Analisis yuridis wewenang modin desa dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

ANALISIS YURIDIS WEWENANG MODIN DESA DALAM PROSEDUR
PENCATATAN PERKAWINAN DI DESA KEBALANDONO
KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI
Oleh
Mabruri Setya Putra
C31210093

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Ahwal Al-Syakhsiyyah
Surabaya
2017

ANALISIS YURIDIS WEWENANG MODIN DESA DALAM
PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN DI DESA
KEBALANDONO KECAMATAN BABAT KABUPATEN
LAMONGAN


SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh:
Mabruri Setya Putra
NIM: C31210093

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al-Syakhsiyyah
Surabaya
2017

i

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Wewenang Modin Desa dalam Prosedur
Pencatatan Perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan”
merupakan penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan 1) Bagaimana wewenang Modin
Desa dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan? 2) Bagaimana kesesuaian antara wewenang Modin Desa dalam
prosedur pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan dengan ketentuan PMA No. 11 Tahun 2007?
Data dihimpun dari telaah pustaka, interview, serta studi dokumen. Prosedur pencatatan
perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Kabupaten Lamongan yang mengharuskan
ditangani sepenuhnya oleh Modin Desa tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
deskriptif analisis dengan pola pikir induktif.
Hasil penelitian tersebut disimpulkan Modin Desa berperan secara penuh dalam
menangani prosedur pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan, dalam arti calon pengantin diwajibkan mendaftarkan pencatatan
perkawinannya melaui Modin Desa. Modin Desa bebas mentukan prosedur pencatatan
perkawinan dan tarif administrasinya. Adapun dalam hal ini, masyarakat yang
berkepentingan merasa cukup terbantu dengan kemudahan prosedur yang dibuat oleh modin
desa.Pada dasarnya suatu keharusan melakukan pendaftaran pencatatan perkawinan melalui
Modin Desa tersebut tidak sesuai dengan PMA No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Perkawinan. Calon pengantin berhak mendaftarkan pencatatan perkawinannya ke KUA

tanpa harus melalui Modin Desa. Akan tetapi, praktik pendaftaraan pencatatan perkawinan
melalui Modin Desa di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamogan
diperbolehkan selama didasari atas permintaan dan kerelaan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus prosedur pencatatan
perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ini. berikut saran
yang disampaikan kepada beberapa pihak:
1. Bagi Modin Desa, hendaknya memahami tugas serta wewenangnya dengan baik,
khususnya dalam prosedur pencatatan perkawinan, agar tidak melampaui batas tugas dan
wewenangnya.
2. Bagi Masyarakat, hendaknya mencari informasi terlebih dahulu mengenai prosedur
pencatatan perkawinan sebelum melakukan pendaftran pencatatan perkawinannya, agar
tidak menyerahkan sepenuhnya kepada Modin Desa.
3. Bagi Kantor Urusan Agama (KUA), hendaknya mensosialisasikan prosedur pencatatan
perkawinan kepada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara menyeluruh.

v

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................... iii
PENGESAHAN JUDUL ...................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 4
C. Rumusan Masalah ............................................................... 5
D. Kajian Pustaka ..................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ................................................................ 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................. 10
G. Definisi Operasional........................................................... 10
H. Metode Penelitian............................................................... 11
1. Data yang Dikumpulkan ................................................ 11
2. Sumber Data .................................................................. 12

3. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 13
4. Teknik Analisis Data ..................................................... 14
I.

Sistematika Pembahasan .................................................... 15

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN .................................... 18

viii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

A. Konsep Umum Perkawinan................................................ 18
1.

Pengertian Perkawinan .................................................. 18

2.

Hukum Perkawinan ....................................................... 19


3.

Tujuan Perkawinan ........................................................ 22

4.

Syarat dan Rukun Perkawinan....................................... 23

B. Pencatatan Perkawinan....................................................... 28
1.

Pengertian Pencatatan Perkawinan ................................ 28

2.

Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan........................... 30

3.


Pegawai Pencatat Nikah ................................................ 32

4.

Manfaat Pencatatan Perkawinan.................................... 33

5.

Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan ............... 34

6.

