BahanAjar Lembaga Perwakilan
LEMBAGA PERWAKILAN
RAKYAT
(2)
Struktur dan Fungsi
Parlemen Pada Sistem
(3)
Istilah
Parlemen atau Legislatif dikenal dengan
beberapa nama, yaitu parlemen, congres (amerika), National Assembly (perancis),
House of Commons (inggris), Diet (Jepang), Knesset (Israel), cortes (Spanyol), Riksdag (Swedia), Storting (norwegia), Oireachtas (Irlandia), Seym (Polandia) Bundestag,
Federal Assembly (Swiss), Grand Assembly (Rumania), Konres Rakyat China (RRC),
Supreme Soviet ( Uni Soviet ketika di bawah USSR), Dewan Negara dan Dewan Rakyat
(4)
Konsep keterwakilan
Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan
diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil
memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan
kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili. Perwakilan rakyat dibagi dalam dua prinsip
yaitu keterwakilan secara pemikiran atau aspirasi (representation in ideas) dan
perwakilan fisik atau keterwakilan fisik (representation in presence).
(5)
hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili dapat dibagi dalam dua tipe :
Perwakilan dengan tipe delegasi (mandat)
wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili. Ia harus menyuarakan apa saja
keinginan rakyat. Wakil rakyat terikat dengan keinginan rakyat dan sama sekali tidak memiliki kebebasan berbicara lain dari pada yang
dikehendaki konstituennya.
Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki kontak secara langsung dan kontinyu dengan konstituen. Hubungan ini diperlukan untuk menjaga
ketersambungan aspirasi rakyat dan wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai dua pilihan
mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau mundur jika tidak sepakat dengan keinginan tersebut.
(6)
Lanjutan
Perwakilan dengan tipe trustee (independent)
wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang
bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgment).
Wakil rakyat memiliki kebebasan untuk berbuat dan diberikan kepercayaan untuk itu.
Dasar pertimbangan yang digunakan oleh wakil rakyat dalam bertindak lebih mengutamakan kepentingan nasional.
Jika terjadi benturan antara kepentingan rakyat dan
kepentingan nasional maka yang lebih diutamakan adalah kepentingan nasional dengan tetap memperhatikan aspirasi rakyat.
Wakil rakyat tidak terikat secara mutlak dengan rakyat sehingga ia bebas bertindak.
Hubungan dengan rakyat terjadi hanya pada saat pemilu dan para pemilih tidak memiliki kekuasaan lagi sampai pada
(7)
Riswandha Imawan dengan mengutip Abcarian mengemukakan adanya 4 (empat) tipe hubungan :
1. Wakil sebagai wakil/wali; dalam tipe ini, wakil bertindak
bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.
2. Wakil sebagai utusan; dalam tipe ini wakil bertindak sebagai
utusan dari pihak yang diwakili sesuai dengan mandat yang diberikannya.
3. Wakil sebagai politico ; dalam tipe ini wakil kadang-kadang
bertindak sebagai wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.
4. Wakil sebagai partisan/partisipan; dalam tipe ini wakil
bertindak sesuai dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih (pihak yang diwakili) begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya terikat kepada partai atau oganisasi yang mencalonkannya.
(8)
Tata cara pengisian
Keanggotan wakil rakyat di parlemen didasarkan pada tiga hal :
Turun temurun
Dipraktekan pada sebagian anggota Majelis Tinggi Inggris (upper house). Merupakan majelis satu-satunya yang anggotanya
berkedudukan turun temurun.
Ditunjuk/diangkat
Penunjukan biasanya disasarkan pada jasa tertentu pada
masyarakat atau pada partai yang berkuasa. Penunjukan pernah juga dipraktekkan oleh Indonesia pada masa orde baru.
Dipilih dalam Pemilihan umum
Terdapat bermacam-macam sistem pemilihan umum akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua prinsip pokok yaitu :
Single-member constituency, (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik)
Multy member constituency; (suatu daerah pemilihan memilih beberapa wakil biasanya dinamakan proportional representation
(9)
Lanjutan
menurut C.F. Strong, pengklasifikasian berdasarkan proses
pengisian kamar pertama dan kedua dapat dibagi menjadi urutan berikut :
turunan, pengangkatan, dipilih sebagian, dipilih seluruhnya. Pengisian anggota parlemen melalui sistem pemilihan umum merupakan yang terbanyak digunakan oleh negara modern di dunia.
