Analisis Hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG

DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Oleh :

Muhammad Syifaul Ansori NIM. C72213150

Prodi Hukum Ekonomi Syariah Jurusan Hukum Perdata Islam Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

Data penelitian ini dihimpun dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, dokumentasi dan wawancara. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan menjelaskan data-data yang diperoleh. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pola pikir induktif yaitu dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus kemudian ditarik ke hal-hal umum sehingga memperoleh kesimpulan.

Hasil penelitian menyatakan bahwa praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ini dilakukan murtahin ketika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya sebesar Rp. 6.000.000,- selama dua tahun maka barang jaminan milik ra>hin akan ditahan dan kemudian disewakan kepada pihak lain senilai Rp. 5.000.000,- dengan jangka waktu tiga tahun. Menurut analisa rahn, secara teori penahanan sawah saat ra>hintidak mampu melunasi hutangnya ketika jatuh tempo tidak diperbolehkan, namun praktik penahanan sawah yang terjadi di Desa Kebalan Pelang itu merupakan suatu kebiasaan yang telah terjadi sejak lama dan juga kedua belah pihak saling rela dalam hal hanya melakukan penahanan sehingga praktik seperti itu diperbolehkan. Sedangkan dilihat dari analisa ija>rah, maka hukum penyewaan barang jaminan itu sah karena telah sesuai dengan ketentuan ija>rah dan pembolehan itu dikarenakan Bapak Sidik (murtahin) memiliki hak milik na>qis (pemanfaatan) terhadap barang jaminan tersebut..

Sejalan dengan hasil penelitian di atas, penulis sarankan kepada para pihak untuk melaksanakan kewajiban masing-masing, bagi pihak ra>hin diharapkan untuk membayar hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang disepakati, sedangkan bagi pihak murtahin, agar jika ingin menyewakan barang jaminan sebaiknya meminta izin dan memberitahu terlebih dahulu kepada pemilik aslinya.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 16

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian ... 18

I. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II RAHN,IJA<RA H,DAN HAK MILIK DALAM ISLAM A.Rahn 1. PengertianRahn ...27

2. Dasar HukumRahn ... 29

3. Rukun dan Syarat Rahn ...31

4. Berakhirnya AkadRahn ...35


(8)

ix

6. PenyelesaianRahn ...39

B.Ija>rah 1. PengertianIja>rah ...40

2. Dasar HukumIja>rah ...43

3. Rukun dan Syarat Ija>rah ...45

4. Ketentuan PadaIja>rah ...53

C. Hak Milik 1. Pengertian Hak ... 56

2. Pengertian Milik ... 57

3. Macam-Macam Hak Milik ... 58

4. Sebab-Sebab Kepemilikan dalam Islam ... 60

BAB III PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN A. Gambaran Umum Desa Kebelan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan 1. Keadaan Geografis ... 61

2. Keadaan Demografis ... 62

B. Praktik Penahanan Sawah sebagai Jaminana pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan 1. Faktor Mencuatnya Hutang Piutang dengan Jaminan di Desa Kebalan Pelang ... 64

2. Masyarakat yang Melakukan Akad Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang ... 66

3. Proses Terjadinya Transaksi Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang ... 66

4. Praktik Penahanan Sawah di Desa Kebalan Pelang ... 68

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN A. Analisis Pelaksanaan Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan... 75


(9)

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 88 B. Saran ... 89 DAFTAR PUSTAKA


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang ditakdirkan untuk hidup dalam masyarakat yang mana manusia pasti memerlukan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Interaksi sosial antara satu manusia dengan manusia lainnya ini disebut dengan muamalah.1 Dalam hal ini Islam telah mengatur

banyak hal dalam bidang muamalah, yakni bidang yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan-persengketaan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan muamalah tersebut, salah satunya yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan atau yang disebut juga dengan akadar-rahn.2

Dalam dunia modern saat ini, banyak sekali masyarakat kita yang telah melakukan praktik hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan. Praktik seperti ini pada lingkup masyarakat sendiri dianggap sebagai suatu transaksi yang bisa dilakukan dengan cepat tanpa harus takut kehilangan barang yang telah di jaminkan. Karena jika seseorang bisa melunasi hutangnya maka barang jaminan tersebut akan kembali kepadanya.

1

Ahmad Azhar Basyir, A sas-asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam), edisi revisi,

(Yogyakarta: UII Press, 2000), 11.

2

Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2005), 5.


(11)

2

Dengan model transaksi yang seperti inilah akadrahn merupakan salah satu akad yang dianggap menguntungkan bagi para pihak yang melaksanakan akad tersebut.

Praktik hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan ini kembali mencuat setelah banyaknya masyarakat sekitar kita yang telah melakukan akad tersebut untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Banyak sekali hal atau alasan yang melatar belakangi terjadinya praktik hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan diantaranya adalah prosesnya yang bisa dibilang cepat dan sederhana sehingga mereka (orang yang berhutang) bisa mendapatkan uang yang mereka butuhkan dengan cepat hanya dengan menjaminkan barang yang mereka miliki. Alasan lain yang melatar belakangi terjadinya praktik hutang piutang tersebut adalah karena dalam akad rahn, orang yang menjaminkan barangnya masih dianggap sebagai pemilik barang tersebut meskipun barang itu telah dijadikan jaminan, sehingga orang yang menjaminkan barangnya tidak begitu khawatir akan kehilangan barang tersebut karena ketika dia bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut akan kembali kepadanya.

Pada dasarnya kegiatan hutang piutang dengan menggunakan jaminan ini dalam Islam biasa disebut dengan rahn. Secara bahasa, rahn berarti

“as-Thubu>t wa ad-Dawa>m”yang diartikan tetap dan


(12)

3

H{absu wa al-luzu>m” yang artinya pengekangan dan keharusan.3 Adapun

secara istilah para ulamafiqhmendefinisikan akadrahnsebagai berikut :

Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.4

Menurut Syafi’i Antonio rahn adalah suatu akad dimana seseorang menahan salah satu benda atau harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.5 Maksudnya adalah bahwa dalam hal ini orang yang meminjam (ra>hin) harus memberikan atau menyediakan barang yang dimilikinya untuk dijadikan jaminan atas hutangnya kepada orang yang memberi pinjaman (murtahin). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rahn adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.6

Sebagaimana telah dikemukakan beberapa pengertian ar-rahn

menurut pendapat para ulama fiqh, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

ar-rahnadalah transaksi hutang piutang dimana pihak yang berhutang (ra>hin) harus bersedia menyerahkan barang miliknya sebagai jaminan kepada orang yang memberinya pinjaman (murtahin) dan barang tersebut bisa kembali kepada penggadai dengan cara menebusnya. Bahwa sudah jelas barang yang diserahkan kepada penerima gadai hanyalah sebatas jaminan.

3

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 159.

4

Ibid.

5

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia

Institute, 1999), 182. 6


(13)

4

Dasar hukum tentang dibolehkannya transaksi rahn ini dijelaskan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 yaitu :

                            

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS al-Baqarah : 283)7

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa suatu transakti hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan itu diperbolehkan dalam Islam. Apabila antara dua orang yang melakukan transaksi (ra>hindanmurtahin) tidak saling percaya, maka murtahin boleh meminta suatu barang dari ra>hin untuk dijadikan jaminan.

