Tipe & Size (, 752K)

PENATAAN RUANG DAN PENGENTASAN KEMISKINAN DAERAH
DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh: Dr. Ir. Sujana Royat, DEA1
Sejak otonomi daerah digulirkan pada tahun 1999, muncul harapan baru dalam pembangunan di
daerah. Harapan tersebut tidak hanya dalam bidang politik, dimana masyarakat berpartisipasi dalam
memilih kepala daerah, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Melalui
otonomi daerah, diharapkan Pemerintah Daerah dan masyarakat lebih banyak memainkan peran
strategis dalam penyusunan perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan di daerah.
Walaupun demikian, selama kurang lebih 10 tahun penerapan otonomi daerah, masih banyak
kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk menuju kesejahteraan yang
dicita-citakan. Salah satu aspek penting dalam kaitannya antara otonomi daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat adalah aspek perencanaan pengembangan wilayah. Kewenangan yang
dimiliki dalam otonomi, Pemerintah Daerah dapat mendayagunakan potensi daerah guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak terjeremus pada kemiskinan. Namun dalam
realitasnya, pengembangan potensi wilayah bukannya memberikan manfaat bagi masyarakat malah
seringkali menimbulkan konflik antara Pemerintah Daerah, swasta, serta masyarakat.
Kemiskinan hingga kini masih menjadi problem utama berbagai pemerintah. Persoalannya,
penanggulangan kemiskinan setiap daerah berbeda. Karakteristik kemiskinan masyarakat perkotaan
dan perdesaan memiliki perbedaan. Kemiskinan di perdesaan lebih banyak disebabkan persoalan
kurangnya infrastruktur pelayanan dasar, keterbatasan akses, serta keterjangkauan dan kemampuan
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, serta sanitasi

dasar. Sedangkan kemiskinan di perkotaan lebih didominasi oleh kesenjangan penghasilan,
terbatasnya lapangan pekerjaan, serta kemampuan masyarakat miskin untuk mendapatkan
pelayanan dasar yang sesuai dan bermartabat.
Bicara karakteristik kemiskinan tentu berhubungan pada pemetaan dan tata ruang, agar menjadi
jelas arah penanganannya. Dalam regulasi, definisi ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Sedangkan penataan ruang dipahami sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dari pengertian itu, jelaslah bahwa ruang tidak didefinisikan dalam arti fisik dan material semata,
tetapi ruang merupakan suatu wadah interaksi sosial manusia dan mahkluk hidup lainnya dalam
menyelenggarakan aktivitas yang terkait dengan kelangsungan hidupnya. Untuk menhindari konflik
dalam pemanfaatan ruang, maka pengelolaan dan pemanfataan ruang harus direncanakan dan
dikendalikan.
Sehubungan dengan ini, terdapat 3 permasalahan besar di Indonesia terkait dengan penataan ruang,
yakni; 1) Konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang; 2) Penurunan daya dukung atau degradasi
lingkungan; serta 3) inkonsistensi dalam pengembangan kebijakan penataan ruang. Karena itulah
muncul regulasi tentang pentingnya penataan ruang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
1

Dr. Ir.Sujana Royat, DEA adalah Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan
Masyarakat

1

Setidaknya ada argumentasi yang mendasari pentingnya pengaturan ruang dalam kehidupan
manusia. Pertama, keterbatasan ruang yang dimiliki sehingga diperlukan perencanaan dalam
pemanfaatan ruang. Kedua, posisi geografis Indonesia yang terletak pada ring of fire serta rawan
bencana alam. Ketiga, perkembangan jumlah penduduk membutuhkan ketersediaan ruang yang
cukup untuk mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Terkait argumentasi tersebut, maka diperlukan perencanaan tata ruang pada tingkat nasional,
propinsi, serta kabupaten/kota yang harus saling terkait dan terkoordinasi. Dalam regulasi penataan
ruang disebutkan bahwa penyusunan perencanaan tata ruang suatu wilayah baik pada tingkat
nasional, propinsi, serta kabupaten/kota setidaknya memperhatikan beberapa aspek, diantaranya
perkembangan permasalahan global, pemerataan pembangunan, pertumbuhan, serta stabilitas
ekonomi.
Perencanaan tata ruang tidak hanya memperhatikan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di wilayah
tersebut, tetapi juga memperhatikan rencana strategis penataan ruang secara terintegrasi pada
tingkat nasional maupun tingkat propinsi. Selain itu, juga perlu memperhatikan perencanaan tata
ruang yang dibuat oleh daerah yang berbatasan dengan wilayahnya. Oleh sebab itu diperlukan

