BUDAYA KOMUNIKASI BLATER DI DESA TAMBUKA KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP MADURA.

(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id igilib.uinsby.ac.id

BUDAYA KOMUNIKASI BLATER DI DESA

TAMBUKO KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN

SUMENEP MADURA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.) Dalam Bidang llmu Komunikasi

Oleh : Saiful Rizal NIM: B36209028

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FEBRUARI 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ABSTRAK

Saiful Rizal, 2016. Budaya Komunikasi Blater Di Desa Tambuko Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep Madura. Skripsi Program Studi Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci: Budaya Komunikasi, Blater.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana budaya komunikasi blater yang ada di desa tambuko kecamatan guluk-guluk kabupaten sumenep. dalam penjelasan lebih jauh, penelitian ini juga mengungkap bagaimana bentuk-bentuk komnikasi yang dilakukan oleh blater dalam lingkungan sosial masyarakat Desa Tambuko.

Deskriptif kualitatif menjadi tolak ukur metode penelitian inti bagaimana penelitian ini dijalankan, yang didalamnya terdapat bagian-bagian untuk dapat memperoleh data yang valid dengan teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara serta mengumpulkan dokumentasi. Pada tahap teori, penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik Herbert Blumer sebagai acuan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Bentuk komunikasi blater yang yang dilakukan secara simbolik lebih mudah lakukan serta diterima oleh masyarakat desa tambuko, seperti mengikuti adat-istiadat yang memang harus di lakukan, dan tidak melakukan tindakan kriminal di lingkungan desa. Blater itu sendiri dapat menunjukkan eksistensinya sebagai seorang blater melalui komunikasi yang bersifat simbolik, dan hal itu menjadi budaya komunikasi tersendiri bagi blater yang ada di Desa Tambuko. (2) Seorang blater memiliki nilai-nilai tersendiri di mata masyarakat karena tindakan yang mereka tunjukkan. Apabila seorang blater dapat memberikan keamanan bagi warga desanya maka dia akan mendapatkan nilai tersendiri dari tindakannya itu. Masyarakat akan menilai bahwa blater tersebut betul-betul kuat dan punya pengaruh yang besar dalam dunia kriminal, dan patut untuk dihormati. Blater dalam proses komunikasi secara langsung (verbal) tidak terlalu sering dilakukan. Komunikasi secara verbal dilakukan hanya sekedarnya saja, dan lebih suka komunikasi secara langsung apabila membutuhkan sesuatu atau menghadapi masalah serius yang memang harus diselesaikan dengan jalan pembicaran.


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. RumusanMasalah ... 5

C. Maksud dan TujuanPenelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Penelitian Terdahulu ... 7

F. DefinisiKonsep ... 9

1. Budaya Komunikasi ... 9

2. Masyarakat Desa Tambuko ... 11

3. Blater ... 13

G. Kerangka Pemikiran ... 14

H. MetodePenelitian ... 19

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 19

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3. Pemilihan Subyek Penelitian ... 20

4. Pemilihan Obyek Penelitian ... 20

5. Jenis dan Sumber Data ... 21

6. Tahap-Tahap Penelitian ... 21

7. Teknik Pengumpulan Data ... 22

8. Teknik Analisa Data ... 23

I. SistematikaPembahasan ... 25

BAB II: KAJIAN TEORITIS A. KajianPustaka ... 26

1. Budaya dan Komunikasi ... 26

2. Budaya Blater ... 36


(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB III PENYAJIAN DATA

A. Wilayah dan Profil Informan ... 45

1. Wilayah Penelitian ... 45

a. Letak Geografis ... 45

b. Pendidikan ... 47

c. Ekonomi ... 50

d. Adat Istiadat dan Agama ... 52

e. Pola Pemukiman ... 55

2. Profil Informan ... 57

B. DeskripsiHasil ... 61

1. Busana dan Perilaku Blater Sebagai Pesan Non Verbal ... 61

2. Nlai-Nilai Pesan Non Verbal Blater ... 75

BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian ... 79

1. Eksistensi Budaya Komunikasi Blater Di Desa Tambuko ... 79

2. Esensi Blater di Desa Tambuko ... 81

B. Konfirmasi Dengan Teori ... 82

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 88

B. Rekomendasi ... 89 DAFTAR PUSTAKA

BIODATA PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Komunikasi yang ada pada suku Madura di Indonesia kadang memakai cara-cara berkomunikasi secara alami dan cenderung mistis konvensional, jauh dari iptek tetapi sama-sama efektif hasilnya dan multi aspek menurut mereka. Karapan sapi merupakan media komunikasi masyarakat Madura, untuk menginformasikan saat musim tanam ketika musim hujan mulai turun, saat dimana media lain seperti, tv, radio, dan media cetak masih jarang. Saat ini media komunikasi karapan sapi tersebut telah berubah berkembang mengarah pada aspek olahraga dan perkembangan pariwisata bersinergi dengan media informasi lainnya, dan meninggalkan aspek utamanya sebagai media komunikasi alami pertanian. Masyarakat lebih tertarik dengan mempertontonkan sapinya di lomba-lomba dan event pariwisata.2

Dari sudut pandang sosial, blater dapat muncul dari strata dan kelompok sosial manapun di dalam masyarakat Madura. Apakah itu di dalam lingkungan dengan latar belakang sosial keagamaan yang ketat (baca: santri), atau lingkungan sosial blater. Tak jarang ditemukan pula, seseorang yang sebelumnya pernah menjadi santri di pondok pesantren dalam perjalanan

2 Hub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam,(Jakarta: Pt Gramedia, 1989), hal. 40-41.


(9)

2

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

hidupnya berubah menjadi seorang blater. Blater yang memiliki latar belakang santri, umumnya pandai mengaji dan membaca kitab kuning. Bagi masyarakat Madura sendiri bukanlah sesuatu yang aneh bila seorang blater pandai mengaji dan membaca kitab kuning karena dalam tradisi masyarakat Madura, pendidikan agama diajarkan secara kuat melalui langgar (musolla), surau, masjid dan lembaga pesantren yang bertebaran di hampir setiap kampung dan desa. Konteks ini pula yang membuat blater dengan latar belakang santri memiliki jaringan kultural dan tradisi menghormati sosok kiai.

Historisitas atau fenomena sejarah keblateran dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di masyarakat pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblateran sangat terkait pula dengan konstruksi jagoanisme di dalam masyarakat. Blater adalah sosok orang kuat di Madura, baik secara fisik maupun magis dan biasanya dikenal memiliki ilmu kebal, pencak silat atau ilmu bela diri yang hampir bagi sebagian masyarakat mereka dianggap sebagai kelompok pengaman disisi lain atau bahkan bisa disebut sebagai kelompok pengacau pada sisi lain.3 Seorang jago/blater dapat dengan mudah mengumpulkan pengikut, anak buah dengan jumlah yang cukup besar. Meskipun besaran jumlah pengikutnya sangat tergantung atas kedigdayaan ilmu (kekerasan) yang dikuasainya. Sosok jago atau blater yang sudah malang melintang di dunia kekerasan, dan namanya sudah sangat tersohor karena ilmu kesaktianya akan menambah kharisma dan

3 Tri Sukitman dan Suluh Mardika, Kekuasaan Patrimonial Politik Desa; Analisis Relasi Patron-Klien Pada Pemilihan Kepala Desa Aeng Tong-Tong Saronggi Sumenep, (jurnal Pelopor Pendidikan, Vol 7 No 2, juni 2015) hal. 100


(10)

3

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang. Kondisi ini mengantarkan sosok jagoan selalu memiliki peran signifikan di tengah masyarakat. Sejak di era prakolonial organisasi jago menjadi satu-satunya alat penguasa.

