Imam Abu Yusuf.doc 37KB Jun 13 2011 06:28:15 AM
Imam Abu Yusuf
Penyambung Ulama dan Umara
Suroto HS*
Ia termasuk murid kesayangan Imam Abu Hanifah. Bukan karena hubungan darah,
tetapi karena kecerdasannya yang mengagumkan. Bahkan menurut penilaian Dawut
Bin Rasyid, kalau Imam Abu Hanifah tidak mempunyai murid lain selain Abu Yusuf,
maka sudah cukup menjadi kebanngaan besar. Ucapan ini bukan sekedar isapan
jempol, karena senada dengan perkataan Abu Hanifah sendiri, seperti dicatat oleh al –
Kulduri. “Ia adalah salah seorang muridku yang paling menghafal ilmu”,katanya.
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib Al-Kufi, lahir di Kufah, Irak,
tahun 113 H bertepatan 731 M, semasa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dari
Dinasti Umayah. Di belakang namanya sering ditambahkan sebutan “Al Ansari”,
karena dari garis keturunan ibu, ia memiliki hubungan darah dengan kaum Anshar,
sahabat di Madinah.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Abu Yusuf tertarik pada fiqih. Namun ia
juga menguasai dalam ilmu tafsir, sejarah umum, sejarah Arab. Guru fiqihnya yang
pertama adalah Imam Abu Abdurrahman bin Abi Laila, seorang terkemuka pada abad
ke-2 Hijriyah. Kemudian Abu Hanifah, pengembang fiqih yang sangat terkenal.
Kedua orangtuanya amat miskin. Sebab itu kedua orangtuanya tidak menghendaki
Abu Yusuf menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu, melainkan berharap juga
bekerja memperoleh nafkah untuk kebutuhan hidup keluarga. Namun keadaan ini
segela tertolong setelah Abu Hanifah mengetahui latar belakang keluarga Abu Yusuf.
Kepada kedua orangtua Abu Yusuf, pendiri madzab fiqih itu berkata, “Biarlah ia
menuntut ilmu, sebab putra bapak ini insya Allah akan amenjadi orang ternama”. Dan
mujtahid itupun langsung menjadi orangtua asuh pemuda Ya’qub yang cerdas tetapi
miskin. Bahkan ulama yang juga pedagang sektor informasi itu pun tidak hanya
menjamin biaya hidup dan keperluan belajar Abu Yusuf, melainkan juga kebutuhan
hidup kedua orangtuanya.
Ketika Abu Yusuf beranjak dewasa, hubungan pemerintahan dengan kalangan
madrasah Abu Hanifah amat tegang, disebabkan sikap, pendirian politik dan
penolakan Abu Hanifah untuk bekerjasama dengan pemerintah. Tidak jarang
ketegangan-ketegangan ini berujung pada tindakan kekerasan. Seperti menyeret
ulama dalam penjara atau menyiksa dengan pukulan. Pengalaman pahit inipun
dialami oleh para imam madzhab lain, seperti Imam Syafii, Maliki dan Ahmad bin
Hambali serta para pengikut lainnya.
Sikap oposisi kaum ulama itu sudah muncul ke permukakan sejak berakhirnya masa
khulafa al-rasyidin, setelah kehidupan kenegaraan cenderung kurang memperhatikan
moral agama dan para khalifah sesudah rasulullah SAW. Lebih-lebih ketika
kepemimpinan politik dipegang Yazid bin Muawiyah semasa terjadinya tragedi
Karbala yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali, terbunuh secara
keji.
Kondisi semacam itu mengakibatkan fiqih Islam berkembang di luar istana serta
tumbuh dalam suasana murni alamiah. Namun akibatnya dalam beberapa dasawarsa
kehidupan kenegaraan, baik pada masa Ummayah maupun Abbasiyah berjalan tanpa
keterlibatan ulama secara langsung, yang sebenarnya sangat diperlukan untuk
memberikan legitimasi moral pada kehidupan politik pemerintahan. Apalagi ketika
negara makin modern, yang dengan sendirinya membutuhkan peran ulama lebih
banyak untuk mengurusi pelbagai masalah praktris, baik kasus perdata maupun
pidana, dengan menjadi qadhi (hakim) atau penasehat khalifah. Terutama dalam
memenuhi kebutuhan akan adanya konstitusi tertulis yang hingga pemerintahan
Abbasiyah belum tersusun.
Keadaan itulah yang mendorong, sejak Abu Ja’far Al-Manshur hingga Harun AlRasyid mengajak para fuqaha bekerjasama dengan pemerintah. Namun ajakan ini
ditolak oleh Abu hanifah, bahkan oaleh murid-muridnya seperti Zufar bin Hudzail.
Akibatnya ruang agerak para fuqaha Hanafi cenderung dibatasi pemerintah.
Sikap yang sama datang dari Imam Malik. Meski Hatun Al-Rasyid seperti dicatat Abu
Nu’aim Al-Isfahani dalam kitab Al Muwatta karangan Imam Malik sebagai kitab
Undang-undang negara.
