan kali itu digunain buat kepentingan si Surya Paloh. Bahkan setelah Deklarasi Parpol itu memang dimanfaatin betul medianya. Karena kebetulan aku anak komunikasi juga bergelut di jurnalistik juga sedikit tidaknya sudah lumayan pahamlah tentang konglomerasi. Apalagi juga dulu di kampus juga bahas tentang konglomerasi media. Jadi memang penasaran kali gitu sampe segimananya dan baca reviewnya. Dan gimana si kakak ini mau apa ya, minta haknya dana temen-temennya tapi gak boleh gitu. Kayanya emang udah parah gitu loh. Jadi, ya gitu sih. Kebayang aku pekerja media memang cuma buruh doang gitulah.

4. P : Kenapa anda tertarik menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Karena tema yang diangkat film ini

5 P: Kapan anda pertama kali menonton

film Di Balik Frekuensi?

I : Mm.. Aku tanggalnya gak inget. Tapi bulannya inget. Bulan Februari tahun ini (2014). Karena, trainingnya itu ya mas Stenli di Bulan Februari, makanya aku inget.

6 P : Nontonnya sendirian atau

berkelompok?

I : Rame-rame. Jadi karena pelatihannya untuk jurnalis jadi ada sekitar 12 atau 13 jurnalis terus ada beberapa orang staf KIPPAS juga disitu yang nonton

7 P : Apa motivasi yang mendorong anda

untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Selain tema, kontennya sih aku penasaran ya samanya sama tema. Trus karena kebetulan pas ada kan. Jadi ya, emang kayanya harus nontonlah, pokoknya kayanya aku kerja di bagian ini, di bidang ini tapi aku tu gak tau kayanya gimana gitu. Kayanya emang udah kebutuhan lah kalo orang yang kerja di bagian media. Apalagi kalo analis kaya aku itu ya harus taulah gitu.


(18)

8 P : Menurut anda apa alasan pembuatan film Di Balik Frekuensi ?

I : Kalo menurut aku pribadi sih, jelas ya mereka pengen ngasih tau ke publik gimana sebenarnya internal media. Gimananya kan masyarakat Cuma tau berita yang muncul ke mereka, yang mereka konsumsi. Tapi mereka gak tahu gimana pekerjanya itu dan gimana seluk beluk dapurnya media-media itu sendiri gitu. Gimana they treat their reporter, employee. Jadi ya memang pengen ngasih tunjuk. Nih advokasikan karena memang selain tindakan represif terhadap pekerja pers. Banyak hak-hak yang gak dikasih ke pekerja pers. Jadi ya ini memang baguslah, nilai advokasinya kuat sebenernya.

9 P : Seperti media literasi ke

masyarakat maksud anda? I : Iya. He’eh. Cuma aku sih gak yakin ini ke masyarakat. Karena ini kalangan terbatas kan. Dan gak bener-bener massive gitu penyebarannya. Jadi ya segmented menurut aku, gak keseluruhan. Kayanya mungkin aku pikir ini lebih ke gimana orang bener-bener aware kalo ini ada dan yang ngeliat inikan emang orang yang konsern di bidang ini gitu. Jadi aku pikir ya mereka sekedar mau ngebukak ini realitanya, gitu.

10 P : Jadi menurut anda film Di

Balik Frekuensi ini yang tahu hanya kalangan jurnalis, gitu? I : Nah menurut aku kan, kita kan kalo menurut misalnya strata sosial itu, ini (kalangan) menengahnya, gitu. Kelas menengah. Karena kalo kelas lapisan bawah masyarakat mayoritas Indonesia kan kalangan bawah sebenarnya, ya yang gak terlalu berpendidikan tinggi, mengecap bangku kuliah. Jadi ini aku rasa memang kalangan yang udah intelektual atau praktisi, gitu. Jadi paling engga mahasiswa ke atas gitu. Kalo misalnya untuk


(19)

yang pendidikannya SMA atau yang pekerjaannya karyawan yang gak gimana-gimana kali ya mereka mungkin gak kepikiran buat ngeliat ini film gitu.

11 P : Menurut anda ada alasan

yang lebih khusus tidak mengapa film ini hanya ditujukan ke kalangan tertentu saja?

I : Engga sih, engga. Maksudnya aku sih ngeliatnya dari pola distribusi mereka. Mungkin karena keterbatasan budget juga buat memperoduksi terlalu banyak. Jadi mereka ya aku rasa ini mungkin gak tembus ke 21 atau ke bioskop-bioskop kan. Jadi ya distribusinya ya ke lingkarang-lingkaran baru nanti nyebar-nyebar dari mulut ke mulut. Jadi kalo misalnya anak MIPA kita tanya mereka mungkin belum tentu tau gitu. Kalo guru, belu tentu tahu juga. Ya paling orang yang bersinggungan dengan inilah yang paling tidak tahu atau yang ngeliat media-media sosial atau media-media online, gitulah.. 12 P: Bagaimana tanggapan anda terhadap isi

dari film Di Balik Frekuensi?

I : Sebenarnya cukup jelas ya yang mereka angkat apa. Padet sih, Cuma kadang ada yang banyak yang ditengah itu agak membosankan. Mungkin kalo misalnya dipadetin jadi lebih klop gitu, jadi lebih catchy gitu. Dibandingin panjang. Jadi mungkin ada bagian-bagian yang lebih baik dihilangkan gitu.

13 P : Bagaimana tanggapan anda tentang

dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Aku sih ngeliat gak ada masalah ya karena untuk film dokumenter, aku ngertilah dokumenter itu sebenernya susahkan. Gimana nyiptain dialognya dan gimana reporter itu harus bener-bener ngasih pertanyaan yang saklet dan orangnya juga kita harap bisa ngasih jawaban-jawaban yang saklet biar asik gitu. Tapi kemaren, ya over all udah enak


(20)

gitu. Gak terlalu gimana-gimana kali. Karena biasanya dokumenter bisa lebih membosankan dari itu gitu.

14 P: Menurut anda ada atau tidak

dialog yang sengaja di setting dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi?

I : Aku gak inget persis ya. Karena aku udah nonton berapa bulan lalu jadi aku gak inget semua dialognya satu per satu gitu. Cuma, aku ngerasa yang di

closing, ending itu kayanya

adegannya emang reka ulang yang kawan si bapak itu yang terus dia kaya galau gitu. Nah itu kayanya settingan sih. Tapi kalo yang lain kayanya aku gak inget.

15 P : Bagaimana tanggapan anda tentang

adegan dalam film Di Balik Frekuensi? I : Adegannya ya udah cukup apa adanya. Ya masksudnya ya yang kek mana si Luvinya itu ngurus anak di rumah, ya gimana dia sama suaminya, gimana dia yang.. nah aku suka dia yang bagian mereka demonstrasi di depan kantor “aku memperjuangkan hak kalian gitu. Ayo sini samaku” tapi kawannya pada buang muka trus masuk ke dalam. Itu tuh kayanya nyess gitu (tarik napas). Karena mereka sebenarnya kerja sama-sama tapi ya kek gitu itu. Tapi ya susah sih memang kalo sistemnya udah kaya gitu. Satu sisi jurnalis perlu duit perlu untuk kehidupan. Jadi mau idealis itu juga susah gitu.

16 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Yang aku tahu itu ada Luvi dan ada beberapa temen dia yang mereka rapat bareng-bareng itu kan. Terus ada juga yang advokasi, terus yang jumpai pihak metro tv dan pengacaranya. Terus yang mereka kemana. Suaminya. Si Bapak yang dari Sidoarjo ke Jakarta.

17 P : Menurut anda apakah

interaksi antar tokoh saling berkesinambungan?


(21)

misalnya kelompoknya Luvi ya nyambung. Tapi kalo misalnya sama yang bapak Sidoarjo aku rasa sih engga gitu. Aku sih ngerasa dia (filmaker) pingin

loncat-loncat supaya menggambarkan keseluruhan. Jadi

trus biar gak bosen juga. Ada peralihan-peralihan cerita gitu.

