ANALISIS YURIDIS PUTUSAN ARTIDJO ALKOSTAR TERHADAP PEMBERATAN HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN ARTIDJO ALKOSTAR TERHADAP
PEMBERATAN HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Oleh : Hafidah Virani
C73211076
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
SURABAYA
2016
(2)
(3)
(4)
(5)
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Putusan Artidjo Alkotar Terhadap Pemberatan
Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi ” adalah hasil penelitian putusan dan kepustakaan
untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana dasar pertimbangan hakim Artidjo Alkostar dalam memberikan pemberatan hukuman perkara kasus korupsi yang dilakukan Angelina Sondakh dan untuk mengetahui pandangan hakim Artidjo Alkostar dalam memberikan putusan Angelina Sondakh dalam perkara tindak pidana korupsi.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian putusan dan data dihimpun melalui browsing untuk mendapatkan direktori putusan No. 1616 K/Pid.Sus/2013, pembacaan dan kajian teks yang
selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing yaitu pemeriksaan kembali terhadap
semua data yang telah diperoleh, dan Analyzing yaitu menganalisis dengan menggunakan metode
induktif, yaitu data-data yang diperoleh secara khusus yang kemudian dianalisis untuk disimpulkan secara umum yakni terkait gambaran umum tentang isi putusan kasus korupsi Angelina Sondakh yang di putus oleh hakim Artidjo Alkostar dan menggunakan data yang berkaitan dengan pandangan Artidjo Alkostar dalam memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu dengan menjatuhkan hukuman setimpal dengan perbuatan Terdakwa karena terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Kesatu dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 8 (delapan) bulan, dengan uang pengganti conform judex facti. Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Majelis setelah musyawarah dan diambil keputusan dengan suara terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dengan penjatuhan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti sesuai dalam isi putusan No. 1616 K/Pid.Sus/2013.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Artidjo Alkostar dalam memberikan hukuman lebih berat dalam kasus tindak pidana korupsi ini dengan beberapa pertimbangan dan salah satunya yaitu karena komitmennya yang tinggi dalam memerangi perkara korupsi yang terjadi di negeri ini terlihat dari putusan-putusan yang dijatuhkan terhadap kasus yang ditanganinya salah satunya putusan yang dijatuhkan untuk Angelina Sondakh.
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM
……….…….. iPERNYATAAN KEASLIAN
……… iiPERSETUJUAN PEMBIMBING
………...……. iiiPENGESAHAN
………. ivPERSEMBAHAN
………. . vMOTTO
……….… viABSTRAK
………... viiKATA PENGANTAR
……….…. viiiDAFTAR ISI
……… xDAFTAR TRANSLITERASI
………. xiiBAB I PENDAHULUAN
……….... 1A. Latar Belakang Masalah ………..… 1
B. Identifikasi dan BatasanMasalah ……….… .. 15
C. Rumusan Masalah ……….………….….…… 15
D. Kajian Pustaka ……….… 16
E. Tujuan Penelitian ……….… 18
F. Kegunaan Penelitian………. 18
G. Definisi Operasional ………... 19
H. Metode Penelitian ………... 20
(7)
BAB II UNDANG UNDANG TENTANG WEWENANG KEHAKIMAN DALAM
MEMUTUS SUATU PERKARA ... 25
A. Undang-Undang Wewenang Kehakiman Dalam Memutus Suatu Perkara ... 25
B. Putusan Hakim ……….. 26
C. Beberapa Teori Dalam Pembuatan Putusan Hakim……….... 28
D. Setting Sosial Hakim dalam Menangani Perkara di Pengadilan Korupsi ... 46
1. Penanganan Perkara Korupsi di Pengadilan Tipikor ... 39
2. Penanganan Perkara Korupsi di Pengadilan Umum ... 41
BAB III PUTUSAN KASUS KORUPSI YANG DI LAKUKAN OLEH ANGELINA SONDAKH ... 57
A. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Korupsi ... 57
B. Putusan Mahkamah Agung ……… ... 59
C. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Putusan ... 61
D. Sanksi Hukuman Terhadap Tindak Pidana Korupsi … ... 64
E. Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Pidana Islam ……… 70
BAB 1V ANALISIS PEMBERATAN HUKUMAN YANG DILAKUKAN ARTIDJO ALKOSTAR DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA KORUPSI ... 77
A. Analisis Putusan Angelina Sondakh tentang Tindak Pidana Korupsi ... 77
BAB V PENUTUP ... 83
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 87
DAFTAR PUSTAKA ………. 88 LAMPIRAN
(8)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Salah satu tindak pidana yang sekarang fenomenal dan sangat
merugikan negara adalah masalah korupsi. Korupsi merupakan gejala
masyarakat yang dijumpai disetiap bidang kehidupan masyarakat baik
dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun politik. Fakta adanya
sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan pada
masalah korupsi.1 Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian tindak pidana
korupsi disebutkan :
1. Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.2
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
1
Evi Hartanti, Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, 24.
2
(9)
2
atau sarana yang ada atau yang karena jabatan atau kedudukan,
yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara.
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan
Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu
kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya
atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
5. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan Pasal
420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.3
Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas lagi yaitu dengan
dicantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Pengertian korporasi
sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan,
3
(10)
3
bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.4
Sedangkan menurut hukum islam disyariatkan Allah untuk
kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak di wujudkan
dengan pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari
pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari
pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.Oleh
karena itu larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah
untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah.
Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memeberikannya kepada
orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam bebruat maksiat,
karena pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT
jadikan kemaslahatan yang dituju dengan tidak tercapai. Ulama fikih telah
sepakat mengatakan bhwa perbuatan korupsi adalah haram dan dilarang
karena bertentangan dengan islam.Sedangkan hukum memanfaatkan hasil
korupsi ialahmemanfaatkan mempunyai arti luas termasuk memakan,
mengeluarkannyauntuk kepentingan ibadah, social, dan sebagainya.
Memanfaatkan harta kekayaan yang di hasilkan dari tindak pidana
korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang di hasilkan
dengan cara-cara illegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak
korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya.
4
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(11)
4
Jika cara memperolehmya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun
sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang
diperoleh dengan cara-cara yang terlarang adalah haram, sebab pada
prinsipnya harta itu bukanlah milik orang lain yang diperoleh dengan cara
yang terlarang.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat
juga dianalogikan dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba,
karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama illegal. Jika memakan harta
yang diperoleh secara riba itu di haramkan (Qs. Ali Imran:130). Maka
memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama
memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu , “apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya/memanfaatkannya. Oleh karena itu seperti yang
ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan
dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan
hasilnya, Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka
hasilnya boleh dimanfaatkan,.
Selama hasil itu diharamkanmemanfaatkannya, selama itu pula pelakunya
dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.5
Hukuman bagi koruptor selama ini tidak mendatangkan efek
jera.Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar
5
(12)
5
pelaku korupsi dihukum mati.Selain mendorong pemberlakuan hukuman
paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum
kerja social.MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor
menjatuhkan hukuman seberat beratnya kepada koruptor kakap, bahkan
hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana
penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas public, seperti pasar,
terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk member efek jerah
dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor.
Dan dalam pemberantasan korupsi ada istilah KPK atau Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi).Tujuan dibentuknnya KPK tidak
lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi
(Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang
seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai
dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi
sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. 6
Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara
professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah
6
Soedjono Dirjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi
(13)
6
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat
pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah
dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime).
Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah
dibentuk KPK yang mempunya wewenang luar biasa, sehingga kalangan
hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body).7
Awal pembentukan KPK dengan semangat yang tinggi untuk
memberantas korupsi, namun beberapa bulan terbentuk nampaknya KPK
dibiarkan untuk mati suri. Hal tersebut terjadi karena kesalahan
pemerintah dan DPR pada waktu itu yang tidak serius memfasillitasi KPK
untuk membangun infra struktur yang kuat. Hal ini terbukti dengan KPK
tidak punya penyidik sendiri, tidak punya pegawai, tidak punya gedung
yang representatif dan tidak punya peralatan serta infra struktur untuk
bergerak cepat.Dalam tahun pertama menjalankan peranannya sebagai
ujung tombak memerangi korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala
yang klasik antara lain keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal
ini mengundang kritik miring dari berbagai pihak seperti Munarman,
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa
KPK hanya mencari-cari alasan apabila ditagih tentang kinerja pimpinan
KPK. Dia juga menambahkan bahwa sulitnya memberantas korupsi karena
pemerintah khususnya pejabat-pejabat yang berwenang dalam
7
Drs. Ermansyah Djaja, S.H., M.si, memberantas korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta,
(14)
7
memberantas korupsi sama sekali tidak memiliki kemauan politik
(political will).