Biaya Administrasi Pencatatan Perkawinan .................. 35

C. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) ......................... 36
1. Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ......... 36
2. Tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah...................... 37
3. Pemberhentian Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ....... 40
D. Latarbelakang Adanya Wewenang Modin Desa Dalam
Prosedur Pencatatan Perkawinan ....................................... 42

BAB III PERKARA

WEWENANG

MODIN DESA

DALAM

PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN ................ 43
A. Gambaran Umum Tentang Desa Kebalandono.................. 43
1.

Luas dan Batas Wilayah ........................................... 44

2.

Jarak dengan Pusat Pemerintahan ............................. 45

ix


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3.

Keadaan Penduduk di Desa Kebalandono ................ 45
a.

Kondisi Pendidikan............................................ 35

b.

Keagamaan Penduduk ....................................... 46

c.

Keadaan Ekonomi Penduduk............................. 47

d.

Keadaan Sosial Budaya ..................................... 48


B. Peran KUA Kecamatan Babat Terhadap Pelaksanaan
Pencatatan Perkawinan .................................................... 49
C. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Sesuai PMA No. 11
Tahun 2007 ...................................................................... 52
D. Studi Kasus Prosedur Pencatatan Perkawinan di Desa
Kebalandono .................................................................... 53
BAB IV ANALISIS WEWENANG MODIN DESA DALAM
PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN DI DESA
KEBALANDONO KECAMATAN BABAT KABUPATEN
LAMONGAN ......................................................................... 56
A. Analisis Wewenang Modin Desa dalam Pencatatan
Perkawinan di Desa Kebalandono ................................... 56
B. Analisis Kesesuiaan Antara PMA No. 11 Tahun 2007
Dengan

Prosedur

Pencatatan


Perkawinan

di

Desa

Kebalandono .................................................................... 59
BAB V PENUTUP................................................................................ 65
A. Kesimpulan ...................................................................... 65
B. Saran ................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 67
LAMPIRAN

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan

merupakan

hal

yang

fitrah

yang

dilakukan

oleh

manusia.Dalam perkawinan ini mengadung hukum-hukum sebagaimana
peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain.Untuk membuktikan adanya
perkawinan tidak cukup hanya dibutkikan dengan adanya peristiwa itu sendiri
tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan di lembaga yang
ditunjuk.Akan tetapi harus dibuktikan dengan catatan yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang.Artinya perkawinan itu harus dicatat oleh lembaga
yang berwenang.
Pencatatan perkawinan merupakan persoalan baru dalam hukum keluarga
Islam yang belum ada perintah dari Alquran maupun Hadits yang secara
tegas.Akan tetapi, persoalan pencatatan perkawinan butuh intervensi Negara
agar terjaminnya administrasi setiap warga negara.
Hukum keluarga baru yang berlaku di Negara-negara muslim semua
mewajibkan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Negara masing-masing. Pencatatan ini, kendatipun bukan
merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian
pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang.Selain dari perkawinan itu
sendiri harus dicatat, surat-surat (keterangan, formulir yang telah diisi

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

danditandatangani para pihak) harus disimpan, didokumentasikan untuk
kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah kemudian hari.
Di Indonesia prosedur pencatatan nikah tercantumpasal 2 BabII PP No. 9
Tahun 1975menjelaskan tentang pencatatan perkawinan sebagai berikut:
1.

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk.

2.

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana yang
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.

3.

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus berlaku bagi tata
cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam
pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.1
Setelah perkawinan tersebut sudah dicatat dan dinyatakan sah secara

agama dan hukum, maka kedua mempelai mendapatkan akta nikah.Dengan
adanya akta nikah tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan
hukum yang telah mereka lakukan.Selain itu, fungsi akta nikah tersebut juga
sebagai “jaminan hukum” apabila salah satu pasangan tidak menjalankan