Blater yang rentan terhadap kekuatan aparatur hukum, seperti kepolisian, seringkali mereka menggunakan demokrasi sebagai legitimasi aktivitas ekonomi-politik mereka yang sarat kriminalitas dan kekerasan. Jagoan yang dikenal sebagai blater ini tumbuh dan berkembang di masa sekarang sudah tidak lagi menjaga nilai-nilai kerakyatan. Padahal, blater di sejumlah daerah memiliki asal-usul populis karena kekuatan idealismenya menjaga kehidupan rakyat dari berbagai praktek dominasi dan kesewenang-wenangan penguasa. Di Madura, sejarah Blatèr berawal dari kepentingan resistensi rakyat terhadap kekuasaan kolonial dan penguasa lokal yang sering menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan di Madura. Kekerasan yang telah mereka lakukan pada masa itu ditujukan untuk gerakan mempertahankan nilai kemanusiaan dari berbagai bentuk.4

Bagi setiap orang baik itu blater ataupun bukan, dalam proses sosial mereka tetap memerlukan terhadap keberadaan orang lain di sekitar mereka. Untuk dapat saling berhubungan dalam lingkungan masyarakat maka harus memulai sebuah proses komunikasi, baik itu secara langsung (verbal) ataupun tidak langsung (non verbal). Fungsi komunikasi dalam kehidupan sosial adalah mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun

4 Ardhie Raditya, Politik Keamanan Jagoan Madura, (jurnal studi pemerintahan Vol 2 no1 februari 2011).


(11)

4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur. Melalui komunikasi dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.5

Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia, bisa dipastikan akan tersesat, karena ia tidak berkesempatan menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial. Komunikasilah yang memungkinkan individu membangun suatu kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang ia hadapi. Komunikasi pula yang memungkinkannya mempelajari dan menerapkan strategi-strategi adaptatif untuk mengatasi situasi-situasi problematik yang ia masuki.

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa sosok seorang blater di lingkungan masyarakat Madura adalah orang yang memiliki kekuatan bela diri bahkan magis yang dekat dengan hal-hal yang berbau kriminalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi blater yang mempunyai latar belakang yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Dengan adanya penelitian tentang blater yang ada di desa Tambuko ini, peneliti berharap masyarakat yang ada di desa tersebut ataupun dari luar desa bisa saling memahami dan tidak terjadi kesalahpahaman dalam proses berkomunikasi. Karena dalam kehidupan sehari-hari harus bisa membaca dan

5 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 5


(12)

5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

mengerti terhadap simbol-simbol ketika melakukan interaksi, supaya tidak terjadi miskomunikasi.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka penelitian ini berusaha menjawab permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana komunikasi non verbal dalam budaya blater di desa Tambuko? 2. Bagaimana nilai-nilai yang muncul pada masyarakat dari penggunaan

pesan non verbal oleh blater di desa Tambuko?

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Bertitik tolak pada rumusan masalah di atas, maka maksud dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui komunikasi non verbal dalam budaya blater di desa Tambuko.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai yang muncul pada masyarakat dari penggunaan pesan non verbal oleh blater di desa Tambuko Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep.


(13)

6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan berdaya guna sebagai berikut:

a. Secara teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu komunikasi, khususnya budaya komunikasi. 2. Diharapkan dapat memperkaya kajian budaya khususnya di bidang

komunikasi dalam masyarakat Madura.\

b. Secara Praktis

1. Untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar strata satu (S1) pada Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya. 2. Untuk menambah wawasan yang berkaitan dengan budaya komunikasi

bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.

3. Bagi masyarakat Madura pada khususnya, supaya bisa lebih memahami tentang budaya blater yang ada di pulau Madura.


(14)

7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

E. PENELITIAN TERDAHULU

1. Penelitian tentang blater sebelumnya sudah pernah ditulis dalam

bentuk skripsi oleh Mohammad Ismail dengan judul, “Kehidupan Kiai Dan Blater di Desa Tengginah Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan 1986-1999” pada tahun, 2015. Mahasiswa jurusan Sejarah-Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negri Malang. Inti penelitian dalam skripsi ini adalah seperti apa pengaruh dari adanya sosok Kiai dan blater dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa tengginah, juga untuk mengetaui seperti apa dinamika hubungan antara sosok kiai serta blater yang mempunyai latar belakang yang berlawanan arah.

Sementara peneliti dalam penulisan skripsi ini memfokuskan penelitiannya terhadap eksistensi kiai dan blater yang ada di desa Tengginah, dan bagaimana relasi atau hubungan yang terbentuk antara kiai serta blater itu sendiri. Dari sini sudah ditemukan titik pembeda yang sangat vital antara skripsi yang ditulis oleh Mohammad Ismail ini dengan kajian yang sedang penulis teliti, meskipun sama-sama meneliti tentang sosok Blater.

Sedangkan persamaan antara skripsi ini dengan yang penulis kaji adalah sama sama penelitian kualitatif yang juga menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi.

2. Penelitian yang kedua dilakukan oleh Ardhie Raditya dengan

judul, “Politik Keamanan Jagoan Madura” pada tahun, 2011. Mahasiswa


(15)

8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Penulisan penelitan ini adalah dalam bentuk jurnal yang di terbitkan oleh Jurnal Studi Pemerintahan vol.2 no 1 februari 2011.

Inti dari penelitian ini adalah bagaimana proses yang dilakukan oleh blater untuk dapat memiliki kekuasan serta mencari keuntungan dalam lingkungan masyarakat Madura, dan bagaimana hubungan kaum blater dengan kaum penguasa dalam memonopoli demokrasi politik dalam masyarakat untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan.

Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Ardhie Raditya di atas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada hubungan yang tercipta antara sosok blater, baik itu dengan masyarakat atau dengan para elit politik itu sendiri. Penelitian yang penulis lakukan lebih memfokuskan bagaimana proses komunikasi seorang blater dengan masyarakat yang terkait dengan simbol. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ardhie Raditya di atas lebih fokus pada bagaimana proses seorang blater dalam memonopoli kekuasaan, baik itu dalam lingkungan masyarakat atau dalam proses demokrasi politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kedudukan.

3. Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Wachid dalam bentuk skripsi

yang berjudul, “Kehidupan Blater (Studi Kasus Di Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang-Madura)” pada tahun, 2006. Mahasiswa Program Studi Sosiologi-Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negri Surabaya. Inti dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seperti apa kehidupan yang dijalani oleh seorang blater sehari-harinya dalam lingkungan masyarakat, juga


(16)

9

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

untuk mengetahui bagaimana cara seorang blater untuk mempertahankan harga diri serta martabatnya sebagai seorang blater.

` Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Wachid ini sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif dalam proses penelitiannya, tetapi mempunyai fokus penelitian yang berbeda dari penelitian yang penulis lakukan. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Wachid lebih kepada kehidupan blater itu sendiri dan tradisi yang terikat pada diri seorang blater, seperti sabung ayam, remoh dan lain lain, bukan pada proses komunikasi yang berlangsung dengan masyarakat yang sedang penulis lakukan.

F. DEFINISI KONSEP

1.Budaya Komunikasi

Budaya dan komunikasi merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian budaya dan komunikasi terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial.6 Pelintasan komunikasi ini menggunakan kode – kode pesan, baik secara verbal maupun non verbal, yang secara alamiah selalu digunakan dalam konteks interaksi. Dalam hal ini juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola- pola tindakan dan bagaimana makna serta pola – pola itu di artikulasi dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik,

6 Djuarsa Sendjadja, Teori Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), hal. 325-326.


(17)

10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

proses pendidikan bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antar manusia.

Dalam setiap hubungan, seperti contoh, sebuah budaya hubungan muncul secara alami dari waktu ke waktu. Semisal sebuah frasa khusus atau gerak gerik tertentu yang memiliki keunikan bagi individu-individu yang terlibat dalam hubungan. Setiap simbol tersebut mempunyai makna dan arti penting khusus yang disebabkan oleh sejarah komunikasi yang dibagi di antara mereka. Proses yang sama muncul dalam kelompok maupun organisasi, meski jumlah orang yang terlibat lebih besar. Saat jaringan komunikasi muncul dan berubah, pola dan kenyataan yang dibagi pun berkembang. Dalam kejadian ini, sebagaimana telah dimengerti, kata-kata khusus atau frasa-frasa tertentu, pendekatan kepeminpinan, atau kesepakatan berpakaian, muncul sebagai hasil dari komunikasi dan adaptasi mutualistik di antara para anggota. Masyarakat adalah sistem sosial yang lebih besar dan lebih kompleks, yang juga di dalamnya berlangsung dinamika komunikasi yang sama. Simbol-simbol dari sebuah masyarakat adalah Simbol-simbol budaya yang mungkin paling bisa dilihat.7

Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau

mewariskan budaya. Benar kata Edward T. Hall bahwa “budaya adalah komunikasi” dan “komunikasi adalah budaya”. Pada satu sisi, komunikasi

7 Brant D. Ruben, Lea P. Stewart, Komunikasi Dan Perilaku Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers. 2013). Hal. 354


(18)

11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertical, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma komunikasi yang dianggap sesuai untuk suatu kelompok tertentu.8

Jadi komunikasi menjadi medium untuk melanjutkan suatu budaya, tanpa adanya komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat yang lain. Melalui komunikasi juga kebudayaan itu terbentuk, dan sebaliknya kebudayaan menentukan aturan dan pola-pola komunikasi.