koordinasi perencanaan ruang antar wilayah, sehingga tidak menimbulkan konflik pemanfaatan
ruang antar wilayah.
Pengembangan Wilayah
Ilmu ekonomi wilayah merupakan suatu cabang ilmu ekonomi, yang dalam pembahasannya
memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah satu dengan wilayah lainnya. Ilmu ekonomi regional
tidak membahas kegiatan-kegiatan ekonomi secara individual melainkan menganalisis suatu wilayah
secara keseluruhan atau melihat berbagai potensi wilayah yang beragam dan bagaimana mengatur
suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.
Ilmu ini tidak mungkin dilepas dari induknya (makroekonomi dan ekonomi pembangunan). Karena
itu, dalam pembahasan ekonomi regional, materi-materi ilmu ekonomi umum perlu dikembangkan
sehingga sesuai dengan karakteristiknya. Misalnya dalam makroekonomi menyatakan bahwa tujuan
utama kebijakan ekonomi adalah: 1) full-employment; 2) economic growth; dan 3) price stability.
Ketiga kebijakan ekonomi ini tidak mungkin seluruhnya dimasukkan ke dalam kajian ekonomi
regional, apabila kajian tersebut berkaitan dengan wilayah di dalam suatu negara tertentu.
Dalam hal ini, yang dapat dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional hanyalah full-employment
dan economic growth, sedangkan price stability di luar jangkauan pemerintah daerah, mengingat
instrumen kebijakan price stability ada pada pemerintah pusat.
Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari proses iteratif yang menggabungkan dasardasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis. Dengan kata lain, konsep ini
merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang dan telah
diujiterapkan untuk dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan sesuai kondisi dan kebutuhan

pembangunan.
Pada era 90-an, konsep pengembangan diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal
antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan
perdesaan. Sedangkan perkembangan terakhir, mengarahkan konsep pengembangan wilayah
sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2

Pada dekade tahun 50-an, muncul teori yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat
pertumbuhan, seperti: (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh Franςois Perrox, 2
teori kutub pembangunan yang terlokalisasi (localized development theory) oleh Boudeville, dan (3)
teori titik pertumbuhan (growth point theory) oleh Albert Hirschman. Menurut Perrox (Adisasmita,
2005), terdapat elemen yang menentukan pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan
dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perrox menganggap bahwa industri
pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya.
Pertumbuhan regional intinya menggunakan konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya
saja titik tekanan analisis diletakkan pada perpindahan faktor (movements factor). Arus modal dan
tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain membuka peluang bagi perbedaan
tingkat pertumbuhan antar daerah. Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan dapat jauh lebih
tinggi daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun sebaliknya. Dalam

