Penafsiran surat al-Takathur: studi metode penafsiran 'Aishah Abd al-Rahman bint al-Shati'.

(1)

PENAFSIRAN SURAT AL-TAKA<THUR

(STUDI METODE PENAFSIRAN ‘A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N

BINT AL-SHA<TI’

)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-I) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

MOKHAMMAD FATIKHUL ASRO (E73213133)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

PENAFSIRAN SURAT AL-TAKA<THUR

(STUDI METODE PENAFSIRAN ‘A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N

BINT AL-SHA<TI’

)

Skripsi

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata

Satu (S-1) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

MOKHAMMAD FATIKHUL ASRO (E73213133)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Mokhammad Fatikhul Asro, 2017. Penafsiran Surat al-Taka>thur (Studi

Metode Penafsiran‘A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’)

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan metode yang digunakan Bint

Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an serta pengaplikasian metode Bint Sha>t}i’

dalam penafsiran surat al-Taka>thur.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library researching) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, sumber data primer yang digunakan penelitian ini adalah kitab tafsir dari Bint al-Sha>t}i’ sendiri, Tafsi>r Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m. Sementara sumber data sekundernya berasal dari kitab-kitab

tafsir lainnya dan kitab-kitab ulu>m al-Qur’a>n. Sementara analisisnya dilakukan

dengan menggunakan metode content analisis.

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Bint al-Sha>t}i’

menggunakan empat metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pertama,

mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai tertib nuzul yang berhubungan dengan

tema yang akan dibahas. Ini yang membedakan penafsiran Bint al-Sha>t}i’ dengan

yang lainnya, bahwa ia menggunakan tafsir nuzuli sedangkan kebanyakan

mufassir munggunakan tafsir nuzuli. Kedua, riwayat asba>b al-nuzu>l sangat

penting untuk mengetahui sebab turunnya ayat dan makna yang sesungguhnya. Ketiga, memahami makna harus dari kata dasar atau linguistiknya. Keempat,

menukil pendapat mufasir lain dan menolak penafsiran sektarian dan isra>’iliyya>t.

Keempat metode tersebut telah Bint al-Sha>t}i’ aplikasikan pada penafsiran surat

al-Taka>thur. Seperti ketika mencari makna dari al-taka>thur, Bint al-Sha>t}i’

terlebih dahulu terlebih dahulu mencari arti secara harfiyah. Setelah itu, ia

melacak lafadz al-taka>thur yang terdapat di dalam Al-Qur’an dengan tujuan

memahami maknanya untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, Bint Sha>t}i’

menambahkan pendapat beberapa mufassir. Ada yang berpendapat bahwa makna

dari al-taka>thuradalah berlebih-lebihan dalam harta. Ada pula yang berpendapat

bahwa al-taka>thur bermakna berlebih-lebihan atau persaingan yang menyangkut

jumlah anak dan pengikut. Pendapat ini didasarkan pada riwayat sebab turunnya ayat ini. Dan dalam hal asba>b al-nuzu>l ini, Bint al-Sha>t}i’ menggunakan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab. Menyikapi perbedaan tersebut, Bint Sha>ti’ menafsirkan lafadz tersebut dengan melacak beberapa kali lafadz yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Yang

akhirnya didapatkan makna al-taka>thur, yaitu siapa saja yang lalai karena

berbangga-banggaan dalam urusan dunia baik berupa harta maupun anak. Kata kunci: Bint al-Sha>t}i’, al-taka>thur, metode penafsiran.


(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN SKRIPSI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITRASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Kegunaan Penelitian ... 8

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 9


(9)

BAB II : A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N BINT AL-SHA<T{I’DAN KITAB TAFSIRNYA

A. Biografi A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ ... 13

1. A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ ... 13

2. Karir intelektual dan karya-karyaBint al-Sha>t}i’ ... 17

B. Kitab tafsir Bint al-Sha>t}i’ ... 23

BAB III : METODE PENAFSIRANBINT AL-SHA<T{I’ A. Al-Qur’an Dalam Pandangan Bint al-Sha>t}i’ ... 25

B. Metode Penafsiran Bint al-Sha>t}i’ ... 30

BAB IV : APLIKASI METODE BINT AL-SHA<T{I’ PADA SURAT AL-TAKA<THUR DAN ANALISISNYA A. Pengaplikasian Metode Bint al-Sha>t}i’ Pada Surat al-Taka<thur ... 34

1. Surat al-Taka<thur dan saba>b al-nuzu>lnya ... 34

2. Penafsiran Surat al-Taka<thur ... 35

B. Analisis Surat al-Taka>thur Perspektif Bint al-Sha>t}i’ ... 75

BAB IV : PENUTUP A. Simpulan ... 82

B. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Khazanah intelektual Islam memiliki sejarah yang sangat panjang dan berkaitan erat dengan berbagai situasi dan kondisi yang berada di sekitarnya dan tafsir Al-Qur’an merupakan salah satu kekayaan intelektual Islam tersebut. Studi tafsir Al-Qur’an senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti linguistik, hermeneutika, sosiologi, antropologi dan juga komunikasi yang dipandang sebagai ilmu bantu bagi ilmu-ilmu Al-Qur’an berkenaan dengan objek penelitian dalam kajian teks Al-Qur’an.

Ilmu tafsir Al-Qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud-maksud ayat-ayat Al-Qur’an telah melahirkan banyak karya tafsir. Dinamika kegiatan penafsiran tersebut berkembang seiring dengan tuntutan zaman. Keanekaragaman latar belakang individu dan kelompok manusia turut memperkaya metode pendekatan memahami Al-Qur’an. Dalam perkembangannya dari waktu ke waktu hingga sekarang, tafsir Al-Qur’an memiliki berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlihan, kecenderungan mufasir dan perkembangan zaman yang melingkupinya.1

Menurut M. Quraish Shihab, ada enam corak-corak penafsiran yang dikenal luas dewasa ini. Pertama, corak penafsiran bahasa dan sastra yang timbul karena banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta akibat

1Wahyuddin, Corak dan Metode Interpretasi Aishah Abdurrahman Bint Shati’,


(11)

2

kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra yang membutuhkan penjelasan tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.2 Corak tafsir ini pada masa klasik diwakili oleh al-Zamakhshari

dengan tafsirnya al-Kashshaf dan pada masa sekarang oleh ‘A<ishah Abd al-Rahman Bint al-Sha>t}i’ dengan tafsirnya al-Tafsi>r al-Baya>n li> al-Qur’a>n al-Kari>m.

Kedua, corak penafsiran filsafat dan teologi yang muncul akibat penerjemahan buku filsafat yang mempengaruhi pemikiran Muslim dan masuknya penganut-penganut agama lain ke dalam Islam dengan membawa kepercayaan lama mereka yang menimbulkan pendapat yang tecermin dalam tafsirnya.3

Menurut al-Z{ahabi>, corak penafsiran demikian antara lain nampak dalam kitab

Mafa>tih} al-Ghayb karya al-Ra>zi>,Fus}u>s}ul al-H{ika>m karya al-Farabi dan penafsiran

Ibn Sina> dalam Rasa>il Ibn Sina>.

Ketiga, corak penafsiran ilmiah yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu.4 Di antara pendukung penafsiran ini adalah al-Ghazali dalam

karyanya Jawa>hir al-Qur’a>n dan T}ant}awiy Jauhariy dengan tafsirnya al-Jawa>hir.

Keempat, corak penafsiran fikih yang muncul akibar berkembangnya ilmu fikih dan terbentuknya maz}hab-maz}hab fikih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.5 di antara kitab-kitab tafsir dengan corak fiqih adalah

2M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2014), 107.

3Ibid, 107-108. 4Ibid, 108. 5Ibid, 108.


(12)

3

tafsir Ah}ka>m al-Qur’a>n karya dari al-Jass}as}, tafsir Ah}ka>m al-Qur’a>n karya dari

Ibn ‘Araby dan tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n karya al-Qurt}uby.

Kelima, corak penafsiran tasawuf atau sering disebut pula dengan istilah tafsir isyari. Corak penafsiran ini muncul akibat lahirnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi kecenderungan terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.6 Di antara karya tafsir yang bercorak demikian adalah Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m karya al-Tustariy dan H{aqa>iq al-Tafsi>r karya al-Sulami.

Keenam, corak penafsiran sastra budaya dan kemasyarakatan yang lahir lantaran keinginan untuk menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan usaha untuk menanggulangi masalh-masalah mereka dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk Alquan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.7

Corak penafsiran ini dipelopori oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Mana>r.

Sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, era modern mencatat adanya penafsiran kesusastraan (balaghah) tanpa bermaksud meniadakan penafsiran kesusastraan (balaghah) pada masa klasik di dalam menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran ini cenderung menjelaskan berbagai kemukjizatan dari segi al-bayan di dalam Al-Qur’an. Ruang lingkupnya lebih banyak diarahkan pada bidang ada’ (sastra dan budaya) dan bidang sosial kemasyarakatan, terutama politik dan perjuangan. Diantara produk tafsirannya adalah Tafsir Al-Mara>ghi karya Ahmad Must}afa

6Ibid, 108.


(13)

4

Mara>ghi, Tafsir Fi> Z{ila>l al-Qura>n karya Sayyid Qut}b dan Shafwah al-Tafa>sir karya ‘Ali> al-Shabu>ni.8

Puncak penafsiran penafsiran Al-Qur’an menggunakan penafsiran kesusastraan dicapai pada masa Ami>n al-Khu>li. Ia meniti jalan pembaharuan terhadap metode penafsiran. Walaupun Ami>n al-Khu>li tidak pernah menerbitkan karya-karya tafsir, namun tulisannya mengenai Al-Qur’an, Mana>hij al-Tajdid

sangat signifikan peranannya. Metode-metode penafsiran Ami>n al-Khulli ini kemudian diterapkan oleh ‘A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’ dalam al-Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m. Karakteristik tafsir yang lebih memperhatikan perkembangan filologis, di mana selain dari segi bahasanya, nilai dari historis dari bahasa itu juga sangat diperhatikan.9

Bint al-Sha>t}i’ telah menawarkan metode pemaknaan Al-Qur’an yang cukup monumental. Prinsip bagaimana Al-Qur’an berbicara sendiri tanpa melibatkan unsur lain lebih dahulu dipegang. Mengartikan Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri, sehingga makna yang digali lebih valid dan otentik. Sikap anti

Isra>iliyya>t juga diterapkan dalam karya-karyanya, khususnya dalam Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m.10

Dalam menafsirkan suatu ayat, hal yang dilakukan Bint al-Sha>ti’ adalah menganalisis suatu ayat terlebih dahulu kemudian melangkah ke ayat berikutnya. Ia terkadang menyebutkan korelasi ayat yang dibahas dengan ayat lainnya. Dalam

8Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Semarang: Tiga

Serangkai Mandiri, 2003), 20-22.