Budaya komunikasi yang ingin peneliti angkat di sini adalah proses interaksi yang dilakukan oleh Blater yang ada di desa Tambuko Kecamatan Guluk-Guluk Sumenep, baik dari cara berpakaian, aksesoris yang digunakan dan juga bentuk komunikasi secara verbal atau non verbal ketika berhubungan dengan masyarakat desa Tambuko.

2.Masyarakat Desa Tambuko

Dalam penelitian ini masyarakat Madura adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di desa Tambuko Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep. Masyarakat Madura secara umum dalam berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh tradisi mereka yang sangat khas, mulai dari logat bahasa, cara mereka bertutur kata, menyampaikan pesan yang ada dalam pikiran

8 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 6


(19)

12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

mereka sampai pada pengungkapan atau pengekspresian perasaan mereka. Pada umumnya masyarakat Madura dalam pengungkapan perasaan dan pola pikir mereka akan suatu hal cenderung tidak pakai basa basi, langsung pada pembicaraan utama, hal ini dikarenakan masyarakat Madura lebih menghargai waktu daripada kemasan pesan yang akan disampaikan.

Kebanyakan masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih Sembilan puluh persen penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, desa-desa, dukuh-dukuh, dan kelompok-kelompok perumahan petani. Sebagian besar penduduk pedesaan hidup terpencar-pencar di pedalaman rumah-rumah petani, yang tergabung dalam kelompok-kelompok yang kecil. Kelompok-kelompok perumahan itu terletak di antara ladang dan persawahan dan saling dihubungi oleh jalan-jalan kecil yang ruet. Di Madura bagian timur, perumahan petani yang berkelompok menjadi satu disebut

tanean lanjang, arti harfiahnya adalah “pekarangan panjang”. Perumahan

petani itu didirikan secara berdampingan dengan arah yang sejajar dengan panjangnya pulau. Setiap keluarga luas memiliki sebuah pekarangan. Tanean lanjang mungkin sekali merupakan bentuk pemukiman yang tertua di Pulau Madura.9

Di setiap desa yang ada di pulau Madura pasti ada bajing (blater) yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keberadaan desa tersebut. Tidak terkecuali di desa Tambuko sendiri, di lingkungan masyarakatnya

9 Hub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam,(Jakarta: Pt Gramedia, 1989), hal. 11-13


(20)

13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

terdapat blater yang cukup di segani oleh masyarakat. Meskipun statusnya adalah seorang blater yang identik dengan kejahatan dan kekerasan, tetapi karena status keblaterannya digunakan untuk keamanan desa, maka tidak menjadi masalah bagi masyarakat desa Tambuko meskipun ada blater di lingkungannya.

3.Blater

Blater adalah orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis yang biasanya digunakan dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura sendiri, ada dua pandangan mengenai sosok blater ini. Ada blater yang memberikan perlindungan keselamatan secara fisik kepada masyarakat, berperilaku sopan dan tidak sombong. Namun, ada juga blater yang disebut “bajingan” karena tidak menjalankan peran sosial yang baik di masyarakat. Blater adalah elit pedesaan yang memiliki sosial origin dan tradisi yang berbeda dengan kultur kiai. Bila kiai dibesarkan dalam kultur keagamaan, sedangkan blater dibesarkan dalam kultur jagoanisme, dekat dengan ritus kekerasan. Istilah blater hanya popular di Madura bagian barat (bangkalan dan sampung), sedangkan di Madura bagian timur (pamekasan dan sumenep) lebih popular dengan sebutan bajingan..10

Para blater dalam usaha menyambung hidupnya guna memperoleh pendapatan dengan cara menyabung ayam, atau ikut taruhan dalam kerapan

10 Abdur Rozaki, Kepemimpinan Informal Madura, 2012. (www.lontarmadura.com/ kepemimpinan-informal-madura. Diakses pada tanggal 10 maret 2015)


(21)

14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

sapi dan berjudi. Untuk aksi kejahatan seperti pecurian atau perampokan biasanya mereka lakukan di luar daerah meraka.

Sekep atau senjata tajam dan kaum blatèr merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sekep adalah senjata tajam yang biasanya dibawa kemanapun ketika pergi oleh orang Madura terutama kaum blatèr. Banyak jenis sekep yang umumnya mereka bawa, namun yang paling popular dikalangan orang Madura adalah clurit. Fungsi sekep disini hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya.

G. KERANGKA PEMIKIRAN

Komunikasi

Non Verbal Budaya

Nilai-nilai

Teori interaksi simbolik


(22)

15

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Dari kerangka di atas dapat diketahui bahwa komunikasi dan budaya itu sangatlah saling berkaitan. Komunikasi dapat membentuk suatu budaya dalam lingkungan masyarakat dan pada gilirannya budaya menentukan pola-pola komunikasi yang terdapat dalam suatu lingkungan masyarakat. Simbol-simbol dari sebuah masyarakat adalah Simbol-simbol budaya yang paling bisa dilihat. Budaya yang syarat dengan simbol-simbol serta pesan-pesan yang bersifat non verbal di dalamnya, akan membentuk nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat yang bersinggungan dengan budaya tersebut. Dalam penelitian tentang budaya komunikasi bleter yang ada di desa Tambuko ini, peneliti akan mencoba mengungkap seperti apa budaya komunikasi blater, baik itu dalam bentuk simbol-simbol seperti busana dan aksesoris yang digunakan, serta perilaku yang blater tunjukkan dalam proses interaksi dengan masyarakat. Setiap simbol-simbol dan perilaku yang ditunjukkan oleh blater yang ada di desa Tambuko akan membuahkan respon terhadap masyarakat yang melihatnya, dan hal itu akan membentuk sebuah nilai-nilai serta budaya komunikasi tersendiri bagi blater. Untuk menganalisa budaya komunikasi blater yang ada di desa Tambuko ini, peneliti akan menggunakan teori interaksi simbolik milik Herbert Blummer, karena teori ini sangat cocok dengan gaya komunikasi blater yang lebih banyak menggunakan komunikasi non verbal dalam proses interaksi dengan masyarakat.

Teori interaksi simbolik milik Herbert Blumer ini mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penelitian, karena di dalamnya memiliki tendensi-tendensi pemikiran yang kuat untuk menganalisis penelitian ini.


(23)

16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Teori Interaksi Simbolik

Istilah interaksi simbolik diciptakan oleh Herbert Blumer pada tahun 1937 dan dipopulerkan oleh Blumer juga, meskipun sebenarnya Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut.11

Esensi dari teori Interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna Blumer mengkonseptualisasikan manusia sebagai pencipta atau pembentuk kembali lingkungannya, sebagai perancang dunia obyeknya dalam aliran tindakannya, alih–alih sekedar merespons pengharapan kelompok.

Perspektif interaksionisme simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subyek, perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan keberadaan orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, obyek dan bahkan pada diri mereka sendiri yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran, manusia bertindak hanya berdasarkan pada definisi atau penafsiran mereka atas obyek-obyek di sekeliling mereka.

Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan

11 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 68-73.


(24)

17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

menegakkan kehidupan kelompok, dalam konteks ini, maka makna dikontruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan peranannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.

Bagi penganut interaksi simbolik memungkinkan mereka menghindari problem-problem struktulisme dan idealisme dan mengemudikan jalan tengah dari problem tersebut.

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial.

Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia dari sekeliling mereka jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan sebagaimana dianut teori Behavioristik atau teori struktural.

Secara ringkas Teori Interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut, pertama individu merespons suatu situasi simbolik, mereka merespon lingkungan termasuk obyek fisik (benda) dan obyek sosial (perilakumanusia) berdasarkan media yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.


