Penafsiran al Sha'rawi terhadap "kafir" dalam surat al Baqarah ayat 6.

(1)

PENAFSIRAN AL-

SHA’RA>WI>>

TERHADAP

“KA>FIR”

DALAM

SURAT AL-BAQARAH AYAT 6

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Disusun oleh :

MUHAMMAD ILHAM FATAHILLAH NIM: E73213129

PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

PENAFSIRAN AL-SHA

’RA>WI>> TERHADAP “KA>FIR”

DALAM SURAT

AL-BAQARAH AYAT 6

Skripsi: Diajukan Kepada

Univesitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Alquran dan Tafsir

Oleh:

MUHAMMAD ILHAM FATAHILLAH NIM : E73213129

PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Nama: Muhammad Ilham Fatahillah NIM : E73213129

Penulis mengambil tema “kafir” dalam surat al-Baqarah ayat 6, karena ayat ini seolah-olah menegaskan bahwa sudah tidak ada jalan untuk mendakwahi orang kafir. Selain itu ayat ini juga sering dijadikan dalil untuk bersikap kurang bersahabat terhadap saudara kita yang beragama lain. Penulis mengambil mufassir kontemporer yaitu Muhammad Mutawalli> Al-Sha’ra>wi> karena dalam menafsirkan ayat tersebut Ia membagi kafir menjadi dua golongan. Ia juga menyatakan bahwa mereka (orang-orang kafir) dalam ayat ini belum kafir karena penyampaian Allah belum menyentuh mereka, mereka juga belum dikatakan kafir karena masih butuh ditunjukkan oleh Rasulullah pada jalan Allah. Merekalah yang menjadikan kufur sebagai prinsip hidup. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan penafsiran al-Sha’ra>wi> terhadap surat al-Baqarah ayat 6, tentang makna “kafir”, jenis dan karakteristik tersebut, serta akibat dari kekafiran tersebut. Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (library reseach). Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan analisis deskriptif yaitu meneliti struktur pemikiran yang bersumber dari data-data tertulis dalam berbagai sumber. Menurut al-Sha’ra>wi> orang kafir terbagi menjadi dua: Pertama, orang yang ingkar kepada Allah, mendengar kalam Ilahi kemudian menerimanya dengan akal sehat lalu beriman. Kedua, orang-orang yang tetap dalam kekafiran, permusuhan, kezaliman, memakan hak orang lain dan sebagainya yaitu orang yang menjadikan kekufuran sebagai prinsip hidup. Golongan yang kedua inilah yang dimaksud al-Sha’ra>wi> dalam surat al-Baqarah ayat 6. Jenis kafir dalam ayat tersebut termasuk dalam kategori kufr al-inkar yang karakteristiknya yaitu ingin meninggikan otoritas kehidupan duniawinya, ketimbang memikirkan kehidupan akhirat. Adapun akibat yang dialami orang kafir jenis ini yaitu di dunia yaitu Allah menghukum dengan tidak mengeluarkan kekufuran dari hati, dan tidak memasukkan iman ke dalamnya, sedangkan di akhirat ia akan mendapat siksa yang seberat-beratnya atas apa yang diperbuat di dunia.


(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN SKRIPSI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITRASI ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Telaah Pustaka ... 10

G. Metode Penelitian ... 11


(9)

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KAFIR

A. Pengertian Kafir ... 15

B. Term Ka>fir dalam Al-Qur’an ... 17

C. Jenis-jenis Kafir dan karakteristiknya ... 24

1. Kufr al-inkar ... 24

2. Kufr al-juhud ... 25

3. Kufr al-nifaq ... 26

4. Kufr al-shirk ... 28

5. Kufr al-ni’mat ... 29

6. Kufr al-irtidad (al-riddat) ... 30

7. Kufr ahl al-kitab ... 31

BAB III : MUHAMMAD MUTAWALLI> AL-SHA’RA>WI> DAN TAFSIRNYA A. Riwayat Hidup MuhammadMutawalli> al-Sha’ra>wi> ... 35

B. Karya-karya Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi> ... 38

C. Pandangan Ulama Terhadap Mutawalli> al-Sha’ra>wi> ... 43

D. Seputar Tafsi>r al-Sha’ra>wi> ... 46

1. Sejarah tafsir ... 46

2. Metode tafsir ... 50

3. Sumber penafsiran ... 52

4. Corak Tafsir ... 56


(10)

BAB IV : PENAFSIRAN AL-SHA’RA>WI> TERHADAP KATA “KA>FIR” DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT 6

A. Makna “Kafir” dalam Surat Al-Baqarah Ayat 6 ... 62 B. Jenis dan Karakteristik Kafir Surat Al-Baqarah Ayat 6 ... 76 C. Akibat dari Kekafiran dalam Surat Al-Baqarah Ayat 6 ... 82 BAB V : PENUTUP

A. Simpulan ... 86 B. Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah Kitab Suci Islam yang merupakan kumpulan firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Diantara tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman hidup manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, al-Qur’an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, aturan-aturan, prinsip-prinsip serta konsep-konsep baik itu yang bersifat global, yang bersifat eksplisit dalam berbagai bidang kehidupan.

Al-Qur’an juga merupakan kitab yang komplit lagi sempurna dan mencakup segala-galanya termasuk sistem hidup kemasyarakatan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi modern.1 Jadi, meskipun al-Qur’an pada dasarnya adalah kitab keagamaan, namun pembicaraan dan kandungan isinya tidak terbatas pada aspek keagamaan saja. Ia meliputi berbagai aspek persoalan filsafat dan ilmu pengetahuan.

Dari segi kebahasaan dan kesastraannya al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usmān bin Jinni (932-1002) seorang pakar bahasa Arab, sebagaimana dituturkan Quraish Shihab,


(12)

2

mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi.2 Kalimat-kalimat dalam al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslūb al-Qur’an yang menakjubkan terlihat dari balāgah dan faṣāhah nya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor(Allah) dan penikmat (umat).3

Al-Qur’an seringkali menggabungkan dalam uraian-uraiannya sesuatu dengan lawannya. Biasanya setelah menyebut surga dilanjutkan dengan uraian tentang neraka, setelah menjelaskan siapa yang hidup, dia berbicara tentang yang mati, setelah menguraikan zakat dibicarakannya riba, demikian silih berganti. Salah satu tujuannya adalah untuk menghidangkan perbandingan antara keduanya, sehingga yang mendengarnya tertarik mengarah kepada hal-hal yang bersifat positif.4

Islam adalah agama damai dan sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan sehingga Alquran menggunakan istilah yang bervariasi untuk orang-orang yang di luar Islam. Istilah yang digunakan oleh al-Qur’an lebih cenderung kepada perilaku yang bersangkutan bukan berdasarkan keyakinannya.

2M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), 90.

3Said Aqil Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Ciputat: Press

Jakarta, 2002), 33-34.

4M. Quraish Shibab, Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol.1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 93.


(13)

3

Orang-orang yang di luar Islam kadang-kadang dipanggil oleh al-Qur’a>n dengan sebutan ahlul kitab, utul kitab, saudara dan lain-lain. Panggilan yang digunakan ini memiliki nuansa kemanusiaan yang diduga dapat melahirkan rasa persaudaraan, penghormatan dan toleransi yang tinggi. Sebaliknya, al-Qur’an juga memanggil sebagian orang dengan sebutan musyrik, kafir, fasik dan munafik. Panggilan ini lebih mengarah kepada perilaku mereka yang dapat merusak tatanan kehidupan seperti melakukan intimidasi, mengadu domba, merendahkan HAM dan lain-lain.

Dalam ajaran Islam, perbedaan keyakinan belum cukup dijadikan alasan untuk melakukan perang kecuali jika mereka memerangi terlebih dahulu. Perang ini pun dilakukan pada batas kewajaran yaitu setimpal dengan yang mereka lakukan bahkan dilarang keras melakukan sesuatu yang melampaui batas.

Istilah “kafir” selalu saja dimunculkan baik untuk kalangan internal maupun kalangan eksternal. Untuk kalangan internal biasanya ditujukan kepada orang-orang atau kelompok yang secara pemikiran berbeda. Adapun pada kalangan eksternal ditujukan kepada orang-orang yang berbeda agama.

Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan dalam al-Qur’an adalah kufr (kekafiran), kufr pada dasarnya adalah antitesis dari iman, sedangkan iman adalah bagian dari ajaran atau aspek Islam yang paling mendasar, maka kufr yang banyak dibicarakan dalam al-Qur’an sangat penting untuk dikaji dan diteliti.


(14)

4

Secarah naluriah, setiap orang beragama sangat tidak senang dengan julukan “kafir”. Bahkan tidak jarang diantara mereka bersedia mempertaruhkan jiwanya untuk membela diri dari tuduhan kafir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kufr adalah masalah yang peka bagi umat manusia, baik selaku individu maupun sebagai kelompok.5

Dari segi bahasa Arab kufur berati takdhib (mendustakan) Rasulullah SAW. dalam segala ajaran yang beliau bawa.6 Sedangkan iman adalah membenarkan (tas}diq) kepada seluruh ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah Kafir, karena mereka telah mendustakan Rasulullah Saw.

Definisi ini, karena itu adalah ketentuan hukum syari’at seperti masalah perbudakan dan kemerdekaan. Sebab dengan makna tersebut berarti menghalalkan darah mereka dan menghukumi mereka kekal di neraka.7 Didalam agama Islam terdapat macam-macam kekufuran yaitu kufur kepada Allah dan kufur kepada nikmat Allah. Kufur kepada Allah merupakan penyakit hati yang sangat kronis. Ia akan menyebabkan hati seorang gelap, terkunci rapat dari hidayah Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 6:

                  ( 6 )

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, apakah engkau beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.8

5Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 9. 6Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT. Grafindo Persada, t.th.), 159.

7Imam Ghozali, Tauhidullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 181.


(15)

5

Ayat ini tidak berbicara tentang semua orang kafir, tetapi orang kafir yang baik diberi peringatan maupun tidak, tetap saja mereka tidak akan beriman dan tetap berada dalam kekufurannya. Disini ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan ayat lain yang menyeru untuk mengajak beriman kepada umat manusia.

Ibnu Kathi>r dalam tafsirnya menyatakan bahwa, “sesungguhnya orang-orang kafir” yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya. Telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak akan mau beriman kepada al-Qur’a>n yang engkau datangkan kepada mereka.9 Senada dengan Ibnu Kathi>r, Wahbah al-Zuhayli> mengungkapkan bahwa yang di maksud ayat ini adalah orang-orang kafir yang membenci ayat-ayat Allah dan mendustakan al-Qur’an dan Muhammad Saw. Hati mereka tidak terbuka, tidak sampai kepada hati mereka tersebut cahaya Ilahi.10

Lebih lanjut, Quraish Shihab dalam ayat ini juga menegaskan bahwa orang-orang kafir, yakni orang-orang yang menutupi tanda-tanda kebesaran Allah dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini, adalah mereka yang dalam pengetahuan Allah tidak akan mungkin beriman seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan lain-lain, sama saja buat mereka, apakah engkau hai Muhammad dan ummatmu

9Ibnu Katsi>r, Tafsi>r Ibnu Katsi>r,terj. Bahrun Abu Bakar. Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), 225.

