TINJAUAN MAQASID AL-SHARIAH TERHADAP TAMBAHAN HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOPHILIA.
TINJAUAN MAQA>SI} D AL-SHARI>’AH TERHADAP TAMBAHAN
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PEDOPHILIA
SKRIPSI
Oleh:
Nursiyanti
NIM. C53212073
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Siyasah Jinayah
Surabaya
2016
TINJAUAN MAQA>S}ID AL-SHARI>’AH TERHADAP TAMBAHAN
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PEDOPHILIA
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh
Nursiyanti
NIM. C53212073
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Siyasah Jinayah
Surabaya
2016
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian literatur tentang “Tinjauan Maqa>s}id alShariah Terhadap Tambahan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pedophilia”, yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana tambahan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia dan bagaimana tinjauan
maqa>s}id al sha>ri’ah terhadap tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia.
Data penelitian ini dihimpun dengan pembacaan teks (text reading) yang
ada dalam buku dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik
verifikatif dan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tambahan hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia merupakan tambahan hukuman berupa tindakan
bedah dengan cara membuang testis sebagai penghasil hormone testosteron, atau
dengan suntik kimia, yaitu dengan menyuntikkan hormone antiandrogen seperti
cyproterone acetate (CPA), medroxyprogesterone acetate (MPA), leuprolide dan
triptoreline yang berfungsi untuk melemahkan hormon testosterone, yang
diberikan kepada pelaku atas kejahatan yang dilakukan terhadap anak akibat
kelainan perkembangan seksual pelaku yang abnormal.
Maqa>sid al-shari>’ah memandang bahwa tambahan hukuman kebiri baik
yang melalui metode bedah ataupun suntik kimia bagi pelaku tindak pidana
pedophilia termasuk tindak pidana yang mengancam terpeliharanya akal (hifz} al‘aql). Tujuan hukuman tersebut sudah relevan dengan tujuan hukum Islam, yaitu
untuk melindungi masyarakat dari rasa takut akan ancaman kejahatan tersebut.
Sebagai hukuman yang diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku sehingga
tercapai kebaikan bagi umat dengan tidak mengulangi lagi perbuatannya, serta
berfungsi preventif terhadap kemungkinan
terjadinya pengulangan jenis
kejahatan yang sama, dan represif dalam mendidik pelaku agar ia menjadi orang
yang baik dan menyadari kesalahan.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, kepada para pemegang otoritas agar
memberlakukan tambahan hukuman bagi pelaku tindak pidana pedophilia di
Indonesia demi terciptanya rasa aman dan tentram masyarakat dari ancaman
kejahatan pedophilia ini, khususnya untuk melindungi anak sebagai generasi
penerus bangsa.
vii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .......................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
PENGESAHAN ............................................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TRANSLITERASI ......................................................................... xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...................................... 8
C. Rumusan Masalah .............................................................. 9
D. Kajian Pustaka ................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian ............................................................... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................. 11
G. Definisi Operasional .......................................................... 12
H. Metode Penelitian .............................................................. 13
I. Sistematika Pembahasan ................................................... 14
BAB II
KONSEP MAQA>S}ID AL-SHARI>’AH TENTANG HUKUMAN
KEBIRI
A. Pengertian Maqa>s}id Al-Shari>’ah ....................................... 16
x
B. Pinsip-prinsip Maq>s}id Al-Shari>’ah .................................... 18
C. Hikmah Maqa>s}id Al-Shari>’ah ............................................ 30
BAB III
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PEDOPHILIA
A. Pengertian Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pedophilia........................................................................... 36
B. Macam-macam Teknik Hukuman Kebiri .......................... 42
C. Penerapan Hukuman Kebiri ............................................... 46
BAB IV
MAQA>S}ID
AL-SHARI>’AH
TERHADAP
TINJAUAN
TAMBAHAN HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK
PIDANA PEDOPHILIA
A. Analisis Tambahan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak
Pidana Pedophilia............................................................... 51
B. Tinjauan Maqa>s}id Al-Shari>’ah Terhadap Tambahan Hukuman
Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Pedophilia .................. 55
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan ........................................................................ 59
B. Saran-saran ......................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan merupakan perbuatan melanggar hukum, istilah kejahatan ini
dalam bahasa Belanda dikenal dengan “rechtdelicten”, yaitu perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan keadilan, baik perbuatan itu diancam
pidana atau tidak.1 Dewasa ini kejahatan sering terjadi dimana-mana, mulai
dari kejahatan yang bersifat ringan seperti penghinaan hingga kejahatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang seperti pembunuhan. Pelaku
tindak pidana (dader/doer) tidak hanya orang yang berpenampilan preman
saja, bahkan pejabat-pejabat negara dan aparat penegak hukum pun juga
sering diberitakan di berbagai media terkait kasus yang melawan hukum,
seperti melakukan tindak pidana korupsi.
Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula kejahatan di
Indonesia. Tragisnya, yang sering menjadi korban kejahatan bukan hanya
orang dewasa saja, bahkan anak yang masih di bawah umur menjadi sasaran
kejahatan pula. Mulai dari kasus penganiayaan, pelecehan seksual,
pemerkosaan, bahkan kekerasan seksual yang mengakibatkan kematian.
Salah satu contoh kasus tragis yang dialami seorang anak ialah kasus
pembunuhan Angeline yang jasadnya ditemukan pihak kepolisian pada
tanggal 10 Juni 2015 di pekarangan rumah Margareth. Angeline ditemukan
1
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 101.
1
2
terkubur pada kedalaman setengah meter, dengan pakaian lengkap dan tangan
memeluk boneka. Tubuhnya dililit seprei dan tali.
Kekerasan seksual terhadap anak cenderung dilakukan oleh seorang
pedophilie. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang pedophilie disebut dengan
pedophilia. Pedophilia adalah kelainan perkembangan psikoseksual dimana
individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak.2 Pelaku
pedophilia ini menjadikan anak-anak polos sebagai sasaran utamanya dengan
bujukan rayuan berupa pemberian hadiah, uang dan sebagainya. Setelah
terpenuhi hasrat seksualnya dia akan melakukan kekerasan dan mengancam
anak tersebut untuk tidak memberitahu kepada siapapun termasuk kepada
orang tua anak tersebut.
Kasus kejahatan seksual terbaru yang dilakukan seorang pedophilie
adalah kasus kematian Putri Nur Fauziyah yang sebelumnya mengalami
kekerasan seksual, jasadnya ditemukan pada tanggal 02 Oktober 2015 dalam
keadaan telungkup dalam kardus dengan mulut tersumpal kaos kaki dan
telanjang, mulut dan hidungnya berdarah, posisi badannya meringkuk dengan
kedua kaki menjepit kedua tangan dan kepalanya terpelengkuk ke bawah.
Untuk melindungi anak-anak dari kejahatan pedophilie, presiden
Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono pada masa jabatannya
mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2014 Tentang Gerakan Nasional Anti
Kejahatan
Seksual
penyimpangan
2
Terhadap
seksual
yang
Anak.
Ancaman
menjadikan
pidana
anak-anak
bagi
pelaku
sebagai
objek
Sawitri Supardi, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Bandung: PT Refika
Aditama, 2005), 71.
3
pelampiasan nafsu seksualnya diatur dalam Pasal 82 Undang-undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
sedikit 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 300 (tiga ratus) juta rupiah
dan paling sedikit 60 (enam puluh) juta rupiah”
Tersedianya ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 82 Undangundang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ternyata tidak
mampu menekan pelaku pedophilia tersebut. Hal ini terbukti dengan semakin
meningkatnya angka kejahatan yang dilakukan kaum pedophilie. Dalam
kurun waktu tiga tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 21.689.797
kasus, ironisnya dari angka tersebut 58 persen merupakan kejahatan seksual
yang mengakibatkan korbannya mengalami trauma yang berkepanjangan.3
Berdasarkan realita tersebut, masyarakat merasa ketakutan dan khawatir
terhadap anak-anak mereka sehingga muncul inisiatif masyarakat untuk
diterapkan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia sebagaimana
diterapkan di negara lain, seperti California, Korea Selatan, Georgia,
Montana, Oregon, Wisconsin, Florida, Iowa, Luosiana, dan Texas.
Ketentuan tentang hukuman kebiri tidak diatur dalam KUHP, Pasal 10
KUHP menyatakan4:
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati,
3
Anonim, “Indonesia Darurat Kejahatan Kekerasan Anak”, dalam http://www.beritametro.co.id/nasional.hml diakses pada 26 Oktober 2015.
4
Moelijatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta:BumiAksara,2008), 5-6.
4
2. Pidana penjara,
3. Kurungan,
4. Denda.
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.
Kebiri atau yang biasa disebut kastrasi merupakan sebuah teknik
mengamputasi jaringan genetik yang dilakukan pada testis seorang
pria.5Testis merupakan organ reproduksi pria yang berperan menghasilkan
sperma dan membuat testosteron.6Di sejumlah negara teknik hukuman kebiri
ini beragam, ada yang dengan cara tradisonal, yakni pembedahan untuk
membuang testis (buah dhakar), dikenal sebagai kebiri fisik, atau
menyuntikkan zat kimia tertentu, disebut suntik kebiri atau kebiri kimiawi.7
Usulan masyarakat, termasuk Menteri Sosial, Menteri Kesehatan,
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Gubernur Jakarta dan Gubernur Jawa
Barat, tentang hukuman kebiri tersebut kemudian disetujui oleh Jokowi,
Presiden Republik Indonesia, bahkan pemerintah berencana akan melegalkan
bentuk hukuman tersebut sebagai hukuman tambahan bagi pelaku tindak
pidana pedophilia.8
Hukuman kebiri telah diterapkan di beberapa negara, sehingga teori
tentang hukuman tersebut dapat ditemukan di berbagai media, seperti buku,
internet, Koran, dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya
5
Travis Nygard dan Alec Sonsteby, In The Cultural Encyclopedia of The Body, Westport:
Greenwood Press, 2008), 502.
6
Ayu Febri Wulanda, Biologi Reproduksi, (Jakarta: Salemba Media, 2011), 9.
7
M. Zaid Wahyudi, “Suntik Kebiri untuk Mematikan Dorongan Seksual, dalam
http://health.kompas.com/read/2014/05/19/1659515.html diakses pada 26 Oktober 2015
8
Jawa Pos, (22 Oktober 2015), 15.
5
David L. Rowland dan Luca Incrooci yang berjudul “Handbook of Sexual and
Gender Identity Disorders” yang menjelaskan tentang berbagai macam
kelainan sexual yang diantaranya adalah pedophilia, hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia, serta penerapan hukuman kebiri tersebut.
Dalam Islam, tidak ada pembahasan tindak pidana pedophilia secara
khusus. Namun jika dilihat dari unsur deliknya, tindak pidana Pedophilia
dapat dikategorikan dalam jarimah zina. Zina merupakan setiap perbuatan
seksual yang dilakukan bukan terhadap wanita miliknya (istri atau hamba
sahayanya).9
Sebagaimana dalam Firman Allah:
ِ
ِ
ِ ِِ ِ
َِ
ِ
َِ
فَ َم ِن.ي
ْ لى اَْزَواج ِه ْم اَْو َما َملَ َك
َْ َه ْم َغْي ُر َملُ ْوم
ُ ت اََْْانُ ُه ْم فَان
َ اْ َع.َوالذيْ َن ُ ْم ل ُف ْروجه ْم حفظُْو َن
ِ
ِ
)7-5(اد ْو َن
َ ك فَأُولَئ
َ ابْتَ غَى َوَرآءَ َذال
ُ الع
َ ك ُ ُم
Artinya
:”Dan mereka yang, menyangkut kemaluan mereka, adalah
pemelihara-pemelihara. Kecuali terhadap pasangan-pasangan
mereka atau hamba sahaya wanita yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka (dalam hal pemenuhan kebutuhan
biologis) tidaklah dicela (selama ketentuan yang ditetapkan
agama tidak mereka langgar). Tetapi barang siapa mencari
(pelampiasan hawa nafsu) di balik itu, maka mereka itulah
pelampau batas.”(Surat Al-Mu’minu>n: 5-7)10
Hukuman Hadd dalam hukum pidana Islam bagi pezina ada tiga macam,
yaitu rajam, dera dan pengasingan.11Sebagai salah satu perbuatan yang
melanggar hukum perbuatan penyimpangan seksual yang di dalam hukum
9
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), 35-36.