18 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Tanggapannya ya aku jadi ngeh kalo misalnya ya susah gitu. Masih susah ngelawan konglomerasi kalo emang kita gak kompak ya karenakan mereka yang punya modal, mereka yang punya kuasa. Ya kita bisa apa kaya gitu loh. Jadi kalo memang semuanya bisa gak mogok ya itu perusahan media gak bakal kelimpungan. Karena kita yang perlu mereka. Istilahnya gitu loh. Kalopunlah semua dipecatin.. Nah itu kan ada yang di akhir mereka ngerekrut orang, dan semua pada mau masuk jadi reporter gitu kan ya kaya gitu “Lah, elu gak mau kerja disini, masih banyak yang ngantri mau kerja sini kan” Istilahnya kaya gitu. Jadi ya susah gitu. Karena kita ngelawan sistem. Ibaratnya kaya gitu. Jadi kalo memang dari pihak perusahaannya sendiri gak berubah ya bakalan kaya gitu selamanya, gitu.

19 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Campur tangan itu ya gak bagus gitu. Ya dimanapun ya gak boleh. Karena kan gini, kaya misalnya Surya Paloh, misalnya dia orasi terus diliput orasinya lama gitu. Durasinya berapa lama. Terus ada lawan politiknya. Ya di stel-stel lah kontennya gitu ya susah sih sebenernya. Ya itu pemiliknya memang dia. Sebenernya masyarakat bisa nilai sendiri kualitas medianya gimana gitu. Tapi ya gimana ya, sedih sebenernya. Kalo gambarannya ya udah karena emang apa adanya. Ya wajar, pekerja-pekerja nya disitu pasti banyak gak nyaman. Sama kaya di TV


(22)

One sekarang. Aku ngebayanginnya pasti mereka gak nyaman. Tapi, ya mau gimana mereka kerjanya disitu, atau mereka masih terikat kontrak.

20 P : Apakah hal yang pertama kali anda

pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Kayanya ngenes gitu loh. Sesak napas. Yang aku pikiran aku tau bakalan seperti itu. Tapi aku gak nyangka bakal sepahit itu gitu. Karena inikan bener-bener dapat contoh riil kisah nyata, dan itu tu bener-bener mengetuk hati kali gitu lo. Memang menyakitkanlah gitu.

21 P : Bagaimana anda menanggapi judul

film Di Balik Frekuensi setelah menonton? I : Kalo dipikir-pikir cocok aja sih. Karena mereka kerjanya di tivi, ya banyak hal-hal yang gak keliatan dari masyarakat gitu tapi sebenernya ada. Jadi nyambung-nyambung aja sih kurasa.

Judulnya sudah sesuai. Kan film nya itu tentang di balik frekuensi. Mungkin warga masyarakat yang nonton tv cuma tahu apa yang muncul di layar, tapi gimana yang di balik frekuensi dan chanel apa yang ada di tv itu. Jadi ini seperti menunjukkan ginilo media dan campur tangan pemilik dalam media

22 P : Satu kata apa yang anda pikirkan

setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Ironis. Filmnya boleh lah. Okelah.

23 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

penggambaran pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Ya jelaslah. Kadangkan orang yang tadinya gak ngerti setelah nonton itu jadi tau gitu kalo misalnya sebenarnya itu Cuma dipegang oleh beberapa gitu. Dan sahamnya itu disitu-situ aja muternya yang sampe ke korannya, onlinenya , radionya. Jadi ya memang cukup jelas sih.

24 P : Apakah menurut anda film ini

berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?

I : Mereka ini sih. Konglomerasi.. Biasa kan adalah superpowernya dan yang tertindasnya. Maksudnya adegan demi adegan yang disusun. Terus alur ceritanya, informasi-informasinya yang mereka susun. Jadi over all keliatan gitu. Walaupun mereka gak ada bilang secara tersurat “Ini loh konglomerasi”


(23)

Tapi, penonton pasti udah ngeh gitu.

25 P : Bagaimana anda melihat fenomena

konglomerasi media massa di Indonesia saat ini?

I : Ya emang udah kaya gitu. Kaya misalnya TV luar yang baru masuk kaya Bloomberg akhirnya digandeng sama transcorp. Terus ya memang disitu-situ aja karena memang ya merekayang punya modal besar. Karena media kan susah kalo gak punya modal. Sementara yang punya modal ya orang-orang kaya, yang punya bisnis entah dimana-mana. Jadi, susahlah memang kalo media independen kaya Tempo aja gajinya mungkin gak setinggi media-media yang lain gitu. Karena mereka bertahan dengan segala idealisme dan segala macemnya gitu. Jadi ya, aku sih sebenernya senang dengan Net TV. Karena ga, walaupun yang punya juga bussinessman yang juga gimana-gimana gitu. Tapi gak keliatan langsung. Orientasinya politik. Karena kalo udah bisnis okelah bisnis. Tapi kalo udah bisnis, politik, digabungin sama media ya gitu jadi tunggangan politik aja medianya. Gak ada nyuarain ke masyarakat lagi. Kasihanlah masyarakat kita dibodoh-bodohin terus.

26 P : Menurut anda apa defenisi atau

pengertian dari konglomerasi media? I : Konglomerasi media sih kalo menurut aku (ini bener atau salah ya) mm gini ya. Ada beberapa orang yang dia punya power dan dia megang media itu. Dan dia jadi kayak semacam tokoh sentral gitu di medianya. Jadi ya itu sahamnya banyak yang punya dia. Dia punya wewenang ngapa-ngapain di media itu gitu. Jadi ya sesuka hati dialah gitu mau ngapain aja.

27 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Sejauh ini sih aku suka-suka aja. Maksudnya ya keliatanlah gimana gitu.

28 P : Apakah anda setuju atau tidak dengan pesan yang coba ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Setuju


(24)

setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?

I : Aku gak ingat haha. Kayanya ada sih sama Ridha dikit-dikit.

30 P : Apakah hal itu

mempengaruhi tanggapan anda sebelumnya?

I : Engga. Karena pemikiran kami sedikit banyak sama gitu. Dan yang kami omongin “Ih segitunya yaa.. Ih ya ampun.” Kami mengulas konten dari film itu, gitu.

31 P: Bagaimana kesan yang anda terima

terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?

I : Aku sih.. Inti dari film itu dapat walaupun ada part-part yang membosankan tapi inti dari konglomerasi medianya itu dapet gitu. Dan gimana struggle buat memperjuangkan hak. Soalnya kan memang banyak kasus-kasus yang mau mendirikan serikat pekerja tapi gak bisa gitu. Terus soal yang si bapak dari Sidoarjo. Aku gak tau kalo misalnya di akhir, si bapak itu bikin pernyataan kaya gitu. Aku Cuma tau dia mau jalan kaki aksi itu. Tapi aku gak tau kalo endingnya misalnya si bapak itu bakal minta maaf dan bakal bilang dia disuruh orang bla bla bla. Aku gak nyangka kaya gitu. Dari situ aku mikir luar biasa sekali media ini. Apa yang dia lakukan sampai si bapak ini bisa ngomong kaya gitu. Kita gak tau. Tiba-tiba dia udah ada di studio dan itu kayanya nampar kali. Itu yang paling berkesan disitu.

32 P : Apakah menurut anda tema yang

diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?

I : Ya, sebagaimana kalo misalnya wartawan nulis berita pastti ada angle. Dan karena kita gak mungkin bikin keseluruhan kaya gitu. Karena ini memang tujuannya advokasi jelas ada pihak-pihak yang dibela. Dan karena yang dibela disini adalah Luviana. Jelas sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang Luviana. Ya, sebagai orang yang ngerti media literasi seharusnya paham ini tujuannya apa dan sudut pandangnya apa. Jadi


(25)

ya kita harus aware kalo harus kalo ini dari sudut pandang nya Luviana dan tujuannya apa. Mmmm percaya. Tapi itu aku percaya dari sudut pandang Luviana, kalo yang lain-lain aku gak tau. Kalo untuk sudut pandang filmaker aku percaya kalo si filmmaker itu bikin ini untuk advokasi yang kontra dengan konglomerasi media, aku pikir itu.

33 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara berpikir anda?

