BOOK Umbu Tagela Manajemen dan perencanaan pendidikan Bab VII

(1)

75

BAB VII

KONDISI UNTUK KEBERHASILAN

PERENCANAAN PENDIDIKAN

Pendekatan dalam Perencanaan Pendidikan

Pendekatan dalam perencanaan pendidikan menempati kedudukan penting karena pendekatan merupakan pilihan strategi dan falsafah dalam perencanaan yang dapat mewarnai corak dan nafas perencanaan. Pemahaman terhadap berbagai pendekatan, akan membantu perencana dalam menciptakan dan memahami kondisi perencana seperti apa yang dapat mendorong keberhasilan dari pelaksanaan rencana tersebut. Adapun pendekatan-pendekatan adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan “Social Demand

Pendekatan social demand adalah pendekatan dalam perencanaan pendidikan yang didasarkan atas tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan. Makna kebutuhan dan tuntutan sosial itu cukup banyak dan kadang menyesatkan. Masyarakat mana yang dijadikan ukuran? kebutuhan yang mana yang dimaksud? kebutuhan itu untuk sekarang atau yang akan datang? dan masa yang akan datang itu kapan?.

Biasanya kebutuhan sisial itu menunjuk kepada kebutuhan yang bersifat populer. Kebutuhan itu terasa apabila terjadi jurang antara penyediaan dan kebutuhan. Memang kebutuhan itu dapat dipengaruhi oleh pemerintah, memang lebih gampang menaikkan kebutuhan daripada menurunkan kebutuhan masyarakat akan pendidikan.


(2)

76

Mengukur kebutuhan sosial akan pendidikan itu sangat sulit, bahkan kadang-kadang tidak mungkin, kecuali dengan data wajib belajar dan data demografi yang cukup akurat.

Para ahli ekonomi keberatan dengan pendekatan “social demand” dengan alasan sebagai berikut:

a. Pendekatan ini mengabaikan masalah alokasi sumber-sumber dalam skala nasional, dan secara implisit tidak mempersoalkan berapa besar sumber yang diperuntukkan bagi pendidikan, karena beranggapan bahwa penggunaan sumber-sumber bagi pendidikan itulah yang terbaik bagi pembangunan bangsa sebagai keseluruhan;

b. Pendekatan ini mengabaikan ciri dan pola kebutuhan “man power” yang diperlukan di sektor ekonomi, dengan demikian akan cenderung menghasilkan tamatan yang kurang diperlukan dan justru akan kekurangan jenis tamatan yang dibutuhkan;

c. Pendekatan ini cenderung terlalu menjawab tuntutan saja sehingga mengabaikan pertimbangan pembeayaan, sehingga pemerataan sumber-sumber itu menjadi sedemikian kecilnya, akibatnya ialah turunnya kualitas pendidikan, yang berarti pemborosan.

2. Pendekatan “Man Power

Pendekatan ini sangat disukai oleh ahli-ahli ekonomi. Alasannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi itu merupakan dorongan bagi pembangunan bangsa secara keseluruhan, sebab itu harus dijadikan dasar pertimbangan dalam alokasi sumber. Pertumbuhan ekonomi tidak saja memerlukan sumber-sumber dan fasilitas fisik, melainkan juga manusia untuk mengorganisasi dan menggunakan semua itu. Perkembangan sumber-sumber manusia melalui sistem pendidikan itu penting


(3)

77

untuk pertumbuhan ekonomi, sebab itu modal yang baik menuntut diselenggarakannya pola dan mutu hasil pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan “man power” yang diperlukan dalam kehidupan ekonomi.

