Hukum kebiri bagi pelaku pedofilia dalam perspektif hukum Islam dan peluang penerapannya di Indonesia.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum

untuk Memenuhi PersyaratanGelar Sarjana Syariah (S.SV.)

Universltas lslam Negen SYARIF }IIDAYATULI-AH .IAKARTA

Oleh

:

Ahmad Sandi

NIM

: 1110043200038

KONSENTRASI PERBAI\DINGAN

HUKUM

PROGRAM STTIDI PERBAI\DINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS

SYARHH DAI\ HUKUM

T]NWERSITAS

ISLAM

I\IEGERI

SYARMF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

I TI-,


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah d an Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna

Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S. SV)

Oleh Ahmad Sandi

NIM:

1110043200038

Di

Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing

II

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

I{UKUM

F'AKULTAS SYARIAH

DAN

HUKUM

T]NIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

t435HJ 2015

M

NIP:

197412132003


(3)

II\DONESIA

telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal

22

September

2015. Skripsi

ini

telah

diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh

gelar

Sarjana Syariah (S.Sy.) pada progra studi Perbandingan

Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum.

J akata, 22 Septemb er 2015 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

PANITIA UJIAN MTINAQASAH

1.

Ketua

2.

Sekretaris

3.

Pembimbing

I

4.

Pembimbing

II

5.

Penguji

I

6.

Penguji

II

Fahmi Muhammad Ahmadi. S.Ag..M.Si (

NIP. 1 974 1 2 132003 t21002

Siti Hana" Lc.

MA

NrP. I 97402 1 620080 120 l 3

Fahmi Muhammad Ahmadi. S.Ag..M.Si

NIP. I 974 12 132003t2r002

Afuan Faizin. MA.

NrP. 1 972 1 0262003 r2r00

|

Dr. Ahmad Sudirman Abbas.

MA

NIP. I 969 120 1 I 99903 1003

Dedy Nursy?msi.SH. M.Hum

NIP. I 972 1 0262003 r2r00 t

Dr. AsepSa-diudin

Jahlr.

MA.


(4)

ii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar di Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya sendiri atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 juni 2015 8 Ramadhan 1436 H


(5)

iii

anak beberapa waktu lalu atau biasa menyebutnya dengan tindak pedofilia yang dipandang sangat mengkhawatirkan karena dampak yang timbul reaksi negatif bagi korbannya seperti trauma, rasa malu, pandangan penyimpangan mengenai hal yang berkonotasi seksual, terluka atau bahkan penyakit menular akibat penyimpangan seksual tersebut dianggap sangat meresahkan bagi orang tua terutama anak-anak sebagai sasaran. Dampak dari kasus pedofilia sangat besar, dimana korban yang masih anak-anak dan menbutuhkan perlindungan justru mendapatkan perilaku penyimpangan.

Sanki bagi pelaku tindak pidana pedofilia dalam hukum Pidana Indonesia sebagai dasar hukum yang berlaku, yaitu pasal 294 KUHP dan menurut Undanga-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sudah ditetapkan, namun kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak justru semakin meningkat tiap tahunnya. Tindakan tersebut bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dilakukan oleh orang terdekat atau orang asing sekalipun sehingga korbannya tidak hanya satu bahkan bisa mencapai puluhan.

Dalam Hukum Pidana Indonesia memang sudah ditentukan sanksinya. Apabila melihat dari sundut pandang lain, hukuman yang sudah ditetapkan apakah dapat meberikan efek jera dan dipandang setimpal dengan perbuatan si pelaku yang membunuh keceriaan dan psikologi anak-anak. Dari pernyataan tersebut kemudian lahir suatu opini mengenai hukuman pedofilia dengan memberikan sanksi kebiri. Hukuman kebiri sudah di tetapkan beberapa negara Eropa dan sebagian negara Asia sebagai upaya menekan timbulnya korban. Berdasarkan permasalahan diatas, skripsi ini akan membahas tinjauan hukum Islam dan keberlakuan hukuman kebiri di Indonesia.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji atau menganalisis data primer dan sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia, jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research).

Kata kunci : Tindak pidana pedofilia, Hukuman kebiri bedah (surgical castration)

dan kimia (chemical castration).

DibawahbimbinganPembimbing I Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,M.Si. dan Pembimbing II Afwan Faizin, MA.


(6)

iv

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya.

Berkat adanya taufik, hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi degan judul "HUKUM KEBIRI BAGI PELAKU PEDOFILIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PELUANG PENERAPANNYA DI INDONESIA." Karya ini tentunya tidak dapat terselesaikan tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari teman-teman serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide, motivasi, masukan serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis merasa wajib untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,M.Si., selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Pembimbing I serta guru bagi penulis yang selalu memberi masukan, arahan, bimbingan serta ilmu dalam membuat karya tulis skripsi ini.


(7)

v

4. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.

5. Ayahanda tercinta Hasanuddin dan Ibunda terkasih Rositi, serta adik-adik dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. H. Saelan.

6. Teman-teman seperjuangan Ramdhani ‘sambit’, Wiwin ‘jenggot’, Ilyas ‘damva’, Aidz, Bambang, Laka, Teddy, Fanny, Rafika, Winda, Muzi, dan teman-teman PH 2010 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua semangat.

7. Teman berkeluh kesah adinda Ayu Sari Asih, semoga kesabaran dan penantianmu dibalas oleh Allah SWT.

Jakarta, 25 Juni 2015

8 Ramadhan 1436 H


(8)

vi

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEDOFILIA A. Penegertian dan Ruang Lingkup Pedofilia ... 14

1. Pengertian Pedofilia ... 14

2. Ruang Lingkup Pedofilia ... 20

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan ... 26

BAB III: SANKSI KEBIRI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA A. Hak dan Kebutuhan Perlindungan Anak menurut UU Perlindungan Anak.. ... 36

1. Hak-hak Anak ... 36

2. Kebutuhan Anak ... 46

B. Pelaksanaan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tidak Pidana Pedofilia ... 48

1. Surgical Castration (Pengebirian Bedah) ... 49

2. Chemical Castration (Pengebirian Kimia) ... 50


(9)

vii

1. Pedofilia Sebagai Perbuatan Jarimah... ... 63 2. Hukuman Zina dalam Pandangan Hukum Islam ... ...69 3. Hukuman Kebiri Kimia menurut padangan hukum islam.... .... ....78 C. Kemungkinan Penerapan Hukum Kebiri Kimia di Indonesia... ... ....85

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan... ... ...95 B. Saran... ... ...96


(10)

1

Pelecehan seksual dan kekerasan seksual merupakan penyimpangan psikologis dimana hal ini mengarah kepada suatu kegiatan seks yang tidak seimbang sehingga menimbulkan ancaman terhadap individu tertentu. Peristiwa pelecehan seksual dan kekerasan seksual dapat digolongkan ke dalam beberapa tindakan, bahkan mungkin saja pernah dialami oleh beberapa orang, antara lain adalah lelucon seks, menggoda secara terus-menerus mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seks, baik secara langsung melaluli ucapan atau dengan surat digital. penyiksaan secara verbal akan hal-hal yang terkait dengan kegiatan seks.1

Tidakan tersebut biasanya dilakukan secara berulang-ulang oleh pelaku dengan tujuan melampiaskan kebutuhan biologis yang belum bisa terpenuhi secara maksimal sehingga mendapat suatu sensasi yang berbeda dari apa yang ia lakukan sebelumnya. Banyak efek negatif yang timbul akibat penyimpangan ini, sehingga menjadikannya sebuah hal yang patut dibahas secara mendalam dan bahkan dunia menyebutnya sebagai "Folk-Devil".

Banyak kasus yang timbul mengenai dua variabel (kekerasan dan pelecehan seks). Korban yang timbul bukan hanya orang dewasa yang dianggap memiliki kematangan perilaku dan cara berfikir, bahkan remaja dibawah umur atau lebih mengarah kepada anak-anak tidak luput menjadi

1 N.Katz, Sanford. Child Snatching, The Legal Response to the Abduction Of childern.


(11)

sasaran penyimpangan psikologis ini. Seiring berkembangnya zaman dan dunia teknologi yang sangan pesat, kegiatan tersebut menjadi lebih modern dan mudah untuk didapat bagi para pelaku. Salah satu bentuknya adalah Pornografi kepada anak-anak melalui website.