I : Sesuai sih. Tapi gini, mungkin ada hal-hal yang tadinya aku gak tau jadi tau di film ini. Mungkin kalo tadinya aku taunya secara umum aku sekarang jadi tau spesifik contoh riilnya. Jadi sedikit banyaknya film ini jadi ngebentuk pola pikir aku terhadap konglomerasi media gitu. Jadi aku gak tau apakah aku yang sepikiran sama film ini atau film ini yang bikin aku mikir kaya mereka. Kalo misalnya film ini berhasil bikin aku kaya mereka berarti sukseskan filmnya.

34 P: Menurut anda apakah film

ini berhasil membuat anda sepikiran dengan filmmaker? I : Iya berhasil. Karena tadinya aku tau global dan akhirnya setelah tau ini aku makin benci sama konglomerasi media. Jadi aku makin gak suka gitu loh.

35 P : Apakah anda memiliki pengalaman

langsung terkait konglomerasi media massa?

I : Aku pribadi sih engga. Tapi kalo misalnya kaya temen aku ada. Kaya misalnya gini, akukan gak langsung kerja di media tapi kalo misalnya aku ngelatih wartawan dan dia kebetulan senior aku di Suara USU. Dia kerja di salah satu surat kabar harian di Medan. Jadi dia suka bikin berita-berita yang panjang, mendalam, dan itu nyindir perusahaan tertentu. Dan dia bikin berita kaya gitu. Nah media tempat dia kerja itu gak ngebolehin itu berita gara-gara nanti ngerusak iklan. Nah jadi media nya dia, dia ditekan Pemred (Pemimpin Redaksi) dan redaktur dia gak gak boleh bikin berita kaya gitu. Karena nanti hubungan baik terganggu. Jadi dia ngerasa sakit hati gitu bukannya apa, tujuannya apa media ini.


(26)

Kayanya dia gak bisa idealis gitu, dan dia benci dengan kondisi yang kaya gitu. Jadi ya itukan termasuk salah satu kan media jadi gak bisa independen karena urusan politik ataupun urusan apa ya relasi itukan termasuk politik ya aku pikir. Juga urusan iklan. Bisnis. Jadi, masih banyak sih kaya gitu. Itu Cuma media yang kecil di Medan yang mungkin ga ada afiliasi politik dengan bla bla bla gitu tuh gak ada.

36 P : Sebagai orang ketiga yang

tidak terkena dampak langsung terkait konglomerasi media, bagaimana menurut anda sebaiknya media bekerja?

I : Kalo kita ngebahas the

elementsjournalism nya Bill

Kovach jelaslah media itu harusnya gimana. Aku ngerasa memang paling penting itu media harus independen. Jadi apapun yang mereka beritakan, apapun keberpihakan mereka, itu bukan karena urusan dengan kepentingan tertentu atau karena ditekan atau karena ya tujuan-tujuan tertentulah. Jadi, walaupun mereka berpihak. Jadi jelas gitu kenapa mereka berpihaknya untuk masyarakat gitu. Bukan untuk modal atau politik tertentu. Jadi apapun keputusan mereka, ya netral itu gak mungkinkan di media tapi independen. Tapi harusnya independen yang harus dijaga. Independensilah.

37 P: Kesimpulan apa yang anda dapatkan

mengenai film Di Balik Frekuensi?

I : Mungkin karena aku udah terpaut melihat kontennya secara teknis kalo mereka bikin dokumenter aku rasa ini sih termasuk yang asik gitu. Gak terlalu membosankan, walaupun ada yang membosankan. Karena mereka masih bisa bikin naik turun emosi penonton gitu. Gak datar aja gitu, kadang bisa flat sampe abis. Tapi ternyata mereka bisa naik turunin gitu. Terus mereka bisa ngalihin ke topik mana tiba-tiba dibalikin. Terus nanti


(27)

dimasukin visualisasi-visualisasi tertentu. Jadi, ya bolehlah.

38 P : Menurut anda ada atau tidak pengaruh ideologi filmmaker terkait isi film Di Balik Frekuensi?

I : Tentulah aku pikir.

39 P : Menurut anda ada atau

tidak pengaruh sponsor terhadap konten film Di Balik Frekuensi?

I : Aku rasa kalo secara background pasti ada gitu karena mereka kan pasti punya tujuan. Dan mereka pasti se-visi. Kalo gak, gak mungkin film ini ada. Jadi ya memang saling berpengarruh. Kalo ada aja yang gak setuju dengan pemikiran ini pasti kontennya mungkin gak kaya gini.

40 P : Menurut anda ada atau tidak kritik yang hendak disampaikan pada film Di Balik Frekuensi?

I : Ya itu. Buang adegan yang agak-agak gak penting yang bikin bosen. Terus mungkin yang diakhir itu reka ulangnya terlalu ga natural. Karena kitakan nontonnya film dokumenter kan. Yang kita tau semua dokumenter emang natural apa adanya gitu. Tapi dengan adanya reka adegan jadi malah keliatan fake nya. Gak sekasar itu juga sih. Keliatanlah settingannya gitu. Kalo di epilognya bagus sih, disitulah ironinya gitu. Jadi maksudnya kaya yang aku bilang “Lo mau pergi? Ya pergi aja. Masih banyak yang ngantri kerja tempat aku.” Kaya gitu. Jadi disitulah bener-bener dapet ironinya kaya gitu. Dalem. Ya gimana freshgraduate kayanya gengsi kan masuk media gede kaya gitu. Mereka gak tau aja didalemnya kaya apa. Mereka gak cukup tahu dan mereka gak cukup paham untuk tau gimana sebenernya iklim di dalam tempat yang ingin mereka pikir luar biasa itu.

41 P : Menurut anda apa tema yang disajikan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Tentang kepemilikan media dimana pemilik modal itu jadi menguasai berbagai


(28)

aspek, gitulah.

42 P : Implementasi konsep

konglomerasi media di Indonesia?

I : Happening aja karen akondisinya kaya gini, karena mereka yang punya modal besar ya ada unsur kapitalisme dan segala macem. Kaya misalnya kompas mungkin yang paling netral, konten tv nya juga bagus. Tetep aja modalnya juga banyak, dari mana-mana. Ya memang begitu, mereka yang punya modal besar mereka lah yang bisa bikin media. Bahaya nya itu kalo dia banyak modal banyak media tapi susahnya kalu dia itu punya kepentingan politik.

Apakah pengaruh konglomerasi media di Indonesia baik atau tidak?

Meresahkan. Karena masy Ind yang paham literasi media itu bener-bener minim, gitu. Gak banyak tang aware, bahkan untuk tingkat sarjana pun yang kita anggap sudha berpendidikan tinggi masih banyak yang gak aware sama konten media, masih gampang disetir. Karena warga Indonesia belum cerdas jadi meresahkan gitu apalagi kaya kondisi pemilu kemarin. Gak nyaman sekali nonton televisi, gitu.


(29)

Informan II

Nama : LAD

TTL : Jakarta, 10 April 1986

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 28 tahun

Anak ke : 1 dari 7 bersaudara

Suku : Batak Simalungun

Agama : Kristen Prostestan

Hobi : Nonton film, Bersosialisasi Pendidikan : S1 Ilmu Komunikasi

Profesi : Wartawan Harian Tribun Medan Film Favorit : Biografi, Drama

Film Dokumenter Favorit : The cov (pembantaian lumba-lumba di jepang) Pelaksanaan Wawancara : Rabu, 24 Juli 2014. 19:00. Keude Kupie Ule Kareng

P : Peneliti I : Informan

No ISI WAWANCARA REFLEKSI

1 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang film Di Balik Frekuensi?

I : Engga tahu. Tapi aku tahu kasusnya. Karena di dalam film itupun ada beberapa beberapa oknum yang kukenal.

2 P : Apa yang anda bayangkan tentang film DBF sebelum menonton?

I : Karena dari judulnya kan Di Balik frekuensi dan aku juga denger dari kawan-kawan pas itu. Misalnya aku yang kutangkep sih pertama-tama katanya tentang Metro TV. Jadi aku langsung kaitannya memang tentang penggunaan frekuensi publik yang untuk kepentingan politik pemilik media. Itu sih yang aku pikirin.

