Untitled Document

Karya Ilmiah

USAHA KECIL MENENGAH (UKM)
DAN OTONOMI DAERAH

Oleh :
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2007

KATA PENGANTAR
Keberadaan UU Penghapusan KDRT sungguh menggembirakan, karena sarat
dengan

janji

yang


diharapkan

dapat

meminimalisasi

keberadaan

KDRT.

Implementasi, itulah yang selalu menjadi masalah atas segala peraturan yang ada di
negeri ini, termasuk yang terkait dengan upaya mereduksi terjadinya KDRT. Keraguan
atas implementasi UU Penghapusan KDRT ini cukup beralasan karena masih kurangnya
pemahaman masyarakat bahkan aparat bahwa KDRT merupakan sebuah bentuk tindak
kriminal. Masih banyak menganggapnya sebagai masalah pribadi sehingga kurang
berempati pada korban, banyak perempuan yang karena ketidakberdayaannya menjadi
enggan melapor bila mengalami kekerasan. Tidak dipungkiri bahwa UU Penghapusan
KDRT merupakan terobosan penting dalam upaya menghapuskan kejadian kekerasan
dalam rumah tangga. Namun, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila tidak
diiringi dengan upaya serius dari kita semua untuk mengimplementasikannya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga
menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya.
Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Oktober 2007
Penulis

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii


BAB I

BAB II

BAB III

BAB IV

PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang

1

1.2. Tujuan Penulisan

4


UKM DAN OTONOMI DAERAH

5

2.1. Profil dan Sebaran Usaha Kecil

5

2.2. Mengapa UKM Perlu Dikembangkan

6

2.3. Perlunya UKM Sebagai Prioritas Program Pembangunan

8

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah

10


2.5. Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian

15

PEMBAHASAN

17

3.1. Kebijakan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah

17

3.2. Pola Pembinaan UKM dalam Rangka Otonomi Daerah

20

3.3. Prospek Pengembangan UKM di Era Otonomi Daerah

22


3.4. Pengembangan UKM di Indonesia

26

3.5. Strategi Pemberdayaan UKM

34

KESIMPULAN DAN SARAN

39

4.1. Kesimpulan

39

4.2. Saran

40


DAFTAR PUSTAKA

41

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu kekuatan pendorong
terdepan dalam pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk
menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel dan dapat
dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga
menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dan
mereka juga cukup terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor
dan perdagangan. Karena itu UKM merupakan aspek penting dalam pembangunan
ekonomi yang kompetitif.
Di Indonesia, sumber penghidupan amat bergantung pada sektor UKM.
Kebanyakan usaha kecil ini terkonsentrasi pada sektor perdagangan, pangan, olahan
pangan, tekstil dan garmen, kayu dan produk kayu, serta produksi mineral non-logam.
Mereka bergerak dalam kondisi yang amat kompetitif dan ketidakpastian, juga amat

dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro.
Tahan banting. Istilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan keberadaan
usaha kecil dan menengah (UKM) ditengah situasi yang serba tidak menentu dan penuh
ketidakpastian, sejak krisis melanda negeri ini pada pertengahan tahun 1997 hingga saat
ini. Di antara rontoknya konglomerat karena belitan utang, atau ketidakmampuan
optimalisasi kapasitas produksinya karena seretnya pasokan bahan baku yang harus
diimpor, sebagian besar UKM justru tetap bertahan. Pengusaha di skala itu masih terus
bergerak walau memikul beban yang lumayan berat, namun tetap masih bisa berdiri dan

1

berjalan. Bagi UKM memiliki kandungan lokal yang besar, kekuatannya untuk bertahan
semakin besar. Mereka pun relatif mampu mencapai optimalisasi produksi. Terbukti
dari data yang ada, jumlah usaha yang masuk dalam kelompok ini mencapai 40 juta
unit, yang 41.000 di antaranya masuk kategori usaha menengah, dan selebihnya usaha
kecil.
Pada masa krisis itu kontribusi kegiatan ekspor terbesar diberikan oleh
kelompok UKM. Bergugurannya perbankan tidak membuat para pelaku UKM gamang,
karena kekuatan modal kerja mereka tidak bergantung sepenuhnya pada lembaga
perbankan. mereka mampu hidup dengan modal sendiri, kalau pun ada dukungan bank

itu pun jumlahnya tidak besar. Prinsip kata sektor ini begitu fleksibel, sehingga mereka
bisa ke luar masuk pasar lokal maupun ekspor lebih cepat. Kegiatan ekspor UKM
terbanyak terjadi di sub sektor industri tekstil, produk tekstil, mebel, sepatu, mainan
anak-anak, kerajinan kulit, rotan, dan kelapa sawit.
Kelompok usaha kecil dan menengah merupakan wujud kehidupan ekonomi
sebagian besar rakyat Indonesia . Keberadaan kelompok ini tidak dapat dipisahkan dari
pertumbuhan perekonomian secara nasional. Kelompok usaha kecil dan menengah
mampu menyerap lebih dari 64 juta tenaga kerja dan memberikan kontribusi sebesar
lebih kurang 60% dalam pembentukan Produk Domestika Bruto. Secara keseluruhan,
sektor UKM diperkirakan menyumbang sekitar lebih dari 50% PDB (kebanyakan
berada di sektor perdagangan dan pertanian) dan sekitar 10 % dari ekspor. Meski tidak
tersedia data yang terpercaya, ada indikasi bahwa pekerja industri skala menengah telah
menurun secara relatif dari sebesar 10 % dari keseluruhan pekerja pada pertengahan
tahun 1980an menjadi sekitar 5 % di akhir tahun 1990an.