Ribuan gambar mengganggu mengenai anak-anak sebagai salah satu tindakan penyimpangan lain, sehingga fenomena ini menarik banyak pihak untuk mulai bergerak dan menelisik kepada hal yang lebih signifikan.2 Upaya pemberantasan banyak dilakukan di beberapa negara sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pornografi kepada anak yang berakibat kepada kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Kekerasan dan pelecehan seksual kepada anak juga disebut dengan pedophilia. Istilah pedofilia pertama kali disebutkan pada abad ke-19 merujuk kepada kondisi psikologis dan tindakan pemerkosaan yang rentan terhadap anak-anak, pelecehan seksual dan bentuk-bentuk lain dari eksploitasi anak di bawah umur.

Dalam buku karangan Evy Rachmawati pedofilia digambarkan sebagai manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang dengan anak-anak. Kata pedofilia sendiri berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan philia (cinta)3. Kelainan yang dialami tersebut merupakan suatu dorongan seksual yang intens dan berulang-uang terhadap fantasi anak-anak pra-remaja sebagai suatu penyimpangan seks dan juga pelanggaran hukum yang sangat fatal.

2Lowenkron, Laura. Artikel : "All Againts Pedophilia". Ethnograpic notes About a

Contemporary moral crusade.

3Rachmawati,Evi. Sisi Kelam Pariwisata di Pulau Dewata,


(12)

Pada dasarnya, pedofilia dikategorikan sebagai perlakuan salah secara seksual kepada anak (child sexual abuse) yang relatif sulit diketahui karena dianggap tidak mungkin terjadi. namun demikian, hal ini diperjelas oleh Baker dan Duncan yang menyatakanbahwa:

Anak diperlakukan salah secara seksual ketika orang lain (dewasa) melibatkan anak. keterlibatan anak tersebut diharapkan dapat menimbulkan getaran seksual oleh orang dewasa (pelaku).4

Peristiwa-peristiwa demikian yang menjadikan anak sebagai korban, sebagian besar terjadi di lingkungan keluarga (intra familial) namun ada pula yang terjadi di luar lingkungan keluarga (masyarakat). Seringkali dari beberapa kasus yang ada sulit diperoleh fakta dominan mengenai hal tersebut. kecenderungan yang banyak diperoleh dari data pelaku relatif banyak sekalipun ada unsur-unsur mencolok yang mempengaruhinya.

Dalam Pasal 19 konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa :

Anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, eksploitasi dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua atas orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka.

Perilaku seksual yang lebih terarah pada gagasan kekerasan hanya berlaku kepada segala bentuk cedera fisik. Namun, menurut Vigarello pelecehan dan kekerasan seksual pada anak atau pedofilia merupakan :

Governed by Divine Law, the so called crimes of lust, such as sodomy, fornication and adultery, were seen as acts of desecration and contagious degradation that merged criminal and victim in the same indignity (vigarello-1988).

Vigarello menyatakan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur tidak merupakan kategori pidana khusus yang berdiri

4Reksodiputro, Mardjono. Arti dan Lingkup Masalah PERLINDUNGAN ANAK.(Jakarta:


(13)

sendiri, melainkan suatu tindakan penyimpangan moral yang sudah ada dan diatur oleh "divine law".

Undang-Undang Brazil 1890 menyebutkan bahwa

"crimes against the security of the honor and honesty of families and public offense to modesty" - were not defined as acts of violence against the person offended, but as offenses against family honor. The control of women's sexuality and the maintenance of young girls' chastity were understood as a means to safeguard the honor of males (husbands, brothers and fathers).5

Pelanggaran seksual didefinisikan sebagai serangan moral terhadap nilai-nilai kekeluargaan yang dipahami dengan unit sosial dan moral dasar masyarakat. Dalam hal ini, filsafat pencerahan abad ke-18 (Vigarello,1998; Borrillo 2009) mengakui dasar untuk perubahan aksiologi menentukan munculnya model baru atas regulasi hukum seksual dan untuk partikulasi konsep "kekerasan sekusal".

Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menetapakan umur pada pelecehan seksual tersebut, biasanya dibawah umur 15 atau 18 tahun (belum puber). Beberapa negara bagian lain menyatakan bahwa pelaku harus beberapa tahun lebih tua (minimal 5 tahun) untuk dipandang sebagai perbuatan kriminal.6

Cal. Penal Code, Selection 288.5 (1999)

a.) Any person who either tesides in the same home with the mirror child or has recurring acces to the child, who over a period of time, not less than three months in duration, engages in three or more acts of substantial sexual conduct with a child under the age of 14 years at the time of the comission of the offense.. or three or more acts of lewd or lascivious conduct under section

5Williams,Linda. artikel :Police Investigation: Identification of Evidence and Criminals,

Brazilian Child and Adolescent Statute, 1990 (ECA/90).

6Andi Hamzah, Jur. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, (Jakarta


(14)

288, with a child under the age of 14 years at the time of the commission of the offense is guilty of the offense of continuous sexual abuse of a child.7

Undang-undang negara bagian California menetapkan bahwa tindakan yang dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan dan terlibat tiga kali kegiatan seksual pada anak usia 14 tahun atau dibawahnya, dan tindakan cabul pada anak usia dibawah 14 tahun dianggap bersalah atas tuduhan tindakan pelecehan seksual pada anak.

Maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan. Bahkan orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi sumber ancaman bagi anak-anak. Hal ini menggambarkan bahwa keluarga dan lingkungan sekitar tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman. Sebagai usaha untuk melindungi hak-hak anak atas kejahatan seksual, dibeberapa negara Eropa dan Amerika menerapkan sanksi kebiri sebagai hukuman yang setimpal bagi kejahatan psikologi semacam ini.8

Berbagai macam hukuman tengah menjadi perbincangan dalam kasus pelecehan seksual, terutama terhadap anak-anak. Menimbulakan efek jera dirasa kurang mampu memberikan dampak yang begitu signifikan karena pelaku penyimpakan psikologi tersebut melakukannya bukan hanya pada satu anak. Keinginan untuk melakukan atau melampiaskan kebutuhan biologisnya hanya pada anak walaupun hukuman yang diberikan cukup berat, apabila hasrat itu kembali muncul akan ada kemungkinan timbul korban lain.

7 Titus Reid,Sue.Criminal Law Fifth Edition,(United State:R.R. Donnelly & Sons

Company. 2000). hlm, 208.

8 N. Katz, Sanford,Child Snatching, The Legal Response to The Abduction Of childern.


(15)

Merujuk pada kasus yang terjadi di Sukabumi, Andri Sobari alias Emon telah ditetapkan sebagai tersangka kasus sodomi atau kejahatan seksual pada anak. Kasus lain yang terjadi di sekolah bertaraf Internasional. Samai, pelaku sodomi pada ratusan anak-anak di Tegal. Beberapa kasus tersebut bisa kita ketahui bahwa korban bukan hanya satu orang, melainkan puluhan bahkan ratusan.

Data kekerasan seksual pada anak beberapa tahun terakhir menunjukan intensitas yang terus meningkat. Diperkirakan, setiap satu hingga dua menit terjadi kekerasan dan pelecehan seksual pada anak sehingga setiap tahunnya tercatat sekitar 788.000 kasus. Catatan Komnas anak pada tahun 2013 mencapai 736 kasus, meliputi 44,43% kekerasan seksual, 31,66% kekerasa fisik, dan 23,91% kekerasan psikis dan penelantaran. Sedangkan tahun 2014 sampai dengan pertengahan tahun 2014 sudah teracatat 426 kasus, meliputi 52% kekerasan seksual 28,5% kekerasan fisik , kemudian sisanya adalah kekerasan psikis dan penelantaran.9 Berdasarkan kutipan dari press release SoB, Inc (Striving on Branding), data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga April 2015 menunjukkan bahwa masalah terkait anak berturut-turut meliputi kasus anak berhadapan dengan hukum mencapai 6.006 kasus, kasus pengasuhan (3.160 kasus), kasus pendidikan (1.764 kasus), kesehatan dan napza (1.366 kasus), dan cybercrime-pornografi (1.032 kasus).10 Terlihat

9 Seto Mulyadi, Nasib Anak-Anak di Indonesia Kini, Kompas, Sabtu, 22 Juni 2014 10 Ramadhan, Bilal.Kasus Pelecehan Seksual di Jabar. http://www.republika.co.id/berita/

nasional/daerah/15/07/26/ ns3hwi330-pertengahan-2015-ada-55-kasus-pelecehan-seksual-anak-di-jabar


(16)

dari data tersebut bahwa kasus kekerasan seksual pada anak sudah menunjukan pada angka yang sangat tinggi sehingga harus ada suatu regulasi hukum yang dapat memberikan dampak pada pelaku kejahan seksual tersebut. Salah satu opsi yang muncul ialah hukuman kebiri kepada pelaku kejahan seksual sebagai upaya untuk mengurangi hasrat yang dianggap telah keluar kendali. Opsi hukuman kebiri di Indonesia bagi pelaku kejahatan seksual memang masih menjadi wacana, namun dibeberapa negara Eropa dan Amerika sudah diberlakukan untuk menanggulangi masalah ini, diantaranya adalah :

1. Amerika merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukum kebiri di beberapa negara bagian seperti California sejak tahun 1996. Sedangkan Florida hukuman tersebut diberlakukan sejak tahun 1997.