Rahnsendiri bukan merupakan suatu akad atau transakti yang baru di kalangan masyarakat. Bahkan pada zaman dahulu Rasulullah Saw pernah melakukan transaksi tersebut dengan menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi. Sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat yaitu :

)

:

(

7


(14)

5

“Dari Aisyah ra berkata, bahwa seseungguhnya Nabi SAW. membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”8

Pada praktiknya, sering terjadi perbuatan atau tindakan dari masing-masing pihak yang belum sesuai dengan ketentuan hukum Islam, seperti halnya penahanan terhadap barang jaminan tersebut. Berkaitan dengan penahanan terhadap barang jaminan pada ra>hin yang tidak bisa membayar hutangnya saat jatuh tempo. Obyek gadai atau barang jaminan yang harusnya dijual untuk melunasi hutang rahin>, tetapi masih banyak sekali orang yang ketika ra>hin tidak bisa membayar hutangnya saat jatuh tempo, barang jaminan tersebut akan terus ditahan olehmurtahin.

Adapun berkaitan dengan ra>hin yang tidak mampu membayar atau melunasi hutangnya saat jatuh tempo maka murtahin diperbolehkan memberikan jangka waktu lagi untuk ra>hin agar melunasi hutangnya. Jika memang dalam jangka waktu yang telah diberikan oleh murtahin tenyata

ra>hinmampu melunasi hutangnya maka tidak ada masalah lagi, dalam artian hutang ra>hintelah lunas danmurtahin harus mengembalikan barang jaminan kepada pemiliknya yaitura>hin.

Akan tetapi jika dalam jangka waktu yang telah diberikan oleh

murtahin ternyata ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya sebagaimana ketentuan dalam hukum Islam, maka barang jaminan tersebut haruslah dijual untuk dijadikan pelunasan hutang. Jika dalam penjualan barang jaminan tersebut terdapat kelebihan dari jumlah hutangnya maka harus dikembalikan 8

Imam Zainudin Achmad bin Al-Lathif Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari,Penerjemah:


(15)

6

kepada ra>hin. Adapun jika dari hasil penjualan barang jaminan tersebut masih kurang untuk menutupi hutang dari ra>hin maka murtahin berhak meminta kekurangannya kepadara>hin.9

Berkaitan dengan penjualan barang jaminan terhadap ra>hin yang tidak mampu melunasi hutangnya saat jatuh tempo para ‘ulama sepakat bahwa penjualanmarhun(barang jaminan) ini bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara berikut : Pertama, Jika ra>hin bersedia menjual barang jaminan itu sendiri dan marhun (barang jaminan) berada pada ra>hin maka penjualannya dilakukan oleh ra>hin sendiri. Akan tetapi jika marhun telah dikuasai atau ditahan oleh murtahin,maka sebelum menjual barang jaminan tersebut ra>hin harus meminta izin kepada murtahin untuk melakukan penjualan terhadap barang jaminan tersebut. Kedua, Jika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo dan dia tidak mau menjual barang jaminannya maka hakim berhak atau bahkan diharuskan memaksa ra>hin untuk menjual barang jaminannya sebagai pelunasan hutang.10

Adapun praktik hutang piutang dengan menggunakan sawah sebagai jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yaitu ketika seseorang membutuhkan dana cepat maka ia akan meminjam/berhutang kepada orang yang dianggap mampu pada desa tersebut dengan cara ra>hin (orang yang menjaminkan sawahnya) datang

9

Wahbah az-Zuhaili,Fiqih Islam W a A dillatuhu, Jilid 6, Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, cet 1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 262


(16)

7

kepada murtahin (yang memberi pinjaman) untuk meminjam sejumlah uang dengan menjadikan sawahnya sebagai jaminan.11

Ketika murtahin dan ra>hin melakukan transaksi hutang piutang tersebut hanya disaksikan oleh beberapa orang dari keluarga murtahin tanpa adanya bukti tertulis yang menyatakan bahwa ra>hin telah meminjam sejumlah uang kepada murtahindan menjadikan sawahnya sebagai jaminan. Kemudian setelah transaksi hutang piutang dilakukan oleh kedua belah pihak danra>hinmenjaminkan sawahnya kepadamurtahin, maka jangka waktu akan dimulai pada hari itu juga.

Berkaitan dengan jangka waktu pelunasan hutang pada hutang piutang dengan menjadikan sawah sebagai jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan, murtahin sebagai orang yang menerima barang jaminan dan ra>hin sebagai orang yang berhutang sepakat dengan jangkan waktu 2 tahun untuk melakukan pelunasan. Apabila setelah jatun tempo ra>hin mampu membayar hutangnya maka barang jaminan berupa sawah akan dikembalikan langsung kepadara>hin. Namun, jika setelah jatuh tempo ternyatara>hintidak mampu membayar atau melunasi hutangnya maka barang jaminan tersebut ditahan oleh murtahin sampai dengan ra>hin melunasi hutangnya.

Setelah murtahin menahan barang jaminan milik ra>hin karena tidak bisa melunasi hutangnya, maka murtahin akan menyewakan barang jaminan tersebut kepada pihak lain. Penyewaan barang jaminan ini dilakukan sampai

11


(17)

8

ra>hin mampu membayar hutangnya secara lunas, namun apabila ra>hin mampu membayar hutangnya sedangkan sawahnya masih disewakan kepada pihak lain, maka pelunasan hutang dan pengembalian barang jaminan akan dilakukan setelah masa sewa selesai.12

Berdasarkan latar belakang di atas maka jelas bahwa dalam Hukum Islam ketika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo maka barang jaminan dalam hal ini adalah sawah seharusnya dijual untuk dijadikan pelunasan terhadap hutang dari ra>hin. Sedangkan praktik hutang piutang dengan memberikan jaminan berupa sawah di Desa Kebalan Pelang ini berbeda dengan teori rahn, hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengangkat transaksi seperti ini menjadi sebuah judul. Karena transaksi rahn di desa tersebut telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang membutuhkan dana cepat dan bahkan seseorang bisa melakukan transaksi ini beberapa kali, serta transaksi model seperti ini sudah sekian lama dilakukan oleh masyarakat desa tersebut. Maka dari itu penulis melakukan penulisan dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan”.


(18)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah menginfentaris persoalan atau masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian ini.13

Berdasarkan penjelasan sebagaimana pada latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

b. Tata cara pengambilan jaminan di di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

c. Proses terjadinya akad hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

d. Pemberian jangka waktu untuk pelunasan hutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

e. Penyewaan barang jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

f. Fungsi jaminan bagi masyaratak Desa Kebalan Pelang

g. Faktor masyarakat memilih hutang piutang dengan menjaminkan sawah di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

13


(19)

10

h. Analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

2. Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis membatasi pada permasalahan sebagai berikut :

a. Praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

b. Analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini terdapat dua rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan?


(20)

11

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.14Penelitian mengedai gadai atau rahn ini memang bukan pertama kali,

namun penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas tentang penyalahgunaan sawah gadai dalam bentuk penahanan sawah gadai terhadapra>hinyang tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo.

Adapun beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. “Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Gadai Sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”. Skripsi yang ditulis oleh Siti Holifah pada tahun 2015 ini membahas tentang tradisi gadai yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang mana ketika kedua pihak melakukan transaksi gadai maka sawah gadai tersebut akan langsung dimanfaatkan oleh pemegang gadai (murtahin). Pemanfaatan terhadap sawah gadai tersebut juga tanpa adanya jangka waktu, jadi selama ra>hin

belum mampu membayar hutangnya maka sawah gadai tersebut akan terus dimanfaatkan olehmurtahin.

Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa tradisi gadai sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang belum sesuai 14

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis


(21)

12

dengan hukum Islam. Sebab pemanfaatan dari sawah gadai tersebut menurut hukum Islam tidak diperbolehkan karena sawah tersebut hanya dipandang sebagai amanah dari ra>hin kepadamurtahin atas pinjaman dan murtahintidak harus mengganti kerusakan kecuali karena tindakannya.15

2. “Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik”. Skripsi yang ditulis oleh Rizky Ardiansyah pada tahun 2015 ini membahas tentang

ra>hinyang tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo kemudian dilakukan penjualan terhadap sawah yang digadaikan olehnya. Namun, hasil penjualan sawah tersebut melebihi jumlah hutang dari ra>hin dan kelebihannya tidak dikembalikan olehmurtahinkepadara>hin.