Dalam memutuskan suatu perkara, hakim hendaklah melihat
terlebih dahulu bukti-bukti dan keterangan-keterangan para saksi dan para
ahli.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh
cara-cara atau ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah
diatur dalam undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di
dalam sidang pengadilan yang memeriksa terdakwa dan pemeriksaan
terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang.Dalam praktek
peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu
penyidik kurangsempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan
pengertian terhadap penerapan hukum.8
System pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal dengan “system negative” (negatife wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran
materiil.System negatief merupakan system yang berlaku dalam hukum
acara pidana yaitu hakim dalam menjatuhkan pidana dengan sekurang
kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).adalah ketentuan dasar dalam
8
(pusat litbang kejaksaan agung R.I, Studi tentang peranan Alat bukti keterangan ahli dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, 2008).
(15)
8
hukum pembuktian dan mutlak berlaku untuk membuktikan semua tindak
pidana, kecuali ditentukan lain dalam hukum pembuktian khusus.9
Penyimpangan hukum pembuktian ada dalam hukum pidana
korupsi, yang meliputi pada 2 hal pokok, yaitu : mengenai bahan-bahan
yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai
system pembebanan pembuktian.10 Kegiatan pembuktian tindak pidana
korupsi di samping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam
KUHAP, tetapi dalam bidang atau hal-hal tertentu berlaku hukum
pembuktian khusus, pembuktian korupsi tetap memperhatikan Pasal 183
KUHAP, kecuali dalam hal pembuktian terbalik (Pasal 37 ayat (2) Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun
2011) seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal
yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal
yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli tidak perlu diperkuat denga alasan sebab
keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi.Apa
yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang
keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau
kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya.Apabila
keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum
9
R. Wiyono, S.H, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi, Grafika,
Jakarta, 2008, 105.
10
(16)
9
memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji
terlebih dahulu.Melihat ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHAP,
terutama pada tahap penyidikkan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak
pemeriksaan saksi-saksi.Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya (Pasal 120 ayat (1) KUHAP). Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi
bias terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak
manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan
pemeriksaan ahli.11
KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli.
Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas
banyaknya keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga
pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak
pidana korupsi. Seorang ahli umpama mempunyai keahlian khusus
dibidangnya baik fotmal maupun informal karena itu tidak perlu
ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang
keahliannya.Hakimlah yang menentukan seseorang itu sebagai ahli atau
bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai visi,
apabila : apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang
masuk dalam ruang lingkup keahliannya. Yang diterangkan mengenai
keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang
sedang diperiksa.
11
(17)
10
Dalam praktek pengajuan ahli dalam persidangan dapat dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau penasehat hukumnya. JPU
mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa yang terdapat dalam BAP atau
bias juga mengajukan ahli untuk terangnya perkara yang sedang berjalan
di pengadilan. Kadangkalah ahli yang diajukan oleh JPU dan penasehat
hukumnya dalam materi yang sama tetapi keterangannya berbeda, dalam
konteks ini tinggal hakim yang menentukan seseorang itu ahli dan bobot
keterangan dari ahli itu, sehingga ada penyesuaian keterangan dengan alat
bukti lain.12
Seseorang ahli dalam memberikan keterangannya hanya
berdasarkan hanya kepada keahliannya dan pengetahuannya. Keterangan
ahli bukan menfsirkan terhadap peraturan perundang-undangan.dalam
kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan sebagai ahli tetapi pada
kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara melakukan penafsiran
hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang adanya kerugian
Negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan kadang
bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Keterangan ahli yang
memberikan keterangannya karena penafsiran akan menimbulkan
inkonsistensi pendapat sehingga keterangannya tidak dapat dijadikan
patokan hakim maupun putsan lainnya. Dalam hal ini hakim perlu melihat
kompetensi orang yang ditunjuk sebagai ahli.Tidak cukup berpatokan
12
(18)
11
kepada formalitas pendidikan atau status social orang tersebut, misalnya
terhadap seseorang professor yang ditunjuk sebagai ahli.
Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hokum
dipengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan
putusan yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya
meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan
dalam menilai alat bukti dipengadilan sangat diperlukan, terutama dalam
kasus tindak pidana korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang
pengadilan semakin diperlukan.keterangan ahli kan menjadi mutlak
manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan
pemeriksaan ahli.13
Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat
bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lainnya, artinya
keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti
petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183
KUHAP. Hokum penyimpangan pembuktia yang ada dalam hokum pidana
korupsi, terdapat pada dua hal pokok, yaitu mengenai bahan-bahan yang
dapat digunkan.
Kegeraman hakim agung Artidjo Alkostar terhadap para pelaku
korupsi mungkin sudah mencapai klimaks. Di depan peserta seminar
13
(19)
12
„Tantangan Kondisi Politik, Ekonomi, dan Hukum Bagi Pembangunan yang Inklusif dan Berkesinambungan‟ di Jakarta, Rabu (08/2), Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana itu mengumumkan genderang
perang terhadap pelaku korupsi yang merusak. Kualifikasi korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) tak ada gunanya jika dalam
praktik penerapannya dikelola secara biasa. Artidjo mengecam pembuat
Undang-Undang yang setengah hati memuat aturan pidana mati terhadap
pelaku korupsi. 14
SeandainyaUndang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak membuat persyaratan rumit untuk menjatuhkan vonis mati, Artidjo siap menjadi pionir. “Saya yang pertama akan menjatuhkan vonis mati terhadap koruptor,” ujarnya di depan peserta seminar.Persyaratan rumit yang dimaksud Artidjo adalah penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No 20
Tahun 2001. Aturan sebelumnya, Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 hanya menyebut “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Syarat baru muncul pada 2001, yakni penjelasan pasal 2 ayat (2). Pidana mati baru dapat dijatuhkan jika memenuhi salah satu syarat:
dana yag dikorupsi sebenarnya dipakai untuk penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, atau
pengulangan tindak pidana korupsi. Persyaratan itulah yang disebut
14
(20)
13
Artidjo sebagai rumusan setengah hati. Ancaman hukuman hanya
berfungsi sebagai pemberatan.15
Artidjo termasuk hakim agung yang sering menjatuhkan pidana „berat‟ kepada terdakwa perkara korupsi. Ia berpendapat pelaku tindak pidana korupsi harus bisa terjaring secara yuridis dan psikologis. Dalam
satu kasus Artidjo sebagai ketua majelis memperbaiki putusanjudex factie
karena vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan pidana minimal yang
diatur Undang-Undang. Dalam kasus lain, putusan bebas judex factie
dibatalkan dan menghukum terdakwa dengan vonis berat. Dalam
putusan-putusan perkara korupsi, dimana Artidjo bertindak sebagai ketua majelis,
jaksa acapkali diberi wewenang menyita dan melelang aset jika terpidana
tak membayar uang pengganti paling lambat satu bulan setelah putusan
berkekuatan hukum tetap.Bagi Artidjo, komitmen politik dalam
pemberantasan korupsi sangat penting. Jika komitmen tidak ada dan
contoh keteladanan kurang, harap Artidjo, pemangku kepentingan harus tetap berkomitmen menjaga martabat bangsa. “Alangkah malangnya republik ini, jika penegak hukumnya kalah pintar dari koruptor”.