9Abu Bakar, Pemikiran Tafsir Mesir Modern J.J.G Jansen: (Tela’ah atas Karya J.J.G

Jensen The Interpretation of The Koran in Modern Egypt), Al-Ihkam, Vol. IV, No. I (Juni 2011), 9.

10Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin, Studi Al-Qur’an Kontemporer


(14)

5

analisisnya, Bint al-Sha>ti’ membedah kata-kata kunci dari suatu ayat. Dari penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa satu kata hanya memberikan satu arti dalam satu tempat dan tidak ada kata yang bisa menggantikannya sekalipun kata itu berasal dari akar kata yang sama. Ia berkeyakinan bahwa jika suatu kata digantikan oleh kata yang lain akan berakibat hilangnya bukan hanya efek, tetapi juga keindahan dan esensinya. Analisis ini mengartikan bahwa tidak ada sinonim dalam Al-Qur’an yang kemudian muncul teori sinonim yang tidak dapat diterapkan dalam konteks gaya sastra arab tinggi.11

Dalam kasus sinonim dapat dikemukakan contoh yaitu penggunaan lafadz aqsama dan h}alafa yang dalam kamus dan oleh beberapa mufassir dianggap sebagai sinonim yang mempunyai arti bersumpah. Menurut penelitian Bint al-Sha>ti’, lafadz tersebut bukan sinonim karena lafadz h}alafa yang disebutkan sebanyak 13 kali di dalam Al-Qur’an mengacu kepada makna sumpah palsu yang selalu dilanggar. Sedangkan lafadz aqsama digunakan untuk sumpah sejati yang tidak diniatkan untuk dilanggar.12

Salah satu penafsirannya di dalam surat al-Taka>thur, Bint al-Sha>t}i’

berusaha menjelaskan satu persatu makna dari beberapa ayat di dalam surat tersebut. Pada ayat pertama yaitu:

ْٰﳍَا

ُﺮُـﺛﺎَﻜﱠﺘﻟا ُﻢُﻜ

)

۱

(

Pada lafadz al-taka>thurdi dalam tafsirnya, Bint Shati’ terlebih dahulu mencari arti secara harfiyah. Setelah itu, ia melacak lafadz al-taka>thuryang terdapat di dalam

11Wahyuddin, Corak dan Metode...., 97.

12Aisyah Abdurrahman,, Tafsir Bintusy-Syathi’, terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung:


(15)

6

Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, Bint Sha>t}i’ menambahkan pendapat beberapa mufassir. Ada yang berpendapat bahwa makna dari al-taka>thur adalah berlebih-lebihan atau ketamakan dalam harta. Ada pula yang berpendapat bahwa al-taka>thur bermakna berlebih-lebihan atau persaingan yang menyangkut jumlah anak dan pengikut. Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang menyebut sebab turunnya ayat ini. Dan dalam hal asba>b al-nuzu>l ini, Bint al-Sha>t}i’ menggunakan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab, artinya mengetahui riwayat-riwayat asba>b al-nuzu>l sebagai konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafadz, bukan pada sebab khusus turunnya ayat. Menyikapi perbedaan tersebut, Bint Sha>ti’ menafsirkan lafadz tersebut dengan melacak beberapa kali lafadz yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Dengan begitu, diperoleh apa makna lafadz al-taka>thur menurut Bint Sha>ti’.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang mengkaji pembahasan tentang Bint Shati’ mengenai penafsirannya dalam surat al-Taka>thur sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Sehingga penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan Penafsiran Surat al-Taka>thur menurut Aishah Abd al-Rahman Bint Shati. Dan menela’ah kitab tafsirnya yaitu Tafsi>r Baya>ni li Qur’a>n al-Kari>m merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Dalam penelitian ini, juga akan dijelaskan metode penafsiran Bint Sha>ti’ dalam menafsirkan Al-Qur’an, memaparkan prinsip-prinsip metodenya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan mendeskripsikan bagaimana Bint Sha>ti’ mengaplikasikan metodenya dalam


(16)

7

penafsirannya atas surat al-Taka>thur yang merupakan salah-satu surat pendek yang sudah ia selesaikan.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas terdapat beberapa masalah yang menarik untuk dibahas, yatitu:

1. Bagaimana metode Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an? 2. Bagaimana penafsiran surat al-Taka>thur menurut Bint Sha>t}i’?

3. Bagaimana aplikasi metode Bint Sha>t}i’ dalam penafsiran surat al-Taka>thur? 4. Bagaimana pendekatan Bint Sha>t}i’ dalam menafsikan Al-Qur’an?

5. Bagaimana pendekatan yang digunakan Bint Sha>t}i’ dalam penafsirannya atas surat al-Taka>thur?

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, penelitian ini dibatasi pembahasannya hanya pada penafsiran surat al-Taka>thur menurut Bint Sha>t}i’

yang meliputi metode dan pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Maka permasalahan yang akan diangkat dalam rangka memproyeksikan penelitian lebih lanjut dan mengkonsentrasikan hanya pada surat al-Taka>thur. Hal ini agar fokus masalah yang penulis teliti terarah dan tidak meluas.

C. Rumusan Masalah

Dari beberapa permasalahan di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana metode Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an?

2. Bagaimana aplikasi metode Bint Sha>t}i’ dalam penafsiran surat al-Taka>thur?


(17)

8

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menjelaskan metode yang digunakan Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an.

2. Menjelaskan pengaplikasian metode Bint Sha>t}i’ dalam penafsiran surat al-Taka>thur.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini yaitu:

1. Secara teoritik, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran wacana keagamaan dan menambah khazanah literatur studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia.

2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberi pemahaman terhadap metode dan pendekatan yang digunakan tokoh tersebut dalam menafsirkan Al-Qur’an dan mengetahui penafsirannya terhadap surat al-Taka>thur.

F. Telaah Pustaka

Ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang Bint Shati’ diantaranya:

1. Qasam Dalam Al-Qur’an (Studi Komparasi Pemikiran Ibn Qayyi>m al-Jauziyyah dan ‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ Terhadap Ayat-Ayat Sumpah) skripsi tahun 2010 oleh Muh. Taqiyuddin, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penelitiannya, Taqiyuddin berusaha untuk mengkomparasikan pemikiran Ibn Qayyi>m dan Bint Sha>t}i’ dalam kajian Qasam.


(18)

9

2. Corak dan Metode Interpretasi‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’, Jurnal al-Ulum, Volume 11 Nomor 1, Juni tahun 2013 oleh Wahyuddin IAIN Sultan Amai Gorontalo. Dalam penelitian tersebut, Wahyuddin hanya menjelaskan corak dan metode dari Bint Sha>t}i’ dalam menafsirkan Al-Qur’an.

3. Nuansa Etis dalam surat al-Balad (Sebuah penafsiran Linguistik Model Bint al-Sha>ti’), Jurnal Teologia, Volume 16 Nomor 1, Juni tahun 2016 oleh Imam Taufiq. Dalam penelitiannya tersebut, Taufiq berusaha menjelaskan penafsiran Bint Sha>t}i’ tentang surat al-Balad.

Dengan melihat kajian penelitian yang dilakukan sebelumnya, kajian tentang Penafsiran Surat al-Taka>thur menurut A<ishah Abd Rahma>n Bint al-Sha>ti’ secara spesifik belum dilakukan. Sehingga tema ini diambil untuk skripsi penelitian ini.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara optimal.13 Berikut pemaparan motode yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga diperoleh data-data yang jelas.

13Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik


(19)

10

2. Model Penelitian

Model penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang datanya berupa data non statistik.14 Penelitian kualitatif ini dimaksudkan

untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistimologis dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah berbagai kitab tafsir, kitab ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, buku, artikel dan sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang bersifat primer maupun sekunder.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer dari penetitian ini adalah kitab Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m karya Bint al-Sha>ti’

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir, kitab ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, buku, artikel dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan topik yang dibahas.


(20)

11

5. Analisis Data

Adapun isi dari analisis data pada tahap pertama adalah penelitian ini berupaya mengetahui secara intens kitab tafsir Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m melalui biografi pengarangnya, latar belakang penulisannya, prinsip-prinsip metodenya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini terutama dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran Bint al-Sha>ti’ dalam hubungannya dengan tafsir.

Pada analisis berikutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan penafsiran surat al-Taka>thur menurut Bint al-Sha>ti’, kemudian menganalisa bagaiman Bint al-Sha>ti’ mengaplikasikan prinsip-prinsip metodenya terhadap surat al-Taka>thur.

H. Sistematika Pembahasan

Garis besar kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian agar target penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab kedua menguraikan tentang data penelitian yaitu menjelaskan tentang ‘A<ishah Abd al-Rah}ma>n Bint al-Sha>t}i’ dan kitab tafsirnya. Bab ini akan diawali dengan memberikan penjelasan tentang biografi Bint al-Sha>ti’. Kemudian


(21)

12

akan dilanjutkan dengan penjelasan tentang kitab tafsirnya, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m.

Bab ketiga menjelaskan tentang metode penafsiran A<ishah Abd al-Rah}ma>n Bint al-Sha>t}i’. Berisi tentang pandangan Bint al-Sha>t}i’ terhadap Al-Qur’an yang akhirnya melahirkan metode penafsiran Al-Al-Qur’an menurut Bint al-Sha>t}i’.

Bab keempat menjelaskan tentang pengaplikasian metode penafsiran

Bint al-Sha>t}i’ pada surat al-Taka>thur dan analisisnya. Berisi tentang pengaplikasian metode penafsiran Bint al-Sha>t}i’ terhadap surat al-Taka>thur pada kitab tafsirnya, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m dan diakhiri dengan analisis terhadap Bint al-Sha>t}i’ dalam menafsirkan surat al-Taka>thur.

Bab kelima, penutup meliputi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk pertanyaan dan saran-saran dari pembaca untuk perbaikan penulisan yang akan datang.