Pendekatan ini mempunyai kelemahan sebagai berikut:

a. Pendekatan ini mempunyai peranan yang terbatas pada perencanaan pendidikan, pendekatan ini mengabaikan SD, karena dipandang sebagai tidak berhubungan dengan dunia kerja sehingga hanya mengutamakan pendidikan yang menghasilkan man power “tingkat tinggi” yang diperlukan oleh sektor dunia pekerjaan modern. Pada hal dimasa yang akan datang masih diperlukan tenaga-tenaga semi-skilled dan unskilled baik di kota-kota maupun di desa-desa; b. Pendekatan ini menggunakan klasifikasi dan ratio man

power (misal dokter, juru rawat, insinyur, tukang dan sebagainya) yang didasarkan atas keadaan masyarakat yang telah mencapai taraf ekonomi industri, dengan demikian tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan di negara berkembang. Akibatnya terjadi pendidikan yang salah yang dipersiapkan untuk jabatan-jabatan tertentu; c. Tidak mungkin membuat “fore casting” yang dapat

dipercaya mengenai kebutuhan man power yang diperlukan bagi perencanaan pendidikan, karena adanya ketidak pastian ekonomi, tehnologi, dan lain-lain, lebih-lebih di negara berkembang. Makin terperinci jabatan-jabatan itu dan makin panjang jangka waktu yang dimasukkan dalam perencanaan itu, makin tidak dapat dipercaya perencanaan tersebut, pasaran kerja sangat labil, bergerak dari keadaan serba kurang ke serba ada.


(4)

78

3. Pendekatan “ Rate of Return

Pendekatan ini kadang-kadang disebut pendekatan “cost benefit” dan banyak disukai para ahli ekonomi. Prinsip “Cost Benefit” adalah prinsip yang wajar diketahui oleh setiap orang dalam hal penggunaan uang, kalau orang ingin memperolah hasil yang melebihi pengeluarannya.

Perencana ekonomi dan pendidikan harus menggunakan prinsip “cost benefit”, tetapi mengukur cost benefit sangant sulit untuk sistem pendidikan.

Pendekatan “rate of return” lebih banyak bicara tentang apa yang sudah lewat daripada yang akan datang, tetapi bagaimanapun juga tetap ada faedahnya.

Masing-masing pendekatan di atas tidak mencukupi untuk suatu perencanaan pendidikan. Sebab itu perlu ada sintesa dari ketiga cara pendekatan tersebut.

Kondisi Untuk Keberhasilan Perencanaan Pendidikan

Q.C. Ruscoe dalam bukunya kondisi untuk keberhasilan perencanaan pendidikan mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan perencanaan pendidikan lebih disebabkan oleh tekanan politis dan tekanan administratif terhadap perencanaan pendidikan.

Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi yang mungkin perlu untuk keberhasilan perencanaan pendidikan sebagai berikut: 1. Tanggung jawab politis terhadap perencanaan harus

meliputi tanggung jawab terhadap pembentukan biro perencanaan dan bantuan pada aktifitas perencanaan yang pertama bukan pengganti yang kedua.

Kondisi ini di Indonesia sudah dan tergambar dengan jelas dalam struktur kementerian Pendidikan


(5)

79

Nsional, Dinas PPO Propinsi, Dinas PPO Kabupaten/ Kota. Unsur perancanaan tidak kelihatan pada struktur organisasi kantor Dinas PPO Kecamatan. Mestinya unsur perencanaan harus ada pada level yang rendah, karena yang mengetahui dan menguasai lapangan/ ujung tombak pembangunan pendidikan berada pada wilayah terendah. Kehadiran biro perencanaan dan yang sejenisnya merupakan suatu hal yang cukup menggembirakan. Namun yang lebih penting adalah apa yang diperbuat oleh mereka? yang bergabung dalam biro perencanaan itu yang jauh lebih penting.

Di Indonesia, biro perencanaan pendidikan senatiasa didalam aktifitasnya selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi misalnya UUD’45, dan UU SPN No. 20/ 2003. Selain itu dalam aktifitasnya harus berhubungan dengan Bappenas. Pada sisi ini, krlihatan bahwa pengaruh/ tekanan politis cukup dominan dalam perencanaan pendidikan.

Kondisi obyetif tersebut diatas berlaku secara mutatis metandis pada perencana tingkat rendah.