kaitan perpindahan faktor antar wilayah, model pertumbuhan Harrod-Domar dapat digunakan untuk
analisis pertumbuhan regional.
Pertumbuhan dan Pemerataan
Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada
pendapat pertumbuhan dan pemerataan saling bertentangan, tetapi ada juga yang berpendapat
sebaliknya. Kelompok terakhir ini di dunia internasional tergolong minoritas, sebab jumlah negara
yang berhasil memadukan pertumbuhan dan pemerataan tidak banyak.
Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni: (1) distribusi fungsional,
(2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3) distribusi personal. Menurut Ismail (1995) teori neokeynesien dan juga teori distribusi pendapatan yang lainnya, lebih menitikberatkan pada masalah
distribusi fungsional.
Teori tak selamanya relevan sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di
negara berkembang. Hal itu disebabkan karena, pertama penggolongan penerima pendapatan
dalam teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu terbatas pada buruh dan pemilik modal,
dan umumnya hanya meliputi mereka yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian ini
mengabaikan aspek penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang.
Umumnya kelompok miskin di negara berkembang bekerja pada sektor tradisonal dan informal, dan
kegiatan mereka tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu
didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya menyentuh lapisan menengah dan lapisan atas dari
kelompok pendapatan.
Kedua, teori distribusi fungsional tidak banyak membahas konflik sosial-politik-ekonomi. Biasanya

konflik semacam ini menonjol berkaitan dengan startegi pembangunan yang dipilih. Distribusi
fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik itu bersumber dari pemilik faktor
produksi. Ketidakmampuan teori ini karena konflik sosial-ekonomi di negara berkembang tidak pada
konflik antara upah dan modal. Misalnya antara desa dan kota, antara industri dan pertanian, antara
sektor yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor dan industri
untuk ekspor. Karena itu, teori ini mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses
dan fenomena jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.
Keterbatasan ini mendorong para ahli mencari alternatif lain sebagai dasar analisa kaitan
pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang. Salah satu alternatifnya adalah mengaitkan

3

distribusi personal dengan pertumbuhan. Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis)
yang dikemukakan pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.
Hipotesis ini mengatakan pembangunan ekonomi diawali oleh semakin buruknya pembagian
pendapatan, hingga pada titik tertentu pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan.
Beberapa ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka menggunakan
model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh 40
persen penduduk pendapatan rendah (sebagai variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per
kapita dan variabel struktural lainnya (sebagai variabel penjelas). Hasilnya, umumnya membuktikan

kebenaran hipotesis U dalam pembangunan.
Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor moderen, dimana tingkat pertumbuhannya lebih cepat
daripada sektor tradisional. Tetapi ada hambatan bagi orang masyarakat miskin untuk memperoleh
manfaat pertumbuhan. Hambatan itu berupa rendahnya tingkat pendidikan, sempitnya lahan yang
dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan
posisi mereka.
Indikator kemiskinan relatif yang lain adalah ukuran Bank Dunia. Dalam kaitan ini mereka membagi
penduduk suatu wilayah ke dalam tiga kelompok, yaitu: 40 persen penduduk berpendapatan
rendah; 40 persen penduduk berpendapatan menengah; dan 20 persen penduduk berpendapatan
tinggi. Bila 40 persen penduduk berpendapatan rendah menerima kurang dari 12 persen dari total
pendapatan berarti ketidakmerataan pendapatan adalah tinggi; 12 persen sampai dengan 17 persen
ketidakmerataan pendapatan adalah sedang; dan menerima lebih dari 17 persen berarti
ketidakmerataan pendapatannya rendah.
Hal ini terjadi karena rumah tangga miskin adalah kelompok masyarakat dengan kepemilikan modal
terbatas, hal itu menyebabkan mereka menjadi kurang mampu menangkap hasil-hasil pembangunan
ekonomi. Mereka kalah bersaing dengan pengusaha yang memiliki banyak modal, akibat keadaan ini
membuat sebagian besar ekonomi rakyat menjadi tergusur, dan sebagian besar hak-hak rumah
tangga menjadi hilang.
Pelayanan Masyarakat
Untuk stabilitas ekonomi dan politik selama ini pemerintah memegang kendali yang lebih besar

