BOOK Umbu Tagela Manajemen dan perencanaan pendidikan Bab IV
BAB IV
PEMANFAATAN DATA DEMOGRAFIK UNTUK
PERENCANAAN PENDIDIKAN
Kegunaan Data Demografi
Pendidikan bertalian dengan proses yang melibatkan
pendidik dan sasaran
didik dengan memanfaatan media
pendidikan. Pendidik dan sasaran adalah orang yang merupakan
bagian dari suatu penduduk. Berapa persen dari suatu penduduk
yang diharapkan terdapat di lembaga pendidikan dapat dilihat
dari data penduduk yang sudah dikelompokkan menurut usia.
Tetapi kenyataannya tidak semua penduduk yang berada pada
kelompok usia tertentu – misalnya usia SD (6 – 12 tahun) –
tertampung di sekolah (Dasar). Boleh jadi hal itu disebabkan
karena daya tampung SD yang terbatas tetapi bisa juga karena
faktor yang terdapat pada calon murid, misalnya karena cacat
fisik, keterbelakangan mental, kesakitan, beaya tempat tinggal
yang jauh dari sekolah, kesadaran orang tua tentang pentingnya
sekolah dan sebagainya.
Bagi perencana pendidikan, data demografik yang ada
serta proyeksi pertumbuhan dan kecenderungan perubahan
komposisi penduduk menjadi bahan pertimbangan bahkan
menjadi acuan utama dalam perencanaan. Kecuali itu undangundang dan peraturan pemerintah juga menjadi salah satu
pertimbangan dalam perencanaan, atau bisa juga perencana
pendidikan
mempengaruhi
pemerintah
agar
mengatur
pendidikan sesuai dengan patokan tertentu. Misalnya, dengan
Wajib Belajar sembilan tahun (Wajib Belajar Pendidikan Dasar)
maka semua penduduk pada kelompok usia 6 – 15 tahun harus
masuk dalam perhitungan dengan mempertimbangkan tingkat
33
migrasi neto dan tingkat kematian menurut kelompok umur.
Sedangkan mereka yang berada di atas usia 15 tahun tetapi
belum
tamat
pendidikan
dasar
perlu
pula
dipikirkan
kemungkinan penampungannya melalui kelompok belajar di luar
program konvensional.
Kecuali jumlah dan komposisi penduduk menurut usia,
komposisi penduduk menurut jenis kelamin juga menjadi
perhatian dari perencana pendidikan. Jumlah penduduk dan pola
fertilitas akan mempengaruhi proyeksi jumlah anak yang
dilahirkan dan karena itu mempengaruhi jumlah permintaan
masuk sekolah pada periode tertentu. Selain itu, faktor sosial
budaya masyarakat tertentu berpengaruh pula pada pilihan
bersekolah atau tidak bersekolah antara laki-laki dan perempuan.
Banyak masyarakat dengan budaya tertentu menganggap bahwa
sekolah hanya perlu bagi laki-laki dan kalau perempuan ikut
sekolah maka sekolah baginya cukup pada tingkat dasar saja.
Dalam kondisi seperti itu maka merupakan pemborosan kalau
pembangunan
gedung
sekolah
hanya
didasarkan
atas
perhitungan jumlah permintaan masuk menurut usai saja, kecuali
kalau disertai dengan paksaan wajib belajar.
Data demografik yang menarik pula bagi perencana
pendidikan adalah persebaran penduduk secara geografis. Data
ini akan berpengaruh dalam mengambil keputusan dalam
pemilihan lokasi sekolah, ukuran ruang kelas, dan jenjang seerta
tipe sekolah. Semua ini terkait pula dengan penyediaan guru,
penyediaan logistik dan sebagainya. Dengan perkataan lain
persebaran penduduk secara geografis akan berpengaruh pula
dalam penyediaan beaya pendidikan.
Akhirnya,
perencana
pendidikan
juga
perlu
memperhatikan persebaran penduduk menurut sektor kegiatan
ekonomi. Pendidikan yang baik tidak hanya menghasilkan orang
34
yang semakin pandai tetapi lebih dari itu adalah orang yang
semakin berpeluang untuk memperoleh lapangan kerja.