2

Menurut data Survei Business Intelegence Report (BIRO) tentang prospek UKM
Nasional yang dilaksanakan Februari - April 2001 di wilayah Jabotabek menunjukkan,
80 persen dari UKM memiliki investasi di bawah 1 juta dollar AS, lalu 72,5 persen

omzetnya di bawah 1 juta dollar AS. Itu data strata UKM berdasarkan modal. Namun
yang lebih menakjubkan adalah, di saat badai krisis menghantam sejak pertengahan
tahun 1997 hingga awal tahun 2001, malah muncul 99 UKM yang berorientasi ekspor.
Padahal, di lain sisi banyak perusahaan afiliasi konglomerat yang harus dilikuidasi
karena tak mampu lagi bertahan. Fakta itu semakin menguatkan dugaan berbagai pihak
bahwa sektor ini memang kuat dan fleksibel, jika kita cuplik kembali data BIRO.
Menurut survei BIRO diketahui 60 persen UKM memiliki rasio penjualan ekspor lebih
dari 40 persen, bahkan 29 persen diantaranya rasio ekspornya diatas 86 persen.
Terpaan badai krisis yang hingga kini belum dapat ditepis seluruhnya itu telah
memberi kesadaran akan keberadaan UKM. Bahkan dengan berlebihan beberapa
kalangan menjadikannya sebagai monumen bagi dunia usaha dan perbankan, yang
selama ini cenderung mengabaikan keberadaannya. Penghargaan yang tinggi terhadap
UKM layak diberikan, karena terbukti bank-bank yang berorientasi pada kredit kecil
terselamatkan. Berbeda dengan bank-bank yang berorientasi pada konglomerasi, yang
harus menjalani "rawat inap" di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena
harus direstrukturisasi.
UKM telah menunjukkan eksistensinya dalam perekonomian nasional dengan
berbagai kontribusi, baik dari sisi makro maupun mikro. Ini sebenarnya fakta lama,
namun tidak pernah terangkat ke permukaan. Kisah sukses UKM, dan berbagai pujian
yang dilontarkan kepada sektor ini ternyata tidak berbanding lurus dengan kepedulian


3

untuk mengangkat sektor UKM ke jenjang yang lebih tinggi dalam kancah
perekonomian negeri ini.
Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah serta dalam hubungan antara Pusat dengan Daerah. Kebijakan
Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah untuk mengurus
dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pembinaan terhadap
kelompok usaha kecil dan menengah perlu menjadi perhatian. Pembinaan terhadap
kelompok usaha kecil dan menengah bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat tetapi
juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab Daerah.
Walaupun jumlah kelompok UKM serta daya serap tenaga kerja yang cukup
besar ternyata perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan. Kelompok ini hanya
selalu menjadi sasaran program pengembangan dari berbagai institusi pemerintah di
Pusat maupun di Daerah, namun program pengembangan tersebut belum menunjukkan
terwujudnya pemberdayaan terhadap kelompok UKM tersebut.

1.2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian diatas maka tulisan ini penting untuk dilakukan terutama bila
dikaitkan dengan pola pengembangan UKM yang saat ini mulai gencar dilakukan oleh
pemerintah. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
memahami bagaimana pelaksanaan pengembangan dan pembinaan UKM dalam rangka
otonomi daerah.

4

BAB II
UKM DAN OTONOMI DAERAH

2.1. Profil dan Sebaran Usaha Kecil
Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha
kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan
ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan
memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling
banyak Rp 200 juta. Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil
identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan
industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja
1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan
pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS,
1999).
Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil
mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas
yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan usaha kecil dikelola oleh
perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Data BPS (1994)
menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang
yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja
lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota
keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.

5

Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal
sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri
atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.
Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status
badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak
124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta
notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7
persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi).
Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga
bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan,
minuman dan tembakau, diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam,
industri tekstil, dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk
perabotan rumahtangga masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh
industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas
dan kimia relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%.

2.2. Mengapa UKM Perlu Dikembangkan?
Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya
deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian.
Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan
investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah,
bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi
empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh
perusahaan skala kecil dan menengah, namun justru perusahaan skala besar dan

6

konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai
tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995).
Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan usaha kecil
dan menengah setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, UKM menyerap banyak
tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak
UKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena
lokasinya banyak di pedesaan, pertumbuhan UKM akan menimbulkan dampak positif
terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan
dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan (Simatupang, et
al.,1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, UKM jelas perlu mendapat perhatian
karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja
Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Di pedesaan, peran penting UKM memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al.,
1994), merupakan seedbed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi
pertanian bagi penduduk miskin. Boleh dikata, UKM juga berfungsi sebagai strategi
mempertahankan hidup (survival strategy) di tengah krismon.
Kedua, UKM memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang pada
tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati rangking kedua setelah ekspor
dari kelompok aneka industri. Ketiga, adanya urgensi untuk struktur ekonomi yang
berbentuk piramida pada PJPT I menjadi semacam "gunungan" pada PJPT II.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan
ini memandang penting keberadaan UKM (Berry, dkk, 2001). Alasan pertama adalah
karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang
produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan

7

produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena
sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang
usaha besar. Kuncoro (2000) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah
tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja,
meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.