terhadap sumber-sumber penerimaan dan berbagai kebijaksanaan pelayanan masyarakat. Hal ini
dilakukan mengingat kebutuhan dasar masih sangat kurang, resiko investasi masih sangat besar, dan
tingkat pendidikan rata-rata manusia di daerah masih rendah.
Dengan meningkatnya kemampuan kelembagaan dan kualitas aparat di daerah, saatnya untuk
memperbesar kewenangan daerah dalam menata pembangunan di daerah. Keterlibatan swasta
sebagai mitra kerja perlu diperbesar. Sejalan dengan kewenangan daerah yang semakin besar maka
pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.
Ada tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah. Indikator pertama adalah produktivitas,
yang dapat di ukur dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya. Kedua adalah
efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas SDM dalam
pelaksanaan pembangunan. Terakhir adalah partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin
kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah.
Ketiga indikator tersebut berkaitan dengan faktor yang menjadi ciri sebuah wilayah, dan
membedakannya dengan wilayah lainnya, seperti kondisi politik dan sosial, struktur kelembagaan,
4

komitmen aparat dan masyarakat, dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat.
Sehingga keberhasilan itu bergantung pada kemampuan berkoordinasi, mengakomodasikan dan
memfasilitasi semua kepentingan, serta kreativitas yang inovatif.
Dari pemahaman dan pengalaman, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah

berupa rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya,
merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional,
meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses
penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah
NKRI.
Pengembangan Wilayah dan Kualitas Hidup
Perkembangan kawasan perkotaan sangat pesat, jika dilihat dari pertumbuhan penduduk perkotaan
yang mencapai 2,8 % per tahun, maka pada tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan
mencapai 68,3 % dari total penduduk Indonesia. Selain permasalahan kependudukan, permasalahan
lain meliputi permasalahan sosial, ekonomi, penataan kota, serta kualitas hidup masyarakat. Karena
itula diperlukan basis data yang akurat dalam perencanaan kawasan perkotaan.
Daerah perkotaan memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk di perdesaan. Daya tarik ini bukan
hanya karena faktor pekerjaan yang lebih baik , tetapi juga karena kemudahan sarana dan prasarana
yang ada di kota. Seperti diketahui perkembangan penyedian fasilitas dasar dari pedesaan masih
minim. Aspek itulah yang menjadi alasan utama gelombang urbanisasi, yang setiap tahunnya
meningkat.
Peningkatan penduduk kota tentu mempengaruhi berbagai aspek. Seperti penyediaan ruang yang
cukup untuk permukiman, peningkatan sarana dan prasarana, dan kompleksitas permasalahan sosial
dan ekonomi. Permasalahan ini tentu memiliki keterkaitan dan membutuhkan penyelesaian secara
komprehensif dan terintegrasi. Jika ruang hidup tidak tersedia maka akan menimbulkan

permasalahan sosial, begitu juga penduduk urban yang tidak memiliki keterampilan kerja akan
menimbulkan pengangguran, kriminalitas, dan permasalahan sosial lainnya.
Bahkan meningkatnya penduduk urban di kota dapat memberikan dampak peningkatan jumlah
penduduk miskin. Struktur pekerjaan yang berbasis pada jasa di perkotaan menuntut sejumlah
kualifikasi dalam pendidikan dan pengalaman yang seringkali sulit dipenuhi oleh penduduk yang
berasal dari perdesaan yang struktur pekerjaannya berbasis pada pertanian.
Tingginya angka kemiskinan menekan ruang, dan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi kota.
Sumber konflik Pemerintah Kota dengan penduduk miskin adalah perebutan ruang. Telah jadi
pandangan harian kalau masyarakat miskin seringkali melakukan okupasi terhadap ruang terbuka.
Bahkan kerap dilakukan pada daerah bahaya seperti bantaran sungai. Munculnya tempat tinggal
diwilayah ini tentu membahayakan, dan menyebabkan penyempitan badan sungai yang
mengakibatkan banjir.
Selain itu, perebutan juga terjadi pada sektor ekonomi. Seperti di Kota Bukittinggi, dimana jalan raya
penghubung antara Benteng Pasar Atas dan Benteng Pasar Bawah telah diokupasi oleh pedagang
kaki lima. Hasilnya muncul sebuah pasar yang dinamakan Pasar Lereng, dimana para PKL sangat
mendominasi. Kondisi serupa juga terdapat di Manado yang akhirnya menimbulkan kesemerawutan
dan menganggu aktivitas masyarakat.

