Untitled Document

(1)

HENRI HUTABARAT

PENDAYAGUNAAN ZEOLITE

DI BIDANG PETERNAKAN

(review)

Pusat Kajian Peternakan, Perikanan,

Sumberdaya Pesisir dan Laut

Fakultas Peternakan

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN


(2)

PENDAYAGUNAAN ZEOLITE

DI BIDANG PETERNAKAN

Oleh

Henri Hutabarat

Cetakan pertama, Juli 2010

Hak Cipta © 2010

Pusat Kajian Peternakan, Perikanan,

Sumberdaya Pesisir dan Laut

Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen

Jalan Sutomo No 4 A Medan

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan memperbanyak penerbitan ini dalam bentuk cetak, stensil, offset, fotocopi,

mikrofis atau bentuk lain tanpa izin tertulis dari penerbit

Hutabarat, Henri

Pendayagunaan Zeolit di Bidang Peternakan: Pusat Kajian Peternakan, Perikanan, Sumberdaya Pesisir dan Laut Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen, 2010.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL vii

BAB I ENDAPAN ZEOLITE DAN KEGUNAANNYA 1 1. Pendahuluan 1 2. Sifat dan kegunaannya 3 BAB II PENGKAJIAN ZEOLITE DAN STRATEGI

PENDAYAGUNAANNYA 6 1. Pendahuluan

2. Pengkajian 7

Kelemahan dan kelebihan zeolite 7 Potensi mineral 8

Banyaknya kandungan 9

Jenis kandungan 9 Informasi penelitian dan

pengembangan di Indonesia 9 BAB II PROSPEK ZEOLITE SEBAGAI IMBUHAN PAKAN 13


(4)

2. Prospek zeolite sebagai imbuhan pakan 15 3. Arahan penggunaan zeolite sebagai imbuhan pakan 18

BAB III PEMANFAATAN ZEOLITE DI BIDANG 21 PETERNAKAN

1. Pendahuluan 21 2. Komposisi dan Struktur zeolite 21 3. Sifat-sifat zeolite 25 Pertukaran kation 25

Adsorpsi 26

4. Mekanisme kerja zeolite dalam tubuh ternak 27 Ternak ruminansia 27

Ternak non ruminansia 32

BAB IV PENGGUNAAN ZEOLITE SEBAGAI MAKANAN

TERNAK 37

1. Pendahuluan 37 2. Penggunaan zeolite di bidang peternakan 38 Ternak unggas 39

Ternak ruminansia 45 Ternak babi 47 Ternak lain 49


(5)

KATA PENGANTAR

Telah diketahui bahwa zeolite adalah bahan tambang yang terdiri dari beberapa mineral dan telah mendapat perhatian sangat luas di beberapa bidang aktifitas antara lain di bidang peternakan, karena sifat fisik dan kimianya yang menarik.

Daya guna zeolite demikian luasnya; tetapi meskipun masih secara sederhana, di Indonesia zeolite alam sudah mulai diolah secara industrial untuk kebutuhan industri agro (pertanian, peternakan dan perikanan) serta untuk mengurangi pencemaran kotoran ternak.

Mengingat potensi zeolite di bidang peternakan cukup besar, maka perlu diketahui pengkajian zeolite alam dan manfaatnya dalam industri peternakan, prospek zeolite sebagai imbuhan pakan serta hasil-hasil penelitian pada berbagai jenis ternak.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pembaca dan sangat ,mengharapkan adanya kritikan untuk menyempurnakan tulisan ini. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada istri saya Dra. Antetti Tampubolon, MSc., Apt., dan anak saya yang tercinta Naomi dan Paulus yang selalu setia membantu pengetikan buku ini.

Medan, Juni 2010 Henri Hutabarat


(6)

BAB I

ENDAPAN ZEOLITE DAN KEGUNAANNYA

1. Pendahuluan

Sumberdaya alam di Indonesia baik bahan galian maupun tenaga kerja, masih melimpah. Sampai sekarang, sebagian besar seolah-olah masih tertidur dan belum dijamah ilmu dan teknologi.

Salah satu sumber daya alam yang masih melimpah dan belum diolah secara modern, yaitu bahan galian zeolite. Zeolite merupakan paduan berbagai mineral, antara lain clinoptilolite dan modernite. Secara makroskopi, zeolite nampak berbutir halus dan memiliki warna putih, coklat muda, hijau atau lainnya. Perawakannya padat, tidak keras dan permukaannya ada yang kasar dan ada pula yang halus.

Zeolite terbentuk dari abu gunung api purba yang telah mengalami perombakan mineral akibat kegiatan alam yang sudah berlangsung sejak 25 tahun yang lalu hingga sekarang. Abu gunung api semacam ini disebut tufa dan sampai sekarang masih terus dihasilkan oleh kegiatan gunung api. Berdasarkan matra waktu dan ruang (lingkupan pengendapan), tufa dapat berubah menjadi mineral monmorilonit (bentonit), clinoptilolite, mordenit (zeolite), mika atau lainnya, tergantung pada kandungan senyawa kimia yang ada didalamnya.