10
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, (Tangerang: Lentera Hati, 2010), 342.
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj: Imam Ghozali dan A.Zaidun, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1995), 236.
6
pidana Islam dikategorikan pada jari>mah zina dan wajib dicambuk 100 kali
dan diasingkan selama satu tahun bagi zina gairu mukhsa}n> (jejaka dengan
perawan), dan bagi zina mukhs}a>n (orang yang telah menikah) dengan
dicambuk 100 kali dan dirajam dengan batu.12
Sebagaimana Firman Allah:
ِ وَْ ََْخ ْذ ُكم ِِِما رأْفَةٌ ِِ ِدي ِن,اَلَزانِيةُ والَزِِ فَاجلِ ُدوا ُك َل واَ ِح ٍد ِمنْ هما ِمائَ َة جلْ َد ٍة
ه اِ ْن ُكنْ تُ ْم
ْ ْ َ َ ْ ُ َ
َ
ْ ْ ْ َ َ
َُ
ِِ
ِ ِ
ِ ِ ِ
ِ
)2(.ي
َْ َولْيَ ْش َه ْد َع َذابَ ُه َماطَآئ َفةٌ م َن الْ ُم ْؤمن,تُ ْؤمنُ ْو َن ِِه َوالْيَ ْوم ْاْخ ِر
Artinya: “Perempuan pezina (yang masih perawan) dan laki-laki pezina (yang
masih perjaka), maka cambuklah setiap orang dari keduanya
seratus kali cambukan, dan janganlah kamu dicegah oleh belas
kasih kepada keduanya dalam (menjatuhkan ketetapan) agama
Allah; jika kamu beiman kepada Allah dan hari akhirat (pasti kamu
melaksanakan perintah ini). Dan hendaklah hukuman mereka
berdua disaksikan oleh sekumpulan orang-orang mukmin.”(Surat
An-Nu>r: 2)13
Secara tidak langsung, tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam
adalah untuk pembalasan dan sebagai siksaan dari Allah. Sebagaimana
Firman Allah:
ِ وال َسا ِر ُق وال َسا ِرقَةُ فَ ْقطَعوآ اَي ِدي هما جزآء ِِا َكسبا نَ َكاًْ ِمن
)83(. َوهُ َع ِزيٌْز َح ِكْي ٌم,ه
ََ َ ً ََ َ ُ َ ْ ُْ
َ
َ
َ
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(Surat Al-Ma>’idah: 38)14
12
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam …, 42-43.
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya …, 350.
14
Ibid, 114.
13
7
Dalam hukum pidana Islam, tujuan pemidanaan adalah15:
a. Pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. jangka panjang dari
aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas
(social defence).
b. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif (general
prevention), artinya pemidanaan dapat memberikan pelajaran bagi
orang lain untuk tidak melakukan kejahatan yang sama.
c. Pemidanaan
dimaksudkan
sebagai
pencegahan
khusus
(specialprevention), artinya setelah seseorang menjalankan sanksi
pidana ia akan bertaubat dan tidak akan mengulangi kejahatannya
lagi.
Dalam maqa>si} d al-shari>’ah
tujuan hukum Islam tidak hanya
sebagaimana tiga hal yang disebutkan di atas, akan tetapi bertujuan untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, yang meliputi
tujuan memelihara agama (h}ifz} al-di>n), memelihara jiwa (h}ifz} al-nafs),
memelihara akal (h}ifz} al-‘aql), memelihara keturunan (h}ifz} al-nasl) dan
memelihara harta (h}ifz} al-ma>l).16
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengkaji tinjauan maqa>s}id al-
shari>’ah terhadap tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia. Karena tambahan hukuman kebiri ini merupakan hal yang
15
Makhrus Munajat, Dekonstruksi hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004),
55-56.
16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2005), 61.
8
menarik untuk diteliti mengingat hukuman ini telah menjadi wacana di
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga penulis
merasa penting untuk melakukan penelitian menurut teori hukum Islam sebab
dalam menetapkan sebuah hukum harus memiliki tujuan yang relevan dengan
teori yang ada.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka masalah yang muncul dapat
diidentifikasi dan dibatasi sebagai berikut:
1. Banyaknya kejahatan terhadap anak di bawah umur.
2. Ancaman pidana terhadap pelaku pedophilia adalah minimal tiga tahun
penjara dan maksimal lima belas tahun penjara (Pasal 82 Undang-undang
No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).
3. Meningkatnya kasus kejahatan pedophilia.
4. Adanya keinginan masyarakat di luar undang-undang tentang tambahan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
5. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pedophilia dikategorikan
sebagai jari>mah zina.
6. Hukuman dalam pidana Islam bagi pelaku jari>mah zina adalah rajam,
dera, dan pengasingan.
7. Tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan,
pencegahan, dan pemberian efek jera.
9
8. Dalam maqa>s}id al-shari>ah, tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia?
2. Bagaimana tinjauan maqa>s}id al-shari>ah terhadap tambahan hukuman
kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini pada intinya untuk mendapatkan gambaran dari
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, sehingga tidak terjadi duplikasi dari penelitian sebelumnya.
Masalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pedophilia sudah pernah di
bahas pada penelitian sebelumnya, di antaranya:
Skripsi yang disusun oleh Choiriyah, mahasiswa Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Sanksi Tindak Pidana
Pedophilia dalam Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Perspektif Maqasi}>d Al-Syari’>ah”membahas Bagaimana
sanksi tindak pidana pedophilia dalam pasal 82 undang-undang No. 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak dan Bagaimanakah tinjauan Maqa>s}id Al-
10
Shari>’ah terhadap sanksi tindak pidana pedophilia dalam Pasal 82 Undangundang no. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa sanksi tindak pidana pedophilia dalam Pasal 82
Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah
maksimal lima belas (15) tahun penjara dan denda paling banyak 300 (tiga
ratus) juta rupiah. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pedophilia
terdapat dua kategori apabila perbuatan tersebut terdapat unsur-unsur zina
tentu adanya persetubuhan maka sanksinya adalah had, dan apabila dalam
tindakannya tidak terdapat unsur-unsur zina yakni hanya mendekati
perbuatan zina maka hukumannya adalah ta’zir. Yang mana hukum tersebut
sudah relevan dengan tujuan hukum yaitu tercapainya kemaslahatan umat
(menurut maqa>s}id al- shari>’ah), sebagai hukuman yang dapat memberikan
akibat jera kepada pelaku, sehingga mewujudkan kebaikan bagi masyarakat
secara menyeluruh serta berfungsi preventif terhadap kemungkinan terjadinya
pengulangan jenis kejahatan yang sama, dan represif mendidik pelaku agar
menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan.
Skripsi selanjutnya yang disusun Moh Syafroni, Mahasiswa Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Tindak Pidana Pedofilia”. Membahas tentang perlindungan hukum
bagi pelaku tindak pidana pedophilia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
Islam memandang pidana pedophilia sebagai kejahatan yang sangat berat
karena akan merusak generasi penerus (h}ifz} al-nasl) dan kondisi kejiwaan
(h}ifz} al-nafs).
11
Dari kajian pustaka di atas yang membedakan dengan skripsi ini adalah
adanya tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia, yang
merupakan usulan dari masyarakat akibat rasa takut dan khawatir karena
angka kejahatan tersebut semakin meningkat, sedangkan di Indonesia tidak
tersedia undang-undang yang mengatur tentang hukuman tersebut.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini, meliputi hal-hal
berikut:
1. Mengetahui tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia.
2. Mengetahui tinjauan maqas}i>d al-syari>’ah terhadap tambahan hukuman
kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dapat diharapkan mempunyai nilai
kegunaan baik dari segi teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1. Aspek teoritis: dapat menambah wawasan intelektual terutama dalam
bidang hukum, khususnya di bidang hukum Islam.
2. Aspek praktis: dapat dijadikan pedoman bagi para sarjana hukum dan
penegak hukum dalam menetapkan tambahan hukuman kebiri bagi pelaku
tindak pidana pedophilia.
12
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas dan menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam
menafsirkan kata-kata yang ada dalam pembahasan penulisan skripsi ini,
maka penulis memandang perlu untuk memberikan penjelasan dalam
memahami judul “Tinjauan Maqas}id Al-Shari>’ah Terhadap Tambahan
Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Pedophilia”. Adapun yang
dimaksud dengan:
1. Maqas}i>d Al-Shari>’ah adalah tujuan hukum yang bersifat primer
(d}aru>riyyah), yaitu tujuan hukum yang harus ada, yang ketiadaannya
dapat menghancurkan kehidupan secara total. Dalam hal ini ada lima
kepentingan yang harus dilindungi, meliputi h}ifz} al-di>n (memelihara
agama), h}ifz} al-nafs (memelihara jiwa), h}ifz} al-‘aql (memelihara akal),
h}ifz} al-ma>l (memelihara harta), h}ifz} al-nasl (memelihara keturunan).
2. Tambahan hukuman kebiri
sebagaimana
dijelaskan dalam
buku
“Handbook Sexual and Gender Identity Disorders” adalah tambahan
pengenaan penderitaan terhadap pelaku kejahatan seksual anak berupa
tindakan baik dengan cara bedah, yaitu dengan membuang testis, maupun
kimiawi, yaitu dengan menyuntikkan senyawa kimia tertentu untuk
mematikan atau melemahkan hormon testosterone.
13
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam
pengumpulan data dan analisis data yang diperlukan guna menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi.
1. Data yang Dikumpulkan
a. Data mengenai hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
b. Ketentuan-ketentuan maqa>s}id al-shari>’ah tentang hukuman kebiri bagi
pelaku tindak tindak pidana pedophilia.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-buku
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian, seperti “Handbook
Sexual and Gender Identity Disorders”, karya David L. Rowland dan
Luca Incrocci.
b. Sumber data skunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari jurnal
ilmiah, seperti “Chemical Castration for Child Predators: Practical,
Effective, and Constitutional” karya Elizabeth M. Tullio, dan skripsi
yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan, seperti “Chemical
Castration: How a Medical Therapy Became Punishment and the
Bioethical Imperative to Return to a Rehabilitative Model for Sex
Offenders” karya Samantha Vaillancourt.
c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan yang menunjang dengan
pembahasan skripsi, misalnya media cetak dan internet.
14
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan ialah: literature,
yaitu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan membaca
dan mencatat pada buku-buku yang berkaitan dengan hukuman kebiri
bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik deskriptif analisis, dalam arti menguraikan tentang
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia. Kemudian
dilakukan analisa menurut tinjauan maqa>s}id al-shari>’ah.
Metode analisis yang dipakai adalah metode deduktif, yaitu
mempelajari bahan pustaka dan dokumen yang berkaitan dengan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia, kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus dari hasil penelitian yang dilakukan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penulisan
skripsi ini, dan agar dapat dipahami pemasalahannya secara sistematis, maka
pembahasannya
disusun
dalam
bab-bab
yang
masing-masing
bab
mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis.
Bab pertama menjelaskan tentang gambaran bagaimana dan untuk apa
skripsi ini disusun. Oleh karena itu dalam langkah awal ini dipaparkan
tentang; latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan
15
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menjelaskan tentang Maqa>s}id Al-Shari>’ah, berisi tentang
pengertian Maqa>s}id Al-Shari>’ah, prinsip-prinsip dasar dalamMaqa>s}id Al-
Shari>’ah, dan hikmah dibalik adanya Maqa>si}d Al- Shari>’ah.