Biasanya pemilihan melalui mekanisme kepartaian namun ada juga yang tidak melalui partai yang disebut sebagai orang
independen.
Dalam proses pengisian keanggotaan terbagi atas dua yaitu dipilih secara demokratis (mis. Amerika Serikat, Australia, Irlandia, Perancis, Swiss dan Italia), sedangkan negara yang majelis tingginya tidak dipilih (non elected) antara lain Inggris dan Kanada.
(10)
Struktur Parlemen
Unicameral System Bicameral System Tricameral System
(11)
Unicameral System
Dalam struktur parlemen tipe unikameral/satu kamar ini, tidak dikenal
adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, ataupun Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.
Tetapi justru sistem unikameral inilah yang sesungguhnya lebih populer
karena sebagian besar negara dunia sekarang ini menganut sistem ini.
Berdasarkan hasil penelitian Satya Arinanto dkk, dari 83 negara yang
dipelajari 55 negara diantaranya menganut sistem unikameral.
Model unikameral adalah model yang meletakkan adanya lembaga
tunggal sebagai pemegang kuasa di lembaga parlemen.
Bahkan terdapat beberapa negara yang pada mulanya bikameral
kemudian menghapuskan kamar kedua sehingga menjadi unikameral. contih : Di Selandia Baru, legislative council sebagai kamar kedua dihapuskan di tahun 1951 dengan alasan tidak efektif. Sedangkan di Denmark Landsting (elected upper house) dihapuskan di tahun 1953 karena telah melingkupi lower house dan menjadi penghalang pada proses legislasi.
Di Asia, sistem unikameral ini misalnya dianut oleh Vietnam, Singapura,
Laos, Lebanon, Syiria, Kuwait, Taiwan, Denmark, Yunani, Hongkong, Lithuania, Norwegia, Korsel, Swedia, Finlandia, dan lain-lain.
(12)
Menurut Saldi Isra
Ada beberapa catatan perihal model parlemen dengan kamar tunggal :
Pertama, pilihan unikameral tersebut bisa terjadi dengan varian
bentuk pemerintahan apapun. Sebuah pemerintahan presidensiil
maupun parlementer juga ada yang mengadopsi model unikameral ini.
Kedua, model unikameral ini juga sangat bervarian perihal kebutuhan
akan representasi. Pengisian parlemen dengan kamar tunggal ini biasa terjadi dengan representasi yang berbasis pada partai politik,
representasi daerah, maupun representasi suku dan jenis kelamin.
Ketiga, sebuah parlemen model unikameral dalam menjalankan
fungsi-fungsinya dilakukan dengan menjalankan semua fungsi legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun rekruitmen jabatan publik.
Keempat, meski mampu menjalankan fungsinya, model unikameral ini
kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar kedua, sama sekali tidak ada pengontrol bagi kamar tunggal, sehingga satu-satunya pengontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa mekanisme kontrol internal tersebut, kualitas fungsi parlemen dalam hal legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun
(13)
Bicameral system
bikameral diartikan sebagai sistem yang terdiri
atas dua kamar berbeda dan biasanya
dipergunakan istilah majelis tinggi (upper house)
dan majelis rendah (lower house).
Masing-masing kamar mencerminkan keterwakilan
dari kelompok kepentingan masyarakat yang ada baik secara politik, teritorial ataupun fungsional.
Pilihan terhadap konsep keterwakilan pada
masing-masing kamar sangat dipengaruhi oleh aspek kesejarahan tiap-tiap negara.
Pembedaan keterwakilan pada prinsipnya adalah
untuk mencegah terjadinya keterwakilan ganda
(14)
Lanjutan
Kewenangan masing-masing kamar di dalam parlemen
mengikuti kewenangan parlemen pada umumnya.