2. Hukum kebiri di Argentina baru diberlakukan di Provinsi Mendoza sejak tahun 2010. Dengan adanya aturan yang disahkan melalui dekri oleh Pemerintah Provinsi, setiap pelaku kejahatan seksual atau pemerkosaan di Mendoza terancam hukuman kebiri. Selain itu, dengan menjalani hukuman kebiri, pelaku kejahan seksual juga mendapatkan imbalan peringanan hukuman penjara yang harus mereka jalani.

3. Parlemen Rusia meloloskan aturan hukum yang mengizinkan Pengadilan untuk menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Hukum tersebut mengancam pelaku kejahatan seksual yang menyerang anak-anak di bawah usia 14 tahun. Berdasar aturan yang berlaku, perintah hukum kebiri akan dilakukan oleh ahli psokiater forensik yang ditunjuk langsung


(17)

oleh pengadilan yang menangani kasus kejahatan seksual tersebut.11

Masih banyak lagi negara-negara yang memberlakukan hukum kebiripada pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak dan pemerkosaan sebagai salah satu upaya memberikan efek jera serta usaha menekan banyaknya kasus yang kapan saja bisa terjadi. Namun, dari keefektifan hukaman kebiri bagaimanakah Islam memandang hal ini?

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang permasalahan yang menarik, Penulis tertarik untuk meneliti masalah yang timbul antara memberikan perlindungan kepada anak-anak sebagai objek pelecehan seksual dengan memberikan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia serta pandangan Islam mengenai hukuman tersebut dan mengangkat permasalahan ini dalam skripsi dengan judul : "Hukum Kebiri Bagi Pelaku Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peluang Penerapannya di Indonesia"

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedofilia?

2. Bagaimana kemungkinan penerapannya di Indonesia?

11 Osterweil, Ara. Artikel :"Reconstructing Shirley: Pedophilia and Interracial Romance


(18)

C. Tujuan Penelitian

Skripsi ini bertujuan untuk :

1. Meneliti hukum mengenai pedofilia yang berluka di Negara- negara Eropa bisa diterapkan di Indonesia.

2. Bagaimana islam memandang antara pedofilia dan hukuman kebiri bagi tindak kejahatan psikologi tersebut.

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para mahasiswa/mahasiswi yang berminat dalam permasalahn pedofilia.

2. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas permasalahan kekerasan seksual atau pedofilia.

3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana-1 pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari berbagai cara dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang diperlukan untuk melengkapi penyusunan skrips. penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran literatur hukum serta menganalisa data sekunder untuk memperoleh data-data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan yang berlaku guna mendapatkan kepastian hukum tetap. selain Library Reserch penulis juga menggunakan beberapa metode sebagai berikut:


(19)

1. Metode Penelitian Hukum Normatif, pada penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangan-undangan atau yang ditetapkan sebagai kaidah dijadikan sebuah patokan untuk mendapatkan hukum obyektif dalam suatu pembahasan.

2. Sumber Data.

Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan teknik Studi Pustaka sebagai salah satu upaya untuk memperoleh dokumen-dokumen tertulis yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yangmengikat terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Penal Code, Al-Quran, Hadist, Kitab Fiqh dan peraturan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang berupa tulisan-tulisan ilmiah di bidang hukumnya dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku mengenai perlindungan hak-hak anak serta buku-buku hukum mengenai kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur di Indonesia.

c. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan-bahan atau tulisan-tulisan yang dapat menambah penjelasan terhadap bahan hukum primer dan tersier, terdiri dari artikel, kliping, seminar, internet, kamus hukum dan lainnya.

3. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis pembahasan yang telah dihimpun, penulis menggunakan beberapa metode, antara lain:


(20)

a. Metode Normatif, Komparatif adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data-data sekunder dilakuakn untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum tertentu dan kemudian secara tetap membandingankan satu datum dengan datum yang lain serta secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lain.12

b. Metode deduktif, menarik fakta yang bersifat umum untuk menjadikan fakta atau kesimpulan yang didapat sebelumnya menjadi sesuatu yang bersifat khusus.

c. Langkah-langkah analisis data:

1) Mencatat yang mengahasilkan data, dengan hal ini diberikan kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,

2) Mengumpulkan, memilah - memilih, mengklasifikasikan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya,

3) Berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.13

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah

12 Moleong. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitati. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2007), hal 288

13Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(21)

pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang dikemukakan dalam tiap bab.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. isi penelitian akan dibahas pada bab II,III,IV serta seluruh hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya terangkum pada bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANAPEDOFILIA

Membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian pedofilia, ciri-ciri dan faktor-faktor penyebab terjadi di Indonesia.

BAB III: SANKSI KEBIRI PELAKU TINDAK PIDANAPEDOFILIA

Membahas tentang pengertian anak, hak-hak anak menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pelaksanaan sanksi kebiri bagi pelaku tindak pidana phedofilia menurut "Penal Code" yang berlaku di Eropa, serta pandangan ahli hukum mengenai hukuman kebiri.

BAB IV : PEDOFILIA DAN HUKUM KEBIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


(22)

yang berlaku di beberapa negara Eropa serta kemungkinan penerapannya di Indonesia.

BAB V : KESIMPULAN

Merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


(23)

14

1. Pengertian Pedofilia

Pedofilia adalah salah satu kelainan seksual yang termasuk dalam kategori parafilia. Istilah parafilia pertama kali disebutkan oleh seorang psikoterapis bernama Wilhelm Stekel dalam bukunya yang berjudul Sexual Aberation tahun 1925. Parafilia mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa (Davidson dan Neale dalam Fausiah, 2003).14 Paraphilia adalah perasaan seksual

atau perilaku yang dapat melibatkan mitra seksual yang tidak manusia, tanpa izin, atau yang melibatkan penderitaan atau siksaan oleh satu atau kedua pasangan. Beberapa jenis penyimpangan seksual yang termasuk dalam kategori parafilia adalah sebagai berikut:15

a. Eksibisionisme adalah kelainan seks yang suka memperlihatkan organ kelamin kepada orang lain yang tidak ingin melihatnya. Dalam beberapa kasus, orang dengan eksibisionisme juga suka melakukan autoeroticism (praktek seksual merangsang diri sendiri atau masturbasi) sambil memperlihatkannya kepada orang lain.

14 Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual . (Bandung:: Mandar Maju.

2009)). hal 12

15Davison, Gerald C. Neale, dkk. Psikologi Abnormal, Edisi ke-9.(Jakarta:Rajawali


(24)

b. Fethisisme adalah orang dengan gangguan ini mencapai kepuasan seksual dengan menggunakan obyek bukan manusia, paling sering pakaian dalam perempuan, sepatu, stocking, atau item pakaian lainnya.

c. Froteurisme adalah kepuasan seksual yang diperoleh oleh seorang pria dengan menyentuh, meraba ataupun meremas bagian tubuh atau alat kelamin wanita tanpa persetujuan dari wanita.

d. Pedofilia adalah gangguan yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak kecil, umumnya di bawah usia 13. Beberapa pendapat mendeskripsikan kriteria orang dengan pedofilia berusia diatas 16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari si anak yang dijadikan obyek seksualnya.

e. Masokisme adalah istilah yang digunakan untuk kelainan seksual tertentu, namun yang juga memiliki penggunaan yang lebih luas. Gangguan seksual ini melibatkan kesenangan dan kegembiraan yang diperoleh dari rasa sakit pada diri sendiri, baik yang berasal dari orang lain atau dengan diri sendiri. f. Sadisme seksual adalah seorang individu sadisme mencapai kepuasan

seksual dengan menyakiti orang lain.

g. Voyeurisme adalah paraphilia di mana seseorang menemukan kenikmatan seksual dengan menyaksikan atau mengintip orang yang telanjang, membuka baju, atau melakukan seks.

h. Fethisisme transvestik adalah gangguan ini dicirikan dengan laki-laki heteroseksual yang mengenakan pakaian perempuan untuk mencapai respons seksual.

i. Bestially adalah manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dll.