1

Pasal 2 Bab II PP No. 9 Tahun 1975.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

kewajibannya baik sebagai istri maupun suami, maka dapat mengajukan
perkara ke pengadilan.
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya merupakan kewajiban dasar
dalam keluarga.Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri
maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lainlain.Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam
administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan
hukum dalam hak status pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak lainnya
sebagai istri yang pas, akhirnya sangat merugikan pihak perempuan.Suatu
perkawinan belum dapat diakui keabsahannya jika tidak dicatatkan.Pencatatan
itu untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum bagi status hukum
suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul
seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran.
Namun, pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada bahkan cukup banyak - di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan
melakukan pernikahan di bawah tangan, atau nikah siri dalam arti pernikahan
tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
Termasuk halnya yang terjadi di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat,
Kabupaten Lamongan ini, adalah pendaftaran pencatatan perkawinan yang
diserahkan/dipasrahkan sepenuhnya kepada modin desa, serta kesewenangan
modin desa yang menyatakan bahwa pendaftaran pencatatan perkawinan harus
melalui modin desa. Praktek pernikahan seperti ini dikarenakan beberapa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

faktor diantaranya masih kuatnya otoritas modin terhadap pengurusan nikah di
desa Kebalandono, kurangnya sosialisasi dari pihak KUA dan kurangnya
pedulinya masyarakat dalam prosedur pencatatan perkawinan yang sesuai
dalam hukum di Indonesia. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, yang dikarenakan masyarakat kurang
memahami tentang prosedur pencatatan perkawinan yang benar.
Dengan adanya persoalan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul Analisis Yuridis Wewenang Modin Desa Dalam Prosedur
Pencatatan Perkawinan di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten
Lamongan sebagai masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas maka
penulis

mencoba

untuk

mengidentifikasi

permasalahan

yang

timbul,

diantaranya sebagai berikut:
1.

Rendahnya pengetahuan masyarakat Desa Kebalandono, Kecamatan
Babat, Kabupaten Lamongan tentang prosedur pencatatan perkawninan
yang mana pendaftaran pencatatan perkawinan diserahkan/dipasrahkan
sepenuhnya kepada modin desa.

2.

Kuatnya otoritas modin desa terhadap pengurusan nikah di Desa
Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

3.

Kurangnya sosialisasi dari pihak KUA dan kurangnya pedulinya
masyarakat dalam prosedur pencatatan perkawinan yang sesuai dalam
hukum di Indonesia dalam hal ini PMA No. 11 Tahun 2007.

4.

Wewenang modin desa dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa
Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

5.

Kesesuaian

antara

wewenang

modin

dalam

prosedur

pencatatan

perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11
Tahun 2007.
Mengingat permasalahan di atas masih bersifat umum, maka perlu
dibatasi hingga pada masalah-masalah sebagai berikut:
1.

Wewenang modin desa dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa
Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.

2.

Kesesuaian

antara

wewenang

modin

dalam

prosedur

pencatatan

perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11
Tahun 2007.

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut:
1.

Bagaimana wewenang modin desa dalam prosedur pencatatan perkawinan
di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

2.

Bagaimana kesesuaian wewenang modin dalam prosedur pencatatan
perkawinan di Desa Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11
Tahun 2007?

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkasan tentang kajian atau penelitian
yang sudah dilakukan di seputar masalah yang diteliti, sehingga jelas bahwa
kajian yang sedang dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi
dari kajian atau penelitian yang ada. Dalam penelusuran sampai saat ini penulis
belum menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji
tentang Analisis Yuridis Wewenang Modin Desa Dalam Prosedur Pencatatan
Perkawinan
Penelitian yang pertama adalah “Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan
Dalam Hukum Islam” oleh Oyoh Bariah, di mana hasilnya adalah Perkawinan
yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membawa
kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukannya dan juga kepada
keturunannya. Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah
sangat jelas mendatangkan maslahat (kebaikan dan manfaat) bagi tegaknya
rumah tangga dan hal ini sejalan dengan prinsip/kaidah hukum Islam yaitu
menolak kemudaratan didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan.2

Oyoh Bariah, “Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam”,Jurnal Ilmiah Solusi,
Vol. 1, No. 4 (Desember 2014 – Februari 2015).
2

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Penelitian oleh Adib Bahari berjudul “Analisis Atas Ketentuan Hukum
Pencatatan Perkawinan Dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun
1973 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Skripsi
ini berisi tentang bagaimana ketentuan hukum dan dasar pemikiran ketentuan
pencatatan perkawinan dalam RUU Perkawinan Tahun 1973, UU Nomor 1
Tahun 1974 serta pandangan hukum Islam dan faktor-faktor yang berpengaruh
sehingga terjadi perubahan dalam ketentuan hukum pencatatan perkawinan
dalam RUU Perkawinan Tahun 1973 tersebut.

