Analisis Sadd al Dhari'ah dan hukum positif di Indonesia terhadap jual beli produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.

ANALISIS SADD AL-DHAR‘ah terhadap Jual Beli Produk Kecantikan
yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia. 2.
Bagaimana analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap Jual Beli Produk
Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa
Indonesia
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sedang pengumpulan data
dihimpun melalui studi kepustakaan berupa buku-buku; artikel; dan publikasi.
Hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung yang didapat dari Balai
Badan Pengawas Obat dan Makanan; konsumen serta karyawati Larissa
Aesthetic Center. Data yang dihimpun, selanjutnya dianalisis dengan teknik
deskriptif-deduktif yaitu bermula dengan jual beli dalam Islam; teori sadd aldhari>‘ah serta peraturan perundang-undangan mengenai larangan bagi produsen
yang tidak mencantumkan informasi berbahasa Indonesia kemudian muncul
fenomena timbulnya kerugian, sehingga ditemukan suatu kesimpulan khusus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosmetik impor menjadi salah satu
daya tarik bagi kaum perempuan. Padahal tidak semua kosmetik impor
mencantumkan informasi penggunaan barang pada label dengan bahasa
Indonesia, sehingga banyak kemungkinan produk kosmetik berbahaya bagi
kesehatan. Dari data tersebut, ketika dianalisis menggunakan Sadd al-Dhari>‘ah
jelas bahwa jual beli adalah boleh namun ketika barang tidak disertai informasi
yang benar dan lengkap menjadi dilarang sebab dikhawatirkan adanya madha>rat
yang timbul. Dan analisis Hukum Positif bahwa tidak mencantumkan informasi

penggunaan barang berbahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dilarang bagi
produsen. Terdapat sanksi bagi pelaku usaha berupa yaitu produk ditarik dan
ditahan dari pemasaran.
Dari kesimpulan di atas, penulis menyarankan kepada konsumen agar
membeli barang langsung di toko terdekat kemudian konsumen lebih teliti dan
cermat dengan mengecek label sebelum membeli produk kosmetik. Saran lainnya
adalah, agar produsen mempertimbangkan efek bagi kesehatan pengguna/
konsumen saat memproduksi suatu produk.

viii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ....................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ................................................ iii
PENGESAHAN ........................................................................................... iv
MOTTO ....................................................................................................... v
LEMBAR PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
DAFTAR TRANSLITERASI ................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .......................................... 7
C. Rumusan Masalah ................................................................... 8
D. Kajian Pustaka ........................................................................ 8
E. Tujuan Penelitian .................................................................. 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................... 11
G. Definisi Operasional ............................................................. 12
H. Metode Penelitian ................................................................. 13
I.

Sistematika Pembahasan ...................................................... 18

BAB II TEORI MENGENAI SADD AL- DHARI>‘AH; TEORI JUAL
BELI DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA ........................ 20
A. Sadd al-Dhari>‘ah .......................................................................... 20

1. Pengertian sadd al-dhari>‘ah .................................................... 20
2. Dasar hukum sadd al-dhari>‘ah ................................................ 21
3. Macam-macam sadd al-dhari>‘ah ............................................. 23

xi

4. Kedudukan sadd al-dhari>‘ah sebagai hujjah ........................... 24
B. Teori Jual Beli............................................................................... 26
1. Pengertian jual beli dalam hukum Islam ................................. 26
2. Pengertian jual beli dalam hukum perdata ............................. 27
3. Dasar hukum jual beli .............................................................. 28
4. Rukun dan syarat jual beli ...................................................... 31
5. Khiya>r dalam jual beli ............................................................. 36
6. Landasan hukum khiya>r ........................................................... 38
7. Syarat-syarat khiya>r ................................................................. 40
C. Hukum Positif di Indonesia ......................................................... 42
1. Pengertian jual beli ................................................................. 42
2. Dasar hukum jual beli ............................................................. 42
BAB III INFORMASI PENGGUNAAN BARANG PADA
PRODUK KECANTIKAN ............................................................. 44

A. Gambaran umum produk kecantikan yang masuk
di Indonesia ........................................................................................ 44
B. Informasi penggunaan barang pada produk
kecantikan dari berbagai negara ......................................................... 45
C. Peran BPOM dalam seleksi produk impor .................................. 47
D. Manfaat informasi pada produk kecantikan ................................ 48
E. Resiko tidak adanya informasi penggunaan barang
pada produk kecantikan ..................................................................... 49
F. Pendapat konsumen tentang produk yang tidak
ada informasi penggunaan barang .................................................... 52
G. Resiko penggunaan produk tanpa penjelasan dan
cara penggunaan ................................................................................ 56
BAB IV

ANALISIS SADD AL DHARI>‘AH DAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA TERHADAP JUAL BELI PRODUK KECANTIKAN
YANG TIDAK ADA INFORMASI PENGGUNAAN BARANG
DALAM BAHASA INDONESIA ......................................... 60