Secara konseptual kewenangan masing-masing kamar
adalah sama dan sederajat.
Dalam perkembangan selanjutnya ada upaya untuk
mengurangi kewenangan dan peran salah satu kamar sehingga saat ini sistem bikameral dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu bikameral kuat (strong
bicameralisme) dan bikameral lunak (soft bicameralisme).
Pada strong bicameralisme dalam arti kedua kamar
dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Sedangkan soft bicameralisme diartikan bahwa kedua kamar tidak
(15)
Tricameral system
Sistem trikameral merupakan model pengkamaran
yang menempatkan adanya tiga lembaga di dalam sistem parlemen di suatu Negara.
Sistem trikameral sudah sangat sulit untuk ditemukan
Contoh : sejarah mencatat bahwa hanya Afrika
Selatan yang pernah menerapkan ini, itupun terjadi pada masa apharteid. Dimana melalui Pemilu pada
tahun 1983, terdapat tiga kamar yang masing-masing mewakili warna kulit tertentu yakni; House of
Assembly (178 anggota yang merepresentasikan
kelompok kulit putih); House of Representatives (85 anggota yang merepresentasikan kaum berwarna dan ras campuran); House of Delegates (45 anggota yang merepresentasikan orang-orang Asia).
(16)
Lanjutan
Seolah-olah dipraktikkan Indonesia pada
masa lalu.
Ditandai strutur MPR : anggota DPR, Utusan
daerah, dan utusan Golongan
Secara kewenangan tidaklah demikian.
(17)
Sistem Tetrakameral
Penerapan tetrakameral hampir sama dengan trikameral, walau sangat jarang dikenal, namun
beberapa nNegara di daerah tengah Eropa memiliki
parlemen yang dapat digolongkan sebagai tetrakameral. Praktik tetrakameral sangat jarang dikenal khususnya karena memang unicameral dan bicameral jauh lebih dikenal banyak orang, dibanding tetrakameral dan trikameral. Namun, sejarah juga pernah mencatat
adanya Negara yang menerapkan model ini khususnya daerah Medieval Scandinavia, melalui model
Deliberative Assembly yang secara tradisional membagi ke dalam empat ruang lingkup yakni the nobility
(ningrat), the clergy (pendeta), the burghers and the peasants (petani). Swedia menjadi salah satunya yang menerapkan model ini cukup lama.
(18)
Fungsi Lembaga
Perwakilan Rakyat
(19)
Pengertian
Kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat ‘total’ menurut Abraham Lincoln adalah government by the people, from the people dan for the people.
Hal inilah yang memunculkan konsep parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat (parlemen)
Kata parlemen berasal dari : le parle yang berarti to
speak yang berarti “berbicara”. Artinya, wakil rakyat
itu adalah juru bicara rakyat, yaitu untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat.
Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak
ubahnya merupakan wadah, di mana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan untuk menjadi materi kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya diwakili.
(20)
Fungsi Parlemen
Pada umumnya lembaga parlemen atau
lembaga perwakilan biasa dibedakan dalam tiga fungsi, yaitu:
(a)fungsi legislasi,
(b)fungsi pengawasan, dan (c)fungsi anggaran
(21)
Lanjutan
Sebenarnya lembaga perwakilan atau
parlemen, memiliki tiga fungsi utama, yaitu :
Pertama, fungsi pengaturan atau legislasi; Kedua, fungsi pengawasan atau control;
Ketiga, fungsi partisipatif atau representasi.
Lalu juga ditambahkan lagi dengan :
fungsi anggaran, deliberatif, resolusi konflik
(22)
Fungsi Pengawasan
fungsi pengawasan parlemen sangat erat kaitannya
dengan mekanisme checks and balances.
Checks and balances bisa terjadi secara dua segi,
yaitu secara internal sesama lembaga legislatif maupun terhadap cabang kekuasaan lainnya.