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 sebagai ketentuan administratif belaka. Hal ini sangat berbeda
dengan ketentuan dalam RUU Perkawinan Tahun 1973 yang secara tegas dan
jelas dinyatakan sebagai syarat sah suatu perkawinan, sedangkan hukum Islam
memandang bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan baru yang
sejalan dengan hukum Islam, sebagai penguat administratif dan pembuktian
namun bukan untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan.3
Skripsi oleh Ahmad Yusron berjudul “Prosedur Pencatatan Perkawinan
Menurut Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 Peratutan Menteri Agama No.
11 Tahun 2007(Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Plered
Kabupaten Cirebon”.Skripsi ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana
prosedur pencatatan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
.Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 serta bagaimana prosedur
administrasi pencatatan perkawinan di KUA Kecamatan Plered Kabupaten
Adib Bahari, “Analisis Atas Ketentuan Hukum Pencatatan Perkawinan Dalam Rancangan
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973 Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan” (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010), 6.

3

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

Cirebon. Hasil penelitiannya adalah prosedur pencatatan perkawinan di KUA
Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon sesuai dengan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007. Dimulai dari
pemberitahuan

kehendak,

pemeriksaan,

hingga

pelaksanaan

pernikahan.Dengan adanya pencatatan perkawinan itu berarti perkawinan
tersebut diakui di dalam hukum positif. Suatu tindakan yang dilakukan
menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, dan oleh
karena itu maka berakibat hukum yaitu akibat dari perbuatan itu mendapat
pengakuan dan perlindungan hukum, sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan
tidak menurut aturan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan
hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama
sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindungi oleh
hukum.4
Selain itu juga ada karya berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang-Undang Perkawinan”oleh
Baiq Burdatun.Skripsi ini menjelaskan Untuk mengetahui apakah alasan-alasan
yang menyebabkan terjadinya perkawinan tanpa akta nikah yang dilakukan
oleh para pihak.Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan
dari

perkawinan

tanpa

akta

nikah

ditinjau

dari

Undang-Undang

Perkawinan.Pada penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan sosiologis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena
perkawinan tidak tercatat yang biasa disebut „kawin sirri’ dalam kehidupan
Ahmad Yusron, “Prosedur Pencatatan Perkawinan Menurut Undang - Undang No. 1 Tahun 1974
Peratutan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 (Studi Kasus Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon)” (Skripsi--IAIN Syeh Nurjati, Cirebon, 2011), 6.
4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

masyarakat Indonesia, adalah realita, alasannya minimnya kesadaran dan
pengetahuan hukum yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti bahwa
perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974.Sebaliknya menurut hukum Islam, suatu perkawinan yang telah
memenuhi rukun dan syarat perkawinan dianggap sebagai perkawinan yang
sah walaupun tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.Oleh karena
perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif, maka perkawinan
tersebut tidak mempunyai akibat hukum tetapi terdapat dampak perkawinan di
bawah terhadap status anak dan isteri, yaitu dalam hal warisan dan pengakuan
anak.5
Skripsi yang ditulis oleh penulis ini memfokuskan pada analisis yuridis
wewenang modin desa dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa
Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan belum ada yang
membahas. Pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang
wewenang modin desa dalam prosedur pendaftaran perkawinan di Desa
Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan dan analisis yuridis
menurut PMA No. 11 tahun 2007.

Baiq Burdatun, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut UndangUndang Perkawinan”, Jurnal Ilmiah(2013).
5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

E. Tujuan Penelitian
Adapun secara umum tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat diambil
manfaatnya bagi semua pembaca dari berbagi disiplin ilmu pengetahuan
khususnya dibidang perkawinan, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:
1.

Mengetahui secara mendalam tentang wewenang modin dalam prosedur
pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat,
Kabupaten Lamongan.

2.

Mengetahui sesuai atau tidaknya wewenang modin dalam prosedur
pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat,
Kabupaten Lamongan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama
(PMA) Nomor 11 Tahun 2007?