A. Analisis sadd al-dhari>‘ah terhadap jual beli produk

kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia .......................................................... 60

xii

B. Analisis hukum positif di indonesia terhadap jual beli
produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia ......................................................... 64
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 67
A. Simpulan ...................................................................................... 67
B. Saran-saran .................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama fitrah dan rah{matan lil ‘a>lami>n memberikan solusi

terbaik untuk mengatasi setiap permasalahan masyarakat. Islam menawarkan
konsep bisnis yang bersih dari berbagai perbuatan curang dan tercela yang
jauh dari keadilan dan memelihara akhlak. Informasi adalah sekumpulan
data/ fakta yang diolah dengan cara tertentu sehingga mempunyai arti bagi
penerima. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi informasi yaitu
pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu.1 Informasi juga dapat
dikatakan sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman atau
instruksi.
Informasi/ petunjuk sebuah produk dimaksudkan agar orang yang akan
menggunakan

barang

tersebut

mengerti

langkah-langkah

dan


cara

penggunaan barang. Selain mencantumkan langkah-langkah dan cara
penggunaan barang, suatu produk juga harus mencantumkan komposisi; efek
samping penggunaan; tanggal produksi; dan tanggal kadaluwarsa. Informasi
penggunaan barang ini sangat penting. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan
dengan baik penulisan petunjuk/ cara penggunaan barang supaya tidak
menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tujuan dicantumkannya
petunjuk penggunaan barang adalah agar para pemakai tidak salah saat akan
menggunakan barang.
1

http://kbbi.web.id/informasi. Diakses pada tanggal 26 September 2016

1

2

Idealnya, informasi yang disampaikan oleh pelaku usaha tersebut bukan

hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh produk, tetapi
perlu pula diimbangi informasi yang memuat kekurangan-kekurangan yang
dimiliki oleh produk bersangkutan.2 Terutama mengenai hal-hal yang
menyangkut keamanan dan kenyamanan konsumen.3 Kebutuhan konsumen
akan informasi produk ini sangat penting artinya, karena dengan
ketersediaan informasi konsumen atau pengguna dapat berhati-hati saat pra-

transaksi sehingga bisa memberikan manfaat yang optimal kepada
konsumen.4
Saat ini kemajuan informasi dan teknologi semakin canggih dan
berkembang pesat, terlebih di bidang informasi. Sehingga masyarakat
dengan cepat dan tak terbatas dapat mengakses apa yang hendak diketahui
dan mungkin bahasa bukan menjadi kendala. Sebagai contoh yakni pasar
bebas Asia atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), kegiatan ekspor/ impor
menjadi hal lazim yang harus dihadapi masyarakat negara Asia khususnya
Indonesia. Produk impor telah mendominasi sebagian besar penjualan di
pasar

tradisional


atau

yang

modern;

supermarket;

bahkan

yang

diperjualbelikan dengan online shop. Barang kebutuhan tersebut mulai dari
perabot rumah; makanan ringan; produk kosmetika hingga bumbu dapur.

2

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Iklan Yang Menyesatkan
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 5.
3

Ibid., 5
4
Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), 158.

3

Realitanya, tidak semua barang impor yang diperdagangkan di pabean
mencantumkan bahasa Indonesia, seperti produk kecantikan/ kosmetika. Hal
ini akan menyulitkan konsumen untuk mengetahui informasi yang memuat
petunjuk penggunaan barang, petunjuk pemeliharaan barang dan spesifikasi
produk.

Konsumen

mengumpulkan

dan

memiliki


kemampuan

mengolah

informasi

yang
tentang

terbatas

dalam

kosmetika

yang

digunakannya,5 sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai
produk yang dapat mengakibatkan risiko bagi kesehatan konsumen.
Masuknya produk kosmetika di Indonesia salah satunya dengan cara
impor, yaitu kegiatan mendatangkan/ membeli barang atau jasa dari luar
negeri. Barang adalah benda-benda berwujud yang biasa dimanfaatkan
masyarakat. Dilihat dari definisi barang, maka kosmetika tergolong obat dan
makanan.6 Pengertian kosmetika berdasarkan Peraturan BPOM No. 12 tahun
2015 Pasal 1 angka 11,
‚Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk
digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut
terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan
atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik.‛
Kosmetika yang dapat dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk
diedarkan adalah kosmetika yang memiliki izin edar.7 Produk kecantikan/
5

Ibid., 406
Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No
12 tahun 2015 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Wilayah Indonesia
7
Rancangan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor .. Tahun 2015
tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia Bab III
Persyaratan Pasal 3 ayat (1) ‚Obat dan Makanan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan adalah Obat dan Makanan yang memiliki izin edar.‛
6

4

kosmetik termasuk salah satu barang yang wajib berbahasa Indonesia yang
wajib dicantumkan oleh produsen.
Pencantuman bahasa Indonesia untuk penggunaan barang pada produk
kecantikan/ kosmetika memberikan arti penting secara menyeluruh/
universal, dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan konsumen.
Namun tidak hanya masyarakat umum, akan tetapi mayoritas konsumen di
Indonesia yang beragama muslim pun menginginkan informasi yang terbuka
dan jelas,8 terutama mengenai kehalalan produk. Dengan kata lain konsumen
mempunyai hak untuk meperoleh informasi sejelas-jelasnya (the right to be

informed). Walaupun Islam pada masa Rasulullah belum menjelaskan
perlindungan konsumen secara empiris seperti saat ini, namun pengaturan
perlindungan konsumen yang diajarkan Rasulullah sangat mendasar,
sehingga pengaturan tersebut menjadi cikal bakal produk hukum
perlindungan konsumen modern. Etika jual beli menurut Rasulullah salah
satunya yakni berkata jujur atau tidak menyembuyikan informasi agar tidak
menimbulkan kerugian atau kerusakan. Sesuai dengan firman Allah QS as
Syu’ara {26}: 181-183:

ِ
ِ
ِِ
ِ َ‫ين َ۞ َ َوِزنُواَبِالْ ِق َْط‬
َ‫اس‬
َ ‫أ َْوفُواَالْ َكْي َل ََواَتَ ُكونُواَم َن َالْ ُم ْخَ ِر‬
َ ‫اس َالْ ُم َْتَقيم َ۞ َ َواَتَْب َخ َُواَالن‬
ِ ‫َاأر‬
۞‫ين‬
ََ ‫َم ْس َِ ِد‬
ْ َِِ‫أَ ْشيَاءَ ُ ْم ََواَتَ ْعثَ ْوا‬
ُ‫ض‬
Artinya : Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orangorang yang merugikan (182) dan timbanglah dengan timbangan yang
lurus. (182) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
8

Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), 413.