Porsi yang ideal diharapkan dari fungsi
pengawasan ini adalah kemampuan lembaga parlemen untuk mengontrol mekanisme
internalnya, sedangkan pada saat yang sama
mampu melakukan pengawasan terhadap cabang kekuasaan lainnya atas nama rakyat yang
(23)
Lanjutan
lembaga perwakilan rakyat diberikan
kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal itu, yaitu
(i)Kontrol atas pemerintahan (control of
executive),
(ii)kontrol atas pengeluaran (control of
expenditure), dan
(iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of
(24)
Lanjutan
Fungsi pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
3) Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
4) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
5) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
(25)
Pengawasan kebijakan
Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam
mengawasi proses perumusan dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan
denganundang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama dengan pemerintah.
Pada pokoknya, undang dasar dan
undang-undang serta peraturan perundang-undang-undang-undangan pelaksana lainnya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam
bentuk hukum tertentu yang tidak boleh bertentangan dengan state policy yang tertuang dalam bentuk hukum yang lebih tinggi.
Setiap kebijakan dimaksud, baik menyangkut bentuk
penuangannya, isinya, maupun pelaksanaannya haruslah dikontrol dengan seksama oleh lembaga perwakilan
(26)
Pengawasan anggaran
Dalam kegiatan penganggaran dan pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, yang terkait erat dengan kinerja pemerintahan, harus
pula dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh lembaga perwakilan rakyat.
Daya serap anggaran dan pelaksanaan anggaran
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku berhubungan erat dengan kinerja
pemerintahan (government performances). Oleh karena itu, kontrol terhadap kedua hal ini, sama-sama penting dalam rangka fungsi kontrol oleh lembaga perwakilan rakyat.
(27)
Fungsi Pengaturan (Legislasi)
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang
kekuasaan yang pertama-tama
mencerminkan kedaulatan rakyat.
Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah
untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau
(28)
Fungsi Pengaturan (Legislasi)
merupakan fungsi tersendiri yang dimiliki
oleh DPR sebagai bagian dari mengeluarkan produk hukum yang bersifat abstract‐umum.
Produk yang ditentukan oleh lembaga
parlemen tersebut akan dipakai dalam
menjalankan roda kehidupan kebangsaan.
Dengan produk hukum ini, maka hukum yang
dibuat oleh perwakilan rakyat akan kembali dilaksanakan oleh rakyat secara keseluruhan.
(29)
Lanjutan
Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan
dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.
kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan
sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum dimaksud.
cabang kekuasaan negara yang dianggap berhak
mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat
Dengan demikian peraturan yang paling tinggi di
bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan
(30)
Lanjutan
Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu :
(i)pengaturan yang dapat mengurangi hak dan
kebebasan warga negara,
(ii)pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan
warga negara, dan
(iii)Pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran
oleh penyelenggara negara.
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya
dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil
mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
(31)
Lanjutan
fungsi legislasi juga menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut:
1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya
(Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).
(32)
Fungsi partisipasi
Di dalam fungsi ini terejawantah model
demokrasi yaitu penyaluran suara dan
kehendak rakyat melalui perwakilan rakyat.
Sangat diidealkan, sebuah parlemen mampu
juga menangkap suara rakyat yang
diwakilinya, sehingga dapat menjalankan fungsi representasinya.
(33)
Fungsi anggaran
merupakan fungsi lain dari lembaga parlemen. lembaga parlemen memiliki kewenangan dalam
menentukan anggaran negara.
Secara doktriner, sebuah lembaga parlemen
menyusun anggaran yang akan dijalankan oleh cabang kekuasaan eksekutif.
Idealnya adalah pemisahan kamar antara penentu
anggaran dengan pelaksana anggaran.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir
kemungkinan penyalahgunaan anggaran negara akibat menumpuknya pada satu lembaga
(34)
Fungsi rekruitmen politik
Merupakan salah satu fungsi yang tidak kalah
pentingnya.
Saat ini, negara demokrasi menuju ke upaya untuk
mengurangi kemungkinan ‘pembengkakan’ kekuasaan seorang presiden sebagai kepala negara maupun
kepala pemerintahan.
Karenanya, ada beberapa fungsi rekruitmen politik
yang diberikan kepada rakyat melalui lembaga perwakilannya.