2.3. Perlunya UKM Sebagai Prioritas Program Pembangunan
Peran UKM dalam perekonomian Indonesia paling tidak dapat dilihat dari :
1. Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai
sektor.
2. Penyedia lapangan kerja yang terbesar.
3. Pemain penting dalam

pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan

pemberdayaan masyarakat.
4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi, serta
5. Sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor.
Peran UKM sangat strategis dalam perekonomian nasional, sehingga perlu
menjadi fokus pembangunan ekonomi nasional pada masa mendatang. Pembangunan
UKM secara tersktruktur dan berkelanjutan diharapkan akan mampu menyelaraskan
struktur perekonomian nasional mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional di atas
6% per tahun, mengurangi tingkat pengangguran terbuka, menurunkan tingkat
kemiskinan, mendinamisasi sektor riil, dan memperbaiki pemerataan pendapatan
masyarakat. Pembangunan UKM seharusnya diarahkan pada upaya meningkatkan
produktivitas dan daya saingnya, serta secara sistimatis diarahkan pada upaya

8

menumbuhkan wirausaha baru di sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi yang
berbasis pengetahuan, teknologi dan sumberdaya lokal.
Pertumbuhan ekonomi memerlukan dukungan investasi yang memadai. Pada
kondisi ekonomi Indonesia saat ini relatif sulit menarik investasi dalam jumlah yang
besar. Untuk itu, keterbatasan investasi perlu diarahkan pada upaya mengembangkan
wirausaha kecil dan menengah. Pembangunan UKM diharapkan lebih mampu
menstimulan pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi dalam jangka waktu yang
relatif pendek dan mampu memberikan lapangan kerja yang lebih luas dan lebih
banyak, sehingga mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka dan tingkat
kemiskinan di Indonesia. Pengembangan UKM diharapkan akan meningkatkan
stabilitas ekonomi makro, karena menggunakan bahan baku lokal dan memiliki potensi
ekspor, sehingga akan membantu menstabilkan kurs rupiah dan tingkat inflasi.
Pembangunan UKM akan menggerakkan sektor riil, karena UKM umumnya
memiliki keterkaitan industri yang cukup tinggi. Sektor UKM diharapkan menjadi
tumpuan pengembangan sistem perbankan yang kuat dan sehat pada masa mendatang,
mengingat non-performing loannya yang relatif sangat rendah. Pengembangan UKM
juga akan meningkatkan pencapaian sasaran di bidang pendidikan, kesehatan, dan
indikator kesejahteraan masyarakat Indonesia lainnya.
Adanya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan diharapkan akan
membantu mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai dan demokratis; serta
sejahtera. Sulit mewujudkan keamanan yang sejati, jika masyarakat hidup dalam
kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi. Sulit mewujudkan demokrasi yang
sejati, jika terjadi ketimpangan ekonomi di masyarakat, serta sulit mewujudkan keadilan
hukum jika ketimpangan penguasaan sumberdaya produktif masih sangat nyata.

9

Pembangunan UKM merupakan salah satu jawaban untuk mewujudkan visi Indonesia
yang aman, adil dan sejahtera.

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum
terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di
tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengahsetengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya
reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di
berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak
adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas
landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan
MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas
kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi
daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta
masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang
berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi
daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional,
regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus
meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-

10

masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman
antar daerah.
Kebijakan Otonomi Daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana
sebenarnya bukanlah merupakan “barang baru” dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan Otonomi Daerah sudah mulai dibicarakan.
Bahkan para founding fathers negara ini telah menuangkan ide-ide Otonomi Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
pada pasal 18.
Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan Otonomi Daerah telah dilahirkan
sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945, UU
Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, Penpres
Nomor 6 Tahun 1969, UU Nomor 5 Tahun 1974 dan terakhir dengan UU 22/1999.
Selama masa itu pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat Otonomi Daerah
antara lain; otonomi daerah yang seluas-luasnya, otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
salah satu perwujudan reformasi pemerintahan telah melahirkan paradigma baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selama ini penyelenggaraan pemerintahan di
daerah sebagaimana diatur UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah mengandung azas dekonsentrasi, desentralisasi dan
pembantuan. Pada masa itu penyelenggaraan otonomi daerah menganut prinsip otonomi
daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih
merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini mengakibatkan dominasi pusat terhadap

11

daerah sangat besar, sedangkan daerah dengan segala ketidakberdayaannya harus
tunduk dengan keinginan pusat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat daerah.
Dengan UU 22/1999 pemberian otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Daerah memiliki kewenangan yang mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Dengan
demikian daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Jadi UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan hak kepada daerah berupa
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Pengaturan
dan pengurusan kepentingan masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dan bukan lagi merupakan instruksi dari pusat.
Sehingga daerah dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi
masyarakatnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 ditetapkan kewenangan
Pemerintah (Pusat) di bidang perkoperasian yang meliputi :
1. Penetapan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.
2. Penetapan pedoman tatacara penyertaan modal pada koperasi.
3. Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha kecil dan
menengah.
4. Fasilitasi kerjasama antar koperasi dan pengusaha kecil dan menengah serta
kerjasama dengan badan usaha lain.