Kenyataan ini dapat dilihat dengan dicanangkannya “Konsep Pendidikan Dasar 9 tahun olrh Presiden Soeharto 2 Mei 1994. Alasan pokok dicanangkan Pendidikan Dasar 9 tahun, menurut Presiden adalah karena mayoritas pelaku pembangunan pada PJPT I adalah tamatan SD, maka untuk meningkatkan kua;itas SDM dalam rangka menunjang menopang pembangunan nasional, sumber daya manusia perlu ditingkatkan kualitasnya sederajat SMP. Konsep dasar ini diikuti dengan berbagai kebijakan yang kadang-kadang kontradiktif sebagai misal dihapuskannya SPP pada SMP negeri. Kenyataan ini disambut gembira oleh warga


(6)

80

masyarakat, tetapi sekaligus dengan itu diratapi oleh penyelenggara sekolah swasta.

Menteri Wardiman dalam penjelasan Persnya menghimbau swasta untuk ikut membeayai pendidikan dasar, ikut mendirikan SMP. Himbauan ini kelihatan komtradiksi dengan kebijakan yang disebutkan di atas. Realitas ini menggambarkan betapa besar tekanan politis terhadap perencanaan pendidikan di Indonesia.

2. Para Perencana harus tahu hak dan kewajiban mereka. Penjelasan yang syah mengenai kedudukan perencana tidak cukup.

Para perencana pendidikan di Indonesia adalah juga merupakan birokrat-birokrat pemerintahan yang dalam kiprahnya lebih banyak ditentukan oleh kepentingan politis penguasa. Perencana pendidikan independen dalam tugasnya, tapi dependen dalam mengambil keputusan terhadap perencanaan pendidikan. Hal penting adalah apakah para perencana memahami hak dan kewajiban. Pemahaman terhadap hak dan kewajiban akan mampu meredusir atau meminimalisir bias dari perencanaan pendidikan yang akan dilaksanakan.

3. Pembatasan yang tepat, tetapi tidak ketat harus diadakan antara bidang politis, teknis dan administratif. Perencana pendidikan, sebagai ahli tehnik hendaknya jangan mengambil hak membuat pola yang terletak di bidang politik atau jangan mengambil hak melaksanakan pola yang terletak di bidang administrasi. Akan tetapi pemisahan jangan lah mengakibatkan isolasi.


(7)

81

4. Perhatian yang lebih besar harus diberikan pada soal pembagian kekuasaan untuk membuat keputusan politis dan teknis, sehingga kekuasaan tidak seluruhnya terletak pada satu atau beberapa kedudukan saja di puncak hierarki kekuasaan.

Pembagian kekuasaan yang demikian sulit pada negara yang penempetan dan kenaikan pangkat pegawai pendidikan tergantung pada kriteria politis daripada teknis, dan kriteria ini cepat berubah karena tidak stabilnya pemerintah.

Pos-pos penting dalam pendidikan, sebaiknya diduduki oleh individu/ mereka yang memenuhi kriteria teknis, dan bukannya didominasi oleh mereka yang secara politis menguntungkan penguasa.

5. Perhatikan yang lebih besar lagi harus dicurahkan pada perkembangan pola dan prioritas pendidikan yang jelas, sehingga para perencana pendidikan mengetahui benar apa yang harus mereka rencanakan. Terutama harus diusahakan untuk mengurangi keragu-raguan soal normatif dan empiris, sehingga para perencana pendidikan dapat menggunakan waktu mereka untuk mengutamakan mencari data empiris daripada persetujuan politis.

Hal ini, dapat dipahami lewat kebijakan menghapus SPG dan sederajat. Setelah D2 PGSD berjalan, kini S1 PGSD banyak lontaran dari para perencana pendidikan tingkat bawah tentang kekurangan guru SD dalam jumlah besar, dan bahkan hal tersebut berlangsung hingga kini.

6. Tugas pokok para perencana pendidikan seharusnya adalah pengembangan beberap tehnik yang mungkin dan jelas


(8)

82

sebagai cara untuk mencapai tujuan politis pendidikan. Pembuat pola tidak dibenarkan menganggap perkembangan teknik yang mungkin,sebagai soal politis lebih daripada sebagai soal teknis. Harus terjadi visi yang integratistik antara keduanya, sebab bagaimanapun keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Dan yang lebih penting adalah unsur politis tidak lebih dominan daripada unsur teknis atau sebaliknya.

