Untitled Document

Karya Ilmiah

PEREMPUAN
DAN
PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA

Oleh :
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2009

KATA PENGANTAR
Partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan sangatlah penting dan
bahkan menentukan. Di dalam GBHN Indonesia disebutkan bahwa partisipasi aktif
segenap lapisan masyarakat dalam pembangunan harus makin meluas dan merata.
Adanya keiikutsertaan masyarakat di dalam setiap tahapan pembangunan diharapkan
akan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan pada prinsipnya harus memberikan keadilan dan kemakmuran

kepada semua masyarakat, kepada laki-laki maupun perempuan, kepada yang kaya
maupun yang miskin, tanpa adanya ketimpangan relasi Gender yang berbasis kekuasaan
seperti yang masih terus berlangsung saat ini. Hal ini terlihat dari minimnya akses
perempuan pada kegiatan-kegiatan produktif dan terus menerus dibebankan untuk
melakukan kegiatan reproduktif. Hal ini berdampak pada semakin kecilnya peran dan
fungsi perempuan dalam pelaksanaan pembangunan sehingga kualitas hidup perempuan
tidak menjadi lebih baik dan jumlah perempuan miskin semakin bertambah. Oleh sebab
itu penulis berusaha melihat dan mengulas peranan dan posisi perempuan dalam
pembangunan nasional Indonesia dilihat dari perspektif gender.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga
menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya.
Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.
Medan, Agustus 2009
Penulis

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.
i

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii

BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang

1


1.2. Tujuan Penulisan

5

PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN

6

2.1. Konsep Perempuan dan Pembangunan dalam
Perspektif Gender
2.2. Konsep Pemberdayaan Perempuan

6
13

2.2.1. Perempuan dalam Pembangunan
(Women in Development)

14


2.2.2 Gender dan Pembangunan
(Gender and Development)

BAB III

15

2.3. Perempuan dan Kerja

16

2.4. Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia

18

PEMBAHASAN

22


3.1. Gender Dalam Pembangunan

24

3.2. Aspek Legal Perempuan Dalam Pembangunan

30

3.3. Situasi Yang Dihadapi

33

3.4. Komitmen Pemerintah

36

ii

BAB IV


KESIMPULAN DAN SARAN

38

4.1. Kesimpulan

38

4.2. Saran

39

DAFTAR PUSTAKA

41

iii

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Tidak dapat disangkal lagi bahwa partisipasi masyarakat di dalam kegiatan
pembangunan sangatlah penting dan bahkan menentukan. Menurut Ginanjar
Kartasasmita

(1955)

"pembangunan

memang

dapat

juga

berjalan

dengan


mengandalkan kekuatan yang ada pada pemerintah ....... namun hasilnya tidak akan
sama jika dibandingkan dengan pembangunan yang mendapat dukungan dan
partisipasi rakyat”. Karena partisipasi masyarakat tersebut sangat penting, Di dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Indonesia disebutkan bahwa partisipasi aktif
segenap lapisan masyarakat dalam pembangunan harus makin meluas dan merata.
Adapun pengertian partisipasi disini diwujudkan dalam memikul beban, tanggungjawab
dalam pelaksanaan dan menerima kembali hasil-hasil pembangunan. Meskipun istilah
partisipasi sudah menjadi jargon politik yang pewujudannya dalam proses
pembangunan ini diinginkan oleh semua orang, tapi sebagai istilah, perkataan partisipasi
belum mendapatkan batasan pengertian yang jelas.
Adanya keiikutsertaan masyarakat di dalam setiap tahapan pembangunan, sering
dikaitkan dengan upaya menumbuhkan rasa memiliki ("sense of ownership" atau
"sense of belonging") terhadap sarana atau prasarana yang dibangun. Dengan adanya
rasa memiliki ini pada gilirannya akan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan
(sustainability).
Pembangunan pada prinsipnya harus memberikan keadilan dan kemakmuran
kepada semua masyarakat, kepada laki-laki maupun perempuan, kepada yang kaya

1


maupun yang miskin. Fakta yang ada sekarang justru pembangunan semakin
mempertajam kesenjangan keadilan sosial antara masyarakat miskin dengan masyarakat
yang kaya, antara perempuan dengan laki-laki, antara kelompok yang berkuasa dengan
kelompok masyarakat biasa. Hal ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat miskin
yang ada di Indonesia. Minimnya akses perempuan pada kegiatan-kegiatan produktif
dan terus menerus dibebankan untuk melakukan kegiatan reproduktif membuat
perempuan semakin miskin dan semakin terpuruk.
Masyarakat dan pemerintah belum menyadari bahwa ada ketimpangan relasi
Gender yang berbasis kekuasaan yang berlangsung seperti ini. Hal ini berdampak pada
semakin kecilnya peran dan fungsi perempuan dalam pelaksanaan pembangunan
sehingga kualitas hidup perempuan tidak menjadi lebih baik dan jumlah perempuan
miskin semakin bertambah.
Berdasarkan data BPS pada Indonesia dalam Angka 2007 diperoleh jumlah
penduduk Propinsi Sumatera Utara sekitar 12,64 juta jiwa. Dari jumlah tersebut,
proporsi penduduk laki-laki dan perempuan hampir berimbang, yaitu 49,98 persen
perempuan dan sisanya 50,02 persen laki-laki. Dengan jumlah penduduk yang besar dan
proporsi penduduk menurut jenis kelamin yang berimbang, maka bila diikuti dengan
kualitas dan kemampuan yang baik antara laki-laki dan perempuan, akan menjadi
potensi pembangunan yang sangat besar.
Namun kenyataan sebaliknya terjadi dimana perempuan sering mengalami

ketidakberuntungan dalam pembangunan. Perempuan menjadi kelompok masyarakat
yang termarginalkan baik dibidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan,
kedudukan, hak, peranan dan kesempatan serta kurangnya dukungan iklim sosial
budaya terhadap kemajuan perempuan yang bersumber pada pandangan tradisional