3 P : Kenapa anda tertarik menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Karena aku suka film juga. Maksudnya karena diminta mungkin. Menurutku ini sesuatu yang setengah-setengah sih ke publik. Terutama ke publik Sumatera Utara. Ikut prihatin juga, walaupun di cerita itu, film itu mm apa.. si pembuat film mengucapkan terimakasih kepada komisi penyiaran. Tapi kalo menurutku komisi penyiaran itu sangat lemahlah, terutama yang di daerah-daerah. Trus semenjak kuliah aku pernah menggagas ngundang anggota KPI untuk membahas


(30)

tentang gimana sih kelangsungan tentang televisi-televisi di daerah itu, kan katanya harus apa ya gak boleh nyiar ini lagi ya kalo tivi-tivi daerah itu ada batasannya ya, gak bisa semuanya. Terus ya orang-orang KPI aku kenal beberapa.

4 P : Kapan anda pertama kali menonton

film Di Balik Frekuensi? I : Dua minggu lalu

5 P : Apakah anda tahu kapan

pembuatan film ini bermula? I : 2012 ke 2013 ya.

6 P : Apa motivasi yang mendorong anda

untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Selain karena aku suka film ya itu filmnya bagus juga sih menurut aku, ya itu tadilah sebagai anak ilmu komunikasikan, wartawan, ya aku cukup konsern lah dengan film frekuensi publik.

7 P : Menurut anda apa tema yang disajikan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Secara sempit itu tentang ini sih, tentang ya perjuangan seorang pekerja media yang menduduki tadinya kan gitu. Itu sebenernya representasi dari TV. Eksploitasi dari sebuah perusahaan media yang memang sering kita jumpai gitu. Jadi naiknya lagi ini sebenarnya cerita ironi sih karena media itu kan mau gakmau bisa di dan harus dikaitkan dengan demokrasi. Mau gak mau. Baik dilihatnya dia secara objek atau subjek gitu. Media lahir karena demokrasi. Demokrasi juga tunduk karena media gitu. Itu kaya udah nempel. Kenapa kubilang ironi? Karena kenyataan di dalam gak nyaman, gak demokratis juga. Kalo aku sih bisa ngerti dari sudut pandang usaha ya. Kita perlu stabilitas, kita perlu mencetak untung. Jadi keuntungannya jelas. Praktik misalnya kaya asisten produser digaji. Pekerjaannya kayak produser tapi gajinya... itu biasa. Dan itu memang kadang-kadang udah diterima aja di kalangan... Tapi, aku salut juga sih sama dia. Nah, satu lagi, tema yang mencolok ya itu tadi, ya tentang penggunaan frekuensi publik, gitu ya. Memang ini wacananya memang betul bahwa frekuensi publik punya rakyat, tapi kondisinya sekarangkan film ini berada di


(31)

tengah-tengah (...) Aku gak tau kalo aku ini sudut pandangnya punya... cukup kaya lah sebagai manusia. Tapi aku jalani hidupku seperti biasa, tiba-tiba ada orang asing. Ini sebenernya punya ini, punya ini. Aku kan kaget ternyata selama ini aku gak tau kan gitu. Itulah gambaran Republik Indonesia ini. Nah begitu mau menuntut balik ternyata tidak sesuai harapan. Satu, ya itu tadi, yang punya sarana frekuensi publik ini orang-orang kuat dan sebagian juga belum banyak yang peduli. Sementara.. bisa aja sih kita tuntut itu, Cuma masalahnya ya kita lihatlah disini di apa ini di sudut ini, yang paling kita harapkan kan sebenarnya ya dosen-dosen ilmu komunikasi menggagas kayak perhelatan-perhelatan ke kampung-kampung, ke ibu-ibu “bu, sinetron ini begini buk.” Buktinya gak ada yang jalan.

8 P : Menurut anda apa alasan pembuatan

film Di Balik Frekuensi?

I : Alasannya sih.. Aku kurang yakin dia (Ucu Agustin) pendekatannya ke... Aku lebih yakin di lebih ke advokasi Luviana nya. Dan sedikitlah tentang hegemoni medianya. Kalo menurut aku sih lebih ke advokasi Luviana nya.

9 P : Jadi, menurut anda tema

konglomerasi media itu hanya sebagai wacana yang memperkuat?

I : Iya. Karena siapa sih Luviana itu? Kan gitu.. Walaupun kalo kita cermati dia menggambarkan struktur masalah yang lebih besar, kan gitu. Cuma aku ya secara pribadi sebagai orang yang biasa membuat produk narasi, aku ya harus pinter-pinter milih angle. Gak masalah sih menurut ku. 10 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

penggambaran isi dari film Di Balik Frekuensi?

I : Ya, misalnya walaupun cukup baru sebenarnya cerita tentang Hari Suwandi itu cukup bagus sih untuk mendukung film. Tapi sebenernya kalo itu dihilangkan gak ada ngaruh juga. Jadi, banyak yang terlalu panjang, mungkin ya. Filmnya panjang, tapi


(32)

memang hak ini juga ya, hak yang buat film. Tapi aku sebagai penonton terlalu panjang. Hampir keseluruhan bagus, kurang lebih kan gitu kan. Ada juga istilahnya ilustrasi-ilustrasi cukup bagus. Terus ya pembuat film bisa naikkan sisi humanis dari Luviana.

11 P : Bagaimana tanggapan anda tentang

dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Ya, cukup baiklah. Lebih bervariasi. Ada juga humornya.

12 P : Bagaimana tanggapan anda tentang

adegan dalam film Di Balik Frekuensi? I : Ya, itu tadi menurutku. Banyak bagian-bagian yang ga relevan menurutku ya. Ya, kalo ditarik-tarik ada memang. Tapi kalo dalam rangka penggunaan frekuensi, tapi gimana ya.. Intinya, ya sebenernya bisalah dipake.

13 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Ya, sudah cukup pas lah.

14 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Ya, itu tadi. Pesan besarnya tentang perjuangan besar Luviana dan satu lagi tentang ya cukong-cukong media ini. Apa yang mereka lakukan terhadap kita. Sebenarnya ada sedikit anjuran juga sih buat kita. Ya, bukan anjuran sih, tapi kaya memancing pertanyaan dalam diri.

15 P :Bagaimana tanggapan anda terhadap

gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Ya, sangat inilah sangat dominan terutama pemilik medianya adalah politikus. Karena kan politik ini kan tokoh-tokohnya butuh pencitraan. Jadi ada juga mungkin salah satu yang kudapet dari film itu komentar dari... Ada perempuan agak gemuk berkacamata yang dia bilang begini “ini kan televisi berita ya. Padahal ini kan untungnya gak seberapa ya di Indonesia ini, kenapa ada televisi berita?” dia bilang begitu. Jadi secara tidak langsung dia mengarahkan kita untuk berpikir bahwa stasiun televisi berita ini tidak lebih


(33)

dari untuk melancarkan kepentingan politik pemilik media. Karena secara ekonomi menguntungkan kali sebenarnya. Dan itu sejalan memang dengan apa yang ku tahu ya. Bahwa Bakrie dan Surya Paloh itu sebenarnya usaha utamanya bukan media.

16 P : Apakah hal yang pertama kali anda

pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Sebenernya bukan semacam kesimpulan sih. Karena itu hal yang.. Tapi yang aku pikirkan nasib Luviana itu gimana? Terus aku kepikiran juga soal Hari Suwandi itu. Menurutku, film ini kurang menggambarkan latar belakang dia. Dia Cuma digambarkan rela satu bulan berjalan, gitu kan. Mungkin orang-orang salut ngelihat itu. Tapi, kalo aku enggak. Aku udah llihat bermacam-macam orang dan motivasi yang sebenarnya gak mulia-mulia amat. Jadi aku penasaran bapak ini dibilang gak tahu kemana. Apakah dia memang hilang? Maksud film itu apakah dia ingin mengarahkan si bapak-bapak ini udah hilang, atau udah diculik, atau kemana atau ngumpet gitu. Dulu aku langsung mikir, ini orang pasti di blackmail. Mungkin kawan ini entah dia kalo gak diancam, dia itu dia punya sesuatu yang kartunya itu dipegang gitu sama Bakrie.