10Wahbah al-Zuhayli>, Al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-Minhaj. Juz 2


(16)

6

memberi peringatan kepada mereka atau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tetap tidak akan beriman hingga masa datang.11

Lain halnya dengan Mutawalli> al-Sha’ra>wi>, mengenai ayat ini, dalam tafsirnya ia membagi kafir menjadi dua golongan, yaitu orang yang ingkar kepada Allah, mendengar kalam Ilahi kemudian menerimanya dengan akal sehat lalu beriman. Dan orang-orang yang tetap dalam kekafiran, permusuhan, kezaliman, memakan hak orang lain dan sebagainya.12 Lebih lanjut, dia juga mengatakan bahwa mereka (orang-orang kafir) dalam ayat ini belum kafir karena penyampaian Allah belum menyentuh mereka, mereka juga belum dikatakan kafir karena masih butuh ditunjukkan oleh Rasulullah pada jalan Allah. Merekalah yang menjadikan kufur sebagai prinsip hidup.13 Disini, diketahui bahwa al-Sha’ra>wi> seolah-olah masih memberi kesempatan untuk mendakwahi mereka.

Inilah keunikan al-Sha’ra>wi>, dalam menafsirkan ayat diatas, dia seolah-olah memberi motivasi pada orang Islam bahwa masih ada peluang untuk mendakwahi orang kafir semacam ini, yang mana juga sejalan dengan salah satu fungsi dakwah Islam yaitu menyadarkan manusia dari kealpaan dan mengembalikan dia kepada fitrah yang semula, yaitu meyakini adanya Allah Swt. Dari sini, peneliti merasa tertarik untuk menela’ah ayat ini dalam Tafsi>r al-Sha’ra>wi>.

11M. Quraish Shibab, Tafsir Al-Misba>h,93.

12M. Mutawalli> al-Sha’ra>wi>, Tafsi>r Al-Sha’ra>wi>, Jilid 1 (Kairo: Akhbar al-Yawm, 1991),

137.


(17)

7

Berbicara masalah tafsir, al-Qur’an selalu menarik menjadi kajian serius dikalangan para ulama. Bukti langsung keseriusan mereka terhadap Alquran adalah dengan munculnya sejumlah kitab-kitab tafsir, baik tafsir bi al- ma‟thur maupun tafsir bi al-ra’yi. Karya-karya Persembahan mereka dalam bidang tafsir ini dilengkapi dengan metode-metode yang mereka gunakan oleh masing-masing tokoh penafsir.14 Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah Metode Tahlili>, Metode Ijmali>, Metode Muqaran, dan Metode Maud}u’i>.15

Corak tafsir merupakan warna pemikiran (laun al-tafsir au at-tafkir) yang mendominasi penafsiran seorang ulama dalam kitabnya.16 Seorang ahli hukum, ketika menafsirkan al-Quran akan tampak warna hukumnya, demikian halnya penafsiran seorang teolog atau sufi atau ahli bahasa, corak penafsiran mereka akan selalu dipengaruhi oleh warna pemikiran mereka.

14Salman Harun, Mutiara Al-Qur’an: Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 205.

15Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi> al-Tafsir al-Maud}u’i :Dirasah Manhajiyah

Maud}u’iyah, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul, Metode Tafsir

Maud}u’iy:Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), 11.

16Muhammad ‘Ali Iyaziy, al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manha>juhum (Teheran: Wazarah


(18)

8

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan diatas Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi adalah: 1. Apa makna kafir dalam al-Qur’an ?

2. Apa penyebab orang menjadi kafir?

3. Bagaimana sejarah kekafiran dalam dunia Islam?

4. Bagaimana makna dan karakteristik kafir dalam surat al-Baqarah ayat 6? 5. Bagaimana akibat dari kekafiran dalam surat al-Baqarah ayat 6?

6. Bagaimana biografi dan metodologi penafsiran al-Sha’ra>wi>?

7. Bagaimana penafsiran al-Sha’ra>wi> terhadap Surah al-Baqarah ayat 6?

C. Rumusan Masalah

Dari gambaran umum latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran al-Sha’ra>wi> terhadap ka>fir dalam surat al-Baqarah ayat 6?

2. Bagaimana jenis dan karakteristik kafir dalam surat al-Baqarah ayat 6? 3. Bagaimana akibat dari kekafiran dalam surat al-Baqarah ayat 6? D. Tujuan Penelitian

Setelah masalah dirumuskan, tujuan penelitian disusun untuk menjawabnya. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian menjadi jelas dan mendalam sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Berikut ini adalah tujuan penelitian yang disusun:


(19)

9

1. Untuk mengetahui penafsiran al-Sha’ra>wi> terhadap ka>fir dalam surat al-Baqarah ayat 6.

2. Untuk mengetahui jenis dan karakteristik ka>fir dalam surat al-Baqarah ayat 6.

3. Untuk mengetahui akibat dari kekafiran dalam surat al-Baqarah ayat 6. E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuannya yang telah disusun di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi semua pembaca. 1. Secara teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan kepada umat Islam tentang kemungkinan-kemungkinan penafsiran terhadap kata ka>fir yang berusaha diungkap oleh para mufasir, serta dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah keluasan wawasan, pengetahuan, dan pemahaman kepada masyarakat muslim terhadap makna kata ka>fir yang disampaikan oleh Allah SWT. melalui firman-Nya. Pengetahuan yang luas tersebut dapat membuka pikiran mereka, bahwa penafsiran dan kebenarannya bersifat relatif dan temporal. Hal tersebut dapat menciptakan toleransi antar sesama muslim, terlebih lagi sesama umat beragama seperti yang tercipta pada masa Nabi SAW. di Madinah.


(20)

10

F. Telaah Pustaka

Perlu untuk menampilkan kajian terdahulu agar penelitian yang dilakukan dapat teruji orisinilitasnya. Sehingga dapat telihat perbedaan dan kekayaan pembahasan yang saling melengkapi antara penelitian-penelitian yang ada. Berikut ini adalah penelitian yang saling berkaitan:

1. Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik,, Harifuddin Cawidu, 1991. Dalam buku karya ilmiah ini penulisnya memaparkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kufr dan menjelaskan tentang sebab -sebab kufr dan jenis-jenisnya dengan kajian teologinya, dan dalam penelitian ini dia membagi makna kufr ke dalam 7 macam.

2. Mutawalli> Sha’ra>wi> dan Metode penafsirannya, Achmad, Tahun 2013. Dalam jurnal ini dijelaskan bagaimana pemikiran al-Sha’ra>wi> dalam kitab tafsi>r al-Sha’ra>wi>, terutama yang berkaitan dengan surat al-Maidah ayat 27-34.

3. Pandangan Amina Wadud Muhsin dan Penafsiran Al-Sha’ra>wi> Terhadap Ayat Gender, Usamah, Tahun 2015. Skripsi mahasiswa UIN Sunan Ampel ini berisi tentang pandangan Amina Wadud dan al-Sha’ra>wi> tentang ayat gender dalam Surah al-Nisa ayat 1 dan 34, serta bagaimana persamaan danperbedaan Amina Wadud dan al-Sha’ra>wi> dalam memandang ayat-ayat tersebut.

4. Penafsiran Al-T}abari>dan Al-Sha’ra>wi> tentang Makanan, Hendro Kusuma, Tahun 2009. Skripsi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini berisi tentang penafsiran at-Tabari dan al-Sya’rawi mengenai ayat-ayat tentang makanan dan bagaimana


(21)

11

perbedaan dan persamaan keduanya dalam menafsirkan ayat-ayat tentang makanan di dalam al-Qur’an.

5. Penafsiran Al-Sha’ra>wi> Terhadap Al-Qur’an tentang Wanita Karir, Riesti Yuni Mentari, Tahun 2011. Skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatulloh ini membahas tentang pandangan al-Sha’ra>wi> tentang wanita karir dalam Surah al-Taubah [9] : 71, Surah al-Nisa’ [4] : 72, dan Surah Ali Imran [3] : 195.

Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis memilih judul dengan alasan belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu.

G. Metode penelitian

Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah, memerlukan adanya suatu metode yang sesuai dengan masalah yang dikaji, karena metode merupakan cara bertindak agar kegiatan penelitian bisa dilaksanakan secara rasional dan terarah demi mencapai hasil yang maksimal.17Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian, yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi


(22)

12

ini. Maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasai, dengan memperoleh data dari benda-benda tertulis seperti buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya.18 2. Metode penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiyah, perspektif ke dalam dan interpreatif.19 Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semula didapatkan dari pembahasan umum. Sedangkan interpretatif adalah penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.

3. Sumber Data

Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka diambil data dari berbagai sumber tertulis. Dalam pembahasan skripsi ini menggunakan sumber data yang terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data skunder, yang perinciannya sebagai berikut:

18Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah (Ttp: Alpha, 1997),66. 19Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,


(23)

13

a. Sumber Data Primer

Sumber primer adalah sumber yang berasal dari tulisan buku-buku yang berkaitan langsung dengan buku ini. Sumber utama penelitian ini yaitu:

- Al-Qura>n dan Kitab Tafsi>r al-Sha’ra>wi> b. Sumber Data Skunder

Sumber Data Sekunder, bersumber dari penelitian berupa buku, skripsi dan jurnal yang disusun untuk menghadirkan berbagai cara pandang dalam melihat masalah yang hendak diteliti. Seperti:

- Tafsi>r al-Qur’an al-‘az}i>m karya Ibnu Katsi>r

- Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al-Minhaj karya Wahbah al-Zuhayli>

- Tafsir al-Misba>h karya Quraish shihab

- Tafsir al-Azhar karya Hamka, dan lain sebagainya. 3. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisa data adalah analisis deskriptif. Analisis adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang guna meneliti suatu struktur dari data-data yang telah dihimpun. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha menjelaskan suatu gejala, peristiwa, pemikiran yang terjadi atau ada sehingga dapat memunculkan suatu teori atau gagasan baru. Sehingga analisis deskriptif pada penelitian ini adalah meneliti struktur pemikiran yang bersumber dari data-data tertulis dalam berbagai sumber.


(24)

14

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan hasil penelitian, dibutuhkan sebuah sistematika agar pembahasan menjadi sistematis dan tidak keluar dari fokus pembahasan. Penelitian terbagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I akan menjelaskan Pendahuluan, Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Sumber Data, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab II akan menguraikan makna kafir, term kata ka>fir, dan jenis-jenisnya. Bab III akan menggambarkan biografi al-Sha’ra>wi> dan tafsirnya.