(7)

Di Indonesia, endapan zeolite terbesar di berbagai daerah dan didalam peta geologi disebut tufa. Mengingat bahwa hasil rombakan tufa tidak selamanya berupa zeolite, maka penelitian laboratorium perlu dilakukan. Penelitian laboratorium tidak hanya mengenal analisis kimia, tetapi yang diutamakan yaitu analisis mineral. umumnya hasil analisis kimia berbagai bahan rombakan tufa yang menghasilkan zeolite, serisite atau lainnya yang sejenis tidak begitu berbeda. Perbedaan baru nampak jika diteliti melalui analisis mineral.

Berbeda dengan mineral lainnya, mineral yang terkandung di dalam bahan galian zeolite memiliki senyawa kimia yang rumit dan memiliki sifat-sifat yang unik. Sifat unik ini antara lain kemampuannya dalam pergantian ion dan secara umum disebutkan sebagai daya serap yang luar biasa, setelah zeolite tersebut diolah secara teknik agar bersifat lebih aktif. Daya serap ini bukannya dalam hal menyerap air, tetapi ion bebas berupa gas atau larutan. Kemampuan inilah yang rupanya sangat bermanfaat untuk kepentingan bagi peternakan, pertanian, perikanan dan lain-lain.

Sampai sekarang endapan zeolite termasuk bahan galian lainnya yang merupakan hasil rombakan dari batuan gunung api yang sama, cadangannya belum digali secara komersial.


(8)

2. Sifat dan kegunaan zeolite

Zeolite merupakan mineral baru, yang memiliki berbagai sifat yang mulai dikenal sejak beberapa tahun terakhir. Satu dua sifat yang istimewa tersebut antara lain, daya serap yang tinggi dan bermanfaat dalam menangkap berbagai unsur kimia bebas, agar tidak mencemari atau meracuni lingkungan termasuk tumbuhan, hewan maupun manusia. Unsur kimia bebas, umumnya berasal dari pemakaian berbagai bahan kimia yang berlebih hingga tidak diperlukan untuk kepentingan hidup hewan atau tumbuhan.

Perlu diketahui bahwa adanya cadangan zeolite di Indonesia, sudah diketahui oleh berbagai negara maju di luar negeri, tetapi sayang bahwa kekayaan yang luar biasa ini belum diketahui oleh para ahli di Indonesia. Hal yang dikuatirkan yaitu jangan sampai terjadi, seandainya pihak-pihak di luar negeri akan memanfaatkan ketidakmengertian pihak Indonesia memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Adanya pencemaran udara akibat limbah peternakan, atau pembusukan sisa makanan di berbagai tambak ikan, zeolite dapat dimanfaatkan. Demikian pula sebagai bahan imbuh untuk makanan ternak sesuai dengan arasnya, akan ikut meningkatkan mutu daging ternak. Hal ini mudah dipahami, sebab berbagai sisa atau lebihan makanan yang tidak bermanfaat dapat diserap oleh zeolite. Informasi ini diperoleh dari para


(9)

produsen atau peternak yang sudah memberanikan diri untuk mencobanya, dan kenyataan ini dapat menunjang kegiatan penelitian agar diperoleh hasil yang lebih memadai perihal sifat dan kegunaan zeolite

Pustaka

Darsoprajitno, S. 1986. Bahan Muntahan Gunung Api Purba di Daerah Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya. PT. Aneka Jenis Batuan, Bandung.

Harjanto, S. 1982. Zeolite. New Industry Mineral Commodity in Indonesia. Geosurvey Newsletter. Vol. 14. Ditjen Pertambangan Umum. Bandung.

Harjanto, S. 1986. Geoagronomi. Geoagrikultur atau Agrogeologi. Berita Geologi. Vol. 18. Ditjen Pertambangan Umum. Bandung.

Suryartono, 1988. Percontohan model Pengolahan Zeolite Bayah untuk Pertanian dan Pengolahan Air. Bul. PPTM. Bandung.


(10)

BAB II

PENGKAJIAN ZEOLITE DAN STRATEGI

PENDAYAGUNAANNYA

1. Pendahuluan

Zeolite adalah salah satu kelompok senyawa alumina silikat hidrat yang mempunyai komposisi dan sifat multistruktur dan banyak mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan karena merupakan jenis bahan dasar yang multifungsi; sehingga kemungkinan besar dapat dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup beberapa sektor industri agro (peternakan, pertanian dan perikanan).

Sifat multi fungsi dan multi struktur zeolite ditentukan oleh dua hal penting, yaitu pengaruh komposisi kimia dan pengaruh struktur mikro kristalin. Daya guna zeolite demikian luas, tetapi di Indonesia usaha-usaha meningkatkan nilai tambah zeolite terutama yang berasal dari alam belum mencapai kemajuan yang berarti, baru untuk kebutuhan industri agro (pertanian, peternakan, dan perikanan) yang mulai dapat diolah secara industrial, meskipun masih dalam taraf teknologi sederhana.