2

dan budaya masyarakat. Dengan kata lain secara relatif kaum perempuan masih serba
ketinggalan dari pada laki-laki terutama dalam menghadapi tuntutan kemajuan dan
pembangunan masa kini dan masa mendatang.
Salah satu indikator yang digunakan untuk menunjukkan apakah perempuan
dapat secara aktif berperan serta dalam kehidupan ekonomi dan politik digunakan
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) atau Gender Empowerment Measure (GEM). IDG
menitikberatkan pada partisipasi, dengan cara mengukur ketimpangan gender di bidang
ekonomi, partisipasi politik dan pengambilan keputusan. Indeks ini mengukur
persentase perempuan di parlemen, persentase perempuan diantara tenaga profesional,
teknisi, pegawai dan manajer, serta persentase perempuan dibandingkan laki-laki dalam
ketenagakerjaan.
Sampai dengan tahun 2002, IDG di Indonesia baru mencapai 54,6. Artinya,
banyaknya perempuan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan serta

sumbangan perempuan dalam perolehan pendapatan masih sangat rendah, bahkan bila
dibandingkan keadaan pada tahun 1996 pencapaian IDG mengalami penurunan.
Data Susenas 2003 menunjukkan bahwa, penduduk perempuan usia 10 tahun ke
atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki
(11,56 persen berbanding 5,43 persen). Penduduk perempuan yang buta huruf sekitar
12,28 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta huruf sekitar 5,84 persen. Pada
tahun 2000, angka kematian ibu melahirkan masih tertinggi di ASEAN, yaitu 307 per
100.000 kelahiran hidup. Prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil juga masih tinggi
yaitu sekitar 50,9 persen Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001. Berdasarkan
Susenas 2003, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif
rendah yaitu 44,81 persen, dibandingkan dengan laki-laki (76,12 persen). Di bidang

3

politik,

meskipun

Undang-undang

Nomor

12

Tahun

2003

tentang

Pemilu

mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan di lembaga legislatif, namun hasil
Pemilu 2004 masih menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif, yaitu keterwakilan perempuan di DPR hanya 11,6 persen dan di DPD hanya
19,8 persen (data Komisi Pemilihan Umum). Pada tahun 2003, rendahnya keterlibatan
perempuan dalam jabatan publik juga dapat dilihat dari rendahnya persentase
perempuan PNS yang menjabat sebagai Eselon I, II, dan III (12 persen). Sementara itu,
peran perempuan di lembaga judikatif juga masih rendah, yaitu masing-masing sebesar
16,2 persen dan 3,4 persen sebagai hakim di Peradilan Umum dan di Peradilan Tata
Usaha Negara, serta 17 persen sebagai Hakim Agung pada tahun 2000 (data Badan
Kepegawaian Negara, 2003)
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, maka perempuan perlu ditingkatkan kualitas
dan kemandiriannya sehingga perempuan dapat menjadi mitra sejajar laki-laki yang
harmonis yang tidak saja berperan dalam keluarga tetapi juga dalam pembangunan
bangsa secara keseluruhan. Dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan yang semakin
dilandaskan pada kapasitas sumberdaya manusia, maka pembinaan sumberdaya
manusia perempuan sudah menjadi keharusan seiring dengan perkembangan kemajuan
secara global.

4

1.2. Tujuan Penulisan
Uraian tersebut di atas adalah salah satu bentuk dari upaya pemberdayaan kaum
perempuan di Indonesia, agar lebih kritis dan tanggap terhadap hak dan kewajibannya
baik di rumah tangga maupun di tempat kerja. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan
ini adalah untuk mengetahui dan memahami sejauh mana peranan dan hambatan yang
diperoleh kaum perempuan dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia dilihat dari
perspektif gender, serta bagaimana upaya untuk mengatasinya.

5

BAB II
PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN
Pembangunan pemberdayaan perempuan telah dilaksanakan lebih dari dua
dasawarsa, hasilnya terlihat adanya peningkatan peran dan kedudukan perempuan di
berbagai bidang kehidupan. Namun, peningkatan tersebut masih belum sebagaimana
diharapkan yaitu terwujudnya keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
dalam hak dan kesempatan berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan.
Perempuan masih tertinggal di berbagai bidang dibanding laki-laki.
Kebijakan publik sering diformulasikan dengan mengasumsikan peran
perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga, sehingga mengurangi hak dan kesempatan
perempuan

yang

akhirnya

mengukuhkan

bentuk-bentuk

ketidaksetaraan

dan

ketidakadilan Gender di segala bidang pembangunan. Untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan Gender, harus dilakukan upaya pemberdayaan perempuan guna
peningkatan peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan di semua tahapan
pembangunan serta penguatan kelembagaan instansi pemerintah untuk melakukan
pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan.
Pada kenyataannya, kualitas hidup perempuan dalam beberapa bidang
pembangunan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Ketertinggalan
perempuan tersebut antara lain pada bidang pendidikan, kesehatan, partisipasi di sektor
publik (ekonomi dan ketenagakerjaan), termasuk keterwakilan perempuan dalam
pengambilan keputusan baik di lembaga politik (legislatif), lembaga pemerintahan
(eksekutif), dan lembaga penegak hukum (yudikatif), termasuk di lembaga pendidikan
(perguruan tinggi) yang dianggap banyak pihak paling sesuai untuk perempuan. Padahal
beberapa landasan hukum seperti Pasal 27 dan 28 UUD 1945, UU No. 7 tahun 1984
6