Pandangan Abu Hanifah itu diwariosi olehn Abu Yusuf. Setidaknya selama Abu
Hanifah hidup dan enam belas tahun setelah Imam Madzhab ini wafat. Dalam kurun
waktu antara 150-166 H, Abu Yusuf tidak memiliki hubungan apapun dengan
pemerintah. Ia tampil sebagai pengganti Abu Hanifah yang sangat berpengaruh dalam
mengembangkan ilmu dan pendidikan.
Kegiatannya yang sangat berjasa ialah menyusun buku yang membahas perlbagai
masalah fiqih secara detail. Iapun mencatat ucapan-ucapan Abu hanifah serta hukumhukum yang telah disimpulkan dalam majelisnya. Bahkan menurut catatan Ibnu
Khalik, Abu Yusuf-lah orang yang pertama menyusun secara teratur semua buku fiqih
madzhab Hanafi, dan ia pula yang menyebar luaskan pemikiran Abu Hanifah ke
seluruh dunia.
Ketika Harun Al-Rasyid naik tahta, bertambahlah pengaruh Abu Yusuf. Ia diangkat
sebagai qadhi al-qudhat, atau ketua para hakim di seluruh kerajaan Abbasyiyah.
Sebuah lembaga baru yang di zaman modern ini sama dengan Magkamah Agung. Un
wewenangnya tak sekedar memeriksa perkara, mengadili dan memutuskannya. Dalam
kapasitasnya sebagai qadhi al-qudhat ia menjadi penasehat khalifah dan berwenang
menyiapkan rancangan perundang-undangan, termasuk konstitusi tertulis yang selama
itu belum terbentuk.
Kitab Al kharaj, sebuah karya monumental yanga disusunnya atas perintah Harun AlRasyid hingga kini masih saja tetap aktuyal. Buku yang isi keseluruhannya
merupakan sebuah kitgab Undang-undang yang mencakup perlbagai aspek poltik
pemerintahan.
Meski Abu Yusuf mendapat kedudukan istimewa dalam pemerintahan Harun Al
Rasyid, namun ia tetap tegar dalam keulamaannya. Ia masuk stuktur pemerintahan
dengan kekuatan moral yang kokoh. Bahkan pernah menuntut Harun Al-Rasyid ke
meja hijau atas tuduhan penggusuran tanah milik seorang Yahudi. Dan ia menyesal
sepanjang hidupnya sebab pada saat itu ia mempersilahkan Khalifah duduk di kursi
sementara Yahudi itu duduk di atas lantai. Mestinya sebagai seorang hakim ia harus
memperlakukan dua orang yang sedang berperkara secara adil.(Penulis koresponden
SM di Cilacap)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002
Penyambung Ulama dan Umara
Suroto HS*
Ia termasuk murid kesayangan Imam Abu Hanifah. Bukan karena hubungan darah,
tetapi karena kecerdasannya yang mengagumkan. Bahkan menurut penilaian Dawut
Bin Rasyid, kalau Imam Abu Hanifah tidak mempunyai murid lain selain Abu Yusuf,
maka sudah cukup menjadi kebanngaan besar. Ucapan ini bukan sekedar isapan
jempol, karena senada dengan perkataan Abu Hanifah sendiri, seperti dicatat oleh al –
Kulduri. “Ia adalah salah seorang muridku yang paling menghafal ilmu”,katanya.
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib Al-Kufi, lahir di Kufah, Irak,
tahun 113 H bertepatan 731 M, semasa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dari
Dinasti Umayah. Di belakang namanya sering ditambahkan sebutan “Al Ansari”,
karena dari garis keturunan ibu, ia memiliki hubungan darah dengan kaum Anshar,
sahabat di Madinah.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Abu Yusuf tertarik pada fiqih. Namun ia
juga menguasai dalam ilmu tafsir, sejarah umum, sejarah Arab. Guru fiqihnya yang
pertama adalah Imam Abu Abdurrahman bin Abi Laila, seorang terkemuka pada abad
ke-2 Hijriyah. Kemudian Abu Hanifah, pengembang fiqih yang sangat terkenal.
Kedua orangtuanya amat miskin. Sebab itu kedua orangtuanya tidak menghendaki
Abu Yusuf menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu, melainkan berharap juga
bekerja memperoleh nafkah untuk kebutuhan hidup keluarga. Namun keadaan ini
segela tertolong setelah Abu Hanifah mengetahui latar belakang keluarga Abu Yusuf.
Kepada kedua orangtua Abu Yusuf, pendiri madzab fiqih itu berkata, “Biarlah ia
menuntut ilmu, sebab putra bapak ini insya Allah akan amenjadi orang ternama”. Dan
mujtahid itupun langsung menjadi orangtua asuh pemuda Ya’qub yang cerdas tetapi
miskin. Bahkan ulama yang juga pedagang sektor informasi itu pun tidak hanya
menjamin biaya hidup dan keperluan belajar Abu Yusuf, melainkan juga kebutuhan
hidup kedua orangtuanya.