5


Kebijakan Pemerintah Daerah untuk menata kawasan pun hampir sama. Umumnya Pemda akan
merelokasi peduduk, penggusuran, dan penataan kawasan kumuh. Meski kebijakan hampir sama
tapi pendekatan kebijakan tersebut berbeda. Seperti Walikota Solo yang melakukan pendekatan
persuasif. Hasilnya PKL dapat diatur karena adanya kesepakatan diantara mereka.
Penataan ruang ekonomi diperlukan agar terjadi keseimbangan para pelaku ekonomi pada skala
besar maupun kecil. Selama ini, kebijakan Pemerintah Kota ramah terhadap pelaku ekonomi skala
besar, tetapi brtindak sebaliknya bagi pelaku ekonomi kecil. Padahal penduduk miskin diperkotaan
banyak bekerja di sektor informal, seperti menjadi buruh, pedagang kaki lima, juru parkir,
pengemudi becak, serta berbagai usaha ekonomi kreatif lainnya. Dimana dalam menjalankan
aktivitasnya mereka banyak menggunaan daerah yang dilarang atau tidak berijin.
Kemudian permasalahan juga muncul dari aspek sosial budaya masyarakat. Masyarakat kota
terfragmentasi secara sosial budaya dalam penguasaan ruang. Munculnya perumahan mewah,
diubahnya lahan-lahan startegis untuk perdagangan, semakin menguatkan fragmentasi sosial
budaya. Fragmentasi ruang secara sosial budaya seringkali menimbulkan diskriminasi pelayanan
publik pada masyarakat miskin.
Dari data Tabel 1, terlihat bahwa persentase pengeluaran masyarakat miskin untuk memenuhi
kebutuhan pokok (makanan) rata-rata berada di atas 60 %. Artinya hampir 60 % penghasilannya
dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan makanan. Sisanya 40 % baru dapat digunakan oleh rumah
tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti pendidikan, kesehatan. Secara rinci
terdapat pada table 2.
Kondisi itu menggambarkan masyarakat miskin sulit membenahi lingkungan disekitarnya. Seperti
penyediaan air bersih, jamban keluarga, serta rumah yang layak huni. Untuk membenahi ini Pemda
banyak menyelenggarakan program rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Misalnya program bedah
rumah, serta penyediaan jamban keluarga.
Program ini seringkali bersifat dilematis dalam penataan ruang atau kawasan. Jika menunggu
kesadaran tentang jamban tentu dalam waktu yang panjang. Sementara penataan ruang
memerlukan waktu cepat untuk meminimalisir dampak negatif yang muncul. Misalnya jika
pembangunan jamban keluarga tidak segera dilakukan, maka feces rumah tangga mengakibatkan
pencemaran lingkungan yang berujung pada timbulnya endemik penyakit.
Berdasarkan hasil analisis kehidupan masyarakat miskin dalam perencanaan tata ruang dan
pengembangan kawasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. pertama, perencanaan tata ruang dan pengembangan kawasan di daerah masih berorientasi
pada pembangunan aspek fisik semata, dan belum mempertimbangkan aspek-aspek yang
terkait dengan kondisi sosial-budaya.
2. kedua, pendekatan dalam perencanaan tata ruang dan pengembangan kawasan masih
berorientasi pada pendekatan regulasi dalam penyelesaian masalah, ketimbang
menggunakan proses partisipasi yang menghasilkan konsensus dengan masyarakat, dan
perencanaan tata ruang dan pengembangan kawasan di perkotaan belum banyak merespon
perencanaan ruang dalam kontek mengafirmasi pemenuhan hak dasar bagi masyarakat dan
masyarakat miskin.