5

dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan
(183).9
Islam menghendaki adanya unsur keadilan, kejujuran, dan transparasi
yang dilandasi nilai keimanan dalam praktik perdagangan.10 Terkait dengan
hak-hak konsumen, Islam memberikan ruang bagi konsumen dan produsen
untuk mempertahankan hak-haknya yang dikenal dengan istilah khiya>r.

Khiy>ar adalah hak penjual atau pembeli untuk tetap melanjutkan akad jual
beli atau membatalkannya.11 Suatu produk mengalami cacat dapat dibedakan
atas tiga kemungkinan, yaitu: kesalahan produksi, cacat desain, dan
informasi yang tidak memadai.12 Dalam konteksnya, suatu produk yang
disertai informasi tidak memadai, maka digolongkan cacat produk sebab
pelaku usaha menyembunyikan informasi mengenai barang produksinya. Di
dalam ajaran fikih muamalah menjelaskan bahwa pelaku usaha dianjurkan
berkata benar tentang kondisi barangnya.

ِ
َ:‫ال‬
َِ ُ‫َُْ َدعُ َىَالبُي‬
َِ ‫َرج ٌل ََلَِر ُس‬
َ ‫وع فَ َق‬
َ َ‫َع ُنه َماَق‬
ُ ُ‫مَانه‬.‫ول َاللَِّه َص‬
َ ُ‫َو َعنَابنَعُ َمَر ََر َض َي َالله‬
ُ ‫ال َذَ َكَر‬
ِ َ‫إذاَبايعتَفَ ُقلَا‬
‫َمتّسقَعليه‬.ََ‫َخاَية‬
َ َ
Artinya: dan diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a: telah datang seorang pada
Rasulullah saw saya telah ditipu dalam jual beli. Maka Nabi bersabda
‚ketika jual beli katakanlah, jangan tipu menipu‛13

9

Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002),
526, Q.S asy Syu’araa (26): 181-183.
10
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 58.
11
Marzuqi Yahya, Panduan Fiqh Imam Syafi’i, cet ke-1 (Jakarta Timur: al-Mahgfirah, 2012), 89.
12
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia (Jakarta:
Grafindo Persada, 2011), 26.
13
Al Imam Hafidz Ahmad bin ‘Aliy, Bulughul Maram min Adzillatu al Ahkam (Beirut: Dar alKotob al-Ilmiyah, 2012), 169

6

Khiya>r ‘aib artinya hak konsumen/ pembeli untuk melanjutkan atau
tidak akad jual beli apabila terdapat cacat barang. Dalam hal ini sangat
penting adanya perundang-undangan yang melindungi hak-hak produsen
maupun konsumen agar tidak sampai menimbulkan kerusakan maupun
kerugian. Sadd al-dhari>‘ah menjadi salah satu cara istinbat para mujtahid
untuk membuat keputusan hukum. Sadd al-dhari>‘ah

adalah mencegah

kerusakan atau hal bersifat terlarang. Dalam istilah ushul fikih sad al-

dha>ri’ah adalah (menutup jalan) mencegah suatu perbuatan agar tidak
sampai

menimbulkan

al-mafsadah

(kerusakan)14.

Perbuatan

menyembunyikan informasi pada produk tersebut terlarang, karena dapat
menimbulkan kemafsadahan bagi konsumen baik terhadap kesehatan juga
keamanannya.
Pasal 8 ayat 1 huruf (j) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan

konsumen menjelaskan

bahwa pelaku

usaha dilarang

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Banyaknya importir yang tidak mencantumkan informasi penggunaan
barang berbahasa Indonesia menjadi kecemasan bagi konsumen akan dampak
keamanan dan kesehatannya. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti
dan juga akan membahas pada bab selanjutnya, dalam sebuah karya ilmiah
berupa skripsi dengan judul Analisis Sadd Al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif
14

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 236.

7

di Indonesia terhadap Jual Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada
Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

masalah

di

atas,

maka

penulis

mengidentifikasi dan memberi batasan masalah sebagai berikut:
1. Pentingnya pengaturan informasi/ petunjuk penggunaan barang.
2. Perkembangan informasi dan teknologi yang canggih dan tak terbatas.
3. Pemasukan produk kecantikan di Indonesia melalui kegiatan impor.
4. Kegiatan ekspor/ impor di era pasar bebas Asia atau Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA).
5. Produk kosmetika digolongkan sebagai barang
6. Melindungi hak konsumen secara universal utamanya masyarakat
muslim.
7. Perlindungan hak-hak konsumen dalam hukum Islam dikenal dengan
istilah khiya>r.
8. Menyembunyikan informasi produk bisa dikatakan sebagai cacat
produk.
9. Analisis Sadd al-Dha>ri‘ah terhadap jual beli produk kecantikan yang
tidak ada informasi penggunaan barang dalam bahasa Indonesia.
10. Analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli produk
kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia.