(22)

BAB II

A<ISHAH ABD AL-RAHMA<N BINT AL-SHA<T{I’

DAN KITAB TAFSIRNYA

A. Biografi A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’ 1. A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’

Bint al-Sha>t}i’ lahir pada 6 November 1913 di barat Delta Nil, tepatnya di Dumyat. A<ishah Abd al-Rahma>n lebih dikenal dengan nama samaran Bint al-Sha>t}i’ yang berarti anak perempuan tepian sungai. Nama samaran itu digunakan karena sejak kecil Bint al-Sha>t}i’ selalu menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan belajar di tepi sungai Nil.1 Ia tumbuh

dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat dan tergolong konservatif. Walaupun ia memiliki pandangan dan sikap yang konservatif, tetapi ia memiliki daya tarik untuk seorang perempuan Arab modern yang berbudaya, yang harus diperhitungkan karena memiliki kemampuan pengungkapan diri yang kuat dan artikulatif, diilhami oleh nilai-nilai Islam dan pengetahuan, sehingga menjadikannya seorang pakar tafsir yang hidup di era modern.

Abd al-Rahma>n, ayah Bint al-Sha>t}i’ adalah seorang anggota kerukunan sufi. Selain itu, ia adalah seorang guru yang mengajar di sekolah teologi Dumyat. Dengan pandangan yang sangat konservatif, ia berasumsi bahwa seorang anak gadis yang telah menginjak masa remaja harus tinggal di rumah untuk belajar. Ayah Bint al-Sha>t}i’ sebenarnya bukan penduduk asli

1A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’, Ala al-Jisr (Kairo: al-Hay’ah al-Miriyyah li al-Kita>b, 1996), 2.


(23)

14 Dumyat. Ia berasal dari salah satu daerah kecil yang disebut shubra, tepatnya di Maufiyyah. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas al-Azhar, Kairo, ia diangkat menjadi guru SD di Dumyat. Di tempat ini, ia bertemu seorang putri Syekh Ibrahim Damhuj dan menikahinya, yang akhirnya melahirkan seorang putri yang bernama A<ishah Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>t}i’.2

Pada masa kecil, Bint al-Sha>t}i’ hampir tidak memiliki waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Hal itu disebabkan karena ayahnya selalu memerintahkannya untuk belajar sampingan semacam “ngaji” di rumah maupun di kantornya Universitas al-Bah}r, ketika itu Bint al-Sha>t}i’ sering mendengarkan Al-Qur’an yang dibaca ayah dan teman-temannya. Berkat kemampuan intelektual yang dimilikinya, Bint al-Sha>t}i’ mampu menghafal beberapa ayat Al-Qur’an terutama surat-surat pendek yang ia dengar berulang kali.3

Adapun pendidikan formal Bint al-Sha>t}i’dimulai dari belajar menulis dan membaca bahasa Arab pada Syekh Murshi di tempat ayahnya berasal, Shubra Bakhum pada usia lima tahun. Selanjutnya, ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayan Islam di Dumyat dan berhasil menyelesaikannya dengan predikat cumlaude. Hal ini yang mendorongnya untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam.

Setelah menyelesaikan studi ilmu pendidikan di madrasah ta’limiyyah t}anta pada tahun 1929, Bint al-Sha>t}i’ berinisiatif untuk hijrah ke kota Kairo

2Ibid, 22.


(24)

15 untuk mencari pengalaman yang lebih. Di ibu kota Mesir tersebut, seluruh bakat dan kecerdasannya mulai ditempa dengan baik. Dengan posisi sebagai penulis di Giza, ia pun memulai karirnya dengan banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media masa terkenal di Mesir. Dari sinilah mulai muncul nama besar Bint al-Sha>t}i’.

Kesibukan dalam dunia menulis bukan merupakan penghambat baginya untuk melanjutkan proses studi. Pada tahun 1936, Bint al-Sha>t}i’

berhasil menyelesaikan program sarjananya di Universitas Fuad I Kairo, jurusan sastra Arab. Kemudian merampungkan program magisternya di Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941 dengan judul tesis al-H{ayya>t al-Insa>niyyah ‘Inda Abi> ‘Ala.

Di Universitas tersebut, Bint al-Sha>t}i’ dipertemukan dengan sang pujaan hati, Ami>n Khu>li> yang kemudian menjadi suaminya. Ami>n Khu>li>

merupakan pakar ilmu tafsir, sehingga ia banyak memeberikan pengaruh terhadap pemikiran Bint al-Sha>t}i’. Hal ini terlihat dari corak beberapa pemaparan yang Bint al-Shati’ sampaikan. Tahun 1950, Bint al-Sha>t}i’

berhasil merampungkan studi doktornya dengan meraih gelar PhD. T{aha> Husain sebagai pengujinya pada sidang disertasinya yang berjudul Risa>lat al-Ghufra>n li> Abi> al-A’la dan Bint al-Sha>t}i’ meraih predikat cumlaude.4

Lantaran studinya mengenai sastra dan tafsir Al-Qur’an, mengantarkan Bint al-Sha>t}i’ menjadi Guru Besar sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ayn Shams, Mesir. Terkadang ia menjadi Guru Besar Tamu di

4Issa J. Boullata, Tafsir Al-Qur’an Modern: Studi atas Metode Bint al-Sha>ti’, Jurnal al-Hikmah, Nomor 3, Oktober 1991, 6.


(25)

16 Universitas Islam Umm Durma>n Sudan dan Universitas Qarawiyyi>n Maroko. Pada tahun 60-an, Bint al-Sha>t}i’ memberikan kuliah dan konferensi di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez, Khartoum dan lain-lain.

Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu> al-A’la> al-Marri>, al-Khansa> dan penyair-penyair atau penulis-penulis lain mengenai biografi ibunda Nabi Muhammad SAW, istri-istri Nabi SAW, anak-anak perempuannya serta cucu dan buyut perempuannya. Selain itu juga mengenai monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan perempuan dalam pemahaman Islam dan karya-karya kesejarahan mengenai masa hidup Nabi SAW. Bint al-Sha>t}i’ juga menulis mengenai isu-isu mutakhir di dunia Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan budaya masa lampau, tentang bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah dan tentang dimensi sejarah dan intelektual perjuangan orang-orang melawan imperialisme Barat dan Zionisme.5

Pada awal bulan Desember 1998, Bint al-Sha>t}i’ meninggal dunia pada umur 85 tahun karena serangan jantung. Syekh al-Azhar menshalatinya saat pemakaman untuk kepergian ilmuwan besar di zaman modern. Pemakamannya juga dihadiri oleh para ilmuwan, penulis dan kaum intelektual yang datang dari berbagai negara.6 Tulisan terakhirnya yang sempat diterbitkan oleh koran al-Ah}ram berjudul ‘Ali bin Abi Thalib

5Bint al-Sha>ti’, Tafsir Bintusy-Syathi’...., 9-10.

6H{ani D{awwah, Fi Dhikra Awwal Imra’ah Tuh}ad}iru bi al-Azhar, dalam http://www.moheet.com.


(26)

17 Karramallahu Wajha tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi atas kehebatannya dan metode tafsir yang ia kembangkan dalam karyanya Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m banyak menjadi rujukan metode penafsiran pada zaman kontemporer

2. Karir intelektual dan karya-karya Bint al-Sha>t}i’

Karir akademik Bint al-Sha>t}i’ dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al-Mansu>riyyah pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1932, Bint al-Sha>t}i’ menjadi supervisior di sebuah lembaga bahasa untuk Inggris dan Perancis, menjadi asisten Lektur di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1939, menjadi inspektur bahasa Arab pada sebuah lembaga bahasa pada tahun 1942 sekaligus sebagai kritikus bahasa pada koran al-Ah}ra>m, menjadi Lektur bahasa Arab di Universitas Ayn al-Shams pada tahun 1950, menjadi asisten profesor di Universitas yang sama pada tahun 1951 sampai 1957.

Pada tahun 1968, Bint al-Sha>t}i’ menjadi profesor sastra Arab di Universitas khusus perempuan dan akhirnya menjadi profesor penuh sastra Arab di Universitas ‘Ayn al-Shams pada tahun 1967, di Unversitas al-Azhar, menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Islam Umm Durma>n, Khartoum, Sudan pada tahun 1968. Pada tahun 1970, Bint al-Sha>t}i’ menjadi Guru Besar dalam tafsir Al-Qur’an di fakultas hukum, Universitas Qarawiyyi>n Fez, Maroko, menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Bairut pada tahun 1972, menjadi Guru Besar di Universitas Emirates pada tahun 1981 dan menjadi Guru Besar fakultas pendidikan di Riyad pada tahun 1983.7


(27)

18 Disamping minat dalam pendidikan dan sastra, Bint al-Sha>t}i’ juga memiliki bakat jurnalistik yang besar. Ia menulis artikel di media masa sejak di pendidikan lanjutan, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Bakat ini kemudian dikembangkan dengan menerbitkan majalah al-Nahdhiyyah al-Nisa>iyyah pada tahun 1933, dimana ia juga menjabat sebagai redakturnya. Disamping itu, ia juga menulis untuk koran al-Hila>l dan menjadi kolomnis di koran al-Akhra>m.

Minat Bint al-Sha>t}i’ terhadap kajian tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan Ami>n al-Khu>li>, seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya ketika ia bekerja di Universitas Fuad I Kairo. Dari sini,

Bint al-Sha>t}i’ mendalami tafsir dan menulis kitab tafsirnya yang terkenal yaitu al-Tafsi>r al-Baya>ni li al-Qur’a>n al-Kari>m yang diterbitkan pada tahun 1962. Karya ini mendapat sambutan luar biasa dari kalangan intelektual, sehingga ia diundang untuk kuliah dan konferensi di berbagai kota, seperti Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez dan Khartoum. Dalam karyanya ini, Bint al-Sha>t}i’ memberikan dan menerapkan metode baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang belum dikenal sebelumnya.8

Bint al-Sha>t}i’ adalah sekian dari ulama yang produktif, yang dikukuhkan dengan karya-karya yang telah dipublikasikannya sebanyak 60 karya dalam bentuk buku dan ratusan artikel dalam berbagai bidang, seperti


(28)

19 keislaman, bahasa Arab, sastra, isu-isu sosial, emansipasi wanita, antropologi dan lain sebagainya. Di antara karya-karyanya tersebut antara lain:9

a. Al-Hayya>t al-Insa>niyyah ‘Inda Abi> al-‘Ala, Da>r al-Ma’a>ri>f, 1944 (Tesis M.A. pada Universitas Fuad I, Kairo, 1941)

b. Risalah al-Ghufra>n li> ‘Abi> al-‘Ala>, Kairo: Da>r al-Ma”ari>f , 1950. Edisi II, 1957; edisi III, 1963; edisi IV, 1968; edisi V, 1969.

c. Al-Ghufra>n li Abi> al-Ala’ al-Ma’arri>, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1954. Edisi II, 1962; edisi III, 1968 (Disertasi Doktor pada Universitas Fuad I, Kairo, 1950)

d. Ardh al-Mu’jiza>t, Rih{lah fi> Jazi>rah al-‘Arab, Kairo: Da>r al-Ma’a>ri>f,

1956.

e. Nisa’ al-Nabiy, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1961. f. Umm al-Nabiy, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1961. g. Bana>t al-Nabiy, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1963.

h. Sukaynah bint al-H{usayn, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1965. i. Bat}ala>t al-Karbala>, Kairo: Da>r al-Hila>l, 1965 .

j. Abu> al-‘Ala al-Ma’arri>, Kairo: al-Mu’assasah al-Mis{riyyah al-Ammah,

1965.

k. Al-Khansa>, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1965.

l. Al-Mafhu>m al-Isla>mity li Tah}rir al-Mar’ah, Mut}ba’ah Mukhaymir,

1967.