Dalam kesimpulannya, penulis menjelaskan bahwa praktik pengambilan sisa penjualan barang jaminan di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik tidak dibolehkan dalam Islam karena kelebihan tersebut termasuk tambahan dari hutang dan setiap hutang yang menarik tambahan merupakanriba’.16

3. “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Tanah Sawah Gadai Untuk Penanaman Tembakau di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”. Skripsi yang ditulis oleh Arfan Santoso pada tahun 2014 ini membahas tentang kebiasaan para petani tembakau menggadaikan

15

Siti Holifah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Gadai Sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015) 16

Rizky Ardiansyah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Murtahin di Desa


(22)

13

sawahnya untuk modal penanaman berikutnya kepada orang kaya yang merantau ke luar negeri. Kemudian murtahin akan memanfaatkan sawah tersebut sampaira>hinmelunasi hutangnya.

Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa praktik gadai sawah di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun terhadap pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin diperbolehkan karena jika dilihat dari segi maslah{ah dan mafsadah-nya ternyata lebih tinggi maslah{ah-nya. Jika tidak ditanami maka sawah tersebut tidak subur lagi.17

4. “Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu dan Dampaknya Dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan”. Skripsi yang di tulis oleh Miftahul Jannah S pada tahun 2009 ini membahas tentang kebiasaan masyarakat sekitar menjaminkan atau menggadaikan sawahnya, kemudian secara otomatis sawah tersebut akan dimanfaatkan oleh murtahin tanpa adanya jangka waktu.

Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa akad gadai tersebut sangat bertentangan dengan Hukum Islam. Hal ini karena di dalamnya ada unsur kedhaliman yang terjadi pada salah satu pihak, yaitu murtahin

menguasai penuh terhadap pengelolaan dan pengambilan manfaat dari tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Hal ini jelas dilarang, karena

17

Arfan Santoso, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Tanah Sawah Gadai Untuk Penanaman Tembakau di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014)


(23)

14

bolehnya murtahinmengambil manfaat dari tanah tersebut hanya sekedar untuk biaya perawatan.18

5. “Pemanfaatan Tanah Pertanian Sebagai Barang Gadai Oleh Penerima Gadai Di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban (Analisis Hukum Islam)”. Skripsi yang di tulis oleh Dwi Novi Kustiya Ningsih pada tahun 2016 ini membahas tentang pengambilan manfaat oleh murtahin pada sawah yang dijadikan jaminan. Jika pada saat jatuh tempo ra>hin mau melunasi hutangnya namun tanah tersebut masih ada tanamannya, maka pelunasan dan pengembalian barang jaminan menunggu musim panen terlebih dahulu.

Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa menurut analisis hukum Islam pemanfaatan tanah pertanian oleh murtahin adalah bertentangan dengan hukum Islam. Sebab pertama, murtahin menutup akses ra>hin

untuk menggarap tanah miliknya sendiri dan memanfaatkan tanah pertanian tersebut sepenuhnya. Kedua murtahin memanfaatkan tanah pertanian tersebut sehingga memperoleh sejumlah keuntungan.19

6. “Analisis ‘Urf Terhadap Tradisi Hutang Dengan Sistem “Bologadai” Di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan”. Skripsi yang ditulis oleh Miftahul Jannah pada tahun 2016 ini membahas tentang pemanfaatan sawah jaminan tanpa adanya jangka waktu, selama ra>hin

18

Miftahul Jannah S, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu dan Dampaknya Dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009).

19

Dwi Novi Kustiya Ningsih, “Pemanfaatan Tanah Pertanian Sebagai Barang Gadai Oleh Penerima Gadai Di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban (Analisis Hukum


(24)

15

belum mampu melunasi hutangnya maka sawah tersebut akan terus dimanfaatkan oleh murtahin bahkan sampai turun temurun kepada anaknya. Jikara>hinmampu melunasi saat sawah tersebut masih ditanami oleh murtahin, maka pengembalian sawah harus menunggu musim panen terlebih dahulu.

Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa tradisi hutang dengan sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan termasuk ‘urf yang tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum syara’. Karena transaksi ini termasuk‘urf fa>sid

yang tidak diakui kehujjahannya karena bertentangan dengan dalil syara’ dan kurang memenuhi persyaratan dari rukunrahn.20

Berdasarkan dari bebrapa kajian yang telah diuraikan di atas maka jelas bahwa memiliki kesamaan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan. Persamaan yang dimaksud adalah bahwa penelitian terdahulu dengan penelitian dari penulis membahas tentang rahn atau hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan, dan yang lebih spesifik adalah ra>hin

memberikan barang jaminan berupa sawah. Sedangkan perbedaannya adalah pada beberapa kajian pustaka di atas membahas tentang pemanfaatan sawah gadai oleh murtahin, gadai tanpa adanya jangka waktu, dan juga membahas tentang pengambilan sisa uang penjualan barang jaminan. Sedangkan dalam penelitian ini penulis akan membahas penahahan sawah sebagai jaminan

20

Miftahul Jannah, “Analisis‘UrfTerhadap Tradisi Hutang Dengan Sistem “Bologadai” Di Desa

Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).


(25)

16

hutang piutang, jaminan yang harusnya dijual karena ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya ini akan ditahan dan kemudian disewakan olehmurtahin kepada pihak lain.

E. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. 2. Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum Islam terhadap penahanan

sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Kegunaan teoretis, dengan adanya peneitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang yang terjadi di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Serta menjadi acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan denganrahndanija>rah.


(26)

17

2. Kegunaan praktis, dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi masyarakat terhadap praktik rahn,khususnya bagi masyarakat Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yang terlibat serta dapat menjadi pedoman bagi masyarakat umum lainnya.

G. Definisi Operasional

Beikut adalah beberapa istilah kunci yang ada dalam judul skripsi ini, untuk memperjelas dan memperoleh gambaran kongkrit tentang arah dan tujuan yang terkandung dalam konsep penelitian ini :

Analisis Hukum Islam : Menganalisa sesuatu menggunakan

teori-teori yang berkaitan dengan Rahn, Ija>rah,dan Hak Milik. Penahanan Sawah Sebagai Jaminan : Perbuatanmurtahinyang menahan

sawah milikra>hinketika tidak bisa melunasi hutangnya saat jatuh tempo kemudian disewakan.

Hutang Piutang : Transaksi yang biasa dilakukan oleh

masyarakat Desa Kebalan Pelang

Kecamatan Babat Kabupaten

Lamongan ketika seseorang


(27)

18

memberikan suatu jaminan berupa sawah.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu konsep tentang metode penelitian, yaitu metode ilmiah yang tersusun secara sistematis yang diharapkan dapat menjelaskan dan menjawab suatu masalah yang dihadapi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini menggunakan penelitian lapangan (field research) yakni penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya terhadap praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu menguraikan atau menjabarkan kata-kata yang diperoleh dari data di lapangan.

3. Obyek Penelitian

Obyek penelitian menjelaskan tentang apa dan/atau siapa yang menjadi obyek penelitian, juga dimana dan kapan penelitian dilakukan, bisa juga


(28)

19

ditambahkan hal-hal lain yang dianggap perlu.21Penelitian ini dilakukan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

4. Data yang dikumpulkan

Adapun data yang dapat penulis kumpulkan dalam penelitian ini meliputi :

a. Data primer

1) Berkaitan dengan gambaran umum Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yang berisi letak geografis, luas wilayah, keadaan sosial ekonomi, agama dan pendidikan

2) Faktor mencuatnya praktik hutang piutang dengan memberikan jaminan di masyarakat Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

3) Jumlah masyarakat yang melakukan akad hutang piutang dengan memberikan jaminan

4) Praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang serta penyewaan barang jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

b. Data sekunder

Data yang penulis dapatkan dari literaturl-iteratur kepustakaan yang bisa berupa buku-buku, kitab atau artikel yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain :

21

Husein Umar,Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 303.