(25)

18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak.

Ketiga, makna yang interpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Peneliti menggunakan teori interaksi simbolik milik Herbert blumer karena teori ini sangat cocok dan akan banyak membantu dalam proses penelitian yang memfokuskan pada proses komunikasi yang dibangun oleh blater yang menjadi subyek penelitian. Dengan menggunakan teori ini peneliti berharap bisa cepat memahami seperti apa dan bagaimana cara komunikasi blater dengan masyarakat yang ada di desa Tambuko. Proses komunikasi blater disini tidak hanya menggunakan komunikasi secara verbal, tetapi juga nonverbal (simbol) yang juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.

Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Maka dari itu sangatlah penting untuk bisa mengerti dan memahami simbol-simbol dalam proses komunikasi untuk mencapai kesepahaman dalam proses interaksi.


(26)

19

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

H. METODE PENELITIAN

1.Pendekatan dan Jenis Penelitian

Skripsi ini tersusun dengan kelengkapan ilmiah yang disebut sebagai metode penelitian, yaitu cara kerja penelitian sesuai dengan cabang – cabang ilmu yang menjadi sasaran atau obyeknya. Cara kerja tersebut merupakan pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam upaya pencarian data yang berkenaan dengan masalah-masalah penelitian guna diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan solusinya.

Metode dalam suatu penelitian merupakan upaya agar penelitian tidak diragukan bobot kualitasnya dan dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya secara ilmiah. Untuk itu dalam bagian ini memberi tempat khusus tentang apa dan bagaimana pendekatan dan jenis penelitian, obyek penelitian, jenis dan sumber data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Panelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang di peroleh meliputi transkip interviu, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan lain-lain.12

Untuk jenis penelitian akan menggunakan format deskriptif karena bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi obyek

12 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002). Hal. 51


(27)

20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

penelitian. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu.

2.Lokasi dan Waktu Penelitian

Mengenai lokasi dan waktu penelitian, peneliti akan melakukan penelitian di desa Tambukoh Kecamatan Guluk-Guluk Sumenep Madura dengan memfokuskan pada blater yang ada di desa tersebut, agar masalah yang akan diteliti lebih terarah dan lebih fokus.

3.Pemilihan Subyek Penelitian

Untuk subyek penelitian, peneliti akan memilih salah satu blater yang cukup di segani di desa tersebut untuk dijadikan informan dalam proses menggali informasi dan pengumpulan data tentang gaya komunikasi yang mereka gunakan dalam proses interaksi dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

4.Pemilihan Obyek Penelitian

Obyek penelitian disini akan terfokus pada bagaimana proses komunikasi para Blater dengan masyarakat desa Tambuko. Dengan mengetahui bagaimana proses komunikasi para blater disini, baik secara verbal atau nonverbal diharapkan bisa menambah pengetahuan untuk khalayak ramai dalam proses komunikasi yang lebih baik.


(28)

21

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5.Jenis dan Sumber Data

a) Jenis Data Penelitian:13

1. Data primer, yaitu data utama yang diperoleh oleh peneliti secara langsung dari sumber, tanpa ada perantara yang secara khusus. Data tersebut dapat berupa informasi dalam bentuk kata-kata dan tindakan. 2. Data sekunder, yaitu data yang peneliti peroleh dari sumber ke dua untuk

mendukung penulisan pada penelitian ini. Bisa berupa informasi, dokumen, foto-foto, dan arsip dari beberapa situs internet yang mendukung penelitian ini.

b) Sumber Data Penelitian:

1. Sumber data primer, sumber data ini adalah sumber pertama di mana sebuah data dihasilkan. Dalam penelitian ini sumber data utama adalah Blater.

2. Sumber data sekunder, adalah sumber data ke dua sesudah sumber data peimer. Data yang dihasilkan dari sumber data ini adalah data sekunder. Dalam penelitian ini sumber data ke dua bisa dari keluarga atau orang-orang yang hidup di lingkungan blater tersebut.

6.Tahap-Tahap Penelitian

Pada tahap penelitian ini, peneliti dituntut untuk merekam data lapangan secara maksimal yang pada gilirannya akan memperoleh data yang maksimal pula. Tahap penelitian dapat dilakukan dengan dua langkah baik

13 Lexy j. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006). Hal. 157


(29)

22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

dari sisi operasional fisik maupun kerangka berpikir. Tahapan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Persiapan (pralapangan), yang meliputi: penyusunan rancangan penelitian; memilih lapangan; mengurus perizinan; menilai keadaan lapangan atau lokasi penelitian; memilih informan; menyiapkan instrumen penelitian; dan etika dalam penelitian.

2. Lapangan, yang meliputi: memahami dan memasuki lapangan dan aktif dalam kegiatan (pengumpulan data).

3. Pengolahan Data, yang meliputi: reduksi data; display data (bertujuan memudahkan peneliti untuk melihat pola-pola hubungan satu data dengan data lainnya); analisis data; mengambil kesimpulan dan verifikasi; meningkatkan keabsahan hasil; dan narasi hasil analisis.

7.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut: 14

1. Observasi. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan tiga macam observasi, yaitu: observasi tidak terstruktur (dilakukan jika fokus penelitian belum jelas); observasi terus terang (peneliti menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa sedang melakukan penelitian); observasi partisipatif (peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang

14 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 226-241.


(30)

23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian).

2. Wawancara. Penelitian ini akan melewati tiga tahap pelaksanaan wawancara, yaitu: wawancara tidak terstruktur dan terbuka (wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara; wawancaran semi terstruktur (wawancara yang pelaksanaannya lebih bebas dari wawancara terstruktur); dan wawancara terstruktur (wawancara yang dilakukan dengan berpangku pada pedoman wawancara, yang dilakukan setelah peneliti benar-benar mengetahui tentang informasi yang diperoleh dari wawancara sebelumnya).

3. Dokumentasi. Pengumpulan data dalam penelitian ini juga akan menggunakan berbagai dokumen-dokumen yang ada, berupa catatan peristiwa yang sudah berlalu, seperti tulisan, gambar, serta karya-karya monumental dari seseorang.

8.Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan sebuah proses yang berkelanjutan (continue) terhadap data yang terkumpul. Proses tersebut membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, adanya pertanyaan analitis, dan menulis catatan-catatan singkat sepanjang penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisa yang akan dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Ketika data terkumpul, peneliti dituntut mengolahnya secara sistematis; diawali dari


(31)

24

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

wawancara, observasi, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, selanjutnya aktivitas penyajian data serta menyimpulkan data.15

Dalam proses analisis data ini peneliti akan melakukan wawancara kepada nara sumber yang cukup mengetahui tentang blater yang ada di desa Tambuko, serta akan mengamati langsung ke lokasi penelitian agar dapat mengetahui secara langsung proses interaksi yang dilakukan oleh blater tersebut.

15 Noeng Mohajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika, 1996), hal. 29


(32)

25

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Pada bagian ini, peneliti mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang telah ditetapkan oleh Program Studi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya, yang meliputi:

1. BAB I: PENDAHULUAN, yang berisi: Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Maksud Dan Tujuan Penelitian; Kegunaan Penelitian; Penelitian Terdahulu; Definisi Konsep; Metode Penelitian (Pendekatan dan Jenis Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian, Pemilihan Subjek dan Objek Penelitian, Jenis dan Sumber Data, Tahap-Tahap Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data); dan Sistematika Pembahasan.

2. BAB II: KAJIAN TEORI, yang berisi: Kajian Pustaka; Kerangka Teortik; dan Penelitian Terdahulu yang Relevan.

3. BAB III: PAPARAN DATA PENELITIAN, yang berisi: Deskripsi Umum Objek Penelitian dan Deskripsi Hasil Penelitian.

4. BAB IV: INTERPRETASI HASIL PENELITIAN, yang berisi; Analisis

Data Dan Konfirmasi Dengan Teori.