7. Sebagai hasil yang wajar, harus diusahakan untuk mengurangi politisasi pengetahuan yang lazim di banyak negara. Perencan pendidikan hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan bantuan jangka panjang bila penelitian dan rencana ditolak karena pembuat pola tidak menyukai politik mereka diabaikan.

Konsep ini sangat mendasar, kalau kualitas SDM yang disasar. Adanya berbagai bidang studi yang cenderung hadir, hanya karena kepentingan politis, sebaiknya ditinjau sehingga porsi harus lebih kepada pengethuan untuk kepentingan masa satang.

8. Harus lebih diutamakan untuk menilai pendapat umum tentang hari depan perkembangan dan arah pendidikan, juga untuk memperoleh bantuan umum bagi pembuatan dan pelaksanaan rencana pendidikan.

9. Pelaksana pendidikan harus secara lebih aktif lagi memberikan bantuan pada perubahan yang tersirat dalam perencanaan pendidikan. Sistem kepegawaian negeri yang terbelakang dan kesatuan administratif yang otonom dalam


(9)

83

kementrian pendidikan harus diperbaiki bila mengganggu jalannya perencanaan.

10. Bila ada bagian dari sistem pendidikan yang penting dan tidak langsung di bawah pengawasan pemerintah, maka harus diusahakan untuk diadakan koordinasi antara pemerintah dan para ahli pendidikan swasta dan universitas yang bermanfaat bagi masing-masing perencanaan pendidikan terutama pada tingkat lanjutan dan lebih tinggi tidak akan berhasil di banyak negara, bila sistem pendidikan swasta dan universitas tidak membantunya dan tidak secara aktif melibatkan diri didalamnya.

Kriteria Perencanaan Pendidikan

Ada berfungsi pendapat mengenai kriteria untuk menilai perencanaan sebagian dapat diterapkan untuk perencanaan dan umumnya, dan sebagian ukuran yang khusus diperuntukkan bagi perencanaan pendidikan.

Pendapat pertama mengatakan, bahwauntuk menilai baik atau tidaknya perencanaan, kriterianya adalah:

1. Feasibility test, 2. Concistency test,

3. Optimum allocation of resoures.

Artinya sesuatu rencana itu feasible atau tidak. Perencanaan yang tidak feasible tentunya tidak tergolong perencanaan yang baik. Kecuali itu perencanaan harus concistent. Bagi perencanaan pendidikan dibedakan adanya concistensy internal, yaitu keselarasan perencanaan didalam sistem pendidikan itu sendiri, dan concistensy eksternal yaitu keselarasan antara perencanaan pendidikan dengan perencanaan


(10)

84

dalam bidang atau sektor kehidupan sosial yang lain. Kriteria alokasi sumber-sumber secara optimum itu dicerminkan dalam perbandingan pembeayaan yang ideal sesuai dengan tujuan pembangunan dalam suatu periode tertentu. Karena ketiga kriteria itu dimaksudkan untuk menilai perencanaan pada umumnya dengan sendirinya dapat diperuntukkan bagi perencanaan pendidikan.

Pendapat kedua mengemukakan untuk menilai perencanaan,

kebijaksanaan, langkah-langkah atau tindakan sebagai berikut: 1. Politically depentable, artinya bahwa perencanaan,

kebijakan atau tindakan itu dipandang secara politis harus dapat dibela atau dipertahankan.

2. Socilaly atau culturally acceptable, artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu secara sosial dan kultural dapat diterima oleh masyarakat.

3. Technically workable, artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu secara tehnik harus bisa dilaksanakan, harus ada kesesuaian dalam peralatan, keahlian, dan kesanggupan dalam proses penyelenggaraan sehingga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan yang fatal. 4. Administratively, managerially, organizationally, practicable,

artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu secara administratif, managemen, secara organisasi dapat diselenggarakan.

5. Economically feasible, artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu secara ekonomik harus bisa diukur kemanfaatannya.