Pendidikan yang baik tidak dimaksudkan untuk menghasilkan
penganggur-penganggur intelektual melainkan orang yang
mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja bahkan mampu
menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Dalam hubungan
inilah “link and match” menjadi penting diperhatiakn oleh
perencana pendidikan. Disini perlu mempertimbangkan secara
matang perimbangan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan
maupun antar sekolah kejuruan dan penempatannya secara
geografis.
Kelemahan Data
Seorang perencana pendidikan tentu bukan petugas
sensus. Dia hanya pengguna data kependudukan yang telah
dikumpulkan dan diolah oleh petugas khusus. Oleh sebab itu
perencana pendidikan harus sadar bahwa data yang ada itu tidak
teliti secara sempurna.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap ketelitian data
adalah:
1.
Pilihan Sumber Data.
Telah dikatakan bahwa tiap sumber data (atau tehnik
pengumpulan data) mempunyai kekuatan dan kelemahan
sendiri-sendiri. Data yang bersumber dari sensus berbeda
akurasinya dibandingkan dengan data yang bersumber dari
survei dan registrasi.
2.
Kesalahan pada diri Tercacah
Sekalipun diakui bahwa sensus lengkapmerupakan
sumber data yang terpercaya tetapi peluang terjadinya kesalahan
35
msih ada. Pertama, kesalahan karena perbedaan persepsi
mengenai tujuan sensus. Kalau sensus dipersepsikan mendata
penduduk untuk yujuan awjib militer atau wajib pajak maka
informasi
yang
diberikan
berbeda
dengan
sensus
yang
dipersepsikan untuk memperoleh jatah beras dan sebagainya.
Kedua, kesalahan karena ketidaksamaan pemahaman
definisi penduduk. Sebuah keluarga yang mempunyai anak yang
studi di luar desa, tetap dilaporkan karena takut tidak terdaftar,
pada hal anak itu mungkin sudah didaftar ditempatnya yang baru.
Ketiga, kesalahan karena kebiasaan atau kesukaan pada digit atau
angka tertentu, misalnya angka 0 dan /atau kelipatan lima
(Yunus, dalam LDFE-UI, 2000), dalam melaporkan data usia.
3.
Kesalahan pada Pencacah
Di negara sedang berkembang kurang sekali orang yang
mempunyai kemampuan memadai dan mau direkrut sevagai
pencacah, apalagi kalau imbalannya kurang, Karena itu petugas
terpaksa direkrut dari orang-orang yang belum tentu tahu dan
trampil manggali informasi, menafsirkan, dan mengisi formulir
dan melaporkan secara benar.
4.
Kesalahan karena hambatan lain, seperti terbatasnya
waktu, kurangnya sarana transportasi, dan sebagainya.
Walaupun kekurangan-kekurangan itu selalau ada tetapi
petugas statistik biasanya sudah mempunyai tehnik-tehnik
pengolahan data untuk meningkatkan taraf ketelitian data. Akan
tetapi upaya itu tentu tidak menghapus sama sekali kelemahan
yang ada. Oleh sebab itu, yang penting bagi perencana pendidikan
harus
menyadari
kesalahan
itu
sejak
awal.
Lagipula
penyimpangan yang kecil tentu tidak berarti apa-apa untuk
perencanaan.
36
Memanfaatkan Data
Seperti telah
dikemukakan,
pada
umumnya
data
penduduk yang dipublikasikan telah diolah dan dikelompokkan
menurut ukuran tertentu. Biasanya dikelompokkan menurut usia
dan jenis kelamin dengan atau tanpa variabel kontrol. Oleh sebab
itu perencana pendidikan harus mengolahnya kembali karena
kategori usia sering tidak cocok dengan kategori usia sekolah.
Cara umum yang dilakukan adalah mengubah data
kelompok usia lima tahunan menjadi kelompok usia setahunan,
dengan tehnik interpolasi. Misalkan, kita ingin mengetahui
jumlah penduduk usia SD, 6 – 12 tahun. Untuk maksud itu kita
cari populasi pada kelompok usia setahunan dari dari data
populasi kelompok usia lima tahunan dengan prosedur sebagai
berikut:
1.
buat perkiraan populasi tahun tengah selang lima tahunan.