(25)

j. Incest adalah hubungan seks dengan sesame anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-laki.

k. Necrophilia/Necrofil adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat atau orang mati.

l. Zoophilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan.

m. Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesame jenis (homo) maupun dengan perempuan. n. Gerontopilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang

pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakek-kakek).

Menurut kategori penyimpangan seksual diatas, pedofilia adalah salah satu penyimpangan atau parafilia yang dalam arti bahasa adalah cinta pada anak-anak. Akan tetapi, pada kenyataannya penyimpangan seksual yang menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan dan pelecehan seksual tidak hanya disebut pedofilia. Terdapat beberapa jenis kategori yang digolongkan dalam kelompok parapilia dan salah satu yang paling umum dikenal adalah pedofilia. Memang hampir terdapat persamaan dalam beberapa pengertian mengenai penyimpangan seksual lainnya, Marshall (1989) berpendapat bahwa :


(26)

molesters and hebephiles by distinguishing characteristics.16

Beberapa kriteria yang termasuk pada pedofilia adalah :

a. Minimal 6 bulan secara berulang, intens terhadap fantasi sensual, dorongan seksual atau perilaku yang melibatkan aktifitas seksual terhadap anak pra-remaja atau anak-anak (umumnya usia 13 atau lebih muda).

b. Seseorang yang menuruti dorongan seksual dikarenakan faktor atau usaha untuk menghilangkan stress dan kesulitan pribadi pada dirinya. c. Orang tersebut setidaknya 16 tahun atau bahkan 5 tahun lebih tua dari

anak pra-remaja atau anak-anak dalam tindakannya.17

Secara umum pedofilia digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan perkembangan psikoseksual terhadap individu yang memiliki hasrat erotis abnormal terhadap anak-anak.18 Keintiman seksual dicapai melalui manipulasi alat genital anak-anak atau melakukan penetrasi penis sebagian atau kesuluruhan terhadap alat genital anak. Sering juga anak-anak dipaksakan melakukan relasi oral genital atau anal genital. Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan memuaskan hasrat diri sendiri maupun komersil, dapat memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tersebut

16John F. Stinneford, Incapacitation through Maiming: Chemical Castration, the Eighth

Amendment, and the Denial of Human Dignity, University of St. Thomas Law Journal (2006),Volume 3 | Issue 3

17. Hickey Eric W,Sex Crime and Paraphilia, Pearson Education, New Jersey, 2006, hlm

309-310

18 Sawatri Supardi S, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, PT. Refika


(27)

memiliki pandangan yang menyimpang mengenai hal yang berhubungan dengan seks dikarenakan pengalaman yang dilaminya. Kejadian-kejadian demikian dapat pula terjadi di lingkungan keluarga, berpedoman pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikta oleh Donleary dan Goodwin (1989) yang menyebutkan bahwa tindakan tersebut terbanyak dilakukan oleh ayah (31%), selebihnya oleh laki-laki lain (19%), kakak (10%), baby sitter (7%), Paman (5%), teman laki-laki ibu (5%), sepupu (4,5%), kakek (4%), Anak lain (3,5%) dan lain-lain (2%).19

Diantara kasus yang ada, pelaku pedofil banyak yang sudah memiliki keluarga sebagai salah satu bentuk kamuflase yang dilakukan untuk menutupi kelainan psikoseksualnya. Dengan memanfaatkan kepolosan anak-anak, Para pelaku tindak pidana pedofilia mendekati korbannya dengan menjadi teman atau pendamping yang baik bagi anak dan bahkan kebanyakan pedofil bekerja di sebuah sekolah atau daerah lain yang melibatkan anak-anak sebagai upaya untuk lebih dekat dengan calon korban. Selain itu upaya lain untuk memuaskan gairah seksualnya adalah dengan membujuk anak-anak atau korban dengan hal yang bisa menarik perhatian sehinga ia mau menuruti apa yang diinginkan oleh pelaku bahkan tidak jarang penderita pedofilia memaksa dengan ancaman terhadap anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan kesenangan seksual.20

19 Mardjono Reksodiputro, Arti dan Linglup Masalah PERLINDUNGAN ANAK, Jurusan

Kriminologi FISIP-UI, Jakarta : 1999, hlm 95

20Mohammad Asmawi,Lika-liku Seks Meyimpang Bagaimana Solusinya, Darussalam


(28)

Kekerasan seksual ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan serta patut dikatagorikan sebagi jenis kejahatan melawan manusia (crime against humanity). Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual (sexual crime) itu bermacam-macam seperti: perzinahan, homo seksual, kumpul kebo (samen leven), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Namun demikian, perkembangan hak asasi manusia lebih menitik beratkan pada menikmati seks merupakan hak (right) orang dewasa sehingga hubungan seks yang dilakukan tanpa ada paksaan di sebagian negara merupakan hal yang dianggap wajar.21 Perkembangan-perkembangan dalam aspek lain pun akan berubah seiring adanya pergeseran pada pemikiran masyarakat mengenai kesusilaan. Anggapan yang menyebutkan bahwa hubungan seks adalah suatu hak dapat menimbulkan masalah lain seperti penyakit yang berhubungan dengan seks, dengan ini pemerintah akan akan melakukan pencegahan namun bukan pada penyebab sebelumnya.

Beberapa waktu lalu pada peringatan hari HIV AIDS sedunia di beberapa daerah di Indonesia membagikan alat kontrasepsi secara cuma-cuma pada masyarakat sekitar dan tidak memandang apakah orang itu sudah menikah atau belum, ini membuktikan bahwa secara tidak langsung daerah tersebut memberikan dukungan untuk melakukan hubungan seks bebas pada masyarakatnya. Perkembanga pada aspek kehidupan/

21 Marpaung. Leden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar


(29)

masyarakat ini akan berdampak pada nilai kesusilaan, hal tersebut juga menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah untuk menata kembali kebiasaan dan paradigma yang menyimpang.

2. Ruang Lingkup Pedofilia

a. Macam-Macam Perilaku Penyimpangan Seksual Terhadap Anak

Perbuatan perlakuan salah secara sekual pada anak (child seksual

abuse) merupakan salah satu masalah dalam ruang lingkup

penelantaraan anak (child abuse) yang dianggap sebagai suatu kejahatan dikaranakan terdapat pelanggaran hukum didalamnya. menyadari tingkat keseriusan kejahatan tersebut sebagai salah satu masalah sosial, usaha formal yaitu dengan mengajukan ke sistem Peradilan Pidana, maupun reaksi masyarakat yang informal sebagai upaya untuk memberikan rasa aman serta melindungi hak-hak anak bebas dari tindak kekerasan seksual yang mengintai.

Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan objek seksual maupun untuk komersial, memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak. Perilaku seksual yang menyimpang dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori penyimpangan sebagai berikut:22

1) Untuk tujuan objek seksual:

a) Pedofilia, terdiri dari pedofilia homoseksual dan pedofilia heteroseksual.

b) Incest


(30)

c) Hiperseksualitas.

d) Keterbatasan kesempatan (isolated geografis) dan keterbatasan kemampuan sosial ekonomis.

2) Untuk tujuan sebagai pencari nafkah keluarga:

a) Orang tua yang dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai tenaga pencari uang dengan memaksa anak menjual diri, melakukan kegiatan prostitusi. Keadaan ini sering terjadi pada lingkungan keluarga yang taraf sosial ekonominya sangat rendah dan norma (standar) moralnya-pun rendah.

b) Germo (pengelola praktek prostitusi), yang akan terus berusaha mencari gadis muda untuk melayani para pelanggannya. Biasanya, mereka akan mencari gadis yang masih polos dan lugu.