Bab IV akan mendeskripsikan pandangan al-Sha’ra>wi> terkait makna kafir, jenis dan karakteristik kafir, serta akibat dari kekafiran dalam surat al-Baqarah ayat 6.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KAFIR

A.Pengertian Kafir

Dari segi bahasa, ka>fir mengandung arti: menutupi. Malam disebut “kafir” karena ia menutupi siang atau menutupi atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga disebut “kafir” karena ia menutupi matahari. Demikian pula petani yang terkadang juga disebut “kafir” karena ia menutupi benih dengan tanah.1

Secara istilahi (terminologi islam), para ulama tidak sepakat dalam menetapkan batasan ka>fir sebagaimana berbeda pendapat dengan batasan iman. Kalau iman diartikan “pembenaran” (al-tas}diq ) terhadap Rasulullah SAW. berikut ajaran-ajaran yang dibawanya, maka ka>fir diartikan dengan “pendustaan” ( al-takdhib) terhadap ajaran-ajaran beliau. Inilah batasan yang paling umum dan sering terpakai dalam buku-buku akidah.2 Jadi, orang kafir ialah orang yang mengingkari ajaran Islam yang seharusnya dia imani.

1Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 7. Lihat,

Raghib Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, edisi M.S. Kaylani (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.), 433-435.


(26)

16

Dalam kajian semantik,3 kata ka>fir dibedakan antara makna dasar dan makna relasional. Makna dasar dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan. Ka>fir berasal dari termkafara secara

tepat dan mendasar berarti ‘tidak bersyukur.’ Hal ini benar-benar berlawanan dengan term shakara. Ini adalah makna lazim dari kata kerja kafara dalam konteks bahasa Arab yang lebih luas. Makna dasar dari kata kerja ini sendiri tidak berubah baik digunakan oleh orang Arab Muslim maupun non Muslim; kata ini dikenal oleh seluruh masyarakat penutur bahasa Arab. Selain itu, makna dasar dari kata ini tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang.4

Sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus, dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Dalam perkembangan sejarah, terjadilah pergeseran makna, bagaimana kata kerja kafara atau bentuk nominalnya kufr

3Semantik adalah disiplin ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian

yang lebih luas. Saking luasnya sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan obyek semantik. Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:

Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1997), 2.

4M. Suryadinata, “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’an: Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 2 (Juni, 2015), 249. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik


(27)

17

menyimpang sedikit dari makna aslinya ‘tidak bersyukur’ dan menjadi semakin lebih dekat pada makna ‘tidak percaya’ sebagai bentuk pengingkaran dari konsep iman.5

B. Term Ka>fir dalam Al-Qur’an

Term ka>fir dalam al-Qur’an dengan segala derivasinya disebut sebanyak 525 kali yang tersebar di 73 surat dari 114 surat dalam al-Qur’an.6 Peneliti mengemukakan bentuk-bentuk pengungkapan al-Qur’an terhadap kata ka>fir. Untuk lebih jelasnya berikut paparan dari macam-macam bentuk tersebut:

No Bentuk Kata Terdapat di Al-Qur’an, Surat, dan Ayat Pelaku/Subjek 1

ََرَفَك

QS. Al-Baqarah [2]: 102, 126, 253, 258; QS. Ali ‘Imra>n [3]: 97; QS. Al-Ma>idah [5]: 12, 17, 72, 73; QS. Al-Nahl [16]: 106; QS. Maryam [19]: 77; QS. Al-Nu>r [24]: 55; QS. Al-Naml [27]: 40; QS. Al-Ru>m [30]: 44; QS. Luqma>n [31]: 12, 23; QS. Fa>t}ir [35]: 39; QS. Hashr [59]: 16; QS. Al-Gha>shiyah [88]: 23

Manusia secara umum dan ahli kitab

2

َ تْرَفَك

QS. Ibra>hi>m [14]: 22 Setan 3

ََتْرَفَك

QS. Al-Kahfi [18]: 37 Orang-orang ka>fir (Yahudi)

4

َْتَرَفَك

QS. Al-Nahl [16]: 112; QS. Al-S}aff [61]: 14

Penduduk sebuah negeri dan bani Israil

5

َْ تْرَفَك

QS. Ali ‘Imra>n [2]: 106; QS. Al-Taubah [9]: 66; QS. Ibra>hi>m [14]: 7; QS. Al-Isra>’ [17]: 69; QS. Gha>fir [40]: 12; QS. Fus}s}ilat [41]: 52; QS. Al-Ahqa>f [46]: 10; QS. Al-Muzammil [73]: 17

Orang-orang ka>fir

6

اَنْرَفَك

QS. Ibra>hi>m [14]: 9; QS. Gha>fir [40]: 84; QS. Al-Mumtahanah [60]: 4

Umat (kaum) nabi-nabi Allah

5Ibid., 250.

6M. Fu’ad ‘Abd al-Ba>qiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Da>r


(28)

18

7

اْو رَفَك

QS. Al-Baqarah [2]: 6, 26, 39, 89, 89, 102, 105, 161, 171, 212, 257; QS. Ali ‘Imrān [3]: 4,10, 12, 55, 55, 56, 86, 90, 91, 116, 127, 149, 151, 156, 178, 196 ; QS. Al-Nisa’[4]: 42, 51, 56, 76, 84, 89, 101, 102, 137, 137, 167, 168; QS. Al-Māidah [5]: 3, 10, 36, 73, 78, 80, 86, 103; QS. Al-An’ām [6]: 1, 7, 25; QS. al-A’rāf [7]: 66, 90; QS. al-Anfāl [8]: 12, 15, 30, 36, 36, 38, 50, 52, 55, 59, 65, 73, ; QS. al-Taubah [9]: 3, 26, 30, 37, 40, 40, 54, 74, 80, 84, 90; QS. Yūnus [10]: 4; QS. Hūd [11]: 7, 27, 60, 68; QS. Al-Ra’d [13]: 5, 7, 27, 31, 32, 33, 43; QS. Ibrāhim [14]: 13, 18; QS. al- ijr [15]: 2 ; QS. al-Na l [16]: 39, 84, 88; QS. al-Isrā’ [17]: 98; QS. al-Kahfi [18]: 56, 102, 105, 106; QS. Maryam [19]: 37, 73; QS. al-Anbiyā’ [21]: 30, 36, 39, 97; QS. al-Hajj [22]: 19, 25, 55, 57, 72, 72; QS. al-Mu’minūn [23]: 24, 33; QS. al-Nur [24]: 39, 57; QS. al-Furqān [25]: 4, 32; QS. al -Naml [27]: 67; QS. al-Ankabūt [3]: 12, 23, 52; QS. al-Rūm [30]: 16, 58; QS. al -Sajadah [32]: 29; QS. al-A zāb [33]: 25; QS. al-Saba’ [34]: 3, 7, 17, 31, 33, 43, 53; QS. Fātir [35]: 7, 26, 36; QS. Yāsin [36]: 47; QS. al- āfat [37]: 170; QS. Shad [38]: 2, 27, 27; QS. al-Zumar [39]: 63, 71; QS. Fāir [40]: 4, 6, 10, 22; QS. al-Fu ilat [41]: 26, 27, 29, 41, 50; QS. al-Jāsiyah [45]: 11, 31; QS. al-A qāf [46]: 3, 7, 11, 20, 34; QS. Muhammad [47]: 1, 3, 4, 8, 12, 32, 34; QS. al-Fat [48]: 22, 25, 25, 26 ; QS. al-Żāriyat [51]: 60; QS. al- ur [52]: 42; QS. al- adid [57]: 15, 19; QS. al- asyr [59]: 2, 11; QS. Mumtahanah [60]: 1, 5; QS. al-Munāfiqūn [63]: 3; QS. al-Tagābun [64]: 5, 6, 7, 10 ; QS. al-Ta rīm [66]: 7, 10; QS. al -Mulk [67]: 6, 27, 51; QS. al-ma’ārij [70]: 36; QS. Mudatssir [74]: 31; QS. al-Insyiqāq [84]: 22; QS. al-Burūj [85]: 19; QS. al-Balād [90]: 19; QS. Al-Bayyinah [98]: 1, 6

Orang-orang ka>fir

8


(29)

19

9

َْر فْكَت

QS. Al-Baqarah [2]: 102 Manusia secara umum

10

اْو ر فْكَت

QS. al-Nisā’ [4]: 131, 170, QS. Ibrāhīm [14]: 8; QS. al-Zumar [39]: 7

Manusia secara umum

11

ََنْو ر فْكَت

QS. Al-Baqarah [2]: 28, 85; QS. Ali ‘Imrān [3]: 70, 98, 101, 106; QS. Nisā’ [4]: 89; QS. al-An’ām [6]: 30; QS. al-Anfāl [8]: 35; QS. Yāsīn [36]: 64; QS. Ghāfir [40]: 10; QS. Fus}s}ilat [41]: 5; QS. al-Ahqāf [46]: 34; QS. al-Mumtahanah [60]: 2

Orang-orang ka>fir, bani Israil dan ahli kitab

12

َ نْو ر فْكَت

QS. Al-Baqarah [2]: 152 Orang-orang beriman 13

َ ر فْكَن

QS. al-Nisā’ [4]: 150; QS. Saba’ [34]: 33 Orang-orang ka>fir 14

َ ر فْكَي

QS. Al-Baqarah [2]: 99, 121, 256; QS. Ali ‘Imrān [3]: 19; QS. al-Nisā’ [4]: 136,; QS. al-Māidah [5]: 5, 115; QS. al-An’ām [6]: 89; QS. Hūd [11]: 17; QS. al-Kahfi [18]: 29; QS. al-Ankabūt [29]: 25; QS. al -Zukhruf [43]: 33

Ahli kitab dan Orang-orang ka>fir

15

اْو ر فْكَي

QS. Al-Baqarah [2]: 90; QS. al-Nisā’ [4]: 60; QS. al-Na l [16]: 55; QS. al-Qa ās [28]: 48; QS. al-Ankabūt [29]: 66; QS. al-Rūm [30]: 34

Ahli kitab

16

ََنْو ر فْكَي

QS. Al-Baqarah [2]: 61, 91; QS. Ali ‘Imrān [3]: 21, 112, QS. al-Nisā’ [4]: 150; QS. al-An’am [6]: 70; QS. Yūnus [10]: 4, 70; QS. al-Ra’d [13]: 30; QS. al-Na l [16]: 72; QS. Maryam [19]: 82; QS. al-Ankabūt [29]: 67; QS. al-Rūm [30]: 51; QS. Fāt}ir [35]: 14