(33)

26

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Kajian Pustaka

1. Budaya dan Komunikasi

Budaya seperti juga komunikasi adalah istilah yang sudah akrab bagi kebanyakan orang. Sebagian dari akibat keakraban ini, istilah budaya digunakan dengan cara yang berbeda-beda. penggunaan yang paling umun dari istilah budaya adalah sebagai persamaan kata dari negri atau bangsa. Jika berkelana melintas, beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa bukan inggris, atau mendapati seorang perempuan yang mengenakan cincin di wajahnya, dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari budaya berbeda, yang artinya dalam kasus ini, bahwa mereka berasal dari negri yang berbeda.

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara fomal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, obyek-obyek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menempatkan diri pada pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model dari tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.


(34)

27

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Mereka yang mempelajari tingkah laku manusia memiliki definisi budaya yang lebih tepat. Pengertian budaya tidak menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh orang, juga bukan sesuatu yang terpikir sebagai negatif atau positif. Budaya bukanlah suatu apapun di antara obyek yang dapat di sentuh, dapat diperiksa secara fisik, atau diletakkan dalam sebuah map. Melainkan ia adalah sebuah gagasan, atau sebuah konsep, seperti

di kemukakan oleh E. B. Taylor tahun 1871 dengan “yaitu keseluruhan

kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan lain apapun, dan kebiasaan yang dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota dari sebuah masyarakat.”15

Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja. Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan.

Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai 3 wujud, yaitu:16

a) Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia: wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya. Disebutkan bahwa sistem budaya karena gagasan dan pikiran tersebut tidak merupakan kepingan-kepingan yang terlepas, melainkan saling berkaitan berdasarkan asas-asas

15

Brant D. Ruben, Lea P. Stewart, Komunikasi Dan Perilaku Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers. 2013). Hal. 358

16

Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar. (Bandung: PT Refika Aditama. 1998). Hal. 12-13


(35)

28

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

yang erat hubungannya, sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran yang relatif mantap dan kontinyu.

b) Kompleks aktifitas, berupa aktifitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkret, dapat diamati dan diobservasi. Wujud ini sering disebut sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya. Apa pun bentuknya, pola-pola aktifitas tersebut ditentukan atau ditata aleh gagasan-gagasan, dan pikiran-pikiran yang ada didalam kepala manusia. Karena saling berinteraksi antara manusia, maka pola aktifitas dapat pula menimbulkan gagasan, konsep, dan pikiran baru serta tidak mustahil dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang berinteraksi tesebut.

c) Wujud sebagai benda: aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah salah satu wujud kebudayaan. Sebab, komunikasi hanya bisa terwujud setelah sebelumnya ada suatu gagasan yang akan dikeluarkan oleh pikiran individu. Jika komunikasi itu dilakukan dalam suatu komunitas, maka menjadi sebuah kelompok aktivitas dan pada akhirnya komunikasi yang dilakukan tersebut tak jarang membuahkan suatu bentuk fisik, misalnya hasil


(36)

29

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

karya seperti sebuah bangunan. Bukanlah bangunan didirikan karena ada konsep, gagasan kemudian didiskusikan (dengan keluarga, pekerja atau arsitek) dan berdirilah sebuah rumah. Maka komunikasi nyata menjadi sebuah wujud dari kebudayaan. Dengan kata lain komunikasi bisa disebut sebagai proses budaya yang ada dalam masyarakat.

Deddy mulyana mengkategorikan definisi-definisi tentang komunikasi kedalam 3 konseptual yaitu:17

1. Komunikasi sebagai tindakan satu arah.

Suatu pemahaman komunikasi sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang (atau lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Pemahaman komunikasi sebagai proses searah sebenarnya kurang sesuai bila diterapkan pada komunikasi tatap muka, namun tidak terlalu keliru bila diterapkan pada komunikasi publik (pidato) yang tidak melibatkan tanya jawab. Pemahaman komunikasi dalam konsep ini, sebagai definisi berorientasi-sumber.

Definisi seperti ini mengisyaratkan komunikasi semua kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respon orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap suatu tindakan yang disengajauntuk menyampaikan

17

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 61-69


(37)

30

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuk untuk melakukan sesuatu. 2. Komunikasi sebagai interaksi

Pandangan ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau non verbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau non verbal, kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respon atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya.

3. Komunikasi sebagai transaksi

Pandangan ini menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang dinamis yang secara sinambungan mengubah phak-pihak yang berkomunikasi. Berdasrkan pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal dan atau pesan non verbal.

Proses yang sama muncul dalam kelompok maupun organisasi, meski jumlah orang yang terlibat lebih besar. Saat jaringan komunikasi muncul dan berubah, pola dan kenyataan yang dibagi pun berkembang. Dalam setiap kejadian ini, kata-kata khusus atau frasa-frasa tertentu, pendekatan kepemimpinan, norma perilaku, atau kesepakatan berpakaian, muncul sebagai hasil dari komunikasi dan adaptasi mutualistik di antara para anggota.


(38)

31

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat adalah sistem sosial yang lebih besar dan lebih kompleks, yang juga didalamnya berlangsung dinamika komunikasi yang sama. Simbol-simbol dari sebuah masyarakat adalah simbol budaya yang paling bisa dilihat.

Simbol adalah dasar budaya setiap masyarakat. Bahasa lisan dan tertulis adalah unsur budaya yang paling dasar, namun, bersamanya ada pula simbol-simbol lain yang juga melayani peran yang sama. Benda-benda tertentu, tempat, orang, gagasan, dokumen, lagu, peristiwa bersejarah, monument, figure pahlawan, gaya arsitek, dan bahkan dongeng rakyak boleh jadi penting bagi sebuah budaya.

Di dalam masyarakat, seperti di dalam sistem sosial lainnya, komunikasi adalah sarana melalui mana individu-individu menciptakan, berbagi dan melanggengkan budaya. Pola komunikasi verbal dan nonverbal yang sama, orientasi keagamaan, politik, gender, perkawanan, membesarkan anak, suku, dan sisi kehidupan sosial lainnya adalah juga menjadi bagian dari budaya di setiap masyarakat.

Budaya yang terdapat pada hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat, melayani fungsi yang sama terkait komunikasi:

1. Menghubungkan individu satu sama lain

2. Menciptakan konteks untuk interaksi dan negosiasi antar anggota 3. Memberikan dasar bagi identitas bersama.18

18

Brant D. Ruben, Lea P. Stewart, Komunikasi Dan Perilaku Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers. 2013). Hal. 361


(39)

32

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Sebagaimana ditampakkan oleh ketiga aspek di atas, hubungan antara budaya dan komunikasi adalah kompleks. Budaya adalah hasil tambahan dari kegiatan-kegiatan komunikasi yang berlangsung di dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Tentunya, jika tidak karena kapasitas bahasa simbolik manusia, kita tidak akan bisa mengembangkan sebuah budaya bersama. Tanpa komunikasi beserta teknologinya, menjadi tidak mungkin untuk menyampaikan unsur-unsur budaya dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada waktu bersamaan, pilihan, pola, dan perilaku komunikasi perseorangan berkembang saat beradaptasi kepada tuntutan budaya dan peluang yang kita jumpai di sepanjang perjalanan hidup.

Sejauh bisa nyatakan secara akurat bahwa budaya didefinisikan, dibentuk, ditranmisikan, dan dipelajari melalui komunikasi, sejauh itu pulalah dapat dikatakan secara akurat mengenai hal sebaliknya. Hasilnya, kemudian, adalah saling memengaruhi secara resiprokal, atau pendefinisian secara timbal balik, antara budaya dan komunikasi manusia. Melalui komunikasi akan terbentuk sebuah budaya; dan, pada gilirannya, budaya membentuk pola-pola komunikasi.

Gagasan tentang budaya dan hubungannya dengan komunikasi dapat lebih diperjelas melalui pembahasan karakteristik umum budaya berikut ini: (1) budaya itu kompleks dan bersegi banyak, (2) budaya tidak terlihat, (3)


(40)

33

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

budaya bersifat subjektif, dan (4) budaya mengalami perubahan setiap waktu.19

Kompleksitas budaya adalah sesuatu yang paling tampak dan paling potensial dalam bermasalah dalam komunikasi. Di sini, perbedaan bahasa sering melibatkan isu-isu mendasar seperti kebiasaan sosial, kehidupan keluarga, pakaian, kebiasaan makan, struktur kelas, orientasi politik, agama, adat-istiadat, filosofi ekonomi, kepercayaan, dan sistem nilai.