3) Untuk tujuan avonturir seksual

Disamping kategori tersebut diatas ada pula sementara anak perempuan dan laki-laki yang mencari kehangatan emosional diluar rumah melalui perilaku seksual eksesif dan bersifat avonturir, baik dengan rekan sebaya maupun pasangan dewasa. Biasanya, mereka ini berasal dari keluarga yang tidak memberikan kasih sayang, kehangatan emosional dan perhatian yang cukup. Bahkan, sering menolak kehadiran mereka (rejected).

Anak-anak tersebut merasa kurang aman dan biasanya standar moral keluarganya pun sangat rendah. Kelompok anak perempuan yang melakukan kegiatan semacam ini di Bandung populer dengan


(31)

istilah “gongli” (singkatan dari istilah bagong lieur). Sedangkan untuk anak laki-laki lebih sering disebut dengan istilah kelompok “gerepe”. Mereka sama sekali tidak memikirkan akan akibat fatal dari perbuatan mereka tersebut. Bagi anak perempuan akibatnya jauh lebih parah, karena apabila keterlibatan perilaku seksualnya sudah eksesif, secara tidak sadar ia justru dimanfaatkan oleh orang dewasa dan bahkan sering dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi yang profesional. Kepribadian anak perempuan semacam ini cenderung berkembang ke arah keperibadian neurotic dengan gejala hysteric. Perlu dicatat bahwa pada kategori ini, aktivitas semula berasal dari pihak anak-anak yang didasari oleh usaha mencari kehangatan emosional melalui kontak fisik dengan lawan jenis.

b. Macam-macam Pedofil

Objek seksual pada pedofilia adalah anak-anak dibawah umur. Pedopilia terdiri dari dua jenis, yaitu:

1) Pedofilia homoseksual, yaitu objek seksualnya adalah anak laki-laki dibawah umur;

2) Pedofilia heteroseksual, yaitu objek seksualnya adalah anak perempuan dibawah umur.

Secara lebih singkat, Robert G Meyer dan Paul Salmon membedakan beberapa tipe pedophilia. Tipe pertama adalah mereka yang memiliki perasaan tidak mampu secara seksual, khususnya bila berhadapan dengan wanita dewasa. Tipe kedua adalah mereka yang punya perhatian khusus terhadap ukuran alat


(32)

vitalnya.23 Penyebab Pedofilia antara lain sebagai berikut:

a) Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan ketidak mampuan penderita menjalin relasi heterososial dan homososial yang wajar;

b) Kecenderungan keperibadian antisosial yang ditandai dengan hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh hambatan perkembangan moral;

c) Terdapat kombinasi regresi, ketakutan impotent, serta rendahnya tatanan etika dan moral.

3) Dampak – Dampak Kekerasaan Seksual Terhadap Anak

Ciri-ciri Umum Anak yang Mengalami kekerasan seksual atau

Sexual abuse:24

a) Tanda-Tanda Perilaku

(1) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia;

(2) Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya;

(3) Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk;

(4) Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap

23 Muhammad Asmawi, Lika-liku Seks Meyimpang, Nuansa Cendikia. hlm. 95


(33)

jempol, dan sebagainya;

(5) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak;

(6) Perilaku menghindar: takut akan atau menghindar dari orang tertentu (orang tua, kakak, saudara lain, tetangga/pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah;

(7) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno;

(8) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja;

(9) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (

self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan,

berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.

b) Tanda-Tanda Kognisi

(1) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus perhatian singkat / terpecah;

(2) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya; (3) Respons reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan


(34)

c) Tanda-Tanda Sosial-Emosional

(1) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga; (2) Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam

khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan;

(3) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri;

(4) Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap orang lain;

(5) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.

d) Tanda-Tanda Fisik

(1) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah;

(2) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.


(35)

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan.

Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh norma-norma pergaulan yaitu norma kesopanan. Norma kesopanan berpijak pada pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.25 Patokan patut atau tidak patut yang dianggap menimpang terhadap kesopanan itu tidak hanya sekedar pada kepentingan individu, melainkan lebih kepada sifat yang secara umum dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak baik walaupun mengenai beberapa hal lebih terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu. Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi dalam suatu masyarat tercermin dalam undang-undang atau norma-norma hukum mengenai tindak pidanan kesopanan, terutama dalam bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan terhadap kesopanan dan Bab VI buku III KUHP mengenai pelanggaran terhadap kesopanan.

Berdasarkan pertimbangan pembentukan undang-undang mengenai objek rasa kesopanan masyarakat, dapat dipilih terhadap rasa kesopanan yang bercorak kejahatan dimana sifat penyerangan pada kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan yang lebih berat dari pada penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak pelanggaran maka undang-undang membagi tidak pidana kesopanan ini, menjadi kejahatan kesopanan dimuat dalam Bab XIV (Misrijven tegen de zeden) : Pasal 281-300 bis dan pelanggaran

25 ChazawiAdami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta :Rajapindo persada,


(36)

kesopanan Bab VI (Overtredingen betreffende de zeden) : pasal 532-547, untuk kata zeden dalam kalimat Mesdrijven tegen de zeded dapat diartikan sebagai kesusilaan dan kata zeden pada kalimat Overtredingen betreffende de

zeden diartikan dengan kesopanan. Apabila melihat kembali beberapa

pendapat mengenai kata zeden umumnya ahli hukum menyatakan bahwa kesusilaan adalah suatu pengertian adat istiadat mengenai tingkah laku dalam pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa "…..kesusilaan juga mengenai adat kebiasaan yang baik, tetapi secara khusus lebih banyak mengenai kelamin (sex) manusia".26

Jika diamati lebih lanjut mengenai kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mengemis, penyiksaan binatang, minuman keras dan perjudian termasuk dalam Bab XIV tentang kejahatan kesusilaan. Terhadap delik ini, Mr. J.M. van Bemmelen mengutaran pendapatnya yang sama: tentang delik terhadap kesusilaan tidak hanya memuat berbagai kejahatan seksual, akan tetapi juga beberapa delik yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan seksualitas, memberi minuman yang memabukkan kepada orang atau anak di bawah enam belas tahun, menyerahkan atau membiarkan anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain, padahal mengetahui bahwa anak itu akan dipakai untuk atau pada waktu mengemis, penganiayaan binatang.27Kejahatan terhadap kesusilaan diartikan lebih sempit yaitu

26Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Eresco:

1986,hlm 111

27 Marpaung. Ledeng, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,


(37)

pelangaran/kejahatan terhadap nilai susila masyarakat (adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban) dalam bidang seksual, sehingga cakupan kejahatan kesusilaan sebenarnya meliputi kejahatan terhadap kesusilaan.28 Kata "kesusilaan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "perihal susila" atau "yang berkaitan dengan sopan santun". Kata "susila" sendiri berarti :29

1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan;

2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban,kesusilaan Kata "susila" dalam Bahasa Inggris adalah "moral", "ethics", "decent" yang biasa diterjemahkan berbeda-beda. Kata "moral" diterjemahkan dengan "moril" atau "kesopanan". Sedangkan "ethic" diterjemahkan "kesusilaan" dan "decent" diterjemahkan dengan "kepatutan".30 Ketiganya pada hakikatnya merupakan persepsi nilai dari masyarakat. "Moral" merupakan pertimbangan atas dasar baik/tidak baik, sedangkan etika merupakan ketentuan atau norma perilaku (code of conduct).

Dengan demikian makna dari "kesusilaan" adalah berkenaan dengan moral, etika, yang telah diatur didalam perundang-undangan.31 Sementara jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti kesusilaan lebih condong kepada perilaku yang benar atau salah, khususnya

28 Mudzakir.Suparman, Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual dalam Perspektif

Politik Kriminal, Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, hlm 146

29Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

Nasional,Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm 1110

30 Wojowasito.S dan Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia

Inggris,Bandung: Hasta:, 1980, hal 268

31 Marpaung. Leden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta:


(38)

dalam hubungan seksual (behaviour as to right or wrong, especially in relation to sexual matter). Beberapa pernyataan lain menyebutkan tentang pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.

Bukan hal yang mudah untuk menentukan batas dan ruang lingkup tindak pidana kesusilaan, terlebih dengan begitu beragamnya nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang disebabkan karena begitu banyaknya tradisi dan budaya bangsa Indonesia sesuai dengan komunitasnya. Batas dan ruang lingkup tindak pidana kesusilaan yang ada dalam masyarakat tertentu akan berbeda dengan masyarakat yang lainnya.