8

Dari identifikasi masalah tersebut. Maka penulis akan membatasi
masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Analisis Sadd al-Dha>ri‘ah terhadap jual beli produk kecantikan yang
tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa Indonesia.
2. Analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli produk
kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa
Indonesia.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, maka masalah yang akan peneliti
bahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis Sadd al-Dha>ri‘ah terhadap jual beli produk
kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa
Indonesia?
2. Bagaimana analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli
produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa
Indonesia?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang sudah ada.15

15

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis

Penulisan Skripsi (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 8.

9

Berawal dari kajian yang ditulis oleh Iis Rana Abdi S (skripsi 2014) dengan
judul ‚Perlindungan Konsumen terhadap Barang Elektronik Import yang
Tidak Menyertakan Buku Petunjuk Berbahasa Indonesia pada Kemasannya
Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen‛. Menjelaskan bentuk perlindungan hukum pada konsumen atas
pembelian barang elektronik tanpa ketersediaan buku petunjuk penggunaan
berbahasa Indonesia oleh pelaku usaha berdasarkan Undang-undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah dengan adanya suatu
pengawasan. Serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen
apabila mengalami kerugian atas pembelian barang eletronik tanpa
ketersediaan buku petunjuk, konsumen dapat melalui jalur di luar pengadilan
(non litigasi) dan melalui jalur pengadilan (litigasi) sesuai kesepakatan para
pihak yang bersengketa.16
Kedua, Muhammad Irfan (Skripsi 2015) dengan judul ‚Perlindungan
Konsumen Obat Tradisional yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa
Indonesia pada Kemasannya (Suatu Penelitian di Banda Aceh)‛. Menyatakan
bahwa penandaan yang tercantum pada pembungkus harus berisi informasi
harus ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin. Tanggung jawab
pelaku usaha atas beredarnya produk obat tradisional tanpa label berbahasa
Indonesia yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, yakni ganti
kerugian berupa pembayaran uang untuk biaya pengobatan dan biaya

16

Iis Rana Abdi S, ‚Perlindungan Konsumen Terhadap Barang Elektronik Import yang Tidak
Menyertakan Buku Petunjuk Berbahasa Indonesia pada Kemasannya Menurut Undang-undang
No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen‛ (Skripsi – Universitas Jember, 2014).

10

akomodasi bagi konsumen. Upaya hukum dari konsumen pada kasus
beredarnya produk obat tradisional tanpa label bahasa Indonesia adalah
penyelesaian sengketa secara mediasi oleh YaPKA (Yayasan Perlindungan
Konsumen Aceh) dengan memutuskan permasalahan atas komplain
konsumen yang dirugikan.17
Ketiga, Mey Minanda (Skripsi 2016) dengan judul ‚Perlindungan
Konsumen terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga Tanpa Tanggal
Kadaluwarsa Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif‛. Menyatakan
bahwa peredaran pangan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa
pada kemasannya merupakan salah satu tindak pelanggaran yang dilakukan
pelaku usaha berkaitan dengan keterbukaan informasi. Dalam hukum Islam
produk pangan yang aman merupakan pangan yang hala>lan thayyiba, yang
memberikan manfaat dari segi keamanan, proposional, dan sehat serta harus
memberikan kemaslahatan terhadap lima pokok tujuan hukum Islam maqa>sid

al-shari’ah tingkat daruriyyat. Sehingga pencantumannya bersifat wajib
(fard) sebab menyangkut kepastian hukum.18
Dengan adanya kajian pustaka di atas, penulis melakukan penelitian ini
dengan variabel yang berbeda. Penelitian dengan judul ‚Analisis Sadd al-

Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia Terhadap Jual Beli Produk
Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa
17

Muhammad Irfan, ‚Perlindungan Konsumen Obat Tradisional yang Tidak Mencantumkan
Label Berbahasa Indonesia pada Kemasannya (Suatu Penelitian di Banda Aceh)‛ (SkripsiUniversitas Syiah Kuala, 2015)
18
Mey Minanda, ‚Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga
Tanpa Tanggal Kadaluwarsa Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif‛ (Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2016)

11

Indonesia‛ ini lebih memfokuskan pada tidak adanya pencantuman informasi
berbahasa Indonesia pada produk kecantikan berdasar analisa Sadd al-

Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui analisis Sadd al-Dhari>‘ah terhadap Jual Beli Produk
Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam
Bahasa Indonesia
2. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap Jual
Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang
dalam Bahasa Indonesia
F. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian di atas, maka
diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi
pembaca maupun penulis sendiri, baik secara teoritis maupun secara praktis.
Secara umum, kegunaan penelitian yang dilakukan ini dapat ditinjau dari dua
aspek, yaitu:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan atau
menambah pengetahuan dalam pengembangan hukum Islam, khususnya
dalam bidang muamalah yang berkaitan dengan kegiatan bisnis
berhubungan dengan perlindungan konsumen. Bahwa perlindungan bagi
konsumen dapat melindungi hak-hak konsumen.

12

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang Hukum Positif di Indonesia serta hukum
Islam dalam penggunaan barang, serta memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam memilih produk kecantikan oleh pelaku usaha importir
yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul
penelitian skripsi ini, yaitu ‚Analisis Sadd al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di
Indonesia terhadap Jual Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada Informasi
Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia‛. Maka perlu dijelaskan
beberapa istilah yang berkenaan dengan judul di atas.

Sadd al-Dhari>‘ah

:

Mencegah

(menutup

jalan)

sesuatu

perbuatan agar tidak sampai menimbulkan
kerusakan atau kemaksiatan.19
Hukum Positif

: Perintah penguasa20. Singkatnya, hukum
positif adalah hukum yang berlaku di suatu
negara.