17 P : Bagaimana anda menanggapi judul

film Di Balik Frekuensi setelah menonton? I : Menurutku sih judulnya gak komersih haha. Memang bukan tujuannya komersil, kan. Trus di balik frekuensi itu, aku sebagai seorang penulis yang setiap hari bikin judul ya, gak menjual. Di Balik Frekuensi itu mengaburkan kepentingan si pembuat film. Dia mau menyasar yang lebih luas lagi, padahal ya dia ingin filmnya itu bisa ditonton banyak orang.

18 P : Satu kata apa yang anda pikirkan

setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Sedihlah.. Menyedihkan.

19 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Memang betul. Ya, itu kan fakta sih. Malah aku justeru tahu disitu, gitu. Siapa bos-bosnya


(34)

ini. Apa nama resmi grupnya, aku baru tahu disitu. Dan media ini afiliasinya apa kesini ke sini dan apa ya gak tau lah, aku rasa sih itu betul gitu.

20 P : Menurut anda apa defenisi atau

pengertian dari konglomerasi media?

I : Konglomerasi media.. Kalo aku sih memaknainya ya aku gak tau efek dan lainnya, tapi aku memaknainya. Dia kayak sekumpulan media, himpunan media dari macem-macem platform ya kan, cetak, broadcast terus online segala macem dan itu dikuasai satu orang dan berikut implikasinya.

21 P : Apakah menurut anda film ini

berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?

I : Ada. Yang kedua tadi.

22 P : Bagaimana anda melihat fenomena

konglomerasi media massa di Indonesia saat ini?

I ; Menurut aku sih konglomerasi media itu kayak keniscayaan. Tau gak? Memang.. keniscayaan itu kayak gini emang hampir pasti gitu dan gak ada masalah sebenernya. Tapi orang.. gak ada masalah karena gini, tidak ada dasar hukum yang melarang itu. Ya namanya orangnya juga berbisnis. Apalagi sekarang, kalau kita mau sukses di bidang media kita harus kuat. Kalau main sendiri-sendiri aja mati kita. Jadi misalnya kayak kompas gramedia itu kan masuk ke konglomerasi. Tribun itu bagian dari konglomerasi. Kami gak susah, kalau misalnya kami mau cari berita tentang.. misalnya ada berita di Ukraina kapal ditembak. Wartawan apa, misalnya kayak analisa, dia ngambil dari sumber yang diluar dia gitu. Dan dia harus membayar itu, gitu. Kalau kami enggak. Kami punya.. kami kerjasama.. afiliasi kami kompas, kan gitu. Kompas punya koresponden di sana, kan gitu. Dan itu juga misalnya konglomerasi ini sangat digdaya untuk persaingan memperebutkan iklan, gitu dia. Karena pengiklan sekarang kan lebih suka misalnya dia memasang iklan satu paket. Misalnya “aku mau pasang iklan di lima kota besar, kasih dong diskon”


(35)

23 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Ya, entah karena keterbatasan waktu, keterbatasan sumber daya media.. Jadi gini, kayak aku ngertilah kenapa Surya Paloh dinaikkan. Tapi kenapa harus Abu Rizal Bakrie? Apa dia ee.. Kenapa gak misalnya ya itu emang yang paling besar, dua itu kira-kira yang paling besar. Tapi kalo menurutku penggambarannya terlalu simplistis. Ya untuk masyarakat awam mungkin ya masih baru atau sebenernya gak baru-baru amat lah ya. Orang udah gampang sekali sekarang “Ah Metro TV itu kan punya Surya Paloh” gampangnya aja orang ngomong kaya gitu. “Kan Tv One itu, janganlah kita nonton tentang Lapindo ini. Ini kan punya Abu Rizal Bakrie, kan gitu” Orang udah tahu sebenernya. Aku pikir kalo penggambaran seperti itu tidak terlalu.. ah ya simplistis yang seperti aku bilang itu ya bisa jadi.

24 P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?

I : Tidak ada.

25 P : Bagaimana kesan yang anda terima

terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?

I : Kesannya ya.. jadi kan, kadang orang mikirin film dokumenter itu kayak nyari duit juga. Jadi gak ada yang namanya murni perjuangan. Ya memang itu membantu jugalah buat Luviana. Tapi apa kabar Luviana sekarang? Ini film di putar dimana saja? Kalo untuk wartawan apalah gunanya itu? Kalo untuk anak komunikasi okelah. Tapi bukan komunikasi yang udah senior ya. Karena menurutku yang menjadi nilai lebih film ini cuman kiprah dari Luviana dan Hari Suwandi. Itu kalo tentang ya korporasi media ya biasa aja menurutku.

26 P : Apakah menurut anda tema yang

diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?

I : Itu memang betul.

27 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara berpikir anda?


(36)

I : Ya. Bahwa pekerja harus punya serikat pekerja, aku setuju. Bahwa setiap perusahaan [unya serikat pekerja aku setuju. Bahwa frekuensi publik itu harus dilafazkan untuk sebesar-besarnya kemakuran rakyat aku setuju. Gak ada yang aku gak setuju.

28 P : Sebagai jurnalis media, anda

setuju tidak bahwa jurnalis itu dikatakan buruh?

I : Setujulah.

29 P : Apakah anda memiliki pengalaman

langsung terkait konglomerasi media massa?

I : Ya aku kerja di bawah konglomerasi media. Di sebuah media yang merupakan bagian dari konglomerasi media.

30 P : Hal apa yang anda rasakan?

I : Jadi kan gini.. aku masih percaya bahwa jurnalisme yang bagus itu mahal. Jadi, itu membutuhkan sumber daya manusia yang kuat dan punya jaringan yang luas. Aku percaya itu sih. Karena aku pernah kerja di beberapa.. gajinya kecil, baru tumbuh. Aku udah pernah nyoba sih. Masing-masing punya hambatan-hambatan. Jadi media kecil ini misalnya, dia gak bisa memberikan kenyamanan kerja. Mulai dari jaminan kesehatan. Jadi ya apa hak-hak standar itu gak dipikirkan. Jadi kayak ada kesepakatan misalnya “yaudah kalau kau gak mau masih banyak yang mau” kan gitu.. kalau di konglomerasi media itu biasanya udah diakomodir. Dan kita juga punya kebangaan tertentu. Terutama mungkin ya kaena kompas gramedia. Gramedia itu menurutku termasuk perusahaan bonafit

31 P : Bill Kovach bilang kalau

tuan dari sebuah media itu adalah publik. Bagaimana pandangan anda terhadap pernyataan itu sebagai bagian


(37)

dari pekerja yang ada di bawah konglomerasi media?

I : Aku sih setuju. Terus seperti yang aku bilang tadi sebenarnya itu karena dibandingkan aspek-aspek yang sudah deluan lahir di peradaban manusia. Media ini barus adar sebenarnya hakikat dia itu apa? Kenapa ku bilang begitu? Karena gini, banyak wartawan gak sadar sebenarnya dia itu bukan apa-apa. Kan banyak wartawan petantang petenteng merasa kayak dia jagoan. Apalagi ada yang bilang Pers adalah pilar ke-empat demokrasi. Maksudnya itu pers, bukan wartawan. Pers dengan wartawan itu beda. Jadi, yang membuat banyak wartawan itu jumawa atau gimana. Dia gak sadar, dia gak bisa memposisikan dirinya sebagai pekerja publik. Pekerja yang apa ya, bekerja untuk publik kan? Untuk kepentingan publik. Itu kan implikasinya beda. Jadi banyak wartawan-wartawan yang ku lihat dia suka-suka dia mainkan berita itu. Ya, dia memanipulasi fakta atau gimana. Tapi kalo kita datang denga kesadaran bahwa kita itu bekerja untuk publik. Itu kita punya standar-standar kerja, etika. Jadi menurutku kesadaran itu penting ya. Mungkin selama ini kurang urgent ya. Apalagi media tempat dia bekerja kurang sadar tentang hal itu ya. Sekarang ini kan gerak media itu kayak udah semakin menjatuhkan wartawan. Jadi misalnya perkembangan citizen journalism. Semua orang ngaku bisa jadi wartawan. Jadi, timbul pertanyaan di wartawan kerja gua apa, kan kaya gitu? Tapi kita sadar sebenarnya wartawan itu aktif. Dan bagaiamana supaya besok wartawan itu dipake


(38)

masyarakat. Ya, masyarakat sekarang udah kritis. Ya bilanglah dia gak nulis berita tapi dia udah tau membaca berita. Mana berita yang bisa dipercaya mana berita yang penuh muatan. Aku yakin gak ada media yang suka nonton TV One. Maksudku terlepas dari preferensi politiknya. Kalo orang misalnya sadar melek media, dia pasti gak suka melihat metro. Aku jujur, pendukung Jokowi aku. Tapi aku prihatin melihat Metro TV. Jangan tanya lagi pandanganku soal Tv One ya. 32 P : Menurut anda ada atau tidak kritik

yang hendak disampaikan pada film Di Balik Frekuensi?