Ahli kitab dan Orang-orang ka>fir

17

َْر فْكا

QS. al- ashr [59]: 16 Manusia 18

اْو ر فْكا

QS. Ali ‘Imra>n [3]: 72 Ahli kitab 19

ََر ف ك

QS. al-Qamar [54]: 14 Nabi Nuh as 20

َ رَفْك ي

QS. al-Nisā’ [4]: 140 Orang-orang ka>fir 21

َ هْو رَفْك ي

QS. ‘Ali ‘Imrān [3]: 115 Allah SWT 22

ََرَفَك

QS. Mu ammad [47]: 2 Allah SWT

23

َْرَفَك

اَن

QS. al-Māidah [5]: 65 Allah SWT

24

ََنَرِفَك أ

QS. Ali ‘Imrān [3]: 195; QS. al-Māidah [5]: 12


(30)

20

25

َْرِفَك ن

QS. al-Nisa’ [4]: 31 Allah SWT 26

ََنَرِفَك ن

QS. al-Ankabūt [29]: 7 Allah SWT 27

َ رِفَك ي

QS. Al-Baqarah [2]: 271; QS. al-Anfāl [8]: 29; QS. al-Zumar [39]: 35; QS. al-Fat [48]: 5; QS. al-Tagābun [64]: 9; QS. al

-alāq [65]: 5; QS. al-Ta rīm [66]: 8

Allah SWT

28

َْرَفَك

QS. Ali ‘Imrān [3]: 193 Allah SWT 29

َ هَرَفْكأ

QS. ‘Abasa [80]: 17 Manusia 30

َ رْف كْلا

QS. Al-Baqarah [2]: 108, 217; QS. Ali ‘Imrān [3]: 52, 80, 167, 176, 177; QS. al -Māidah [5]: 41, 61; QS. al-Taubah [9]: 12, 17, 33, 37, 74; QS. al-Na l [16]: 106; QS. al-Zumar [39]: 7; QS. al-Hujarāt [49]: 7

Manusia dan Orang-orang ka>fir

31

اًرْف ك

QS. Ali ‘Imrān [3]: 90; QS. al-Nisā’ [4]: 137; QS. al-Māidah [5]: 64, 68; QS. al -Taubah [9]: 97, 107; QS. Ibrāhīm [14]: 28; QS. al-Kahfi [18]: 80

Orang murtad, ahli kitab, dan manusia secara umum 32

ََك رْف ك ب

QS. al-Zumar [39]: 8 Manusia 33

َ ه رْف ك

QS. al-Rūm [30]: 44; QS. Luqmān [31]: 23;

Fāthir [35]: 39 Manusia

34

َْم رْف ك

QS. al-Baqarah [2]: 88, 93; QS. al-Nisā’ [4]: 46, 155, 155, 156; QS. Fāthir [35]: 29, 29

Umat para Nabi

35

َ ر فاَك

QS. al-Baqarah [2]: 41, 217; QS. al-Furqān [25]: 55; QS. al-Tagābun [64]: 2; QS. al -Naba’ [78]: 40

Orang-orang ka>fir

36

ََنْو ر فاَكْلا

QS. Al-Baqarah [2]: 254; QS. al-Nisā’ [4]: 151; al-Māidah 44, al-A’rāf 45, 76; al -Taubah 32, 55, 85, 125; Yūnus 2; Hūd 19; Yūsuf 37, 87; al-Na l 83; al-Anbiyā’ 36, al-Mu’minun 117;nQashas 48, 82, al-Ankabūt 47; al-Rūm 8; al-Sajadah 10; Saba’ 10; Shād 4, Gāfir 14, 85, Fu ilat 7, 14; al-Syūra 26; al-Zukhruf 24, 30; Qāf 2; Qamar 8, aff 8; Mulk 20; al-Muda ir 31; al-Kāfirūn 1

Orang-orang ka>fir

37

ََنْي ر فاَكْلا

QS. Al-Baqarah [2]: 19, 24, 34, 89, 90, 98, 104, 191, 250, 264, 286; QS. ‘Ali ‘Imrān [3]: 32, 100, 131, 141, 147; al-Nisa’ 37, 101, 102, 139, 140, 141, 141, 144, 151, 161; al-Māidah 54, 67, 68, 102; al-An’ām


(31)

21

89, 123, 130, al-A’rāf 37, 50, 93, 101; al -Anfāl 7, 14, 18, al-Taubah 2, 26, 37, 49; Yūnus 86; Hūd 42; al-Ra’d 14, 35; Ibrāhīm; al-Nahl 27, 107; al-Isrā’ 8; al-Kahfi 100, 101; Maryam 83; al-Hajj 44, al-Furqān 26, 52; al-Syu’arā’ 19; al-Naml 43; al-Qa as 86; al-Ankabūt 54, 68; al-Rūm 13, 45; al -A zāb 1, 8, 48, 64, Fāthir 29, 29; Yāsin 70, 74; al-Zumar 32, 59, 71; Gāfir 25, 50, 74; al-Ahqāf 6, Mu ammad 10, 11; al-Fat 13, al-Mujādalah 4, 5; al-Mulk 28; al-Hāqah 50; al-Ma’arij 2; Nū 26; al-Muda ir 10; al-Insān 4; al- alāq 17

38

ََكْلا

َ ةَرَف

QS. ‘Abasa [80]: 42 Orang-orang ka>fir 39

َ راَف كلا

QS. al-Baqarah [2]: 161; QS. Ali ‘Imrān [3]: 91; QS. al-Nisā’ [4]: 18; QS. al-Māidah [5]: 57; QS. al-Taubah [9]: 68, 73, 120, 123; QS. al-Ra’d [13]: 42; QS. Mu ammad [47]: 34; QS. Fat [48]: 29, 29; QS.

al-adīd [57]: 20; QS. al-Mumtahanah [60]: 10, 11, 13; QS. al-Ta rīm [66]: 9; QS. al -Muaffifīn [83]: 34, 36

Orang-orang ka>fir

40

اًراَف ك

QS. al-Baqarah [2]: 109 Orang-orang beriman 41

م ك راَف كَأ

QS. al-Qamar [54]: 43 Orang-orang ka>fir 42

َ ةَر فاَك

QS. Ali ‘Imrān [3]: 13 Orang-orang ka>fir 43

ر فاَوَكلا

QS. al-Mumtahanah [60]: 10 Perempuan-perempuan ka>fir 44

اًرْو ف ك

QS. al-Isrā’ [17]: 89, 99; QS. al-Furqān [25]: 50

Manusia 45

رْو فَك

QS. Hūd [11]: 9; QS. al- ajj [22]: 38, 66; QS. Luqmān [31]: 32; QS. Saba’ [34]: 17; QS. Fāir [35]: 36; al-Syūra [42]: 48; QS. al-Zukhruf [43]: 15

Manusia yang kufr nikmat

46

اًرْو فَك

QS. Al-Isrā’ [17]: 27, 67; QS. al-Insān [76]: 3, 24

Setan, manusia 47

َ راَفَك

QS. al-Baqarah [2]: 276; QS. Ibrāhīm [14]: 34; QS. al-Zumar [39]: 3; QS. Qāf [50]: 24

Manusia 48

اًراَفَك

QS. Nūh [71]: 27 Orang-orang ka>fir 49

ًَةَراَفَك

QS. al-Māidah [5]: 45, 89, 95 Orang-orang beriman


(32)

22

50

َ ه تَراَفَك

QS. al-Māidah [5]: 89 Orang-orang beriman yang bersumpah 51

ََناَرْف ك

QS. Al-Anbiyā’ [21]: 94 Orang-orang beriman 52

اًرْو فاَك

QS. al-Insān [76]: 5 Orang-orang baik Dari tabel di atas, kata ka>fir dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk kata, yaitu:

1. Kata ka>fir dalam bentuk fi’il ma>d}i

Jika diperhatikan dengan seksama, maka ditemukan bahwa al-Qur’an memakai kata ka>fir dalam pengungkapannya dalam bentuk kata kerja masa lampau sebanyak dua ratus tiga puluh satu (231) kali. Dari jumlah itu, kata ka>fir tersebar di berbagai surah-surah dalam al-Qur’an. Maka ditemukan pengungkapan kata itu ada dalam enam puluh (60) surah al-Qur’an.7

Dapat diidentifikasi bahwa hanya terdapat satu kali saja al-Qur’an menggunakan kata ka>fir dalam bentuk fi’il ma>d}i mabni majhu>l, yaitu

ََر ف ك

. sebagaimana terdapat dalam Q.S. Qamar [54]: 14. Dan terdapat dua kali

al-Qur’an menggunakan kata ka>fir dalam bentuk sula>thi mazi>d, yaitu

ََرَفَك

dan yang

7Ibid., 605-610.


(33)

23

terdapat di dalam Q.S. Muhammad [47]: 2, dan

اَنْرَفَك

yang terdapat dalam Q.S. al-Ma>idah [5]: 65.8

Dari penjelasan ini, maka dapat diketahui bahwa keseluruhan jumlah kata ka>fir dalam bentuk kata kerja masa lampau sebanyak dua ratus dua puluh delapan (228) kali.

2. Kata ka>fir dalam bentuk fi’il mud}a>ri’

Kata ka>fir dalam bentuk kata kerja masa sekarang dan akan datang (fi’il mud}a>ri’) diungkapkan sebanyak 68 kali. Diantara fi’il mud}a>ri’ tersebut terdapat yang mengandung d}amir mufra>d dan adapula yang mengandung d}amir jamak.9 3. Kata ka>fir dalam bentuk kata kerja perintah (fi’il amar)

Berbeda dengan pengungkapan dalam bentuk kata kerja masa lampau (fi’il ma>d}i) dan kata kerja masa sekarang dan akan datang (fi’il mud}a>ri’) dari kata ka>fir dalam al-Qur’an yang lumayan banyak jumlahnya, tetapi kata ka>fir dalam bentuk kata kerja perintah hanya disebutkan sebanyak tiga (3) kali saja di dalam

al-Qur’an. yaitu kata

َْر فْكا

dalam surat al-Hasyr [59]: 16,

َاْور فْكا

dalam surat Ali ‘Imra>n [3]: 72, dan

َْرِفَك

juga dalam surat Ali ‘Imra>n ayat 193.10

8Ibid., 609-610

9Ibid. 10Ibid.


