Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

18

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) film dokumenter
didefinisikan sebagai dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa
bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar
dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan. Sebagai salah satu contoh
pengaplikasian pengembangan wacana di kehidupan sosial, film dokumenter lebih
terkesan jujur, tanpa proses rekayasa, dan apa adanya. Hal ini disebabkan oleh
perannya sebagai cerminan kehidupan dari fenomena yang sedang terjadi dan
hangat diperbincangkan oleh masyarakat luas.
Film dokumenter di Indonesia

diawali oleh gagasan Soekarno saat

mendirikan TVRI (Televisi Republik Indonesia). Warna film dokumenter pada
saat itu memang telah berpijak pada konteks kejurnalistikan. Artinya, isi dari film
dokumenter lebih banyak mengungkapkan sisi negatif dan kritis terhadap sesuatu

fenomena yang notabene sedang menjadi kontroversi sosial.
Sejarah film dokumenter di Indonesia memang tidak sejelas film-film fiksi
yang lebih populer. Namun dalam satu dekade terakhir, film dokumenter di
Indonesia mulai berkembang pesat. Tema-tema yang diangkat oleh film-film
dokumenter itu pun semakin beragam, yaitu antara lain tema sosial-politik, seni,
perjalanan, petualangan, dan komunitas. Perlahan-lahan film dokumenter mulai
diputar di televisi. Pada tahun 1996, film dokumenter “Anak Seribu Pulau” yang
diciptakan Mira Lesmana dan Riri Riza menjadi film dokumenter pertama yang
tampil di layar televisi.Berikutnya pada tahun 2002 muncul film dokumenter
pertama yang ditampilkan di bioskop Indonesiaberjudul “Student Movement in
Indonesia”. Film karya Tino Sawunggalu itu menceritakan peristiwa Mei 1998
secara nyata. Sejak saat itu, dunia perfilman dokumenter Indonesia berkembang
secara dinamis.
Dalam sebuah situs online resmi, diterangkan bahwa sejak orde baru
dalam film dokumenter juga sudah tampak keragaman yang sejatinya memiliki
konflik dan masalah. Film dokumenter memiliki potensi dan kapasitas untuk

Universitas Sumatera Utara

19


mengangkat fakta keberbedaan dan keragaman yang besar. Dari hasil analisis,
ditemukan gejala yang menarik yakni dari 832 scene yang dicoba di-kuantifikasi,
isu identitas muncul sebesar 26,4%, etnisitas 59,2%, agama 38,82%. Tapi konflik
tidak banyak muncul.
Selanjutnya Budi Irawanto dalam catatan hasil diskusi dengan tema
“Dokumenter Indonesia: Sejarah Pasca Reformasi Orde Baru” bersama tim
Festival Film Dokumenter pada tahun 2011 mengatakan:
“Belum ada perlakuan kreatif terhadap beberapa fakta, mungkin karena
pendekatan yang alamiah. Film dokumenter belum cukup memantik
imajinasi sebagai daya menggerakkan massa atas dasar keberbedaan.
Kecenderungan yang bersifat deduktif dan normatif sehingga film
dokumenter

tidak

lagi

memiliki


daya

gugah

(persuasi)”.

(www.komunitasfilm.org).
Namun hal ini dapat ditembus batas oleh seorang penggiat film
dokumenter bernama Ucu Agustin. Pada Desember 2005, skrip film dokumenter
pendek Ucu yang berjudul Death In Jakarta memenangkan JIFFEST Script
Development Competition, dan sejak itu ia terus membuat beberapa film
dokumenter hingga Februari 2009, film dokumenter Ragat’e Anak yang tergabung
dalam Antologi Pertaruhan (judul Internasional: At Stake, produksi Kalyana Shira
Foundation) membawanya ke Berlinale Film Festival. At Stake menjadi film
dokumenter Indonesia pertama yang masuk dalam sesi Panorama Documente
pada festival film—tertua setelah Cannes—yang diadakan di Jerman tersebut.
(http://behindthefrequency.com/)
Ucu Agustin kemudian memproduksi sebuah film dokumenter garapannya
pada tahun 2012 yang berjudul “Di Balik Frekuensi”. Melalui film itu ia telah
membuktikan bahwa karya anak negeri telah memberi warna baru yang memiliki

daya gugah. Sebab selain berani mengambil sudut pandang lebih dari satu
perspektif terkait fenomena wajah media massa di Indonesia, film ini dengan alur
yang apik mampu menggiring penonton terhadap pengertian “untuk siapa media
massa ada?” hingga memberikan sasaran yang tepat dalam memberikan
pengertian kepada penonton yang masih “buta media” mengenai gejala pemusatan
kepemilikan media massa yang mulai meresahkan konsumen media massa.