(29)

20

1) Konsep umum tentang rahn yang meliputi pengertian rahn, dasar hukum rahn, rukun dan syarat rahn, berakhirnya akad rahn, pemanfaatan barang jaminan, dan penyelesaianrahn.

2) TentangIja>rahyang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum ija>rah, \rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan padaija>rah.

3) Konsep Hak Milik dalam Islam. 5. Sumber Data

Sumber data adalah subyek darimana data itu diperoleh atau darimana sumber itu didapatkan. Sumber data yang penulis gunakan untuk dijadikan pedoman dalam literatur ini agar bisa mendapatkan data yang akurat terkait praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Meliputi data primer dan sekunder yaitu:

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang langsung diambil dari sumbernya. Dalam penelitian ini sumber data utamanya adalah beberapa orang yang terkait dalam praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yaitu :

1. Bapak Sidik, sebagaimurtahin dan orang yang menyewakan barang jaminan berupa sawah.

2. Ibu Maryam sebagaira>hin


(30)

21

4. Masyarakat Desa Kebalan Pelang yang terkait dengan penelitian ini, meliputi : Bapak Muslamet, Bapak Musrikan, Ibu Supinah, Bapak Musripan, Bapak Abdullah, Bapak Makin, Bapak Mustholeh, Bapak Jafar. b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang mendukung terhadap data primer. Data tersebut sebagian besar merupakan literatur yang terkait dengan konsep hukum Islam dan data ini bersumber dari buku-buku dan catatan atau dokumen tentang apa saja yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian. Beberapa diantaranya adalah :

1. Wahbah az-Zuhaili,Fiqh Islam W a A dillatuhu 2. Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah

3. Rahmat Syafe’i,Fiqih Muamalah

4. Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah

5. Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik

6. Ahmad Wardi Muslich,Fiqih Mu’amalah 6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang valid penulis menggunakan beberapa teknik di antaranya:

a. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara terjun langsung dan mengamati (melihat, mendengar, dan


(31)

22

merasakan secara langsung)22. Penggunaan teknik ini dilakukan untuk

melihat langsung proses terjadinya akad, praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan, serta melihat secara langsung penyewaan barang jaminan olehmurtahin.

b. Wawancara

Metode interview atau wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.23 Adapun data yang penulis peroleh dari hasil wawancara

kepada para pihak yang terkait dalam penelitian ini seperti orang yang berhutang, orang yang memberi pinjaman, penyewa, para saksi dan lainnya.

c. Dokumentasi

Metode dokumenter, yakni teknik mencari data berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Adapun dalam skripsi ini penulis mencari data yang berkaitan dengan penelitian seperti foto saat terjadinya transaksi, saat terjadinya proses penahanan sawah, dsb.

7. Teknik Pengolahan Data

22

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet. 12, (Bandung:

Alfabeta, 2012), 145.


(32)

23

Setelah mendapatkan beberapa data yang dibutuhkan, maka untuk mensistematisasikan data dan mempermudah penulis dalam melakukan analisa data, maka penulis mengolah data tersebut melalui beberapa teknik, sebagaimana berikut:

a. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang dikumpulkan.24 Adapun metode ini digunakan untuk memeriksa, meneliti serta mendeskripsikan data yang relevan dengan penelitian terhadap penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

b. Organizing

Organizing adalah metode atau langkah menyusun secara sistematis terhadap data yang telah dikumpulkan sehingga dapat digunakan untuk pembuatan skripsi seperti apa yang diinginkan oleh penulis yang terkait dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

c. A nalizing

A nalizing merupakan langkah selanjutnya terhadap teknik sebelumnya yaitu dengan menganalisa data yang terkait dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa

24


(33)

24

Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan sehingga memunculkan suatu kesimpulan.

8. Teknik Analisis Data

Analisis data, yaitu proses penyederhanaan data ke bentuk yang lebih mudah dibaca dan interpretasikan25. Berkaitan dengan skripsi ini penulis menganalisa sebuah data menggunakan teknik atau metode deskriptif analisis yaitu dengan cara menguraikan, menjabarkan, serta menjelaskan data yang telah dikumpulkan terkait dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Setelah itu penulis akan melakukan analisa terhadap semua data yang dikumpulkan untuk bisa mendapatkan suatu kesimpulan.

Penulis juga menggunakan metode pola pikir untuk menganalisa suatu data yaitu pola pikir induktif dengan cara menguraikan beberapa fakta yang terkait dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yang kemudian akan di fahami, di analisa, serta di ambil kesimpulan

.


(34)

25

I. Sistematika Pembahasan

Tujuan dari penyusunan sistematika pembahasan ini adalah untuk mempermudah dalam memahami penelitian ini dan agar penelitian ini lebih terarah sesuai dengan bidang kajian. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama, berisi pendahuluan yang memuat : latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisi landasan teori dan memuat sesuatu yang bekaitan dengan penelitian ini, yaitu konsep umum tentang rahn yang meliputi pengertian rahn, dasar hukumrahn, rukun dan syarat rahn, berakhirnya akad rahn, serta pemanfaatan barang jaminan, dan juga penyelesaian rahn. Serta membahas tentang ija>rah yang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum ija>rah, \rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan padaija>rah. Dan juga tentang teori hak milik meliputi pengertian hak dan milik, macam-macam hak milik, dan sebab terjadinya hak milik.

Bab ketiga, berisi tentang hasil penelitian atau data yang diperoleh penulis di lapangan meliputi gambaran umum yang berisi letak geografis yang meliputi luas wilayah, kemudian keadaan demografis yang meliputi keadaan agama dan pendidikan, keadaan sosial budaya, keadaan ekonomi, sarana dan prasarana, dan juga berkaitan dengan masalah yang diteliti meliputi faktor mencuatnya praktik hutang piutang dengan memberikan


(35)

26

jaminan di masyarakat, masyarakat yang melakukan akad hutang piutang dengan memberikan jaminan, proses terjadinya transaksi, serta praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang serta penyewaan barang jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

Bab keempat, berisi tentang analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.


(36)

27 BAB II

RA HN,IJA <RA HDAN HAK MILIK DALAM ISLAM

A. Rahn

1. PengertianRahn

Secara bahasa, rahn berarti

“as-Thubu>t wa

ad-Dawa>m” yang diartikan tetap dan kekal.1 Ada juga yang mengartikan

bahwa rahn sebagai

“al-H{absu wa al-luzu>m”yang artinya

pengekangan dan keharusan.2Allah Swt Berfirman :













“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (Q.S Al-Muddatsir : 38).3

Adapun secara istilahrahndiartikan sebagai berikut :

“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”4

1

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 5, Terj. Abu Syauqina, (t.tp.: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 125.

2

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,159.

3

Kementerian Agama Republik Indonesia, A l-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al-Fattah, 2013), 576.

4


(37)

28

Menurut Syafi’i Antoniorahnadalah suatu akad dimana seseorang menahan salah satu benda atau harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.5Maksudnya adalah bahwa dalam hal ini

orang yang meminjam (ra>hin) harus memberikan atau menyediakan barang yang dimilikinya untuk dijadikan jaminan atas hutangnya kepada orang yang memberi pinjaman (murtahin). Ada juga yang mengatakan bahwarahnadalah penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi hutang dimana hutang tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengannya.6

Sedangkan menurut para ulama’ yang dimaksud dengan rahn adalah :

a. Menurut ulama’ Syafi‘iyyah

“Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”.7

b. Menurut ulama’ Hanabilah

“Suatu jaminan berupa benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.”8

c. Menurut ulama’ Malikiyyah

5

Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum...,182.