tentang Ratifikasi CEDAW, UU No. 43 tahun 1998 tentang PNS, UU No. 12 tahun
2003 tentang Pemilu, telah memberikan jaminan atas partisipasi yang setara antara lakilaki dan perempuan dalam pemerintahan dan hukum.
Meskipun angka partisipasi sekolah (APS) penduduk terus mengalami
peningkatan, tetapi APS perempuan terutama pada pendidikan tinggi lebih kecil
dibandingkan laki-laki. Dalam bidang ketenagakerjaan, partisipasi perempuan dalam
angkatan kerja masih sekitar separuh dari laki-laki.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Propenas, UU No. 25 Tahun 2000,
Inpres No. 9 Tahun 2000 dan sebagainya, menyatakan bahwa pembangunan nasional
harus berperspektif gender, sebagai upaya konkrit untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pemberdayaan perempuan guna
meningkatkan kondisi dan posisi perempuan yang setara dengan laki-laki.

2.1. Konsep Perempuan dan Pembangunan dalam Perspektif Gender
Langkah pertama yang perlu dipahami dalam membahas peran perempuan
dalam pembangunan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep
gender. Hal ini sangat esensial dalam menganalisis persoalan-persoalan ketidakadilan
sosial yang menimpa perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan gender (gender
differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam struktur masyarakat.

Seks atau Jenis Kelamin
Adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Secara biologis lakilaki mempunyai ciri: memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma. Sedangkan

7

perempuan mempunyai alat reproduksi: rahim, sel telur, vagina, dan alat untuk
menyusui. Perbedaan ini bersifat permanen atau sering dikatakan sebagai kodrat.

Gender
Adalah hak dan kewajiban, kedudukan, tanggung jawab, serta peran laki-laki
maupun perempuan dalam suatu masyarakat yang terjadi akibat konstruksi sosial
maupun budaya dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
tersebut.

Kesetaraan dan Keadilan Gender
Adalah suatu kondisi yang adil (equity) dan setara (equality) dalam hak,
kesempatan dan hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan, dengan kondisi
saling mendukung/ melengkapi dan saling menghormati/ menghargai.

Pengarusutamaan Gender
Adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan
pengintegrasian masalah, hambatan, aspirasi dan kondisi laki-laki dan perempuan ke
dalam proses pembangunan, mulai dari tahap perumusan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, sampai dengan pengawasan dan evaluasi; guna memastikan laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai akses terhadap partisipasi dalam, kontrol atas dan
memanfaatkan dari pembangunan.

8

Pemberdayaan Perempuan
Adalah usaha sistematis dan terencana untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender dalam kehidupan berkeluarga bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Gender merupakan konsep yang sangat berbeda dengan sex (jenis kelamin).
Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin hanya menunjuk pada
perbedaan biologis semata. Perbedaan secara biologis ini tidak dapat memasukkan
dinamika sosial budaya yang sangat bervariasi antar struktur sosial masyarakat. Konsep
gender berusaha menjawab hal ini. Gender merupakan pembedaan laki-laki dan
perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan
perempuan serta pola perilaku dan kegiatan yang menyertainya. Pengertian gender ini
memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat
untuk turut mempengaruhi pembedaan peran laki-laki dan perempuan.
Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis
antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi sosial
gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa dinamikanya,
namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai konsekuensi
wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang
berbeda. Untuk merubah perilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini merupakan
suatu hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu sosial
menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari
perbedaan biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial dan budaya
telah turut mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

9

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak dapat secara
normal/alamiah terjadi. Tetapi karakteristik yang dimiliki, peran dan tanggung jawab
yang dibebankan pada mereka bisa berbeda-beda dari suatu masyarakat, budaya, dan
periode historis.
“Peran gender” (gender roles) merupakan aktivitas yang dibebankan kepada
perempuan dan laki-laki atas dasar pembedaan yang diterimanya. Selama ini, dalam
masyarakat, peran, tugas dan pembagian kerja laki-laki dan perempuan diterapkan
secara ketat atas dasar karakteristik gender dan atribut-atributnya, dan bukan atas dasar
kemampuan dan keterampilan. Misalnya, peran laki-laki:


peran produktif dan pengembangan masyarakat



laki-laki bekerja di wilayah “alat-alat berat, mengorganisasi massa, menyusun
strategi ” sedangkan perempuan di wilayah “berhitung, di balik meja, atau
berhadapan dengan klien”.



laki-laki umumnya tidak terlibat dalam urusan domestik dan rumah tangga.
Waktu luang mereka digunakan untuk terlibat dalam arena politik, kelompok
hobi, memimpin masyarakat.
Peran

perempuan,

dijabarkan

sebagai

peran

produktif,

reproduktif,

pengembangan masyarakat, menunjukkan peran berganda perempuan. Sayangnya,
peran tersebut tidak dinilai setara dengan peran yang dilakukan oleh laki-laki, tidak
diakui kontribusinya dan tidak diperhitungkan karena dianggap tidak menghasilkan
pendapatan. Pada taraf tertentu tiadanya pengakuan yang setara tersebut menyebabkan
ketidakadilan gender, baik dalam bentuk subordinasi, diskriminasi, marginalisasi, dan
kekerasan.