(34)

24

4. Kata ka>fir dalam bentuk mas}dar, isim fa>il, dan isim tafd}il

Kata ka>fir dalam bentuk mas}dar disebut di dalam al-Qur’an sebanyak enam puluh empat (64) kali. Dalam bentuk isim fa>il disebut dalam al-Qur’an sebanyak seratus lima puluh tujuh (157) kali. Sedangkan dalam isim tafd}il hanya disebut

satu kali saja. Yaitu dalam surat ‘Abasa [80] ayat 17.11

C. Jenis-jenis Kafir dan Karakteristiknya

Harifuddin Cawidu, dalam disertasinya membagi jenis-jenis kafir menjadi 7 (tujuh) yaitu: Kufr Inkar, Kufr Juhud, Kufr Nifaq, Kufr Shirk, Kufr al-Ni’mah, Kufr al-Irtidad (al-Riddah), dab Kufr Ahl al-Kitab.12

a. Kufr al-inkar

Kufr al-inkar yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, rasul-rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Jadi ditinjau dari sudut akidah, orang kafir jenis ini tidak percaya sama sekali akan adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini. Ia juga mendustakan rasul-rasul, mendustakan ayat-ayat Tuhan, menolak semua hal yang bersifat ghaib, seperti malaikat, kiamat, kebangkitan, surga, neraka, dan sebagainya.13

Orang-orang kafir jenis ini, pada hakikatnya, hanya mempercayai hal-hal yang bersifat material dan alamiah. Kalaupun ada diantara mereka yang

11Ibid., 610-613.

12Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an., 105-164. 13Ibid., 105.


(35)

25

mempercayai hal-hal yang inmaterial, seperti daya paranormal, dukun, telepati, dan semacamnya, namun mereka beranggapan bahwa semua itu bersifat alamiah dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan.

Ciri yang sangat menonjol dari orang-orang kafir jenis ini adalah orientasi mereka yang hanya terfokus pada dunia ini saja. Seluruh waktu, tenaga, pikiran, dan umur mereka dihabiskan untuk mencari kenikmatan dunia.14

Karena orientasi dan kecintaan hidup duniawi yang sangat menonjol tanpa dilandasi kepercayaan kepada Tuhan dan Hari Pembalasan, maka orang-orang kafir tidak merasa memikul kewajiban moral untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan luhur buat investasi di akhirat. Sebaliknya, mereka tidak merasa berdosa untuk melakukan erbagai perbuatan jahat seperti penyimpangan, penyelewengan, pemaksaan, penipuan, pemerkosaan hak-hak orang lain, dan semacamnya.

b. Kufr al-juh}ud

Kufr al-Juh}ud, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kufr al-inkar. Istilah kufr al-juh}ud diambil dari term juh}ud yang terdapat dalam al-Qur’an. kufr al-juh}ud adalah mengakui dengan hati (kebenaran rasul dan ajaran-ajaran yang dibawanya) tetapi mengingkari dengan lidah.15

Mengenai kufr al-juh}ud, sebenarnya tidak terdapat perbedaan besar dengan kufr al-inkar. Bahkan antara keduanya terdapat persamaan yang mendasar karena

14Ibid., 107


(36)

26

keduanya berarti penolakan dan pembangkangan terhadap kebenaran, baik dalam arti Tuhan sebagai kebenaran mutlak dan sumber segala kebenaran maupun dalam arti kebenaran yang diturunkan melalui rasul-rasul-Nya. Perbedaan kedua jenis kafir ini terletak pada posisi si pengingkar. Pada kufr al-inkar, penolakan terhadap kebenaran didasarkan pada ketidakpercayaan dan ketidak yakinan akan kebenaran tersebut. Sedangkan pada kufr al-juh}ud, penolakan itu semata-mata berlandaskan atas kesombongan, keangkuhan, kedengkian dan semacamnya, meskipun dalam hati si pengingkar, hal yang di ingkari dan ditolaknya itu dia yakini atau, paling tidak, dia ketahui akan kebenarannya.16

Jadi, ciri-ciri kufr al-juh}ud, pada dasarnya sama dengan kufr al-inkar. Karena terdapat persamaan yang mendasar antara keduanya. Oleh karena itu, karakteristik kufr al-juh}ud juga menjadi karakteristik kufr al-inkar. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kesombongan dan keangkuhan merupakan ciri yang amat dominan dari kufr al-juh}ud.

c. Kufr al-nifaq

Kufr al-nifaq dapat dianggap sebagai kebalikan dari kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengetahui atau meyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah tetapi pengingkaran dengan hati.17 Oleh al-Raghib, nifaq diartikan dengan: “masuk

16Ibid., 123


(37)

27

kedalam syara’ (agama) dari satu pintu dan keluar dari pintu lain”.18 Hal ini didasarkan pada QS. al-Tawbah / 9:67 yang mengatakan bahwa orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasiq, yaitu orang yang keluar dari syara’.

Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kufr karena pada hakikatnya, perilaku nifaq adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafik, pada dasarnya, adalah mereka yang ingkar kepada Allah, kepada rasul-Nya dan ajaran yang dibawa rasul itu, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Karena termasuk kategori kufr, maka kemunafikan dan pelakunya seringkali diidentifikasi oleh al-Qur’an dengan term kufr, disamping term nifaq. Term nifaq yang mengandung makna kemunafikan, muncul dalam al-Qur’an sebanyak 37 kali.19

Diantara ciri-ciri orang munafik, sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:20

1. Berkepribadian goyah dan tidak memiliki pendirian tetap, khususnya dalam bidang akidah. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam suasana kebimbangan, ketidakpastian, dan kegelisahan.

2. Mereka memakai topeng yang berlapis-lapis untuk menutupi keaslian diri mereka yang sebenarnya, serta tidak segan-segan mengumbar sumpah palsu.

18Ibid. Lihat, Raghib Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, edisi M.S. Kaylani (Mesir:

Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.), 502.

19‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’ja>m al-Mufahras.., 716-717.


(38)

28

3. Menggambarkan sebagai pribadi yang pengecut, tidak kesatria mengakui kesalahan, dan tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatannya.

4. Apabila berkata dusta, berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanat berkhianat.

5. Perbuatan-perbuatan mereka yang selalu berdasarkan riya’ dan penuh pamrih, khusus dalam kaitannya dengan amal-amal keagamaan.

6. Sikap malas dan acuh tak acuh.

7. Gemar membuat fitnah dan menyebarkan berita-berita bohong dengan tujuan memburu-burukkan Islam dan umatnya.

d. Kufr al-shirk

Shikr, dalam arti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain diri-Nya, sebagai senbahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, termasuk dalam kategori kufr. Shirk, digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan yang, berarti, mengingkari kemaha-kuasaan dan kemahasempurnaan-Nya.21

Adapun ciri-ciri kekafiran jenis ini yaitu, kemusyrikan dalam bentuk keberhalaan. Yang merupakan ciri dari masyarakat yang masih tradisional seperti halnya umat para nabi dan rasul. Berhala-berhala itu, baik dalam wujud patung maupun bentuk-bentuk lainnya, dijadikan sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan tempat menggantungkan harapan dan dambaan, karena dianggap dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya.

21Ibid., 136.


(39)

29

e. Kufr al-ni’mah

Kufr nikmat yaitu, penyalahgunaan nikmat yang diperoleh, penempatannya bukan pada tempatnya, dan penggunaannya bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridai oleh pemberi nikmat.22

Kufr nikmat, seperti yang dimaksud, tampaknya, merupakan kecenderungan yang sangat kuat pada diri manusia. Hal ini terlihat pada cara al-Qur’an menunjuk kufr nikmat dengan beberapa kali menggunakan bentuk al-mubalagah. Misalnya, ungkapan zalu>mun kaffa>r (benar-benar zalim lagi teramat kafir) dalam QS. Ibra>hi>m [14]: 15 dan ungkapan kafu>run mubi>n (benar-benar kafir nikmat) yang terulang sepuluh kali.23

Kufr nikmat, dalam arti penyalahgunaan nikmat-nikmat Tuhan, sebenarnya, telah dilakukan secara langsung oleh orang-orang yang, memang, tergolong kafir (kafir ingkar, kafir juhud, musyrik, dan munafik). Mereka ini, semuanya, terlibat dalam penyalahgunaan nikmat-nikmat Tuhan karena mereka menggunakan nikmat-nikmat itu bukan pada tempat yang sewajarnya dan diridai oleh Tuhan. Bahkan mereka menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang mendatangkan kerusakan di atas muka bumi.24

Begitu juga orang mukmin, mereka pun bisa saja terjerumus dalam perilaku kufr nikmat. Orang mukmin yang menyalahgunakan nikmat Tuhan, yang tidak

22Ibid., 146.

23Ibid. Lihat, QS. Hu>d [11]: 9; al-Isra>’ [17]: 2, 68; al-Hajj [22]: 38, 66; Luqma>n [31]: 32; al-Shura [42]: 48; al-Zukhruf [43]:15 dan al-Dahr [76]: 3, 24.


(40)

30

mendayagunakan nikmat itu sebagaimana mestinya, atau menggunakan pada hal-hal yang tidak diridai oleh-Nya, maka ia telah melakukan perbuatan kufr, yakni kufr nikmat. Dengan demikian, kufr nikmat mempunyai cakupan yang amat luas sehingga akan banyak sekali manusia yang terjerumus didalamnya dan hanya sedikit yang benar-benar mampu menjadi insan shakir (yang benar-benar bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhan yang diperolehnya dalam hidup ini). Adapun ciri-ciri orang kufur nikmat yaitu: mereka yang memiliki sifat malas, statis, masa-bodoh, sikap santai dan tidak produktif dalam kerja, tiadanya kreatifitas, dan semacamnya.

f. Kufr al-irtida>d (al-riddah)

Istilah irtida>d atau riddah yang berakar dari kata radd, secara etimologi,

berarti “berbalik kembali”;25 atau menurut al-Raghib,26 yaitu “kembali ke jalan

dari mana ia datang”. Dari segi terminologi agama, irtida>d atau riddah berarti kembali kepada kekafiran, dari keadaan beriman, baik iman itu didahului oleh kekafiran lain (sebelumnya) atau pun tidak.27 Term riddat, menurut Raghib,28 khusus digunakan bagi orang yang kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Sedangkan term irtida>d bisa digunakan dalam pengertian umum, di samping arti khusus tersebut.

25Ibid., 150. Ibnu Manzur al-Ansari, Lisan al-‘Arab(Mesir: Da>r al-Mis}riyyah li al-Nashr, t.t.), 152.

26Ibid. Raghib Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.., 193.

27Ibid. M. Husayn al-Tabataba’i, al-Miza>n fi al-Tafsi>r al-Qur’a>n(Teheran: Mua’assasat Da>r al-Kutub al-Islamiyyat, 1396 H), 415.