(29)

20 m. Turathuna Bayna Ma>dhin wa H{a>dhirin, Kairo: League of Arab States,

Ma’had al-Dira>sah al-‘Arabiyyah, 1968.

n. A’dha’ al-Bashar, Kairo: Higher Council for Islamic Affair, Lajnah al-Ta’rif bi al-Isla>m, 1968.

o. Al-Ab’a>d al-Ta>rikhiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’rakatina>, Kairo:

Mat}ba’ah al-Mukhaymir, 1968.

p. Lughatuna> wa al-H{ayya>t, Kairo: League of Arab States, Ma’had al-Dira>sah al-‘Arabiyyah, 1969.

q. Ma’a al-Mus}t}afa> fi al-‘As}r al-Mab’ath, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1969. r. Bayn al-Aqi>dah wa al-Ikhtiya>r, Beirut: Da>r al-Naja>h, 1973.

Sementara itu, buku-buku Bint al-Sha.ti’ yang berhubungan dengan kajian-kajian Al-Qur’an mencakup judul-judul berikut:10

a. Al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’an al-Kari>m, Vol. I, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f,

1962. Edisi II, 1966; edisi III, 1968. Selanjutnya disebut al-Tafsi>r, I. Tafsir ini memuat penafsiran dari tujuh surat pendek, yaitu su>rah D{uh}a>, Su>rah Sharh}, Su>rah Zalzalah, Su>rah ‘A<diya>t, Su>rah al-Na>zi’a>t, Su>rah al-Balad dan Su>rah al-Taka>thur.11

b. Al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’an al-Kari>m, Vol. II, Kairo: Da>r al-Ma’ari>f,

1967. Selanjutnya disebut al-Tafsi>r, II. Dalam tafsir ini, Bint al-Sha>ti’

menafsirkan tujuh surat pendek, yaitu Su>rah al-Alaq, Su>rah al-Qalam,

10Ibid, 11.

11A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz I (Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1962), 216.


(30)

21 Su>rah al-‘As}r, Su>rah al-Layl, Su>rah al-Fajr, Su>rah al-Humazah dan Su>rah al-Ma>’u>n.12

c. Kita>buna> Akbar, Umm Durma>n: Ja>mi’ah Umm Durma>n al-Isla>miyyah, 1967. Buku ini mengungkapkan tentang Al-Qur’an yang mempunyai ungkapan yang khas dan penggunaan-penggunaan yang secara tersendiri dikhususkan untuk Al-Qur’an.

d. Maqa>l fi al-Insa>n, Dira>sah Qur’a>niyyah, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1969. Merupakan karya Bint al-Sha>ti’ yang membahas tentang risalah manusia menurut tinjauan Al-Qur’an dan mengikuti metode sebagaimana tafsirnya.13

e. Al-Qur’a>n wa al-Tafsi>r al-As}riy, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1970. Merupakan serangkaian artikel yang dikumpulkan jadi satu. Artikel-artikel tersebut berisi tentang ketidaksetujuan Bint al-Sha>ti’ terhadap tafsir as}ri yang dicetuskan oleh Mus}t}afa> Mah}mud, seorang ahli fisika yang mengadopsi gagasan sains modern dan mencoba menemukan gagasan tersebut dalam konsep Al-Qur’an.14

f. Al-Ijaz al-Baya>ni al-Qur’a>n, Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1971. Selanjutnya disebut al-I’jaz yang merupakan usaha Bint al-Sha>ti’ dalam mengkaji kemukjizatan Al-Qur’an serta pembicaraan mengenai nilainya (pembahasan mengenai nas} Al-Qur’an harus mendahului semua kajian

12A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz II (Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1969), 193.

13‘A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, Maqa>l fi al-Insa>n, Dira>sah Qur’a>niyyah (Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1969), 4.


(31)

22 lainnya) dan pembahasan mengenai beberapa metode tafsir yang diterapkan dalam penafsirannya.15

g. Al-Shikhshiyyah al-Isla>miyyah---Dira>rah Qur’a>niyyah, Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Malayi>n, 1973.

Selain karir intelektual dan karya-karyanya, Bint al-Sha>t}i’ berhasil mengantarkan mahasiswa-mahasiswanya kepada kehidupan ilmiah dan masuk ke dalam ulama-ulama muda yang terpilih, yang mengambil spesialisasi dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, beberapa diantaranya adalah:16

a. ‘Abd al-Sala>m al-Kanu>ni>, Guru Besar Fakultas Ushuluddin di Tat}wan. Dia menyelesaikan karyanya yang pertama dengan judul Madrasah al-Qur’a>niyyah fi> al-Maghrib, min al-Fath} ila> ibn ‘At}iyyah, disusul dengan disertasinya yang berjudul Mukhtas}ar Tafsi>r Yah}ya> bin Sala>m, Li Abi> Abd Alla>h Ibn Abi> Zumni>n: Tah}qi>q wa dira>sah.

b. Abd al-Kabi>r al- Madghari>, Guru Besar Fakultas Shari’ah di Faz. Dia menyelesaikan disertasinya yang berjudul al-Na>sikh wa al-Mansu>kh lil Qad}i Abi> Bakr Ibn al-‘Arabi>: Tah}qi>q wa dira>sah.

c. Muh}ammad al-Rawandi>, Asisten Guru Besar di Da>r H{adi>th al-H{asaniyyah. Dia menulis karya besarnya yaitu al-S{aha>bah al-Shu’ara>’,

yang mana di dalamnya menjelaskan tentang masalah-masalah Islam dan puisi, meluruskan kesalahan-kesalahan pengkaji yang menangani masalah masalah tersebut, dan memperkenalkan ilmu tentang generasi

15A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, Al-Ijaz al-Baya>ni al-Qur’a>n (Kairo: Da>r Ma’ari>f, 1971), 19.


(32)

23 penyair Islam yang pertama, yaitu para murid Madrasah Nubuwwah yang menurut t}abaqah al-Zami>l Li al-S{ah}a>bah al-Shu’ara>’ jumlahnya mencapai emapat ratus penyair.

d. Sahi>r Muh}ammad Khali>fah, yang tak lain adalah putra dari Bint al-Shat}i’ sendiri. Dia merupakan seorang pengajar di Universitas al-Azhar dengan risalahnya yang berjudul al-Shawa>hid al-Qur’a>niyyah fi> Kita>b Siba>waih

untuk meraih gelar magister dari Universitas al-Azhar dengan hasil Cumlaude. Dan dia juga meraih gelar doktor pada 12 Juli 1977 dengan judul disertasi al-Shawa>hid al-Qur’a>niyyah fi> Kita>b Mughni> al-Labi>b Li Ibn Hisha>m dengan hasil summa cumlaude yang kemudian atas saran penguji dicetak dengan biaya dari Universitas al-Azhar.

B. Kitab TafsirBint al-Sha>t}i’

Kitab yang memiliki nama asli yaitu Tafsi>r Baya>ni li Qur’a>n al-Kari>m, merupakan sebuah kitab yang merupakan salah satu karya monumental

Bint al-Sha>t}}i’ dalam bidang tafsir yang sangat menaruh banyak perhatian para peminat kajian-kajian Al-Qur’an, baik dari timur maupun dari barat. Kitab ini terdiri dari dua jilid, masing-masing mencakup tujuh surat. Dengan demikian kitab ini hanya memuat 14 surat pendek yang diambil juz ‘Amma atau juz ke-30 dari Al-Qur’an.

Juz pertama telah dipublikasikan pada tahun 1962 dan telah dicetak ulang sebanyak dua kali yaitu tahun 1966 dan 1968. Jilid pertama ini berisi tujuh surat pendek, yaitu su>rah al-D{uh}a>, Su>rah al-Sharh}, Su>rah al-Zalzalah, Su>rah al-‘A<diya>t, Su>rah al-Na>zi’a>t, Su>rah al-Balad dan Su>rah al-Taka>thur. Sedangkan juz kedua


(33)

24 baru dipublikasikan pada tahun 1967 dan juga berisi tujuh surat pendek, yaitu

Su>rah al-Alaq, Su>rah al-Qalam, Su>rah al-‘As}r, Su>rah al-Layl, Su>rah al-Fajr, Su>rah al-Humazah dan Su>rah al-Ma>’u>n. Kedua jilid tersebut diterbitkan oleh Da>r Ma’a>rif, Kairo, Mesir.

Dalam menulis kitab tafsirnya ini, Bint al-Shat}i’ mendasarkan penafsirannya pada metode penafsiran yang dirintis oleh suaminya, Ami>n Khu>lli>

(1895-1966) seorang pakar filologi dan teologi mesir. Metode penafsiran Ami>n Khu>lli> ini dikemukakan dalam karya monumentalnya, Mana>hij Tajdid fi al-Nah}w wa al-Balaghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b. Ami>n Khu>li> sangat menganjurkan pendekatan tematik dalam menafsirkan Al-Qur’an dan sangat menekankan signifikasi interpretasi filologi yang didasarkan pada kronologi teks dan penggunaan semantik bahasa Arab untuk menganalisis kosa kata Al-Qur’an.17

Pendekatan tematik ini merupakan respon terhadap penafsiran klasik yang dinilainya cenderung bersifat persial dan atomistik. Metode ini selanjutnya diaplikasikan oleh Bint al-Sha>t}i’ dalam tafsirnya, al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur’a>n al-Kari>m. Kitab tafsir yang menggunakan corak tafsir dengan pendekatan sastra ini terlebih dahulu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut masalah yang dibahas dengan memperhatikan kemungkinan seluruh arti yang dapat dikandung oleh lafadz tersebut menurut penggunaan bahasa. Selain itu juga menggunakan konsep asba>b al-nuzu>l dengan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab. Yang terakhir, mengutip pendapat mufasir-mufasir terdahulu tanpa menggunakan penafsiran yang berbentuk sektarian dan isra>iliyya>t.