Bab ketiga menjelaskan tentang tambahan hukuman kebiri bagi pelaku
tindak pidana pedophilia, berisi tentang pengertian hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia, macam-macam teknik hukuman kebiri, dan
penerapan hukuman kebiri.
Bab keempat berisi tentang analisis tambahan hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia menurut tinjauan Maqa>s}id Al-Shari>’ah.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan sebagai
jawaban terhadap permasalahan, kemudian dilengkapi dengan saran-saran.
BAB II
KONSEP MAQA>S}ID AL-SHARI>AH TENTANG
HUKUMAN KEBIRI
A. Pengertian Maqa>s}id Al-Shari>ah
Maqa>si} d al-shari>’ah merupakan salah satu bentuk kajian us}ul fiqh yang
secara bahasa merupakan bentuk id}a>fah dari kata maqa>s}id dan al-shari>’ah.
Kata maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari maqs}ud yang memiliki arti
kesenjangan atau tujuan.1 Sedangkan shari>’ah memiliki arti jalan menuju
sumber air, jalan menuju sumber air dapat diartikan pula sebagai jalan
menuju sumber kehidupan. Sedangkan secara istilah, maqa>s}id al-shari>’ah
merupakan tujuan-tujuan hukum Islam yang terkandung dalam setiap
aturannya.2
Teori tentang maqa>si} d al-shari>’ah telah diungkapkan oleh beberapa
ulama abad ke-V dan ke-VIII Hijriyah sebagaimana tertera dalam bukunya
Jasser Auda, di antaranya3:
1. Abu al-Ma>li al-Juwaini (478 H/1085 M), beliau berpendapat
bahwasanya ada lima tingkatan maqa>s}id, yaitu d}ar> u>rah (keniscayaan),
al-hajjah al-‘ammah (kebutuhan publik), al-makru>mah (perilaku moral),
al-manduba>t (anjuran-anjuran), dan apa yang tidak tercantum dalam
nash.
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (t.tp.: Amzah, 2005), 196.
Abdurrahman Misno Pramono, “Maqashid Asy-Syariah (Tujuan Hukum Islam), dalam
http://majelispenulis.blogspot.co.id.html, diakses pada 13 Desember 2015.
3
Jasser Auda, Maqasid Al-Shariah: an Instroductory Guide, (t.tp.: t.p., 2008), 21-25.
1
2
16
17
2. Abu Hamid al-Ghazali (505 H/1111 M), merupakan murid dari Abu alMa>li al-Juwaini, beliau merumuskan lima pokok tujuan hukum Islam,
yaitu perlindungan (al-h}ifz) terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.
3. Al-Izz Ibn Abdul-Salam (660 H/1209 M), mengemukakan bahwa inti
pembahasan dari maqa>s}id al-shari>’ah adalah konsep maslahat secara
hakiki dalam bentuk menolak mafsadah (kerugian) dan menarik
manfaat.
4. Shihabuddin al-Qarrafi (684 H/1285 M), beliau mendefinisikan bahwa
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw
terdapat maksud atau niat tersendiri, seperti menunjuk para hakim dan
membagi harta rampasan perang.
5. Abu Ishaq al-Shatibi (790 H/1388 M), merupakan pengarang kitab al-
Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah, yang teorinya akan dijelaskan dalam
pembahasan bab ini.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa maqa>s}id al-shari>’ah
adalah kajian yang berkonsentrasi pada tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam yang secara umum tujuan tersebut untuk
kepentingan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia seluruhnya. Tujuan
tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadis-hadis
Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi
kepada kemaslahatan umat manusia. Bagian yang termasuk dalam maqa>s}id
ini
adalah
menjaga
peraturan,
merealisasikan
kebaikan
(mas}a>lih),
18
menghindarkan keburukan (mafa>s}id), dan menegakkan nilai-nilai egaliter
manusia.
Untuk mencapai tujuan Islam sebagaimana yang telah disebutkan dapat
ditempuh melalui tiga cara. Pertama, penyucian jiwa dengan banyak
melakukan ibadah sebagaimana yang telah disyariatkan. Kedua, penegakan
keadilan dengan berpandangan bahwa setiap manusia mempunyai kedudukan
yang sama dalam hukum dan peradilan, serta tidak ada perbedaan stratifikasi
sosial. Ketiga, perwujudan kemaslahatan hakiki dengan lebih mengutamakan
kepentingan umum.4
Abu Ishaq al-Sha>ti} biy merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima tujuan hukum
islam itu di dalam kepustakaan disebut maqa>s}id al-khamsah atau maqa>s}id al-
shari>’ah.5
B. Prinsip-prinsip Maqa>s}id Al-Shari>ah
Pada dasarnya hukum dibuat agar ditaati dan dilaksanakan demi
kepentingan sosial masyarakat. Dalam pelaksanaannya, hukum tidak lepas
dari prinsip-prinsip sebagai pedoman dasar untuk penerapan pemberlakuan
hukum tersebut. Begitu pula dengan maqa>s}id al-sha>ri’ah yang dalam
penerapannya terdapat prinsip dasar yang menjadi acuan untuk mengetahui
tujuan hukum tersebut.
4
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 543-548.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia,.. 61.
5
19
Prinsip maqa>s}id al-shari>ah dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu qas}d
al-shar’i>, yakni tujuan pembuat hukum untuk melembagakan hukum agar bisa
dipahami dan qas}d al-mukallaf, yakni untuk menuntut kewajiban (takli>f)
dalam memasukkan mukallaf (subyek hukum) ke dalam perintah-Nya.6 Abu
Ishaq al-Sha>t}ibiy membagi dua hal tersebut menjadi empat bagian, yaitu:7
1. Qas}du al-shar’i fi> Wad}’i al-Shari>’ah (maksud sha>ri’ dalam menetapkan
shari>’ah)
Tujuan hukum Islam dalam menetapkan hukum adalah tidak lain
untuk menciptakan kemaslahatan dan mengindarkan kemudaratan bagi
manusia. Adanya tujuan hukum Islam ini, hak-hak asasi manusia
diberikan perlindungan agar terhindar dari kejahatan manusia itu sendiri. 8
Hal ini karena manusia perlu dilindungi sebagai makhluk ciptaan yang
tersusun dari jiwa dan raga, mempunyai sifat individu dan sosial, dan
sebagai bagian dari alam.
Perlindungan maqa>s}id al-shari>’ah terhadap maslahat ini dapat
melalui cara yang positif, misalnya demi memelihara eksistensi maslahat,
shari>’at mengambil langkah-langkah untuk menjaga landasan-landasan
maslahat
tersebut,
seperti
mengambil
tindakan-tindakan
untuk
menghapuskan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak
maslahat.9
6
M. Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, (Yogyakarta: Philosophy Press,
2001), 100.
7
Abi Ishaq al-Sa>t}ibiy, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>li al-Shari>’ah, (Beirut: Al-Fikr, 1975), 261.
8
Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, 86.
9
M. Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat,… 101.
20
Tujuan sha>ri’ dalam pembentukan hukumnya yang bertujuan untuk
merealisasikan kemaslahatan manusia yang diaplikasikan dengan upaya
untuk menjamin kebutuhan pokoknya (d}aru>riyah) dan memenuhi
kebutuhan sekunder (ha>jiyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsi>niyah).10
a. Tujuan pokok hukum Islam (d}aru>riyah)
Tujuan pokok (d}aruriyah) ialah tujuan hukum yang mesti ada
demi kehidupan manusia, yang apabila tujuan itu tidak terpenuhi
maka tidak tercapai pula kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Kebutuhan hidup yang primer (d}aru>riyah) ini hanya bisa
dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut
d}aru>riyah al-khamsah atau al-kulliyah al-khamsah atau juga disebut
maqa>s}id al-shari>’ah.11 Manusia dijaga dari kemungkinan buruk,
jahat, keji, dan merusak yang dilakukan oleh sesamanya. Hukum
Islam ditegakkan untuk memberikan rasa aman pada manusia
sehingga menghindarkan manusia dari rasa takut akan ancaman
kejahatan yang dilakukan oleh sesamanya. Ada akal yang tidak
boleh diganggu dan dirusak, yakni manusia diberikan kebebasan
untuk berpikir, berekspresi, dan mengeluarkan opini untuk
melindungi hak-hak asasi manusia dari perilaku jahat.
Kelima tujuan pokok itu menurut al-Shat}ibi adalah
memelihara agama (hifz} al-di>n), memelihara jiwa (hifz} al-nafs),
10
A. Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum
Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006), 46.
11
Juhaya S. Praja, Filsfat Hukum Islam, (Bandung: Universitas Islam Bandung, 1995), 101
21
memelihara keturunan (hifz} al-nasl), memelihara harta (hifz} al-ma>l),
dan memelihara akal (hifz} al-‘aql).12
1) Memelihara agama (hifz} al-di>n)
Merupakan hal yang penting karena pada dasarnya
agama bagi seseorang merupakan hal yang fitrah, dalam
hukum positif dikenal sebagai hak asasi manusia yang harus
mendapat perlindungan dari gangguan atau ancaman dari
pihak manapun.
2) Memelihara jiwa (hifz} al-nafs)
Agar hal ini dapat tercapai, Islam mensyariatkan agar
manusia memelihara hak hidup dan kehidupannya. Manusia
wajib
mempertahankan
hidupnya
ketika
ada
yang
mengancam dan menyerang. Oleh karena itu, Islam
mensyariatkan adanya hukuman qis}a>s}, diya>t dan kaffarat
bagi pelaku tindak pidana.
3) Memelihara keturunan (h}ifz} al-nasl)
Untuk melindungi keturunan manusia, Islam melarang
perbuatan zina dan orang yang menuduhnya karena
keduanya merupakan harga diri yang perlu dilindungi dari
setiap
kepribadian
seseorang,
baik
laki-laki
maupun
perempuan. Perbuatan zina dianggap perbuatan keji karena
dapat merusak keturunan seseorang. Termasuk di dalam
12
Abi Ishaq al-Sa>t}ibiy, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>li al-Shari>’ah,…266.
22
perbuatan zina ini, seks melalui kekerasan, perkosaan, dan
pelecehan seksual. Untuk memelihara keturunan ini, Islam
memberikan sanksi hukuman secara berat.
4) Memelihara harta (hifz} al-ma>l)
Untuk melindungi harta, Islam membolehkan manusia
melakukan berbagai transaksi dan perjanjian (mu’a>malah)
dalam masalah perdagangan (tija>rah), bagi hasil (mud}ar> abah)
dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam melarang pencurian,
korupsi, penipuan, dan perampokan dengan menghukum
berat para pelakunya.
5) Memelihara akal (h}ifz} al-‘aql)
Akal
dalam
pandangan
Ibnu
Bajjah
memiliki
kedudukan yang sangat mendasar. Menurut beliau, akal
merupakan satu-satunya yang memungkinkan manusia
mengetahui segala sesuatu yang benar, mutlak, kebahagiaan,
dan nilai-nilai akhlak.13 Pada hakikatnya Allah menjadikan
manusia sebagai makhluk yang paling baik di antara
makhluk Allah yang lain. Keistimewaan tersebut disebabkan
karena manusia dikaruniai akal agar dipergunakan sebaikbaiknya. Akal sangat penting perannya dalam dunia ini, oleh
sebab itu Allah SWT mensyariatkan peraturan untuk
manusia guna memelihara akal yang sangat penting itu.
13
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), 137.
23
Pemeliharaan akal sangat dipentingkan oleh hukum
Islam karena dengan mempergunakan akalnya manusia dapat
berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri,
dengan
mempergunakan
akalnya
manusia
dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa
akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan
pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan akal
menjadi salah satu tujuan hukum Islam. Penggunaan akal
harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat
bagi kepentingan hidup manusia, dan tidak untuk hal-hal
yang merugikan manusia.