Informasi Penggunaan Barang : Sebuah informasi mengenai langkah-langkah
dan

cara

penggunaan

barang

meliputi

komposisi; efek samping penggunaan; tanggal
produksi; dan tanggal kadaluwarsa.

19
20

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 236.
Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Grup, 2008), 21.

13

Kosmetika

: Bahan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia (epidermis,
rambut,

kuku,

membersihkan,

bibir

atau

mewangikan,

gigi

untuk

mengubah

penampilan dan atau memelihara tubuh.
H. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan beberapa metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (literature

research) yaitu dengan menelusuri literature yang ada serta menelaahnya
secara tekun. Dengan mengadakan suatu survei terhadap data yang telah
ada, kemudian penulis menggali teori-teori yang telah berkembang
dalam bidang ilmu yang berkepentingan dan mencari metode-metode
serta teknik penelitian.21 Data yang diperlukan sudah tertulis atau diolah
oleh orang lain atau suatu lembaga.

2. Data yang Dikumpulkan
Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka
data yang akan dikumpulkan sebagai berikut:
a. Data tentang informasi seputar produk
21

Moh. Nazir, Metode Penelitian, cet ke-3 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 63.

14

b. Data tentang legalitas suatu produk kecantikan/ kosmetik
c. Data tentang informasi penggunaan barang tidak berbahasa
Indonesia berdasar Hukum Positif di Indonesia
d. Data tentang informasi penggunaan barang tidak berbahasa
Indonesia berdasar analisis Sadd al-Dhari>‘ah
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini
sebagai berikut:
a. Sumber Primer merupakan sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data. Sumber data yang akan diperoleh
dalam penelitian ini antara lain:
1) Sumber data yang diperoleh dari konsumen tentang pentingnya
informasi penggunaan barang
2) Sumber data yang didapatkan peneliti dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) tentang seleksi barang yang masuk di
Indonesia
b. Sumber Sekunder, informasi yang telah dikumpulkan pihak lain.22
Dalam penelitian ini, merupakan sumber data dari buku-buku;
catatan-catatan; publikasi atau dokumen tentang apa saja yang
berhubungan dengan suatu produk yang tidak mencantumkan
informasi berbahasa Indonesia berdasar Hukum Positif di Indonesia
dan analisis Sadd al-Dhari‘ah:
22

Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian-Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama, 1992), 69.

15

1) Masnur Muslich, Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi:

kedudukan, fungsi, pembinaan dan pengembangan, Jakarta: 2007.
2) Sarah Jervis & Tim Dokter Wanita Kelas Dunia. Ensiklopedia

Kesehatan Wanita, t.tp: 2011.
3) Ana Fitria, Panduan Lengkap Kesehatan Wanita, Yogyakarta:
2007.
4) Anggota IKAPI, Hak Konsumen dan Ekolabel, Yogyakarta:
2007.
5) Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen

Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya,
Jakarta: 2008.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data sebagai berikut:
1) Pada

tahap

awal,

disamping

penulis

melakukan

studi

kepustakaan, dengan cara menginventarisir peraturan perundangundangan, buku-buku dan literatur lain sebagai sumber data
sekunder, penulis juga akan melakukan observasi.23 Cara ini
dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan
relatif menyeluruh tentang obyek permasalahan yang akan
diteliti.

23

S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1998), 73.

16

2) Pada tahap terfokus, akan dilakukan wawancara. Wawancara
adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya
dengan si penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan

interview guide (panduan wawancara).24 Dalam penelitian ini
penulis melakukan wawancara sebagai data pendukung.
3) Studi dokumen, sebagai pelengkap dalam pengumpulan data
maka penulis menggunakan data dari sumber-sumber yang
memberikan informasi terkait dengan permasalahan yang dikaji.
d. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap
sumber-sumber data akan diolah melalui tahapan-tahapan berikut:
1) Editing, yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya datadata yang diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang
kurang jelas atau meragukan.25 Teknik ini betul-betul menuntut
kejujuran intelektual (intelectual honestly) dari penulis agar
nantinya hasil data konsisten dengan rencana penelitian.
2) Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber
dokumentasi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh
gambaran

yang

sesuai

dengan

rumusan

masalah,

serta

mengelompokkan data yang diperoleh.26 Dengan teknik ini

24

Ibid., 193
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 125.
26
Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.

25

17

diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran tentang produk
kecantikan yang tidak mencantumkan informasi penggunaan
barang berbahasa Indonesia.
3) Analyzing, yaitu upaya mencari dan menyusun secara sistemasis
hasil wawancara juga dokumentasi yang disusun secara
sistematis dan dianalisis secara kualitatif untuk memberikan
kejelasan pada masalah yang dibahas dalam skripsi ini.27
e. Teknik Analisis Data
Hasil dari pengumpulan data tersebut akan dibahas dan
kemudian dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang yang dapat diamati dengan metode yang telah
ditemukan.
1) Analisis Deskriptif, yaitu mengurai dan mengolah data mengenai
informasi penggunaan barang pada produk kecantikan; manfaat
serta resikonya menjadi data yang dapat ditafsirkan dan
dipahami secara lebih spesifik. Metode ini digunakan untuk
mengetahui

gambaran

mencantumkan

informasi

produk

kecantikan

penggunaan

yang

barang

tidak

berbahasa

Indonesia.
2) Pola Pikir Deduktif, dalam penelitian ini penulis menggunakan
pola pikir deduktif yang berarti pola pikir yang bermula dengan
27

Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik, Rasionalistik,
Plenomenologik, dan Realisme Metaphisik (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), 183.