Unsur-unsur budaya tertentu tersebut tidak berada dalam isolasi, tapi, ia saling memengaruhi dengan cara yang halus. Sebagai contoh, nilai dari budaya suatu masyarakat mempunyai dampak kepada ekonomi dan sebaliknya; serta sekaligus memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat, agama, dan kehidupan keluarga. Jika memeriksa pola komunikasi verbal dan non-verbal dari budaya manapun, akan terlihat ada pola yang sama pada kompleksitas dan asosiasinya. Bentuk salam, gerak isyarat, tema dan bentuk percakapan, baju, kebiasaan bahasa, praktik berpacaran, kontak mata yang dipilih, penggunaan ruang, orientasi waktu, peran gender, orientasi pada yang lebih tua, dan sikap tehadap kerja semuanya memengaruhi dan pada gilirannya dipengaruhi oleh ragam dimensi budaya.

Meski budaya itu unik dalam beberapa hal, masih dimungkinkan untuk mengidentifikasi pola-pola umum kesamaan dan perbedaannya. Dalam

19

Brant D. Ruben, Lea P. Stewart, Komunikasi Dan Perilaku Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers. 2013). Hal. 362-371


(41)

34

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

hal orientasi pada praktik komunikasi, budaya dapat dijelaskan dalam tiga cabang tema: konteks tinggi dan konteks rendah, orientasi individu dan kolektif, dan perspektif waktu monokronik dan polikronik.

Ahli komunikasi dan kebudayaan Edward Hall, mendefinisikan

konteks sebagai “informasi yang mengelilingi sebuah peristiwa; ia, tidak dapat dipisahkan, menyatu dengan makna peristiwa.” Edward Hall

menunjukkan bahwa budaya-budaya dunia dan praktik komunikasi individu di dalam budaya merentang dari yang konteks tinggi ke konteks rendah.

Para pelaku interaksi di dalam budaya konteks tinggi ataupun konteks rendah memiliki beberapa masalah interaksi satu sama lain. Orang-orang dari budaya konteks tiggi, lebih banyak bersandar pada isyarat non-verbal dan apa yang mereka telah ketahui mengenai latar belakang orang, untuk mengarahkan mereka sepanjang percakapan. Sementara orang dari budaya konteks rendah lebih cenderung bertanya secara langsung mengenai pengalaman, sikap, dan keyakinan dari orang lain.

Rasa tanggung jawab terhadap kelompok adalah sebentuk budaya yang dapat dibedakan antara perhatian terhadap kesejahteraan kelompok dan persepsi yang menekankan kepentingan dan hasrat perseorangan. Sederhananya, dalam budaya individualistik, tujuan-tujuan individu adalah kepentingan paling utama, sementara dalam budaya kolektif, tujuan kelompok adalah paling tinggi.

Waktu, sebuah dimensi penting dalam banyak situasi komunikasi, secara khusus penting untuk memahami budaya dan perbedaannya. Hall


(42)

35

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

membedakan dua orientasi waktu: monokronik dan polikronik. Waktu monokronik (monochronic) menjelaskan orientasi orang yang memberi perhatian dan melakukan satu hal dalam satu waktu. Sedangkan waktu polikronik (polychronic) merujuk kepada orang yang memberi perhatian dan melakukan banyak hal dalam satu waktu.

Dalam budaya monokronik, waktu dianggap sebagai komuditas, sebagai sesuatu yang harus dihitung, diatur, dialokasikan, dan dibelanjakan. Waktu monokronik dibagi-bagi secara ketat menjadi pengalaman-pengalaman yang harus terjadwal. Dalam sebuah sistem monokronik, sebuah jadwal atau agenda menjadi amat sangat penting laksana uang, bagaikan sesuatu yang dapat digunakan untuk belanja, ditabung, dibuang, dan hilang.

Sebagian besar karakteristik budaya yang menyelubungi hubungan, kelompok, organisasi, atau masyarakat itu tidak terlihat bagi masing-masing unit ini, sebagaimana udara mengelilingi mereka. Bagi setiap orang, budaya banyak pengaruhnya, sangatlah halus dan meresap serta sering tidak diperhatikan. Padahal, budaya ada dan telah ada karena setiap orang bisa mengingatnya, namun sedikit dari kita yang memiliki alasan untuk merenungkannya.

Karena setiap orang tumbuh dan menggunakan budaya secara apa adanya, maka kebanyakan dari mereka tidak menyadari sifat subjektifnya. Bagi orang yang ada di dalamnya, aspek-aspek budayanya adalah rasional


(43)

36

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Budaya dan subbudaya tidak hidup dalam ruang hampa. Setiap orang membawa serta pengaruh budayanya pada saat berpartisipasi dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Saat individu berubah, dia akan menyiapkan dorongan bagi perubahan budaya di mana dia menjadi bagiannya. Dalam pengertian seperti ini, masing-masing kita adalah agen perubahan budaya.

Sebagai tambahan bagi sifat alamiahnya, perubahan secara evolusioner pada satu budaya tak mungkin dihindarkan, sedangkan perubahan pada budaya lain terjadi secara lebih disengaja dengan cara revolusioner.

2. Budaya Blater

Blatèr merupakan wajah yang sesungguhnya dari masyarakat

Madura, sebelum Madura di “make up” oleh berbagai kultur dominan yang

merambahnya. Blatèr sebuah julukan terhadap Masyarakat Madura yang pada intinya adalah sesepuh masyarakat sekitar. Tidak semua orang bisa disebut blatèr, hanya orang-orang tertentu yang bisa dijuluki dengan kata ini. Maka bisa dikatakan juga nama Blatèr adalah sebuah penobatan dari masyarakat di mana belater itu berada. Sebuah penobatan blater tentunya bermacam-macam, ada yang menobati karena kewibawaannya, ada juga karena kabengallah

(keberaniannya.)

Bagi masyarakat Madura blatèr merupakan salah satu tokoh terpenting selain dari pada pemimpin yang formal maupun nonformal


(44)

37

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

(kyai).20 Istilah blatèr hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang) sedangkan di Madura bagian timur (Sumenep dan Pamekasan) lebih dikenal istilah bajingan, meskipun sebenarnya kedua istilah tersebut tidak sepenuhnya sama. Ada tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian bajingan dengan blatèr. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki perangai yang kasar dan keras sedangkan blatèr sekalipun dekat dengan kultur kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan memihki keadaban. Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blatèr adalah bajingan yang sudah naik kelas atau naik tingkat sosialnya.

Blatèr atau yang dikenal dengan sosok jagoan yang biasanya memiliki pengaruh ditingkat desa, atau beberapa desa, bahkan hingga kecamatan. Ia memiliki pengaruh karena dianggap dapat menjaga keamanan dan ketentraman lingkungan desa dari gangguan tindak kriminalitas. Sosok

blatèr kerap kali dianggap sebagian penduduk desa sebagai “kesatria” lokal

yang memiliki jaringan pertemanan yang luas. Untuk menjalin pertemanan yang luas, bahkan sampai lintas kabupaten, blatèr banyak memiliki media untuk merawat komunikasi itu. Remoh, kerapan sapi, sabung ayam, dan sandur adalah media yang tidak saja merajut komunikasi, tetapi juga menjadi ruang bagi kalangan blatèr menakar harga diri, bahkan menaikkan status sosialnya. Bahkan untuk menunjukkan gengsi kejantanannya, banyak pula

20

Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004). Hal. 22-25


(45)

38

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

kalangan blatèr yang menikahi beberapa perempuan. Melalui remoh itulah pertemuan informal kalangan blatèr dilangsungkan. Kalangan blatèr dapat saling mempertukarkan segala informasi, khususnya raport kriminalitas yang terjadi di daerahnya masing masing. Bagi blatèr yang daerah kekuasaannya minim akan tindak kriminalitas, maka prestisnya dikalangan blatèr lainnya akan meningkat. Sebab dipersepsi blatèr yang bersangkutan benar benar dihormati dan memiliki kewibawaan di mata warganya.