Universitas Sumatera Utara

20

Utamanya, sebagai salah satu karya jurnalistik film ini juga mengkritik mengenai
perkembangan media massa yang membahas tentang bagaimana stasiun televisi
menggunakan frekuensi dan menyalahgunakan jurnalisme untuk kepentingan
politik pemilik usaha media massa di Indonesia.
Adapun pemutaran perdana film dokumenter "Di Balik Frekuensi", yaitu
pada hari Kamis, 24 Januari 2013 pukul 19.00 WIB, di Blitz Megaplex Grand
Indonesia - Jakarta.
Sinopsis Film Dibalik Frekuensi:
Bercerita mengenai kisah 'Di Balik Frekuensi' publik yang terjadi di

Indonesia, film dokumenter ini mengajak publik untuk melihat apa yang
kini tengah terjadi di dunia media di negara kita, khususnya berkenaan
dengan media yang menggunakan frekuensi publik sebagai sarananya:
televisi.
Setelah reformasi, dengan cepat konglomerasi media menjadi corak
industri media di Indonesia dan semakin hari kita menyaksikan pola itu
berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam dan segera
seolah menjadi darah dan daging yang menjalankan sistem operasi media
di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online,
radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita simak, kita lihat, kita
dengar setiap hari ternyata cuma dikendalikan oleh 12 group media saja.
Group-group

media

dengan

pemilik-pemilik

yang


memiliki

kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangantayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasikan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik.
Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di Metro TV, diPHK kan karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak
pada pekerja, dan ia juga mengkritisi newsroom. Hari Suwandi dan Harto
Wiyono adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan
kaki dari Porong - Sidoarjo ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu
bulan demi tekad untuk mencari keadilan bagi warga korban Lapindo
yang pembayaran ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum
lagi terlunasi.

Universitas Sumatera Utara

21

Melalui dua kisah tersebut, film dokumenter ini akan membawa kita pada
perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna 'apa itu media'?
Seperti apakah seharusnya media bekerja? Untuk siapakah mereka
ada? (http://behindthefrequency.com/home/synopsis)

Film dokumenter Di Balik Frekuensitelah meraih penghargaan
Special Jury Mention dalam Festival Film Dokumenter 2013. Dalam catatan
dewan juri disebutkan bahwa film ini merupakan sebuah film dengan pesan
yang sangat aktual dan kontekstual, sekaligus krusial tentang praksis media
massa dan jurnalisme di Indonesia. Film ini adalah peringatan keras tentang
praktek politik di balik bisnis media massa, dari mata seorang ibu yang
berada dalam pusarannya. Film ini membuka mata dengan keterampilan
menggunakan

bahasa

film

yang

efektif(www.ffd.or.id/2013/12/peraih-

penghargaan-kompetisi-film.html?m=1).
Dirunut mengenai perkembangan media massa di Indonesia, fenomena
yang terlihat saat ini cenderung tidak memiliki batasan tertentu dalam menyiarkan

ragam informasi. Hal ini ditandai dengan adanya kebebasan pers yang didukung
oleh UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Kedua regulasi ini mampu secara praktis mendorong demokrasi
informasi sekaligus membuka industri media massa yang luas. Selain itu juga
mempengaruhi peran pers sebagai pilar ke-4 demokrasi yang menjadi alat kontrol
sosial dan penyalur aspirasi publik yang efektif.
Namun disisi lain, keberadaan kebebasan pers justru tidak benar terjadi
seperti yang diharapkan. Karena pada praktiknya banyak ditemukan bahwa isi
media massa ternyata banyak dipengaruhi oleh intervensi dari pemilik industri
media massa itu sendiri. Dengan cara memaksimalkan keuntungan yang
berdampak mengorbankan objektivitas berita, lalu sumber-sumber berita yang
akhirnya harus bertahan yang berdasarkan bias, sehubungan dengan berita dimana
mereka memiliki konflik kepentingan.
Media pasca reformasi telah banyak diprediksi banyak pihak akan
memberikan banyak dampak pada berbagai aspek di kehidupan masyarakat
Indonesia. Setelah lepas dari masa orde baru yang cenderung otoriter dalam
membatasi ruang gerak masyarakat dalam menerima informasi secara bebas. Kini