Untuk melndungi akal manusia dari kerusakan mental
dan keterbelakangan kepribadian, Islam mengharamkan
meminum minuman keras (khamar) dan bentuk lainnya,
seperti
obat-obatan
terlarang
(narkoba).
Islam
akan
menghukum orang-orang yang menjual, meminum dan
mengedarkan minuman keras dan obat-obatan terlarang,
serta menghukum setiap perbuatan yang dapat merusak akal
manusia. Perlindungan terhadap akal ini agar manusia
terhindar dari kerusakan akal yang dapat berpengaruh
terhadap mentalitas dan psikologisnya.
Tidak terpeliharanya kelima hal pokok tersebut dalam
tingkat d}aru>riyah akan berakibat fatal, akan terjadi kehancuran,
24
kerusakan, dan kebinasaan dalam hidup manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Kebutuhan d}aru>riyah ini menempati peringkat
tertinggi dan paling utama dibanding dua maslahat lainnya, masingmasing adalah ha>jiyah dan tahsi>niyah.
Tujuan jumhur ulama melakukan pembagian al-mas}lahah ke
dalam tiga tingkatan tersebut adalah untuk menetapkan skala
prioritas dalam menentukan pilihan terhadap berbagai kemaslahatan
sebagai dasar menetapkan hukum. Dalam hal ini penetapan hukum
yang
didasarkan
atas
kemaslahatan
dipersyaratkan
tidak
mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap al-mas}lahah yang
lebih tinggi tingkatannya, serta tidak pula bertentangan dengan
kemaslahatan yang secara khusus ada dasar hukumnya.
b. Kebutuhan sekunder (ha>jiyah)
Kebutuhan
sekunder
(ha>jiyah)
adalah
sesuatu
yang
diperlukan manusia dalam hidupnya untuk mengurangi kesulitankesulitan. Jika sesuatu itu tidak ada, maka tidak akan menimbulkan
kerusakan dan kematian, hanya saja akan menimbulkan mashaqqah
(kesulitan) dan kesempitan.
c. Kebutuhan tersier (tahsi>niyah)
Kebutuhan tersier (tahsi>niyah) adalah kebutuhan pelengkap,
yaitu sesuatu yang dituntut oleh norma dan tatanan hidup manusia
dalam pergaulannya. Jika sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan
menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan
25
menimbulkan mashaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja
dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tata krama dan
kesopanan.
Kebutuhan pelengkap itu tidak diperhatikan jika perhatian
kepadanya dapat merusak kebutuhan sekunder, dan kebutuhan pelengkap
serta sekunder tidak diperhatikan jika perhatian kepada salah satu dari
keduanya dapat merusak kebutuhan primer.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan
tahsi>niyah merupakan kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat
hidup sesorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah SWT dalam batas
kewajaran dan kepatutan. Apabila kebutuhan tingkat ketiga ini tidak
terpenuhi, maka tidak menimbulkan kemusnahan hidup manusia
sebagaimana tidak terpenuhinya kebutuhan d}aru>riyah (pokok) dan tidak
akan membuat hidup manusia menjadi sulit sebagaimana tidak
terpenuhinya kebutuhan ha>jiyah (sekunder), akan tetapi kehidupan
manusia dipandang tidak layak menurut ukuran akal dan fitrah manusia.
Pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi
kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan hidup manusia
di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, apabila hukum positif yang tidak
berasaskan al-Quran dan Hadis dapat dibandingkan bahwa hukum Islam
memiliki tujuan hukum yang lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak
26
terbatas pada materi yang bersifat sementara.14 Sebab faktor-faktor
individu,
masyarakat,
dan
kemanusiaan
pada
umumnya
selalu
diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain dan dengan hukum Islam
dimaksudkan agar kebaikan untuk kehidupan manusia terwujud.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum
Islam berdasarkan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul ialah untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak dengan cara
mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mud}a>ra>t,
yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain,
tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani
maupun jasmani, individual dan sosial.
2. Qas}du al-Sha>r’i fi> Wad}’i al-Shari>’ah li al-Afha>m (maksud sha>ri’ dalam
menetapkan shari>’ah ini adalah agar dapat dipahami)
Prinsip maqas}id al-shariah yang kedua ialah hukum yang ditujukan
agar pembuatan hukum dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Quran
diturunkan dalam bahasa Arab agar dapat dipahami. Oleh sebab itu, untuk
memahami hukum Islam perlu memahami bahasa Arab secara mendalam.
Kaidah-kaidah yang dipakai untuk memahami hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Quran (al-qawa>id al-lughawiyah). Disamping
mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari>’ah juga dibutuhkan
ilmu-ilmu lain yang ada kaitannya dengan lisan Arab, seperti us}ul fiqh,
14
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 13.
27
mantiq, ilmu ma’ani, dan lainnya. Oleh sebab itu, salah satu syarat pokok
untuk menjadi mujtahid harus memahami bahasa Arab dan us}ul fiqh.
Tujuan menetapkan hukum agar bisa dipahami erat kaitannya
dengan pembahasan masalah takli>f. Suatu perintah yang merupakan takli>f
(kewajiban)
mengandung
tuntutan
untuk
dipahami
oleh
semua
subyeknya, tidak hanya kata-kata dan kalimatnya saja, tetapi juga dalam
makna kebahasaan dan budaya pemahaman yang berhubungan dengan al-
dala>lah al-as}liyah (arti kata dasar) dan al-dala>lah al-‘ummiyyah (arti yang
dipahami masyarakat).15 Shari>’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan
dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal pada konsep mas}lahah.
3. Qas}du al-Sha>ri’ fi> Wad}’i al-Shari>’ah li al-Takli>fi bi Muqtad}ah> a> (maksud
sha>ri’ dalam menetapkan shari>’ah adalah agar dilaksanakan sesuai dengan
tuntutan-Nya)
Maksud sha>ri’ dalam menetapkan shari>’ah agar dilaksanakan sesuai
dengan tuntutan-Nya ialah yang menyangkut gagasan taklif dalam
kaitannya dengan qudrah (kemampuan) dan mashaqqah (kesulitan).
Taklif yang didalamnya terdapat qudrah, maksudnya bahwa umat
manusia tidak dibebani perbuatan di luar kemampuannya. Oleh karena itu
mereka tidak diperintah untuk mengerjakan perbuatan yang tidak
mungkin dapat terjadi, baik menurut akal, seperti mempertemukan dua
hal yang saling bertentangan,
atau menurut adat kebiasaan, seperti
senang, benci, marah dan sebagainya yang termasuk perbuatan yang
15
M. Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat,… 100-101.
28
didasarkan pada perasaan (emosi). Apabila dalam teks shari>’` ada redaksi
yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus
dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya,
firman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan
muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah
kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini
adalah larangan untuk memisahkan antara keIslaman dengan kehidupan di
dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui
seorangpun. Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah”
tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang
tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sebisa
mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang
mengakibatkan marah.
Taklif yang didalamnya terdapat mashaqqah (kesulitan) (al-taklif
bima> fi>hi mashaqqah), maksudnya ialah dengan adanya takli>f, shari>’ tidak
menimbulkan mashaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi
sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf. Ciri-ciri dari
prinsip-prinsip khusus membuang kesulitan, yaitu:16
a. Kesulitan itu membawa kemudahan, yaitu seluruh rukhs}ah yang
disyariatkan Allah kepada mukallaf itu karena ada salah satu sebab
yang dikehendaki oleh keringanan ini.
b. Sulit shari>’ah untuk menghindarinya.
16
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, terj: Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1993), 265-267.
29
c. Pada waktu darurat diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang.
Mashaqqah yang dimaksud dalam hal ini adalah mashaqqah g}air
mu’tadah atau g}air adiyyah (mashaqqah yang tidak lazim dan tidak dapat
digunakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan
kesempitan). Untuk mengatasi mashaqqah ini, Islam memberikan jalan
keluar berupa rukhs}ah (keringanan). Apabila dalam taklif ini terdapat
mashaqqah selain itu, maka sesungguhnya hal itu adalah kulfah (sesuatu
yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana
dalam perspektif adat). Misalnya sesorang yang bekerja siang dan malam
untuk mencari nafkah kehidupan tidak dipandang sebagai mashaqqah,
tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah.
4. Qasd}u al-Sha>r’i fi> Dukhu>li al-Mukallafi tahta Hukmi al-Shari>’ah (maksud
sha>ri’ dalam memasukkan mukallaf di bawah naungan shari>’ah)
Maksud sha>ri’ dalam memasukkan mukallaf di bawah naungan
shari>’ah ialah agar mengendalikan mukallaf dalam melaksanakan suatu
perbuatan tidak berdasarkan pada hawa nafsunya, sebab hal ini dapat
menimbulkan seseorang menyia-nyiakan agama dan mengerjakan
larangan-Nya. Apabila telah dibiasakan yang demikian, maka akan
terbiasa melanggar hukum agama.
Mengikuti hawa nafsu adalah jalan menuju perbuatan yang dicela
oleh sha>ri’, sekalipun perbuatan itu eksistensinya mengandung perbuatan
yang terpuji, misalnya sesorang yang beramal dengan jalan riya>’.17
17
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 236-237.
30
C. Hikmah Maqa>s}id Al-Shari>ah
Hikmah adalah pengetahuan mengenai hakikat tentang sesuatu dan
dan mengenai hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut, yaitu
mengenai fa>idah dan manfaatnya. Pengetahuan tentang hikmah tersebut
dapat mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang baik dan
benar.
Secara umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah Swt
adalah untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kebahagiaan manusia seluruhnya baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 201-202:
ِ
ِ
ِ ْ ِِوِمْ هم من ي ُقو ُل رب َا آتَِا ِِ الدنْيا حسَ ًة و
ك َُْم
َ أُولَئ.اب ال ا ِر
َ اااْخَرِة َح َسَ ًة َوقَا َع َذ
َ ََ َ
َ ْ َ ْ َ ُْ َ
ِ
ِ صْيب ِِا َكسبوا وَ س ِريْع ا ِْْس
.اب
ٌ َن
َ ُ َ ُ َ َُ
Artinya
:“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa:”Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka itulah orang-orang
yang mendapat bahagiaan daripada yang mereka usahakan, dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya”
Ulama us}ul menegaskan bahwa setiap apa yang diperintahkan oleh
sha>ri’ tidak semata-mata disyariatkan kecuali adanya mas}lahah yang sudah
dapat dipastikan terkandung di dalamnya. Kemaslahatan tersebut memiliki
tingkatan sesuai dengan kadar perintahnya. Sebaliknya, setiap apa yang
diharamkan oleh sha>ri’, tidak semata-mata dilarang kecuali untuk
menghilangkan kerugian (mafsadah).
31
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa yang disebut al-mas}lahah dalam
pengertian shar’i ialah meraih manfaat dan menolak kemudaratan dalam
rangka memelihara tujuan sha>ri’, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Dengan kata lain, upaya meraih manfaat atau menolak
kemudaratan yang semata-mata demi kepentingan duniawi manusia, tanpa
mempertimbangkan
kesesuaiannya
dengan
tujuan
sha>ri’,
apalagi
bertentangan dengannya, tidak dapat disebut dengan al-mas}lahah tetapi
sebaliknya, merupakan mafsadah (kerugian).
Abu Ishaq al-Syatibi dalam rangka menemukan jawaban mengenai
persoalan hikmah ini dengan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang ternyata
hampir semua hukum-hukum tersebut mempunyai alasan dan tujuan yang
ditunjukkan dengan ‘illat dan motif pemberlakuan shari>’ah. Bagi al-Syatibi
tidak menjadi persoalan apakah di dalam nas} Al-Qur’an Allah memberikan
penjelasan secara terperinci (tafsil) atau tidak, namun dengan pernyataam
bahwa Allah menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna,
menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah mencakup dasar-dasar kepercayaan dan
amalan agama dengan berbagai aspek. Oleh karena itu, tidak satu pun ajaran
agama
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PEDOPHILIA
SKRIPSI
Oleh:
Nursiyanti
NIM. C53212073
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Siyasah Jinayah
Surabaya
2016
TINJAUAN MAQA>S}ID AL-SHARI>’AH TERHADAP TAMBAHAN
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PEDOPHILIA
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh
Nursiyanti
NIM. C53212073
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Siyasah Jinayah
Surabaya
2016
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian literatur tentang “Tinjauan Maqa>s}id alShariah Terhadap Tambahan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pedophilia”, yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana tambahan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia dan bagaimana tinjauan
maqa>s}id al sha>ri’ah terhadap tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia.