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Secara teoritis
Dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan pengetahuan di bidang
hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan ketentuan perkawinan
yang sesuai dengan undang-undang.

2.

Secara praktis
Dapat diharapkan menjadi masukan bagi para pembaca untuk
dijadikan

landasan

berfikir

dalam

pencatatan

perkawinan

dan

mempertajam analisis teori dan praktik perkawinan yang sah baik secara
hukum agama dan hukum negara.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap konsep dalam penelitian ini,
maka di sini dijelaskan maknanya sebagai berikut:
1.

Yuridis adalah aturan-aturan tentang prosedur pendaftaran perkawinan
yangterdapat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun2007.

2.

Wewenang modinDesa

ialah

wewenang/tugas

dari

modin

di

DesaKebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan adalah sebagai
berikut.
a.

Melakukan

pengecekan

berkas-berkas

persyaratan

pendaftaran

pencatatan perkawinan dari calon mempelai.
b.

Membuat surat pengantar dari kelurahan untuk prosedur pendaftaran
pencatatan perkawinan.

c.

Mengisi surat keterangan model N1 (keterangan untuk menikah), N2
(asal-usul calon mempelai), N3 (persetujuan calon mempelai), N4
(keterangan tetntang orang tua calon mempelai).

3.

Pencatatan Perkawinan yaitu pendataan administrasi perkawinan yang
ditangani oleh yang berwenang dalam hal tersebut ialah pegawai pencatat
perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum.

H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni
penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya6 terhadap kehidupan

6

Mardalis, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 28.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

masyarakat Desa Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan
dalam hal kegiatan perkawinan.
1.

Data yang dikumpulkan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
data yang akan dikumpulkan adalah data tentang wewenang modin desa
dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono, Kecamatan
Babat, Kabupaten Lamongan, adalah sebagai berikut.
a.

Melakukan

pengecekan

berkas-berkas

persyaratan

pendaftaran

pencatatan perkawinan dari calon mempelai.
b.

Membuat surat pengantar dari kelurahan untuk prosedur pendaftaran
pencatatan perkawinan.

c.

Mengisi surat keterangan model N1 (keterangan untuk menikah), N2
(asal-usul calon mempelai), N3 (persetujuan calon mempelai), N4
(keterangan tetntang orang tua calon mempelai).

2.

Sumber data
Dilihat

dari

segi

sumber

pengambilannya,

penelitian

ini

menggunakan dua macam sumber data yaitu sumber primer dan sumber
sekunder.
a. Sumber primer
Merupakan sumber data yang bersifat asli dan penting yang
memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan
dan berkaitan dengan penelitian. Sumber data primer pada penelitian
antara lain:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

1) Kepala KUA Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
2) Kepala Desa Kebalandono.
3) Modin Desa Kebalandono.
4) Tokoh Masyarakat.
5) Pelaku Perkawinan.
a.

Kedua mempelai.

b.

Wali.

c.

Dua orang saksi.

d.

Sumber data sekunder

Merupakan data yang bersifat membantu atau menunjang dalam
melengkapi serta menjelaskan sumber data primer,7 dalam hal ini berupa
bahan pustaka yaitu dokumen Peraturan Menteri Agama Nomor 11
Tahun 2007.
3.

Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang di gunakan dalam rangka mengumpulkan
datayang diperlukan, adalah observasi, wawancara dan studi dokumen.
a.

Observasi
Yaitu

dengan

melakukan

pengamatan

secara

langsung

pelaksanaan prosedur pencatatan perkawinan dan wewenang modin
desa yang menangani sepenuhnya dalam prosedur tersebut di Desa

7

Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 91-92.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan agar dapat
diperoleh data yang akurat dan valid untuk penyusunan penelitian.8
b.

Wawancara/Interview
Wawancara kami gunakan untuk mendapatkan informasi
tentang

bagaimana

wewenang

modin

di

Desa

Kebalandono

Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan khususnya tentang prosedur
pendaftaran pencatatan perkawinan.
Peneliti melakukan wawancara dengan lembar wawancara yang
sudah disiapkan kepada :
Kepala KUA Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
1) Kepala Desa Kebalandono.
2) Modin Desa Kebalandono.
3) Tokoh Masyarakat.
4) Pelaku Perkawinan.