Universitas Sumatera Utara


22

warna media yang mengikuti sistem demokrasi kenegaraan Republik Indonesia
telah berkembang dengan pesat. Salah satu dampak yang dikhawatirkanpun
muncul, yakni pola kepemilikan media yang cenderung terbatas namun
mempunyai cabang dengan banyak industri media kecil lainnya
Hal ini tentunya tidak akan menjadi masalah jika para pemilik modal
murni menjalankan industri media massa hanya sebagai bisnis semata. Namun
gejala yang terlihat saat ini adalah kenyataannya pemilik media yang memiliki
saham besar terhadap industri media massa hanya terdiri dari dua belas orang saja.
Utamanya, dari kedua belas orang tersebut adalah pemilik besar terhadap ribuan
kanal media dari berbagai platform baik itu cetak, elektronik, maupun berbasis
internet. Fenomena yang ada saat ini memeperlihatkan bahwa pemilik media ada
yang berkiprah di dunia politik. Hal ini tentunya menggelisahkan sekali apabila
pemilik modal sampai mencampuradukkan kepentingan politiknya di atas
kepentingan publik. Dan media dijadikan alat untuk meningkatkan popularitas
pemilik media. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan
meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan kesan
yang positif dari diri sang pemilik.
Contohnya, pemaparan mengenai perbedaan sudut pandang dalam

menyajikan berita dalam film Di Balik Frekuensi pada menit ke 00:54:00 yakni,
pemberitaan mengenai kasus meluapnya lumpur gas dari perusahaan Lapindo di
Sidoarjo. Sudut pandang pemberitaan pada TV One menyebutkan “Lumpur
Sidoarjo”, sedangkan sudut pandang pemberitaan pada Metro TV menyebutkan
“Lumpur Lapindo”. Hal ini pun dilatarbelakangi oleh pemilik media dimana
perusahaan gas Lapindo merupakan salahsatu perusahaan Abu Rizal Bakrie yang
juga pemilik stasiun televisi TV One. Berdasarkan contoh diatas jelas kali isi
berita secara sengaja di setting sedemikian rupa guna menutupi cela pemilik
media. Hingga pada akhirnya mengabaikan eksistensi kebebasan pers itu sendiri.
Terkait kebebasan pers itu sendiri diperkuat dengan kutipan pidato
Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono,
dalam acara Hari Ulang Tahun LKBN ANTARA ke-76 di Jakarta seperti yang
diberitakan oleh surat kabar Sinar Indonesia Baru edisi 19 Desember 2013,
halaman 16 menyatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

23

“...yang juga bisa merusak peran pers yang konstruktif, pers yang

menjalankan kode etik jurnalistik manakala pemilik modal melakukan
intervensi yang tidak sehat, sehingga pers kehilangan kemerdekaannya,
kehilangan apa yang harus dilakukan untuk menjalankan misinya.”
Dimmick & Rothenbuhler (1984: 103-119) mengemukakan bahwa ada
tiga sumber kehidupan bagi media, yaitu content, capital, dan audiences. Content
terkait isi dari sajian media, misalnya program acara (Televisi dan Radio),
berita/feature, dan lain sebagainya. Capital

menyangkut sumber dana untuk

menghidupi media. Sedangkan audience terkait dengan masalah segmen yang
dituju. Ketika media lebih mengedepankan konten dan penonton tentu sajian isi
media sesuai dengan konsep yang ideal (Harahap, 2013: 2).
Media massa kini berusaha untuk mencari pengeluaran minimal demi
mendapatkan penghasilan yang maksimal. Hal inilah yang kemudian mendorong
terjadinya komersialisasi media massa. Konsentrasi dari pemilik media juga
merupakan hal yang penting untuk dilihat dalam menentukan struktur pasar
media. Hal ini sejalan dengan tulisan Lin and Chi (2003) dalam situs jurnal
akademika yang menyebutkan,
“…the concentration of sellers is the most important factor because it
determines a great deal of the structure of a market, and most researchers
use this criterion to define the type of market structure”.
Inilah yang menjadi gejala baru dalam fenomena media massa dewasa ini
yakni, pemusatan kepemilikan media atau biasa disebut konglomerasi.
Konglomerasi media ini ditandai dengan munculnya anak cabang dari perusahaan
induk media yang jumlahnya tidak sedikit. Dennis McQuail, menyebut fenomena
media massa modern ini sebagai dwi-karakter atau karakter media ganda.
McQuail lebih jauh menyebut media memiliki karakter yang tidak terpisahkan
yakni, karakter sosial-budaya-politik dan karakter ekonomi. Dimana, faktor
ekonomi menjadi penentu terhadap perkembangan industri media massa. Serta
menjadi bahan pertimbangan bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan
dikelola. Dalam perspektif konglomerasi media, publik hanya dilihat sebagai
pasar (market). Dengan kata lain, segala informasi yang disajikan melalui media
massa semata-mata untuk kepentingan profit pemilik media, bukan lagi untuk