Seperti contoh pada putusan Hakim Agung Atidjo Alkostar yang
akhirnya membuat Angelina Sondakh harus lebih lama mendekam di
istana terakhir pada koruptor, vonis 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta
dan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta
15
(21)
14
dollar AS atau sekitar Rp 27,4 miliar. Pasti akan membuat efek shock
tertentu bagi para calon-calon koruptor yang masih ingin menggarong
uang Negara dengan jabatan yang dipercayakan kepdanya, putusan yang
memotivasi lembaga-lembaga penegak hokum lainnya untuk lebih agresif
memerangi tikus-tikus koruptor yang masih banyak bersembunyi pada
kolong kolong kekuasaan.16
Hakim asli Madura ini memang tidak terlalu silau dengan
kemewahan duniawi, dari awal karirnya sebagai pratisi hokum nyaris tidak
ada kemewahan yang bisa kita indikasikan terhdap sosoknya kecuali
kegemarannya memelihara ikan koi yang dia pelihara di aquarium jika itu
dianggap kemewahan, hakim yang mengawali karirnya melalui jalur
pengacara ini dalam menjalankan prinsipnya untuk menegakkan keadilan
memang jauh dimulai sejak dirinya aktif di LBH bahkan Artidjo sempat
menduduki sebagai ketua LBH, Artidjo Alkostar ini aktif melakukan
pembela pembelaan dikasus yang sedikit berbahaya karena tak jarang dia
harus berjibaku menyelamatkan diri ketika melakukan pembela-pembelan
dikasus yang tengah ditanganinya.17
Artidjo Alkostar menjabat hakim agung pada September 2000
berbarengan dengan pengangkatan sejumlah hakim agung nonkarier
laindengan harapan bisa membersihkan wajah peradilan. Dalam
kesederhanaan hakim agung yang masih suka menumpang bajai karena
16
Kompasiana.com
17
(22)
15
memang tidak mempunyai mobil, mencoba memenuhi harapan masyarakat
dengan caranya. Artidjo Alkostar pernah melakukan pembelaan terhadap
sekitar lima sampai enam demonstran di Dili Timor-Timor yang dikenal
dengan kasus Santa Cruz di tahun 1992, Artidjo bias dikatakan mampu
mempertahankan prinsipnya hidup sederhana ketika dirinya sudah
menjabat sebagai orang penting di negeri ini adalah bukti yang tidak
terbantahkan dari sosoknya. Komitmen tingginya dalam memerangi
korupsi yang terjadi di negeri ini terlihat dari putusan-putusan yang
dijatuhkan terhadap kasus yang ditanganinya, para gerombolan koruptor
itu harus merasakan taji hokum jika harus berhadapan dengan Hakim
Agung Artidjo Alkostar.
b. Identifikasi
Dari paparan latar belakang di atas dapat diketahui bahwa pokok
yang ingin dikaji adalah :
1. Pengertian tindak pidana korupsi
2. Jenis-jenis tindak pidana korupsi
3. Analisis yuridis terhadap pandangan Artijo Alkoster tentang
pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi
(23)
16
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar lebih
praktis dan operasional, maka penulis mengambil beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah putusan Artidjo Alkostar terhadap pemberatan hukuman
bagi pelaku tindak pidan korupsi ?
2. Bagaimanakah analisis yuridis putusan Artidjo Alkostar terhadap
pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidan korupsi ?
d. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas/penelitian yang sudah
pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat
jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan
atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada. 18Berkaitan dengan
tema tindak pidana korupsi pernah dibahas oleh Mahasiswa Fakultas
Hukum yang bernama Andi Syamsurizal Nurhadi dengan judul “ Tinjauan
Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan ”.
Adapun hasil temuan dari skripsi tersebut adalah tindak pidana
korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan dan merupakan kejahatan luar
biasa untuk itu sewajarnya hukuman yang diberikan kepada koruptor itu
adalah hukuman luar biasa juga. Dengan memperhatikan fakta yang
18
Skripsi “Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam
(24)
17
terungkap dipersidangan, bahwa negara dalam hal ini PT.Taspen (Persero)
telah mengalami kerugian sebesar Rp.408.181.900 dan terdakwa telah
mengembalikan kerugian negara kepada PT Taspen sebagai kelebihan
pembayaran gaji pensiunan yang tidak berhak sesuai tagihan sebanyak
Rp.521.000.000 dan keterangan saksi bambang Botto Laras, bahwa akibat
pembayaran gaji pensiunan kepada orang yang tidak berhak. 19Dan skripsi
lainnya yang berjudul “ Penanganan kasus korupsi dana rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa tahun 2006 di kabupaten Bantul (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bantul NO. 222/pid.Sus/2010/PN.Btl) ” Karya Amalia Hidayati Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam skripsi tersebut menyatakan bahwa upaya penanganan kasus
korupsi dana rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa yaitu dengan
tahapan penyidikan, penyelidikan, penuntutan dan pemidanaan yang
dilakukan oleh penegak hukum yaitu kejaksaan sebagai institusi terkait.
Bahwa penanganan kasus korupsi dana rehabilitasi dan rekontruksi pasca
gempa dapat dilakukan dengan perbaikan sumber daya manusia itu sendiri
terutama untuk nilai dan moral manusia, perbaikan tersebut harus dimulai
dari usia muda, misalnya dengan memasukkan pendidikan tentang korupsi
dalam kurikulum sekolah, melalui media pendidikan akan diharapkan
menciptakan budaya antikorupsi sejak usia muda. Dan cara merekrut
19
Skripsi Penanganan kasus korupsi dana rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa tahun 2006 di kabupaten Bantul (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bantul NO. 222/pid.Sus/2010/PN.Btl), Amalia Hidayati, 2013.
(25)
18
aparat lembga pengawasan tindak pidana korupsi harus disaring melalui
rekruitmen dengan sistem TPA (Transparan, Partisipatif, Akuntabel).
e. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai sejalan dengan
pertanyaan-pertanyaan di atas yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian tindak pidana korupsi
2. Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap pandangan Artidjo
Alkostar tentang pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana
korupsi.
f. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan ada nilai guna pada dua aspek :
1. Aspek keilmuan, untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
tentang pertanggungjawaban pidana korupsi dan cara memberantas
tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999.
2. Aspek terapan praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pertimbangan dan dapat bermanfaat khususnya bagi penegak
(26)
19
b. Untuk menambah kesadaran mayarakat tentang penegakan sanksi
hukum tindak pidana korupsi.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan penyuluhan hukum
kepada masyarakat.
g. Definisi Operasional
1. Tinjauan Yuridis : Hakim pada tindak pidana korupsi terdiri atas
Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc. Hakim Karier adalah hakim pada
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang
ditetapkan sebagai hakim Tindak Pidana Korupsi, Hakim ad hoc
adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang
ditentukan dalam UURI Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagai hakim tindak pidana korupsi.
2. Pemberatan Hukuman: Yaitu seseorang melakukan kejahatan yang
sejenis (homologus residivis) artinya ia mengulang suatu tindak pidana
dan mengulangi perbuatan yang sejenis dalam batas waktu yang
tertentu, misalnya lima tahun terhitung sejak terpidana menjalani masa
hukumannya.
3. Tindak Pidana Korupsi: Menurut UU No 31 Tahun 1999 Tindak
Pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuata memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
(27)
20
pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan dengan
denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
h. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh
dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu
penelitian untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap
permasalahan.20 Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Data Yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
putusan. Pengumpulan data dengan menggunakan analisis putusan ini
ditempuh dengan cara browsing direktori putusan Mahkamah Agung,
mengumpulkan, membaca, menelaah, mengkaji data yang menyebutkan
tentang putusan Artijo Alkoster terhadap pemberatan hukuman bagi
pelaku tindak pidana korupsi berupa putusan Artidjo Alkostar dalam
memutus pekara kasus korupsi Angelina Sondakh.
2. Sumber data
Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, pilihan
akan akurasi literatur sangat mendukung untuk memperoleh validitas
20
Joko Subagyo, Metode Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1994),
(28)
21
dan kualitas data. Oleh sebab itu, sumber data yang menjadi obyek ini
adalah :
a. Sumber Primer
1) Putusan yang menyebutkan Artidjo Alkostar memberi
pemberatan hukuman.
b. Sumber Sekunder yaitu sumber data yang berupa kitab-kitab atau
bahan bacaan lain yang memiliki keterkaitan dengan bahan skripsi,
misalnya :
1) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi
2) Korupsi Di Indonesia (Masalah dan Pemecahannya) Karangan
Andi Hamzah
3) Tindak Pidana Korupsi Karangan Evi Hartanti
4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Citra Wacana
5) Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Karangan Lilik
Mulyadi
6) Sumber-sumber lain dari literatur yang terkait dengan
pembahasan skripsi ini.