8

a.

Kedua mempelai.

b.

Wali.

c.

Dua orang saksi.

Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 553.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

c.

Studi Dokumen.
Yakni dengan menelaah dokumen Peraturan Menteri Agama No
11 Tahun 2007 tentang prosedur pendaftaran pencatatan perkawinan.
Teknik studi dokumen dalam penelitian ini, dipergunakan untuk
melengkapi data dari hasil wawancara dan hasil pengamatan
(observasi). Kemudian diketahui tentang kesesuaian antara wewenang
Modin Desa dalam Prosedur Pencatatan Perkawinan di Desa
Kebalandono Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan dengan PMA
No. 11 Tahun 2007.

4.

Teknik Analisis Data
Setelah data penelitian berhasil dikumpulkan maka langkah
selanjutnya adalah analisa terhadap data dan informasi yang diperoleh
dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a.

Teknik deskriptif, yaitu memaparkan kejelasan objek penelitian secara
mendalam dengan aspek-aspek yang terkait.9

b.

Pola pikir deduktif, yaitu proses pembahasan yang berasal dari
ketentuan yang bersifat mengarah pada proses berpikir yang bertolak
dari suatu proposisi baru yang membentuk suatu kesimpulan yang
berkenaan pencatatan perkawinan, metode ini dipergunakan untuk
membahas kesesuaian antara Peraturan Menteri Agama Nomor 11
Tahun 2007 dengan kenyataan yang bersifat khusus yaitu wewenang

9

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 103.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

modin desa dalam prosedur pencatatan perkawinan di Desa
Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan.10

I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam penulisan
skripsi ini perlu dikemukakan tentang sistematika pembahasan, maka penulis
menyusun skripsi ini dengan sistem perbab, dan dalam bab terdiri dari sub-sub
bab. Sehingga tergambar keterkaitan yang masih sistematis untuk selanjutnya
sistematika pembahasan yang disusun sebagai berikut:
Bab pertama, yang merupakan pendahuluan yang memuat penjelasan
skripsi secara umum meliputi; latar belakang, identifikasi masalah dan batasan
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, merupakan kajian pustaka yang menjelaskan tentang
Pengertian Pencatatan Perkawinan, Syarat dan Rukun Nikah dalam Pencatatan,
Prosedur Pencatatan Perkawinan Menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 11
Tahun 2007, dan Akibat Hukum dari Tidak Adanya Pencatatan Perkawinan.
Bab ketiga, berisi tentang prosedur pencatatan perkawinan di Desa
Kebalandono dan wewenang modin dalam prosedur pencatatan perkawinan di
Desa Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan.
Bab keempat, yang membahas tentang wewenang modin desa dalam
prosedur pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat,
10

Basrawi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), 26.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Kabupaten Lamongan dan kesesuaian antara wewenang modin dalam prosedur
pencatatan perkawinan di Desa Kebalandono, Kecamatan Babat, Kabupaten
Lamongan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor
11 Tahun 2007.
Bab kelima, yang merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran-saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN

A. Konsep Umum Perkawinan
1.

Pengertian Perkawinan
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan,
maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pengakuan lakilaki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai mahluk yang berkehormatan.Oleh karena itu, perkawinan
merupakan

tuntutan

naluriah

manusia

untuk

berketurunan

guna

kelangsungan hidupnya dan untuk memperoleh ketenangan hidup serta
membutuhkan dan memupuk rasa kasih sayang insani.
Perkawinan adalah pertalian yang sah baik menurut Undang-undang
dan menurut syari’at agama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.Perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.Berasal dari kata an-nikah
yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan
wathi atau bersetubuh.1

1

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat(Jakarta: Prenada Media Group, 2003), 7-8

18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang
berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun
tumbuhan”.2
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang
Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.3 Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam,
perkawinan adalah akad yang sangat kuad (mistaqan ghalidan) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4
Jadi perkawinan adalah hubungan lahir dan batin antara dua orang
manusia yang berlainan jenis untuk membentuk suatu keluarga dengan
tujuan memperoleh ketenangan hidup serta membutuhkan dan memupuk
rasa kasih sayang insani.
2.