Sebagai perbandingan, dalam berbagai KUHP Asing, pengelompokan delik kesusilaan juga berbeda-beda dan tampaknya tergantung pada kesepakatan dan kebijakan pembuat undang-undang.32 Dalam KUHP Jepang tindak pidana kesusilaan diatur dalam Bab XXII Buku II di bawah judul

Crimes of Indecency, Rape And Bigamy. Sementara dalam KUHP Korea

diatur dalam Bab XXII dengan judul Crimes Against Morals, sedangkan dalam KUHP Malaysia yang hampir sama dengan KUHP Singapura diatur dalam Bab XIV di bawah judul Offences Affecting The Public Health,

Safety,Convenience, Decency And Morals. Dalam KUHP Polandia diatur

dalam Bab XXIII dengan judul Offences Agains Decency dan dalam KUHP Thailand tidak ada bab yang secara eksplisit berjudul "Tindak Pidana

32Barda Nawawi Arief, Sari KuliahPerbandingan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya


(39)

Terhadap Kesusilaan", yang ada ialah bab mengenai "Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Seksualitas" (Offences Relating to Sexuality) dalam Bab IX. Yugoslavia, Norwegia, Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pengelompokan dan ruang lingkup delik kesusilaan di berbagai negara juga sangat bervariasi tergantung pada kebijakan teknik perundang-undangan yang diambil, juga disebabkan perbedaan landasan idiil filosofi dan konsep moral yang melatar belakangi politik hukum dari masing-masing negara.

Dengan adanya beberapa pendapat yang menyatakan bahwa walaupun pengelompokan atau ruang lingkup delik kesusilaan berbeda-beda, namun patut dicatat bahwa dalam menentukan isi (materi/substansi)-nya harus bersumber dan mendapat sandaran kuat dari moral agama. Selain itu, penentuan delik kesusilaan juga harus berorientasi pada "nilai-nilai kesusilaan nasional" (NKN) yang telah disepakati bersama dan juga memperhatikan nilai-nilai kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat.

Nilai kesusilaan nasional ini dapat digali antara lain dari produk Legislatif Nasional (berbentuk Undang-Undang Dasar atau Undang-undang).33Kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan/moral yang ada di masyarakat sebenarnya mencakup hal yang sangat luas. Nilai-nilai kesusilaan tidak hanya terdapat dalam bidang seksual (yang lebih bersifat pribadi), tetapi juga dalam hubungan pergaulan rumah tangga, dalam pergaulan dengan orang lain di masyarakat dan bahkan dalam semua segi kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Wajar bila dalam setiap tatanan kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai kesusilaan/moral, karena setiap masyarakat atau negara

33 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra


(40)

dibangun diatas landasan nilai-nilai filsafati, ideologi dan moralitas tertentu. Seiring dengan batasan dan ruang lingkup tindak pidana kesusilaan sebagaimana terurai di atas, kejahatan seks serta kejahatan yang menyangkut seks (sex relatedcrimes) yang dirumuskan dalam hukum pidana sebagai delik susila senantiasa harus dipahami secara kontekstual dalam hubungannya dengan perkembangan budaya dan perubahan-perubahan struktur sosial yang ada dimasyarakat.34 KUHP mengatur berbagai kejahatan atau delik, termasuk diantaranya adalah delik kesusilaan, namun hukum pidana Indonesia (KUHP) tidak mengatur secara eksplisit tentang kejahatan kesusilaan, tetapi hanya mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Secara juridis, delik kesusilaan menurut KUHP yang berlaku saat ini terdiri dari 2 (dua) kelompok tindak pidana, yaitu "kejahatan kesopanan" meliputi bidang kesusilaan dan yang diluar dalam bidang sekusal (diatur dalam Bab XIV Buku II misdrijven tegen de zeden Pasal281-303) dan "pelanggaran kesopanan" dalam bidang seksual dan hal-hal yang diluar bidang seksual (diatur dalam Bab VI Buku IIIovertredugen betreffende de zeden Pasal532-547). Kelompok kejahatan kesopanan (Pasal 281-303KUHP) meliputi perbuatan-perbuatan :

1. kejahatan kesopanan dibidang kesusilaan.

a. Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (281); b. Kejahatan pornagrafi (282);

c. Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (283); d. Kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (283 bis); e. Kejahatan perzinaan (284);

34 Kusuma Mulyana W, Perumusan Tindak Pidana Kesusilaan (Perzinaan Dan

Pemerkosaan)dalam rancangan KUHP Baru ditinjau Dari Aspek Kebijakan Kriminal Dan Aspek SosialBudaya, Semarang, 1993, hlm 1.


(41)

f. Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (285);

g. Kejahatan bersetubuh diluar kawin kepada perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (286)

h. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun (287);

i. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka (288); j. Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau peruatan yang menyerang

kehormatan kesusilaan (289);

k. Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk kawin (290), dan keadaan yang memberatkan apabila menimbulkan luka-luka berat bagi korban (291 ayat 1), dan perbuatan cabul pada orang yang dalam keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun dalam keadaan yang memberatkan yakni apabila menimbulkan akibat kematian korban (291 ayat1);

l. Kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa (293);

m. Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah pengawasannya dan lain-lain yang belum dewasa (294);

n. Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan laon-lain yang belum dewasa (295);

o. Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (296);


(42)

p. Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa (297);

q. Kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan (299).

2. Kejahatan kesopanan diluar hal-hal yang berhubungan dengan masalah seksual:

a. Kejahatan berupa : memberikan minuman keras pada orang yang telah mabuk, membuat mabuk seorang anak yang belum berumur enam belas tahun, dan memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan (300);

b. Kejahatan menyerahkan anak yang umurnya belum dua belas tahun pada orang lain untuk dipakai melakukan kegiatan mengemis (301); c. Kejahatan penganiayaan dan penganiayaan ringan terhadap binatang

atau hewan (302);

d. Pelanggaran mengenai perjudian (303 dan 303 bis).

Pelanggaran kesopanan yang diatur dalam Bab VI Buku III Pasal 532-547 meliputi sebagai berikut :

a. Pelanggaran kesopanan dibidang seksual

1) Pelanggaran dengan menyanyikan lagu-lagu atau pidato di muka umum yang melanggar kesusilaan atau di muka umum mengandung tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan (532); 2) Pelanggaran pornografi (533);

3) Pelanggaran dengan mempertunjukkan dan lain sebagainya sarana pencegahan kehamilan (534);


(43)

4) Pelanggaran dengan mempertunjukkan dan lain sebagianya sarana untuk menggugurkan kandungan (535).

b. Pelanggaran kesusialaan diluar bidang seksual 1) Pelanggaran dengan mabuk d jalan umum (536);

2) Pelanggaran menjual atau memberikan minuman keras kepada anggota TNI (537);

3) Pelanggaran berupa menjual minuman keras kepada anak yang belum berumur enam belas tahun (538);

4) Pelanggaran berupa menyediakan cuma-cuma atau menkanjikan sebagai hadiah minuman keras pada pesta keramaian umum (539); 5) Pelanggaran mengenai menggunaan binatang dalam pekerjaan

yang melebihi kekuatannya atau dengan cara yang menyakitkan dan lain sebagainya (540);

6) Pelanggaran mengenai penggunaan kuda yang belum dewasa (541);

7) Pelanggaran dengan mengadakan adu ayam atau jangkrik di pinggir jalan atau di jalan umum (544);

8) Pelanggaran dengan melakukan peramalan sebagai mata pencaharian (545);

9) Pelanggaran dalam hal menjual, menawarkan, menyerahkan dan lain sebagainya jimat dan benda-benda lain yang dikatakannya mempunyai kekuatan gaib (546);

10)Pelanggaran berupa memakai jimat atau benda-benda sakti pada saan memberikan keterangan di bawah sumpah di muka sidang pengadilan (547).


(44)

Dari beberapa jenis delik kesusilaan yang tercakup dalam tindak pidana kesopanan diatur dalam KUHP sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian kesusilaan tidak hanya sebatas di bidang seksual saja melainkan juga meliputi perbuatan yang dianggap tidak sesuai dalam pandangan masyarakat karena memiliki kemungkinan besar merugikan orang lain. Sementara dalam Konsep KUHP yang saat ini tengah dirumuskan juga meliputi pengertian kesusilaan tidak hanya dibidang seksual saja seperti halnya KUHP yang sekarang berlaku.