10

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa selain fungsi reproduksi (haid, hamil,
melahirkan, dan menyusui) yang merupakan hak prerogatif perempuan sebagai karunia
Tuhan YME, perempuan dan laki-laki secara sosial mempunyai potensi peran yang
sama. Konsep pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dilihat dari perspektif
gender berangkat dari ide kesetaraan bukan dominasi.
Dalam implementasinya, terjadi kerancuan dalam memahami gender dan seks.
Hal ini terjadi karena sifat, peran, kedudukan yang ada pada jenis kelamin tertentu
terjadi akibat proses sosial yang panjang, sehingga sering dianggap sebagai kodrat yang
tidak dapat dipertukarkan dari laki-laki ke perempuan, atau sebaliknya. Misalnya,
mendidik dan merawat anak, menjaga kebersihan rumah, dan memasak seolah-olah
menjadi kodrat perempuan. Sedangkan laki-laki harus kuat secara fisik agar bisa
melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan dianggap lebih kuat dari perempuan. Padahal
kegiatan-kegiatan tersebut juga dapat dipertukarkan.
Perbedaan-perbedaan gender ini tidak menjadi masalah selama tidak merugikan
salah satu pihak. Akan tetapi seringkali perbedaan ini menimbulkan ketidakadilan
gender, seperti: marginalisasi, subordinasi, steriotipe dan kekerasan, serta bias gender
dalam program pembangunan. Contohnya adalah program Revolusi Hijau yang
menyebabkan perempuan termarginalisasi, karena dengan menanam padi varietas baru
berumur pendek, banyak kegiatan yang biasa dilakukan oleh perempuan digantikan
dengan alat yang dioperasikan oleh laki-laki, misalnya panen (dulu dengan ani-ani
sekarang dengan sabit). Akibatnya, perempuan kehilangan pekerjaan yang pada
akhirnya kehilangan pendapatan.

11

Dengan Analisis Gender, maka ketidakadilan gender dapat diuraikan agar
struktur dan relasi yang tidak seimbang tersebut dapat diperbaiki, karena analisis gender
membantu :


menyingkap perbedaan di antara perempuan dan laki-laki, dan perbedaan
“identitas” dari kelompok-kelompok gender yang beragam (berkaitan dengan,
misalnya, kelas, ras, etnis, usia, kemampuan dan orientasi seksual)



melihat masalah tidak dalam isolasi (ruang vakum) tanpa mengaitkannya dengan
konteks sejarah, politik, sosial, maupun ekonomi.



menganalisis bagaimana perbedaan ini telah membawa ketidaksetaraan /
ketidakadilan, terutama bagi perempuan.

Tiga teori mengenai gender meliputi :
1. Teori Nurture
Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah
hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.
Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas
yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan. Perjuangan
untuk persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar
persamaan dengan konsep sama rata, konsep ini kemudian dikenal dengan istilah perfect
equality. Perjuangan tersebut sulit tercapai karena berbagai hambatan dari nilai agama
dan budaya.
2. Teori Nature
Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang
harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan

12

tugas diantara keduanya. tedapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada
pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah.
Perjuangan kelas tidak akan pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia
memerlukan kerjasama dan kemitraan secara struktural dan fungsional. Dalam
kehidupan sosial terdapat pembagian tugas sehingga teori ini melahirkan pemikiran
struktural fungsional yang menerima perbedaan peran asal dilakukan secara demokratis
dan dilandasi oleh kesepakatan bersama.
3. Teori Keseimbangan
Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori yang berusaha
memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan
dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak mempertentangkan
antara laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis
antara keduanya.
Gender merupakan konsepsi yang diakui sebagai penyebab ketimpangan
hubungan antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berada pada status yang
lebih rendah. Di Indonesia pendekatan gender telah diambil untuk peningkatan status
perempuan melalui peningkatan peran dalam pembangunan. Peran perempuan menjadi
satu topik diskusi yang sangat menarik karena selama ini peran perempuan di dalam
pembangunan masih dapat dikategorikan terbelakang.

2.2. Konsep Pemberdayaan Perempuan
Secara umum pemberdayaan perempuan didefinisikan sebagai upaya
peningkatan kemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap
sumberdaya, ekonomi, politik, sosial dan budaya agar perempuan dapat mengatur diri

13

dan meningkatkan rasa percaya diri untuk berperan dan berpartisipasi aktif dalam
memecahkan permasalahan sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep
diri.
Selama ini cukup banyak konsep-konsep pemberdayaan perempuan yang
diajukan,

diantaranya

adalah

Perempuan

dalam

pembangunan

(Women

in

Development), Gender dan Pembangunan (Gender and Development).

2.2.1. Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development)
Strategi ini merupakan strategi yang tertua yang dinamakan strategi
“meningkatkan peranan perempuan” atau melibatkan kaum perempuan dalam
pembangunan. Strategi ini menjadi strategi dominan di tahun 1970-an. Setelah PBB
menetapkan dekade pertama pembangunan perempuan. Sejak saat itulah hampir
semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan
Perempuan

dengan

fokus

utama

meningkatkan

peranan

perempuan

dalam

pembangunan. Fokusnya adalah perempuan dengan asumsi permasalahan kaum
perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan dan hal
tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum lelaki dalam
masyarakat termasuk dalam pembangunan.
Pada tahun 1980-an pemerintahan dunia ketiga, melalui dukungan dan tekanan
negara dan lembaga dari Utara, mendesakkan pentingnya memasukkan peran
perempuan dalam pembangunan. Sebagai reaksi selanjutnya banyak perencanaan
pembangunan

tidak

saja

memanfaatkan

perempuan

untuk

mengefektifkan

pembangunan, namun juga meletakkan perempuan sebagai target pembangunan.
Gagasan ini telah melahirkan diskursus baru dalam teori dan kebijakan pembangunan