Historisitas atau fenomena sejarah keblatèran dalam banyak hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di masyarakat pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblatèran sangat terkait pula dengan konstruksi jagoanisme di dalam masyarakat. Blatèr adalah sosok orang kuat di Madura, baik secara fisik maupun magis dan biasanya dikenal memiliki ilmu kebal, pencak silat atau ilmu bela diri. Seorang jago/blatèr dapat dengan mudah mengumpulkan pengikut, anak buah dengan jumlah yang cukup besar. Meskipun besaran jumlah pengikutnya sangat tergantung atas kedigdayaan ilmu (kekerasan) yang dikuasainya. Sosok jago atau blatèr yang sudah malang melintang di dunia kekerasan, dan namanya sudah sangat tersohor karena ilmu kesaktianya akan menambah kharisma dan kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang.

Sekep atau senjata tajam dan kaum blatèr merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sekep adalah senjata tajam yang biasanya dibawa kemanapun pergi oleh orang Madura terutama kaum blatèr. Banyak jenis sekep yang umumnya mereka bawa, namun yang paling popular dikalang


(46)

39

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

orang Madura adalah clurit. Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya. Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.21

Celurit bagi kaum blatèr sangat penting artinya baik sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai orang jago. Nyekep merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo. Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura khususnya kaum blatèr. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan

21

Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura. (Yogyakarta: PT LKIS, 2002). Hal. 67-69


(47)

40

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.

B. Kajian Teori

Istilah interaksi simbolik diciptakan oleh Herbert Blumer pada tahun 1937 dan dipopulerkan oleh Blumer juga, meskipun sebenarnya Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut.22

Esensi dari teori Interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna Blumer mengkonseptualisasikan manusia sebagai pencipta atau pembentuk kembali lingkungannya, sebagai perancang dunia obyeknya dalam aliran tindakannya, alih–alih sekedar merespons pengharapan kelompok.

Perspektif interaksionisme simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subyek, perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan keberadaan orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, obyek dan bahkan pada diri mereka sendiri yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran, manusia bertindak hanya berdasarkan pada definisi atau penafsiran mereka atas obyek-obyek di sekeliling mereka.

22

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigm Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2008). hal. 68-73.


(48)

41

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok, dalam konteks ini, maka makna dikontruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan peranannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.

Bagi penganut interaksi simbolik memungkinkan mereka menghindari problem-problem struktulisme dan idealisme dan mengemudikan jalan tengah dari problem tersebut.

Menurut teori Interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial.

Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia dari sekeliling mereka jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.

Secara ringkas teori interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut, pertama, individu merespons suatu situasi simbolik, mereka merespon lingkungan termasuk obyek fisik (benda) dan Obyek sosial


(49)

42

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

(perilakumanusia) berdasarkan media yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak.

Ketiga,makna yang interpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Prinsip-prinsip dasar teori interaksi simbolik mencakup hal-hal berikut ini: 23

1. Manusia, tidak seperti hewan yang lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan untuk berfikir.

2. Kemampuan untuk berfikir dibentuk oleh interaksi sosial.

3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol-simbol yang memungkinkan, mereka melaksanakan kemampuan manusia yang khas untuk berfikir.

4. Makna dan simbol-simbol yang memungkinkan orang melaksanakan tindakan dan interaksi manusia yang khas.

23

George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yoyakarta: Pustaka Pelajar,2012). Hal. 625


(50)

43

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna-makna dan simbol-simbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka atas situasi.

6. Orang mampu membuat modifikasi-modifikasi dan perubahan-perubahan itu, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa rangkaian tindakan yang mungkin, menafsir keuntungan-keuntungan dan kerugian kerugian relatifnya, dan memilih salah satu di antaranya.

7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang terangkai membentuk kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat.

Asumsi yang sangat penting bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berfikir. Kemampuan untuk berfikir tertanam di dalam pikiran, tetapi para interksionis simbolik mempunyai suatu konsepsi yang kurang lazim mengenai pikiran sebagai hal yang berasal dalam sosialisasi kesadaran. Mereka membedakannya dari otak fisiologis. Orang harus mempunyai otak agar dapat mengembangkan pikiran, tetapi otak tidak pasti menghasilkan suatu pikiran, sebagaimana tampak jelas dalam kasus hewan-hewan yang lebih rendah. Juga, para interaksionis simbolik tidak memahami pikiran sebagai suatu benda, suatu struktur fisik, tetapi sebagai suatu proses yang berlanjut. Pikiran adalah suatu proses yang dirinya sendiri merupakan bagian dari suatu peruses stimulus dan respon yang lebih besar. Pikiran dihubungkan ke hampir segala aspek interaksionisme simbolik lainnya, termasuk


(51)

44

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

sosialisasi, makna-makna, simbol-simbol, diri, interaksi, dan bahkan masyarakat.

Dalam prose penafsiran Blumer mempunyai dua langkah khas. Pertama, aktor menunjukkan kepada dirinya sendiri benda-benda yang menjadi sasaran tindakannya; dia harus menunjukkan dalam dirinya sendiri benda-benda yang mempunyai makna. Interaksi itu dengan dirinya sendiri adalah sesuatu yang lain dari suatu proses yang berkomunikasi dengan dirinya. Kedua, berdasarkan proses berkomunikasi dengan dirinya sendiri tersebut, penafsiran menjadi soal menangani makna-makna. Sang aktor menyeleksi, memeriksa, menangguhkan, mengelompokkan kembali, dan mengubah makna-makna berdasarkan situasi tempat ia berada dan arah tidakannya.


(52)

45

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III PENYAJIAN DATA

A. Wilayah Penelitian dan Profil Informan

1. Wilayah Penelitian

a. Letak Geografis

Secara umum kondisi sosial Kecamatan Guluk-Guluk tidak sedikit berbeda dengan Kecamatan-Kecamatan lain yang ada di Kabupaten Sumenep. Pembahasan dalam bab ini merujuk secara khusus kepada Kecamatan Guluk-guluk, meskipun tidak menutup kemungkinan akan persamaan kondisi sosial budaya dengan kecamatan yang lain secara umum dan lebih khusus merujuk pada suatu desa yang menjadi bagian dari Kecamatan Guluk-Guluk.

Desa Tambuko merupakan salah satu desa di Kecamatan Guluk-Guluk yang ada di Kabupaten Sumenep. Kecamatan Guluk-Guluk-guluk mempunyai beberapa desa.


(53)

46

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Tabel 3.1 Daftar Desa di Kecamatan Guluk Guluk

No. Nama Desa

1 BAKEYONG

2 PAYUDAN DUNDANG

3 PORDAPOR

4 GULUK GULUK

5 KETAWANG LAOK

6 PANANGGUNGAN

7 BRAGUNG

8 TAMBUKO *

9 PAYUDAN NANGGER

10 PAYUDAN DALEMAN

11 PAYUDAN KARANGSOKON

12 BATUAMPAR

Sumber :Data Arsip Kecamatan Guluk-Guluk

Desa Tambuko sendiri dibagi menjadi tiga dusun yang meliputi Dusun Jeruk Durga, Dusun Bangrat, Dan Dusun Pangelen. Ketiganya adalah dusun-dusun tanpa pemisah, karena dusun-dusun tersebut berderet memanjang dari utara ke selatan. Adapun batas wilayah desa Tambuko: 1. Bagian Barat berbatasan dengan desa Payudan Nangger

2. Bagian Timur berbatasan dengan desa Bragung 3. Bagian Selatan berbatasan dengan desa Pordapor 4. Bagian Utara berbatasan dengan desa Prancak

Desa Tambuko dikepalai oleh Bapak Drs.Ec. H. Halili selaku kepala desa di setiap kampung. Kepala desa menjadi tempat masyarakat atau menjadi wadah aspirasi warga terhadap segala sesuatu yang terjadi di kampungnya. Entah hal itu berkaitan dengan administrasi penduduk, kesehatan, kekerasan dan sebagainya.


(54)

47

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Struktur Aparatur Desa Tambuko

Bagan 3.1

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Desa Tambuko

Thn. Jum.

Pend. L P Balita Produktif Lansia

2015 2.805 1.362 1443

Sumber : Data Arsip Desa Tambuko 2015

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu penyebab terjadinya progresifitas dari kehidupan yang sederhana kearah kehidupan yang lebih lebih baik atau modern. Kemajuan dalam berpikir dan bertindak sebagai akibat adanya perubahan, kemungkinan besar akan meninggalkan sesuatu yang bersifat tradisional. Dengan demikian, majunya tingkat pendidikan dalam suatu masyarakat, maka besar kemungkinan terjadinya perubahan yang lebih cepat. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan di masyarakat,maka besar kemungkinan masyarakat akan tetap berpegang teguh terhadap sesuatu yang bersifat tradisional.