Yang idealkan dari hal ini adalah adanya peran rakyat
dalam menentukan sosok yang dapat memegang beberapa jabatan penting. Karenanya, presiden
sebagai kepala negara ‘berbagi’ kekuasaan dengan perwakilan rakyat dalam menentukan orang‐orang tersebut.
(35)
Lanjutan
Fungsi ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan
oleh parlemen yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang
memerlukan sentuhan pertimbangan yang bersifat politik.
Semua pejabat yang dipilih secara tidak langsung oleh rakyat, maka pemilihannya dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat.
Demikian pula pejabat publik lainnya yang perlu
diangkat dengan pertimbangan politik tertentu, maka pengangkatannya ditentukan harus dengan
pertimbangan atau bahkan dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
(36)
Lanjutan
Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak
untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini dapat disebut juga sebagai hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif.
Hak untuk konfirmasi (right to confirm) ini khusus
diberikan dalam rangka pengangkatan pejabat publik melalui pengangkatan politis (political appointment).
Dengan adanya hak ini, lembaga perwakilan rakyat dapat
ikut mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat publik dimaksud dalam menjalankan tugas dan
wewenangannya masing-masing agar sesuai dengan
ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(37)
Fungsi Perwakilan (Representasi)
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan
rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah
fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi
tentulah tidak bermakna sama sekali.
Terdapat dua pengertian perwakilan, yaitu
representation in presence dan representation in ideas.
Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan
yang dipandang dari segi kehadiran fisik.
Sedangkan, pengertian keterwakilan yang kedua bersifat
(38)
Lanjutan
Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah
dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga
perwakilan rakyat.
Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat
itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila
kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidaktidaknya aspirasi mereka itu sudah
benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi
(39)
Lanjutan
Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal pula adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara
demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:
1)Sistem perwakilan politik (political representation);
2)Sistem perwakilan teritorial (territorial atau regional representation);
3)Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
(40)
Dari uraian di atas, dapat diringkaskan
bahwa:
fungsi parlemen atau lembaga perwakilan rakyat itu pada pokoknya ada tiga, yaitu:
1) Fungsi Representasi (Perwakilan): a) Representasi formal; dan b) Representasi aspirasi. 2) Fungsi Pengawasan (Control):
a) Pengawasan atas penentuan kebijakan (control of policy making);
b) Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c) Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d) Pengawasan atas pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
(41)
Lanjutan
e) Pengawasan atas kinerja pemerintahan (control of government performances);
f) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik
(control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
3) Fungsi Pengaturan atau Legislasi menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:
a) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
b) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
c) Persetujuan atas pengesahan rancangan undangundang (law enactment approval);
d) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal bindin documents).
(42)
Sejarah
Lembaga Perwakilan
Rakyat
(43)
Volksraad (1918-1942)
Volksraad merupakan lembaga semacam
parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda
Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember
1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan
dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang
mengatur tentang pembentukan Volksraad.
Namun Pembentukan tersebut baru terlaksana
pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Pembentukan volksraad pada saat itu dianggap
hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial terhadap rakyat jajahan (Indonesia )
(44)
Pengisian Jabatan dan
Komposisi
Pemilihan diawali dengan pembentukan
berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman).
Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak
memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut.
Sebagian besar anggota Dewan Provinsi
umumnya dari bangsa Belanda diangkat oleh Gubenur Jenderal.
(45)
SUSUNAN DAN KOMPOSISI VOLKSRAAD I (1918)
beranggotakan 39 orang (termasuk ketua),
dengan perimbangan:
Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia
Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur
Jenderal)
Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad
mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
Adapun orang yang menjabat sebagai ketua
Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota
Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.
(46)
Tahun 1927:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota: 55 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25
orang)
Tahun 1930:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota: 60 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30
orang)
Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak.
Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar
diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan
Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda
(47)
Tugas Volksraad
Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat
kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat.
Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa
Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Sesuai perkembangan politik di Indonesia,
perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu
RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.
(48)
Perubahan sistem pemilihan
anggota terjadi sejak 1931.