14

yang dikenal Women in Development atau yang lebih dikenal dengan WID. Jenis-jenis
kegiatan atau program/proyek dengan strategi ini adalah “Pengentasan Kemiskinan”
(Anty Poverty). Dasar pemikirannya perempuan miskin karena mereka kurang
sumberdaya atau ataupun tidak produktif, oleh karena itu perlu diciptakan “proyek
peningkatan pendapatan”. Dengan demikian, apa yang dikerjakan perempuan di sektor
“reproduksi dan segenap pekerjaan “domestik” tidak dinilai. Akibat dari persoalan ini,
proyek yang dikembangkan justru dapat menambah beban kerja kaum perempuan.
Paham analisis yang lain adalah “pendekatan efisiensi” yakni pemikiran bahwa
pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan. Dengan
perkataan lain pelibatan perempuan itu sendiri demi efisiensi pembangunan. Dengan
paham ini pula peran gender perempuan di sektor produksi dan reproduksi tidak
dihargai. Analisis ini tidak membebaskan dan mengemansipasi kaum perempuan,
melainkan justru menggunakan perempuan untuk tujuan pembangunan.
Kedua analisis tersebut lebih berorientasi pada kebutuhan praktis semata
dengan faham liberal feminisme yakni kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi
setiap individual.

2.2.2 Gender dan Pembangunan (Gender and Development)
Strategi ini muncul sebagai kritik dan reaksi dari strategi yang berfokus kepada
perempuan (Women in Development) karena asumsinya peningkatan peran publik
akan meningkatkan status kaum perempuan. Padahal dalam kenyataannya malah
menimbulkan beban ganda , karena mereka tetap berposisi subordinatif. Oleh karena
itu strategi kedua ini lebih memfokuskan pada sistem struktur, ideologi, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat yang melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang

15

bersumber pada keyakinan gender. Bagi strategi kedua ini letak persoalannya
bukanlah kaum perempuan seperti diasumsikan semula, akan tetapi letak
pesoalannnya ditujukan kepada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi
dan ketidakadilan gender.
Dengan demikian yang menjadi agenda utama perjuangan perspektif ini tidak
hanya sekedar menjawab kebutuhan praktis untuk merubah kondisi perempuan,
melainkan

juga

menjawab

kebutuhan

strategis

kaum

perempuan,

yakni

memperjuangkan perubahan posisi perempuan. Bentuk kegiatan dengan starategi ini
adalah dengan adanya ratifikasi atau pembuatan kebijakan-kebijakan yang
meningkatkan posisi perempuan. Dalam kata lain konsep ini menggunakan
pendekatan dimana perempuan dan laki-laki tidak lagi dilecehkan dan memikul beban
yang berlebihan, melainkan perempuan dan laki-laki secara bersama-sama menjadi
subyek dan sekaligus obyek pembangunan.
2.3. Perempuan dan Kerja
Kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kerja produktif dan kerja
reproduktif. Perempuan selama ini diidentikkan dengan kerja reproduktif. Kerja
reproduktif merupakan kerja yang berhubungan dengan kegiatan rumah tangga serta
tidak menghasilkan pendapatan bagi keluarga. Pada masyarakat dengan basis pertanian,
perempuan terlibat dalam pekerjaan produktif seperti mengelola lahan dan ternak.
Selain itu, perempuan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan reproduktif
seperti mengasuh anak, memasak, mencuci dan sebagainya. Hal ini bertolak belakang
dengan laki-laki yang hanya melaksanakan kerja produktif dan tidak memiliki tanggung
jawab untuk melakukan pekerjaan reproduktif.

16

Penetrasi kapitalis yang ditandai dengan munculnya industri serta transformasi
pertanian yang merubah pertanian subsistensi atau semi-subsistensi menuju pertanian
berorientasi bisnis telah menyebabkan perubahan dalam pola relasi gender. Kerja yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan direlokasi dari kebutuhan keluarga atau rumah
tangga menjadi kebutuhan untuk pemenuhan pasar. Modal produksi kapitalis didasarkan
pada tiga bentuk transformasi sosial ekonomi, yaitu :
1. Pemisahan antara produsen dari alat produksi dan subsistensi.
2. Munculnya formasi kelas sosial yang menguasai alat produksi, yang dikenal
sebagai kelas kapitalis atau borjuis.
3. Komoditisasi tenaga kerja.
Komoditisasi tenaga kerja ini kemudian melahirkan adanya kelas pekerja atau proletar.
Kelas ini dicirikan oleh ketidakadaan akses terhadap alat produksi serta sehingga untuk
bertahan hidup, kelas ini harus menjual tenaganya kepada kaum pemilik alat produksi.
Kapitalisme menyebabkan tenaga kerja menjadi sebuah komoditas yang diperjual
belikan seperti halnya dengan komoditas lainnya. Nilai tenaga kerja dicerminkan dari
upah yang didapatkan.
Posisi perempuan dalam ekonomi dijelaskan oleh relasi antara perkembangan
produksi kapitalis melalui pertentangan antara kapitalis dan pekerja serta antara laki-laki
dan perempuan. Posisi perempuan pada masyarakat modern kapitalis dicirikan oleh:
1. Perempuan didentikkan dengan kerja rumah tangga yang dalam kehidupan
sehari-hari kerja ini tidak diberikan imbalan nilai.
2. Perempuan merasa sebagai tenaga kerja sekunder dalam bidang produktif.
3. Partisipasi perempuan terbatas pada kerja produktif sosial.

17

4. Konsentrasi perempuan dalam sektor ekonomi utama dan level utama tenaga
kerja.
5. Upah perempuan yang relatif lebih rendah.
6. Posisi perempuan pada kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis.