18

peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen tentang
perbuatan

yang

mencantumkan

dilarang
informasi

bagi

produsen

penggunaan

yaitu

barang

tidak

berbahasa

Indonesia kemudian fakta; fenomena terhadap produk kecantikan
yang berdampak bahaya bagi kesehatan kemudian dianalisis
menggunakan Sadd al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia
sehingga ditemukan suatu pengetahuan yang secara umum diakui
kebenarannya.
I.

Sistematika Pembahasan
Agar dalam penyusunan skripsi dapat terarah dan sesuai dengan apa
yang direncanakan atau diharapkan oleh penulis, maka disusunlah
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Laporan penelitian ini dimulai dengan bab pertama yaitu pendahuluan.
Dalam bab ini, penulis cantumkan beberapa sub bab yaitu: latar belakang
masalah; identifikasi dan batasan masalah; rumusan masalah; kajian pustaka;
tujuan penelitian; kegunaan hasil penelitian; definisi operasional; metode
penelitian; dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menjelaskan tentang Sadd al-Dhari>‘ah; teori mengenai jual
beli dan Hukum Positif di Indonesia.
Bab tiga, informasi penggunaan barang produk kecantikan yang
menjelaskan tentang gambaran umum produk kecantikan yang masuk di
Indonesia; informasi penggunaan barang pada produk kecantikan dari
berbagai negara; peran BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dalam

19

seleksi produk impor; manfaat informasi pada produk kecantikan; pendapat
konsumen tentang produk yang tidak ada informasi penggunaan barang; dan
resiko penggunaan produk tanpa penjelasan dan cara penggunaan.
Bab keempat, peneliti akan membahas tentang analisis Sadd al-Dhari>‘ah

dan Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli produk kecantikan yang
tidak ada informasi penggunaan barang dalam bahasa Indonesia.
Skripsi ini diakhiri dengan bab lima, yaitu penutup dari pembahasan
skripsi ini yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan selanjutnya
memberikan saran.

BAB II
TEORI MENGENAI SADD AL-DHARI‘ah
1. Pengertian sadd al-dhari>‘ah

Sadd al-Dhari>‘ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan
larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah.
Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan
lain yang dilarang. Tampaknya metode ini lebih bersifat preventif.1
Artinya, segala sesuatu yang mubah tetapi akan membawa kepada
perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi haram.

Sadd al-Dhari>‘ah yaitu masalah yang dhahirnya dibolehkan oleh
agama dan dihubungkan dengan perbuatan yang terlarang.2 Dalam
pendapat lain, ulama fikih Abu Zahrah mendefinisikan

ٍ
ِ
ِ ‫الذَ ِري عةَُمعنَ ه‬
َُ‫َفَإنه‬,َ‫َوَُلِل‬
ُ ‫رعيِ ََماَيَ ُكو ُنَطَ ِريْ ًقاَلِمحِرمَأ‬
َ ِ ‫َ َوالذ َرائعَىَلُغَةَالش‬,َ‫اَالوسيلَة‬
َ َ َ َْ
َ‫احَوماَاَيُ َؤِدىَالو ِاجبَاابه‬
‫َحَر ٌامَوالطَ ِر‬
‫يقَاىَا ََرِام‬
ِ َ‫يقَاىَا ب‬
ُ َ‫ي‬
ُ
ُ ‫كمهَُفَالطَ ِر‬
ٌ َ‫َمب‬
ُ ‫اح‬
َ
ُ ‫أخ ُد‬
ُ ‫َح‬
ُ
ِ ‫فهوالو‬
َ3‫اجب‬
َ َُ
Dhari>‘ah menurut istilah ahli hukum Islam ialah sesuatu yang
menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.
Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dhari>‘ah selalu
1

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah. 2011), 142.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 61.
3
Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo, Darul Fikr al ‘Azli, t.th), 228.

2

20

21

mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi
sasarannya. Artinya perbuatan yang membawa pada mubah ialah mubah,
perbuatan yang membawa pada haram ialah haram, perbuatan yang
membawa pada wajib ialah wajib.4
Kata sadd (‫ )سد‬menurut bahasa berarti ‚menutup‛, dan kata al
ّ ) berarti ‚wasilah‛ atau ‚jalan ke suatu tujuan‛. Maka,
dhari>‘ah (‫الذريعة‬

sadd aldhari>‘ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan.
Secara istilah Ushul Fikih yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan5 sadd

al-dhari>‘ah yaitu:

َ ‫اد‬
َِ َ‫َالس‬
ََ َ‫سائِ َِلَا ََؤَِدَي‬
َ ‫بابَ َمَن َِعَالَََْو‬
َِ َ‫َأَنَّهَُ ِمَ َْن‬
َ ‫ةَإى‬
Artinya: Menutup jalan yang membawa pada kebinasaan atau
kejahatan.
Dengan demikian Sadd al-Dhari>‘ah secara bahasa berarti menutup
jalan atau menghambat jalan. Maksudnya menutup jalan pada hal-hal
yang bisa membawa kerusakan atau kefasidan.
2. Dasar hukum sadd al-dhari>‘ah
Dasar hukum dari Sadd al-Dhari>‘ah menurut ulama fikih adalah
a. al Quran
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ 