(29)
22
Penentuan subjek penelitian dalam penelitian kuantitatif, dapat
menggunakan model matematis, teori-teori dan hipotesis yang
berkaitan dengan fenomena alam. Penelitian ini lebih sistematis,
terencana dan terstruktur.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah melalui
browsing di direktori putusan Mahkamah Agung untuk mendapatkan
putusan kasus korupsi Angelina Sondakh. Karena kategori penelitian
ini adalah konten analisis, maka teknik pengumpulan datanya melalui
putusan. Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah dokumentasi.
Dokumentasi adalah menghimpun data-data yang menjadi kebutuhan
penelitian dari berbagai dokumen yang ada baik berupa buku, artikel,
koran dan lainnya sebagai data penelitian. Sehingga teknik inilah yang
penulis gunakan untuk melengkapi yang berkaitan dengan pandangan
Artijo Alkoster terhadap pemberatan hukuman bagi pelaku tindak
pidana korupsi.
5. Teknik Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul kemudian dianalisis dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Dokumentasi, yaitu menghimpun data-data yang menjadi
kebutuhan penelitian dari berbagai dokumen yang ada baik berupa
(30)
23
b. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kevalidan, kejelasan
makna, keselarasan dan kesesuaian antara data primer dan
sekunder tentang pandangan Artijo Alkoster terhadap pemberatan
hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
c. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang
telah diperoleh tentang pandangan Artijo Alkoster terhadap
pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
d. Analyzing, yaitu memberikan analisis dari data-data mengenai
pertanggungjawaban dan/atau sesuatu yang harus dilakukan oleh
pelaku atas tindakannya yang melakukan tindak pidana korupsi,
macam-macam bentuk pertanggungjawaban dan sanksi atas
seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi.
6. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data merupakan cara analisis data yang secara
nyata digunakan dalam penelitian beserta alasan penggunannya.
Masing-masing teknik analisis data diuraikan pengertiannya dan
dijelaskan penggunannya untuk menganalisis data.
i. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi ini, dijelaskan dalam lima bab,
(31)
24
Bab pertama :pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yang
menjelaskan gambaran umum yang memuat pola dasar
penulisan skripsi ini, yaitu meliputi latar belakang,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab Dua :pada bab ini membahas tentang undang-undang
wewenang kehakiman sebagai pertimbangan hakim
Artidjo Alkostar dalam memutus suatu perkara,
Bab Tiga :pada bab ini berisi tentang uraian tinjauan
undang-undang tentang putusan Artidjo dalam kasus tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh Angelina Sondakh.
Bab Empat : pada bab ini menjelaskan analisis tentang pemberatan
hukuman yang dilakukan Artidjo Alkostar dalam
memutus suatu perkara korupsi, Analisa putusan kasus
Angelina Sondakh.
Bab Lima :pada bab ini merupakan bab penutup yang mengakhiri
(32)
1
BAB II
UNDANG UNDANG TENTANG WEWENANG KEHAKIMAN DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA
A. Undang-Undang Wewenang Kehakiman Dalam Memutus Suatu Perkara
Menurut Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
kehakiman, dalam Pasal 1 yang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam Pasal 11 Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim,
kecuali undang-undang menentukan lain. Susunan hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang
hakim anggota. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan
pekerjaan panitera. Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang
penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Putusan diambil berdasarkan
sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
(33)
2
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang
permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang
berbeda wajib dimuat dalam putusan.1
B. Putusan Hakim
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang
dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan
dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinikai dengan
semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang
mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir
dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Banyaknya definisi
mengenai putusan ini disebabkan Indonesia mengadopsi peraturan
perundang-undangan dari Belanda beserta istilah-istilah hukumnya,
diterjemahkan oleh ahli bhasa, dan bukan oleh ahli hukum. Hal ini
mengakibatkan ketidakcermatan penggunaan istilah-istilah hukum pada
saat sekarang. Sebagai contoh, yaitu kesalahan menyamakan istilah
putusan dan keputusan namun hal tersebut merupakan sesuatu yang sama
sekali berbeda.2
1. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim
Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah
masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau
pertimbangan serta keyakinan atau suatu perkara lalu dilakukan
1
Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman
2
(34)
3
musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh
permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP). Jika pemufaktan bulat
tidak diperoleh, putusan diambil engan suara terbanyak. Adakalanya para
hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun
tidak di dapat. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah
pendapat dari hakim yang paling menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat
(6) KUHAP). Pelaksanaan (proses) pengambilan putusan tersebut dicatat
dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu
yang sifatnya rahasia.
Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya arus dilakukan
pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan sesuatu yang
sangat penting karena tugas utama dari Hukum Acara Pidana adalah untuk
mencari dan menemukankebenaran materiil.pembuktian di sidang pengadilan
untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit
dua alat bukti yng sah dan di dukung keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :3
3Opcit
(35)
4
a. Sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut
undang-udang yang berlaku,
b. Atas dasar alat bukti yang sah tersebut hakim berkeyakinan bahwa
perbuatan pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah.
Yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti, yaitu
dua diantara alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP sebagai berikut, alat bukti yang sah ialah : keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Hukum Acara
Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, yang berarti hanya
mengakui adanya alat-alat bukti yang sah yang tercantum dalam peraturan
perudang-undangan yang berlaku. Diluar ketentuan bukan merupakan alat
bukti yang sah.4
C. Beberapa Teori dalam Pembuatan Putusan Hakim
Proses pembuatan putusan oleh hakim di pengadilan, terutama
dalam perkara pidana, merupakan suatu proses yang kompleks dan
sulitdilakukan sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan
kebijaksanaan. Menurut Alkostar, sebagai figur sentral penegak hukum,
para hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional
untuk menguasai knowledge, memiliki skill berupa legal technical
capacity dan kpasitas moral yang standart. Dengan adanya kecukupan pengetahuan dan keterampilan teknis, para hakim dalam memutus suatu
4
(36)
5
perkara akan dapat memberikan pertimbangan hukum (legal
reasoning)yang tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan tidak cukup
mempertimbangkan (Ovoldoende Gemotiveerd) tentang hal-hal yang
relevan secara yuridis dan sah muncul di persidangan, maka akan terasa
adanya kejanggalan yang akan menimbulkan matinya akal sehat (the death
of common sense). Putusan pengadilan yang tidak logis akan dirasakan
pula oleh masyarakat yang paling awam, karena putusan pengadilan
menyangkut nurani kemanusiaan. Penegak hukum bukanlah budak
kata-kata yang dibuat pembentuk undang-undang melainkan lebih dari itu
mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum dari akal sehat.5
Menurut Mertokusumo, seorang sarjana hukum, khususnya hakim,
selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the
power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu :
merumuskan masalah hukum (legal problem identification),
memecahkannya (legal problem solving) dan mengambil putusan
(decision making ). Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah penalaran
hukum yang tepat dalam proses memecahkan masalah hukum itu.6
Setidak terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran
hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu : (i)
mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)
5
Artidjo Alkostar, 2009, “Peran dan Upaya Mahkamah Agung dalam Menjaga dan Menerapkan
Hukum yang Berkepastian Hukum, Berkeadilan dan Konsisten melalui Putusan-putusan MA.‛
6
(37)
6
kasus yang sungguh-sumgguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil
terjadi; (ii) menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum
yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam
peristilahan yuridis (legal term); (iii) menyeleksi sumber hukum dan
aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang
terkadang didalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule),
sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren; (iv)
menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus; (v) mencari
alternatif penyelesaian yang mungkin; (vi) menetapkan pilihan atas salah
satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.7
Dalam pengambilan putusan pidana terdapat tiga tahapan, yaitu :
(i) tahap menganalisis perbuatan pidana, yaitu tahap hakim menganalisis
perbuatan terdakwa tergolong perilaku kriminal atau tidak; (ii) tahap
menganalisis tanggung jawab pidana, yaitu tahap hakim menganalisis
tanggung jawab terdakwa terhdap perilakunya; (iii) tahap penentuan
putusan, yaitu ketika terdakwa dinyatakan bersalah, hakim akan
menentukan pemidanaan baginya dan jika tidak terbukti bersalah hakim
akan membebaskan terdakwa atau melepaskan dari segala tuntutan hukum.