(39)

Informan III

Nama : AJR

TTL : Jombang, 18 Juni 1992

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Komplek Kasuari Indah, Medan

Usia : 22 Tahun

Anak ke : 1 dari 4 bersaudara

Suku : Jawa

Agama : Islam

Hobi : Programming, Desain Aplikasi untuk PC/Tablet, Dengerin dan main musik

Pendidikan : SMA

Profesi : IT Freelance

Film Favorit :

Film Dokumenter Favorit : Di Balik Frekuensi, Opera Batak

Pelaksanaan Wawancara : Kamis, 24 Juli 2014. 10:30 AM. Kantor Yayasan KIPPAS

P : Peneliti I : Informan

No ISI WAWANCARA REFLEKSI

1 P : Apakah anda mengetahui film

dokumenter Di Balik Frekuensi?

I : Ya. Sudah pernah. Sekali nonton, waktu itu bulan satu tahun lalu.

2 P : Sudah berapa lama anda tahu tentang film Di Balik Frekuensi?

I : Ya waktu itu nonton tahunya disitu. Waktu ada acara KIPPAS terus trainer nya itu dari Dewan Pers, AJI ya. Perwakilan dari AJI terus dia mau nawarin nonton bareng tentang konglomerasi media. Menurutku menarik karena konteksnya bentar lagi kita Pemilu waktu itu kan.

3 P : Apa yang anda bayangkan sebelum

menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Nah itu. Waktu itu kan belum Pemilu ya. Belum masuk tahun politik tapi aku sudah membayangkan bahwa nanti akan ada, media-media itu akan cenderung mendukung atau mengenjot salah satu partai atau capres gitu ya. Sebelumnya memang sudah nampak misalnya TV grup Bakrie, viva antv sama tv one jauh-jauh sebelum pemilu sejak 2010 malah setahun setelah pemilu 2009 mereka sudah berusaha menampilkan sosok Bakrie


(40)

gitu sebagai tokoh.

4 P : Kenapa anda tertarik menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Media adalah salah satu corong warga ya. Nah saya juga mau lihat bagaimana sih sebenernya? Selama ini kan kita demand selalu menonton saja. Kita tidak tahu ruang dapur produksinya bagaimana? Bagaimana kebijakan redaksi yang atau redaksinya diintervensi oleh si pemilik modal. Nah itu yang menurut saya menarik. Selama ini saya gak tau bagaimana caranya gitu. Saya dulu memang menduga, mungkin barangkali redaksinya ini memang orang partai gitu jadi beritanya pun ya sudah jelas. Sudah ada alurnya ya. Rupanya memang intervensi gitu, bahkan ini yang menarik adalah setelah Pileg, ketika Pemilu Presiden itu bang Karni ya, bang Karni Ilyas salah satu pemimpin umum redaksi di TV One dia cuti gitu. Saya gak tau apakah itu terjadi konflik. Tapi yang saya tahu dari beberapa media sosial, bang Karni ini dia tidak mau dia akan berhadapan dengan Bakrie, gitu. Jadi dia lebih ambil enaknya udah cuti aja deh, gitu.

5 P : Apa motivasi yang mendorong anda

untuk menonton film Di Balik Frekuensi? I : Waktu itu selain ada gambaran politik, itu utama ya yang tadi, kedua mungkin aku melihat dari sisi produksi gambaran. Karena saya juga cukup masih menyimpang hobi untuk membuat film dokumenter. Saya mungkin ngambil sudut pandang mana yang diambil oleh sutradara, dari sisi produksi. 6 P : Menurut anda apa tema yang disajikan

dalam film Di Balik Frekuensi? I : Wajah media pasca reformasi

7 P : Menurut anda apa alasan pembuatan

film Di Balik Frekuensi?

I : Waktu itu sebelum nonton ku kira ini adalah salah satu bentuk penyadaran untuk masyarakat bahwa media tidak bisa dipercaya penuh. Karena media sudah di setting, sudha disupir sama si pemilik modal, gitu. Sudah tidak independen, gitu. Nah rupanya ketika nonton berkembang. Misalnya ada disitu kak Luviana. Saya tidak menyangka kalo Luviana bakal tampil disitu. Memang sebelumnya saya


(41)

sudah tahu ada kasus pemecatan sepihak oleh Metro Tv waktu itu. Nah rupanya media melalui film itu kita juga berusaha ditampilkan bahwa ini loh nasibnya para pelaku jurnalis di televisi. Sama dengan buruh, tidak bebas, gitu kan. Selain pemberitaannya di intervensi, hak-hak mereka

juga sangat dibatasi. Mmm.. awalnya iya, akhirnya banyak

rupanya. Ya itu salah satu film itu juga kayanya di produksi untuk mengadvokasi si Luviana itu ya. Karena diending juga ditampakkan si Luviana di pinggiran bundaran HI itu kan.

8 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

isi dari film Di Balik Frekuensi?

I : Tanggapan gimana ya.. bagus hehe. Bagus banget. Dan betul-betul membuat kita sadar gitu bahwa media itu.. media sekarang ya konteksnya Indonesia semakin dibebaskan juga kayaknya kebablasan deh. Nah dari hasil film itu aku rasa ini udah menyimpulkan kayaknya nanti menteri yang akan datang dia harus sudah membikin peraturan pembatasan kepemilikan modal media, mungkin ya.

9 P : Bagaimana tanggapan anda tentang

dialog dalam film Di Balik Frekuensi? I : Wah saya sudah agak lupa itu. Cuma disitu kalo dari segi.. banyak temen-temen yang bilang termasuk saya juga sepakat ya disitu banyak gambar yang nyampah istilahnya. Artinya, banyak hal-hal yang sepertinya tidak perlu ditampilkan tapi tampil disitu. Spesialnya ketika Luviana, dia diusir dari satpam, disuruh keluar gitu kan. Luviana jalan gitu masih ditampilin.

10 P : Menurut anda hal itu lebih

cocok dikategorikan ke dalam adegan atau dialog ?

I : Menurut aku itu di adegan deh. Tapi ada misalnya ketika ada yang dramatisir ketika Luviana duduk bareng pak Surya Paloh itu. Nah menurutku itu juga sangat bagus. Kan ditampakkan ketika dialog ada perjanjiannya ya. Terus setelah itu beberapa hari kemudian dia datang ke Metro Tv


(42)

ya juga tetep gak ditepati kan, gitu.

11 P : Selain itu, ada tanggapan lain tidak terhadap adegan dalam film Di Balik Frekuensi ?

I : Menurutku ada banyak adegan yang gak perlu banyak ditampilin. Mungkin itu kerjaan editor kali ya. Makanya filmnya juga relatif lama kan untuk ukuran dokumenter itu hampir dua jam.