2.
Buat perkiraan perubahan jumlah populasi pada selang usia
3.
4.
Untuk kelompok 5–9 tahun yang menjadi tahun tengah
adalah 7–8 (bukan 7).
lima tahunan berikutnya (10 – 14 tahun);
Cari faktor koreksi untuk populasi umur tungga;
Buat akhir perkiraan populasi selang umur tertentu
berdasarkan umur tunggal.
Contoh:
Berdasarkan data penduduk Kabupaten X (lihat Bab 2),
populasi kelompok usia 5 – 9 tahun adalah 45.582 orang. Jumlah
ini dibagi 5 dan itulah yang dianggap jumlah populasi tahun
tengah 7-8 tahun, yaitu 47.582 : 5 = 9.516,4 orang. Kemudian
untuk tahun tengah lima tahun berikutnya, yaitu 12 – 13 tahun
diasumsikan 1/5 dari populasi kelompok usia 10 – 14 tahun,
yaitu 46.485 : 5 adalah 9.297 orang. Maka perubahan tahunan
antara (7-8) dan (12-13)tahun:
37
9.297 – 9.516,4
= - 43,88
5
sehingga populasi kelompok umur:
7 - 8 tahun
8 - 9 tahun
= 9.516,4
= 9.516,4 – 43,88 = 9.472,52
9 - 10 tahun = 9.472,52 – 43,88 = 9.428,64
10 - 11 tahun = 9.428,64 – 43,88 = 9.3884,76
11 - 12 tahun = 9.384,76 – 43,88 = 9.340,88
12 - 13 tahun = 9.297.
Berdasarkan perkiraan umur tunggal, kalau dijumlah
untuk lima tahunan harus sama dengan populasi lima tahunan
menurut data asli. Misalnya, menurut data asli kelompok usia 10
– 14 tahun adalah 46.485. Sedangkan menurut perhitungan/
perkiraan umur tunggal adalah 9.384,76 + 9.340,88 + 9.297 +
9.253.13 + 9.209,24 = 46.485.
Pada contoh ini penjumlah populasi lima umur tunggal
10-14 tahun adalah sama dengan data asli, yaitu 46.485. Tetapi
bisa terjadi hasilnya berbeda. Kalau demikian perlu dicari faktor
koreksi, yaitu rasio antara data asli lima tahunan dan
penjumlahan perkiraan lima umur tunggal pada kelompok umur
yang bersangkutan. Faktor koreksi ini harus dikalikan masingmasing umur tunggal pada kelompok umur itu.
Dengan cara perhitungan di atas, maka penduduk
Kabupaten X tahun 2010 yang termasuk usia SD (6 – 12 tahun)
adalah 9.560,28 + 9.516,4 + 9.472,52 + 9.428,64 + 9.384,76 +
9.340,88 = 56.703 orang. Apabila jumlah penduduk usia SD yang
benar-benar sedang bersekolah di SD, misalnya saja 50.000
orang, maka enrollment rasio adalah:
38
50.000 x 100 = 88.19. artinya hanya 88 persen dari 100 orang
penduduk usia sekolah (SD) tertampung di SD.
Untuk mengadakan proyeksi jumlah murid SD dan yang
akan ditampung di SD haruslah diperhatikan beberapa faktor
berikut:
1.
Angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir. Dan
2.
Angka kematian menurut kelompok umur. Berdasarkan
3.
diasumsikan angka kelahiran itu tetap berlaku dalam
beberapa tahun yang akan datang (yang diproyeksikan).
angka kelahiran dan angka kematian menurut kelompok
umur dapat ditentukan tingkat bertahan hidup (survival
ratio) pada kelompok umur tertentu;
Tentukan jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah
pada jenjang tertentu seperti cara tersebut di atas;
4.
Periksa data aktual yang sedang duduk pada jenjang
5.
Periksa pula kemampuan ekonomi orang tua. Hal ini
6.
sekolah tertentu. Dengan membandingkan data penduduk
usia sekolah yang riil sekolah, tentukan enrollment ratio;
berkaitan dengan kemampuan memikul beaya pendidikan.