12

Sedangkan selain kewenangan tersebut di atas menjadi kewenangan Daerah, termasuk
di dalamnya untuk pembinaan terhadap pengusaha kecil, menengah dan koperasi.
Sesuai dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan dari pengusaha kecil, menengah dan
koperasi.
Usaha kecil dan menengah (UKM) idealnya memang membutuhkan peran
(campur tangan) pemerintah

khususnya pemerintah daerah dalam peningkatan

kemampuan bersaing. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan di
sini bukan dalam arti kemampuan untuk bersaing dengan usaha (industri) besar, lebih
pada kemampuan untuk memprediksi lingkungan usaha dan kemampuan untuk
mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut. Terdapat karakteristik khusus dari suatu
produk yang cocok untuk industri kecil dan ada kelompok produk yang cocok untuk
industri besar. Industri kecil tidak akan mampu bertahan pada kelompok produk yang
cocok untuk industri besar. Dan sebaliknya, industri besar tidak akan tertarik untuk
masuk dan bersaing dalam kelompok produk yang cocok untuk industri kecil, karena
pertimbangan efisiensi skala usaha.
Peran pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada
membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong
kemampuan industri kecil dalam mengakses modal. Atau dengan kata lain, pemerintah
harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang
diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga
pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak
industri kecil dalam pemberian kredit.

13

Menurut

Haeruman

(2000),

tantangan

bagi

dunia

usaha,

terutama

pengembangan UKM, mencakup aspek yang luas, antara lain :
1. Peningkatan kualitas SDM dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan
teknologi,
2. Kompetensi kewirausahaan,
3. Akses yang lebih luas terhadap permodalan,
4. Informasi pasar yang transparan,
5. Faktor input produksi lainnya, dan
6. Iklim usaha yang sehat yang mendukung inovasi, kewirausahaan dan praktek bisnis
serta persaingan yang sehat.
Namun

permasalahan

yang

dihadapi

oleh

pemerintah

dalam

upaya

pengembangan wirausaha (pengusaha UKM) yang tangguh adalah pemilihan dan
penetapan strategi (program) untuk dua kondisi yang berbeda. Kondisi yang dimaksud
adalah : (1) mengembangkan pengusaha yang sudah ada supaya menjadi tangguh, atau
(2) mengembangkan wirausaha baru yang tangguh.
Strategi (program) pengembangan untuk kedua kondisi tersebut haruslah
berbeda (spesifik). Bahkan strategi pengembangan untuk pengusaha yang sudah ada
pun tidak dapat dilakukan dengan “penyeragaman”.

Apa yang disebutkan oleh

Haeruman di atas adalah kondisi yang di-generalisasi. Tiap jenis usaha, bahkan tiap
pengusaha pada jenis yang sama akan mempunyai permasalahan yang berbeda.
Diperlukan suatu studi yang matang dan mendalam (diagnosis) untuk mengetahui apa
sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh UKM yang akan dibina. Tanpa studi dan
perencanaan yang matang, maka usaha program pengembangan (meski dengan niat

14

yang baik) akan menemui banyak kendala, misalnya : (1) salah sasaran, (2) sia-sia
(mubazir), dan (3) banyak manipulasi dalam implementasinya.

2.5. Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian
Usaha kecil dan menengah (UKM) memegang peranan penting dalam ekonomi
Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi
penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor
Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM),
usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan
jumlah total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar), pada tahun
2000 meliputi 99,9 persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Sedangkan
usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan tahunan yang berkisar
antara Rp. 1 Milyar dan Rp. 50 Milyar) meliputi hanya 0,14 persen dari jumlah total
usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai keseluruhan meliputi 99,9 per sen dari
jumlah total usaha yang bergerak di Indonesia.
Besarnya peran UKM ini mengindikasikan bahwa UKM merupakan sektor
usaha dominan dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan BPS
(2000), pada tahun 1999 usaha-usaha kecil (termasuk usaha rumah tangga)
mempekerjakan 88,7 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia., sedangkan usaha
menengah mempekerjakan sebanyak 10,7

persen.

Ini berarti bahwa

UKM

mempekerjakan sebanyak 99,4 persen dari seluruh angkatan kerja Indonesia. Disamping
ini nilai tambah bruto total yang dihasilkan usaha-usaha kecil secara keseluruhan
meliputi 41,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1999,
sedangkan usaha-usaha menengah secara keseluruhan menghasilkan 17,5 persen dari

15

PDB. Dengan demikian, nilai tambah bruto total yang dihasilkan UKM secara
keseluruhan hampir sebesar 60 persen dari PDB.
Tabel 1. Jumlah tenaga kerja dan kontribusi UKM pada PDB, 1999
Usaha Kecil

Usaha

Usaha Kecil

(termasuk

Menengah

Dan Menengah

Usaha Besar

Total

mikro)
Jumlah

36.761.689

51.889

36.813.588

1831

36.816.409

Usaha

(99.85%)

(0.14%)

(99.99%)

(0.01%)

(100.0%)

16

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kebijakan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah
Sejak lama Pemerintah sudah melakukan pembinaan terhadap usaha kecil dan
menengah. Pembinaan terhadap kelompok usaha ini semenjak kemerdekaan telah
mengalami beberapa perubahan. Dahulu pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah
dipisahkan dengan pembinaan terhadap koperasi. Yang satu dibina oleh Departemen
Perindustrian dan Departemen Perdagangan sedangkan yang lain dibina oleh
Departemen Koperasi. Setelah melalui perubahan beberapa kali maka semenjak
beberapa tahun terakhir pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi
dilakukan satu atap di bawah Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah.
Berdasarkan kepada PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) 2000-2004
ditetapkan program pokok pembinaan usaha kecil dan menengah sebagai berikut:
1. Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif.
Program ini bertujuan untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta
menjamin kepastian usaha dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai
prasyarat untuk berkembangnya UKM. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah
menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala UKM dalam kegiatan ekonomi.
2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan UKM dalam memanfaatkan
kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang
tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya lembaga pendukung untuk