(34)

BAB III

METODE PENAFSIRAN

BINT AL-SHA<T{I’

A. Al-Qur’an dalam PandanganBint al-Sha>t}i’

Ami>n Khu>li> merupakan guru sekaligus suami dari Bint al-Sha>t}i’ yang sangat memberi pengaruh besar padanya dalam memandang Al-Qur’an. Bahkan,

Bint al-Sha>t}i’ secara jujur mengakui bahwa metode dan karya tafsirnya lahir sebagai langkah lanjut dari tawaran Ami>n Khu>li>.1 Pengakuan Bint al-Sha>t}i’ tersebut menunjukkan signifikannya gagasan yang diberikan Ami>n Khu>li> yang dikembangkan dalam karya tafsirnya. Tawaran inovatif dari Ami>n Khu>li> tersebut tertuang dalam dua ide besar, yaitu:

1. Al-Qur’an sebagai kitab karya sastra terbesar

Sejarah sudah membuktikan betapa besarnya respon dunia Islam terhadap Al-Qur’an, sehingga tidak terhitung lagi jumlah mufasir dan ahli dari berbagai cabang keilmuan yang berdialektika dengan Al-Qur’an dalam sepanjang sejarah Islam. Sebagian dari para mufasir dan tokoh keilmuan Al-Qur’an lainnya adalah para pembaharu yang mempunyai inisiatif untuk menemukan cara-cara baru yang kreatif dalam pemecahan masalah tafsir Al-Qur’an atau persoalan lain yang terkait dengan disiplin ilmu tafsir. Dalam jajaran para inisiator penggagas lahirnya cara pemahaman baru dalam studi Al-Qur’an pada abad ke-20, muncul nama Ami>n Khu>li> sebagai penggagas gaya baru tafsir Al-Qur’an yaitu al-Tafsi>r al-Baya>ni.


(35)

26 Memang apa yang dilakukannya dalam upaya pembaharuan terhadap studi Al-Qur’an atau tafsir khususnya, tidak dengan cara menyusun sebuah karya tafsir monumental, tetapi dengan cara memperbarui pola berfikir dan cara pandang orang terhadap Al-Qur’an. Kalaupun Ami>n Khu>li> menulis karya tulis praktis, seperti karyanya yang berjudul Min Hu>d al-Qur’a>n, itu merupakan bukan target akhirnya. Itu mengapa, dari banyak karya tulisnya yang lebih menitik beratkan pada aspek metodologis teoritis tafsir. Di antara aspek teoritis yang ia rancang adalah upayanya menggeser cara pandang terhadap Al-Qur’an.

Sejarah panjang penafsiran Al-Qur’an sejak massa abad pertengahan hingga awal abad modern, menunjukkan betapa cara pandang ideologis terhadap Al-Qur’an sangat dominan. Akibatnya, penafsiran Al-Qur’an lebih merupakan upaya latihan intelektual bidang tertentu, seperti kalam, sufisme, fiqh, grametika Arab, sejarah bahkan dalam bidang sains. Dalam tafsir semacam ini, Al-Qur’an diperlakukan lebih sebagai alat justifikasi kecenderungan tertentu para mufasirnya.

Untuk mengubah cara pandang seperti ini, Ami>n Khu>li> mencetuskan prinsip dasar yang harus dimiliki dan dipegangi para mufasir sebelum menafsirkan Al-Qur’an, supaya tidak terjebak pada upaya mencari pembenaran dari Al-Qur’an atas kecenderungan pribadinya. Gagasan tersebut adalah memandang Al-Qur’an sebagai karya sastra besar sebelum

memandangnya sebagai kitab suci.2


(36)

27

Al-Qur’an harus dianggap sebagai kitab al-Arabiyyah al-Akbar, karena

Al-Qur’an mengabadikan bahasa Arab sehingga menjadikan kebanggaan tersendiri bagi bahasa Arab dan kearabannya diakui oleh semua orang Arab apapun agamanya sepanjang mereka masih mengakui kearabannya. Dengan cara pandang seperti ini, Ami>n Khu>li> memprediksi hasil penafsiran dari Al-Qur’an akan menjadi sama antara para mufasir baik itu muslim, kristen, kaum

pegan, materialis atau ateis.3 Bukan kepentingan agama yang harus menjadi

tolak ukur penafsiran Al-Qur’an, adapun hasil akhirnya untuk kepentingan agama itu adalah persoalan lain. Karena dalam kasus seperti ini, upaya penafsiran tidak boleh terpengaruh oleh konsepsi agama apapun sehingga relatif lebih obyektif. Penafsiran dengan cara pandang seperti ini, akan mendapatkan dan memperoleh makna sejati dari Al-Qur’an.

2. Aspek eksternal dan internal Al-Qur’an

Untuk mewujudkan adanya penafsiran yang memperoleh makna sejati dari Al-Qur’an seperti dijelaskan di atas, Ami>n Khu>li> menetapkan tugas pokok seorang mufasir dalam usaha menafsirkan Al-Qur’an, yaitu dengan langkah studi eksternal teks (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n) dan studi internal teks (dira>sah fi> al-Qur’a>n nafsih). Kalau dua langkah ini terpenuhi oleh seorang mufasir, maka menurut Ami>n Khu>li>, akan lahir tafsir yang berorientasi pada makna obyektif Al-Qur’an.

Studi aspek eksternal Al-Qur’an (dira>sah ma> h}aul al-Qur’a>n) yang dimaksud adalah ketika Al-Qur’an dipandang sebagai teks bahasa maka tidak

3Ami>n Khu>li>,Mana>hij al-Tajdid fi al-Nah}w wa al-Balaghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b (Kairo: Da>r Ma’rifah, 1961), 303.


(37)

28 akan muncul situasi hampa budaya, oleh karenanya lingkungan dan waktu di mana Al-Qur’an di turunkan pertama kali akan sangat penting bagi pemahaman mufasir.

Jadi dalam menafsirkan Al-Qur’an, menurut Ami>n Khu>li> seorang mufasir harus melacak terlebih dahulu kondisi lingkungan material maupun non material yang ada ketika Al-Qur’an turun, hidup, dihimpun, ditulis, dibaca dan dihafal, juga bagaimana Al-Qur’an berbicara pada audiennya yang pertama. Dan juga berbagai kondisi non material ketika Al-Qur’an diturunkan, seperti sistem sosial, keluarga, qabilah, pemerintahan dalam batas tertentu, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan dan perilaku. Dengan kata lain, seorang mufasir pada tahap ini harus mengetahui tentang keadaan masyarakat Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an sebagai sarana untuk

memahami Al-Qur’an.4

Sedangkan studi aspek internal Al-Qur’an (dira>sah fi> al-Qur’a>n nafsih)

yang dimaksudkan adalah seorang mufasir harus mengetahui perkembangan makna dan signifikasi kata-kata tertentu Al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya. Kemudian mencari indikasi dari makna ini dalam setiap akar katanya agar dapat diketahui pergeseran makna katanya serta pengaruhnya secara psikologis sosial dan peradapan umat.

Kemudian makna kata dalam bentuk tunggalnya ini dicocokkan dalam konteks penyebutan atau susunan kalimat dalam suatu ayat. Dengan cara ini, tidak bermaksud untuk menjadikan pembahasan gramatik sebagai hasil akhir


(38)

29 sebagaimana dalam tafsir klasik, melainkan untuk menjadi sarana

menentukan makna.5

Selain itu, mufasir harus mencari muatan psikologis dan kondisi sosial yang ada pada kata tersebut serta struktur dan dinamikanya yang terekam dalam kata tertentu. Untuk mendapatkannya, mufasir dapat menggunakan berbagai studi terdahulu sebagai bahannya.

Tawaran inovatif Ami>n Khu>li> kemudian dikembangkan oleh Bint al-Sha>t}ti’ dengan mengatakan bahwa metode pertama penafsiran kesusastraan adalah dengan memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara obyektif. Hal ini berkaitan erat dengan aspek tekstualitas Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab tentu mewakili apa yang ingin disampaikan Allah SWT kepada manusia, karena bahasa merupakan alat komunikasi yang sifatnya konfeksi dan fleksibel. Maka langka yang kemudian digunakan Bint al-Sha>t}ti’ adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memuat lafadz yang sama untuk kemudian dibandingkan dan ditentukan makna manakah yang paling representatif.

Metode yang pertama ini berkutat pada aspek bahasa dan sastra, seperti apakah akar kata term kunci dalam sebuah ayat, evolusi penggunaannya dan pengertian yang dikandung dalam sebuah term. Permasalahan bahasa juga dijelaskan dengan mencari arti asli linguistiknya dan dalam memahami pertanyaan-pertanyaan sulit dalam sebuah ayat, maka

5Ibid, 314-316.


(39)

30 ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan kemungkinan maksudnya dan dikomparasikan dengan pendapat para ulama.

Sedangkan studi kontekstual yang gagas Ami>n Khu>li> kemudian

dikembangkan oleh Bint al-Sha>ti’ menjadi dua metode dari empat

metodenya, yaitu untuk memahami konteks pewahyuan maka ayat-ayat disekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (Asba>b al-Nuzu>l). Akan tetapi, sebab-sebab peristiwa tersebut bukan merupakan syarat mutlak dari pewahyuan.

B. Metode PenafsiranBint al-Sha>t}i’

Pada dasarnya prinsip dan metode yang dilakukan Bint al-Sha>t}i’ dalam

menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:6

1. Sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain

2. Al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai kesatuan

dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, atau bisa disebut dengan metode muna>sabah yaitu mengaitkan lafadz atau ayat dengan lafadz atau ayat yang di dekatnya, dan bahkan bisa yang tidak di dekatnya.

3. Prinsip al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab, yaitu ketentuan suatu masalah berdasarkan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.

4. Keyakinan bahwa lafadz-lafadz di dalam Al-Qur’an tidak ada sinonim,

dimana satu lafadz hanya mempunyai satu makna. jika suatu lafadz


(40)

31 digantikan oleh makna lafadz yang lain akan berakibat hilangnya bukan hanya efektifitasnya, tetapi juga keindahan dan esensinya.

Dari prinsip di atas, Bint al-Sha>t}i’ kemudian menetapkan empat langkah sebagai metode penafsiran Al-Qur’an. Keempat langkah ini merupakan pengembangan terhadap prinsip-prinsip metode yang dicetuskan oleh Ami>n Khu>li>. Empat langkah tersebut antara lain:7

1. Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari

Al-Qur’an secara obyektif. Dan hal ini dimulai dengan mengumpulkan semua surat dan ayat yang ada di dalam Al-Qur’an ke dalam tema yang akan dibahas.