Tingkat pendidikan di desa Tambuko sudah mengalami perubahan

Kepala desa Drs.Ec. H. Halili BPD Sekretaris Desa A,Khalik Kaur Umum Nur Hasilah Pembangunan Kurdiyanto Perencanaan

Rif’atul hasanah Keuangan Misbahol Khoir Kesejahteraan ACH. Fauzan Pemerintahan Wahedi Kepala Dusun (Pangelen) Dedi Rohman Kepala Dusun (Bangrat) Moh, Umam Kepala Dusun (Jeruk Durga) Siti Faridah


(1)

86

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dirinya sendiri dan mengerti dengan statusnya yang seorang blater dia

akan bisa mengambil tindakan yang tepat dalam melakukan suatu proses komunikasi dengan masyarakat. Karena tanpa dia mengerti dengan keberadaannya dan dirinya sendiri, dia akan kesulitan untuk berbaur dan melakukan hubungan komunikasi yang dapat diterima oleh masyarakat desa Tambuko itu sendiri. Jadi proses pengenalan diri sendiri itu sangatlah penting dalam menentukan tindakan yang akan di lakukan dalam suatu proses komunikasi.

Dengan dapat mengerti serta mengenal dirinya sendiri maka tindakan yang cukup berpengaruh untuk dilakukan dalam proses komunikasi dengan masyarakat desa Tambuko adalah juga dengan memiliki peran sosial yang penting di dalam lingkungan desa Tambuko itu sendiri. Seperti yang dilakukan Wahedi dengan menjadi aparat desa serta menjadi salah satu pengaman desa yang cukup berpengaruh dan dikenal oleh masyarakat dan mempunyai hubungan yang baik dengan kepala desa mesipun bersifat saling membutuhkan. Maka itu sudah menjadi sebuah nilai tersendiri di mata masyarakat desa, dan hal tersebut juga adalah bagian dari sebuah proses komunikasi nonverbal, yaitu dengan memberikan kesan yang baik dan penafsiran yang positif bagi masyarakat desa.

Pengaruh dari sebuah simbol itu sangatlah berperan penting pada persepsi orang yang melihatnya. Karena dengan simbol orang akan


(2)

87

memiliki respon yang berbeda beda. Dengan simbol yang digunakan, bisa membuat orang takut, hormat bahkan benci. Jadi harus berhati hati dalam memilih simbol yang akan dikenakan pada tubuh, karena simbol adalah sebuah proses komunikasi yang sedang berlangsung dan terkadang tidak disadari.

Proses komunikasi simbolik ini sangatlah bersifat sensitif karena akan langsung mendapatkan respon dari orang yang melihatnya meskupun belum melakukan komunikasi secara verbal/langsung. Maka harus bisa mengerti seperti apa diri sendiri sebelum melakukan komunkasi yang bersifat simbolik dengan orang lain supaya tidak terjadi kesalah fahaman dalam proses pertukaran informasi yang berlangsung. Karena apabila sampai terjadi kesalah fahaman dalam proses pertukaran informasi maka akan mengalami kesulitan dalam proses komunikasi ke tahap yang selanjutnya dan bahkan bisa berakibat putusnya sebuah hubungan komunikasi itu sendiri.


(3)

88 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses komunikasi secara non verbal dalam budaya komunikasi blater yang ada di desa Tambuko terlihat dari perilaku, simbol-simbol, dan aksesoris yang digunakan oleh blater tersebut untuk menunjukkan eksistensinya sebagai seorang blater. Perilaku atau tindakan yang dilakukan blater seperti mengamankan desa dan menggunakan tengka/adat dalam kehidupan sehari-harinya sudah menunjukkan sebuah proses komunikasi yang bersifat non verbal. Ditambah lagi dengan simbol, busana, dan aksesoris yang dia kenakan menjadi sebuah budaya komunikasi tersendiri bagi blater yang ada di desa Tambuko. Dengan menggunakan busana serta aksesoris seperti kopiah hitam yang tinggi, memakai jaket kulit, memakai sarung yang agak dijinjit, dan membawa sekep,hal itu sudah menjadi budaya komunikasi tersendiri bagi blater, dan masyarakat akan menyadari bahwa dia adalah seorang blater dengan adanya simbol-simbol serta busana yang dia kenakan pada tubuhnya.

2. Perilaku, simbol-simbol, dan busana yang ditunjukkan oleh blater menjadi sebuah pesan tersendiri bagi orang yang melihatnya, dan memiliki makna serta nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat desa Tambuko. Blater yang mampu mengamankan desa akan dinilai sebagai


(4)

orang yang mempunyai pengaruh kuat dan ditakuti dalam dunia keblateran. Bagi blater yang tetap mampu menggunakan tengka dalam hidupnya akan dinilai sebagai orang yang mempunyai harga diri yang tinggi.

B. Rekomendasi

Perlu adanya perhatian lebih untuk dapat lebih memeahami bagaimana budaya komunikasi masyarakat Madura yang difokuskan pada blater, yaitu dengan memperdalam pemahaman tentang budaya komunikasi yang terdapat dalam lingkungan masyarakat Madura. Blater yang ada di lingkungan masyarakat Madura memiliki budaya komunikasi yang berbeda di setiap desa, meskipun persamaannya juga akan dapat ditemukan.

Dalam kajian ilmu komunikasi memahami sebuah budaya komunikasi akan sangat membantu dalam sebuah proses interakasi dalam hubungan sosial masyarakat. Pemahaman ini akan membantu masyarakat yang belum mengerti dengan sebuah budaya komunikasi tertentu untuk dapat berhati-hati supaya tidak salah dalam bertindak atau memulai sebuah hubungan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Moleong, j, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

De Jonge, Huub. 1989. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam. Jakarta: PT Gramedia.

Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Crewell, Jhon W. 2010. Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kualitatif, Dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sendjadja, Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka.

Raditya, Ardhie. 2011. Politik Keamanan Jagoan Madura. jurnal Studi Pemerintahan Vol 2 No1 Februari.

Soehartono, Irwan. 2000. Metodologi Peneiltian Sosial. Bandung: Remaja Rosda Karya

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Pius Partanto dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:

Penerbit Arkola

Kepeminpinan Informal Madura, 2012, (www.lontarmadura.com/kepemimpinan-informal-madura. Diakses pada 10 maret 2015).

Karakteristik Pemimpin Madura, 2013, (www.maduracorner.com/karakteristik-pemimpin-madura. diakses pada 10 maret 2015).

Brant D. Ruben dan Lea P. Stewart. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Rajawali Pers.

Departemen Agama RI,. 2004. Al – Qur’an dan Terjemahan: Al Jumanatul’ Ali. Bandung: CV. Penerbit J-ART

Sulaeman, Munandar. 1998 . Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama. Rozaki, Abdur. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater

Sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa.

Wiyata,latief. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Yogyakarta: PT LKIS.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.

Wiryoprawiro, Zein. 1986. Arsitektur Tradisional Madura Sumenep. Surabaya : FTSP ITS.


(6)

BIODATA PENULIS

Saiful Rizal, adalah anak ke dua dari tiga bersudara yang di lahirkan di sumenep madura pada tanggal 18 mei 1990. Tempat tinggal terletak di sebuah desa bernama tambuko yang masih cukup kental adat-istiadat serta religiusitas yang dimiliki oleh penduduknya. Pengalaman pendidikannya dimulai di sebuah sekolah dasar yang berjarak lumayan jauh dari desanya yaitu SDN Payudan Daleman 1 pada usia 7 tahun. Dan setelah lulus dari SD langsung melanjutkan pendidikannya ke sebuah MTs di pondok pesantren Annuqayah selama 6 tahun, dan di pondok pesantren itu pula dia menyelesaikan pendidikan SMA nya. Setelah lulus dari SMA memilih untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi yang berada di kota Surabaya yaitu UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Dakwah Dan Komunikasi. Kehidupan sehari-harinya selain kuliah juga sambil bekerja untuk membiayai kuliahnya supaya tidak terlalu membebani ke dua orang tuanya.