8
7
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung:CV Utama,
2004), 177
8
Yusti Probowati Rahayu, Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara
(38)
7
Teori pengambilan putusan sangat relevan dengan tugas hakim
dalam membuat putusan di pengadilan. Putusan tersebut terutama untuk
menentukan bersalah tidaknya terdakwa yang diajukan ke muka
persidangan. Disamping itu juga untuk menentukan sanksi pidana
(hukuman) yang tepat yang harus diterima oleh terdakwa jika sudah
terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana.
Pada umumnya teori pengambilan putusan perkara pidana di
dasarkan pada teori pengambilan putusan deskriptif. Model deskriptif ini
dapat meliputi teori probilitas, teori aljabar, dan teori model cerita
(kognitif). Menurut Hastie (dalam Rahayu, 2005) pengambilan putusan
perkara pidana yang dilakukan juri dapat diterapkan pada hakim di
Indonesia, karena proses pengambilan putusan juri sebenarnya tidak
berbeda dengan hakim. Perbedaannya, juri hanya memutuskan terdakwah
bersalah atau tidak, sedangkan hakim memutuskan terdakwa bersalah atau
tidak, kemudian memutuskan sanksi pidananya jika terdakwa dinyatakan
bersalah.9
2. Teori Probabilitas
Teori probabilitas dalam pengambilan perkara pidana didasari oleh
teori probabilitas Bayesian. Asumsi dasar teori Bayesian adalah dimensi
dasar dari berpikir, yang menyatakan bahwa membuat putusan adalah
probabilitas subjektif. Artinya semua informasi yang relevan dengan
9
(39)
8
pengambilan putusan akan dikonsep oleh individu sebagai kekuatan
keyakinan (probabilitas subjektif). Kahnerman, Slovic dan Tversky (dalam
Rahayu, 2005)menyatakan, bahwa probabilitas subjektif adalah
probabilitas yang menyebutkan individu yang berbeda akan menghasilkan
probabilitas yang berbeda dalam kejadian yang sama. Hal ini disebabkan
penetapan probabilitas berdasarkan keyakinan tiap individu.
Walaupun demikian, probabilitas subjektif masih terkait dengan
pengambilan putusan rasional yang umum. Konsistensi internal atau
koherensi dalam probabilitas subjektif diperoleh jika pilihannya dapat
memuaskan prinsip tertentu. Teori probabilitas Bayesian dapat diterapkan
dalam kondisi saat seseorang berkeinginan untuk memperbarui
keyakinannya akan suatu peristiwa dengan bukti-bukti baru. Hal ini sesuai
dengan pengambilan putusan perkara pidana karena hakim atau juri akan
selalu mengubah keyakinannya (salah atau tidak) jika ada bukti-bukti
baru.10
Menurut Hastie (dalam Rahayu, 2005) tahap-tahap dalam proses
probabilitas subjektif adalah sebagai berikut: Pertama, Hakim harus
memiliki Probabilitas awal, yaitu derajat awal keyakinan terhadap kasus
yang dihadapi. Probabilitas awal tersebut dapat dilihat dari ukuran mental.
Probabilitas awal terbentuk oleh keyakinan hakim akan pengamatan hasil
kerja polisi, jaksa dan advokat serta sikap individu terhadap peradilan atau
hukum pidana. Kedua, setelah hakim memiliki Probabilitas awal, tugas
10
(40)
9
hakim selanjutnya adalah mengidentifikasi dan memahami informasi satu
demi satu. Informasi itu akan memperbarui tingkat keyakinannya. Teori
Probabilitas Bayesian tidak membicarakan bukti mana yang dapat
memperbarui tingkat keyakinannya. 11
Teori Probabilitas Bayesien tidak membicarakan bukti mana yang
dapat memperbarui tingkat keyakinannya. Ketiga, pada saat bukti
diidentifikasi, hakim mulai melakukan proses memperbarui probabilitas.
Probabilitas awal akan dikombinasikan dengan bukti baru untuk
memperbarui keyakinan (derajat kesalahan terdakwa) yang akan
dipertimbangkan. Probabilitas baru dengan bukti baru ditunjukkan dengan
perubahan nilai ukuran mental. Perlu diingat bahwa probabilitas dalam
persamaan yang berperan sebagai numerator memiliki peran tertentu.
Artinya jika probabilitas memiliki nilai ekstrem (nol atau satu), persamaan
tersebut tidak akan menghasilkan perubahan probabilitas selanjutnya,
karena suatu bilangan jika dikalikan nol atau satu, tidak akan berubah.
Ukuran mental harus berhenti jika telah mencapai nilai nol atau satu.
Jika terdapat bukti baru, akan terjadi proses pembaruan kembali
sehingga probabilitas selanjutnya akan berganti dengan probabilitas
selanjutnya. Proses tersebut akan berlanjut terus hingga tidak ada bukti
baru, dan hakim diminta untuk mengambil putusan. Jika hakim diminta
untuk mengambil putusan, hakim masuk dalam tahap membandingkan
probabilitas akhir dengan kriteria menghukum.
11
(41)
10
Teori probabilitas bayesien tidak membahas faktor-faktor yang
harus dipertimbngkan dalam menyusun kriteria menghukum. Diperkirakan
kriteria menghukum dibentuk melalui sikap dan pengetahuan hakim
terhadap peradilan dan hukum pidana, serta perubahan sikap terhadap
terdakwa selama proses peradilan. Jika proses penyesuaian masuk pada
batas kriteria menghukum, kesimpulannya adalah menghukum dan jika
terjadi sebaliknya terdakwa akan dibebaskan. Keputusan akan tersaji
dalam probabilitas nol sampai dengan satu dan dapat dikonseptualkan
sebagai suatu daerah keputusan ukuran mental.12
Terakhir adalah tahap evaluasi kegunaan dari putusan yang dibuat
hakim. Evaluasi kegunaan meliputi pertimbangan biaya kesalahan yang
mungkin dari setiap putusan. Walaupun probabilitas subjektif
menyimpulkan untuk menghukum, hakim dapat membebaskan terdakwa
karena memiliki pertimbangan mahalnya biaya kesalahan menghukum
(misal menghukum orang yang tidak bersalah).
Model probabilitas Bayesian tersebut memiliki banyak kesulitan
dalam penerapannya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa tingkah
laku manusia tidak sesuai dengan prinsip probabilitas. Keterbatasan teori
probabilitas bayesian adalah: (i) memiliki ukuran mental tunggal; (ii)
mendefinisikan proses probabilitas secara global, padahal tugas hakim
dimata hukum adalah multidimensional; dan sesudah terdapat bukti baru,
tanpa konsistensi prediksi tingkah laku sulit dilakukan.
12
(42)
11
3. Teori Aljabar
Pendekatan aljabar yang digunakan dalam putusan pidana adalah
persamaan model lincar atau persamaan rerata yang dibobot. Persamaan
rerata yang dibobot berasumsi bahwa setiap bukti yang diidentifikasikan
akan diperantarai oleh derajat kepentingan, relevansi, dan reliabilitas bukti.
Dalam pengambilan putusan hukum, seorang juru atau hakim harus
mempertimbangkan suatu kesaksian dari derajat kepentingannya. Seorang
saksi yang reliabel akan diberi bobot penting dibanding saksi saksi yang
tidak reliabel. Dampak kesaksian terhadap keputusan akan ditentukan oleh
isi kesaksian, kreliabilitas, serta relevansi kesaksian.
Seperti pada model Bayesian, model aljabar juga menggunakan
ukuran mental tunggal, yaitu hasil dari proses disimpulkan menjadi
keyakinan pada saat itu. Terdapat dua perbedaan penting antara model
aljabar dan model Bayesian, yaitu : (i) pada model aljabar, dasar
pengambilan putusan bukan probabilitas subjektif sehingga aturan
koherensi antar keputusan tidak mutlak. Keputusan nol atau satu bukan
keputusan akhir dan penyesuaian tetap dapat dilakukan jika masih terdapat
bukti yang memungkinkan. (ii) pembaruan keyakinan dihitung secara
penjumlahan dalam model aljabar (bobot tiap bukti ditambah bobot
keyakinan saat ini), sedangkan model Bayesian dihitung secara
perkalian.13
13
(43)
12
Kelemahan model aljabar seperti juga model Bayesian adalah
menggunakan ukuran mental tunggal padahal tugas hakim atau juri di
mata hukum adalah kompleks. Selain itu, model matematika (Bayesian
dan aljabar) tidak dapat memberikan gambaran yang detil tentang proses
kognitif juri atau hakim dalam mengambil putusan hukum.