6َََََََََ

4

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh; (Jakarta; PT Pustaka Firdaus, 2010), 467.
Satria Effendi, Ushul Fiqh; (Jakarta: Kencana, 2005), 172.
6
A. Masjkur Anhari, Us}u>l Fiqh; (Surabaya: Miftah el Choir, 2008), 117.
5

22

Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.7
Mencaci maki berhala pada hakekatnya tidak dilarang oleh Allah,
tetapi ayat ini melarang kaum muslim mencaci dan menghina berhala,
karena larangan ini dapat menutup jalan ke arah tindakan orang musyrik
mencaci Allah secara melampaui batas.
b. Hadits
Dalam hadits Rasulullah bersabda

َ‫َمنَأكب الكبائِِر‬
ََِ
‫مَإ ّن‬.‫عنَعبداهَبْنَعم ٍرىَرضيَاهَعنهماقالَقالَرسولَاهَص‬
ِ ِ‫الديهَقيلَياَرسولَاهَوكيفَي ْلعنَالرجلَوال‬
ِ ‫جلَو‬
َ‫َالر ُج ُل‬
َُ ‫َالر‬
َ ‫ديه‬
ُ َ‫َي‬
ّ ‫ب‬
ّ ‫عن‬
َ ‫أنَي ْل‬
ُ ‫َقال‬
ُ ّ ُ َ
َ َُ‫َباويَبَأ ُمه‬
‫بَأ‬
ُ
ُ َ‫َفي‬
ّ ‫أ‬
ُ ‫جلَأباَالر ُج ِل‬
ُ ‫َباالر‬
Artinya: dari Abdullah bin Amr r.a, ia berkata Rasulullah
bersabda: ‚Termasuk diantara dosa besar orang lelaki melaknat orang
tuanya.‛ Beliau kemudian ditanya, ‚Bagaimana caranya seorang
lelaki melaknat kedua orang tuanya?‛ Beliau kemudian menjawab,
‚Seorang lelaki mecaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang
dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki
tersebut.8
c. Kaidah fikih

ِ
َ ‫حر ٌَام‬
َ ‫َماَأدىَإىَا َر‬
َ ‫امَفهو‬
Artinya: Apa yang membawa kepada yang haram maka hal
tersebut juga haram hukumnya.

ِ ‫دفْعَا َس‬
ِ ‫اسدَمقد ٌمَعلىَج ْل‬
َ َِ‫بَا صالِح‬
ُ
َ
َ

7

Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya; (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
2002), 190, Q.S al An’am (6): 108.
8
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukha>ri al Ja’fi, al Jami>’ ash Shahih al Mukhtashar;
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 2228.

23

Artinya: meolak segala kerusakan lebih didahulukan daripada
mengambil kemaslahatan.9
Dari kaidah di atas bahwa melarang segala perbuatan maupun
perkatan yang dilakukan mukallaf menjadi wasilah kepada kerusakan/
kemadharatan.
3. Macam-macam sadd al-dhari>‘ah
Para ahli ushul fikih membagi al-dhari>‘ah menjadi 4 (empat) kategori.
Pembagian

ini

mempunyai

signifikan

jika

dihubungkan

dengan

kemungkinan membawa dampak negatif (mafsadah) dan membantu
tindakan yang telah diharamkan. Adapun pembagian itu adalah sebagai
berikut10:
a. Dhari>‘ah yang secara pasti dan meyakinkan akan membawa kepada

mafsadah.
b. Dhari>‘ah yang berdasarkan dengan kuat akan membawa kepada

mafsadah.
c. Dhari>‘ah yang jarang/ kecil kemungkinan membawa kepada

mafsadah.
d. Dhari>‘ah yang berdasarkan asumsi biasa (bukan dengan kuat) akan
membawa kepada mafsadah.
Terlepas dari kategori mana dhari>‘ah yang harus dilarang/
diharamkan, yang jelas dapat dipahami ialah dalil Sadd al-dhari>‘ah
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh; (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 134.
Imam Abu Zahrah, Imam Malik Hayatuhu> wa As}ruhu- a>rauhu> wa Fiqhuhu; (Kairo: Dal Fikr al
‘Araby, 2006), 349.
9

10

24

berhubungan

dengan

memelihara

kemaslahatan

dan

sekaligus

menghindari mafsadah.
4. Kedudukan sadd al-dhari>‘ah sebagai hujjah
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai Sadd

al-dhari>‘ah dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak. Imam Malik bin
Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal menerima Sadd al-dhari>‘ah sebagai

hujjah syar’iyyah, sedangkan Imam Al Syafi’i dan Abu Hanifah menerima
Sadd al-dhari>‘ah sebagai hujjah syar’iyyah untuk kasus-kasus tertentu dan
menolaknya untuk kasus-kasus lain. Golongan ulama Zahiriy terutama
Ibnu Hazm, menolak sama sekali (secara mutlak) sadd al-dhari>‘ah artinya
bukanlah sebagai hujjah syar’iyyah.
Secara global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd al-

dhari>‘ah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kubu, yaitu kubu penerima
(pro) dan kubu penolak (kontra). Adapun kubu pro mengemukakan
argumentasi sebagai berikut11:
a. Dalam surah Al Baqarah [2]: 104
َ َََََََ ََََََََ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang
mengatakan ra’ina yaitu suatu ucapan yang biasa digunakan orang Yahudi
11

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh ; (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2011),144.