17

meningkatkan akses UKM terhadap sumber daya produktif, seperti SDM, modal,
pasar, teknologi dan informasi.
3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan UKM Berkeunggulan Kompetitif.
Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan
dayasaing UKM. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap
wirausaha dan meningkatnya produktivitas UKM.
Sebelum dilaksanakannya kebijakan Otonomi Daerah pembinaan terhadap usaha
kecil, menengah dan koperasi ditangani langsung oleh jajaran Departemen Koperasi dan
UKM yang berada di daerah. Sedangkan Pemerintah Daerah hanya sekedar
memfasilitasi, kalau tidak boleh dikatakan hanya sebagai penonton. Semua kebijakan
dan pedoman pelaksanaannya merupakan kebijakan yang telah ditetapkan dari Pusat,
sementara aparat di lapangan hanya sebagai pelaksana. Pembinaan yang diberikan
tersebut cenderung dilakukan secara seragam terhadap seluruh Daerah dan lebih bersifat
mobilisasi dibandingkan pemberdayaan terhadap usaha kecil dan menengah.
Dalam upaya penguatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam rangka
Otonomi Daerah, penting kiranya untuk diperhatikan aspek perbaikan kebijakan.
Karena faktor kebijakan sangat menentukan tersedia atau tumbuhnya lingkungan usaha
yang kondusif. Kebijakan didefinisikan sebagai ‘satu set keputusan yang saling terkait
yang diambil oleh seorang atau sekelompok faktor politik tentang suatu tujuan dan cara
mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu, secara prinsip, berada dalam
wilayah kekuasaan aktor-aktor tersebut’.
Di sini kebijakan publik dilihat sebagai proses, bukan sekadar ‘pilihan’, dan
prosesnya meliputi ‘serangkaian keputusan yang saling terkait’, dan rangkaian proses
itu melibatkan berbagai stakeholders.

18

Sedangkan penyusunan kebijakan dimengerti sebagai sebuah rangkaian proses
perumusan sebuah masalah publik sampai pada pengambilan keputusan atas pemilihan
solusi bagi masalah tersebut dan evaluasi atas berhasil tidaknya keputusan tersebut.
Proses ini melalui sebuah siklus sebagai berikut:
Pertama, pembentukan agenda. Adalah tahap ketika sebuah masalah dikenali
dan dirumuskan serta dibawa dari wilayah isu publik menjadi agenda publik secara
formal dan menjadi perhatian pemerintah.
Kedua, Formulasi kebijakan. Adalah tahap perumusan dan identifikasi
berbagai pilihan atau usulan solusi yang mungkin dipilih bagi penyelesian masalah.
Ketiga, pengambilan keputusan. Adalah tahap pemilihan salah satu solusi dan
penetapannya sebagai kebijakan.
Keempat, Implementasi kebijakan. Adalah tahap pelaksanaan pilihan solusi
yang telah ditetapkan.
Kelima, Evaluasi. Adalah tahap untuk menilai efektiftivias, keberhasilan atau
kegagalan, sebuah kebijakan. Alat evaluasi termasuk jajak pendapat, judicial review,
analisis kebijakan oleh pihak ketiga, audit, dan sebagainya.
Hal lain yang tak kalah penting dalam kaitan itu adalah bukan hanya bagaimana sebuah
kebijakan berproses, namun juga pada aspek pengambil kebijakan itu sendiri (aktor
maupun lembaga politik) yang terlibat di dalam proses regulasi tersebut. Dalam hal ini,
faktor kewenangan sebuah lembaga atau institusi negara menjadi signifikan.

19

3.2. Pola Pembinaan UKM dalam Rangka Otonomi Daerah
Era otonomi daerah bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan
usaha kecil dan menengah, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan
dukungan bagi pengembangan UKM tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya terbuka kesempatan
untuk mengembangkan UKM secara optimal di Daerah.
Dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia di
Daerah diharapkan upaya pengembangan UKM akan dapat diwujudkan. Potensi sumber
daya alam yang tersedia di daerah menyediakan bahan baku yang cukup memadai bagi
pengembangan UKM. Sedangkan potensi SDM di daerah menyediakan tenaga kerja
yang secara bertahap dapat ditingkatkan kualitasnya.
Sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan
kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya maka
pembinaan usaha kecil dan menengah harus melibatkan seluruh komponen di Daerah.
Peran

Pemerintah

Daerah

sebagai

pelaksana

kewenangan

penyelenggaraan

pemerintahan Daerah Otonom akan sangat menentukan bagi pembinaan UKM.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap usaha
kecil dan menengah perlu dirumuskan dalam suatu pola pembinaan yang dapat
memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas usaha kecil dan menengah
tersebut. Pola pembinaan tersebut harus memperhatikan kondisi perkembangan
lingkungan strategis yang meliputi perkembangan global, regional dan nasional.
Disamping itu juga pola pembinaan tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman
pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah yang telah dilaksanakan selama ini.

20

Pola pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah yang ditawarkan untuk
meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara lain
adalah :


Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah diatur di
dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang
meliputi: Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif, Program Peningkatan
Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program Pengembangan
Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif secara terpadu dan
berkelanjutan.



Pelaksanaan program-program pengembangan UKM yang disusun dengan
memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing daerah, tuntutan,
aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan daerah.



Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga
keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan pembinaan dan
pengembangan usaha kecil dan menengah.



Pemberdayaan SDM aparatur Pemerintah Daerah agar mampu melaksanakan
proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil dan menengah.



Pengembangan pewilayahan produk unggulan sesuai potensi dan kemampuan
yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil dan menengah dalam rangka
meningkatkan daya saing.



Mensinergikan semua potensi yang ada di daerah untuk meningkatkan
pengembangan usaha kecil dan menengah sehingga mampu memberikan
kontribusi bagi pengembangan implentasi kebijakan Otonomi Daerah.

21



Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka memasuki
era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia Pacific
Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada seluruh kelompok
usaha kecil dan menengah.

Melalui pola pembinaan yang dikembangkan tersebut diharapkan akan didapat
outcomes yang yang bersinergi antara kebijakan pembinaan usaha kecil dan menengah
dengan kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga antara kebijakan Otonomi Daerah dengan
pembinaan usaha kecil dan menengah terdapat simbiosis mutualisma. Implementasi
kebijakan Otonomi Daerah akan menentukan bagi keberhasilan pembinaan usaha kecil,
dan menengah serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan UKM akan mendorong
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.

3.3. Prospek Pengembangan UKM di Era Otonomi Daerah
Sebagaimana diketahui bahwa hambatan bagi pengembangan industri dan
perdagangan di daerah adalah investasi modal dan penguasaan teknologi. Kondisi
stabilitas politik dan keamanan yang kurang kondusif menyebabkan keraguan dan
kecemasan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia . Demikian juga
dengan keterbatasan penguasaan teknologi menyebabkan kualitas produksi belum
memenuhi standar industri internasional.
Menghadapi kondisi tersebut sebenarnya upaya pengembangan industri dan
perdagangan masih mempunyai prospek yang cukup menjanjikan. Dampak krisis
ekonomi yang terjadi belakangan, ternyata terhadap kalangan usaha kecil dan menengah
tidak begitu mengalami pengaruh yang berarti. Jadi dapat disimpulkan sementara bahwa

22

kelompok usaha kecil dan menengah mempunyai pondasi yang cukup kuat untuk
bertahan dalam goncangan krisis ekonomi yang hebat. Dengan demikian kelompok
usaha kecil dan menengah mempunyai prospek yang cukup menjanjikan dalam
pengembangan industri dan perdagangan.
Menghadapi persaingan global di era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trade
Area) , APEC ( Asia Pacific Economic Cooperation) maupun WTO (World Trade
Organization) , prospek pengembangan industri dan perdagangan akan lebih cerah jika
diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Melalui pembinaan
secara intensif dari Pemerintah serta pelibatan seluruh komponen perekonomian
nasional, maka kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi akan menjadi tulang
punggung bagi perekonomian nasional.
Di era Otonomi Daerah sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah
pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada
kelompok usaha kecil dan menengah, karena pada umumnya setiap daerah memiliki
kelompok usaha jenis tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki Daerah tersebut
setiap daerah akan berupaya melakukan pembinaan terhadap kelompok usaha kecil dan
menengah untuk mendukung pengembangan industri dan perdagangan sesuai dengan
kondisi potensi dan kemampuan masing-masing daerah.
Pemberdayaan terhadap kelompok usaha kecil dan menengah juga dapat
dilakukan dalam pengembangan industri pertekstilan. Kemampuan desain dan
penguasaan teknologi industri tekstil yang dimiliki selama ini cukup memadai. Untuk
meningkatkan kapasitas kelompok usaha kecil dan menengah di bidang industri tekstil,
juga diperlukan kerjasama serta alih teknologi dan pengalaman antara kelompok usaha
besar dengan kelompok usaha kecil dan menengah.

23

Usaha skala kecil yang jumlah sesungguhnya kurang dari 10 persen dari total
UKM pun perlu didekati dengan fokus pemberdayaan sebagai upaya (1) Mendorong
survival di tengah persaingan yang pada faktanya sangat ketat dan kurang sehat, (2)
Investasi dan kesediaan menanggung risiko, (3) Penumbuhan kemandirian, (4)
Kemampuan menjangkau dan berkiprah di pasar.
Pada skala usaha menengah, meskipun jumlahnya sedikit, peranannya vital
untuk menjadi jangkar pemberdayaan UKM dan kerja sama kemitraan dengan usaha
besar (UB). Untuk itu, pendekatan pemberdayaan usaha menengah (UM) sangat tepat
fokus pada (1) Peningkatan investasi dan pertumbuhan, (2) Advokasi dan konsultasi, (3)
Mengembangkan pasar ekspor.
Jika kemitraan antara kelompok usaha kecil dan menengah dengan kelompok
usaha besar dapat diwujudkan maka di antara kedua pihak akan dapat ditumbuhkan
simbiosis mualisma dimana terdapat saling ketergantungan diantara kedua belah pihak.
Hal ini akan dapat mendorong percepatan pertumbuhan dan perkembangan kelompok
usaha kecil, menengah dan besar secara simultan.
Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini, pengembangan
kegiatan usaha kecil dan menengah (selanjutnya disebut UKM) dianggap sebagai satu
alternatif penting yang mampu mengurangi beban berat yang dihadapi perekonomian
nasional dan daerah. Argumentasi ekonomi dibelakang ini yakni karena UKM
merupakan kegiatan usaha dominan yang dimiliki bangsa ini. Selain itu pengembangan
kegiatan UKM relatif tidak memerlukan kapital yang besar dan dalam periode krisis
selama ini UKM relatif tahan banting", terutama UKM yang berkaitan dengan kegiatan
usaha pertanian. Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika telah menyebabkan UKM
dalam sektor pertanian dapat mengeruk keuntungan yang relatif besar. Sebaliknya,