Hukum Perkawinan
Menurut pandangan Islam, perkawinan selain sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai
sunnah Allah, perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam
penciptaan alam semesta. Hal ini terdapat dalam surat Adz-Dzaariyat ayat
6 yang berbunyi:

‫جي ل ع ك ت ك‬

‫كل شئ خ ق‬

2

Ibid.,10.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), 2.
4
Ibid., 228.
3

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.”5
Di dalam ayat al-Quran yang lain, Allah berfirman:

,ً ‫ح‬

ً‫د‬

‫ج عل ب ي ك‬

‫ًج لتسك ا إلي‬

‫ أ خ ق لك‬,‫ءايته‬

‫أ فسك أ‬
‫يتفك‬

‫إ فى ذ لك َيت لق‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum
: 21).6

Adapun perkawinan sebagai sunnah rasul dapat dilihat daribeberapa
hadits berikut:

‫احص ل ف ج‬

‫استط ع ك ال ء ف يت ج فإ ه اغض ص‬
‫فإ ه له ج ء‬

‫ي عشض الش‬

‫ل يستطع فع يه ب ص‬

”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telahmemiliki
kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena
menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. “Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah,
hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam
(syahwat)nya”7
Ayat-ayat al-qur’an dan hadits-hadist Nabi di atas inilah yang
dijadikan sebagai dasar di dalam melaksanakan perkawinan.Dari dasardasar di atas, golongan ulama jumhur (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa kawin itu hukumnya sunnat.Para ulama Malikiyah Muta’akhirin
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: CV. Media Fitrah Rabbani, 2011),
437.
6
Ibid., 839.
7
Ibn Hajr Al-Asqolani, Bulughul Maraam, terj. Al-Hassan (Bangil: Pustaka Tamaam, 2012), 438.

5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk
sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lainnya.Sedangkan
ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan perkawinan
adalah mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.
Berkaitan dengan hal diatas, maka disini perlu dijelaskan beberapa
hukum dilakukannya perkawinan, yaitu :
a.

Wajib, perkawinan berhukum wajib bagi orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan
tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin. Hal ini
didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib
menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang, sedang menjaga diri
itu wajib.

b.

Sunnat, perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat jumhur
ulama’. Yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak
kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.

c.

Haram, bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila dalam
melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri dan istrinya.
Termasuk juga jika seseorang kawin dengan maksud untuk
menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini tidak di urus
hanya agar wanita tersebut tidak dapat kawin dengan orang lain.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

d.

Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami
istri yang baik.

e.

Mubah,

bagi

orang

yang

mempunyai

kemampuan

untuk

melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan
istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi
kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan
membina keluarga yang sejahtera.
3.

Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang
dikutip oleh Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:
a.

mendapatkan dan melangsungkan keturunan

b.

memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan
menumpahkan kasih sayang

c.

memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

d.

menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang
halal

e.

membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 8

4.

Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari
segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam
hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama
halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan hukum, rukun dan
syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan.Perkawinan menjadi tidak
sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika
salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah.
Rukun perkawinan diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari
calon istri, saksi dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu
yang harus terpenuhi sebelum perkawinan itu dilakukan.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam
syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang
melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif,
dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau prosedur

8

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), 22.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undangundang disebut juga syarat objektif.9
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan adalah sebagai berikut :
a.

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai (Pasal 6 ayat (1))

b.

Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat
(1))

c.

Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali
dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun
atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama
apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat
(2) dan Pasal 7 ayat (2))

d.

Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
ataupun keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya.

9

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),
76.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin.
e.

Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9).

f.

Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain (Pasal 10)

g.

Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi
telah lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11).10
Syarat-syarat calon mempelai pria adalah:

a.

Beragaama Islam

b.

Laki-laki

10

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum Islam, 3.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

c.

Tidak karena dipaksa

d.

Tidak beristri empat orang (termasuk isteri yang dalam iddah
raj’i)

e.

Bukan mahram perempuan calon isteri

f.

Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon
isterinya

g.

Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya

h.

Tidak sedang berihrom haji atau umrah

i.

Jelas orangnya

j.

Dapat memberikan persetujuan

k.

Tidak terdapat halangan perkawinan
Syarat-syarat calon mempelai perempuan adalah:

a.

Beragama Islam

b.

Perempuan

c.

Telah mendapat izin dari walinya (kecuali wali mujbir)

d.

Tidak bersuami (tidak dalam iddah)

e.

Bukan mahram bagi suami

f.

Belum pernah dili’an (dituduh berbuat zina) oleh calon suami

g.

Jika ia perempuan yang pernah bersuami (janda) harus atas
kemauan sendiri, bukan karena dipaksa.

h.

Jelas ada orangnya

i.

Tidak sedang berihrom haji atau umroh.11

S Munir,Fiqh Syari’ah (Solo: Amanda, 2007), 34.

11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

Syarat-syarat saksi adalah:
a.

Dua orang laki-laki

b.

Beragama Islam

c.

Sudah dewasa

d.

Berakal

e.

Merdeka

f.

Adil

g.

Dapat melihat dan mendengar

h.

Faham terhadap bahasa yang digunakan dalam aqad nikah

i.

Tidak dalam keadaan ihrom atau haji
Syarat Ijab Qabul:

a.

Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b.

Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

c.

Memakai kata-kata nikah atau semacamnya

d.

Antara ijab qabul bersambungan

e.

Antara ijab qabul jelas maksudnya

f.

Orang yang terikat dengan ijab tidak sedang melaksanakan haji
atau umrah.

g.

Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal 4 orang.
calon mempelai pria atau yang mewakili, wali dari mempelai
wanita atau yang mewakili dan 2 orang saksi
Syarat-syarat formal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

Undang-Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.

B. Pencatatan Perkawinan
1.

Pengertian Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawianan adalah suatu pencatatan yang dilakukan
oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan.Yang berhak mencatat
perkawinan adalah Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (PPPN) yang
berkedudukan di setiap desa atau kelurahan atau Peagawai Pencatat Nikah
(PPN) yang berkedudukan di setiap kecamatan yang berada di bawah
struktur Kantor Urusan Agama (KUA).12
Artinya pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang
dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan.Alqur’an
dan

hadist

tidak

mengatur

secara

rinci

mengenai

pencacatan

perkawinan.Pencatatan perkawinan pada masa dulu belum dipandang
sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai
sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.Namun, sejalan
dengan perkembangan zaman, dengan dinamika yang terus berubah, maka
banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan
Chatib Rasyid, “ Anak Lahir Di Luar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil ZinaKajian Yuridis Terhadap Putusan MK No.46/ PUU-VII/2012”, Jurnal Mimbar Hukum Dan
Peradilan,Nomor 75 (Jakarta: 2012), 180.

12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

pada kultur tulis sebagai ciri masyarakatmodern menuntut dijadikannya
akta sebagai surat bukti autentik. Masyarakat mulai merasakan pentingnya
pencatatan perkawinan, sehingga diatur melalui perundang-undangan baik
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum
Islam.
Di Negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas
untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi
atau lembaga yang dimaksud adalah:
a.

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan
Rujuk bagi orang yang beragama Islam (Undang-Undang No. 22
Tahun 1946 dan Undang-Undang Tahun 1954)

b.

Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi orang
yang non muslim (Undang - Undang No. 22 Tahun 1946).
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh
masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Realisasi pencatatan
perkawinan akan melahirkan akta nikah yang masing-masing dimiliki oleh
suami dan istri. Akta nikah ditandatangani olehkedua saksi, Pegawai
pencatat Nikah yang menghadiri akad nikah dan wali nikah atau yang
mewakilinya. Dengan ditandatanganinya akta nikah tersebut, maka
perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan
hukum berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Akta Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan
perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah
seorang suami atau istri melakukan tindakan yang menyimpang. Akta
nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan
itu, sehingga tanpa akta nikah dimaksud, upaya hukum ke Pengadilan tidak
dapat dilakukan.
Perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang secara material
telah memenuhi ketentuan syari’at sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tetapi tidak
memenuhi ketentuan ayat (2) pasal ters