Amati pula pergeseran nilai anak dalam keluarga;
Hal yang tidak kurang penting adalah Undang-undang
Pendidikan. Dengan Wajib belajar pendidikan dasar dan
kebijakan bebas uang sekolah maka permintaan masuk
sekolah akan mendekati 100 % karena ada saja orang yang
karena alasan tertentu terpaksa tidak sekolah atau drop
out.
Kecuali untuk proyeksi permintaan masuk sekolah, data
kependudukan bermanfaat pula untuk memutuskan di mana
sekolah akan dibangun. Biasanya data sensus juga dipilih
39
menurut Desa-Kota. Begitu pula angka kelahiran dan angka
kematian karena kenyataannya, ada perbedaan antara kota dan
desa. Termasuk pula arus migrasi/ urbanisasi.
Akhirnya, perencana pendidikan harus pula menentukan
jenis sekolah apa yang akan dibangun, terutama untuk satuan
pendidikan di atas pendidikan dasar. Hal ini terkait dengan
permintaan tenaga kerja dan kecenderungannya dimasa depan.
Bagi kita di Indonesia, arah perkembangan pembangunan
nasional dan regional perlu menjadi bahan pertimbangan
disamping faktor globalisasi. Sejak awal pembangunan terlihat
jelas pergeseran kebijakan dari agraris ke industri menuju ke
ekonomi berimbang. Orientasi produksi bergerak dari produk
primer (dari alam) ke produk sekunder (manufaktur) dan tersier
(jasa) yang cenderung makin padat teknologi. Sementara itu
angka partisipasi angkatan kerja perempuan cenderung makin
meningkat seiring dengan menurunnya angka kelahiran dan
meningkatnya kesadaran perempuan akan emansipasinya. Ini
semua harus ikut dipertimbangkan dalam menentukan jenis
sekolah dan pilihan lokasinya. Biasanya data sensus lengkap
memuat pula data seperti yang dimaksud. Hanya saja data itu
perlu diolah lebih lanjut
pendidikan.
40
untuk kepentingan perencanaan
PEMANFAATAN DATA DEMOGRAFIK UNTUK
PERENCANAAN PENDIDIKAN
Kegunaan Data Demografi
Pendidikan bertalian dengan proses yang melibatkan
pendidik dan sasaran
didik dengan memanfaatan media
pendidikan. Pendidik dan sasaran adalah orang yang merupakan
bagian dari suatu penduduk. Berapa persen dari suatu penduduk
yang diharapkan terdapat di lembaga pendidikan dapat dilihat
dari data penduduk yang sudah dikelompokkan menurut usia.
Tetapi kenyataannya tidak semua penduduk yang berada pada
kelompok usia tertentu – misalnya usia SD (6 – 12 tahun) –
tertampung di sekolah (Dasar). Boleh jadi hal itu disebabkan
karena daya tampung SD yang terbatas tetapi bisa juga karena
faktor yang terdapat pada calon murid, misalnya karena cacat
fisik, keterbelakangan mental, kesakitan, beaya tempat tinggal
yang jauh dari sekolah, kesadaran orang tua tentang pentingnya
sekolah dan sebagainya.
Bagi perencana pendidikan, data demografik yang ada
serta proyeksi pertumbuhan dan kecenderungan perubahan
komposisi penduduk menjadi bahan pertimbangan bahkan
menjadi acuan utama dalam perencanaan. Kecuali itu undangundang dan peraturan pemerintah juga menjadi salah satu
pertimbangan dalam perencanaan, atau bisa juga perencana
pendidikan
mempengaruhi
pemerintah
agar
mengatur
pendidikan sesuai dengan patokan tertentu. Misalnya, dengan
Wajib Belajar sembilan tahun (Wajib Belajar Pendidikan Dasar)
maka semua penduduk pada kelompok usia 6 – 15 tahun harus
masuk dalam perhitungan dengan mempertimbangkan tingkat
33
migrasi neto dan tingkat kematian menurut kelompok umur.