(41)

31

Kekafiran jenis ini cukup menonjol dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat modern, yaitu mereka yang berlatar belakang perkawinan beda agama. Seorang Muslim atau Muslimat, karena kawin dengan non-Islam, akhirnya melepas agamanya dan menukarnya dengan agama pasangannya. Dalam masyarakat modern, terutama di kota-kota besar, di mana kebebasan pergaulan sangat menonjol dan ikatan-ikatan primordial, termasuk agama, tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam memilih teman hidup, peristiwa pertukaran agama, tampak, dianggap wajar, tidak prinsipal, dan tidak harus dipermasalahkan. Dalam kasus seperti itu, jelas, faktor cinta seringkali mengalahkan keyakinan agama, meskipun harus diakui bahwa seorang Muslim yang menukar agamanya dengan cinta dan perkawinan, tentunya, belum memiliki iman yang cukup terandalkan. g. Kufr ahl al-kitab

Ahl al-kitab (pemilik kitab) atau al-ladhi>na u>tu al-kitab (orang-orang yang diberi kitab), mempunyai kedudukan tersendiri dalam al-Qur’an. Al-Qur’an banyak membicarakan mereka, mengintroduksikan perilaku dan sifat-sifat mereka, serta menyoroti sikap mereka terhadap Nabi Muhammad, terhadap Islam pada umumnya.

Secara kenyataan, kaum Yahudi dan Nasrani, dua komunitas agama yang sering di-khit}ab oleh al-Qur’an sebagai ahl al-kitab, memiliki persambungan akidah dengan kaum Muslimin. Tuhan sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang memberi pembenaran terhadap sebagian dari ajaran Taurat (kitab suci


(42)

32

Yahudi) dan Injil (kitab suci Nasrani) serta mengoreksi sebahagian lainnya.29 Akan tetapi, al-Qur’an tidak memberikan penegasan mengenai status ahl al-kitab ditinjau dari sudut akidah. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa ada di antara ahl al-kitab yang beriman dan sebahagian besar dari mereka fasik (QS. Ali ‘Imra>n [3]: 110). Oleh karena itu, dalam mengkaji konsep kufr dalam al-Qur’an, diperlukan pembahasan tersendiri mengenai ahl al-kitab itu, bukan hanya karena al-Qur’an mengakui eksistensi mereka, tetapi juga karena interaksi antara umat Islam dengan mereka tidak dapat dielakkan. Terlebih lagi dalam masa modern ini di mana perbauran antara umat beragama yang begitu beraneka merupakan realitas yang sangat gamblang sedangkan umat Islam adalah salah satu komunitas besar di antaranya.30

Sebagaimana yang disebutkan di atas, kaum Yahudi dan Nasrani adalah dua komunitas agama yang selalu di-khitab oleh al-Qur’an sebagai ahl al-kitab. Para ulama juga sepakat mengenai hal ini. Yang mereka perselisihkan adalah komunitas agama-agama lain, seperti Majusi, Hindu, Budha, Konfusius, dan sebagainya. Apakah termasuk ahl al-kitab atau bukan. Ada sementara ulama yang memasukkan mereka dalam jajaran ahl al-kitab, tetapi sebahagiannya menolak.

Harifuddi Cawidu dalam disertasinya ini, menyimpulkan bahwa para ahl al-kitab itu, semuanya, tergolong kafir. Orang-orang Yahudi dan Nasrani, kendatipun mempercayai pokok-pokok akidah yang diyakini dalam Islam, namun kepercayaan

29Ibid., 164. Lihat, al-Qur’a>n, 3:3, 81; 4:47; 5:48; 6: 92; 35: 31; 46: 30. 30Ibid., 165.


(43)

33

mereka, sebenarnya, tidak utuh dan penuh dengan penyimpangan-penyimpangan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai orang-orang mukmin menurut konsep al-Qur’an.31

Ketidakutuhan iman orang-orang Yahudi dan Nasrani seringkali disinggung, bahkan dikecam, oleh al-Qur’an. Misalnya, mereka dikecam karena mempercayai sebahagian kitab Tuhan dan mengingkari sebahagian yang lain.32 Dalam hal ini, orang-orang Yahudi mempercayai Kitab Taurat yang dibawa Musa tetapi mengingkari Kitab Injil yang dibawa Isa dan al-Qur’an yang dibawa Muhammad. Sedangkan orang-orang Nasrani mempercayai Taurat dan Injil namun mengingkari al-Qur’an.

Membeda-bedakan rasul-rasul Allah, mempercayai sebahagiannya dan mengkafiri sebahagian lainnya, adalah berarti mengkafiri Allah dan rasul-rasul-Nya secara keseluruhan. Rasul-rasul yang diutus oleh Allah kepada umat manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka, membawa misi yang satu, yakni al-di>n (agama) yang didasarkan atas tauhid murni (QS. Shura [42]:31; al-Baqarah [2]:136). Menurut A. Daraz,33 hakikat al-din yang dibawa oleh semua rasul Allah adalah menghadapkan diri kepada Allah dengan kepatuhan yang ikhlas, tanpa dinodai oleh syirik; dengan keimanan yang teguh; dengan mempercayai semua yang berasal dari-Nya melalui lidah siapa pun, di zaman apa

31Ibid., 173.

32Ibid. Al-Qur’an, 2: 85.

33Ibid. A.Daraz, Al-Di>n Buhuth Mumahhadat li Dirasah Tarikh al-Adyan (Kuwait: Da>r


(44)

34

pun, atau di tempat mana pun, tanpa pembangkangan terhadap hukum-Nya; tanpa perlakuan diskriminatif pribadi, kelompok atau rasial terhadap satu kitab di antara kitab-kitab-Nya, atau seorang rasul diantara rasul-rasul-Nya.

Karena mengingkari sebahagian rasul Allah adalah berarti mengingkari rasul-rasul-Nya secara keseluruhan, dan karena mengingkari rasul-rasul Allah adalah berarti mengingkari Allah sendiri, maka sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani di atas, jelas, merupakan kekafiran. Ini sesuai dengan penegasan QS. al-Nisa>’ [4]:151 bahwa sikap membeda-bedakan rasul itu merupakan kekafiran yang sebenar-benarnya.34 Dengan demikian, orang-orang Yahudi dan Nasrani, menurut penegasan al-Qur’an, adalah kafir, meskipun secara kenyataan, mereka mempercayai sebahagian dari pokok-pokok iman yang diyakini oleh orang-orang Islam.

Adapun komunitas agama-agama lainnya, seperti Majusi, Sabi’at, Hindu, Budha, Konfisius, Shinto, dan sebagainya, maka kekafiran mereka tidak diragukan lagi. Yang pertama, karena mereka tidak mempercayai pokok-pokok keimanan yang diyakini dalam Islam. Mereka mendustakan Rasulullah SAW. dan ajaran-ajaran yang dibawanya, serta mendustakan rasul-rasul Allah lainnya.

34Ibid., 177.


(45)

BAB III

MUH}AMMAD MUTAWALLI> AL-SHA’RA>WI> DAN TAFSIRNYA

A. Riwayat Hidup Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>

Nama lengkap al-Sha’ra>wi> adalah al-Shaikh al-Fa>qih Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>. Dia salah seorang pakar bahasa Arab dan seorang mufassir kenamaan kontemporer. Beliau sangat dikenal luas di dunia Arab. Ia seorang muballigh yang kharismatik, disegani dan dikagumi di Mesir, baik lapisan masyarakat bawah maupun masyarakat akademik.1 Ia lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabi’ al-Tsani 1329 H bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamir, ad-Dakhaliyyah.2

Ketekunan al-Sha’ra>wi> dalam studi al-Qur’a>n sudah nampak sejak kecil di mana sejak ia berusia 11 tahun sudah hafal al-Qur’an di bawah bimbingan gurunya

‘Abd al-Majid Pasha.3 Maka dari itu, tidak aneh ketika dewasa ia menjadi salah satu tokoh dalam bidang tafsir kontemporer di abad 21.

Adapun pendidikan resminya diawali dengan menuntut ilmu di sekolah dasar Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Setelah memperoleh ijazah sekolah dasar al-Azhar pada tahun 1932 M, ia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di Zaqaziq

1Achmad, “Mutawalli> al-Sha’ra>wi>dan Metode Penafsirannya”, Jurnal al-Daulah, Vol. 1 No.

2 (Juni, 2013), 121. Lihat juga Sayyid Muhammad ‘Ali Iyaziy,al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manha>juhum (Teheran: Wazarah al-S}aqafah al-Irsyad al-Isla>mi>, 1414H), 33.

2Sa’i>d Abu> al-‘Ainain, Al-Sha’ra>wi> Ana> Min Sula>lat Ahl al-Bait (Kairo: Akhbar al-Yawm, 1955), 6.

3Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir al-Sha’ra>wi> (Jakarta: Teraju


(46)

36

dan meraih ijazah sekolah menengah al-Azhar pada tahun 1936 M. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar jurusan bahasa Arab pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. Ia melanjutkan ke jenjang doctoral pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar ‘A>lamiyyat (Lc sekarang) dalam bidang bahasa dan sastra Arab.4

Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau MA di Indonesia) al-Sha’ra>wi> menekuni keilmuan bidang syair dan sastra Arab. Hal ini tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan Kesustraan di daerah Zaqaziq. Kemudian pada tahun 1930-an merasakan bangku kuliah pada Fakultas Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan S1, ia melanjutkan studi S2 mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum laude.

Setelah menyelesaikan studinya tersebut, al-Sha’ra>wi> menghabisakan hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar Iskandariyyah, Zaqaziq, Universitas Ma>lik Ibnu Abdul Azi>z Makkah, Universitas al-Anjal Arab Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selain mengajar, al-Sha’ra>wi> juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da’i), mengisi pengajian tafsir al-Qur’a>n yang disiarkan langsung melalui layar televisi di Mesir dalam acara Nu>r ‘ala Nu>r.

4Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>: Ima>m al-‘As}r (Kairo:


(47)

37

Selanjutnya Mesir mulai mengenal nama al-Sha’ra>wi>. Semua masyarakat melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya terhadap al-Qur’a>n selama kurang lebih 25 tahun.5

Pada tahun 1976 M, al-Sha’ra>wi> dipilih oleh Kabinet Mamdu>h Sa>lim sebagai Menteri Wakaf dan pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk kembali menjadi Menteri Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan al-Azhar dalam kabinet yang dibentuk oleh Mamdu>h Sa>lim.

Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat dalam formatur kabinet yang dibentuk oleh Mustofa> Khali>l. Kemudian ia ditunjuk menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Universitas “Shu’u>b Isla>miyah Al-‘A>rabiyyah”, namun al-Sha’ra>wi> menolaknya. Pada tahun 1980 M al-Sha’ra>wi> diangkat sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia menolak jabatan strategis ini.

Atas jasa-jasa tersebut, al-Sha’ra>wi> memperoleh penghargaan dan lencana dari Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di tahun 1983 M pada acara peringatan hari lahir al-Azhar yang ke-1000.