6. Financially feasible, artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu harus tidak menimbulkan hambatan


(11)

85

pembeayaan, sebab untuk melakukan sesuatu kegiatan selalu diperlukan sumber-sumber, khususnya dana beaya. 7. Legally permissible, artinya bahwa perencanaan, kebijakan,

atau tindakan itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang berlaku.

Pendapat ketiga mengemukakan kriteria yang harus diperuntukkan bagi perencanaan pendidikan. Menurut pendpat ketiga ini, ukuran-ukuran bagi pembangunan pendidikan ada tiga yaitu:

1. Adult literacy; 2. School enrollment;

3. Level of education.

Dengan menggunakan ukuran pertama dan kedua, negara-negara di dunia ini dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu: negar yang maju, negara yang sedang, dan negara yang terbelakang dalam perkembangan pendidikannya; yaitu negara yang telah memiliki 95 % ke atas tingkat adult literacynya, artinya 95 % ke atas penduduknya yang berusia 15 tahun ke atas bisa membaca dan menulis. Sedangkan school enrollmnet ratio pada negara yang tergolong maju pendidikan adalah 75 % ke atas (untuk tingkat SD dan sekolah lanjutan).

Negara-negara yang tergolong sedang perkembangan pendidikannya memiliki adult literacy rate 50 % ke atas dan school enrollment ratio sekitar 50 persen. Sedangkan negara-negara yang tergolong terbelakang perkembangan pendidikannya adult literacy rate-nya kurang dari 50 % dan school enrollment ratio-nya jauh dibawah 50 %.

Pendapat keempat, mengemukakan kriteria bagi perencanaan pendidikan berdasarkan 5 patokan sebagai berikut:


(12)

86

1. Pembangunan pendidikan hendaknya diintegrasikan dengan pembangunan nasional; out put pendidikan harus menjadi in put yang baik bagi pembangunan; jadi pendidikan tidak hanya sebagai tuntutan pembangunan melainkan juga sebagai alat yang ampuh untuk membantu pambangunan.

2. Perencanaan pendidikan itu harus komprehensif, artinya sesuai dengan “life long education”, mengintegrasikan pendidikan non formal.

3. Perencanaan pendidikan harus menjangkau jauh ke depan, dari das sein ke das sullen melalui tahap: rehabilitasi, konsolidasi, dan rekonstruksi.

4. Perencanaan pendidikan hendaknya menggunakan managemen yang integral artinya harus ada planning, organizing, actuating dan controlling bersama.

5. Perencanaan pendidikan harus memperhatikan masalah mutu disamping masalah jumlah pendidikan.

Berdasarkan 4 alternatif kriteria yang dikemukakan di atas, perlu direnungkan kriteria mana yang paling cocok untuk perencanaan pendidikan di Indonesia? Atau perlu diadakan kombinasi-kombinasi dari kriteria tersebut di atas, untuk ditemukan suatu sintesa kriteria baru yang paling sesuai bagi perencanaan atau pembangunan pendidikan di Indonesia.


(1)

81 4. Perhatian yang lebih besar harus diberikan pada soal pembagian kekuasaan untuk membuat keputusan politis dan teknis, sehingga kekuasaan tidak seluruhnya terletak pada satu atau beberapa kedudukan saja di puncak hierarki kekuasaan.

Pembagian kekuasaan yang demikian sulit pada negara yang penempetan dan kenaikan pangkat pegawai pendidikan tergantung pada kriteria politis daripada teknis, dan kriteria ini cepat berubah karena tidak stabilnya pemerintah.

Pos-pos penting dalam pendidikan, sebaiknya diduduki oleh individu/ mereka yang memenuhi kriteria teknis, dan bukannya didominasi oleh mereka yang secara politis menguntungkan penguasa.

5. Perhatikan yang lebih besar lagi harus dicurahkan pada perkembangan pola dan prioritas pendidikan yang jelas, sehingga para perencana pendidikan mengetahui benar apa yang harus mereka rencanakan. Terutama harus diusahakan untuk mengurangi keragu-raguan soal normatif dan empiris, sehingga para perencana pendidikan dapat menggunakan waktu mereka untuk mengutamakan mencari data empiris daripada persetujuan politis.