6

Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah...,125.

7

Muhammad asy-Syarbini,Mughni al-Muhtaj,Juz II, (Beirut: Darul Ma’rifat, 1997), 121.


(38)

29

“Suatu benda yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).”9

Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh setiap ulama’ dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka (para ulama’) memiliki maksud yang sama dalam mendefiniskan rahn sebagai suatu akad hutang piutang dengan memberikan suatu barang jaminan yang dengannya bisa digunakan untuk melakukan pelunasan jikalau ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya.

2. Dasar HukumRahn

Dasar hukum terkait kebolehan melakukan akad rahn dijelaskan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan juga ijma’ para ulama’ sebagai berikut : a. Al-Qur’an

Kebolehan rahn dijelaskan pada al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 283 yaitu :

                                                         

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada

9


(39)

30

barang tanggungan yang dipegang10 (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Baqarah : 283)11

Sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas dapat difahami bahwa seseorang diperbolehkan untuk melakukan suatu transaksi bermuamalah dalam hal ini adalah rahn. Hal lain yang dapat diambil pada ayat tersebut bahwa dalam transaksi hutang piutang diperbolehkan untuk meminta jaminan yang dimaksudkan untuk menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan misalnya ra>hin tidak membayar hutangnya kemudian kabur dsb.

b. As-Sunnah

Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw juga pernah melakukan praktik rahnadalah sebagai berikut :

:

:

)

(

“Telah diriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-Hanz}aliy dan Ali bin H{asyram berkata : keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yu>nus bin ‘Amsyi dari Ibrahim dari Aswad dari A’isyah berkata :

10

Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.


(40)

31

bahwasanya Rasullullah saw, membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Muslim)12

c. Ijma’

Para ulama’ bersepakat terhadap kebolehan gadai atau rahn. Tidak seorangpun dari mereka memperselisihkan pembolehan atau pensyariatannya, meskipun mereka berselisih pendapat tentang pensyariatannya di tempat kediaman (tidak dalam perjalanan). Jumhur ulama’ berpendapat bahwa disyariatkannya gadai di tempat kediaman, sebagaimana disyariatkan dalam perjalanan karena Rasulullah Saw pernah melakukannya ketika tinggal di Madinah.

Dibatasinnya gadai dalam perjalanan pada ayat di atas adalah untuk mengungkapkan sesuatu yang sering terjadi karena gadai seringkali terjadi dalam perjalanan. Sementara Mujahid, Dhahhak, dan para ulama’ Zahiriah berpendapat bahwa pengadaian tidak disyariatkan kecuali dalam perjalanan, dengan bersandar kepada ayat di atas. Kemudian setelah itu pendapat mereka dibantah dengan menggunakan hadits Nabi Saw di atas.13

3. Rukun dan Syarat Rahn

a. RukunRahn

12

Husain Muslim bin Hajjaj Al Kusyairy An Naisaburi, S{ah}i>h }Muslim, juz 2, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1993),51.

13


(41)

32

Rukun merupakan suatu unsur yang harus ada dalam setiap akad, tanpa terpenuhinya suatu rukun akad maka akan mempengaruhi hasil akad tersebut, seperti tidak sahnya akad. Menurut jumhurulama’ terdapat empat rukunrahnyaitu :

1) Para pihak yang berakad, yakni orang yang menggadaikan (ra>hin) dan orang yang menerima gadai (murtahin).

2) Shighat(ija>bdanqabu>l)

3) Barang yang di gadaikan/jaminan (marhu>n) 4) Hutang (marhu>n bih)14.

b. Syarat-syarat Rahn

Syarat-syarat rahn ialah yang berkaitan dengan setiap rukun rahn itu sendiri, para ulama’ mengemukakan beberapa syarat rahn sebagai berikut :

1) Syarat bagi pihak yang berakad

Syarat yang terkait dengan orang yang berakad yaitu ahli tasharruf yakni orang yang mampu membelanjakan hartanya.15

Menurut ulama’ syafi’iyyah disyaratkan pula bagi para pihak yang berakad adalah seorang ahliyyah yaitu orang yang telah sah melakukan transaksi yakni berakal danmumayyiz,akan tetapi tidak disyaratkan harus orang yang baligh. Maka dari itu seorang anak

14

Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 107.


(42)

33

kecil yang sudah mumayyiz, dan orang bodoh yang mendapatkan izin dari walinya itu diperbolehkan melakukan akad.16

Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyyah, ahliyyah dalam rahn seperti ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan mudha>rat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.17

2) Syarats}i>ghat

Pernyatan ija>b qabu>l yang terdapat pada rahn tidak boleh digantungkan (mu’allaq) dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan hakikat rahn.18Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwas}i>ghat

dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena rahn sama dengan jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal danrahntetap sah.19

3) Syaratmarhu>n

Marhu>n adalah barang yang dijadikan jaminan oleh ra>hin. Para Ulama’ Fiqih sepakat mensyaratkan marhu>n sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut dapat

16

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,162.

17

Ibid.

18

Burhanuddin S,Fiqih Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah

Institute, 2009), 173.

19


(43)

34

dijual untuk memenuhi hak murtahin. Ulama’ Hanafiyah mensyaratkan marhu>n, antara lain: dapat diperjual belikan, bermanfaat, jelas, milikra>hin, bisa diserahkan, tidak bersatu dengan harta lain, dipegang (dikuasai) oleh ra>hin, harta yang tetap atau dapat dipindahkan.20

4) Syaratmarhu>n bih

Marhu>n bihadalah hak yang diberikan kepada ra>hin.Ulama’ Hanafiyyah memberikan beberapa syarat, yaitu

a) Marhu>n bih hendaklah barang yang wajib diserahkan. Menurut ulama’ selain Hanafiyah, marhu>n bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.

b) Marhu>n bih memungkinkan untuk dibayarkan. Jika marhu>n bih tidak dapat dibayarkan, rahnmenjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan disyari‘atkannyarahn.

c) Hak atas marhu>n bih harus jelas. Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhu>n bih tanpa dijelaskan utang mana menjadirahn.

Ulama’ Hanabilah dan Syafi‘iyyah memberikan tiga syarat bagimarhu>n bih:

a) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan. b) Utang harus lazim pada waktu akad.


(44)

35

c) Utang harus jelas dan diketahui olehra>hindanmurtahin.21

4. Berakhirnya AkadRahn

Rahn dipandang atau dianggap habis dengan beberapa keadaan sebagai berikut:

a. Marhu>ndiserahkan kepada pemiliknya.

Jumhur ulama’ selain Syafi‘iyyah memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan marhu>n kepada pemiliknya (ra>hin) sebab marhu>nmerupakan jaminan hutang. Jika marhu>ndiserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan marhu>n kepada rahi>n atau kepada orang lain atas izin ra>hin.

b. Dipaksa menjualmarhu>n

Rahn habis jika hakim memaksa ra>hin untuk menjual marhu>n, atau hakim menjualnya jikara>hinmenolak.

c. Ra>hinmelunasi semua utang.

Ketika ra>hin dapat melunasi hutangnya, maka rahn dianggap telah berakhir danmarhu>nharus dikembalikan kepadara>hin.

d. Pembebasan hutang

Pembebasan utang dalam bentuk apa saja menandakan habisnya rahnmeskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.