2.4. Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia
Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan terjadinya
pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan

yang didasarkan kepada doktrin

pertumbuhan “leading-sectors” telah membuat hancur banyak industri kecil. Mulai
jaman Orde Baru sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental membaluti
proses pembangunan. Jika kita klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam
pembangunan desa sejauh ini.
Pertama, pembangunan yang dibimbing langsung oleh negara. Sebagai aktor
utama, negara telah melancarkan pembangunan dan pemberdayaan melalui skema
“pembangunan nasional” dan “pembangunan daerah”, sebagai “master plan” yang
direncanakan secara sentralistik (terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan
prosedur birokrasi) dan teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat
(dalam katagori kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya
diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara, dengan
demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan, regulasi, informasi dan
dana untuk memobilisasi agenda kegiatan pembangunan.
Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi warga
masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi dirinya masingmasing

tanpa

digerakkan

secara

langsung

oleh

negara.

Ada

warga

yang

18

mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang berdagang, ada yang
membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah, ada yang merantau ke kota,
dan seterusnya. Banyak warga masyarakat yang sukses mendongkrak mobilitas sosial,
karena usaha mereka sendiri atau karena memanfaatkan dampak positif pembangunan
yang digerakkan negara. Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar, misalnya,
memungkinkan warga bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilir-mudik ke kota
dengan lancar dan mudah.
Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari
sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut
pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan
basis “otonomi asli”, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks
pembangunan di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan
komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial, yang dikombinasikan
dengan bantuan dari pemerintah.
Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut kapitalisasi
atau industrialisasi. Negara memang memberikan lisensi dan akses permodalan kepada
para pengusaha (pemilik modal), baik nasional maupun internasional, untuk
melancarkan industrialisasi. Memang ada industrialisasi yang berskala lokal-kecil yang
digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya konveksi, keramik tanah,
kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan masih banyak lagi. Model
industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang padat modal, yang sering dikatakan
sebagai kekuatan penyangga ekonomi rakyat. Tetapi yang lebih krusial untuk kita
cermati adalah industri padat modal berskala besar yang betul-betul melakukan
eksploitasi terhadap tanah maupun sumberdaya alam.

19

Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan politik
yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru
bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi),
melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi,
birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan
masyarakat dan menciptakan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin
Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan
bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan
pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi politik.
Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang ditopang
dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan
kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas,
industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah,
penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah
menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, marginalisasi kaum lemah dan perempuan,
pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Banyak industrialisasi yang berjalan mulus,
tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi yang menghadapi perlawanan dari masyarakat
setempat, sehingga industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi
masyarakat khususnya bagi kaum perempuan.
Secara umum pembangunan dan industrialisasi memang telah menciptakan
mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga. Mobilitas sosial bisa kita ukur dari
indikator perubahan wajah fisik, perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat
pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi

20

penduduk, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil,
telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan sebagainya.
Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi
yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan. Ketimpangan jauh lebih
besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh
pembangunan. Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan
ekonomi dan industrialisasi yang ditopang oleh rekayasa politik lebih banyak
menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi sehingga belum mengarah
pada kesejahteraan dan keadilan.

21

BAB III
PEMBAHASAN

Semua bentuk keterlibatan dan pelibatan perempuan Indonesia di dalam
keseluruhan kehidupan perjuangan bangsa dan negara merupakan petunjuk bahwa kaum
Perempuan di Indonesia pada dasarnya sejak dulu sudah merupakan bagian dan
pembangunan nasional, bangsa dan negara. Dengan demikian, pertumbuhan
pembangunan nasional tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perempuan sebagai asset
pembangunan dan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki keluhuran harkat dan
martabat seperti halnya pria.
Pembangunan nasional Indonesia merupakan rangkaian upaya pembanguan
yang berkesinambungan dan meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara di dalam mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan
Undang- Undang Dasar (UUD) 1945.
Peningkatan peran perempuan dalam pembangunan bangsa pada hakekatnya
adalah upaya meningkatkan kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian dan
ketahanan mental serta spritual perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan sebagai suatu
kegiatan pengubahan berencana dan direncanakan memiliki tujuan untuk mengadakan
perubahan perilaku (kondisi, afeksi dan ketrampilan) positif dari khalayak sasaran
pembangunan yang diharapkan dan dirancang untuk dapat menghasilkan kemanfaatan
bagi orang banyak, yaitu masyarakat secara keseluruhan.
Fakta empiris menunjukkan bahwa perempuan di berbagai belahan dunia,
termasuk di Indonesia, mengalami ketertinggalan diberbagai bidang pembangunan dan

22

kehidupan. Ketertinggalan perempuan sebagai populasi terbesar dari penduduk dalam
berbagai aspek pembangunan sangatlah jelas akan membawa dampak yang tidak
menguntungkan bagi keseluruhan pembangunan, jika tidak diperbaiki. Karena itulah
peningkatan peran perempuan dalam pembangunan merupakan kesepakatan dunia yang
dimulai pada tahun dekade perempuan sebagai tonggak pertama pencanangan peranan
perempuan untuk kemanfaatan pembangunan.
Berbagai pendekatan pembangunan yang dipergunakan untuk meningkatkan
peran perempuan dalam pembangunan menunjukan bahwa pendekatan pembangunan
yang diwujudkan hanya pada perempuan atau hanya pada pria akan mempunyai
dampak yang sangat terbatas. Karena itu, kebijakan proyek-proyek pembangunan
dialihkan ke arah pendekatan gender yang bertujuan untuk mewujudkan pengintegrasian
perempuan dan pria dalam semua sektor pembangunan sesuai dengan potensi serta
kebutuhan masing-masing.
Terminologi pembangunan berwawasan gender mengandung pengertian bahwa
pembangunan nasional memiliki keperdulian dan kepekaan terhadap adanya gender
yang

merugikan

pembangunan

pembangunan

terhadap

karena

perempuan

adanya

dibanding

ketidakseimbangan
pria.

perhatian

Ketidakseimbangan

atau

kesenjangan pembangunan pada pria dan perempuan dapat melalui kemitrasejajaran
yang harmonis antara pria dan perempuan dalam pembangunan. Untuk merealisasikan
hal ini diperlukan adanya perubahan atau modifikasi nilai-nilai keberperanan
berdasarkan relasi pria perempuan (gender) yang disesuaikan dengan perubahan sosial
budaya yang akan terjadi di dalam masyarakat keseluruhan dengan adanya pola relasi
hubungan gender.