Hal ini, dapat dipahami lewat kebijakan menghapus SPG dan sederajat. Setelah D2 PGSD berjalan, kini S1 PGSD banyak lontaran dari para perencana pendidikan tingkat bawah tentang kekurangan guru SD dalam jumlah besar, dan bahkan hal tersebut berlangsung hingga kini.

6. Tugas pokok para perencana pendidikan seharusnya adalah pengembangan beberap tehnik yang mungkin dan jelas


(2)

82

sebagai cara untuk mencapai tujuan politis pendidikan. Pembuat pola tidak dibenarkan menganggap perkembangan teknik yang mungkin,sebagai soal politis lebih daripada sebagai soal teknis. Harus terjadi visi yang integratistik antara keduanya, sebab bagaimanapun keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Dan yang lebih penting adalah unsur politis tidak lebih dominan daripada unsur teknis atau sebaliknya.

7. Sebagai hasil yang wajar, harus diusahakan untuk mengurangi politisasi pengetahuan yang lazim di banyak negara. Perencan pendidikan hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan bantuan jangka panjang bila penelitian dan rencana ditolak karena pembuat pola tidak menyukai politik mereka diabaikan.

Konsep ini sangat mendasar, kalau kualitas SDM yang disasar. Adanya berbagai bidang studi yang cenderung hadir, hanya karena kepentingan politis, sebaiknya ditinjau sehingga porsi harus lebih kepada pengethuan untuk kepentingan masa satang.

8. Harus lebih diutamakan untuk menilai pendapat umum tentang hari depan perkembangan dan arah pendidikan, juga untuk memperoleh bantuan umum bagi pembuatan dan pelaksanaan rencana pendidikan.

9. Pelaksana pendidikan harus secara lebih aktif lagi memberikan bantuan pada perubahan yang tersirat dalam perencanaan pendidikan. Sistem kepegawaian negeri yang terbelakang dan kesatuan administratif yang otonom dalam


(3)

83 kementrian pendidikan harus diperbaiki bila mengganggu jalannya perencanaan.

10. Bila ada bagian dari sistem pendidikan yang penting dan tidak langsung di bawah pengawasan pemerintah, maka harus diusahakan untuk diadakan koordinasi antara pemerintah dan para ahli pendidikan swasta dan universitas yang bermanfaat bagi masing-masing perencanaan pendidikan terutama pada tingkat lanjutan dan lebih tinggi tidak akan berhasil di banyak negara, bila sistem pendidikan swasta dan universitas tidak membantunya dan tidak secara aktif melibatkan diri didalamnya.

Kriteria Perencanaan Pendidikan

Ada berfungsi pendapat mengenai kriteria untuk menilai perencanaan sebagian dapat diterapkan untuk perencanaan dan umumnya, dan sebagian ukuran yang khusus diperuntukkan bagi perencanaan pendidikan.

Pendapat pertama mengatakan, bahwauntuk menilai baik atau tidaknya perencanaan, kriterianya adalah:

1. Feasibility test, 2. Concistency test,

3. Optimum allocation of resoures.

Artinya sesuatu rencana itu feasible atau tidak. Perencanaan yang tidak feasible tentunya tidak tergolong perencanaan yang baik. Kecuali itu perencanaan harus concistent. Bagi perencanaan pendidikan dibedakan adanya concistensy internal, yaitu keselarasan perencanaan didalam sistem pendidikan itu sendiri, dan concistensy eksternal yaitu keselarasan antara perencanaan pendidikan dengan perencanaan


(4)

84

dalam bidang atau sektor kehidupan sosial yang lain. Kriteria alokasi sumber-sumber secara optimum itu dicerminkan dalam perbandingan pembeayaan yang ideal sesuai dengan tujuan pembangunan dalam suatu periode tertentu. Karena ketiga kriteria itu dimaksudkan untuk menilai perencanaan pada umumnya dengan sendirinya dapat diperuntukkan bagi perencanaan pendidikan.