21


(45)

36

e. Pembatalanrahndari pihakmurtahin

Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin ra>hin. Sebaliknya, dipandang tidak batal jika ra>hinyang membatalkannya.

f. Ra>hinmeninggal

Menurut ulama’ Malikiyyah, rahn habis jika ra>hin meninggal sebelum menyerahkan borg kepadamurtahin.Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepadara>hin. g. Marhu>nrusak

h. Tas}arruf

Rahn dipandang habis apabila borg di-tas}arruf-kan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.22

5. Pemanfaatan Barang Jaminan

Ada perbedaan pendapat para Ulama’ mengenai pengambilan manfaat atas barang yang digadaikan, yaitu:

a. Pendapat Malikiyah

Mereka berpendapat bahwa buah dan manfaat apapun yang dihasilkan dari barang gadai menjadi hak penggadai (ra>hin), selama penerima gadai (murtahin) tidak mensyaratkan itu. Bila mensyaratkan demikian, maka menjadi miliknya dengan tiga syarat:


(46)

37

1) Utang itu karena jual-beli barang, bukan karena pinjaman.

2) Penerima gadai mensyaratkan manfaat barang gadai itu untuk dirinya. Jika penggadai secara suka rela menyerahkan manfaat barang gadainya, maka tidak boleh diambil.

3) Masa manfaatnya ditentukan dengan jelas. Jika tidak ditentukan maka tidak sah.

Bila ketiga syarat diatas terpenuhi oleh penerima gadai (murtahin), maka penerima boleh mengambil manfaat atas barang gadai tersebut. Tetapi jika utang itu karena pinjaman (bukan jual beli), maka tidak boleh mengambil manfaat apapun, baik disyaratkan atau tidak, dibolehkan oleh penggadai atau tidak.

b. Pendapat Syafi’iyah

Mereka berpendapat bahwa penggadai (ra>hin) berhak atas manfaat barang gadainya, namun demikian barang gadai harus tetap di tangan penerima gadai. Penggadai (ra>hin) tidak boleh mengambil alih atas barang gadai kecuali untuk tujuan mengambil manfaatnya. Penggadai (ra>hin) boleh mengambil manfaat barang gadainya selama tidak menyebabkan berkurangnya (harga) barang, seperti menempati rumah gadainya dan menunggangi binatang gadainya tanpa izin penerima gadai (yaitu jika penggadai menanggung biayanya). Sedangkan memanfaatkan barang gadai yang dapat mengurangi harga, tidak sah, kecuali atas izin penerima gadai (murtahin).


(47)

38

Mereka berpendapat bahwa penggadai (ra>hin) tidak boleh memanfaatkan barang gadai dengan cara apapun kecuali atas izin penerima gadai (murtahin). Namun demikian, manfaat dan hasil yang didapat dari barang gadai itu tetap menjadi hak penggadai (ra>hin), seperti anaknya, susunya, buahnya, dan lain sebagainya. Bila itu tetap berada ditanganmurtahinhingga jatuh tempo pembayaran utang, maka dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utang. Tetapi seandainya rusak sebelum jatuh tempo pembayaran, maka tidak dapat diperhitungkan, melainkan dianggap seolah-olah tidak ada.

d. Pendapat Hanabilah

Mereka berpendapat bahwa barang gadai itu boleh jadi berupa hewan tunggang atau hewan perah, atau selain hewan. Bila berupa hewan perah atau hewan tunggang, maka penerima gadai boleh menunggang atau memerahnya tanpa seizin penggadai (ra>hin) sebagai kompensasi atas nafkah yang diberikan, tetapi harus tetap memperhatikan keadilan. Bila bukan berupa hewan, maka penerima gadai (murtahin) boleh mengambil manfaat secara cuma-cuma mengambil manfaat dari barang itu setelah diizinkan oleh penggadai (ra>hin). Penggadai (ra>hin) boleh mengizinkan penrima gadai menjual barang gadainya dalam tiga hal:

1) Mengizinkannya menjual sebelum jatuh tempo dengan syarat harganya dijadikan sebagai pengganti hutangnya.


(48)

39

3) Mengizinkannya menjual sebelum ada pembayaran utang.23

6. PenyelesaianRahn

Dalam akad rahn tidak diperkenankan untuk mengadakan persyaratan-persyaratan untuk masa yang akan datang. Hal ini digunakan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan ketika melakukan akad, misalnya salah satu pihak mengatakan bahwa apabila ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya hingga jatuh tempo, maka barang jaminan menjadi milikmurtahinuntuk pembayaran hutang.24

Apabila saat jatuh tempo ternyata ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya, maka murtahin berhak untuk menjual barang jaminan tersebut. Apabila dari hasil penjualan barang jaminan ternyata hasilnya lebih besar dari jumlah hutangnya maka sisanya dikembalikan kepada ra>hin, namun apabila hasil penjualan lebih kecil dari jumlah hutangnya maka kekurangannya dimintakan kepadara>hin.25

Berkaitan dengan penjualan barang jaminan terhadap ra>hin yang tidak mampu melunasi hutangnya saat jatuh tempo para ‘ulama’ sepakat bahwa penjualan marhun (barang jaminan) ini bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara berikut :

23

Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), 277.

24

Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah...,110.

25


(49)

40

Pertama, Jika ra>hin bersedia menjual barang jaminan itu sendiri dan marhun (barang jaminan) berada pada ra>hin maka penjualannya dilakukan oleh ra>hin sendiri.Akan tetapi jika marhun telah dikuasai atau ditahan oleh murtahin, maka sebelum menjual barang jaminan tersebut ra>hin harus meminta izin kepada murtahin untuk melakukan penjualan terhadap barang jaminan tersebut.

Kedua, Jika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo dan dia tidak mau menjual barang jaminannya maka hakim berhak atau bahkan diharuskan memaksara>hin untuk menjual barang jaminannya sebagai pelunasan hutang.26

B. Ija>rah

1. PengertianIja>rah

Menurut etimologi, ija>rah berasal dari kata al-ajruyang berarti al-‘iwadhartinya ialah penggantian dan upah.27

Sedangkan menurut terminologi, ija>rah merupakan pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang.28

26

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam W a A dillatuhu, Jilid 6, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk...,256.

27

Ibid, 114.


(50)

41

Adapun beberapa definisi ija>rah menurut pendapat beberapa ulama’fiqihialah sebagai berikut :

a. Ulama’ Hanafiyah:

“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”29

b. Ulama’ Syafi’iyah:

“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”30

c. Ulama’ Malikiyah31dan Hanabilah32:

“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”

d. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah

“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”33

e. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib

29

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,121.

30

Ibid.

31

Ibid, 122.

32

Muhammad asy-Syarbini,Mughni al-Muhtaj, juz II...,398.

33


(51)

42

“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”34

f. Menurut Sayyid Sabiq

Ija>rah merupakan suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

g. Menurut Hasbi ash-Shiddiqie

“Akad yang objeknya ialah berupa penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, atau sama juga dengan menjual manfaat.”35

Ada pula yang menterjemahkan ija>rahsebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia. Namun ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jadi ija>rahdapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ija>rahatas jasa danija>rahatas benda.

Jumhur ulama’ fiqih berpendapat bahwa ija>rah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Jadi, dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain terjadinya ija>rah ini yang berpindah hanyalah manfaat obyek yang disewakan. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur

34

Ibid.


(52)

43

untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama’ memperbolehkan mengambil upah mengajar al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.36

Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, adalah merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyewakan barang kepada pihak penyewa, dan dengan diserahkannya manfaat barang/benda maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya.37

2. Dasar HukumIja>rah

Hukum asal ija>rah menurut jumhur ulama’ adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ berdasarkan al-Quran, Hadits, dan ketetapan ijma’ ulama’. Dasar hukum tentang kebolehanija>rahadalah sebagai berikut :

a. Dasar hukum al-Quran

36

Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994),

304.