6

Tabel 1
Proyeksi Jumlah dan Persentase Penduduk Indonesia berdasarkan Desa dan Kota
Kota
Desa
Tahun
Total
(orang)
(persen)
(orang)
(persen)
2000
86.406,6
42% 119.436,6
58% 205.843,2
2005 106.158,6
48% 113.739,7
52% 219.898,3
2010 126.855,5
54% 107.283,9
46% 234.139,4
2015 147.683,9
60% 100.496,1
40% 248.180,0
2020 167.932,3
64%
93.607,3
36% 261.539,6
2025 186.932,1
68%
86.719,3
32% 273.651,4
Sumber: BPS dan Bappenas,
Gambar 1
Proyeksi Jumlah dan Persentase Penduduk Indonesia menurut Desa dan Kota Tahun 2000-2025

Sumber: BPS dan Bappenas,
Tabel 2
Garis Kemiskinan berdasarkan Jenis Pengeluaran Makanan dan Non-Makanan
Tahun 2005-2010
Makanan
Bukan Makanan
Total
Tahun
Rp/Kapita/Bln
%
Rp/Kapita/Bln
%
2005
91,072
71%
38,036
29%
129,108
2006
114,125
75%
37,872
25%
151,997
2007
123,992
74%
42,704
26%
166,697
2008
135,270
74%
47,366
26%
182,636
7

2009
147,339
74%
2010
155,615
73%
Sumber: BPS, dari berbagai tahun

52,923
56,111

26%
27%

200,262
211,726

Tabel 3
Daftar Komoditas Kebutuhan Dasar Bukan Makanan Tahun 2010
No,
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

Jenis Komoditi
Perumahan
Listrik
Air
Minyak tanah
Kayu bakar
Obat nyamuk, korek api, baterai
Pos dan benda pos
Perlengkapan mandi
Barang kecantikan
Perwatan kulit/muka
Sabun cuci
Pendidikan
Kesehatan
Bahan pemeliharaan pakaian
Pemeliharaan kesehatan
Bensin
Angkutan
Foto
Pakaian jadi laki-laki dewasa
Pakaian jadi perempuan dewasa
Pakaian jadi anak-anak
Keperluan menjahit
Alas kaki
Tutup kepala
Handuk/ikat pinggang
Perlengkapan perabot rumah tangga
Perkakas rumah tangga
Alat dapur/makan
Arloji/jam
Tas
Mainan anak
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak kendaraan bermotor
Pungutan lain
Perayaan hari raya agama
Upacara agama
JUMLAH

Nilai
Rp/Kap/Bln
10,311,03
3,259,93
214,53
1,249,87
3,261,31
870,83
1,79
2,122,04
767,65
477,71
1,805,72
1,906,08
1,480,39
106,02
56,57
1,541,79
2,408,36
51,81
1,543,13
1,699,34
1,683,33
45,49
1,021,43
217,83
101,31
87,97
188,57
485,37
5,76
65,68
86,80
213,95
443,81
158,66
128,91
432,38
40,503,16

%
25,46
8,05
0,53
3,09
8,05
2,15
0,00
5,24
1,90
1,18
4,46
4,71
3,65
0,26
0,14
3,81
5,95
0,13
3,81
4,20
4,16
0,11
2,52
0,54
0,25
0,22
0,47
1,20
0,01
0,16
0,21
0,53
1,10
0,39
0,32
1,07
100,00

Sumber: BPS

8

Foto-foto proses realokasi kota solo

Konsultasi Publik Para Pedagang yg akan direalokasi dengan Kepala Daerah Kota Surakarta

Prosesi Kirab Relokasi PKL Banjarsari oleh Walikota dan Wakil Walikota Surakarta

9

10