Ketika Abu Yusuf beranjak dewasa, hubungan pemerintahan dengan kalangan
madrasah Abu Hanifah amat tegang, disebabkan sikap, pendirian politik dan
penolakan Abu Hanifah untuk bekerjasama dengan pemerintah. Tidak jarang
ketegangan-ketegangan ini berujung pada tindakan kekerasan. Seperti menyeret
ulama dalam penjara atau menyiksa dengan pukulan. Pengalaman pahit inipun
dialami oleh para imam madzhab lain, seperti Imam Syafii, Maliki dan Ahmad bin
Hambali serta para pengikut lainnya.
Sikap oposisi kaum ulama itu sudah muncul ke permukakan sejak berakhirnya masa
khulafa al-rasyidin, setelah kehidupan kenegaraan cenderung kurang memperhatikan
moral agama dan para khalifah sesudah rasulullah SAW. Lebih-lebih ketika
kepemimpinan politik dipegang Yazid bin Muawiyah semasa terjadinya tragedi
Karbala yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali, terbunuh secara
keji.
Kondisi semacam itu mengakibatkan fiqih Islam berkembang di luar istana serta
tumbuh dalam suasana murni alamiah. Namun akibatnya dalam beberapa dasawarsa
kehidupan kenegaraan, baik pada masa Ummayah maupun Abbasiyah berjalan tanpa
keterlibatan ulama secara langsung, yang sebenarnya sangat diperlukan untuk
memberikan legitimasi moral pada kehidupan politik pemerintahan. Apalagi ketika
negara makin modern, yang dengan sendirinya membutuhkan peran ulama lebih
banyak untuk mengurusi pelbagai masalah praktris, baik kasus perdata maupun
pidana, dengan menjadi qadhi (hakim) atau penasehat khalifah. Terutama dalam
memenuhi kebutuhan akan adanya konstitusi tertulis yang hingga pemerintahan
Abbasiyah belum tersusun.
Keadaan itulah yang mendorong, sejak Abu Ja’far Al-Manshur hingga Harun AlRasyid mengajak para fuqaha bekerjasama dengan pemerintah. Namun ajakan ini
ditolak oleh Abu hanifah, bahkan oaleh murid-muridnya seperti Zufar bin Hudzail.
Akibatnya ruang agerak para fuqaha Hanafi cenderung dibatasi pemerintah.
Sikap yang sama datang dari Imam Malik. Meski Hatun Al-Rasyid seperti dicatat Abu
Nu’aim Al-Isfahani dalam kitab Al Muwatta karangan Imam Malik sebagai kitab
Undang-undang negara.
Pandangan Abu Hanifah itu diwariosi olehn Abu Yusuf. Setidaknya selama Abu
Hanifah hidup dan enam belas tahun setelah Imam Madzhab ini wafat. Dalam kurun
waktu antara 150-166 H, Abu Yusuf tidak memiliki hubungan apapun dengan
pemerintah. Ia tampil sebagai pengganti Abu Hanifah yang sangat berpengaruh dalam
mengembangkan ilmu dan pendidikan.
Kegiatannya yang sangat berjasa ialah menyusun buku yang membahas perlbagai
masalah fiqih secara detail. Iapun mencatat ucapan-ucapan Abu hanifah serta hukumhukum yang telah disimpulkan dalam majelisnya. Bahkan menurut catatan Ibnu
Khalik, Abu Yusuf-lah orang yang pertama menyusun secara teratur semua buku fiqih
madzhab Hanafi, dan ia pula yang menyebar luaskan pemikiran Abu Hanifah ke
seluruh dunia.
Ketika Harun Al-Rasyid naik tahta, bertambahlah pengaruh Abu Yusuf. Ia diangkat
sebagai qadhi al-qudhat, atau ketua para hakim di seluruh kerajaan Abbasyiyah.
Sebuah lembaga baru yang di zaman modern ini sama dengan Magkamah Agung. Un
wewenangnya tak sekedar memeriksa perkara, mengadili dan memutuskannya. Dalam
kapasitasnya sebagai qadhi al-qudhat ia menjadi penasehat khalifah dan berwenang
menyiapkan rancangan perundang-undangan, termasuk konstitusi tertulis yang selama
itu belum terbentuk.
Kitab Al kharaj, sebuah karya monumental yanga disusunnya atas perintah Harun AlRasyid hingga kini masih saja tetap aktuyal. Buku yang isi keseluruhannya
merupakan sebuah kitgab Undang-undang yang mencakup perlbagai aspek poltik
pemerintahan.
Meski Abu Yusuf mendapat kedudukan istimewa dalam pemerintahan Harun Al
Rasyid, namun ia tetap tegar dalam keulamaannya. Ia masuk stuktur pemerintahan
dengan kekuatan moral yang kokoh. Bahkan pernah menuntut Harun Al-Rasyid ke
meja hijau atas tuduhan penggusuran tanah milik seorang Yahudi. Dan ia menyesal
sepanjang hidupnya sebab pada saat itu ia mempersilahkan Khalifah duduk di kursi
sementara Yahudi itu duduk di atas lantai. Mestinya sebagai seorang hakim ia harus
memperlakukan dua orang yang sedang berperkara secara adil.(Penulis koresponden
SM di Cilacap)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002