23

Namun dalam kenyataan belum sepenuhnya dapat diwujudkan karena ternyata
masih banyak praktek diskriminasi terselubung atau ketidaksetaraan tindakan terhadap
peran gender, baik disektor domestik atau publik yang khusus menimpa perempuan.
Ketidaksetaraan gender ini terjadi sebagai akibat ketidakpahaman dan ketidakpekaan
gender (Gender blind) yang diakibatkan oleh kegagalan besar masyarakat atau penentu
kebijakan didalam memahami relasi gender dalam pembangunan sebagai suatu kunci
penentu terhadap pilihan-pilihan yang tersedia baik untuk pria maupun di dalam
berpartisipasi untuk pembangunan.

3.1. Gender Dalam Pembangunan
Peran perempuan Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara, banyak
mengalami pasang surut seiring dengan situasi dan perkembangan keadaan. Pada masa
revolusi fisik maupun di awal-awal kemerdekaan, kaum perampuan di Indonesia
mempunyai peran dan porsi yang cukup signifikan, baik dalam usaha meraih
kemerdekaan maupun mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Bukti-bukti sejarah maupun cerita tantang sejarah ( The tale
of history) banyak bercerita bagaimana perjuangan dan keteguhan kaum perempuan
Indonesia dalam membantu para pejuang untuk mengusir para penjajah. Mereka ada di
posko-posko kesehatan maupun di dapur-dapur umum, untuk mendukung setiap
pergerakan dari para pejuang kita. Mereka telah memberikan semangat dan inspirasi
tersendiri para pejuang dalam usaha ikut aktif mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Begitu pula dimasa awal-awal pembangunan di era tahun 70-an. Terlepas dari
kepentingan politik tertentu, kaum perempuan di Indonesia telah terlibat secara aktif dan
positif dalam menggerakkan roda-roda pembangunan sebagaimana tercermin dalam

24

berbagai bentuk perkumpulan, seperti Dharma Wanita, PERWARI (Persatuan Wanita
Republik Indonesia), di pos-pos Yandu maupun di lingkungan ibu-ibu PKK di seluruh
tanah air.
Dimasa reformasi seperti sekarang ini, kaum perempuan di Indonesia seolaholah telah mendapatkan energi baru yang jauh lebih besar, dimana peran dan fungsi
mereka di tengah-tengah masyarakat menjadi semakin terbuka lebar.
Kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan kualitas perempuan diupayakan melalui
program

pemberdayaan

perempuan

yang

pada

dasarnya

diarahkan

untuk

mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri perempuan
yang memungkinkan dirinya dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki terhadap sumber daya pembangunan dan berperan aktif dalam
pembangunan, sehingga dapat terwujud Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam
kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Masalah pembangunan tidak dapat dilepaskan dari dimensi gender. Pada
dasarnya, laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang
berbeda dalam rumah tangga dan masyarakat, sehingga wujud kemiskinan yang dialami
juga berbeda.
Dalam konteks pembangunan, sebagai akibat konstruksi sosial dan ekonomi
yang tidak setara, ditambah pelabelan dan beban kerja yang tidak seimbang, laki-laki
dan perempuan mempunyai akses, partisipasi dan kontrol yang berbeda dalam
pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan politik. Hal ini tercermin dari terbatasnya
akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan
yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang luas, terutama dalam
pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Masalah mendasar

25

lainnya adalah kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari
ketimpangan struktur sosial dan budaya masyarakat.
Problem lain dari ketidakadilan gender juga terlihat dari rendahnya kualitas
hidup dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak,
rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender dan angka Indeks Pemberdayaan
Gender. Belum lagi berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan atau
peduli

anak.

Hal

ini

menunjukkan

lemahnya

kelembagaan

dan

jaringan

pengarusutamaan gender, terutama dalam berbagai program pembangunan.
Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan peranan, kebutuhan-kebutuhan dan
persepsi terhadap Pembangunan. Upaya yang sadar untuk memahami pandangan
mereka akan mengarahkan pada desain dan kinerja pembangunan yang lebih baik.
Dialog yang berkesinambungan antara pengambil keputusan dan pemimpin maupun
pelaksana pembangunan dan kaum perempuan dan laki-laki penerima manfaat menjadi
penting. Para penerima manfaat dari pembangunan ini kemungkinan akan memiliki rasa
memiliki yang lebih kuat apabila proyek pembangunan memberi waktu yang cukup,
fleksibilitas desain, dan otoritas untuk mengambil tindakan-tindakan perbaikan.
Memberi perhatian pada masalah gender akan memberi manfaat lebih dari
sekedar pelaksanaan proyek pembangunan yang baik dan adil. Tapi di lain pihak
kesadaran untuk menempatkan isu gender sebagai mainstream pembangunan akan
berbuah ganda dan memberi pengaruh pada:
a. Manfaat ekonomi
Akses yang setara bagi laki-laki dan perempuan yang lebih baik untuk
memanfaatkan infrastruktur pembangunan memberikan kondisi hidup yang lebih