Universitas Sumatera Utara

24

kepentingan publik yang harus dicerdaskan sesuai dengan nilai-nilai yang tertera
pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-3.
Paparan mengenai siapa saja pemilik media di Indonesia pada film Di
Balik Frekuensi dimulai pada durasi 01:20:10. Adapun data yang diperoleh adalah
sebagai berikut: Indonesia memiliki 1248 stasiun radio, 1706 media cetak, 76
stasiun televisi, 176 stasiun televisi yang sedang mengajukan ijin siaran, serta
ribuan portal berita media online. Dari ribuan kanal media yang ada di Indonesia
hanya 12 orang saja pemiliknya, yakni :
1. Erick Tohir (Mahaka Media Group)
2. Eddy Kusnadi Sariatmadja (Elang Mahkota Teknologi)
3. Jacoeb Oetama (Kompas Media Group)
4. Hary Tanoesoedibjo (Media Nusantara Citra Group)
5. Dahlan Iskan (Jawa Pos Group)
6. Chairul Tanjung (Transcorp)
7. James Riyadi (Lippo Group)
8. Soetikno Soedarjo (MRA Media Group)
9. Surya Paloh (Media Group)
10. Abu Rizal Bakrie (Visi Media Asia)
11. Pia Alisjahbana (Femina Group)
12. Yayasan Tempo (PT.Tempo Inti Media)
Film Di Balik Frekuensi layak diteliti sebab secara tidak langsung film ini
mengandung daya tarik tersendiri dalam menguak kisah nyata fenomena
konglomerasi media di Indonesia. Kehadiran film ini juga menuai banyak pro dan
kontra dari berbagai kalangan. Wacana konglomerasi media yang sedang marak
terjadi di Indonesia dikupas secara terbuka. Uniknya, film ini juga tidak hanya
mengambil sudut pandang kepemilikan media saja, tetapi juga sudut pandang para
jurnalis dan masyarakat yang rentan menjadi korban atas perlakuan para pemilik
modal khususnya pada industri media massa.
Film Di Balik Frekuensi ini diproduksi memiliki makna atau ideologi yang
ingin disampaikan. Makna tersebut bisa disampaikan melalui bahasa atau teks
media. Bahasa dan teks media mendapatkan makna saat penerimaan (resepsi),
yaitu pada saat penonton mulai membaca, melihat, ataupun mendengar konten

Universitas Sumatera Utara

25

informasi. Penonton dalam hal ini dilihat sebagai produser makna dan bukan
hanya sebagai konsumen konten media. Pada saat penerimaan makna inilah
kealamiahan berpikir penonton bergerak menafsirkan keseluruhan konten film
berdasarkan latar belakang budaya dan pengalaman subjektif yang mereka alami
dalam kehidupan masing-masing.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai interpretasi penonton terhadap konglomerasi media dalam film Di Balik
Frekuensi yang disutradarai oleh Ucu Agustin dengan menggunakan studi
penerimaan (resepsi) Stuart Hall.

1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan di atas, penelitian ini menarik
fokus masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan pokok berikut:
“Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media dalam Film
Dokumenter Di Balik Frekuensi?”

1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian ini lebih jelas
dan terarah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:
1. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis studi
resepsi.
2. Penelitian ini ditujukan kepada jurnalis media dan analis media yang
berdomisili di Kota Medan dan sudah menonton Film Dokumenter “Di
Balik Frekuensi”.
3. Penelitian ini akan dimulai pada bulan Juli 2014 hingga selesai.

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui interpretasi yang diberikan penonton terhadap
konglomerasi media pada film dokumenter Di Balik Frekuensi.
2. Untuk mengetahui posisi penonton dalam menanggai konglomerasi media
dalam film Di Balik Frekuensi.

Universitas Sumatera Utara

26

1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoretis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah
keilmuan peneliti dan pembaca mengenai studi resepsi interpretasi.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan
dan pengetahuan pembaca agar lebih memahami pemaknaan sesuatu pada
media tertentu.
3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan
sebagai sumber bacaan, khususnya dalam bidang kajian studi resepsi
interpretasi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

6 105 126

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 46 197

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 1 28

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

0 0 25

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 6 18

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 2

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 4 30

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 72