Sedangkan mereka yang berada di atas usia 15 tahun tetapi
belum
tamat
pendidikan
dasar
perlu
pula
dipikirkan
kemungkinan penampungannya melalui kelompok belajar di luar
program konvensional.
Kecuali jumlah dan komposisi penduduk menurut usia,
komposisi penduduk menurut jenis kelamin juga menjadi
perhatian dari perencana pendidikan. Jumlah penduduk dan pola
fertilitas akan mempengaruhi proyeksi jumlah anak yang
dilahirkan dan karena itu mempengaruhi jumlah permintaan
masuk sekolah pada periode tertentu. Selain itu, faktor sosial
budaya masyarakat tertentu berpengaruh pula pada pilihan
bersekolah atau tidak bersekolah antara laki-laki dan perempuan.
Banyak masyarakat dengan budaya tertentu menganggap bahwa
sekolah hanya perlu bagi laki-laki dan kalau perempuan ikut
sekolah maka sekolah baginya cukup pada tingkat dasar saja.
Dalam kondisi seperti itu maka merupakan pemborosan kalau
pembangunan
gedung
sekolah
hanya
didasarkan
atas
perhitungan jumlah permintaan masuk menurut usai saja, kecuali
kalau disertai dengan paksaan wajib belajar.
Data demografik yang menarik pula bagi perencana
pendidikan adalah persebaran penduduk secara geografis. Data
ini akan berpengaruh dalam mengambil keputusan dalam
pemilihan lokasi sekolah, ukuran ruang kelas, dan jenjang seerta
tipe sekolah. Semua ini terkait pula dengan penyediaan guru,
penyediaan logistik dan sebagainya. Dengan perkataan lain
persebaran penduduk secara geografis akan berpengaruh pula
dalam penyediaan beaya pendidikan.
Akhirnya,
perencana
pendidikan
juga
perlu
memperhatikan persebaran penduduk menurut sektor kegiatan
ekonomi. Pendidikan yang baik tidak hanya menghasilkan orang
34
yang semakin pandai tetapi lebih dari itu adalah orang yang
semakin berpeluang untuk memperoleh lapangan kerja.
Pendidikan yang baik tidak dimaksudkan untuk menghasilkan
penganggur-penganggur intelektual melainkan orang yang
mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja bahkan mampu
menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Dalam hubungan
inilah “link and match” menjadi penting diperhatiakn oleh
perencana pendidikan. Disini perlu mempertimbangkan secara
matang perimbangan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan
maupun antar sekolah kejuruan dan penempatannya secara
geografis.
Kelemahan Data
Seorang perencana pendidikan tentu bukan petugas
sensus. Dia hanya pengguna data kependudukan yang telah
dikumpulkan dan diolah oleh petugas khusus. Oleh sebab itu
perencana pendidikan harus sadar bahwa data yang ada itu tidak
teliti secara sempurna.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap ketelitian data
adalah:
1.
Pilihan Sumber Data.
Telah dikatakan bahwa tiap sumber data (atau tehnik
pengumpulan data) mempunyai kekuatan dan kelemahan
sendiri-sendiri. Data yang bersumber dari sensus berbeda
akurasinya dibandingkan dengan data yang bersumber dari
survei dan registrasi.
2.
Kesalahan pada diri Tercacah
Sekalipun diakui bahwa sensus lengkapmerupakan
sumber data yang terpercaya tetapi peluang terjadinya kesalahan
35
msih ada. Pertama, kesalahan karena perbedaan persepsi
mengenai tujuan sensus. Kalau sensus dipersepsikan mendata
penduduk untuk yujuan awjib militer atau wajib pajak maka
informasi
yang
diberikan
berbeda
dengan
sensus
yang
dipersepsikan untuk memperoleh jatah beras dan sebagainya.
Kedua, kesalahan karena ketidaksamaan pemahaman
definisi penduduk. Sebuah keluarga yang mempunyai anak yang
studi di luar desa, tetap dilaporkan karena takut tidak terdaftar,
pada hal anak itu mungkin sudah didaftar ditempatnya yang baru.
Ketiga, kesalahan karena kebiasaan atau kesukaan pada digit atau
angka tertentu, misalnya angka 0 dan /atau kelipatan lima
(Yunus, dalam LDFE-UI, 2000), dalam melaporkan data usia.