24

UKM yang tergantung pada input import mengalami keterpurukan dengan adanya
gejolak depresiasi rupiah ini.
Seperti dikemukakan di atas, berhasil tidaknya pelaksanaan pengembangan
UKM dalam otonomi daerah tidak saja tergantung kepada kemauan kuat aparatur
pemerintahan pusat yang diharapkan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada
aparatur pemerintahan di daerah, melainkan terletak pada keprakarsaan dan
kesungguhan aparatur di daerah sendiri untuk memberi arti dan meningkatkan kualitas
kemandirian daerah itu sendiri. Bahkan, sejatinya kebijakan otonomi daerah itu harus
pula diartikan terletak pada kemandirian, keprakarsaan, dan kreatifitas warga
masyarakat daerah sebagai keseluruhan. Artinya, otonomi daerah itu bermakna ganda,
yaitu otonomi Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat, dan juga otonomi masyarakat
di daerah itu dari Pemerintah Daerahnya. Karena itu, agenda otonomi daerah haruslah
diimbangi dan dibarengi oleh partisipasi dari bawah, baik dalam arti formal oleh
institusi pemerintahan di daerah maupun dalam arti substansial oleh para pelaku
ekonomi dan institusi masyarakat di tingkat lokal.
Dengan menguatnya era desentralisasi, lebih dari 400 pemerintah daerah
mengeluarkan sejumlah aturan usaha yang menghambat pertumbuhan dan gerak usaha.
Sejumlah regulasi telah mengurangi daya saing UKM karena mereka harus
menghabiskan sejumlah uang dan waktu untuk dapat memenuhi regulasi tersebut
daripada menggunakan sumber daya yang terbatas itu untuk aktivitas yang lebih
produktif. Penyederhanaan regulasi mungkin dapat memberikan keuntungan yang lebih
besar bagi UKM.

25

3.4. Pengembangan UKM di Indonesia
Sebagai sebuah sistem, kebijakan dasar pengembangan UKM dipahami sebagai
kebijakan yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan yang merupakan sub-sub
sistem. Sub-sub sistem tersebut bisa dipahami sebagai stakeholders yang masingmasing mempunyai peran dan kepentingan terhadap eksistensi dari UKM. Oleh karena
itu, untuk mendesain kebijakan dasar pengembangan UKM yang komprehensif, pertama
yang harus dilakukan adalah memetakan atau mengidentifikasi kelompok-kelompok
yang terlibat dalam formulasi kebijakan dan yang menjadi target dari kebijakan tersebut
(policy formation and target group). Kelompok-kelompok ini merupakan entitas yang
sudah eksis dan terlibat secara intens dengan urusan UKM.
Dari beberapa kajian lapangan yang dilakukan teridentifikasi beberapa
stakeholders yang secara significant berpengaruh terhadap program pengembangan
SDM UKM; diantaranya: Kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan Dinas
Koperasi dan UKM (dalam beberapa Kabupaten dan Kota masuk dalam dinas
perekonomian), serta balai latihan koperasi dan UKM. Ketiga stakeholders tersebut
mewakili unsur pemerintah (government side). Adapun yang non pemerintah terpetakan
LSM, Dekopin, perguruan tinggi, perbankan maupun non perbankan, paguyuban
koperasi dan UKM.
Secara ringkas peran optimal dan keinginan dari berbagai stakeholders yang
seharusnya dilaksanakan dalam rangka pengembangan SDM UKM adalah sebagai
berikut: pertama, Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM (Meneg KUKM). Sesuai
dengan arah manajemen pengelolaan pemerintahan yang desentralistis fungsi
"mandatory" dari kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM adalah dalam
formulasi kebijakan dasar pengembangan UKM yang mengacu pada dua prinsip:

26

rasionalitas dalam artian sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat pengguna (target
group) dan berkeadilan dalam mendistribusikan nilai-nilai (termasuk di dalamnya
adalah mekanisme yang fair dan transparan dalam pengelolaannya). Untuk mendukung
peran ini maka harus ditopang oleh suatu kajian (research) yang sungguh-sungguh.
Untuk itu diperlukan adanya suatu data yang valid dan representatif, tidak hanya
didasarkan pada asumsi-asumsi yang sering menyesatkan. Keterbatasan rasional
(bounded rationality) yang sering menjadi salah satu ciri kelemahan kebijakan publik
akan dapat dikurangi dengan supply data yang komprehensif dari berbagai sumber.
Kedua, Dinas Koperasi dan UKM pada tiap Kabupaten dan Kota adalah avant
garde (ujung tombak) dalam pembinaan UKM di daerah. Otonomi daerah yang
bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, akan
memberikan amanah yang sangat besar kepada stakeholder ini. Pada saat sekarang dinas
tidak bisa lagi bertumpu pada petunjuk dari instansi di atasnya. Segala sesuatunya
tergantung pada inovasi dan kreatifitas masing-masing dinas di daerah. Dalam
menjalankan fungsi ini, dinas UKM dan koperasi tetap harus berpegangan pada unsur
pemberdayaan masyarakat, pemerintah hanya akan memainkan peran sebagai fasilitator
yang menyediakan informasi yang berkaitan dengan kompetensi inti lokal (local core
competency) yang dapat diolah menjadi produk barang dan jasa dan juga informasi
pasar. Dalam beberapa temu muka dengan anggota UKM ditemukan semacam
keragaman keluhan yakni masih birokratisnya proses untuk mendapatkan jasa ini dan
juga validitas data dan informasi yang sering sudah usang.
Ketiga, Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan. Peran yang dapat dimainkan
oleh perguruan tinggi adalah memfasilitasi dalam pengembangan riset dan SDM untuk
mengembangkan

UKM.