Pendapat kedua mengemukakan untuk menilai perencanaan,

kebijaksanaan, langkah-langkah atau tindakan sebagai berikut:

1. Politically depentable, artinya bahwa perencanaan,

kebijakan atau tindakan itu dipandang secara politis harus dapat dibela atau dipertahankan.

2. Socilaly atau culturally acceptable, artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu secara sosial dan kultural dapat diterima oleh masyarakat.

3. Technically workable, artinya bahwa perencanaan,

kebijakan, atau tindakan itu secara tehnik harus bisa dilaksanakan, harus ada kesesuaian dalam peralatan, keahlian, dan kesanggupan dalam proses penyelenggaraan sehingga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan yang fatal. 4. Administratively, managerially, organizationally, practicable,

artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu secara administratif, managemen, secara organisasi dapat diselenggarakan.

5. Economically feasible, artinya bahwa perencanaan,

kebijakan, atau tindakan itu secara ekonomik harus bisa diukur kemanfaatannya.

6. Financially feasible, artinya bahwa perencanaan, kebijakan, atau tindakan itu harus tidak menimbulkan hambatan


(5)

85 pembeayaan, sebab untuk melakukan sesuatu kegiatan selalu diperlukan sumber-sumber, khususnya dana beaya. 7. Legally permissible, artinya bahwa perencanaan, kebijakan,

atau tindakan itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang berlaku.

Pendapat ketiga mengemukakan kriteria yang harus diperuntukkan bagi perencanaan pendidikan. Menurut pendpat ketiga ini, ukuran-ukuran bagi pembangunan pendidikan ada tiga yaitu:

1. Adult literacy; 2. School enrollment; 3. Level of education.

Dengan menggunakan ukuran pertama dan kedua, negara-negara di dunia ini dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu: negar yang maju, negara yang sedang, dan negara yang terbelakang dalam perkembangan pendidikannya; yaitu negara yang telah memiliki 95 % ke atas tingkat adult literacynya, artinya 95 % ke atas penduduknya yang berusia 15 tahun ke atas bisa membaca dan menulis. Sedangkan school enrollmnet ratio pada negara yang tergolong maju pendidikan adalah 75 % ke atas (untuk tingkat SD dan sekolah lanjutan).

Negara-negara yang tergolong sedang perkembangan pendidikannya memiliki adult literacy rate 50 % ke atas dan school enrollment ratio sekitar 50 persen. Sedangkan negara-negara yang tergolong terbelakang perkembangan pendidikannya adult literacy rate-nya kurang dari 50 % dan school enrollment ratio-nya jauh dibawah 50 %.

Pendapat keempat, mengemukakan kriteria bagi perencanaan pendidikan berdasarkan 5 patokan sebagai berikut:


(6)

86

1. Pembangunan pendidikan hendaknya diintegrasikan dengan pembangunan nasional; out put pendidikan harus menjadi in put yang baik bagi pembangunan; jadi pendidikan tidak hanya sebagai tuntutan pembangunan melainkan juga sebagai alat yang ampuh untuk membantu pambangunan.

2. Perencanaan pendidikan itu harus komprehensif, artinya sesuai dengan “life long education”, mengintegrasikan pendidikan non formal.

3. Perencanaan pendidikan harus menjangkau jauh ke depan, dari das sein ke das sullen melalui tahap: rehabilitasi, konsolidasi, dan rekonstruksi.

4. Perencanaan pendidikan hendaknya menggunakan managemen yang integral artinya harus ada planning, organizing, actuating dan controlling bersama.

5. Perencanaan pendidikan harus memperhatikan masalah mutu disamping masalah jumlah pendidikan.

Berdasarkan 4 alternatif kriteria yang dikemukakan di atas, perlu direnungkan kriteria mana yang paling cocok untuk perencanaan pendidikan di Indonesia? Atau perlu diadakan kombinasi-kombinasi dari kriteria tersebut di atas, untuk ditemukan suatu sintesa kriteria baru yang paling sesuai bagi perencanaan atau pembangunan pendidikan di Indonesia.