3.
Kesalahan pada Pencacah
Di negara sedang berkembang kurang sekali orang yang
mempunyai kemampuan memadai dan mau direkrut sevagai
pencacah, apalagi kalau imbalannya kurang, Karena itu petugas
terpaksa direkrut dari orang-orang yang belum tentu tahu dan
trampil manggali informasi, menafsirkan, dan mengisi formulir
dan melaporkan secara benar.
4.
Kesalahan karena hambatan lain, seperti terbatasnya
waktu, kurangnya sarana transportasi, dan sebagainya.
Walaupun kekurangan-kekurangan itu selalau ada tetapi
petugas statistik biasanya sudah mempunyai tehnik-tehnik
pengolahan data untuk meningkatkan taraf ketelitian data. Akan
tetapi upaya itu tentu tidak menghapus sama sekali kelemahan
yang ada. Oleh sebab itu, yang penting bagi perencana pendidikan
harus
menyadari
kesalahan
itu
sejak
awal.
Lagipula
penyimpangan yang kecil tentu tidak berarti apa-apa untuk
perencanaan.
36
Memanfaatkan Data
Seperti telah
dikemukakan,
pada
umumnya
data
penduduk yang dipublikasikan telah diolah dan dikelompokkan
menurut ukuran tertentu. Biasanya dikelompokkan menurut usia
dan jenis kelamin dengan atau tanpa variabel kontrol. Oleh sebab
itu perencana pendidikan harus mengolahnya kembali karena
kategori usia sering tidak cocok dengan kategori usia sekolah.
Cara umum yang dilakukan adalah mengubah data
kelompok usia lima tahunan menjadi kelompok usia setahunan,
dengan tehnik interpolasi. Misalkan, kita ingin mengetahui
jumlah penduduk usia SD, 6 – 12 tahun. Untuk maksud itu kita
cari populasi pada kelompok usia setahunan dari dari data
populasi kelompok usia lima tahunan dengan prosedur sebagai
berikut:
1.
buat perkiraan populasi tahun tengah selang lima tahunan.
2.
Buat perkiraan perubahan jumlah populasi pada selang usia
3.
4.
Untuk kelompok 5–9 tahun yang menjadi tahun tengah
adalah 7–8 (bukan 7).
lima tahunan berikutnya (10 – 14 tahun);
Cari faktor koreksi untuk populasi umur tungga;
Buat akhir perkiraan populasi selang umur tertentu
berdasarkan umur tunggal.
Contoh:
Berdasarkan data penduduk Kabupaten X (lihat Bab 2),
populasi kelompok usia 5 – 9 tahun adalah 45.582 orang. Jumlah
ini dibagi 5 dan itulah yang dianggap jumlah populasi tahun
tengah 7-8 tahun, yaitu 47.582 : 5 = 9.516,4 orang. Kemudian
untuk tahun tengah lima tahun berikutnya, yaitu 12 – 13 tahun
diasumsikan 1/5 dari populasi kelompok usia 10 – 14 tahun,
yaitu 46.485 : 5 adalah 9.297 orang. Maka perubahan tahunan
antara (7-8) dan (12-13)tahun:
37
9.297 – 9.516,4
= - 43,88
5
sehingga populasi kelompok umur:
7 - 8 tahun
8 - 9 tahun
= 9.516,4
= 9.516,4 – 43,88 = 9.472,52
9 - 10 tahun = 9.472,52 – 43,88 = 9.428,64
10 - 11 tahun = 9.428,64 – 43,88 = 9.3884,76
11 - 12 tahun = 9.384,76 – 43,88 = 9.340,88
12 - 13 tahun = 9.297.
Berdasarkan perkiraan umur tunggal, kalau dijumlah
untuk lima tahunan harus sama dengan populasi lima tahunan
menurut data asli. Misalnya, menurut data asli kelompok usia 10
– 14 tahun adalah 46.485. Sedangkan menurut perhitungan/
perkiraan umur tunggal adalah 9.384,76 + 9.340,88 + 9.297 +
9.253.13 + 9.209,24 = 46.485.