12 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

tokoh-tokoh yang ada dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Bagus. Pas. Yang ditampilkan semuanya orang-orang yang memang berkaitan dengan media. Walaupun sebenernya tidak ada kaitan secara langsung. Misalnya si bapak, saya lupa padahal itu tetangga saya, yang jalan dari Sidoarjo ke Jakarta. Dia memang, awalnya kan kita tidak ada kaitannya dengan tv ya. Tapi ini berkaitan ketika si pemilik tv adalah Bakrie yang punya lumpur di Sidoarjo. Nah setelah itu juga pak Suwandi ini ketika itu ia tiba-tiba menghilang dan muncul di tv one dan minta maaf. Itu yang kami keukeuh. Ya itu bagus menurut kami. Terus disitu juga ditampilkan narasumber-narasumber juga cukup bagus. Memang orang-orang yang menurut aku punya kompetensi yang diwawancarain gitu.

13 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

pesan yang disampaikan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Sangat bagus. Menurutku ini film yang paling recommended gak hanya anak komunikasi. Bahkan untuk orang-orang yang seperti saya yang dibidang IT atau mungkin yang penggiat media komunitas seperti saya juga ini penting gitu. Kita juga, konglomerasi media itu tidak harus modal rupanya. Jadi kita lihat di Sumatera Utara ini banyak juga media komunitas yang fungsinya untuk capacity building untuk komunitas itu. Tapi juga sebenernya sama karena pelakunya satu orang dan asiknya ketika menjelang pemilu mereka juga sama seperti media mainstream. Ya membuat pemberitaan hanya untuk satu caleg, untuk satu tokoh, untuk satu presiden, begitu.


(43)

Jadi bagus.

14 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

gambaran campur tangan pemilik media terhadap konten media dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Penggambarannya sangat otoriter kayanya. Dari segi filmaker bagus karena dia dapat momen yang tepat. Ketika misalanya pak Surya waktu itu orasi yang dishoot sbenernya bukan Pak Surya nya kan tapi si jurnalisnya/si wartawannya. Terus ketika ada koordinator liputan menyuruh untuk ikutin tokoh, gitukan. Gak harus Surya Paloh waktu itu setahu saya, pokoknya yang berkaitan dengan partai Nasdem ketika itu di tv. Tv One juga begitu. Saya pernah dengar dari temen saya waktu itu, jurnalis Tv One di Sidoarjo di kampung saya ya. Itu mereka memang tugas mereka tidak boleh meliput lumpur yang mereka liput hanya boleh orang-orang yang sudah direlokasi, gitu. Untuk apa ya, barengin. Karena saya ingat MNC saat itu mendesak, memojokkan pak bakrie ya. Ganti si Tv One mereka itu. Jadi mereka hampir gak pernah ada beritanya tentang lumpurnya gak pernah. Yang ada memang tentang relokasi, mereka sudah mendapatkan ganti rugi. Saya rasa itu disetting dari medianya.

15 P : Apakah hal yang pertama kali anda pikirkan ketika selesai menonton film Di Balik Frekuensi?

I : Waktu itu saya langsung berpikir berarti selama hak itu sebagai penonton juga dilewatkan misalnya ini kayaknya hanya perang antar tokoh aja ini antara MNC dengan Tv One waktu itu di film ini. Karena di film ini kan ditunjukkan bagaimana mereka berhadap-hadapan sesama media, gitu. Otomatis hak informasi kita sudah dilewatkan karena kita mendapatkan informasi yang sama-sama saling menyudutkan, tidak berimbang. Pasti itu infromasi yang salah atau dibuat-buat kan gitu kan.

16 P : Bagaimana anda menanggapi judul

film Di Balik Frekuensi setelah menonton? I : Judulnya tepat sekali. Di Balik Frekuensi karena kita masih pake televisi UHF masih pake analog. Jadi yang selama ini kita hanya


(44)

di depan layar ada juga orang dibalik layar, dan kita di balik frekuensi. Di Balik Frekuensi inikan luas tidak hanya orang di produksi di redaksi tapi kita juga siapa yang membeli frekuensi dan siapa pemilik modal itu tadi.

17 P : Satu kata apa yang anda pikirkan

setelah menonton film Di Balik Frekuensi? I : Bagus

18 P : Bagaimana tanggapan anda terhadap

pemusatan kepemilikan media massa dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Seharusnya mereka harus dibatasi nanti. Penggambarannya sudah komplit. Tapi kan memang lebih banyak waktu itu metro tv, MNC, sama Tv One tapi dibelakang-belakang kita ditampakkan Tempo, kita ditampakkan Trans Tv yang pemiliknya memang orang itu aja gitu, kuat. Sama kompas ya. Kita tidak duga kalo akan ada muncul di film itu juga. Ya memang konglomerasi yang di film kan itu memang menurutku ada dua. Yang satu untuk konglomerasi bisnis, murni bisnis ya. Tidak untuk kepentingan politik. Misalnya saya lihat Kompas sama Trans Tv. Hampir tidak pernah, sedikit memberitakan tentang pemiliknya. Itu misalnya ya yang paling sederhana yang bisa kita lihat. Terus bedanya yang lain misalnya seperti MNC terus Tv One kaya bukan hanya untuk bisnis tapi juga kayanya untuk menggiring opini tentang si pemiliknya gitu dari segi frekuuensi pemberitaan, macem-macem.

19 P : Menurut anda apa defenisi atau

pengertian dari konglomerasi media? I : Kepemilikan tunggal media yang banyak. Maksudku ada sekelompok media yang hanya dimiliki orang tertentu , gitu.

20 P : Apakah menurut anda film ini

berusaha menampilkan pesan konglomerasi media?

I : Ya Setuju

21 P : Bagaimana menurut anda

cara film ini menampilkannya? I : Menurutku disitu sangat komplit karena mulai dari isi yang ditampilkan disitu karena ditampilkan beberapa cuplikan beritanya terus ketika produksi


(45)

bahkan ketika mereka sedang rapat meskipun sedikit candid mereka ngambil gambarnya. Dan menurutku itu sangat menggambarkan sekali, komplit sekali. Mulai dari kalo ditarik dari atas ketika mereka rapat diambil secara candid terus hasil rapat itu dijadikan diproduksi di medianya. Atau si wartawannya ketika ke lapangan abis itu baru ditampilkan ke transisinya, istilahnya.

22 P : Bagaimana anda melihat fenomena

konglomerasi media massa di Indonesia saat ini?

I : Wah ketika menonton film itu semakin ya sebelumnya sudah tahu emang media itu dikuasai. Waktu itu aku menganggapnya wajar siapapun yang punya modalnya silahkan saja, hak dia untuk menggunakan uangnya untuk investasi gitu. Tapi setelah menonton film itu kita jadi, wah gak hanya sekedar modal mereka juga pengen lebih banyak. Jadi dari media itu mereka menginginkan sesuatu yang dampaknya luas, misalnya kekuasaan.

23 P : Apakah anda suka atau tidak terhadap penggambaran konglomerasi media dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Gak suka. Eh sorry.. Penggambaran tentang konglomerasi itu suka. Karena kita jadi tahu yang selama ini tahunya hanya sekedar karena bisnis setelah nonton itu kita tahu kepentingannya apa.

24 P : Apakah anda setuju atau tidak dengan pesan yang coba ditampilkan dalam film Di Balik Frekuensi?

I : Setuju.

25 P : Apakah anda berdiskusi dengan rekan setelah menonton film Di Balik Frekuensi terkait konglomerasi media?

I : Sebentar iya. Setelah itu langsung kami diskusi.

26 P : Apakah hal itu

mempengaruhi opini anda sebelumnya atau tidak?

I : Oh tentu dong. Yang tadi sebenernya yang opiniku awalnya


(46)

adalah gak masalah siapapun yang punya media selagi dia legal ya mendapatkan ISR misalnya.Tapi setelah nonton itu ya jadi haram gitu loh jadi dosa. Yang awalnya karena gak hanya sekedar bisnis itu tadi, ini digunakan untuk kepentingan yang luas untuk menutupi sebuah kasus yang besar misalnya begitu. Jelas mempengaruhi karena menurutku yang awalnya sah-sah aja jadi gak sah lagi.

30 P : Bagaimana kesan yang anda terima

terhadap keseluruhan isi film setelah menonton?