Dengan telah terjadinya perkembangan kejahatan seksual, mengakibatkan perubahan di tengah masyarakat. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat berubah dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global universal. Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai dan norma, khususnya norma hukum dan kesusilaan. Dengan mengetahui dan memahami kejadian/kasus kesusilaan baik mengenai hal yang baru atau pun yang sudah ada dalam KUHP maka gambaran keadaan tersebut dapat dilukiskan dan kemudian upaya-upaya ataupun pencegahan/revensi terhadap kejahatan kesusilaan dapat ditentukan.


(45)

36

1. Kebutuhan Anak

Menurut The minimum Age Convention Nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of The Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres Nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan undang–undang perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun.35

Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Mengenai hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB tanggal 20 Nopember 1959, dengan memproklamasikan deklarasi hak–hak anak.


(46)

Dengan demikian deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak, baik individu, orang tua, organisasi sosial, pemerintah dan masyarakat mengakui hak–hak tersebut dan mendorong semua upaya untuk memenuhinya. Ada 10 prinsip tentang hak anak menurut deklarasi tersebut, yaitu:

Prinsip 1: Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi.

Prinsip 2: Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas hukum atau peralatan lain, sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual dan sosial dalam cara yang sehat dan normal. Prinsip 3: Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan idenditas

kebangsaan.

Prinsip 4: Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial. Prinsip 5: Setiap anak yang baik secara baik secara fisik,mental dan sosial

mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan khusus,pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya.

Prinsip 6: Untuk perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang setiap anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.

Prinsip 7: Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar.


(47)

Prinsip 8: Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama.

Prinsip 9: Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk ketelantaran, tindakan kekerasan, dan eksploitasi.

Prinsip10: Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi berdasarkan rasial, agama dan bentuk – bentuk lainnya. Disamping itu, dalam Pasal 2 Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:

a. Anak berhak atas dasar kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhannya khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.

Di samping menguraikan hak anak–anak menurut Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 diatas pemerintah Indonesa juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) PBB melalui Nomor 39 Tahun 1990. Menurut Konverensi Hak Anak (KHA) yang diadopsi dari Majelis Umum PBB


(48)

tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal–usul keturunan, agama, maupun bahasa mempunyai hak – hak yang mencakup empat bidang :

a. Hak atas kelangsungan hidup, yang mencakup hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.

b. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.

c. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang – wenang dalam proses peradilan pidana.

d. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup dirinya. 36

Adapun hak asasi anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang merupakan hak mendasar bagi anak dan dilindungi oleh negara, pemerintah, keluarga, orang tua. Sedangkan hal itu hak setiap manusia yang paling asasi. hak tersebut meliputi hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, uraiannya sebagai berikut:

a. Anak mendapat perlindungan orang tua, masyarakat dan negara ( Pasal 62 ayat (1)).


(49)

b. Hak melindungi sejak dini dalam kandungan ( Pasal 52 ayat (1)). c. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan ( Pasal 52 ayat (1)). d. Hak mendapat nama dan status kewarganegaraan ( Pasal 53 ayat (2)). e. Hak mendapat perawatan, pendidikan, pelatihan dnabantuan khusus

anak cacat fisik atau mental ( Pasal 54).

f. Hak untuk beribadah untuk agamanya, berfikir dan berekspresi ( Pasal 55).

g. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang tuanya ( Pasal 55 ayat (1)).

h. Hak diasuh dan diangkat anak oleh orang lain ( Pasal 56 ayat (2)). i. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing

orang tua/wali ( Pasal 57 ayat (1)).

j. Hak mendapat orang tua angkat atau wali ( Pasal 57 ayat (2)). k. Hak perlindungan hukum ( Pasal 58 ayat (1)).

l. Hak pemberatan hukuman bagi orang tua, wali/pengasuh yang menganiaya anak (fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual dan pembunugan ( Pasal 60 ayat (2)).

m. Hak tidak dipisahkan dari orang tua ( Pasal 59 ayat (1)). n. Hak bertemu dengan orang tua ( Pasal 59 ayat (2)).

o. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran ( Pasal 60 ayat (1)). p. Hak mencari, menerima dan memberikan informasi (Pasal 60 ayat (2)). q. Hak beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, bermain dan berekreasi

( Pasal 62).


(50)

s. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa senjata, kerusuhan sosial dan peristiwa kekerasan ( Pasal 63).

t. Hak perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya ( Pasal 64).

u. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak dan dari penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya ( Pasal 65).

v. Hak tidak dijatuhkan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusawi ( Pasal 66 ayat (1)).

w. Hak tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup ( Pasal 66 ayat (2)).

x. Hak tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum ( Pasal 66 ayat (3)).

y. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai upaya terakhir ( Pasal 66 ayat (4)).

z. Hak perlakuan yang manusiawi bagi anak yang dirampas kemerdekaannya dan dipisahkan oleh orang dewasa (Pasal 66 ayat (5)).

aa.Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif bagi anak yang dirampas kebebasannya ( Pasal 66 ayat (6)).

bb.Hak membela diri dan memperoleh keadilan bagi anak yang dirampas kebebsannnya di depan pengadilan yang obyektif. tidak memihak dan sidang tertutup untuk umum. 37

37Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : citra aditya bakti. 2003), hlm.


(51)

Kemudian, sejak ditetapkannya Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 (disetujui DPR – RI tanggal 23 September 2002), perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh. Hak anak relatif lebih lengkap dan cukup banyak dicantumkan dalam undang – undang perlindungan anak. Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak–hak anak tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hak hidup dan berkembangnya anak (Pasal 4):

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b. Hak mendapatkan nama dan status kewarganegaraan (Pasal 5):

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

c. Hak kebebasan beragama (Pasal 6):

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orangtua.

d. Hak asuh oleh orang tua kandung atau wali (Pasal 7) dan (pasal 14) : Pasal 7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri.


(52)

tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang - undangan yang berlaku.

Pasal 14

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

e. Hak mendapatkan sarana kesehatan yang layak (Pasal 8):

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuaidengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. f. Hak memperoleh pendidikan formal (Pasal 9):

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangkapengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak pendapatkan pendidikan khusus.

g. Hak dihargai suara dan pendapatnya (Pasal 10):

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai


(53)

kesusilaan dan kepatuhan.

h. Hak kebebasan berekspresi dan berinteraksi sosial (Pasal 11):

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, bereaksi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri. i. Hak medapatkan bantuan sosial ( Pasal 12):

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

j. Hak mendapatkan perlindungan di setiap sisi oleh orang tua, wali serta masyarakat dan lembaga-lembaga tertentu (Pasal 13), (Pasal 15), (Pasal 16), (Pasal 17) dan (Pasal 18):

Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan oarang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan:

a) Diskriminasi;

b) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c) Penelantaran;

d) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e) Ketidakadilan; dan

f) Perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukum.


(54)

Pasal 15

Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

e. Pelibatan dalam peperangan. Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukum yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai hukum. (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.


(55)

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.38

2. Kebutuhan Anak

Setiap anak, sebagaimana manusia lainnya memiliki kebutuhan– kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Muhidin,39 dalam sebuah tulisannya menyebutkna bahwa kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti: perhatian dan kasih-sayang, perlindungan, dorongan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orang tua. Sedangkan kebutuhan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih-sayang pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat. Sementara itu, kebutuhan anak secara terperinci adalah:40 a. Kasih - sayang orang tua

b. Stabilitas emosional c. Pengertian dan perhatian

38 Darwan Prinst, ibidi.. hlm.150-154

39 Muhidin, Kesejahteraan Anak. Makalah disampaikan pada Seminar Internasional

Penanggulangan Masalah Anak, (Bandung 2003) hlm. 2 – 3


(56)

d. Pertumbuhan kepribadian e. Dorongan kreatif

f. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar g. Pemeliharaan kesehatan

h. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai

i. Aktivitas memadai rekreasional yang konstruktif dan positif j. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih-sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggung jawab sosial, peran–peran sosial dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat.

Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika anak mengalami hal-hal sebagai berikut:41

a. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak

41Suharto, Edi. Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung,


(57)

b. Tanpa bimbingan dan asuhan

c. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat d. Diperlakukan salah secara fisik

e. Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual

f. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat

g. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus-menerus, perceraian dan mempunyai orangtua yang menderita gangguan / sakit jiwa

h. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi.