Pada contoh ini penjumlah populasi lima umur tunggal
10-14 tahun adalah sama dengan data asli, yaitu 46.485. Tetapi
bisa terjadi hasilnya berbeda. Kalau demikian perlu dicari faktor
koreksi, yaitu rasio antara data asli lima tahunan dan
penjumlahan perkiraan lima umur tunggal pada kelompok umur
yang bersangkutan. Faktor koreksi ini harus dikalikan masingmasing umur tunggal pada kelompok umur itu.
Dengan cara perhitungan di atas, maka penduduk
Kabupaten X tahun 2010 yang termasuk usia SD (6 – 12 tahun)
adalah 9.560,28 + 9.516,4 + 9.472,52 + 9.428,64 + 9.384,76 +
9.340,88 = 56.703 orang. Apabila jumlah penduduk usia SD yang
benar-benar sedang bersekolah di SD, misalnya saja 50.000
orang, maka enrollment rasio adalah:
38
50.000 x 100 = 88.19. artinya hanya 88 persen dari 100 orang
penduduk usia sekolah (SD) tertampung di SD.
Untuk mengadakan proyeksi jumlah murid SD dan yang
akan ditampung di SD haruslah diperhatikan beberapa faktor
berikut:
1.
Angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir. Dan
2.
Angka kematian menurut kelompok umur. Berdasarkan
3.
diasumsikan angka kelahiran itu tetap berlaku dalam
beberapa tahun yang akan datang (yang diproyeksikan).
angka kelahiran dan angka kematian menurut kelompok
umur dapat ditentukan tingkat bertahan hidup (survival
ratio) pada kelompok umur tertentu;
Tentukan jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah
pada jenjang tertentu seperti cara tersebut di atas;
4.
Periksa data aktual yang sedang duduk pada jenjang
5.
Periksa pula kemampuan ekonomi orang tua. Hal ini
6.
sekolah tertentu. Dengan membandingkan data penduduk
usia sekolah yang riil sekolah, tentukan enrollment ratio;
berkaitan dengan kemampuan memikul beaya pendidikan.
Amati pula pergeseran nilai anak dalam keluarga;
Hal yang tidak kurang penting adalah Undang-undang
Pendidikan. Dengan Wajib belajar pendidikan dasar dan
kebijakan bebas uang sekolah maka permintaan masuk
sekolah akan mendekati 100 % karena ada saja orang yang
karena alasan tertentu terpaksa tidak sekolah atau drop
out.
Kecuali untuk proyeksi permintaan masuk sekolah, data
kependudukan bermanfaat pula untuk memutuskan di mana
sekolah akan dibangun. Biasanya data sensus juga dipilih
39
menurut Desa-Kota. Begitu pula angka kelahiran dan angka
kematian karena kenyataannya, ada perbedaan antara kota dan
desa. Termasuk pula arus migrasi/ urbanisasi.
Akhirnya, perencana pendidikan harus pula menentukan
jenis sekolah apa yang akan dibangun, terutama untuk satuan
pendidikan di atas pendidikan dasar. Hal ini terkait dengan
permintaan tenaga kerja dan kecenderungannya dimasa depan.
Bagi kita di Indonesia, arah perkembangan pembangunan
nasional dan regional perlu menjadi bahan pertimbangan
disamping faktor globalisasi. Sejak awal pembangunan terlihat
jelas pergeseran kebijakan dari agraris ke industri menuju ke
ekonomi berimbang. Orientasi produksi bergerak dari produk
primer (dari alam) ke produk sekunder (manufaktur) dan tersier
(jasa) yang cenderung makin padat teknologi. Sementara itu
angka partisipasi angkatan kerja perempuan cenderung makin
meningkat seiring dengan menurunnya angka kelahiran dan
meningkatnya kesadaran perempuan akan emansipasinya. Ini
semua harus ikut dipertimbangkan dalam menentukan jenis
sekolah dan pilihan lokasinya. Biasanya data sensus lengkap
memuat pula data seperti yang dimaksud. Hanya saja data itu
perlu diolah lebih lanjut
pendidikan.
40
untuk kepentingan perencanaan