4. Teori Model Cerita
Teori model cerita berangkat dari pemikiran bahwa para hakim
dalam rangka memutuskan perbuatan pidana akan mengumpulkan
informasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwa maupun
alat-alat bukti lain. Hakim akan menyusun cerita berdasarkan bukti-bukti
di persidangan. Selanjutnya mereka mempelajari beberapa kemungkinan
putusan, dan akhirnya mereka memilih keputusan yang paling cocok
dengan cerita yang telah disusun untuk memahami bukti-bukti yang
didengar dalam menetapkan putusan.14
Model ini menganalogikan pemrosesan informasi kognitif manusia
seperti pemrosesan informasi kognitif komputer. Teori ini berasumsi
bahwa dalam pikiran manusia terdapat arsitektur dasar (dianalogikan
dengan perangkat keras dalam komputer) yang dapat memproses
informasi. Selain itu, terdapat strategi khusus (yang dianalogikan dengan
program komputer) yang dikembangkan dalam menyelesaikan
permasalahan.
14
(44)
13
Proses kerja pemrosesan informasi diawali dengan sensor,
rekognisi pola, perhatian dan memori. Panington dan Hastie (dalam
Rahayu, 2005) menyimpulkan, bahwa kunci dari pemrosesan kognitif
sebenarnya terletak pada kerja mental dalam mengaktifkan dan
menyimpan memori. Sistem kerja memori diawali dengan perhatian.
Kapasitas perhatian sangat terbatas (sering digambarkan sebagai leher
botol) dan hakim atau juri sebagai manusia biasa juga memiliki
keterbatasan ini. Jika pengacara, saksi, penuntut umum, dan terdakwa
berperilaku secara simultan, hakim hanya akan menerima, memahami, dan
mengingat dari satu sumber. Pendekatan pemrosesan informasi kognitif
disebut sebagai cerita, karena inti proses kognitif hakim atau juri adalah
mengkontruksi cerita. Model ini memiliki beberapa tahap, yaitu: (i)
menyusun cerita; (ii) mempelajari unsur-unsur pasal yang didakwakan
jaksa penuntut umum (JPU); (iii) mengambil keputusan melalui
pencocokan cerita dengan pasal undang-undang yang digunakan sebagai
dasar pemidanaan.15
D. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Proses Pembuatan Putusan Hakim
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hakim didalam
menjatuhkan suatu putusan. Faktor-faktor tersebut menurut Loebby
Luqman meliputi : (i) raw in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan
suku, agama, pendidikan informal, dan sebagainya; (ii) instrumental input,
15
(45)
14
yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal;
(iii) environmental input, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang
berpengaruh dalam kehidupan seorang hakim, seperti lingkungan
organisasi dan seterusnya.16
Yahya harahap (dalam Moerad M.B., 2005) memerinci
faktor-faktor tersebut menjadi faktor-faktor subjektif dan faktor-faktor objektif. Faktor
subjektif meliputi; (i) Sikap perilaku yang apriori, yakni adamya sikap
hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang
diperiksa dan diadili adalah orang yang memang tlah bersalah sehingga
harus dipidana. (ii) sikap perilaku emosional, yakni putusan pengadilan
akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Hakim yang mempunyai perangai
mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai hakim yang tidak
mudah tersinggung.
Demikian pula putusan hakim yang mudah marah dan pendendam
akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar. (iii) sikap arrogence
power, yakni sikap lin yng mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan”, di sini hakim merasa dirinya berkusa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela apalagi terdakwa). (iv) Moral,
yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi seorang
16
(46)
15
hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim
tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara.17
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap putusan hakim dapat
diklasifikasi menjadi :
1. Faktor Hakim
Beberapa hal yang ada dalam diri hakim yang berpengaruh dalam
pembuatan putusan, meliputi: kemampuan berpikir logis, kepribadian,
jenis kelamin, usia dan pengalaman kerja. Menurut Rahardjo, di Indonesia
perhatian terhadap faktor manusia (hakim) belum berkembang bahkan
bahkan dapat dikatakan belum berkembang sama sekali. Faktor manusia
disini adalah latar belakang perorangannya, pendidikannya, serta keadaan
konkert yang dihadapinya pada waktu membuat suatu putusan.18
Kemampuan berpikir logis yang baik sangat dibutuhkan oleh
profesi hakim terutama dalam pembuatan putusan untuk menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa dalm proses persidangan. Disamping itu
juga untuk menentukan jenis pidana yang sesuai dengan perbuatan pidana
yang dilakukan, jika terdakwa telah diputuskan bersalah.
Faktor kepribadian hakim juga berpengaruh terhadap putusan
hakim dipengadilan. Mitchell dan Byrne menemukan, bahwa juri
17
Pontang Moerad B.N, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara
Pidana, (Bandung: Alumni,2005), 117-118
18
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar
(47)
16
berkepribadian otoriter lebih sering menyatakan terdakwa bersalah.
Sementara itu Mills dan Bohannon menemukan bahwa juri yang memiliki
empati tinggi cenderung memutuskan terdakwa tidak bersalah. Menurut
Altermeyer, bahwa individu otoriter percaya bahwa kejahatan merupakan
tindakan yang serius dan hukuman dapat mengubah perilaku kriminal
merupakan perilaku yang menjijikan dan memuakkan, sehingga individu
otoriter merasa memperoleh kepuasan dan kesenangan jika dapat
menghukum orang yang berbuat salah.
Mitchel dan Byrne, Moran dan Comfort (dalam Rahayu, 2005)
menemukan, bahwa juri dengan kepribadian otoriter lebih sering berpikir
bahwa terdakwa bersalah. Rykman (dalam Rahayu, 2005) menggunakan
mahasiswa untuk berperan sebagai juri menemukan bahwa individu
otoriter rendah pada perkara berat, seperti pembunuhan dan pemerkosaan.
Dalam perkembangannya individu otoriter sangat mryakini bahwa
kejahatan merupakan bahaya bagi diri dan masyarakatnya. Selain itu,
individu otoriter yang patuh terhdap otoritas dan aturan slalu berpikir
bahwa dirinya baiki dan bijak, karena ia slalu melihat dirinya stabil dalam
memutuskan perilaku moralistis yang terkait dengan otoritas. Perilaku
kriminal yang melanggar aturan akan menimbulkan rasa kecemasan dan
ancaman.
Hal itu akan menurunkan kestabilan diri individu otoriter. Oleh
karena itu, untuk mengatasi kecemasan dan perasaan bahwa dirinya adalah
(48)
17
perilaku kriminal. Individu otoriter berkeyakinan bahwa sesuatu yang
sesuai dengan aturan adalah benar, dan yang tidak sesuai dengan aturan
harus dicari dan dipertimbangkan. Individu otoriter tidak pernah belajar
berpikir kritis. Hakim yang berkepribadian otoriter akan memutuskan
perkara sesuai dengan aturan (konvensi) tanpa mempertimbngkan secara
lebih mendalam segala aspek yang terkait dengan keadilan. kriminalitas
mengancam rasa aman dan kestabilannya sebagi orang bijak. Perilaku
kriminalitas yang melanggar peraturan harus dihukum berat karena salah.19
Rahayu mengemukakan bahwa hakim dengan kepribadian otoriter
memiliki kepatuhan berlebihan terhadap norma, nilai, hukum, sehingga
akan memberikan hukuman lebih berat terhadap para kriminal. Hal ini
didukung oleh karakteristik hakim otoriter adalah memiliki pikiran
tertutup, tidak sensitif, curiga, sehingga pertimbangan-pertimbngan dlm
persidangan yang dikemukkan oleh pengacara, terdakwa atupun jaksa
penuntut umum kurang mendapat perhatian. Hakim otoriter lebih
mementingkn oertimbangan dirinya yang mengacu pada hukum menurut
dirinya sendiri.
2. Faktor Terdakwa
Terdakwa juga dapat memberikan pengaruh terhadap putusan
hakim. Pengaruh yang diberikan dapat dibedakan menjadi karakteristik
terdakwa dan keterangan terdakwa. Krakteristik terdakwa adalah
19
(49)
18
karakteristik yang melekt pad diri terdakwa pada saat menjalani
pemeriksaan, yang meliputi jenis kelamin, usia, daya tarik, dan ras.20
Jenis kelamin terdakwa berpengaruh terhadap putusan hakim.