37


(53)

44

Kebolehan melakukan ija>rah dijelaskan dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 233, yaitu :

                                    

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah : 233)38

Dijelaskan pula dalam surah at-Thalaq ayat 6 yaitu :

         

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Q.S. at-Thalaq : 6)39

Dari kedua ayat diatas dijelaskan bahwa diperbolehkan untuk menyewa (jasa) seseorang untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu sesuai dengan keinginan penyewa seperti halnya menyusukan anak-anak kepada orang lain, namun setelah itu penyewa haruslah memberikan upah kepada seseorang yang telah engkau sewa (jasanya) dengan patut.

b. Dasar hukum al-Hadits

Dasar kebolehan ija>rah juga dijelaskan pada Hadits Nabi Saw sebagai berikut :

38

Kementerian Agama Republik Indonesia,A l-Qur’an dan Terjemahannya...,37. 39


(54)

45

) .

(

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (H.R. Ibnu Majah)40

“Berbekamlah kamu, dan berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)41

c. Dasar hukum ijma’

Semua umat bersepakat bahwa tidak ada seorang ulama’ pun yang membantah tentang kebolehan ija>rah, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak perlu diperhitungkan.42

3. Rukun dan Syarat Ija>rah

a. RukunIja>rah

Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ija>rah adalah ija>b dan qabu>l, antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ija>rah, al-isti’ja>r, al-iktira>’,danal-ikra>.43

Adapun menurut Jumhur ulama’, rukun-rukun ija>rah adalah sebagai berikut :

40

Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah...,147.

41

Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah...,116.

42

Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah...,147.

43


(55)

46

1) Orang yang berakad (mu’jir yaitu orang yang memberikan upah dan yang menyewakan dan musta’jir yaitu orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu).

2) S{ighat (ija>b qabu>l) 3) Ujrah(upah)

4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah.44

b. Syarat-syarat Ija>rah

1) Syarat mu’jirdanmusta’jir

Disyaratkan seorang yang baligh, berakal, cakap melakukantas}arruf,dan saling meridhai. Allah Swt berfirman:

                        

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. an-Nisa’ : 29)45

Bagi orang berakad ija>rah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

2) Syarat s}ighat

44

Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah..., 117.


(56)

47

S}ighat akad merupakan ucapan atau pernyataan yang dilakukan saat akad yang terdiri dari ija>b dan qabu>l antara mu’jir dan musta’jir, ija>b adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabu>l adalah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanyaija>b.

Qabu>l dalam akad ija>rah ini ada dua yaitu ija>b qabu>l sewa-menyewa dan upah-mengupah. Ija>b qabu>l sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 250.000,00”, maka musta’jirmenjawab “Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ija>b qabu>l upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp 80.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan.”

3) Syarat ujrah

Disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah. 4) Syarat barang yang disewakan

Disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut :


(57)

48

b) Hendaklah obyek sewa dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja serta kegunaannya.

c) Manfaat dari benda yang disewa sesuatu yang mubah menurut syara’ bukan hal yang dilarang.

d) Benda yang disewakan disyarakan kekal zat-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.46

Ada juga yang mengatakan bahwa syarat ija>rah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat al-in’iqa>d, an-nafadz, sah,danla>zim.

1) Syarat terjadinya akad (syarat in’iqa>d)

Syarat terjadinya akad berkaitan dengan a>qid, akad, dan tempat akad. Menurut Hanafiah syarat yang berkaitan dengana>qid adalah berakal, dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak diharuskan baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ija>rah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.47Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah

mengahruskan mukallaf yaitu baligh dan berakal serta anak mumayyiz belum dikategorikan ahli akad.48

Adapun ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ija>rah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat

46

Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah...,118.

47

Alauddin al-Kasani,Bada>’i ash-Shana>’i fi>Tartib asy-Syara’i,Juz IV, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.t), 174.


(58)

49

penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas kerelaan walinya.49

2) Syarat pelaksanaan akad (syarat an-nafadz)

Agar ija>rah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘a>qid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliyah). Dengan demikian ija>rah al-fidhu>l (ija>rah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanyaija>rah.50

3) Syarat sahnyaija>rah

Untuk sahnya ija>rah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkitan dengan ‘a>qid (pelaku),mauqu>d ‘alaih(objek), sewa atau upah(ujrah), dan akadnya sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah: a) Adanya kerelaan dari kedua belah pihak51. Syarat ini

didasarkan pada firman Allah Swt :

                        

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. an-Nisa’ : 29)52

49

Ahmad Wardi Muslich,Fiqih Mu’amalah,(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), 322.

50

Wahbah Zuhaili,A l-Fiqh al-Isla>m wa A dillatuhu…,738.

51

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,126.

52


(59)

50

b) Mauqu>d ‘alaih bermanfaat dengan jelas. Manfaat harus jelas sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Apabila objek akad (manfaat) tidak jelas, sehingga menimbulkan perselisihan, maka akad ija>rah tidak sah. Diantara cara untuk menuju sesuatu yang jelas yaitu dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ija>rahatas pekerjaan atau jasa seseorang.53

c) Mauqu>d ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’. Tidak sah menyewakan sesuatu yang sulit diserahkan secara hakiki, seperti menyewakan kuda yang binal untuk dikendarai. Atau tidak bisa dipenuhi secarasyar’i, seperti menyewa tenga wanita yang sedang haid untuk membersihkan masjid.54

d) Manfaat yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’. Misalnya menyewa buku untuk dibaca, dan menyewa rumah untuk tempat tinggal. Para ulama’ sepakat melarang ija>rah, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqh dinyatakan :

ا

“Menyewa untuk suatu kemaksiatan itu tidak diperbolehkan.”

55

53

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,126.

54

Ibid, 128.


(60)

51

e) Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya. Diantara contohnya adalah menyewa orang untuk sholat fardhu, puasa, dan lain sebagainya.56 Hal tersebut karena

seseorang yang melakukan pekerjaan yang wajib dikerjakannya, tidak berhak menerima upah atas pekerjaan itu. Dengan demikian, tidak sah menyewakan tenaga untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sifatnya taqarrub dan taat kepada Allah, Pendapat itu disepakati oleh Hanafiyah dan Hanabilah.57

f) Tidak mengambil manfaat dari diri orang yang di sewa. Apabila ia memanfaatkan pekerjaan untuk dirinya maka

ija>rahtidak sah.58

g) Manfaat mauqu>d ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ija>rah,yang biasa berlaku umum. Apabila manfaat tersebut tidak sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ija>rah maka tidak sah. Misalnya, menyewa pohon untuk menjemur pakaian. Dalam contoh ini ija>rah tidak dibolehkan, karena manfaat yang dimaksud oleh penyewa yaitu menjemur pakaian, tidak sesuai dengan manfaat pohon itu sendiri.59

4) Syarat mengikatnya akadija>rah(syarat la>zim)

56

Ibid.

57

Wahbah Zuhaili,A l-Fiqh al-Isla>m wa A dillatuhu… ,745.

58

Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,128.