I : Ya itu tadi saya bilang. Film ini sangat bagus karena berusaha membuka opini kita, pandangan kita terhadap konglomerasi media. Terutama saya yang melihat ya kalo konglomerasi media sbenernya tidak salah sebelum nonton itu. Yang jadi masalah adalah ketika ini memang digunakan untuk sebuah kepentingan, bukan kepentingan bisnis gitu.

31 P : Apakah menurut anda tema yang

diusung dalam film ini dapat dipercaya sepenuhnya?

I : Saya percaya.

32 P : Sesuaikah isi film ini terhadap cara berpikir anda?

I : Sesuai

33 P : Apakah anda memiliki pengalaman

langsung terkait konglomerasi media massa?

I : Ada. Karena saya beberapa tahun ini juga penggiat media komunitas. Nah ketika menjadi waktu itu saya juga baru sadar bahwa saya sebenernya juga sedang melakukan konglomerasi walaupun dalam arti bukan harus modal. Tapi selama ini saya membangun jaringan radio-radio komunitas di Sumatera Utara dan Jawa Timur terutama. Saya di jawa Timur ada organisasinya (...) Nah rupanya itu juga bagian dari konglomerasi media kalo saya pikir setelah melihat film ini, gitu. Meskipun ya itu tadi tidak harus konteksnya dengan uang. Karena konglomerasi adalah membangun banyak


(47)

media untuk satu kepentingan.

34 P : Hal apa yang anda rasakan?

I : Akhirnya jadi sadar saya tidak bisa sendiri selanjutnya. Mungkin kalau untuk saya sendiri sebagai penggiat media komunitas mungkin ke depan saya harus tidak harus saya. Mungkin saya harus mengajak yang lain untuk kalian bangun radio komunitas di desa kalian untuk media pembelajaran. Jadi saya tidak ikut lagi, tidak ikut campur tangan, tidak mentraining, tidak menentukan siaran mereka harus bagaimana. Dan mereka sendiri, jadi saya cukup memotivasi.

35 P : Kesimpulan apa yang anda dapatkan

mengenai film Di Balik Frekuensi?

I : Kesimpulannya jadi yang dulu saya memang kalau untuk tv berita awalnya saya hanya percaya Metro Tv. Karena tv one dulu, mereka kan sering bikin ulah ketika liputan misalnya liputan tentang penangkapan teroris. Itu yang menurut saya hiperbola, gitu. Trus ketika yang paling mengesankan adalah ketika gunung merapi meletus tahun saya lupa. Jadi dia bilang katanya warga mengungsi pada berlarian. Padahal tidak. Akhirnya di Jawa waktu itu di boikot “ janga lihat tv one kalau mau lihat berita gunung merapi” Nah waktu itu awalnya hanya percaya metro. Nah setelah menonton film ini saya berpikir saya tidak boleh begitu juga meskipun tv one begini dan metro tv begitu. Saya harus nonton dua-duanya gitu. Apalagi kalau konteksnya seperti pilpresnya kemarin tahun ini. Metro tv siapa dan tv one siapa. Bah untuk mengetahui menurut saya biar informasi berimbang masuk ke dalam otak saya ini misalnya ya saya harus lihar dua-duanya. Mana tv one dan metro tv yang awalnya hanya percaya satu tv ya.

36 P : Menurut anda ada atau tidak kritik yang hendak disampaikan pada film Di Balik Frekuensi?

I : Pertama yang saya bilang, banyak gambar yang nyampah. Banyak adegan-adegan yang


(48)

menurut saya hanya memperpanjang durasi. Hanya membuat kita bosan. Dan kadang awalnya klimaks disitu sudah ditampilkan konfliknya Luviana, terus setelah itu jalan. Mungkin menurut saya bagi si pengeditor, pengambilan gambar itu mungkin gambaran ketika Luviana setelah diusir gitu, dia jalan kaki, kakinya di shoot. Rasanya itu banyak gambar yang tidak perlu ditampilkan malah menghilangkan konsentrasi.

Kedua, dari sisi audio. Kemarin saya lihat ada suara yang kencang banget ada yang kecil gitu. Terus visual kebanyakan efek kayanya. Saya lihat banyak efek yang tidak memperkaya film itu. Dia ya itu tadi memperpanjang durasi seperti nya ya.

Untuk konten hampir tidak ada kritik. Paling ini aja, kalau kontennya diawal-awal ditampilkan tentang metro tv, saya tidak tahu ada pengantarnya kalau film ini awalnya diproduksi untuk apa saya gak tahu. Tapi saya tahunya setelah nonton secara keseluruhan, gitu. Kalo orang nonton awalnya aja, paling orang akan mengatakan bahwa film ini mengkritisi metro tv karena sudah memecat Luviana.


(1)

ABSTRACT

The study is titled"Interpretation of the audiencetowardsconglomeration of

mediain the filmDi Balik Frekuensi". The documentary premiered on January

2013,tells about the issue of concentration of media ownership is commonly

called conglomerate. The documentary was filmed by Ucu Agustin considered

quite controversial because criticizing the owners of capital controls more than

one medium. Impressions in this film took two real stories of victims as evidence

of media conglomeration. Namely, Luviana Metro TV journalist who terminated

because of critiquing the news room and Hari Suwandi, a victim of Lapindo

mudflow who walk away from Porong -- Sidoarjo to Jakarta.

The aims of this research is to see how the audiences interpretation of

media conglomeration that they watched in film Di Balik Frekuensi. The Method

used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by

Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This

process will produce different meaning, influenced by the capacity of each

audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with

different backgrounds.

The results showed the film Di Balik Frekuensi interpreted by the

informants as a documentary film featuring the face of post-reform media in

Indonesia. In addition, the film also tries to convey the message of media

conglomeration and the depiction of the impact that occurs through the scenes and

the dialogue was lifted from advocacy cases of Luviana and the story of the

struggle, Hari Suwandi against the welfare of the people of Sidoarjo mud disaster

gas. In the process of consumption and production of meaning to the film Di Balik

Frekuensi, differences in religious background, socio-cultural, and informants

experience becomes an important factor that distinguishes their meaning.


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 8

1.3 Pembatasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 10

2.2 Analisis Resepsi ... 16

2.2.1 Sejarah Perkembangan ... 16

2.2.2Kritik Terhadap Analisis Resepsi ... 21

2.2.3Interpretasi ... 24

2.2.3Khalayak Aktif ... 24

2.3Kajian Pustaka ... 26

2.3.1 Komunikasi Massa ... 26

2.3.1.1 Film ... 28

2.3.1.2Film Dokumenter ... 31

2.3.2Konglomerasi Media ... 34

2.4 Model Teoritik ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 40

3.2 Objek Penelitian ... 41

3.3 Subjek Penelitian ... 41

3.4 Kerangka Analisis ... 43

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.6 Keabsahan Data ... 46


(3)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil ... 50

4.1.1 Sinopsis Film Di Balik Frekuensi ... 50

4.1.2 Latar Belakang Informan ... 51

4.1.3 Interpretasi Penonton ... 61

4.1.3.1 Perkenalan Terhadap Film Di Balik Frekuensi.. ... 61

4.1.3.2 Interpretasi terhadap Film Di Balik Frekuensi... ... 65

4.1.3.3 Pengetahuan Seputar Konglomerasi Media ... ... 83

4.2 Pembahasan ... 91

4.2.1 Posisi Penonton ... 91

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Saran ... 98

5.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis... 100

5.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis ... 101

DAFTAR REFERENSI


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1

Model Encoding-Decoding Stuart Hall ... 19

2.2

Model Teoritik... 39

3.1 Model Encoding-Decoding Stuart Hall ...44


(5)

Nomor Judul Halaman 4.1 Bagan Posisi Penonton ... 91


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Open Coding, AxialCoding dan Selective Coding

Transkrip Wawancara

Tim Produksi Film Di Balik Frekuensi

Dokumentasi Aktivitas Film Di Balik Frekuensi

Biodata Peneliti


Dokumen yang terkait

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

6 105 126

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 1 28

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 25

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 6 18

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 2

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 9

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 4 30

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 72