Kelven dan eisel melaporkan bahwa terdakwa pria lebih sering diputus
bersalah oleh juri dalm kasus pembunuhan pasangannya. Negel
mengemukakan bahwa terdakwa wanita dihukum lebih ringan
dibandingkan pria dalam kasus perampokan dan pencurian, sedangkan
pada kasus pembunuhan pada anaknya sendiri, terdakwa wanita dihukum
lebih berat dibandingkan terdakwa pria. Hal ini disebabkan dalam
masyarakat indonesia wanita distereotipkan bertanggung jawab terhadap
pemeliharan keluarga (termasuk anak). Demikian pula faktor usia
terdakwa juga berpengaruh kepada putusan hakim atas berat ringannya
hukuman. Terdakwa dengtan usia lebih tua mengundang iba hakim,
demikian pula jika usia terdakwa masih muda.21
Rahayu (1996) menemukan bahwa terdapat perbedaan hasil dalam
studi deskriptif pengaruh ras terhadap pemidanan di Indonesia. Ada
kecenderungan terdakwa ras Cina mendapat hukuman lebih berat
dibanding dengan terdakwa ras pribumi. Perbedaan tersebut dimungkinkan
adanya pengaruh rekuisitor jaksa penuntut umum tidak dikendalikan.
3. Faktor Saksi
20
Ibid., 130.
21
(50)
19
Saksi dapat pula mempengaruhi hakim dalm memutuskan perkara
di pengadilan. Brigham dan Wolfskeil meneliti bahwa hakim dan juri
menaruh kepercayaan 90% terhadap kesaksian. Faktor diri saksi yang
berpengaruh terhadap pemidanaan hakim antara lain : jenis kelamin, suku
bangsa, status sosial ekonomi, tampang dan perilaku di ruang
pengadilan.22
Widgery menemukan bahwa kesaksian yang diberikan oleh saksi
wanita lebih dipercaya daripad kesaksian yang diberikan oleh saksi pria.
Demikian pula menurut Aronson dan Golden, hakim da saksi yang
mempunyai latar belakang etnik yang sama, sangat besar kemungkinannya
kesaksiannya lebih dipercaya. Menurut Erickson semakin tinggi status
sosial ekonomi saksi yang terlihat dari pekerjaan, cara berpakaian, dan
cara bicara, semakin tinggi pula kepercayan terhadap kesaksian yang
diberikan. Penampakan saksi dapat diperhatikan dari daya tarik fisik dan
pakaian.
Perilaku dapat diperhatikan dari kontak mata, gerak tubuh, dan
gaya bicara. Thornton melaporkan bahwa korban yang memiliki rupa
menarik lebih dipercaya dalam membertikan kesaksian. Menurut Bowers
kesaksian yang diberikan secara terburu buru atau terlalu diatur kurang
22
(51)
20
dipercaya jika dibandingkan dengan kesaksian yang diberikan secara
normal.23
4. Faktor Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Penelitian Rahayu menemukan, bahwa besarnya rekuisitor
(tuntutan) jaksa memengaruhi sebagai hakim dalam menentukan
pemidanaan. Dalam memutuskan pemidanaan hakim akan menggunkan
pasal yang didakwakan jaksa dan kebebasan hakim. Pada kenyataannya
masih terdapat hakim dalam memutuskan pemidanaan menggunakan
rekuisitor jaksa penuntut umum sebagai acuan mutlak.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keterpengaruhan hakim
akan rekuisitor jaksa penuntut umum bergantung oleh jenis perkara dan
tinggi rendahnya ancaman pemidanaan. Pada jenis perkara yang singkat,
78% hakim terpengaruh oleh rekuisitor jaksa. Pada perkara yang ancaman
hukumannya tinggi seperti pembunuhan, 22% hakim terpengaruh oleh
rekuisitor jaksa. Pada perkara yang ancaman hukumannya sedang seperti
pencurian dan penggelapan, 50% hakim terpengaruh oleh rekuisitor
jaksa.24
5. Faktor Pengacara atau Advokat
Menurut Brigham, Pengacara yang menarik dapat memberikan
pengaruh yang besar dalam proses persidangan, karena ia dapat berperan
23
Ibid., 105.
24
(52)
21
sebagai komunikator yang persuasif terhadap haik,m. Pada umumnya
pengacara memiliki relasi yang luas dan mempunyai keahlian yang sangat
memberikan pengaruh terhadap putusan hakim. Du Cann memberikan
kriteria pengacara yang sukses yaitu yang memiliki kejujuran, pandangan
baik, berani, ulet, kesungguhan hati, dan rajin. Thomas pernah melakukan
wawancara dengan sejumlah pengacara untuk memperoleh kriteria
pengacara yang baik. Ia menemukan pengacara yang sukses ialah yang
berkepribadian dan memiliki kemampuan persuasi yang baik. Hampel
menekankan bahwa pengacara yang sukses adalah seorang komunikator
yang baik.
6. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat yang dapat mempengaruhi putusan hakim dapat
berupa opini publik dan budaya masyarakat. Opini publik biasanya terbuat
dari pemuatan kasus yang sedang dilakukan pemeriksaan melalui media
televisi, radio, surat kabar, dan sebagainya. Roberts dan Edwards
menunjukkan bahwa penayangan berita kejahatan mendorong orang
memandang terdakwa semakin tidak menguntungkan. Opini publik
mempengaruhi hakim untuk bertindak sesuai harapan masyarakat, agar
hakim terhindar dari tekanan masyarakat.25
Budaya juga memberikan pengaruh dalam pengambilan putusan
hakim. Pengaruh budaya dalam pengambilan putusan, misalnya kasus
25
(53)
22
carok di Madura. Budaya carok di Madura merupakan kebiasaan
membunuh orang yang menyinggung harga diri. Budaya carok
mengakibatkan tingkat pembunuhan di Madura tergolong tinggi dibanding
dengan daerah lain. Hal ini sangat berpengaruh terhadap putusan hukuman
hakim di daerah tersebut. Pemidanaan hakim tethadap kasus pembunuhan
carok menjadi lebih ringan karena mempertimbangkan unsur budaya.
E. Setting Sosial Hakim dalam Menangani Perkara di Pengadilan Korupsi
Sebagai bagian dari suatu orgnisasi penegakan hukum, pengadilan
mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan hukum. Terhadap tujuan
hukum ini banyak pandanganaliran yang berbeda dalam melihatnya.
Menurut pandangan etis, tujuan hukum itu adalah untuk menciptakan
keadilan. Menurut pandangan utilitas, tujuan hukum iu semata mata untuk
menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga. Menurut pandangan
normatif-dogmatik, tujuan hukum itu semata-mata untuk menciptakan
kepastian hukum. Ketiga pandangan tersebut oleh Ahmad Ali
disenyawakan menjadi tujuan ideal hukum, yaitu: keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian, dengan mengacu pada asas prioritas. Prioritas pertama
adalah keadilan, baru kemanfaatan dan kepastian.26
Sebagai organisasi penegakan hukum, pengadilan melakukan
kegiatan, yakni menerima, memeriksa, dan mengadili perkara yang datang
26
(54)
23
dari masyarakat. Kegiatan tersebut pada hakikatnya merupakan aktivitas
penegakkan hukum, yakni proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan.27
Bersama-sama dengan lembaga penegak hukum yang lain,
pengadilan mengembangkan kehidupannya sendiri, membentuk
norma-normanya sendiri, serta mengejar tujuannya sendiri pula. Dengan demikian
terbentuklah lingkungan kultur tersendiri disekitar pengadilan tersebut.
Bagi orang diluar pengadilan, tentunya akan kesulitan untuk memahami
adanya kultur tersebut, oleh karena yang diketahuinya hanyalah apa yang
tertera secara formal dalam ketentuan-ketentuan yang disebarkan kepada
umum, seperti halnya UU pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48
Tahun 2009). Terciptanya kultur organisasimerupakan sesuatu yang
dibutuhkan agar organisasi itu dapat bekerja dalam melayani masyarakat.28
Dalam konteks suatu organisasi modern yang bersifat rasional,
pengadilan tidak luput dari melakukan tindakan yang didasarkan pada
pertimbangan rasional ekonomis tertentu. Pertimbangan rasional ekonomis
itu antara lain: berusaha untuk mendapatkan hal-hal yang menguntungkan
organisasi sendiri sebanyak mungkin, berusaha untuk menekan sampai
kepada batas minimal beban yang akan menekan menghambat organisasi
itu.