Sebelumnya, semua anggota
Volksraad yang dipilih melalui satu
badan pemilihan bulat, dipecah
menjadi tiga badan pemilihan
menurut golongan penduduk yang
harus dipilih. Selain itu, diadakan
pula sistem pembagian dalam dua
belas daerah pemilihan bagi
pemilihan anggota warga negara
(kaula) Indonesia asli.
(49)
Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli
semakin bermunculan agar mereka lebih
terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
5 orang mewakili P.P.B.B.
4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
3 orang mewakili Parindra
2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB
(vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
(50)
5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap
organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1
(Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri
masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara
otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
(51)
Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang
diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan
dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan
legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi
sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain
(52)
DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI
menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan
legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(53)
DPR-RIS
Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili
negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut: a. Republik Indonesia 49 orang
b. Indonesia Timur 17 orang c. Jawa Timur 15 orang
d. Madura 5 orang e. Pasundan 21 orang
f. Sumatera Utara 4 orang g. Sumatera Selatan 4 orang h. Jawa Tengah 12 orang
i. Bangka 2 orang j. Belitung 2 orang k. Riau 2 orang
l. Kalimantan Barat 4 orang m. Dayak Besar 2 orang
n. Banjar 3 orang
o. Kalimantan Tenggara 2 orang p. Kalimantan Timur 2 orang
(54)
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan
pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.
Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak
menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil
(55)
Senat-RIS
Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang,
yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS
(56)
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat
RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS
NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan
dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk
federasi;
Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah
Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
(57)
Keanggotaan DPRS
Sesuai isi Pasal 77
UUDS, ditetapkan
jumlah anggota DPRS adalah 236 orang,
yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari
Dewan Pertimbangan Agung.
Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):
1. Masjumi 43 orang 2. PNI 42 orang
3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang 4. PIR-Wongso 3 orang
5. PKI 17 orang 6. PSI 15 orang 7. PRN 13 orang
8. Persatuan Progresif 10 orang 9. Demokrat 9 orang
10.Partai Katolik 9 orang 11.NU 8 orang
12.Parindra 7 orang 13.Partai Buruh 6 orang 14.Parkindo 5 orang
15.Partai Murba 4 orang 16.PSII 4 orang
17.SKI 4 orang 18.SOBSI 2 orang 19.BTI 1 orang 20.GPI 1 orang 21.Perti 1 orang
(58)
Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS
Kedudukan dan Tugas DPRS
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan
pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak
menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.
(59)
Hak-hak dan Kewajiban DPRS
1.Hak Amandemen
DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.
2. Hak Menanya dan Hak Interpelasi
DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari
menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI. 3. Hak Angket
DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.
(60)
Lanjutan
4. Hak Kekebalan (imunitet)
Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat
kepada majelis, kecuali jika mereka
mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya
dirahasiakan.
5. Forum Privelegiatum
Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung
dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika
ditetapkan lain dengan UU. 6. Hak mengeluarkan suara
(61)
Hubungan DPRS dengan
pemerintah
Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga
menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya.
Namun berbeda dengan ketentuan dalam
UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili
(62)
Hasil-hasil pekerjaan DPRS
a. menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU b. 11 kali pembicaraan tentang keterangan
pemerintah
c. 82 buah mosi/resolusi. d. 24 usul interpelasi.
(63)
DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)
E. DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang.
Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542
orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan
UUDS.
Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama
dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS.
Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin
Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.
(64)
DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan
Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat
sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan
DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur
Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu.
Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
(65)
DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan
sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali
perubahan komposisi pimpinan, yaitu:
a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.
d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.
Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih
berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum
(66)
DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Dalam rangka menanggapi situasi masa
transisi, DPR-GR memutuskan untuk
membentuk dua panitia:
Panitia politik, berfungsi mengikuti
perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
Panitia ekonomi, keuangan dan
pembangunan, bertugas memonitor
situasi ekonomi dan keuangan serta
membuat konsepsi tentang pokok-pokok
pemikiran ke arah pemecahannya.