Data penelitian ini dihimpun dengan pembacaan teks (text reading) yang
ada dalam buku dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik
verifikatif dan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tambahan hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia merupakan tambahan hukuman berupa tindakan
bedah dengan cara membuang testis sebagai penghasil hormone testosteron, atau
dengan suntik kimia, yaitu dengan menyuntikkan hormone antiandrogen seperti
cyproterone acetate (CPA), medroxyprogesterone acetate (MPA), leuprolide dan
triptoreline yang berfungsi untuk melemahkan hormon testosterone, yang
diberikan kepada pelaku atas kejahatan yang dilakukan terhadap anak akibat
kelainan perkembangan seksual pelaku yang abnormal.
Maqa>sid al-shari>’ah memandang bahwa tambahan hukuman kebiri baik
yang melalui metode bedah ataupun suntik kimia bagi pelaku tindak pidana
pedophilia termasuk tindak pidana yang mengancam terpeliharanya akal (hifz} al‘aql). Tujuan hukuman tersebut sudah relevan dengan tujuan hukum Islam, yaitu
untuk melindungi masyarakat dari rasa takut akan ancaman kejahatan tersebut.
Sebagai hukuman yang diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku sehingga
tercapai kebaikan bagi umat dengan tidak mengulangi lagi perbuatannya, serta
berfungsi preventif terhadap kemungkinan
terjadinya pengulangan jenis
kejahatan yang sama, dan represif dalam mendidik pelaku agar ia menjadi orang
yang baik dan menyadari kesalahan.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, kepada para pemegang otoritas agar
memberlakukan tambahan hukuman bagi pelaku tindak pidana pedophilia di
Indonesia demi terciptanya rasa aman dan tentram masyarakat dari ancaman
kejahatan pedophilia ini, khususnya untuk melindungi anak sebagai generasi
penerus bangsa.
vii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .......................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
PENGESAHAN ............................................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TRANSLITERASI ......................................................................... xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...................................... 8
C. Rumusan Masalah .............................................................. 9
D. Kajian Pustaka ................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian ............................................................... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................. 11
G. Definisi Operasional .......................................................... 12
H. Metode Penelitian .............................................................. 13
I. Sistematika Pembahasan ................................................... 14
BAB II
KONSEP MAQA>S}ID AL-SHARI>’AH TENTANG HUKUMAN
KEBIRI
A. Pengertian Maqa>s}id Al-Shari>’ah ....................................... 16
x
B. Pinsip-prinsip Maq>s}id Al-Shari>’ah .................................... 18
C. Hikmah Maqa>s}id Al-Shari>’ah ............................................ 30
BAB III
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
PEDOPHILIA
A. Pengertian Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pedophilia........................................................................... 36
B. Macam-macam Teknik Hukuman Kebiri .......................... 42
C. Penerapan Hukuman Kebiri ............................................... 46
BAB IV
MAQA>S}ID
AL-SHARI>’AH
TERHADAP
TINJAUAN
TAMBAHAN HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU TINDAK
PIDANA PEDOPHILIA
A. Analisis Tambahan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak
Pidana Pedophilia............................................................... 51
B. Tinjauan Maqa>s}id Al-Shari>’ah Terhadap Tambahan Hukuman
Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Pedophilia .................. 55
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan ........................................................................ 59
B. Saran-saran ......................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan merupakan perbuatan melanggar hukum, istilah kejahatan ini
dalam bahasa Belanda dikenal dengan “rechtdelicten”, yaitu perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan keadilan, baik perbuatan itu diancam
pidana atau tidak.1 Dewasa ini kejahatan sering terjadi dimana-mana, mulai
dari kejahatan yang bersifat ringan seperti penghinaan hingga kejahatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang seperti pembunuhan. Pelaku
tindak pidana (dader/doer) tidak hanya orang yang berpenampilan preman
saja, bahkan pejabat-pejabat negara dan aparat penegak hukum pun juga
sering diberitakan di berbagai media terkait kasus yang melawan hukum,
seperti melakukan tindak pidana korupsi.
Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula kejahatan di
Indonesia. Tragisnya, yang sering menjadi korban kejahatan bukan hanya
orang dewasa saja, bahkan anak yang masih di bawah umur menjadi sasaran
kejahatan pula. Mulai dari kasus penganiayaan, pelecehan seksual,
pemerkosaan, bahkan kekerasan seksual yang mengakibatkan kematian.
Salah satu contoh kasus tragis yang dialami seorang anak ialah kasus
pembunuhan Angeline yang jasadnya ditemukan pihak kepolisian pada
tanggal 10 Juni 2015 di pekarangan rumah Margareth. Angeline ditemukan
1
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 101.
1
2
terkubur pada kedalaman setengah meter, dengan pakaian lengkap dan tangan
memeluk boneka. Tubuhnya dililit seprei dan tali.
Kekerasan seksual terhadap anak cenderung dilakukan oleh seorang
pedophilie. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang pedophilie disebut dengan
pedophilia. Pedophilia adalah kelainan perkembangan psikoseksual dimana
individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak.2 Pelaku
pedophilia ini menjadikan anak-anak polos sebagai sasaran utamanya dengan
bujukan rayuan berupa pemberian hadiah, uang dan sebagainya. Setelah
terpenuhi hasrat seksualnya dia akan melakukan kekerasan dan mengancam
anak tersebut untuk tidak memberitahu kepada siapapun termasuk kepada
orang tua anak tersebut.
Kasus kejahatan seksual terbaru yang dilakukan seorang pedophilie
adalah kasus kematian Putri Nur Fauziyah yang sebelumnya mengalami
kekerasan seksual, jasadnya ditemukan pada tanggal 02 Oktober 2015 dalam
keadaan telungkup dalam kardus dengan mulut tersumpal kaos kaki dan
telanjang, mulut dan hidungnya berdarah, posisi badannya meringkuk dengan
kedua kaki menjepit kedua tangan dan kepalanya terpelengkuk ke bawah.
Untuk melindungi anak-anak dari kejahatan pedophilie, presiden
Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono pada masa jabatannya
mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2014 Tentang Gerakan Nasional Anti
Kejahatan
Seksual
penyimpangan
2
Terhadap
seksual
yang
Anak.
Ancaman
menjadikan
pidana
anak-anak
bagi
pelaku
sebagai
objek
Sawitri Supardi, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Bandung: PT Refika
Aditama, 2005), 71.
3
pelampiasan nafsu seksualnya diatur dalam Pasal 82 Undang-undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
sedikit 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 300 (tiga ratus) juta rupiah
dan paling sedikit 60 (enam puluh) juta rupiah”
Tersedianya ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 82 Undangundang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ternyata tidak
mampu menekan pelaku pedophilia tersebut. Hal ini terbukti dengan semakin
meningkatnya angka kejahatan yang dilakukan kaum pedophilie. Dalam
kurun waktu tiga tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 21.689.797
kasus, ironisnya dari angka tersebut 58 persen merupakan kejahatan seksual
yang mengakibatkan korbannya mengalami trauma yang berkepanjangan.3
Berdasarkan realita tersebut, masyarakat merasa ketakutan dan khawatir
terhadap anak-anak mereka sehingga muncul inisiatif masyarakat untuk
diterapkan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia sebagaimana
diterapkan di negara lain, seperti California, Korea Selatan, Georgia,
Montana, Oregon, Wisconsin, Florida, Iowa, Luosiana, dan Texas.
Ketentuan tentang hukuman kebiri tidak diatur dalam KUHP, Pasal 10
KUHP menyatakan4:
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati,
3
Anonim, “Indonesia Darurat Kejahatan Kekerasan Anak”, dalam http://www.beritametro.co.id/nasional.hml diakses pada 26 Oktober 2015.
4
Moelijatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta:BumiAksara,2008), 5-6.
4
2. Pidana penjara,
3. Kurungan,
4. Denda.
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.
Kebiri atau yang biasa disebut kastrasi merupakan sebuah teknik
mengamputasi jaringan genetik yang dilakukan pada testis seorang
pria.5Testis merupakan organ reproduksi pria yang berperan menghasilkan
sperma dan membuat testosteron.6Di sejumlah negara teknik hukuman kebiri
ini beragam, ada yang dengan cara tradisonal, yakni pembedahan untuk
membuang testis (buah dhakar), dikenal sebagai kebiri fisik, atau
menyuntikkan zat kimia tertentu, disebut suntik kebiri atau kebiri kimiawi.7
Usulan masyarakat, termasuk Menteri Sosial, Menteri Kesehatan,
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Gubernur Jakarta dan Gubernur Jawa
Barat, tentang hukuman kebiri tersebut kemudian disetujui oleh Jokowi,
Presiden Republik Indonesia, bahkan pemerintah berencana akan melegalkan
bentuk hukuman tersebut sebagai hukuman tambahan bagi pelaku tindak
pidana pedophilia.8
Hukuman kebiri telah diterapkan di beberapa negara, sehingga teori
tentang hukuman tersebut dapat ditemukan di berbagai media, seperti buku,
internet, Koran, dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya
5
Travis Nygard dan Alec Sonsteby, In The Cultural Encyclopedia of The Body, Westport:
Greenwood Press, 2008), 502.
6
Ayu Febri Wulanda, Biologi Reproduksi, (Jakarta: Salemba Media, 2011), 9.
7
M. Zaid Wahyudi, “Suntik Kebiri untuk Mematikan Dorongan Seksual, dalam
http://health.kompas.com/read/2014/05/19/1659515.html diakses pada 26 Oktober 2015
8
Jawa Pos, (22 Oktober 2015), 15.
5
David L. Rowland dan Luca Incrooci yang berjudul “Handbook of Sexual and
Gender Identity Disorders” yang menjelaskan tentang berbagai macam
kelainan sexual yang diantaranya adalah pedophilia, hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia, serta penerapan hukuman kebiri tersebut.
Dalam Islam, tidak ada pembahasan tindak pidana pedophilia secara
khusus. Namun jika dilihat dari unsur deliknya, tindak pidana Pedophilia
dapat dikategorikan dalam jarimah zina. Zina merupakan setiap perbuatan
seksual yang dilakukan bukan terhadap wanita miliknya (istri atau hamba
sahayanya).9
Sebagaimana dalam Firman Allah:
ِ
ِ
ِ ِِ ِ
َِ
ِ
َِ
فَ َم ِن.ي
ْ لى اَْزَواج ِه ْم اَْو َما َملَ َك
َْ َه ْم َغْي ُر َملُ ْوم
ُ ت اََْْانُ ُه ْم فَان
َ اْ َع.َوالذيْ َن ُ ْم ل ُف ْروجه ْم حفظُْو َن
ِ
ِ
)7-5(اد ْو َن
َ ك فَأُولَئ
َ ابْتَ غَى َوَرآءَ َذال
ُ الع
َ ك ُ ُم
Artinya
:”Dan mereka yang, menyangkut kemaluan mereka, adalah
pemelihara-pemelihara. Kecuali terhadap pasangan-pasangan
mereka atau hamba sahaya wanita yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka (dalam hal pemenuhan kebutuhan
biologis) tidaklah dicela (selama ketentuan yang ditetapkan
agama tidak mereka langgar). Tetapi barang siapa mencari
(pelampiasan hawa nafsu) di balik itu, maka mereka itulah
pelampau batas.”(Surat Al-Mu’minu>n: 5-7)10
Hukuman Hadd dalam hukum pidana Islam bagi pezina ada tiga macam,
yaitu rajam, dera dan pengasingan.11Sebagai salah satu perbuatan yang
melanggar hukum perbuatan penyimpangan seksual yang di dalam hukum
9
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), 35-36.