27
Baca Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung:
Sinar Baru, Tanpa tahun), 18-20.
28
(55)
24
Apabila pengadilan diulihat dari sudut perspektif organisasi, maka
biasanya dihubungkan dengan beban pekerjaan yang harus diselesaikan.
Meningkatnya beban pekerjaan secara tajam, akan mengakibatkan
kesulitan keorganisasian. Friedman (dalam Rahardjo) mengatakan, bahwa
lembaga yang melayani kepentingan umum mempunyai perkiraan sendiri
mengenai masyarakat yang dilayaninya. Perkiraan ini kemudian dipetakan
kedalam suatu pola tertentu yang disebut pola bebam kerja yang normal.
Pola ini yng kemudian menjadi pegangan dalam mengadakan berbagai
sarana yang dibutuhkannya seperti fasilitas, tenaga, dan penggajian.
Dalam menangani perkara korupsi di Indonesia, terdapat dua
lembaga pengadilan, yaitu pengadilan Tipikor (khusus) dan pengadilan
negeri (umum). Perkara korupsi ini ditangani oleh dua lembaga
pengadilan, sehingga sistem ini disebut double track system atau sistem
dua jalur pengadilan korupsi di Indonesia.29
Pengadilan Tipikor di Indonesia dibentuk sejak thun 2004. Pada
awalnya dasar pembentukan pengadilan ini mengacu pada Pasal 53
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dalam pasal tersebut ditentukan, bahwa pengadilan
Tipikor bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Pengadilan khusus ini
mempunyai tugas memeriksa dan mengadili perkara korupsi tentu dengan
29
Baca Nyoman Setikat Putra Jaya, 2007 “Reposisi Pengadilan Tipikor‛ Suara Merdeka, 2
(56)
25
kualifikasi: melibatkan para penegak hukum, penyelenggara negara dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,
mendapatkan perhatian dan meresahkan masyarakat, merugikan keuangan
negara paling sedikit satu miliar rupiah.30
Sementara itu pengadilan negeri juga mengadili perkara korupsi
secara umum diluar ketentuan yang disebutkan di atas. Dasar
pembentukan lembaga pengadilan negeri mengacu pada ketentuan
Undang No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum jo.
Undang-Undang No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 2 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.31
Hukum materiil dan hukum formil yang diterapkan di kedua
pengadilan tersebut sama, yaitu didasarkan pada Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentag perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Perbedaannya terletak pada komposisi hakim dan input
perkaranya. Di Pengadilan Tipikor terdapat unsur hakim ad hoc, yang
berasal dari hakim nonkarier, sedangkan di pengadilan umum semuanya
dari hakim karier. Input perkara dipengadilan Tipikor didasarkan dari hasil
30
Baca Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 31
(1)
1
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang penulis bahas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Pertimbangan hukum hakim dalam putusan No. 1616 K/Pid.Sus/2013 tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa Angelina Sondakh menggunakan Pertimbangan yuridis, Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.
Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya: Dakwaan jaksapenuntut umum, Tuntutan pidana, Keterangan saksi, Keterangan terdakwa, Barang-barang bukti dan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Korupsi.Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan hukuman lebih berat terhadap terdakwa Angelina Sondakh dalam putusan No.1616 K/Pid.Sus/2013. Tentang tindak pidana Korupsi, sehingga terdakwa dikenakan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS atau sekitar Rp 27,4 miliar. Terdakwa sebagai subjek hukum Pidana yang bernama Angelina Patricia Pingkan Sondakh, terdakwa mengetahui atau setidaknya dapat menduga bahwa uang yang seluruhnya
(2)
2
berjumlah Rp12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu yang telah diterima Terdakwa secara bertahap dari permai Grup tersebut diberikan sebagai imbalan (fee) yang telah janjikan sebelumnya karena Terdakwa menyanggupi akan mengusahakan supaya anggaran untuk proyek pembangunan/pengadaan pada Program Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan program pengadaan sarana dan prasarana di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dapat disesuaikan dengan permintaan Permai Grup karena nantinya proyek-proyek tersebut akan dikerjakan oleh Permai Grup ataupun pihak lain yang telah dikoordinasikan oleh Permai Grup.
Selain pertimbangan di atas, ada pula pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara dalam kasus yang berdakwakan Angelina Sondakh yaitu karena Angelina Sondakh Melanggar Tata Tertib DPR-RI (Keputusan DPR RI No. 01/DPR RI/I/2009-2014 tanggal 29 September 2009), Melanggar Kode Etik DPR RI (Keputusan DPR RI No. 16/DPR RI/I/2004-2005 tanggal 29 September 2004) Pasal 17 ayat (2): Anggota tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan mitra kerjanya dengan maksud meminta atau menerima imbalan atau hadiah untuk kepentingan pribadi.
(3)
3
Adapun saran yang mungkin bermanfaat yang penulis sampaikan pada bab akhir skripsi ini semoga bermanfaat dan berguna, sebagaimana berikut :
1. Semoga dengan adanya kasus ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk saling menghormati dan menghargai terhadap sesama makhluq hidup sehingga kita sebagai masyarakat yang bermoral tau akan hukum dan taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Berharap agar para Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang di beri
wewenang dalam memutus ataupun mengadili perkara tindak pidana korupsi harus lebih teliti lagi dan tegas dalam upaya menjatuhkan tuntutan yang sesuai pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar terciptanya masyarakat yang bebas dari korupsi demi menyelamatkan perekonomian negara dan untuk menjadikan negara yang bersih.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Asikin, Amirul ainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006).
Abdoel Djamali, R. Pengantar Hukum Indonesia. (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2005). Ali Ahmad, Menguak Tabur Hukum, Cet I, (Jakarta: Candra Pratama, 1996).
Al-Hikmah, Al-Qur’an Terjemahan, Departemen Agama RI, Jakarta, 2013.
Djaja Ermansjah. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Dirjosisworo Soedjono. Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia. (Bandung: Cv Sinar Baru, 1984).
Djaja Ermansjah. Memberantas Korupsi Bersama KPK. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Doi, Abdur Rahman I. Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. (Jakarta: Rineka Cipta, 1992). Hartanti Evi. Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Irfan Nurul, M. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta: amah, 2011). Luqman Loebby, Delik-delik Politik, (Jakarta: Ind-Hill CO, 1990).
Moerad Pontang. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alumni,2005).
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama Partnership Kemitraan, Koruptor itu Kafir, Mizan, (Jakarta, 2010).
Noeh Fuad. islam dan gerakan moral anti korupsi. ( Jakarta: Zikrul Hakim ,1997).
Probowati Yusti Rahayu. Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara Pidana, (Surabaya: Srikandi, 2005).
(5)
Rahardjo Satjipto, Masalah Penegakkan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, tanpa tahun).
Rianto, Adi. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. (Jakarta: Granit, 2004).
Syamsudin, M. Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. (Jakarta: Kencana, 2012). Subagyo, Joko. Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek. (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994).
Soesilo R, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,Politea, Bogor. (pusat litbang kejaksaan agung R.I, Studi tentang peranan Alat bukti keterangan ahli dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, 2008).
Syamsudin M. Budaya Hukum Hakim, (Jakarta: Kencana, Cet. I, 2012).
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV Utama, 2004).
Setikat Putra Jaya Nyoman. “Reposisi Pengadilan Tipikor” Suara Merdeka, 2 Januari 2007 Samin Sabri, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia. (Jakarta: Kholam, 2008).
Taufik Makarao dan Suhasril Mohammad. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010).
Wiyono R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi. (Jakarta: Grafika, 2008).
Skripsi :
Skripsi Penanganan kasus korupsi dana rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa tahun 2006 di kabupaten Bantul (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bantul NO. 222/pid.Sus/2010/PN.Btl), Amalia Hidayati, 2013.
Skripsi “Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan (putusan Nomor :33/PID.SUS.KOR/2011/PT.MKS), Andi Syamsurizal Nurhadi, 2013.
(6)
Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman
Berdasarkan Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentng pengadilan Tipikor akan dibentuk pengadilan Tipikor di daerah-daerah yang meliputi: Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Bandumg, Samarinda dan Makassar.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Web :
http:Detiknews.com Kompasiana.com