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan pula mengalami hambatan mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku–perilaku maladaptife,

seperti: autis, nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia tidak normal dan pelaku kriminal.

B. Pelaksanaan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tidak Pidana Pedofilia

Sepanjang sejarah, praktik pengebirian sudah diberlakukan sebagai salah satu hukuman yang bersifat khusus. Sistem pengebirian memiliki dua metode yang pernah ada dalam pelaksanaanya, baik itu pengebirian bedah yang menghilangkan fungsi testis secara langsung melalui operasi dan


(1)

B. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan penulis tentang hukuman kebiri bagipelaku penyimpangan seksual atau pedofilia, maka penulis menyampaikan beberapa saran untuk pihak terkait:

1. Kepada pemerintah agar lebih memperhatikan terhadap masalah pedofilia serta membatasi pergerananya. Selain itu ancaman hukuman yang berlaku saat ini dirasa kurang memberikan pandangan bahwa tindakannya adalah suatu hal yang sangat kejam, maka dari itu diharapkan pada pihak terkait dapat memberikan upaya hukum seberat-beratnya mengingat meningkatnya tindakan pedofilia beberapa tahun terakhir ini. Ditambah lagi sasarannya adalah anak-anak dibawah umur yang merupakan generasi penerus bangsa dan jumlah korbanya tidak sedikit, bahkan bisa sampai puluhan orang. Dampak negatif yang ditimbulkan peaku kepada korban juga tidak main-main, sehingga hukuman yang diterapkan harus benar-benar memberikan gambaran bahwa perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus dan hukumanya tidak hanya memberikan dampak juga harus ada unsur pengobatan, agar tidak adanya tindakan residivisme bagi pelaku sebelumnya.

2. Untuk masyarakat agar lebih menyadari bahwa landasan hukum yang berlaku di dunia dan akhirat untuk umat Islam adalah Quran dan al-Sunnah. Terutama untuk orang tua agar lebih memperhatikan dan menjaga anaknya agar terhindar dari tindakan yang merugikan. Hak anak-anak juga harus selalu diutamakan oleh orang tua agar masa depannya lebih terjamin


(2)

97

dan bisa menjadi pribadi yang baik kelak. Nasihat-nasihat yang membangun juga menjadi faktor pertumbuhan dan menghindarkannya dari perbuatan yang dianggap tidak sesuai dengan peringatan yang diberikan.


(3)

98 al-Quran dan Terjemah. Cetakan Kudus.

Abd Al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jinâiy al-Islâmiy, juz II, Dar Al-Kitab Al 'Arabi, Beirut,

___________, Ensiklopedia hukum IslamIV(PT.kharisma Ilmu), al-Tasyri' al jina'i al-Islamiy Muqaranah bilQanunil Wad'iy, BabXVIII,zina

Abdullah Ibn Muhammad ibn Qudamah, al-Mughai, juz VIII, dar Al-Manar, 1368 H

Abu al Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mushthafa Al-Halaby, Mesir, 1975

Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy'ats al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Daar al-Fikri, Tt)

Adami, Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta :Rajapindo persada, 2005)

al-Sun'âni, Subul al-Sâlam IV, terjemahan (surabaya: al-ikhlas, 1996) Amin Suma, Muhammad, dkk. Pidana Islam di Indonesia.(Jakarta: Pustaka firdaus. 2001).

Andi Hamzah, Jur. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, (Jakarta :sinar grafik 2009)

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup)

Asmawi, Mohammad . Lika-liku Seks Meyimpang Bagaimana Solusinya, (Darussalam Offset, 2005)

___________Lika-liku Seks Meyimpang, Nuansa Cendikia

Djubaedah, Neng. Perzinahan : Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam. (Jakarta : Prenada media Group. 2010)

Ekaputra, Mohamma dkk. Sistem Pidana di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru,(Medan: USU Press. 2010)


(4)

99

Eric W, Hickey. Sex Crime and Paraphilia. (New Jersey: Pearson Education. 2006).

Ghazaly, Abdur Rahman. Fiqih Muamalat. (Jakarta: Prenada Media Group. 20109).

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam "Fiqh Jinayah", (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000).

Hamzah, Andi dkk. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,(Jakarta: Akademik Pressindo, 1986)

___________ Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia).

Hanifah, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. (Jakrta:Bulan Bintang, 1967) Helm Spalding, Larry. Florida’s 1997 Chemical Castration Law: A Return to the Dark Ages. Florida state university law review. 2004.

Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. (Bandung: Nuansa. 2006) Huzaemah T, Yanggo. Fiqh Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (Jakarta : Balai Pustaka, 2002)

Kaplan, John.Criminal Justice, (New York: The Foundation Press Inc. Mineola. 1973)

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru .1983)

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, cet. IV, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011)

Marpaung, Leden. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996).

Moeleong, Lexi. Metotodologi penelitian Kualitatif, Cet. 13,(Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2002)

Muchlis asti, Baidatul. Seks Indah Pernuh Berkah, (Semarang: Pustaka Adnan, 2006)

Mudzakir,Suparman. Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual dalam Perspektif Politik Kriminal. (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII)


(5)

Muhammad Abu Syahbah, al-hudûd fî al-Islâmi, Hafiah al-Ammah li syunni al-Mathabi' al-Amiriyah, 1974

Muhidin, Kesejahteraan Anak. Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Penanggulangan Masalah Anak, (Bandung 2003)

Mulyana W, Kusuma. Perumusan Tindak Pidana Kesusilaan (Perzinaan Dan Pemerkosaan)dalam rancangan KUHP Baru ditinjau Dari Aspek Kebijakan Kriminal Dan Aspek SosialBudaya, (Semarang. 1993)

N. Katz, Sanford. Child Snatching, The Legal Response to the Abduction Of childern. 1981

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002)

____________Sari KuliahPerbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002.)

Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : citra aditya bakti. 2003)

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. (Bandung: Eresco. 1986).

Rahim, Abdur, dkk. Terjemah: Fiqh Sunnah IV, Sayyid Sabiq, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), cet 1

Reksodiputro, Mardjono. Arti dan Linglup Masalah PERLINDUNGAN ANAK, (Jakarta : Jurusan Kriminologi FISIP-UI, 1999)

Said Ishak, Mohd. Hudud Dalam Fiqih Islam, (skuadi johor: universitas tekhnologi malaysia, 2000)

Simpson, Tanya “If Your Hand Causes You To Sin . . .”: Florida’s Chemical Castration Statute Misses The Mark. (2007)

Stinneford, John F. Article: "Incapacitation through Maiming: Chemical Castration, the Eighth Amendment, and the Denial of Human Dignity," University of St. Thomas Law Journal: Vol. 3 (2006)

Suharto, Edi. Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung, Lembaga Studi Pembangunan – Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997)

Sunny, Isma'il. Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 1997)


(6)

101

Supardi S, Sawatri. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005)

Titus Reid, Sue. Criminal Law Fifth Edition, (United State: R.R. Donnelly & Sons Company. 2000)

Wahbah Zuhaily. al-Fuqhu al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus, Daar al-Fikr,1984), Juz V

Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafik , 2005)

Williams, Linda. artikel :Police Investigation: Identification of Evidence and Criminals, Brazilian Child and Adolescent Statute, 1990 (ECA/90).

Wojowasito, S, dkk. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris.(Bandung: Hasta:, 1980)

Referensi selain buku:

Diakses pada 3 april 2015 dari http://criminal.findlaw.com/criminal-charges/chemical-and-surgical-castration.html

Diakses pada 11 mei 2015 melaluiTiarramon.wordpress.com /category/hukum-pidana

F. Stinneford, John. Incapacitation through Maiming: Chemical Castration, the Eighth Amendment, and the Denial of Human Dignity. University of St. Thomas Law Journal (2006),Volume 3 | Issue 3

Lowenkron, Laura. Artikel : "All Againts Pedophilia". Ethnograpic notes About a Contemporary moral crusade. 2007

Osterwel, Ara. Artikel :"Reconstructing Shirley: Pedophilia and Interracial Romance in Hollywood's Age of Innocence"

Seto Mulyadi, Nasib Anak-Anak di Indonesia Kini, Kompas, Sabtu, 22 Juni 2014 Zachary E, Oswald. "Off with His __": Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration Sentences, 19 Michigan Journal of Gender & Law (2013)