Al-Sha’ra>wi> ditunjuk sebagai anggota litbang (penelitian dan pengembangan)

bahasa Arab oleh lembaga “Mujamma’ al-Kha>lidi>n”, perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun 1987 M. Tahun 1988 M memperoleh Wisa>m al-Jumhuriyyah, medali kenegaraan dari presiden Husni Mubarak di acara


(48)

38

peringatan hari da’i dan mendapatkan Ja>’izah al-Daulah al-Taqri>riyyah, penghargaan kehormatan kenegaraan.6

Pada tahun 1990 M, al-Sha’ra>wi> mendapat gelar “Profesor” dari Universitas Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Shakhsiyyah al-Isla>miyyah al-Ula> profil Islami pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapat penghargaan dalam bentuk uang dari putera mahkota al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu’u>ts al-Isla>miyah (pelajar yang berasal dari seluruh dunia).7 Di usia 87 tahun, tepatnya pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Mutawalli> al-Sha’ra>wi> wafat. Jasadnya dimakamkan di Mesir.8

B. Karya-karya Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>

Sebelum mengulas lebih jauh tentang karya-karya al-Sha’ra>wi> perlu dipetakan terlebih dahulu mengenai karya-karya beliau apakah ditulis sendiri atau dengan cara lain. Beberapa keterangan berikut akan mengulas lebih jauh seputar keberadaan karya-karya al-Sha’ra>wi>.

Sebagai seorang ulama, pemikir, sekaligus akademisi, keberadaan sebuah karya ilmiah tentunya tidak luput dari sejarah kehidupan seseorang. Adapun karya ilmiah merupakan hal yang tidak dapat dinafikan tentunya. Namun, sosok al-Sha’ra>wi>

6Mahmud Rizq al-Ama>l, Tari>kh Al-Ima>m Al-Sha’ra>wi>, dalam Majalah Mana>r Al-Isla>m,

(September, 2001), Vol.27 No 6, 35.

7Taha Badri, Qa>lu>’an Al-Sha’ra>wi> ba’da Ra>hi>lihi (Kairo: Maktabah Al-Tura>s Al-Isla>mi>, t.t.),

5-6.

8Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani


(49)

39

sedikit berbeda dengan kebanyakan para ulama pada umumnya dalam hal kepemilikan karya-karya ilmiah.

Al-Sha’ra>wi> sendiri baik secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa ia tidak menulis sendiri secara sepihak berbagai karangan ilmiahnya yang terdapat dan tersebar di berbagai belahan dunia saat ini. Dia beranggapan bahwa kalimat atau ajaran yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih mengena daripada kalimat ataupun ajaran yang disebarluaskan dengan perantara media tulisan, sebab manusia akan mampu mendengar dari narasumber yang asli tanpa dibatasi sekat-sekat maupun batasan tertentu jika kalimat atau ujaran tersebut disampaikan dalam bentuk tulisan. Namun dalam hal ini dia tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbahasakan menjadi bahasa tulisan dan tertulis dalam sebuah buku atau karya ilmiah.9

Hal ini dikuatkan dengan dengan pernyataannya yang tertuang dalam kitab Al-Syaikh Mutawalli> al-Sha’ra>wi>: Ima>m al-‘As}r.

Aku belum pernah berkecimpung dalam kegiatan tulis-menuis. Aku tidak menulis sepatah kata pun, karena tulisan hanya diperuntukkan kepada satu komunitas saja yaitu komunitas pembaca. Beda halnya dengan lisan. Lisan merupakan perantara yang paling efisien, apakah aku harus menunggu seseorang untuk membacanya atau tidak. Lain halnya dengan ketika aku berbicara di hadapan khalayak ramai. Aku bisa berdialog dengan semua audiens tanpa ada yang membatasi. Yang terpenting aku memperoleh pahala atas apa yang aku sampaikan. Adapun tulisan hanya metode penyampaian pemikiran sepihak.10

Sedangkan mengenai kitab Tafsi>r al-Sha’ra>wi> merupakan manifestasi pembahasan-pembahasan beliau tatkala mengulas seputar permasalahan yang terdapat dalam

9Istibsyaroh, Hak-hak perempuan.., 31.

10Ibid., 30-31, dikutip dari Ahmad al-Marsi Husein Jauhar, Al-Shaikh Muhammad


(50)

40

Qur’a>n (kecuali wawancara yang dicetak dalam buku). Hal senada diperkuat dengan komentarnya sebagai berikut:

Apabila distributor tergesa-gesa, mereka mengganti perkataanku dengan bahasa tulis, maka hal ini tidak terlepas dari faktor efisiensi waktu atau yang lain dan aku sangat berterima kasih atas tersebarluasnya pemikiranku. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan aku akan mengumpulkannya dalam sebuah buku sehingga aku dapat menganalisa, mengkaji ulang, dan memahaminya secara detail. Hanya kepada Allah aku bersandar agar cita-citaku terkabulkan.11

Berdasarkan dari hal itu, al-Sha’ra>wi> mengantisipasinya dengan cara membuat sebuah lembaga otoritas khusus untuk mengawasi dan berwenang atas karangan-karangan al-Sha’ra>wi> yang di beri nama Majma’ al-Sha’ra>wi> al-Isla>mi>.

Tugas majma’ (kumpulan ini adalah menganalisa dan mengkaji ulang kitab-kitab al-Sha’ra>wi>. Lembaga ini terdiri atas kumpulan ulama di bawah naungan al-Shaikh Sami> al-Sha’ra>wi>. Selain itu pula menurutnya lembaga yang berhak menerbitkan karangan al-Sha’ra>wi> adalah Akhbar al-Yawm dan Maktabah al-Tura>th al-Isla>mi> di bawah naungan ‘Abdullah Hajja>j. Namun penerbitan ini juga tidak terlepas dari pengawasan Majma’ al-Sha’ra>wi> al-Isla>mi>. Dua lembaga ini memiliki otoritas untuk mempublikasikan karangan-karangan al-Sha’ra>wi>. Meskipun telah diatur dan diawasi sedemikian rupa tetap saja tidak sedikit dari penerbit-penerbit lainnya yang memalsukan kitab-kitab karangan al-Sha’ra>wi>.12 Adapun karangan-karangan yang dicetak adalah sebagai berikut:13

11Ibid., 31-31, dikutip dari al-Azha>r, Al-Sha’ra>wi> Ima>m al-Du’a>, suplemen Maja>lah al-Azha>r, Juma>dil Akhi>r 1419 H, 99-104

12Ibid., 32-34, dikutip dari Maja>lah al-Shaba>b, tahun ke 22, edisi 64, Juli 1999, Rabi>’ul

Awwa>l 1420 H, 9. 13Ibid., 34-40.


(51)

41

1) Cetakan Akhbar al-Yawm a) Al-Asma>’ al-Husna> b) Al-Du’a> al-Mustaja>bah c) Al-Gha>’ib

d) Al-Hajj al-Mabru>r e) Al-Hala>l wa al-Hara>m f) Al-Haya>t wa al-Mawt g) Al-Isra>’ wa al-Mi’ra>j h) Al-Mar’ah fi> al-Qur’a>n i) Al-Qad}a>’ wa al-Qada>r j) Al-Rizq

k) Al-Sihr wa al-Hasa>d l) Al-Shait}a>n wa al-Insa>n m) Ayat al-Kursi>

n) Muhammad Rasu>l Alla>h o) Nihayat al-A’la>m p) Su>rah al-Kahfi q) Tafsi>r al-Sha’ra>wi>

r) Yawm al-Qiya>mah dan lain sebagainya. 2) Cetakan Maktabah al-Tura>th al-Isla>mi>


(52)

42

b) Al-Hijra>h al-Naba>wiyyah c) Al-Jiha>d al-Isla>mi>

d) Al-Mukhta>r min Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m e) Al-Si>ra>h al-Naba>wiyyah

f) Al-Shaikh al-Ima>m Muhammad al-Sha’ra>wi> wa Qad}a>ya> al-‘As}r

g) Nubu>’at al-Shaikh al-Sha’ra>wi> (al-Shuyu>’iyyah al-Sana>m Alladhi> Hawa>) dan lain sebagainya.

3) Penerbit-penerbit lainnya

a) ‘Ala> al-Maida>t al-Fikr al-Isla>mi> b) Al-Isla>m Hada>thah wa Had}a>rah c) Tarbiyat al-Insa>n al-Muslim

Ketiga kitab di atas diterbitkan oleh penerbit Da>r al-‘Audah Beirut.

d) Majmu>’at Muha>d}arah al-Sha’ra>wi> diterbitkan oleh Wiza>rah Difa> li> al-Shu>’un al-Ma’nawiyyah

e) Alla>h wa al-Nafs al-Basha>riyyah f) Al-S}ala>t wa Arka>n al-Isla>m g) Al-Shait}a>n wa Mada>khiluha>

Ketiga kitab ini disusun oleh Jama>l Ibra>hi>m dan diterbitkan oleh Da>r al-Hurriyah li> Al-Nashr wa al-Tawzi’.

h) Kitab seri anak-anak Muslim diantaranya yang berjudul Mausu>’ah Isla>miyyah li> al-At}fa>l cetakan Da>r al-Ra>’id li> al-Nashr.


(53)

43

i) Mukjiza>t al-Qur’a>n diterbitkan oleh Wiza>rah al-Tarbiyyah wa al-Ta’li>m dan lain sebagainya.

C. Pandangan Ulama Terhadap Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>

Beberapa ulama dan sarjana yang memberi komentar dan pandangan terhadap al-Sha’ra>wi>, di antaranya : ‘Abdul Fatta>h al-Fa>wi, dosen Falsafah di Universitas Da>r al-‘Ulu>m Kairo berkata: “Sha’ra>wi> bukanlah seorang yang tekstual, beku di hadapan nas, tidak terlalu cenderung ke akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, akan tetapi beliau menghormati nash, memakai akal, dan tepancar darinya keterbukaan dan kekharismatikannya”.14

Yu>suf al-Qardawi memandang : “ al-Sha’ra>wi> sebagai penafsir yang handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga mencakup kisi-kisi kehidupan lainnya, bahkan dalam kesehariannya ia terkesan menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.”15

Kecenderungan al-Sha’ra>wi> pada tafsir tidak menjadikan ia lupa dengan kepiawaiannya dalam menggambil kesimpulan hukum fiqh atas realita kehidupan, sehingga tidak jarang ia mengeluarkan hukum berdasarkan dalil shar’i dan logis. Akhirnya, kontribusi al-Sha’ra>wi> dalam berbagai bidang ilmu tidak perlu diragukan lagi, karenanya tidak sedikit pengikut dan pengagumnya merasa kehilangan ketika

14Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli>, 51. 15Ibid., 53.