26

baik, yang berarti meningkatkan kesehatan dan produktivitas keluarga secara
keseluruhan. Hal ini akan mendorong kegiatan-kegiatan yang mendatangkan
pendapatan, perawatan anggota keluarga, atau kesejahteraan dan minat mereka
sendiri.
b. Manfaat bagi anak-anak
Pembangunan infrastruktur yang responsif gender akan mengurangi beban anakanak, terutama anak anak perempuan dari kewajiban mengurus beban rumah tangga,
sehingga memberi kesempatan yang lebih besar bagi mereka untuk dapat
bersekolah. Kesehatan fisik dan keterbukaan wawasan merekapun akan meningkat.
Dengan demikian, diperkirakan dampaknya merupakan dampak berkelanjutan antar
generasi.
c. Pemberdayaan kaum perempuan
Keterlibatan dalam proyek pembangunan yang memberdayakan kaum perempuan,
terutama apabila aktivitas proyek tersebut terkait dengan kegiatan kegiatan yang
mendatangkan pendapatan dan sumber daya produktif.
Oleh karena itu, isu gender bisa diselesaikan dengan lebih baik melalui
pendekatan yang responsif pada kebutuhan-kebutuhan kaum miskin, terutama dari
kelompok perempuan dan perempuan yang menjadi kepala keluarga, dan mendorong
partisipasi mereka untuk lebih terlibat dalam pembangunan. Dalam mendorong
partisipasi tersebut, pendekatan berbasis komunitas menjadi sangat relevan.
Tantangan utama yang di hadapi kaum perempuan akhir-akhir ini, terutama
berkaitan dengan masalah Kemiskinan, Pengangguran, Rendahnya pendidikan,
Kurangnya perlindungan dan jaminan sosial, Meningkatnya tindak kekerasan dan
Rendahnya kedudukan dan peranan perempuan dalam pembangunan.

27

Penerapan pendekatan Pembangunan yang responsif gender akan membantu
perencana program / pelaksana proyek pembangunan untuk mengidentifikasi perbedaan
dan pembedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki, dan menggunakan
informasi tersebut untuk merencanakan kebijakan, program, maupun proyek yang lebih
efektif dan responsif gender.
Absennya atau kurangnya keterwakilan perempuan dalam lembaga lembaga
pengambil keputusan baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif membuat
mereka tidak dapat memperoleh informasi dan tidak dapat menyuarakan kebutuhan
mereka. Hal ini juga berakibat perumusan kebijakan, program dan anggaran menjadi
tidak responsif gender dan mengabaikan permasalahan yang dihadapi oleh kaum
perempuan khususnya perempuan miskin.
Rendahnya partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan juga disebabkan
oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun
mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.
Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, sebenarnya telah
diatur melalui kebijakan, terutama dalam UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi. Kebijakan tersebut
merupakan salah satu kebijakan yang diharapkan mampu mengubah tatanan politik
nasional dengan mengutamakan keterlibatan perempuan dalam menjalankan institusi
politik. Di dalam kebijakan tersebut tercantum bahwa perubahan yang diharapkan
bukan semata pada jumlah perempuan yang terlibat dalam lingkar pengambil keputusan,
tetapi juga pada representasi kepentingan dan kebutuhan perempuan dalam
penyelenggaraan politik tersebut.

28

Selain itu, ada pula Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender
dalam pembangunan nasional, yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk mendorong
pelaksanaan pengarusutamaan karena kebijakan itu tidak dalam bentuk Keputusan
Presiden atau UU.
Oleh karena itu, salah satu upaya peningkatan status kesejahteraan masyarakat
adalah adanya jaminan bahwa perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi secara setara
dan utuh, terutama dalam pengambilan keputusan di berbagai lini, baik politik, ekonomi
dan sosial. Secara spesifik prioritas untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam
pembangunan adalah melalui:
1. Meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik dan pengambil kebijakan
2. Meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan serta bidang pembangunan
lainnya untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan
3. Meningkatkan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak
4. Meningkatkan produktifitas ekonomi perempuan
5. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan perempuan dan anak
6. Menyempurnakan perangkat hukum yang lebih lengkap dalam melindungi
individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi termasuk
kekerasan dalam rumah tangga
7. Memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan pengarustamaan gender
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari berbagai
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk
pemenuhan komitmen – komitmen internasional, serta peningkatan partisipasi
masyarakat.

29

3.3. Aspek Legal Perempuan dalam Pembangunan
Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa
setiap warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam kegiatan pembangunan.
Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat
perhatian “serius” dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya lembaga Menteri
Peranan Wanita pada tahun yang sama (yang berubah menjadi Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999), dimana sebagai mitra sejajar pria,
perempuan dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu
ditingkatkan dan diarahkan secara bersungguh฀sungguh melalui pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan, agar:


Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga
maupun masyarakat;



Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal
mungkin;



Perempuan dapat berfungsi sebagai mitra sejajar pria di semua bidang
dan proses pembangunan, utamanya berpartisipasi di bidang฀bidang non
tradisional (misalnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
politik, pertahanan dan keamanan).

30

2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra
sejajar pria perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku, dan pandangan
masyarakat terhadap perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan
keluarga dan rumah tangga.
3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi, dan
sosial politik.

Secara formal kesetaraan antara perempuan dan laki-laki mendapat pengesahan dengan
diterbitkannya:


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan.”



Keputusan

Menteri

Negara

02/Kep/MENUPW/IV/1991

tentang

Urusan

Peranan

“Pengesahan

Wanita

Pedoman

Nomor

Pelaksanaan

Penanganan Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa di Pusat
dan Daerah.”


Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 1995 tentang “Peningkatan
Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah”.



Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 1996 tentang “Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam
Pembangunan di Daerah”.

Pada perkembangannya, pada tahun 2000 telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

31

Nasiona