25

untuk mencela atau mengejek Nabi. Larangan ini berdasar pada keyakinan
bahwa perkataan ra’ina dapat membawa kepada keburukan, yaitu mencela
atau mengejek Nabi. Pesan ayat ini mengisyaratkan adanya Sadd al-

dhari>‘ah.
Sedangkan kubu penolak (kontra) mengemukakan argumentasi
sebagai berikut
a. Aplikasi

Sadd al-dhari>‘ah sebagai

dalil

penetapan

hukum

ijtihadiyah yang mana merupakan bentuk ijtihad bi al-ra’yi
yang tercela.
b. Penetapan hukum kehalalan atau keharaman sesuatu harus
didasarkan atas dalil qat’i dan tidak bisa dengan dalil zanniy
sedangkan penetapan hukum sadd al-dhari>‘ah merupakan suatu
bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil zanniy.
Sehubungan dengan ini Allah berfirman dalam surah al Najm [53]: 28
َ ََََََََََََ َََََ ََََ 

Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang
itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang
Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.

26

B. Teori Jual Beli
1. Pengertian jual beli dalam hukum Islam
Jual beli dalam istilah fikih disebut al bai‘ yang menurut etimologi
berarti menjual atau mengganti. Wahbah Zuhaily mengartikan secara
bahasa dengan ‚menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain‛. Kata al bai‘
dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu

al-syira’ (beli).12 Dengan demikian, kata al-bai‘ berarti jual tetapi
sekaligus juga berarti beli.
Secara terminologi, para fuqaha mengemukakan beberapa definisi
jual beli, sekalipun substansi masing-masing definisi sama. Sayyid
Sabiq13 mendefinisikan dengan

ِ ‫مبادلَةَُم ٍال ََِِ ٍالَعلَىَسبِ ِيلَالت ر‬
ِ ُ‫ضَعلَىَالْوج ِهَا أْذ‬
ٍ ‫َاََونَ ْقل َِم‬,‫اضي‬
ٍ ‫لكَبِعِ َو‬
.‫ونَفِ َِيه‬
َ
َ
َ َ َُ
َ َ
َ
َ
ُ
َ
Artinya: jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan.
Dalam definisi tersebut terdapat kata ‚harta‛, ‚milik‛, ‚dengan
ganti‛, dan ‚dapat dibenarkan‛ (al ma’dzu>nu fih). Yang dimaksud harta
adalah segala yang dimiliki dan bermanfaat maka dikecualikan yang
bukan milik dan tidak bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat
dibedakan dengan bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar berbeda
dengan pemberian (hibah) sehingga harus ada nilai tukar; dan makna

12
13

Abdul Rahman Ghazaly, dkk. cet ke 2, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012), 67.
Sayyid Sabiq; Penerjemah Nor Hasanuddin, Fiqh Sunnah, (Beirut: Darul Fath), 126.

27

dapat dibenarkan (al ma’dzu>nu fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli
yang dilarang.
Definisi lain dikemukakan oleh ulama Hanafi yang dikutip dari
Wahbah Zuhaily, jual beli adalah:

ٍ
ِِ ِ ِ ٍ ‫َش ٍئ َمرغُو‬
ٍ
ٍ
ٍ ‫ص ْو‬
َ‫َم َقي ٍد‬
َ ‫ب َفيه َِ ِثل‬
َ ‫ُمبَ َادلََةُ َ َم ٍال ََِ ٍال‬
ُ َََْ ‫ىَو ْجه‬
ُ ‫ىَو ْجه‬
ُ ‫َأ‬,‫ص‬
ْ ْ َ َ ُ‫َوَمبَ َادلَة‬
َ َ‫َعل‬
َ َ‫َعل‬

ٍ ‫ص ْو‬
َ 14.‫ص‬
ُ ََ

Saling tukar harta denga harta melalui cara tertentu. Atau, tukar
menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat.
Definisi lain dikemukakan Ibnu Qudamah (salah seorang ulama
Maliki) dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly, beliau berpendapat jual beli
adalah

ِ ِ ِ ِ
َ 15‫اَوَََلُ ًكا‬
َ ‫ُمبَ َادلَةَُا َالَبا َالَََْلي ًك‬
Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik
dan kepemilikan.
Dalam definisi di atas ditekankan kata ‚milik‛ dan ‚kepemilikan‛,
karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki
seperti sewa- menyewa (al ijarah).
2. Pengertian jual beli dalam hukum perdata
Berdasakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud
jual beli adalah suatu perjanjian untuk saling mengikatkan diri dalam
pemenuhan hak dan kewajiban, dengan mana pihak yang satu
14
15

Wahbah Zuhaili, al Fiqhu al Islamiy wa Adillatuhu; (Damaskus: Darul Fikr, 2008), 111.
Abdul Rahman Ghazaly, dkk. cet ke 2, Fiqh Muamalat; (Jakarta: Kencana, 2012), 68.

28

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.16
Bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar
benda atau barang dengan kesepakatan di antara kedua belah pihak,
yang satu menerima benda dan pihak lain menerima harga sesuai
dengan perjanjian dan dengan ketentuan yang telah dibenarkan syara’.
3. Dasar hukum jual beli
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat
manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan sunah
Rasulullah saw. Aturan jual beli bersumber baik dari al-Quran; hadits;
ijma’; dan kaidah fikih sebagai berikut:
a. al Quran
QS. al Baqarah [2] :275

َ ....‫َأَ َح َلَاللهَُالبَ ْي َع ََو َحَّرَ َمََالِربَا‬
Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
QS. an Nisaa’ [4]: 29
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ 
َ َََََ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.17

16

Pasal 1457, Bab Ke- 5 Tentang Jual beli. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

29

QS. al Baqarah [2]: 168
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ 
ََ