(54)

44

al-Sha’ra>wi> wafat. Muh}ammad Mustafa> Gani>m dalam harian al-Akhba>r 14 Agustus 1980, seperti yang dikutip oleh Istibsyaroh adalah :

“Sungguh Allah menganugerahkan kepada al-Sha’ra>wi> ilmu yang melimpah, otak cemerlang, akal yang logis, pemikiran sistematis, hati ikhlas, kemampuan luar biasa dalam menjelaskan dan menafsirkan dengan gaya bahasa sederhana dan jelas, dengan perumpamaan yang dapat dipahami oleh kemampuan akal orang awam,...Sungguh hal ini adalah suatu khazanah yang pantas mendapat penghormatan, penghargaan, dan pengakuan tersendiri”.16

Sementara Ahmad ‘Umar Hashi>m, ketika memberikan penilaian terhadap al-Sha’ra>wi>, menyitir sebuah hadis:

“ Allah mengutus di setiap seratus tahun sosok yang membangkitkan (memperbaharui) nuansa Islam”. (HR. Abu> Da>wud).17

Dalam kaitannya dengan hadis di atas, Ah}mad ‘Umar Hashi>m memprediksi hanya Allah yang Maha Mengetahui al-Sha’ra>wi> termasuk pemimpin umat dan pembaharu nuansa pemikiran Islam sebagaimana kandungan hadis. Al-Sha’ra>wi> merupakan profil da’i yang mampu menyelesaikan permasalahan umat secara proporsional. Beliau tidak menolak mentah-mentah inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dengan penemuan ilmiah terutama yang berkaitan erat dengan subtansi al-Qur’a>n. Namun demikian ia tetap menganalisanya. Oleh karena itu, tidak salah apabila ia memperoleh gelar pembaharu Islam, Mujaddid al-Isla>m.

Ah}mad ‘Umar Hashi>m juga mengatakan bahwa karangan-karangan al-Sha’ra>wi> merupakan harta kekayaan yang sangat berkualitas, karena ia mencakup

16Istibsyaroh, Hak-hak perempuan..., 42


(55)

45

semua segi kehidupan. Karangannya tidak hanya memuat satu permasalahan fenomenal saja, tetapi juga membahas permasalahan kontemporer yang dihadapi umat era globalisasi secara keseluruhan. Akhirnya, merupakan kewajaran apabila umat Islam mengelu-eluhkannya.

Ibra>hi>m al-Dasu>ki>, teman karib al-Sha’ra>wi> berpendapat bahwa al-Sha’ra>wi> merupakan pemimpin para da’i. Dia sangat lihai dalam berdakwah. Al-Sha’ra>wi> tidak hanya berdakwah lewat lisan dan tulisan, tetapi juga mengaplikasikannya dalam tataran praktis. Karangan-karangan al-Sha’ra>wi> cukup menunjukkan tingkat kepandaiannya dalam berdakwah dan berkontemplasi (perenungan) dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan kecerdasannya ini akan terlihat jelas manakala al-Sha’ra>wi> mengolah kata-kata yang dirangkum dalam simbol interprestasinya terhadap al-Qur’a>n yang bukan sekedar ucapan saja, melainkan juga meresap di hati.18

Dari beberapa pandangan para ulama dan sarjana tentang al-Sha’ra>wi> di atas, dapat diketahui betapa besar pengaruh al-Sha’ra>wi> di masyarakat. Keikhlasannya, kekharismatikannya, keulamaanya, keprofesionalannya diakui oleh semua lapisan termasuk ulama, sarjana, dan sebagainya. Suatu hal yang paling penting, dia mempunyai kelebihan, disamping da’i yang mampu menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh kalangan masyarakat.


(1)

85

Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa orang-orang kafir ini, di dunia ini juga di azab oleh Allah Swt. Adapun siksa yang paling menonjol di dunia bagi mereka yaitu Allah telah mengunci mati hati mereka dari keimanan sehingga tiadanya ketentraman jiwa dan ketentraman batin dalam hidup mereka.

Adapun di akhirat orang-orang kafir ini mendapat siksaan yang sangat berat, yaitu pembalasan terhadap amal perbuatan mereka di dunia ini, baik amal kebaikan maupun amal kejahatan, belum diimpaskan. Pembalasan secara tuntas dan seadil-adilnya, baru akan terlaksana di hari kemudian. Al-Sha’ra>wi> menyatakan yang dimaksud azab yang besar yaitu yang dinisbatkan kepada kekuasaan Allah karena kekuasaan Allah itu tidak terbatas.43 Jadi, orang kafir ini, di akhirat di siksa oleh Allah dengan siksaan yang sangat pedih dan menyakitkan sehingga tidak bisa di bayangkan sakitnya siksaan itu.


(2)

86

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Menurut al-Sha’ra>wi, ka>fir yang dimaksud al-Sha’ra>wi> dalam surat al-Baqarah ayat 6 adalah mereka yang menjadikan kufur sebagai prinsip hidup. Merekalah yang mengambil keuntungan dari kekufuran itu, karena kekufuranlah yang membuat mereka menjadi pemimpin dan lain sebagainya. Jadi, mereka tetap tidak akan beriman baik diberi peringatan atau tidak, karena ia menginginkan dunia dimana ia hidup didalamnya.

2. Jenis kafir dalam surat al-Baqarah ayat 6 tersebut termasuk dalam kategori kufr al-inkar yang karakteristiknya yaitu ingin meninggikan otoritas kehidupan duniawinya, ketimbang memikirkan kehidupan akhirat.

3. Adapun akibat yang dialami orang kafir jenis ini yaitu di dunia yaitu Allah menghukum dengan tidak mengeluarkan kekufuran dari hati, dan tidak memasukkan iman ke dalamnya, sedangkan di akhirat ia akan mendapat siksa yang seberat-beratnya atas apa yang diperbuat di dunia.

B. Saran

Kajian tentang “kafir” sangat menarik untuk dikaji secara terus menerus, khususnya mengenai pendapat Mufassir kontemporer seperti Muhammad Mutawalli>


(3)

87

kekurangan. Pembahasan terkait pemaknaan lebih luas yang berkenaan dengan tema tersebut dirasa oleh peneliti sangatlah kurang dan belum komprehensif. Oleh karena itu, karya ilmiah ini baru lebih bermakna apabila terus dilanjutkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, “Mutawalli> al-Sha’ra>wi> dan Metode Penafsirannya”, Jurnal al-Daulah. Vol. 1 No. 2. Makassar, 2013.

Al-‘Ainain, Sa’i>d Abu>. Al-Sha’ra>wi> Ana> Min Sula>lat Ahl al-Bait. Kairo: Akhbar al-Yawm, 1955.

Al-Ama>l, Mahmud Rizq.Tari>kh Al-Ima>m Al-Sha’ra>wi>, dalam Majalah Mana>r Al-Isla>m,Vol.27, No. 6. September, 2001.

Al-Ba>qiy, M. Fu’ad ‘Abd.Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’a>n al-Kari>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.

Al-Bayumi,Muhammad Rajab.Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi> Jawlatun fi> Fikrihi al-Mausu>’i> al-Fasi>h. Kairo: Maktabah al-Tura>s al-Isla>mi>, t.th. Al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Al-Bidayah fi> al-Tafsir al-Maud}u’i :Dirasah

Manhajiyah Maud}u’iyah, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan

judul,Metode Tafsir Maud}u’iy:Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.

Al-Razi, Fakhruddin. Tafsi>r Mafa>tih Al-Gayb. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981.

Al-Sakandari>, Ibnu At}o’illah. Al-Hikam, terj. Misba>h Must}a>fa> dengan judul Terjemah Matan Hikam. Surabaya: Nafaqah Maktabah, 1406 H.

Al-Sha’ra>wi>, M. Mutawalli>. Tafsi>r Al-Sha’ra>wi>. Kairo: Akhbar al-Yawm, 1991. Al-Zuhayli>, Wahbah.Al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>’ah wa al

-Minhaj, Juz 2. Damaskus, Da>r al-Fikr, 2009.

Asmuni, Yusran.Ilmu Tauhid. Jakarta: PT. Grafindo Persada, t.th.

Badri,Taha.Qa>lu>’an Al-Sha’ra>wi> ba’da Ra>hi>lihi. Kairo: Maktabah Tura>s Al-Isla>mi>, t.th.

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.


(5)

Cawidu, Harifuddin.Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Chozin,Fadjrul Hakam.Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah. Ttp: Alpha, 1997.

Da>wud, Abu>.Sunan Abi> Da>wud, Juz IV. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.

Faudah,Mahmud Basuni.Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. M. Mukhtar Zoeni dan Abdul Qad’ir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987.

Ghozali, Imam.Tauhidullah. Surabaya: Risalah Gusti, 1999.

Hamka, Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004.

Harun, Salman. Mutiara Al-Qur’an: Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Hashi>m,Ahmad ‘Umar.Al-Ima>m Al-Sha’ra>wi> Mufassira>n wa Da>’iyah. Kairo: Maktabah Al-Tura>s} Al-Isla>mi>, t.t.

Istibsyaroh, Istibsyaroh. Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir

al-Sha’ra>wi>.Jakarta: Teraju PT.Mizan Publika, 2004.

Iyaziy, Muhammad ‘Ali.Al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa Manha>juhum. Teheran: Wazarah al-Tsaqafah al-Irsyad al-Islamiy, 1414H.

Izutsu,Toshihiko.Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap

Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Ja>rim, ‘Ali.> Al-Bala>ghah al-Wa>d}ihah. Kairo: Da>r al-Ma’arif, 1964.

Jauhar, Ahmad al-Marsi Husein.Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>: Ima>m al

-‘As}r. Kairo: Handat Misr, 1990.

Kathi>r, Ibnu.Tafsi>r Ibnu Katsi>r,terj. Bahrun Abu Bakar, Juz 2. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000.

Kusuma, Hendro. “Penafsiran al-T}abari> dan al-Sha’ra>wi> tentang Makanan” (Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009).

M. Suryadinata, “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’an: Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim”, Jurnal Ilmu


(6)

Mentari,Resti Yuni. “Penafsiran Al-Sha’ra>wi> terhadap Al-Qur’an tentang Wanita

Karir” (Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2011). Mohammad,Herry.Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema

Insani Press, 2006.

Moleong, Lexy J.Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.

Munawwar, Said Aqil.Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat: Press Jakarta, 2002.

Musyafa’ah, Sauqiyah .dkk. Studi Al-Qur’an. Surabaya: Uin Sunan Ampel Press, 2013.

Nasution, Harun.Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1986.

Shibab, M. Quraish.Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian

al-Qur’an,Vol.1. Ciputat: Lentera Hati, 2000.

_______________. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999.

_______________. Al-Qur’an dan Maknanya. Ciputat: Lentera Hati, 2010.

Tim Penyusun Fakultas Ushuluddin, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel. Surabaya: Mega Grafika, 2012.

Usamah, Usamah. “Pandangan Amina Wadud dan Penafsiran al-Sha’ra>wi>, Terhadap Ayat Gender: Studi Komparatif Terhadap Surat al-Nisa>’ Ayat 1 dan 3”. (Surabaya: Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2015).