2. Dalam memahami nas, yang terpenting adalah menyusun ayat-ayat sesuai

tertib nuzulnya untuk mengetahui situasi waktu dan tempatnya, seperti yang diungkapkan oleh riwayat-riwayat asba>b al-nuzu>l sebagai konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafadz, bukan pada sebab khusus turunnya ayat (ibrah bi umu>m lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab). Asba>b al-nuzu>l hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya suatu ayat tidak akan diturunkan.

3. Dalam memahami petunjuk lafal, Bint al-Sha>t}i’ menegaskan bahwa bahasa

Arab adalah bahasa Al-Qur’an. Maka untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam Al-Qur’an harus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian, makna Al-Qur’an diusut melalui


(41)

32 pengumpulan seluruh bentuk kata di daalam Al-Qur’an dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surat-surat tertentu serta konteks umumnya dalam Al-Qur’an.

4. Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, Bint al-Sha>t}i’ mengikuti

konteks nash di dalam Al-Qur’an, baik berpegang pada makna nash maupun semangatnya. Kemudian makna tersebut dikonfirmasikan dengan pendapat para mufasir terdahulu untuk diuji dan disesuaikan dengan nash ayat. Seluruh penafsiran yang berbentuk sektarian dan isra>iliyya>tharus ditinggalkan.

Lebih jelasnya, pertama, untuk mencapai makna makna yang tepat dari

kata-kata dan gaya pernyataan semaksimal mungkin dilakukan melalui studi-studi literal dengan cermat. Bint al-Sha>t}i’ mengawali kegiatan penafsiran ini dengan mengumpulkan semua ayat mengenai topik yang dibahas dengan menggunakan

pendekatan tematik. Kedua, guna memahami topik tertentu dalam Al-Qur’an

menurut konteksnya, ayat-ayat yang membahas topik ini disusun menurut tatanan

kronologis pewahyuan (tartib nuzulnya) sehingga keterangan mengenai wahyu

dan tempatnyadapat diketahui. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asba>b

al-nuzu>l tetap perlu dipertimbangkan dengan catatan bahwa itu hanya merupakan keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat, bukan tujuan atau sebab kenapa pewahyuan terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan sebab peristiwa pewahyuan.

Ketiga, untuk memperoleh pemahaman yang benar terhadap teks Al-Qur’an, maka arti kosa kata yang termuat di dalamnya harus dilacak dari


(42)

33 linguistik aslinya melalui bahasa Arab. Makna sebuah kosa kata Al-Qur’an ditelusuri melalui seluruh bentuk kata di dalam Al-Qur’an dan mengkkaji konteks spesifik kata itu. Dengan kata lain, Al-Qur’an memiliki peran utama sekaligus menjadi standar untuk menilai berbagai pendapat dari para mufasir.

Keempat, untuk memahami persyataan yang sulit, naskah ditelaah baik secara tekstual maupun kontekstual. Disamping itu, pendapat-pendapat para mufasir juga ditelaah berdasarkan petunjuk bayan Al-Qur’an. Bint al-Sha>t}i’

dalam tafsirnya, berupaya menghindari intervensi aneka ragam elemen dalam Al-Qur’an dan mencoba mempertimbangkan penerapan teori kronologis dan konteks historis dari ayat-ayat Al-Qur’an. Seluruh penafsiran yang bersifat sekterian dan


(43)

BAB IV

PENGAPLIKASIAN METODE PENAFSIRAN

BINT AL-SHA<T{I’

PADA SURAT

AL-TAKA<THUR

DAN ANALISISNYA

A. Pengaplikasian Metode Penafsiran Bint al-Sha>t}i’ pada Surat al-Taka<thur 1. Surat al-Taka<thur dan saba>b al-nuzu>lnya

ْٰﲪﱠﺮﻟا ِﷲا ِﻢْﺴِﺑ

ِﻢْﻴِﺣﱠﺮﻟا ِﻦ

ْٰﳍَا

ُﺮُـﺛﺎَﻜﱠﺘﻟا ُﻢُﻜ

)

۱

(

ّٰﱴَﺣ

ﺎَﻘَﻤْﻟا ُُﰎْرُز

َﺮِﺑ

)

۲

(

َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗ َفْﻮَﺳ ﱠﻼَﻛ

)

۳

(

ﱠُﰒ

َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗ َفْﻮَﺳ ﱠﻼَﻛ

)

٤

(

ِْﲔِﻘَﻴْﻟا َﻢْﻠِﻋ َنْﻮُﻤَﻠْﻌَـﺗْﻮَﻟ ﱠﻼَﻛ

)

٥

(

َﻢْﻴِﺤَْﳉا ﱠنُوَﺮَـﺘَﻟ

)

٦

(

ﱠُﰒ

ِْﲔِﻘَﻴْﻟا َْﲔَﻋ ﺎﱠُوَﺮَـﺘَﻟ

)

٧

(

ﱠُﰒ

ِﻢْﻴِﻌﱠﻨﻟا ِﻦَﻋ ٍﺬِﺌَﻣْﻮَـﻳ ﱠﻦُﻟَﺄْﺴُﺘَﻟ

)

۸

(

1

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui (akibat dari perbuatan itu), dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).2

Ada dua pendapat mengenai saba>b al-nuzu>l dari surat al-Taka>thur ini. Pertama, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa turunnya ayat

al-Taka>thur ini berkenaan dengan dua kabilah (suku) dari penduduk Makkah, yaitu Bani Sahm dan Bani ‘Abdi Manaf saling berbangga satu sama lain, siapa di antara mereka yang lebih banyak jumlahmya. Ternyata Bani Abdi

Manaf lebih banyak jumlahnya, maka Bani Sahm mengatakan bahwa

1Al-Qur’an, 102: 1-8.

2Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, 2010), 600.


(44)

35 sesungguhnya kejahatan telah membinasakan kami pada masa jahiliyah, maka hendaknya dihitung orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang sudah mati. Dan mereka pun melakukan hal yang demikian, ternyata Bani Abdul Manaf kalah jummlahnya dari Bani Sahm.3

Kedua, diriwayatkan oleh Ibn Abi> H{a>tim dari Abu> Buraidah, ia berkata: “al-ha>kumu al-taka>thur turun berkenaan dengan dua kabilah dari kaum Ans}a>r, yaitu Bani H{arithah dan Bani H{arth. Mereka saling membanggakan kabilahnya masing-masing berkenaan dengan orang yang mempunyai kedudukan atau orang besar di antara mereka. Sampai mereka pergi ke pekuburan untuk bisa membanggakan orang yang paling besar dari kabilah mereka.4 Riwayat yang kedua ini lebih shahih dibandingkan dengan

yang pertama, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa surat al-Taka>thur turun di Madinah. Karena bisa saja yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah bahwa kasus pada peristiwa itu telah dicakup kandungannya dalam surat al-Taka>thur ini.5

2. Penafsiran surat al-Taka>thur

Surat ini termasuk Makiyyah, tanpa ada perselisihan di antara para ulama, dan menurut yang masyhur, surat al-Taka>thur merupakan surat ke-16 di dalam tartib nuzu>l. Surat ini turun sesudah surat al-Kawthar. Sebagian mufasir, seperti al-Ni>sa>bu>ri> menghubungkannya dengan surat al-Qa>ri’ah.

3A<ishah ‘Abd al-Rahma>n Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz I (Kairo: Da>r al-Ma’ari>f, 1962), 199.

4Ahmad Must}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Maraghi Juz 30, terj. Bahrun Abu Bakar (Semarang: Toha Putra, 1993), 402.

5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 485.


(45)

36 Akan tetapi, al-Taka>thur sendiri turun tiga belas surat sebelum al-Qa>ri’ah

sehingga tidak ada alasan untuk menghubungkan keduanya kecuali pada tertib letak keduanya di dalam mushaf dan suasana peringatan yang sangat mendominasi. Meskipun demikian, banyak surat dan ayat yang mirip dengannya dalam hal tersebut khususnya surat-surat yang memaparkan keadaan-keadaan mengerikan pada hari kebangkitan, perhitungan dan pembalasan.6

Surat al-Taka>thur ini dimulai dengan kalimat berita yang singkat:

ْٰﳍَا

ﱠﺘﻟا ُﻢُﻜ

ُﺮُـﺛﺎَﻜ

)

۱

(

ّٰﱴَﺣ

َﺮِﺑﺎَﻘَﻤْﻟا ُُﰎْرُز

)

۲

(

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Bint al-Sha>t}i’ mengutip sebuah pendapat dikemukakan Al-Ra>zi>, yang menganggap bahwa bentuk kalimat dari kedua ayat di atas sebagai bentuk

istifha>m (pertanyaan) dengan makna taubi>kh (celaan) dan taqri>’ (cercaan).7

Namun Bint al-Sha>t}i’ tidak sependapat dengannya, menurutnya kalimat berita lebih mengena, lebih mengesankan dan menyimpan ancaman. Kalimat itu seperti saksi bahwa kelalaian dan bermegah-megahan merupakan kenyataan sebagian orang sehingga kalimat tersebut bukan kalimat istifha>m,

melainkan penjelasan tentang apa yang ada di balik bermegah-megahan yang merugikan dan telah melalaikan.8

6Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 195.

7Muh}ammad Fakhr Di>n Ra>zi>, Tafsi>r Fakhr Ra>zi> Mushtahir bi Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h} al-Ghai>b Juz 32 (Bairut: Da>r al-Fikr, 1981), 76.


(46)

37

Al-lahwu menurut bahasa adalah apa yang melalaikan manusia. Asal

penggunaan dari al-lahwah yaitu apa yang dilemparkan penggiling ke mulut penggilingan dan menyibukkannya sehingga ia tidak berputar.9

Di dalam Al-Qur’an, al-lahwu bukan sinonim dari al-mushghilah

(yang menyibukkan), karena al-shughl (kesibukan) artinya bisa bermanfaat dan tidak bermanfaat. Al-Ra>ghib memaknai al-lahwu di dalam surat al-Taka>thur sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat, dia memilihnya sebagai kesibukan. Sedangkan al-Ra>zi memaknainya dengan al-ilha’, yaitu menuruti dorongan hawa nafsu.10 Abu> Hila>l al-‘Askari menulis di dalam Faru>q al-Lughawiyyah, al-lahwu adalah al-la’ib (mainan) dan amainan kadang tidak melalaikan.

Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa al-lahwu kadang bukan mainan. Al-lahwu selalu diikuti al-la’ib atau sebaliknya, seperti dalam ayat-ayat berikut:

ٰﻴَْﳊا ﺎَﻣَو

ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﱠﻻِإ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ

Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan main-main dan senda gurau belaka (QS. Al-An’a>m [6]: 32).11

ٰﻫﺎَﻣَو

ٰﻴَْﳊا ِﻩِﺬ

ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﱠﻻِإ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ

Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main (QS. Al-Ankabut [29]: 64).12

َْﳊا ﺎَﱠﳕِإ

ٰﻴ

ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ

9Ibid, 195.

10Fakhr al-Di>nal-Ra>zi>, Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi>...., 75. 11Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an..., 131. 12Ibid, 404.


(47)

38

Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan senda gurau (QS. Muhammad [47]: 36).13

ٰﻴَْﳊا ﺎَﱠﳕَأ اُﻮُﻤَﻠْﻋِإ

ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan (QS. Al-Hadi>d [57]: 20).14

Al-lahwu adalah kesibukan yang tidak bermanfaat, baik terjadi hanya karena main-main atau tidak.15 Misalnya, al-lahwu disebabkan karena orang:

ﻰَﻌْﺴَﻳ َكَءﺎَﺟ ْﻦَﻣ ﺎﱠﻣَأَو

)

۸

(

ﻰَﺸَْﳜ َﻮُﻫَو

)

٩

(

ﻰﱠﻬَﻠَـﺗ ُﻪْﻨَﻋ َﺖْﻧَﺎَﻓ

)

۱۰

(

Dan adapun orang yang datang kepadamu kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang dia takut (kepada Allah). Maka engkau mengabaikannya (QS. ‘Abasa [80]: 8-10).16

Atau harta dan anak-anak:

ٰا َﻦْﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأﺎَﻳ

ِﷲاِﺮْﻛِذ ْﻦَﻋ ْﻢُﻛُدَﻻْوَأ َﻻَو ْﻢُﻜُﻟاَﻮْﻣَأ ْﻢُﻜِﻬْﻠُـﺗَﻻ اْﻮُـﻨَﻣ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah (QS. Al-Muna>fiqu>n [63]: 9).17

Atau perniagaan atau jual beli:

ِﷲاِﺮْﻛِذ ْﻦَﻋ ٌﻊْﻴَـﺑَﻻَو ٌةَرﺎَِﲡ ْﻢِﻬْﻴِﻬْﻠُـﺗَﻻ ٌلﺎَﺟِر

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli untuk mengingat Allah (QS. Al-Nu>r [24]: 37).18

13Ibid, 510.

14Ibid, 540.

15Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 196.

16Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an..., 585. 17Ibid, 555.


(48)

39 Atau angan-angan:

َنْﻮُﻠَﻤْﻌَـﻳ َفْﻮَﺴَﻓ ُﻞَﻣَﻷا ُﻢِﻬِﻬْﻠُـﻳَو اْﻮُﻌﱠـﺘَﻤَﺘَـﻳَو اْﻮُﻠُﻛْﺄَﻳ ْﻢُﻫْرَذ

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka) (QS. Al-H{ijr [15]: 3).

Menurut Bint al-Sha>t}i’, kelalaian di dalam surat al-Taka>thur karena berlebih-lebihan. Secara bahasa, ia adalah interaksi dari al-kathrah (banyak), lawan dari al-qillah (sedikit) dan bertambahnya jumlah. Pendapat al-Ra>ghib

di dalam al-Mufrada>t mengatakan bahwa al-qillah dan al-kathrah digunakan untuk kuantitas terperinci, seperti bilangan. Sebagaimana al-iz}am (besar) dan

al-s}ighar (kecil) yang digunakan bagi tubuh.19

Al-dhillah (kehinaan) disejajarkan dengan al-qillah (sedikit), begitu pun dengan al-‘izzah (kemuliaan) disejajarkan dengan al-kathrah (banyak).

ِﺮِﺛﺎَﻜْﻠِﻟ ُةﱠﺰِﻌْﻟا ﺎَﱠﳕِإَو

Sesungguhnya kemuliaan itu bagi yang banyak (harta) Dan dalam firman Allah:

ْﻢُﻛَﺮﱠـﺜَﻜَﻓ ًﻼْﻴِﻠَﻗ ْﻢُﺘْﻨُﻛْذِإ اْوُﺮُﻛْذَو

Dan ingatlah kamu ketika jumlah kamu dahulu sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu (QS. Al-A’ra>f [7]: 86).

Al-Taka>thur termuat di dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali yaitu

alha>kumu al-taka>thur pada surat al-Taka>thur dan ayat pada surat al-H{adi>d:20

19Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 196. 20Ibid, 197.


(49)

40

ٰﻴَْﳊا ﺎَﱠﳕَأ اْﻮُﻤَﻠْﻋِإ

ِدَﻻْوَْﻷاَو ِلاَﻮْﻣَﻷا ِﰱ ٌﺮُـﺛﺎَﻜَﺗَو ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ ُﺮُﺧﺎَﻔَـﺗَو ٌﺔَﻨْـﻳِزَو ٌﻮَْﳍَو ٌﺐِﻌَﻟ ﺎَﻴْـﻧﱡﺪﻟا ُةﻮ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak ( QS. Al-H{adi>d

[57]: 20).21

Al-Taka>thur pada dua tempat ini ditafsirkan dengan berlebih-lebihan dengan memperbanyak sesuatu. Dan al-Ra>zi> menjadikan al-tafa>khur

(berbangga) dan al-taka>thur sebagai sesuatu yang padu.22 Menurut Bint al-Sha>t}i’, ini tidak sesuai dengan susunan ayat pada surat al-H{adi>d yang menggabungkan al-taka>thur dengan al-tafa>khur.

Mengartikan susunan yang bergandengan ini sebagai perulangan dapat menghilangkan kemegahan dan kedalaman susunan ayat. Di dalam kamus al-Lisa>n tertulis, bahasa arab menggunakan ka>tharahu al-ma>’a dan istaktharahu iyya>hu (apabila ia menghendaki air yang banyak untuk dirinya, meski hartanya sedikit). Dengan makna ini, al-taka>thur di dalam ayat al-H{adi>d

ditafsirkan dengan ketamakan harta, kekayaan dunia dan usaha untuk mengutamakannya. Itu tidak sekedar bermegah-megahan, tetapi setingkat dengan kejahatan dunia. Selain permainan yang sia-sia, kesibukan yang melalaikan dan perhiasan palsu juga bermegah-megahan yang penuh dengan tipuan.23

Bint al-Sha>t}i’ mengutip beberapa pendapat mufasir terhadap makna

al-taka>thur. Menurut al-Ni>sa>bu>ri>, al-taka>thur adalah kerakusan, ketamakan akan harta dan kekayaan dunia serta memperbanyak harta dan kekayaan

21Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an..., 540. 22Fakhr al-Di>nal-Ra>zi>, Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi>...., 75. 23Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 197.


(50)

41 dunia tersebut sebanyak-banyaknya. Menurut al-T{abari, al-taka>thur adalah bangga dengan banyaknya harta.24 Sementara menurut Qatadah, al-taka>thur

berhubungan dengan bani fulan yang mengatakan jumlahnya lebih banyak dan lebih banyak bilangannya dari pada bani fulan. Di dalam al-Bahr Muh}i>t}

tertera bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi.25 Sebagian besar mufasir lebih cenderung menafsirkannya dengan bermegah-megahan dan berbangga. Mereka terpengaruh dengan riwayat-riwayat di dalam asba>b al-nuzu>l.

Bint al-Sha>t}i’ menambahkan sebuah pendapat menyatakan bahwa al-taka>thur adalah banyaknya orang yang mati dari mereka. Mereka mengambil dari al-taka>thur yang berbentuk mufa>’alah (saling). Sedangkan secara bahasa menggunakan tafa>’ala untuk mufa>’alah dan bukan mufa>’alah. Maka dikatakan kathara al-ma>’a (dia memperbanyak air) dan istaktharahu (jika dia menginginkan air lebih banyak air untuk dirinya, meski air itu hanya sedikit). Juga dikatakan tama>radha (apabila dia pura-pura sakit), taka>raha al-amra (dia mengurusi urusan dengan rasa tidak suka) dan tah}afata (tampak kelemahannya).26

Ayat di atas tidak menentukan tema tentang taka>thur, sehingga bint al-Sha>t}i’ tidak mudah mengkhususkannya dengan harta, seperti pendapat al-Ra>ghib. Atau membatasinya dengan bilangan seperti pendapat al-Ra>zi> dan

24Ima>m al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n Juz 7 (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1994), 561.

25Abi> Hayyan, Tafsi>r al-Bahr al-Muh}i>t} Juz 8 (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2001), 505.


(51)

42 dengan orang-orang yang mati seperti pendapat al-Ni>sa>bu>ri>. Sebagaimana tidak ada alasan dan kemungkinan, di sini taka>thur sebagai istighraq dan

ta’mi>m (hal umum). Itulah yang mendorong para mufasir untuk memberi batasan pada hal-hal tercela. Seakan-akan mereka khawatir jika pemahaman

taka>thur digunakan untuk hal kebaikan, ketaatan dan kebenaran.27

Berdasarkan pemahaman pada ayat surat al-H{adi>d, taka>thur di sini adalah harta benda dan anak-anak. Sehingga Bint al-Sha>t}i’ memberi kesimpulan bahwa khit}a>b (seruan) di sini untuk siapa saja yang lalai karena rakus, tamak dan berlomba-lamba akan perhiasan dunia baik berupa harta atau anak. Meskipun ada kekhususan sebab tentang ayat tersebut turun. Senada dengan Bint al-Sha>t}i’, M. Quraish Shihab juga memaknai al-taka>thur

dengan makna persaingan antara dua pihak atau lebih dalam hal memperbanyak hiasan dan kegemerlapan kehidupan dunia, serta usaha untuk memilikinya sebanyak mungkin tanpa menghiraukan norma dan nilai-nilai agama.28

ّٰﱴَﺣ

َﺮِﺑﺎَﻘَﻤْﻟا ُُﰎْرُز

)

۲

(

Sampai kalian masuk ke dalam kubur.

Menurut Bint al-Sha>t}i’, h}atta> di sini bermakna al-gha>yah (puncak), karena puncak dari taka>thur adalah mengunjungi kuburan dan tidak ada di balik ketamakan ini kecuali kematian yang telah ditentukan Al-Qur’an tentang penggambaran akibat dari taka>thur (berlebihan). Sehingga sampailah

27Ibid, 198.