10
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, (Tangerang: Lentera Hati, 2010), 342.
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj: Imam Ghozali dan A.Zaidun, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1995), 236.
6
pidana Islam dikategorikan pada jari>mah zina dan wajib dicambuk 100 kali
dan diasingkan selama satu tahun bagi zina gairu mukhsa}n> (jejaka dengan
perawan), dan bagi zina mukhs}a>n (orang yang telah menikah) dengan
dicambuk 100 kali dan dirajam dengan batu.12
Sebagaimana Firman Allah:
ِ وَْ ََْخ ْذ ُكم ِِِما رأْفَةٌ ِِ ِدي ِن,اَلَزانِيةُ والَزِِ فَاجلِ ُدوا ُك َل واَ ِح ٍد ِمنْ هما ِمائَ َة جلْ َد ٍة
ه اِ ْن ُكنْ تُ ْم
ْ ْ َ َ ْ ُ َ
َ
ْ ْ ْ َ َ
َُ
ِِ
ِ ِ
ِ ِ ِ
ِ
)2(.ي
َْ َولْيَ ْش َه ْد َع َذابَ ُه َماطَآئ َفةٌ م َن الْ ُم ْؤمن,تُ ْؤمنُ ْو َن ِِه َوالْيَ ْوم ْاْخ ِر
Artinya: “Perempuan pezina (yang masih perawan) dan laki-laki pezina (yang
masih perjaka), maka cambuklah setiap orang dari keduanya
seratus kali cambukan, dan janganlah kamu dicegah oleh belas
kasih kepada keduanya dalam (menjatuhkan ketetapan) agama
Allah; jika kamu beiman kepada Allah dan hari akhirat (pasti kamu
melaksanakan perintah ini). Dan hendaklah hukuman mereka
berdua disaksikan oleh sekumpulan orang-orang mukmin.”(Surat
An-Nu>r: 2)13
Secara tidak langsung, tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam
adalah untuk pembalasan dan sebagai siksaan dari Allah. Sebagaimana
Firman Allah:
ِ وال َسا ِر ُق وال َسا ِرقَةُ فَ ْقطَعوآ اَي ِدي هما جزآء ِِا َكسبا نَ َكاًْ ِمن
)83(. َوهُ َع ِزيٌْز َح ِكْي ٌم,ه
ََ َ ً ََ َ ُ َ ْ ُْ
َ
َ
َ
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(Surat Al-Ma>’idah: 38)14
12
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam …, 42-43.
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya …, 350.
14
Ibid, 114.
13
7
Dalam hukum pidana Islam, tujuan pemidanaan adalah15:
a. Pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. jangka panjang dari
aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas
(social defence).
b. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif (general
prevention), artinya pemidanaan dapat memberikan pelajaran bagi
orang lain untuk tidak melakukan kejahatan yang sama.
c. Pemidanaan
dimaksudkan
sebagai
pencegahan
khusus
(specialprevention), artinya setelah seseorang menjalankan sanksi
pidana ia akan bertaubat dan tidak akan mengulangi kejahatannya
lagi.
Dalam maqa>si} d al-shari>’ah
tujuan hukum Islam tidak hanya
sebagaimana tiga hal yang disebutkan di atas, akan tetapi bertujuan untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, yang meliputi
tujuan memelihara agama (h}ifz} al-di>n), memelihara jiwa (h}ifz} al-nafs),
memelihara akal (h}ifz} al-‘aql), memelihara keturunan (h}ifz} al-nasl) dan
memelihara harta (h}ifz} al-ma>l).16
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengkaji tinjauan maqa>s}id al-
shari>’ah terhadap tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia. Karena tambahan hukuman kebiri ini merupakan hal yang
15
Makhrus Munajat, Dekonstruksi hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004),
55-56.
16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2005), 61.
8
menarik untuk diteliti mengingat hukuman ini telah menjadi wacana di
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga penulis
merasa penting untuk melakukan penelitian menurut teori hukum Islam sebab
dalam menetapkan sebuah hukum harus memiliki tujuan yang relevan dengan
teori yang ada.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka masalah yang muncul dapat
diidentifikasi dan dibatasi sebagai berikut:
1. Banyaknya kejahatan terhadap anak di bawah umur.
2. Ancaman pidana terhadap pelaku pedophilia adalah minimal tiga tahun
penjara dan maksimal lima belas tahun penjara (Pasal 82 Undang-undang
No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).
3. Meningkatnya kasus kejahatan pedophilia.
4. Adanya keinginan masyarakat di luar undang-undang tentang tambahan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
5. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pedophilia dikategorikan
sebagai jari>mah zina.
6. Hukuman dalam pidana Islam bagi pelaku jari>mah zina adalah rajam,
dera, dan pengasingan.
7. Tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan,
pencegahan, dan pemberian efek jera.
9
8. Dalam maqa>s}id al-shari>ah, tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia?
2. Bagaimana tinjauan maqa>s}id al-shari>ah terhadap tambahan hukuman
kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini pada intinya untuk mendapatkan gambaran dari
hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya, sehingga tidak terjadi duplikasi dari penelitian sebelumnya.
Masalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pedophilia sudah pernah di
bahas pada penelitian sebelumnya, di antaranya:
Skripsi yang disusun oleh Choiriyah, mahasiswa Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Sanksi Tindak Pidana
Pedophilia dalam Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Perspektif Maqasi}>d Al-Syari’>ah”membahas Bagaimana
sanksi tindak pidana pedophilia dalam pasal 82 undang-undang No. 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak dan Bagaimanakah tinjauan Maqa>s}id Al-
10
Shari>’ah terhadap sanksi tindak pidana pedophilia dalam Pasal 82 Undangundang no. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa sanksi tindak pidana pedophilia dalam Pasal 82
Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah
maksimal lima belas (15) tahun penjara dan denda paling banyak 300 (tiga
ratus) juta rupiah. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana pedophilia
terdapat dua kategori apabila perbuatan tersebut terdapat unsur-unsur zina
tentu adanya persetubuhan maka sanksinya adalah had, dan apabila dalam
tindakannya tidak terdapat unsur-unsur zina yakni hanya mendekati
perbuatan zina maka hukumannya adalah ta’zir. Yang mana hukum tersebut
sudah relevan dengan tujuan hukum yaitu tercapainya kemaslahatan umat
(menurut maqa>s}id al- shari>’ah), sebagai hukuman yang dapat memberikan
akibat jera kepada pelaku, sehingga mewujudkan kebaikan bagi masyarakat
secara menyeluruh serta berfungsi preventif terhadap kemungkinan terjadinya
pengulangan jenis kejahatan yang sama, dan represif mendidik pelaku agar
menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan.
Skripsi selanjutnya yang disusun Moh Syafroni, Mahasiswa Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Tindak Pidana Pedofilia”. Membahas tentang perlindungan hukum
bagi pelaku tindak pidana pedophilia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
Islam memandang pidana pedophilia sebagai kejahatan yang sangat berat
karena akan merusak generasi penerus (h}ifz} al-nasl) dan kondisi kejiwaan
(h}ifz} al-nafs).
11
Dari kajian pustaka di atas yang membedakan dengan skripsi ini adalah
adanya tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia, yang
merupakan usulan dari masyarakat akibat rasa takut dan khawatir karena
angka kejahatan tersebut semakin meningkat, sedangkan di Indonesia tidak
tersedia undang-undang yang mengatur tentang hukuman tersebut.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini, meliputi hal-hal
berikut:
1. Mengetahui tambahan hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana
pedophilia.
2. Mengetahui tinjauan maqas}i>d al-syari>’ah terhadap tambahan hukuman
kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dapat diharapkan mempunyai nilai
kegunaan baik dari segi teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1. Aspek teoritis: dapat menambah wawasan intelektual terutama dalam
bidang hukum, khususnya di bidang hukum Islam.
2. Aspek praktis: dapat dijadikan pedoman bagi para sarjana hukum dan
penegak hukum dalam menetapkan tambahan hukuman kebiri bagi pelaku
tindak pidana pedophilia.
12
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas dan menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam
menafsirkan kata-kata yang ada dalam pembahasan penulisan skripsi ini,
maka penulis memandang perlu untuk memberikan penjelasan dalam
memahami judul “Tinjauan Maqas}id Al-Shari>’ah Terhadap Tambahan
Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Pedophilia”. Adapun yang
dimaksud dengan:
1. Maqas}i>d Al-Shari>’ah adalah tujuan hukum yang bersifat primer
(d}aru>riyyah), yaitu tujuan hukum yang harus ada, yang ketiadaannya
dapat menghancurkan kehidupan secara total. Dalam hal ini ada lima
kepentingan yang harus dilindungi, meliputi h}ifz} al-di>n (memelihara
agama), h}ifz} al-nafs (memelihara jiwa), h}ifz} al-‘aql (memelihara akal),
h}ifz} al-ma>l (memelihara harta), h}ifz} al-nasl (memelihara keturunan).
2. Tambahan hukuman kebiri
sebagaimana
dijelaskan dalam
buku
“Handbook Sexual and Gender Identity Disorders” adalah tambahan
pengenaan penderitaan terhadap pelaku kejahatan seksual anak berupa
tindakan baik dengan cara bedah, yaitu dengan membuang testis, maupun
kimiawi, yaitu dengan menyuntikkan senyawa kimia tertentu untuk
mematikan atau melemahkan hormon testosterone.
13
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam
pengumpulan data dan analisis data yang diperlukan guna menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi.
1. Data yang Dikumpulkan
a. Data mengenai hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
b. Ketentuan-ketentuan maqa>s}id al-shari>’ah tentang hukuman kebiri bagi
pelaku tindak tindak pidana pedophilia.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-buku
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian, seperti “Handbook
Sexual and Gender Identity Disorders”, karya David L. Rowland dan
Luca Incrocci.
b. Sumber data skunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari jurnal
ilmiah, seperti “Chemical Castration for Child Predators: Practical,
Effective, and Constitutional” karya Elizabeth M. Tullio, dan skripsi
yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan, seperti “Chemical
Castration: How a Medical Therapy Became Punishment and the
Bioethical Imperative to Return to a Rehabilitative Model for Sex
Offenders” karya Samantha Vaillancourt.
c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan yang menunjang dengan
pembahasan skripsi, misalnya media cetak dan internet.
14
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan ialah: literature,
yaitu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan membaca
dan mencatat pada buku-buku yang berkaitan dengan hukuman kebiri
bagi pelaku tindak pidana pedophilia.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik deskriptif analisis, dalam arti menguraikan tentang
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia. Kemudian
dilakukan analisa menurut tinjauan maqa>s}id al-shari>’ah.
Metode analisis yang dipakai adalah metode deduktif, yaitu
mempelajari bahan pustaka dan dokumen yang berkaitan dengan
hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedophilia, kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus dari hasil penelitian yang dilakukan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penulisan
skripsi ini, dan agar dapat dipahami pemasalahannya secara sistematis, maka
pembahasannya
disusun
dalam
bab-bab
yang
masing-masing
bab
mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis.
Bab pertama menjelaskan tentang gambaran bagaimana dan untuk apa
skripsi ini disusun. Oleh karena itu dalam langkah awal ini dipaparkan
tentang; latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan
15
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menjelaskan tentang Maqa>s}id Al-Shari>’ah, berisi tentang
pengertian Maqa>s}id Al-Shari>’ah, prinsip-prinsip dasar dalamMaqa>s}id Al-
Shari>’ah, dan hikmah dibalik adanya Maqa>si}d Al- Shari>’ah.
Bab ketiga menjelaskan tentang tambahan hukuman kebiri bagi pelaku
tindak pidana pedophilia, berisi tentang pengertian hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia, macam-macam teknik hukuman kebiri, dan
penerapan hukuman kebiri.