Dengan

demikian

UKM akan

mendapatkan supply

27

pengetahuan yang up-to date untuk pengembangan bisnisnya. Idealnya antara
pemerintah, UKM, dan lembaga pendidikan ada keterkaitan tri partiet. Disini perguruan
tinggi akan berperan dalam pengkajian dan penelitian berbagai hal yang berkaitan
dengan pengembangan UKM, serta mencetak alumni yang dapat dimanfaatkan oleh
UKM.
Keempat, Lembaga Swadaya Masyarakat. Peran LSM adalah berfungsi sebagai
pendamping bagi UKM saat berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti pemerintah,
perbankan maupun sektor swasta lainnya. Selain itu LSM juga bisa berperan dalam
membangkitkan kesadaran sosial dan peranan yang bisa dimainkan olehnya, khususnya
dalam menghadapi pengusaha-pengusaha besar. Sehingga kekhawatiran adanya
eksploitasi sumber daya akan dapat dikurangi.
Kelima, Lembaga Keuangan (bank maupun non-bank). Lembaga keuangan akan
memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan UKM. Berdasarkan
kajian dari berbagai negara menunjukkan bahwa UKM adalah unit usaha yang
memperoleh keistimewaan (privileges) dari pemerintah dalam permodalannya.
Berdasarkan kajian, terlihat bahwa UKM mendapatkan perlakuan yang sama dengan
unit bisnis lainnya, akibatnya dalam pengajuan modal ke perbankan sering menemui
permasalahan.
Keenam, Badan diklat koperasi dan UKM (Balatkop dan UKM). Lembaga diklat
disini dipahami sebagai sistem temporer yang berperan untuk memberikan pengetahuan
dan keahlian dalam UKM. Sebagai sistem temporer lembaga ini berperan dalam
menentukan corak dan kompetensi apa yang akan dihasilkan dari peserta diklatnya.
Tuntutan sekarang yang mengemuka adalah kurikulum yang sesuai dengan local needs.
Selain itu komposisi dari kurikulum juga hendaknya lebih menitikberatkan pada praktek

28

melalui magang ke unit bisnis yang lebih maju. Berdasarkan kajian, permasalahan yang
ditimbulkan dari belum tercapainya tujuan instruksional dari diklat, salah satunya
adalah pola rekrutmen calon peserta diklat yang masih belum selektif dengan
kompetensi yang akan dibangun.
Hal ini yang muncul ke permukaan terkait dengan Otonomi Daerah, kebijakan
pengembangan UKM harus diarahkan pada jiwa dari otonomi yakni untuk menciptakan
kompetensi lokal dalam rangka meningkatkan daya kompetisi. Oleh karena itu
kebijakan yang mengarah pada bentuk-bentuk sentralisasi harus dihindarkan.
Implikasinya dalam mendesain kurikulum dalam diklat harus disesuikan dengan
kebutuhan dan muatan lokal (local needs).
Dari temuan lapangan terdeteksi bahwa peran-peran ideal yang seharusnya
dilaksanakan dari masing-masing stakeholder terhadap UKM belum berjalan secara
optimal dalam suatu tatanan koordinasi yang sinergis. Bahkan fakta dilapangan masih
banyak ditemukan adanya tarik ulur kepentingan antara Dinas Koperasi dan Dekopin,
sebagai stakeholders dominan dalam implementasi kebijakan pengembangan SDM
UKM. Bahkan di beberapa tempat ditemukan konflik yang cukup tajam antara Dekopin
dengan Dinas Koperasi, terutama dalam bidang teknis, seperti pengembangan diklat,
penyaluran subsidi, dan lainnya. Akibatnya muncul banyak duplikasi dan pengulangan
kegiatan dan program. Hal ini menimbulkan sikap apatis dan apriori dari anggota dalam
mendukung program yang diajukan oleh kedua institusi ini. Conflict of interest ini juga
masih terjadi antara LSM dengan pemerintah. LSM masih merasa sering dicurigai oleh
pemerintah. Sebaliknya pemerintah juga masih dicurigai oleh LSM, masih sebagai
mesin dari kekuatan politik. Sikap parokialism jelas berdampak kepada efektifitas dan
efisiensi program pembinaan SDM UKM.

29

Selain itu, dalam masa transisi seperti sekarang ini, masih juga banyak
ditemukan berbagai masalah yang menyangkut penataan kelembagaan instansi pembina
UKM. Sejak diimplementasikannya UU Otonomi Daerah, urusan terkait dengan
pembinaan dan pengembangan UKM menjadi bidang tugas dan kewenangan
pemerintah Kota /Kabupaten. Namun dalam implementasinya penyerahan kewenangan
termasuk pegawainya tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan di beberapa
pemerintah kabupaten/kota. Seringkali pemegang otoritas kebijakan di pemerintah
kabupaten dan kota dalam mengangkat pejabat setingkat kepala dinas atau di bawahnya
adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dan latar belakang
pe