(67)
DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971
adalah sebagai berikut:
Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN
sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU
sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan
pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7
(68)
J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde
Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU
No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang
digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem
kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
(69)
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai
menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara
mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali
Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
(70)
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol
eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses
demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu
menjalankan fungsi penyeimbang (checks and
balances) dalam prakteknya hanya sebagai
pelengkap dan penghias struktur
ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
(71)
DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf
Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu
tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif
kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik
(Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk),
dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
(72)
Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem
dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian
kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat
ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati
(73)
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR,
telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama),
2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat).
Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa
belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan
presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode
1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).
(74)
DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)
Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun
1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga
perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk
sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.
Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam
merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.
Informasi lebih lengkap mengenai keanggotaan, alat kelengkapan,
dan lain-lain khusus untuk DPR periode ini, dapat ditemukan dalam artikel lainnya dalam parlemen.net yang mengenai DPR.
(75)
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
INDONESIA
Kekuasaan legislatif
bukan sekedar kekuasaan yang berperan dalam
proses legislasi
Makanya, yang dimaksud
di sini adalah MPR, DPR, dan DPD dengan
berbagai interaksi dan eksistensinya.
Tarik ulur antara
keidealan pola interaksi antar semua lembaga
tersebut, termasuk ketika berhubungan dengan
kekuasaan Ekskutif dalam hal legislasi.
Makanya, yang dibahas di sini adalah:
MPR, DPR dan DPD
diatur di dalam konstitusi
Pengejawantahan
berbagai hal perihal
MPR, DPR dan DPD yang dituangkan dalam
kebijakan pembentuk UU.
Beberapa hal kritis
untuk membaca tersebut dan beberapa hal yang bisa menjadi
(76)
MPR
MPR terdiri atas
anggota DPRdan
anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
MPR bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Segala putusan MPR
ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Jangan
disalahtafsirkan
pertemuan seorang anggota DPR dan
seorang anggota DPD.
Delegasi ke UU MD3 Suara terbanyak
bukan berarti wajib voting dan kehilangan prinsip
(77)
MPR
MPR berwenang
mengubah dan menetapkan UUD
MPR melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden
Memilih dalam hal
terjadi kekosongan
Impeachment
menurut UUD 45
Selain melantik yang
sudah reguler 5
tahunan, tugas yang ada adalah tugas
yang akan ada jika terjadi sesuatu (non reguler)
(78)
DPR
Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dipilih melalui
pemilihan umum
Asalnya adalah
representasi partai politik
Sistem pemilu Bagian cita-cita
penyederhanaan partai
(79)
DPR
Legislasi
Pengawasan Anggaran
Representasi
Rekrutmen jabatan
publik
Pada hakikatnya,
menjalankan proses legislasi,
pengawasan, anggaran dan
melakukan rekrutmen jabatan publik adalah dalam fungsi
(80)
Legislasi DPR
Usulan yang berasal
dari DPR dan
Pemerintah yang dibahas bersama.
Pembahasan bersama
DPR dan Pemerintah dengan pelibatan DPD dengan kondisi tertentu
Persetujuan atas UU
wajib diundangkan
dalam jangka waktu 30 hari Praktik-praktik legislasi parlementer dalam sistem presidensil, semisal pembahasan bersama dan veto.
Setiap anggota DPR
berhak mengajukan usul RUU
(81)
Legislasi Perpu
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
Jika tidak mendapat persetujuan, maka
(82)
Pengawasan
DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat
setiap anggota DPR
mempunyai hak mengajukan
pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
Interpelasi adalah hak
untuk meminta keterangan untuk
kebijakan yang penting dan berdampak luas
Hak angket adalah hak
melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan
Hak menyatakan
pendapat perihal
(83)
Anggaran
Mulai dari pengawasan penyusunannya. Pembentukan kebijakannya.