Bab keempat berisi tentang analisis tambahan hukuman kebiri bagi
pelaku tindak pidana pedophilia menurut tinjauan Maqa>s}id Al-Shari>’ah.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan sebagai
jawaban terhadap permasalahan, kemudian dilengkapi dengan saran-saran.
BAB II
KONSEP MAQA>S}ID AL-SHARI>AH TENTANG
HUKUMAN KEBIRI
A. Pengertian Maqa>s}id Al-Shari>ah
Maqa>si} d al-shari>’ah merupakan salah satu bentuk kajian us}ul fiqh yang
secara bahasa merupakan bentuk id}a>fah dari kata maqa>s}id dan al-shari>’ah.
Kata maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari maqs}ud yang memiliki arti
kesenjangan atau tujuan.1 Sedangkan shari>’ah memiliki arti jalan menuju
sumber air, jalan menuju sumber air dapat diartikan pula sebagai jalan
menuju sumber kehidupan. Sedangkan secara istilah, maqa>s}id al-shari>’ah
merupakan tujuan-tujuan hukum Islam yang terkandung dalam setiap
aturannya.2
Teori tentang maqa>si} d al-shari>’ah telah diungkapkan oleh beberapa
ulama abad ke-V dan ke-VIII Hijriyah sebagaimana tertera dalam bukunya
Jasser Auda, di antaranya3:
1. Abu al-Ma>li al-Juwaini (478 H/1085 M), beliau berpendapat
bahwasanya ada lima tingkatan maqa>s}id, yaitu d}ar> u>rah (keniscayaan),
al-hajjah al-‘ammah (kebutuhan publik), al-makru>mah (perilaku moral),
al-manduba>t (anjuran-anjuran), dan apa yang tidak tercantum dalam
nash.
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (t.tp.: Amzah, 2005), 196.
Abdurrahman Misno Pramono, “Maqashid Asy-Syariah (Tujuan Hukum Islam), dalam
http://majelispenulis.blogspot.co.id.html, diakses pada 13 Desember 2015.
3
Jasser Auda, Maqasid Al-Shariah: an Instroductory Guide, (t.tp.: t.p., 2008), 21-25.
1
2
16
17
2. Abu Hamid al-Ghazali (505 H/1111 M), merupakan murid dari Abu alMa>li al-Juwaini, beliau merumuskan lima pokok tujuan hukum Islam,
yaitu perlindungan (al-h}ifz) terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.
3. Al-Izz Ibn Abdul-Salam (660 H/1209 M), mengemukakan bahwa inti
pembahasan dari maqa>s}id al-shari>’ah adalah konsep maslahat secara
hakiki dalam bentuk menolak mafsadah (kerugian) dan menarik
manfaat.
4. Shihabuddin al-Qarrafi (684 H/1285 M), beliau mendefinisikan bahwa
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw
terdapat maksud atau niat tersendiri, seperti menunjuk para hakim dan
membagi harta rampasan perang.
5. Abu Ishaq al-Shatibi (790 H/1388 M), merupakan pengarang kitab al-
Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah, yang teorinya akan dijelaskan dalam
pembahasan bab ini.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa maqa>s}id al-shari>’ah
adalah kajian yang berkonsentrasi pada tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam yang secara umum tujuan tersebut untuk
kepentingan, kemaslahatan dan kebahagiaan manusia seluruhnya. Tujuan
tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadis-hadis
Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi
kepada kemaslahatan umat manusia. Bagian yang termasuk dalam maqa>s}id
ini
adalah
menjaga
peraturan,
merealisasikan
kebaikan
(mas}a>lih),
18
menghindarkan keburukan (mafa>s}id), dan menegakkan nilai-nilai egaliter
manusia.
Untuk mencapai tujuan Islam sebagaimana yang telah disebutkan dapat
ditempuh melalui tiga cara. Pertama, penyucian jiwa dengan banyak
melakukan ibadah sebagaimana yang telah disyariatkan. Kedua, penegakan
keadilan dengan berpandangan bahwa setiap manusia mempunyai kedudukan
yang sama dalam hukum dan peradilan, serta tidak ada perbedaan stratifikasi
sosial. Ketiga, perwujudan kemaslahatan hakiki dengan lebih mengutamakan
kepentingan umum.4
Abu Ishaq al-Sha>ti} biy merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima tujuan hukum
islam itu di dalam kepustakaan disebut maqa>s}id al-khamsah atau maqa>s}id al-
shari>’ah.5
B. Prinsip-prinsip Maqa>s}id Al-Shari>ah
Pada dasarnya hukum dibuat agar ditaati dan dilaksanakan demi
kepentingan sosial masyarakat. Dalam pelaksanaannya, hukum tidak lepas
dari prinsip-prinsip sebagai pedoman dasar untuk penerapan pemberlakuan
hukum tersebut. Begitu pula dengan maqa>s}id al-sha>ri’ah yang dalam
penerapannya terdapat prinsip dasar yang menjadi acuan untuk mengetahui
tujuan hukum tersebut.
4
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 543-548.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia,.. 61.
5
19
Prinsip maqa>s}id al-shari>ah dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu qas}d
al-shar’i>, yakni tujuan pembuat hukum untuk melembagakan hukum agar bisa
dipahami dan qas}d al-mukallaf, yakni untuk menuntut kewajiban (takli>f)
dalam memasukkan mukallaf (subyek hukum) ke dalam perintah-Nya.6 Abu
Ishaq al-Sha>t}ibiy membagi dua hal tersebut menjadi empat bagian, yaitu:7
1. Qas}du al-shar’i fi> Wad}’i al-Shari>’ah (maksud sha>ri’ dalam menetapkan
shari>’ah)
Tujuan hukum Islam dalam menetapkan hukum adalah tidak lain
untuk menciptakan kemaslahatan dan mengindarkan kemudaratan bagi
manusia. Adanya tujuan hukum Islam ini, hak-hak asasi manusia
diberikan perlindungan agar terhindar dari kejahatan manusia itu sendiri. 8
Hal ini karena manusia perlu dilindungi sebagai makhluk ciptaan yang
tersusun dari jiwa dan raga, mempunyai sifat individu dan sosial, dan
sebagai bagian dari alam.
Perlindungan maqa>s}id al-shari>’ah terhadap maslahat ini dapat
melalui cara yang positif, misalnya demi memelihara eksistensi maslahat,
shari>’at mengambil langkah-langkah untuk menjaga landasan-landasan
maslahat
tersebut,
seperti
mengambil
tindakan-tindakan
untuk
menghapuskan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak
maslahat.9
6
M. Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, (Yogyakarta: Philosophy Press,
2001), 100.
7
Abi Ishaq al-Sa>t}ibiy, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>li al-Shari>’ah, (Beirut: Al-Fikr, 1975), 261.
8
Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, 86.
9
M. Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat,… 101.
20
Tujuan sha>ri’ dalam pembentukan hukumnya yang bertujuan untuk
merealisasikan kemaslahatan manusia yang diaplikasikan dengan upaya
untuk menjamin kebutuhan pokoknya (d}aru>riyah) dan memenuhi
kebutuhan sekunder (ha>jiyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsi>niyah).10
a. Tujuan pokok hukum Islam (d}aru>riyah)
Tujuan pokok (d}aruriyah) ialah tujuan hukum yang mesti ada
demi kehidupan manusia, yang apabila tujuan itu tidak terpenuhi
maka tidak tercapai pula kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Kebutuhan hidup yang primer (d}aru>riyah) ini hanya bisa
dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut
d}aru>riyah al-khamsah atau al-kulliyah al-khamsah atau juga disebut
maqa>s}id al-shari>’ah.11 Manusia dijaga dari kemungkinan buruk,
jahat, keji, dan merusak yang dilakukan oleh sesamanya. Hukum
Islam ditegakkan untuk memberikan rasa aman pada manusia
sehingga menghindarkan manusia dari rasa takut akan ancaman
kejahatan yang dilakukan oleh sesamanya. Ada akal yang tidak
boleh diganggu dan dirusak, yakni manusia diberikan kebebasan
untuk berpikir, berekspresi, dan mengeluarkan opini untuk
melindungi hak-hak asasi manusia dari perilaku jahat.
Kelima tujuan pokok itu menurut al-Shat}ibi adalah
memelihara agama (hifz} al-di>n), memelihara jiwa (hifz} al-nafs),
10
A. Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum
Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006), 46.
11
Juhaya S. Praja, Filsfat Hukum Islam, (Bandung: Universitas Islam Bandung, 1995), 101
21
memelihara keturunan (hifz} al-nasl), memelihara harta (hifz} al-ma>l),
dan memelihara akal (hifz} al-‘aql).12
1) Memelihara agama (hifz} al-di>n)
Merupakan hal yang penting karena pada dasarnya
agama bagi seseorang merupakan hal yang fitrah, dalam
hukum positif dikenal sebagai hak asasi manusia yang harus
mendapat perlindungan dari gangguan atau ancaman dari
pihak manapun.
2) Memelihara jiwa (hifz} al-nafs)
Agar hal ini dapat tercapai, Islam mensyariatkan agar
manusia memelihara hak hidup dan kehidupannya. Manusia
wajib
mempertahankan
hidupnya
ketika
ada
yang
mengancam dan menyerang. Oleh karena itu, Islam
mensyariatkan adanya hukuman qis}a>s}, diya>t dan kaffarat
bagi pelaku tindak pidana.
3) Memelihara keturunan (h}ifz} al-nasl)
Untuk melindungi keturunan manusia, Islam melarang
perbuatan zina dan orang yang menuduhnya karena
keduanya merupakan harga diri yang perlu dilindungi dari
setiap
kepribadian
seseorang,
baik
laki-laki
maupun
perempuan. Perbuatan zina dianggap perbuatan keji karena
dapat merusak keturunan seseorang. Termasuk di dalam
12
Abi Ishaq al-Sa>t}ibiy, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>li al-Shari>’ah,…266.
22
perbuatan zina ini, seks melalui kekerasan, perkosaan, dan
pelecehan seksual. Untuk memelihara keturunan ini, Islam
memberikan sanksi hukuman secara berat.
4) Memelihara harta (hifz} al-ma>l)
Untuk melindungi harta, Islam membolehkan manusia
melakukan berbagai transaksi dan perjanjian (mu’a>malah)
dalam masalah perdagangan (tija>rah), bagi hasil (mud}ar> abah)
dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam melarang pencurian,
korupsi, penipuan, dan perampokan dengan menghukum
berat para pelakunya.
5) Memelihara akal (h}ifz} al-‘aql)
Akal
dalam
pandangan
Ibnu
Bajjah
memiliki
kedudukan yang sangat mendasar. Menurut beliau, akal
merupakan satu-satunya yang memungkinkan manusia
mengetahui segala sesuatu yang benar, mutlak, kebahagiaan,
dan nilai-nilai akhlak.13 Pada hakikatnya Allah menjadikan
manusia sebagai makhluk yang paling baik di antara
makhluk Allah yang lain. Keistimewaan tersebut disebabkan
karena manusia dikaruniai akal agar dipergunakan sebaikbaiknya. Akal sangat penting perannya dalam dunia ini, oleh
sebab itu Allah SWT mensyariatkan peraturan untuk
manusia guna memelihara akal yang sangat penting itu.
13
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), 137.
23
Pemeliharaan akal sangat dipentingkan oleh hukum
Islam karena dengan mempergunakan akalnya manusia dapat
berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri,
dengan
mempergunakan
akalnya
manusia
dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa
akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan
pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan akal
menjadi salah satu tujuan hukum Islam. Penggunaan akal
harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat
bagi kepentingan hidup manusia, dan tidak untuk hal-hal
yang merugikan manusia.
Untuk melndungi akal manusia dari kerusakan mental
dan keterbelakangan kepribadian, Islam mengharamkan
meminum minuman keras (khamar) dan bentuk lainnya,
seperti
obat-obatan
terlarang
(narkoba).