28M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Ayat (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 586.


(52)

43 peringatan tersebut pada puncaknya dengan mempersingkat jarak keduanya dan perpindahan yang sangat cepat bahkan mengejutkan, yaitu perpindahan dari taka>thur ke maqa>bir (pekuburan).29

Bint al-Sha>t}i’ menambahkan bahwa Al-Qur’an tidak menggunakan kata ziya>rah kecuali ayat pada surat al-Taka>thur. Tetapi termuat dari materi tersebut taza>waru dengan makna tazwarru (condong), seperti termuat di dalam ayat surat al-Kahfi:

ِلﺎَﻤﱢﺸﻟا َتاَذ َ ْﻢُﻬُﺿِﺮْﻘَـﺗ ْﺖَﺑَﺮَﻏ َذِإَو ِْﲔِﻤَﻴْﻟا َتاَذ ْﻢِﻬِﻔْﻬَﻛ ْﻦَﻋ ُرَواَﺰَـﺗ ْﺖَﻌَﻠَﻃ اَذِإ َﺲْﻤﱠﺸﻟا ىَﺮَـﺗَو

ِﰱ ْﻢُﻫَو

ُﻪْﻨِﻣ ٍةَﻮْﺠَﻓ

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan dan apabila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka dalam tempat yang luas dalam gua itu (QS. Al-Kahfi [18]: 17).30

Al-zu>r mempunyai makna kebatilan dan menyimpang dari kebenaran, seperti yang termuat dalam ayat-ayat berikut:

اًرْوُزَو ﺎًﻤْﻠُﻇ اوُءﺎَﺟ ْﺪَﻘَـﻓ

Sungguh mereka telah berbuat kezaliman dari dusta yang besar (QS. Al-Furqa>n [25]: 4).31

ﺎًﻣاَﺮِﻛ اْوﱡﺮَﻣ ِﻮْﻐﱠﻠﻟﺎِﺑ اْوﱡﺮَﻣ اَذِإَو َرْوﱡﺰﻟا َنْوُﺪَﻬْﺸَﻳَﻻ َﻦْﻳِﺬﱠﻟاَو

29Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 198.

30Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an..., 295. 31Ibid, 360.


(53)

44

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila melewati perbuatan yang tidak bermanfaat, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan diri QS. Al-Furqa>n [25]: 72).32

َرْوُﺰﻟا َلْﻮَـﻗ اْﻮُـﺒِﻨَﺘْﺟاَو ِنﺎَﺛْوَْﻷا َﻦِﻣ َﺲْﺟﱢﺮﻟا اﻮُﺒِﻨَﺘْﺠَﻓ

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhi pula perkataan dusta (QS. Al-H{ajj [22]: 30).33

اًرْوُزَو ِلْﻮَﻘْﻟا َﻦِﻣ اًﺮَﻜْﻨُﻣ َنْﻮُﻟْﻮُﻘَـﻴَﻟ ْﻢُﻬﱢـﻧِإَو

Dan sesungguhnya mereka benar-benar mengucapkan perkataan yang mungkar dan dusta (QS.Al-Muja>dalah [58]: 2).34

Ayat-ayat di atas merupakan ayat-ayat tentang al-zu>r di dalam Al-Qur’an. Menurut bahasa, al-zu>r berarti condong atau bengkok. Sementara al-zawar mempunyai arti bengkok. Al-zaur dan al-azaur, orang melihat dengan ujung mata atau orang yang bengkok punggungnya jika sudah lelah dalam suatu perjalanan. Asalkan yang fisik ini membuat semua penggunaan al-zu>r

dalam hal kebengkokan, maka dikatakanlah za>ra al-qauma ziya>ratan (dia condong dan membelok kepada suatu kaum), sedangkan al-zu>r adalah menyimpang dari kebenaran. Kemudian digunakan kata tersebut untuk hal yang berhubungan dengan kesesatan dan syirik.35

Menurut Bint al-Sha>t}i’, ada tiga pendapat dari para para mufasir mengenai zurtum al-maqa>bir, yaitu:36

32Ibid, 366.

33Ibid, 335. 34Ibid, 542.

35Bint al-Sha>ti’, al-Tafsi>r al-Baya>ni...., 198. 36Ibid, 199.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan di atas, dapat peroleh beberapa simpulan, antara lain: 1. Bint al-Sha>t}i’ menggunakan empat metode dalam menafsirkan Al-Qur’an,

yaitu pertama, mengumpulkan semua ayat di dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Kedua, menyusun ayat-ayat sesuai tertib nuzulnya berdasarkan asba>b al-nuzu>l, dengan berpegang pada kaidah

al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab. Ketiga, dalam mencari makna yang sebenarnya, Bint al-Sha>t}i’ memulainya dengan melacak kata tersebut dari segi linguistiknya. Kemudian mengumpulkan semua bentuk kata di dalam Alquan, sehingga diketahui konteks spesifik serta konteks umumnya dalam Al-Qur’an secara keseluruhan. Keempat, Bint al-Sha>t}i’ menukil pendapat mufasir lain dan menolak penafsiran sektarian dan isra>’iliyya>t.

2. Bint al-Sha>t}i’ secara konsisten menerapkan keempat metodenya pada penafsiran surat al-Taka>thur. Pertama, Bint al-Sha>t}i’ mengumpulkan semua ayat di dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema yang dibahas, kemudian menyususnnya sesuai tartib nuzulnya, sebagaimana ketika mencari makna al-na’i>m. Ia juga menerapkan teori asba>b al-nuzu>l dengan kaidah al-ibrah bi umu>m al-lafz}i la> bi h}us}us} al-sabab dalam mencari makna al-Taka>thur. Sehingga diketahui makna al-Taka>thur adalah siapa saja yang lalai


(2)

83

karena berbangga-banggaan dalam urusan dunia baik berupa harta maupun anak.

Bint al-Sha>t}i’ juga telah menerapkan metodenya yang ketiga, yaitu ketika mengungkap makna dari al-na’i>m. Dalam tafsirnya, Bint Shati’ terlebih dahulu mencari arti al-na’i>m secara harfiyah. Kemudia menambahkan pendapat beberapa mufasir. Ada yang berpendapat bahwa makna dari al-na’i>m adalah nikmat yang diberikan Allah di dunia. Dan ada yang berpendapat al-na’i>m bermakna nikmat yang khusus diberikan Allah di akhirat. Menyikapi perbedaan tersebut, Bint Sha>ti’ menafsirkan lafadz tersebut dengan melacak beberapa kali lafadz yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dengan tujuan memahami maknanya. Setelah melakukannya, akhirnya Bint al-Sha>t}i’ memperoleh makna sebenarnya dari al-na’i>m, yaitu nikmat-nikmat yang dikhususkan Allah bagi hamba-hambanya di akhirat. Yang keempat dari metodenya yaitu mengutip pendapat dari mufasir lainnya, seperti al-Ni>sa>bu>ri>, al-Ra>zi>, al-Ra>ghib, al-T{abari, Abu> H{ayyan dan al-Zamakhshari. Dan penafsirannya terhadap surat Taka>thur ini, Bint al-Sha>t}i’ tidak mengambil penafsiran yang berbentuk sektarian dan isra>illiya>t

B. Saran

1. Dengan dilakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu tafsir. Dan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat


(3)

84

2. Penulis juga berharap akan ada penelitian lebih lanjut mengenai tokoh-tokoh tafsir abad medern-kontemporer yang lebih komprehensif sehingga semakin berkembang kajian-kajian tafsir di Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ah}mad, At}i>f. 1972. Naqd al-Fahm al-As}ri li> al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-T}ali>’ah. Al-Maraghi, Ahmad Must}afa. 1993. Tafsi>r al-Maraghi Juz 30. terj. Bahrun Abu

Bakar. Semarang: Toha Putra.

Al-Ra>zi>, Muh}ammad Fakhr al-Di>n. 1981. Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi> al-Mushtahir bi al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h} al-Ghai>b Juz 32. Bairut: Da>r al-Fikr.

Al-T{abari>. 1994. Tafsi>r al-T{abari> Ja>mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l A<y al-Qur’a>n Juz 7. Beirut: Muassasah al-Risa>lah.

Al-Zamakhshari. 2009. Tafsi>r al-Kashsha>f (Beirut: Da>r al-Ma’rifah.

Baidan, Nasruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia.

Semarang: Tiga Serangkai Mandiri.

Bakar, Abu. Pemikiran Tafsir Mesir Modern J.J.G Jansen: (Tela’ah atas Karya

J.J.G Jensen The Interpretation of The Koran in Modern Egypt), Al-Ihkam, Vol. IV, No. I, Juni 2011.

Bint al-Sha>ti’, A<ishah ‘Abd al-Rahma>n. 1996. ‘Ala al-Jisr. Kairo: Hay’ah al-Miriyyah li al-Kita>b.

---. 1962. Al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz I. Kairo: Da>r al-Ma’ari>f.

---. 1969. Al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m Juz II. Kairo: Da>r al-Ma’ari>f.

---. 1969. Maqa>l fi al-Insa>n, Dira>sah Qur’a>niyyah. Kairo: Da>r Ma’ari>f.


(5)

---. 1996. Tafsir Bintusy-Syathi’. terj. Mudzakir Abdussalam. Bandung: Mizan.

Boullata, Issa J. Tafsir Al-Qur’an Modern: Studi atas Metode Bint al-Sha>ti’, Jurnal al-Hikmah, Nomor 3, Oktober 1991.

Departemen Agama RI. 2010. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Bandung: Diponegoro.

H{ani D{awwah, Fi Dhikra Awwal Imra’ah Tuh}ad}iru bi al-Azhar, dalam http://www.moheet.com.

Hayyan, Abi>. 2001. Tafsi>r al-Bahr al-Muh}i>t} Juz 8. Beirut: Da>r Kita>b al-‘Ilmiyyah.

Khu>li>, Ami>n. 1961. Mana>hij al-Tajdid fi al-Nah}w wa al-Balaghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b. Kairo: Da>r Ma’rifah.

Khu>li>, Ami>n. Tt. Al-Tafsi>r. Kairo: Da>r al-Sha’b.

Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsuddin. 2002. Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Nazir, Muhammad. 1988. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

---. Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Ayat. Bandung: Pustaka Hidayah.

---. 2002. Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Surachmad, Winarno. 1990. Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik. Bandung: Warsito.


(6)

Wahyuddin. Corak dan Metode Interpretasi Aishah Abdurrahman Bint al-Shati’, al-Ulum, Vol 11, Nomor 1, Juni 2011.