59


(61)

52

Agar akadija>rahitu mengikat, diperlukan 2 hal berikut : a) Benda yang disewakan harus terhindar dari cacat yang

menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa itu. Apabila terdapat suatu cacat yang demikian sifatnya, maka orang yang menyewa boleh memilih Antara meneruskan ija>rah dengan pengurangan sewa dan membatalkannya. Misalnya sebagian rumah yang akan disewa runtuh, kendaraan yang dicarter rusak atau mogok. Apabila rumah yang disewa itu hancur seluruhnya maka akad ija>rah

jelas harus fasakh (batal), karena mauqu>d ‘alaih rusak total, dan hal itu menyebabkanfasakh-nya akad.60

b) Tidak terdapat ‘udzur(alasan) yang dapat membatalkan akad

ija>rah. Misalnya ‘udzur pada salah seorang yang melakukan akad, atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila terdapat ‘udzur, baik pada pelaku maupun mauqu>d ‘alaih, maka pelakunya berhak membatalkan akad. Ini menurut Hanafiyah. Akan tetapi, menurut jumhur ulama’ akad ija>rah tidak batal karena adanya udzur,selama objek akad yaitu manfaat tidak hilang sama sekali.61

Hanafiyah membagi udzur yang menyebabkan fasakh

kepada tiga bagian yaitu ‘udzur dari pihak penyewa, seperti

60

Ibid, 753.


(62)

53

berpindah-pindah dalam memperkerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau pekerjaan menjadi sia-sia, ‘udzurdari pihak yang disewa, seperti barang yang disewakan harus dijual untuk membayar hutang dan tidak ada jalan lain, kecuali menjualnya, ‘udzurpada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah.62

4. Ketentuan PadaIja>rah

a. Menyewakan Barang Sewaan

Musta’jirdibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jirkedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.

Berkaitan dengan harga penyewaan dari musta’jir pertama kepadamusta’jirkedua ini diberikan kebebasan, diperbolehkan untuk memberikan harga lebih tinggi dari harga sewa pertama, atau

62


(63)

54

seimbang atau sama dengan harga pertama, atau bahkan lebih kecil, tidak ada ketentuan yang mengaturnya.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir.Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalahmusta’jiritu sendiri.63

b. Pembatalan dan BerakhirnyaIja>rah

Pada dasarnya perjanjian sewa menyewa (ija>rah) adalah perjanjian dimana masing-masing pihak yang terikat dalm perjanjian tidak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian, karena jenis perjanjian ini termasuk perjanjian timbal balik. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dapat terjadinya pembatalan perjanjian dari salah satu pihak engan alasan/dasar yang kuat. Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa-menyewa sebagai berikut :64

1) Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa

2) Rusaknya barang yang disewakan sehingga tidak dapat lagi dimanfaatkan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya 3) Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang

diupahkan untuk dijahitkan tapi kainnya rusak

63

Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah...,122.


(1)

88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan seluruh hasil penelitian baik ditinjau secara teoretis maupun secara praktis. Hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ini dilakukan murtahin ketika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya sebesar Rp. 6.000.000,- sesuai waktu yang disepakati yaitu selama dua tahun. Adapun setelah itu barang jaminan tersebut akan disewakan kepada pihak lain senilai Rp. 5.000.000,- dengan jangka waktu tiga tahun. 2. Bahwa berdasarkan analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah

sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut :

a. Menurut analisis rahn, penahanan sawah berdasarkan teori rahn yaitu apabila seseorang tidak mampu membayar hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang disepakati maka seharusnya dilakukan penjualan barang jaminan. Maka dari itu, secara teori penahanan sawah ini tidak diperbolehkan. Namun praktik yang terjadi di Desa Kebalan Pelang apabila ra>hin tidak mampu membayar hutangnya sesuai dengan waktu


(2)

89

yang disepakati, maka jaminan tersebut akan ditahan oleh murtahin sampai ra>hin mampu membayarnya. Praktik seperti ini merupakan suatu hal yang sudah biasa dilakukan di desa tersebut. Para pihak juga sama-sama rela terhadap penahanan sawah ini, karena pada dasarnya dalam hal bermuamalah prinsip yang paling penting adalah saling relanya kedua belah pihak. Sehingga praktik penahanan sawah saat jatuh tempo jika dianalisis dari segirahnitu diperbolehkan.

b. Menurut analisis ija>rah, dapat disimpulkan bahwa penyewaan barang jaminan yang terjadi di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ini bisa dikatakan sah karena telah sesuai dengan ketentuan ija>rah dan pembolehan itu dikarenakan Bapak Sidik (murtahin) memiliki hak milik na>qis (pemanfaatan) terhadap barang jaminan tersebut.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan, penulis menganggap perlu untuk mencantumkan beberapa saran dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi para pihak yang melakukan praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan diharapkan untuk melasanakan kewajibannya


(3)

90

2. Bagi pihak yang menahan jaminannya, apabila ingin menyewakan barang jaminannya sebaiknya meminta izin atau memberitahu terlebih dahulu kepada pemilik aslinya.

3. Agar penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan ataupun referensi bagi para mahasiswa ataupun pembaca lainnya yang berkaitan dengan penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institute, 1999.

Ardiansyah, Rizky.“A nalisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Murtahin di Desa

Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik” . Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.

Basyir, Ahmad Azhar.A sas-asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam) edisi

revisi.Yogyakarta: UII Press, 2000.

Bungin, Burhanuddin S. Fiqih Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam,

Yogyakarta: The Syariah Institute, 2009.

Departemen Agama RI.A l-Quran dan Terjemahnya.Jakarta: Lestari Books, t.t.

Dewi, Gemala dkk.Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.

Ghazaly, Abdul Rahman.Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.

Hasan, AlI.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam.Jakarta: Raja Grafindo, 2004.

Holifah, Siti. “A nalisis Hukum Islam Terhadap T radisi Gadai Sawah di Desa

Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015.

Jannah, Miftahul. “Analisis ‘Urf Terhadap Tradisi Hutang Dengan Sistem

“Bologadai” Di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan”. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Jannah, Miftahul. “Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu dan Dampaknya Dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009.

Jaziri (al), Syekh Abdurrahman. Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam

Jakarta: Darul Ulum Press, 2001.

Kasani (al), Alauddin. Bada>’i ash-Shana>’i fi> Tartib asy-Syara’i, Juz IV, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.t.


(5)

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum,Cet ke-2. Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.

Muslich, Ahmad Wardi.Fiqih Mu’amalah.Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.

Naisaburi (an), Husain Muslim bin Hajjaj Al Kusyairy. S{ah}i>h }Muslim, juz 2, Beirut: Da>r Al-Fikr, 1993

Nawawi, Ismail.Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2010.

Ningsih, Dwi Novi Kustiya. “Pemanfaatan Tanah Pertanian Sebagai Barang Gadai Oleh Penerima Gadai Di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban (Analisis Hukum Islam)”. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Pasaribu, Chairuman. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafik, 1994

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru

Algensido, 1994.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid 5, Terj. Abu Syauqina, t.tp.: Tinta Abadi

Gemilang, 2013

Santoso, Arfan. “A nalisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Tanah Sawah

Gadai Untuk Penanaman Tembakau di Desa Bajur Kecamatan W aru Kabupaten Pamekasan”. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014. Shiddieqy, Hasbi (ash).Pengantar Fiqih Muamalah.Jakarta: Bulan Bintang, 2010.

Singarimbun Masri dan Effendi Sofian. Metode Penelitian Survai . Jakarta:

LP3ES, 1989.

Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet. 12. Bandung:

Alfabeta, 2012.

Suhendi, Hendi.Fiqih Muamalah,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Syafe’i, Rachmat.Fiqih Muamalah.Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Syarbini (asy), Muhammad. Mughni al-Muhtaj, Juz II, Beirut: Darul Ma’rifat,

1997.


(6)

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Zabidi (az), Imam Zainudin Achmad bin al-Lathif. Ringkasan Shahih Bukhari, Terj. Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Zuhaili (az), Wahbah.Fiqih Islam W a A dillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 6. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Zuhaily (az), Wahbah.al-Fiqh al-Isla>m wa A dillatuhu,jilid 4, Beirut: Dar al-Fikr, 2002.\

Zuhriah, Nurul. Metodelogi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.