Pada praktik, termasuk hingga ke penentuan
untuk beberapa dana tertentu, semisal Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID)
Hingga pasca pelaksanaan dengan
(84)
Rekrutmen Jabatan Publik
DPR berperan dibegitu banyak jabatan
publik, khususnya seleksi dengan model fit and proper test
Pertanyaan besar perihal pengaruh politik Tetapi bagian dari model seleksi
(85)
DPD
Merupakan lembaga perwakilan
dengan representasi daerah
(ruang/wilayah)
Melalui Pemilu dengan Dapil Propinsi
Perseorangan
(86)
Tugas DPD
Pertama, DPD dapatmengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kata “dapat”
merupakan bahasa hukum yang
non-imperatif. Akibatnya adalah DPR
memperlakukan
(87)
Tugas DPD
Kedua, DPD ikut membahas
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama
Meski ada klausula “ikut
membahas”, tetapi tidak pada sampai persetujuan. Membahas diterjemahkan punya suara subtansi tapi tidak pada memutuskan.
Sedangkan klausula
“memberikan
pertimbangan” adalah pertimbangan yng tidak mengikat. Bahkan lebih kecil dibanding porsi BPK yang hadir hingga
(88)
Tugas DPD
Ketiga, DPD dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
Jadi, meskipun dapat
melakukan
pengawasan secara langsung, namun hasilnya itu harus disampaikan kepada DPR untuk kemudian DPR menindaklanjuti
(89)
Yang dihasilkan oleh DPD, 8 RUU
usulan, pandangan dan pendapat 39
buah, pertimbangan 4 buah, hasil
pengawasan 24 buah dan
pertimbangan berkaitan anggaran 14
buah (Di tahun 2011)
(90)
Beberapa Catatan Model Parlemen
Indonesia
Bikameral atau trikameral?
Struktur kamar parlemen yang tidak tunggal
tapi terpola ke dalam kerja yang tunggal
Bagaimana menempatkan senat secara ideal
sebagai bagian dari parlemen yang berkamar dua.
Kombinasi unik dari legitimasi kuat dengan
kewenangan kecil.
Pola checks and balances. “two eyes better
(91)
ALAT KELENGKAPAN
MPR, DPR, DPD
(92)
MPR
Alat kelengkapan MPR terdiri atas:
a.pimpinan; dan
(93)
Pimpinan
Pimpinan MPR terdiri atas
1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan
4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal
dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD
Pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih secara musyawarah
untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR
Pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih secara musyawarah
untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.
Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana tidak
tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD.
Selama pimpinan MPR belum terbentuk, sidang MPR pertama kali
untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR.
Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
adalah Ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR dan Ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR.
(94)
Pimpinan MPR bertugas:
a. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang
untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
antara ketua dan wakil ketua;
c. menjadi juru bicara MPR; d. melaksanakan putusan MPR;
e. mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. mewakili MPR di pengadilan;
g. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan h. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang
(95)
(1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
Berdasarkan Pasal 81 UU MD 3
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah; c. komisi;
d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran;
f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan;
h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga;
j. panitia khusus; dan
k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna
(96)
Pimpinan
Pasal 82
Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai
politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
(97)
Alat kelengkapan DPD
Pasal 243 UU MD 3 Terdiri atas :a. pimpinan;
b. Panitia Musyawarah; c. panitia kerja;
d. Panitia Perancang Undang-Undang; e. Panitia Urusan Rumah Tangga;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(98)
Pimpinan
Pasal 235 (1)
Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
(99)
Alat kelengkapan DPR
Menurut Pasal 81 (1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas: a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah; c. komisi;
d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran;
f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan;
h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga;
j. panitia khusus; dan
k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(100)
(1)
(1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
Berdasarkan Pasal 81 UU MD 3 a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah; c. komisi;
d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran;
f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan;
h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga;
j. panitia khusus; dan
k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna
(2)
Pimpinan
Pasal 82
Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai
politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
(3)
Alat kelengkapan DPD
Pasal 243 UU MD 3 Terdiri atas : a. pimpinan;
b. Panitia Musyawarah; c. panitia kerja;
d. Panitia Perancang Undang-Undang; e. Panitia Urusan Rumah Tangga;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(4)
Pimpinan
Pasal 235 (1)
Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
(5)
Alat kelengkapan DPR
Menurut Pasal 81 (1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas: a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah; c. komisi;
d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran;
f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan;
h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga;
j. panitia khusus; dan
k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(6)