Islam
akan
menghukum orang-orang yang menjual, meminum dan
mengedarkan minuman keras dan obat-obatan terlarang,
serta menghukum setiap perbuatan yang dapat merusak akal
manusia. Perlindungan terhadap akal ini agar manusia
terhindar dari kerusakan akal yang dapat berpengaruh
terhadap mentalitas dan psikologisnya.
Tidak terpeliharanya kelima hal pokok tersebut dalam
tingkat d}aru>riyah akan berakibat fatal, akan terjadi kehancuran,
24
kerusakan, dan kebinasaan dalam hidup manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Kebutuhan d}aru>riyah ini menempati peringkat
tertinggi dan paling utama dibanding dua maslahat lainnya, masingmasing adalah ha>jiyah dan tahsi>niyah.
Tujuan jumhur ulama melakukan pembagian al-mas}lahah ke
dalam tiga tingkatan tersebut adalah untuk menetapkan skala
prioritas dalam menentukan pilihan terhadap berbagai kemaslahatan
sebagai dasar menetapkan hukum. Dalam hal ini penetapan hukum
yang
didasarkan
atas
kemaslahatan
dipersyaratkan
tidak
mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap al-mas}lahah yang
lebih tinggi tingkatannya, serta tidak pula bertentangan dengan
kemaslahatan yang secara khusus ada dasar hukumnya.
b. Kebutuhan sekunder (ha>jiyah)
Kebutuhan
sekunder
(ha>jiyah)
adalah
sesuatu
yang
diperlukan manusia dalam hidupnya untuk mengurangi kesulitankesulitan. Jika sesuatu itu tidak ada, maka tidak akan menimbulkan
kerusakan dan kematian, hanya saja akan menimbulkan mashaqqah
(kesulitan) dan kesempitan.
c. Kebutuhan tersier (tahsi>niyah)
Kebutuhan tersier (tahsi>niyah) adalah kebutuhan pelengkap,
yaitu sesuatu yang dituntut oleh norma dan tatanan hidup manusia
dalam pergaulannya. Jika sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan
menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan
25
menimbulkan mashaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja
dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tata krama dan
kesopanan.
Kebutuhan pelengkap itu tidak diperhatikan jika perhatian
kepadanya dapat merusak kebutuhan sekunder, dan kebutuhan pelengkap
serta sekunder tidak diperhatikan jika perhatian kepada salah satu dari
keduanya dapat merusak kebutuhan primer.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kebutuhan
tahsi>niyah merupakan kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat
hidup sesorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah SWT dalam batas
kewajaran dan kepatutan. Apabila kebutuhan tingkat ketiga ini tidak
terpenuhi, maka tidak menimbulkan kemusnahan hidup manusia
sebagaimana tidak terpenuhinya kebutuhan d}aru>riyah (pokok) dan tidak
akan membuat hidup manusia menjadi sulit sebagaimana tidak
terpenuhinya kebutuhan ha>jiyah (sekunder), akan tetapi kehidupan
manusia dipandang tidak layak menurut ukuran akal dan fitrah manusia.
Pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi
kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan hidup manusia
di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, apabila hukum positif yang tidak
berasaskan al-Quran dan Hadis dapat dibandingkan bahwa hukum Islam
memiliki tujuan hukum yang lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak
26
terbatas pada materi yang bersifat sementara.14 Sebab faktor-faktor
individu,
masyarakat,
dan
kemanusiaan
pada
umumnya
selalu
diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain dan dengan hukum Islam
dimaksudkan agar kebaikan untuk kehidupan manusia terwujud.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum
Islam berdasarkan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul ialah untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak dengan cara
mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mud}a>ra>t,
yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain,
tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani
maupun jasmani, individual dan sosial.
2. Qas}du al-Sha>r’i fi> Wad}’i al-Shari>’ah li al-Afha>m (maksud sha>ri’ dalam
menetapkan shari>’ah ini adalah agar dapat dipahami)
Prinsip maqas}id al-shariah yang kedua ialah hukum yang ditujukan
agar pembuatan hukum dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Quran
diturunkan dalam bahasa Arab agar dapat dipahami. Oleh sebab itu, untuk
memahami hukum Islam perlu memahami bahasa Arab secara mendalam.
Kaidah-kaidah yang dipakai untuk memahami hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Quran (al-qawa>id al-lughawiyah). Disamping
mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari>’ah juga dibutuhkan
ilmu-ilmu lain yang ada kaitannya dengan lisan Arab, seperti us}ul fiqh,
14
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 13.
27
mantiq, ilmu ma’ani, dan lainnya. Oleh sebab itu, salah satu syarat pokok
untuk menjadi mujtahid harus memahami bahasa Arab dan us}ul fiqh.
Tujuan menetapkan hukum agar bisa dipahami erat kaitannya
dengan pembahasan masalah takli>f. Suatu perintah yang merupakan takli>f
(kewajiban)
mengandung
tuntutan
untuk
dipahami
oleh
semua
subyeknya, tidak hanya kata-kata dan kalimatnya saja, tetapi juga dalam
makna kebahasaan dan budaya pemahaman yang berhubungan dengan al-
dala>lah al-as}liyah (arti kata dasar) dan al-dala>lah al-‘ummiyyah (arti yang
dipahami masyarakat).15 Shari>’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan
dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal pada konsep mas}lahah.
3. Qas}du al-Sha>ri’ fi> Wad}’i al-Shari>’ah li al-Takli>fi bi Muqtad}ah> a> (maksud
sha>ri’ dalam menetapkan shari>’ah adalah agar dilaksanakan sesuai dengan
tuntutan-Nya)
Maksud sha>ri’ dalam menetapkan shari>’ah agar dilaksanakan sesuai
dengan tuntutan-Nya ialah yang menyangkut gagasan taklif dalam
kaitannya dengan qudrah (kemampuan) dan mashaqqah (kesulitan).
Taklif yang didalamnya terdapat qudrah, maksudnya bahwa umat
manusia tidak dibebani perbuatan di luar kemampuannya. Oleh karena itu
mereka tidak diperintah untuk mengerjakan perbuatan yang tidak
mungkin dapat terjadi, baik menurut akal, seperti mempertemukan dua
hal yang saling bertentangan,
atau menurut adat kebiasaan, seperti
senang, benci, marah dan sebagainya yang termasuk perbuatan yang
15
M. Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat,… 100-101.
28
didasarkan pada perasaan (emosi). Apabila dalam teks shari>’` ada redaksi
yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus
dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya,
firman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan
muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah
kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini
adalah larangan untuk memisahkan antara keIslaman dengan kehidupan di
dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui
seorangpun. Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah”
tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang
tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sebisa
mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang
mengakibatkan marah.
Taklif yang didalamnya terdapat mashaqqah (kesulitan) (al-taklif
bima> fi>hi mashaqqah), maksudnya ialah dengan adanya takli>f, shari>’ tidak
menimbulkan mashaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi
sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf. Ciri-ciri dari
prinsip-prinsip khusus membuang kesulitan, yaitu:16
a. Kesulitan itu membawa kemudahan, yaitu seluruh rukhs}ah yang
disyariatkan Allah kepada mukallaf itu karena ada salah satu sebab
yang dikehendaki oleh keringanan ini.
b. Sulit shari>’ah untuk menghindarinya.
16
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, terj: Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1993), 265-267.
29
c. Pada waktu darurat diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang.
Mashaqqah yang dimaksud dalam hal ini adalah mashaqqah g}air
mu’tadah atau g}air adiyyah (mashaqqah yang tidak lazim dan tidak dapat
digunakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan
kesempitan). Untuk mengatasi mashaqqah ini, Islam memberikan jalan
keluar berupa rukhs}ah (keringanan). Apabila dalam taklif ini terdapat
mashaqqah selain itu, maka sesungguhnya hal itu adalah kulfah (sesuatu
yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana
dalam perspektif adat). Misalnya sesorang yang bekerja siang dan malam
untuk mencari nafkah kehidupan tidak dipandang sebagai mashaqqah,
tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah.
4. Qasd}u al-Sha>r’i fi> Dukhu>li al-Mukallafi tahta Hukmi al-Shari>’ah (maksud
sha>ri’ dalam memasukkan mukallaf di bawah naungan shari>’ah)
Maksud sha>ri’ dalam memasukkan mukallaf di bawah naungan
shari>’ah ialah agar mengendalikan mukallaf dalam melaksanakan suatu
perbuatan tidak berdasarkan pada hawa nafsunya, sebab hal ini dapat
menimbulkan seseorang menyia-nyiakan agama dan mengerjakan
larangan-Nya. Apabila telah dibiasakan yang demikian, maka akan
terbiasa melanggar hukum agama.
Mengikuti hawa nafsu adalah jalan menuju perbuatan yang dicela
oleh sha>ri’, sekalipun perbuatan itu eksistensinya mengandung perbuatan
yang terpuji, misalnya sesorang yang beramal dengan jalan riya>’.17
17
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 236-237.
30
C. Hikmah Maqa>s}id Al-Shari>ah
Hikmah adalah pengetahuan mengenai hakikat tentang sesuatu dan
dan mengenai hakikat apa yang terdapat dalam sesuatu tersebut, yaitu
mengenai fa>idah dan manfaatnya. Pengetahuan tentang hikmah tersebut
dapat mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang baik dan
benar.
Secara umum tujuan penciptaan dan penetapan hukum oleh Allah Swt
adalah untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kebahagiaan manusia seluruhnya baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 201-202:
ِ
ِ
ِ ْ ِِوِمْ هم من ي ُقو ُل رب َا آتَِا ِِ الدنْيا حسَ ًة و
ك َُْم
َ أُولَئ.اب ال ا ِر
َ اااْخَرِة َح َسَ ًة َوقَا َع َذ
َ ََ َ
َ ْ َ ْ َ ُْ َ
ِ
ِ صْيب ِِا َكسبوا وَ س ِريْع ا ِْْس
.اب
ٌ َن
َ ُ َ ُ َ َُ
Artinya
:“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa:”Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka itulah orang-orang
yang mendapat bahagiaan daripada yang mereka usahakan, dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya”
Ulama us}ul menegaskan bahwa setiap apa yang diperintahkan oleh
sha>ri’ tidak semata-mata disyariatkan kecuali adanya mas}lahah yang sudah
dapat dipastikan terkandung di dalamnya. Kemaslahatan tersebut memiliki
tingkatan sesuai dengan kadar perintahnya. Sebaliknya, setiap apa yang
diharamkan oleh sha>ri’, tidak semata-mata dilarang kecuali untuk
menghilangkan kerugian (mafsadah).
31
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa yang disebut al-mas}lahah dalam
pengertian shar’i ialah meraih manfaat dan menolak kemudaratan dalam
rangka memelihara tujuan sha>ri’, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Dengan kata lain, upaya meraih manfaat atau menolak
kemudaratan yang semata-mata demi kepentingan duniawi manusia, tanpa
mempertimbangkan
kesesuaiannya
dengan
tujuan
sha>ri’,
apalagi
bertentangan dengannya, tidak dapat disebut dengan al-mas}lahah tetapi
sebaliknya, merupakan mafsadah (kerugian).
Abu Ishaq al-Syatibi dalam rangka menemukan jawaban mengenai
persoalan hikmah ini dengan menganalisis ayat-ayat Al-Qur’an yang ternyata
hampir semua hukum-hukum tersebut mempunyai alasan dan tujuan yang
ditunjukkan dengan ‘illat dan motif pemberlakuan shari>’ah. Bagi al-Syatibi
tidak menjadi persoalan apakah di dalam nas} Al-Qur’an Allah memberikan
penjelasan secara terperinci (tafsil) atau tidak, namun dengan pernyataam
bahwa Allah menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna,
menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah mencakup dasar-dasar kepercayaan dan
amalan agama dengan berbagai aspek. Oleh karena itu, tidak satu pun ajaran
agama