(11)

2. Pengkajian

Agar biaya pengelolaan atau riset tidak terbuang sia-sia, maka perlu dikaji sebelumnya, apakah arah pengembangan pemanfaatan yang ingin dituju memenuhi kriteria kelayakan.

Dalam mengkaji prospek pengembangan zeolite, dapat dilihat dari seluruh jaringan sistem pengembangan pemanfaatan zeolite dengan penekanan pada dimensi tekno-ekonomik yaitu pada resiko biaya atau modal yang dihabiskan dalam penggunaan teknologi tertentu: dan yang dapat kembali karena potensi sosio-ekonomiknya dalam meraih keuntungan sebesar mungkin, karena kemampuannya menembus pasar.

2.1. Kelemahan dan kelebihan zeolite

UNIDO mengkatagorikan kelompok zeolite sebagai bahan non-logam: pada hal per definisi group zeolite merupakan kelompok mineral aluminosilikat hidrat alkali.

Selain diperoleh dari alam, zeolite dapat dibuat secara sintetik: kelebihan zeolite sintetik, mempunyai efektivfitas dalam adsorpsi/carrier kation/anion, penyaring molekuler, penukar ion dan sifat hidrasi/dehidratasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan zeolite alam dengan jenis yang sama. Selain itu, zeolite alam umumnya berupa campuran mineral sehingga selalu hadir


(12)

unsur-unsur pengotor “trace” yang sangat mempengaruhi sifatnya sehingga sulit dikontrol.

Dibandingkan mineral lain, maka dalam pemanfaatannya, sifat-sifat zeolite mempunyai kelemahan dan kelebihan, seperti:

1. Daya tukar kationnya masih lebih rendah dibandingkan alkil benzen sulfonat.

2. Daya adsorpsi, sifat ”carrier” dan sifat pengikatnya masih lebih rendah dibandingkan bentonit yang dapat mengembang dan menyerap ion dan molekul lebih banyak.

3. Dalam berbagai tingkat iklim dan kelembaban, daya hidratasi-hidratasinya, bersaing dengan bentonit.

4. Selektivitas katalis dan sifat menyaring molekulnya, dapat diunggulkan, karena mempunyai rongga-rongga dan lorong-lorong dalam ukuran tertentu yang teratur berkesinambungan, suatu sifat unik yang tidak dimiliki oleh mineral lain.

2.2. Potensi mineral

Adanya potensi cadangan dengan tipe endapan ”genesis” baik kualitas dan kuantitas, letak dan karakteristik yang memungkinkan pemanfaatannya; diidentifikasi secara terinci


(13)

2.2.1. Banyaknya kandungan

Menurut penyelidikan Direktorat Sumber Daya Mineral ada 46 lokasi di Indonesia yang mengandung zeolite. Lima diantaranya diketahui sudah mulai diolah pemanfaatannya, yaitu di Lampung, Cikalong di Tasikmalaya, Nanggung di Bogor, Cikembar di Sukabumi dan Bayah di Banten Selatan.

Seberapa banyak potensi endapan tersebar di daerah Lampung, Tasikmalaya dan Bogor belum begitu jelas; berapa besar jumlah cadangan yang sudah diproduksi dan digunakan dalam industri di Indonesia belum diperoleh keterangan yang jelas. Jenis yang diolah terbatas pada mordenit dan clinoptilolite.

2.2.2. Jenis kandungan

Zeolite yang di temukan di Bayah dan Cikembar adalah jenis mordenit Na8.(Al8Si40O96).24 H2O dan clinoptilolite Na3K3(Al6Si30O72).24H2O

dengan asosiasi mineral plagioklas, kwarsa dan mika. 2.2.3. Informasi penelitian dan pengembangan di Indonesia

Penelitian zeolite di Indonesia dimulai pada tahun 1969 dan mencapai puncaknya pada tahun 1985. Penelitian sebagaian besar dilakukan oleh kelompok-kelompok kerja instansi pemerintah dengan dibantu konsultan asing, pakar dari perguruan tinggi atau dari Litbang


(14)

Departemen maupun non-Departemen. Aktivitasnya mulai dari identifikasi mineral yang ada dan yang dapat dipasarkan. Penelitian proses pengolahan dan terapan baik dalam skala laboratorium maupun sklala industri kecil-kecilan. Tetapi karena diantara zeolite itu mempunyai perbedaan fisis, antara lain perbedaan proses pembentukan, jumlah fragmen dan mineral atau material lain yang terkandung, maka teknologi pengolahannya juga berbeda.

Secara garis besar ada tiga teknik pengolahan zeolite yang sudah dikembangkan di Indonesia:

1. Peningkatan mutu (”up grading”)

Meliputi proses pengolahan bahan sebagai benda alam menjadi benda terkonsentrasi untuk meningkatkan kadar, pengaturan bentuk atau besar partikel sampai tercapai produk yang memenuhi standar. Proses peningkatan mutu tergantung dari kondisi sumber daya yang ada.

2. ”Dressing” (aktivasi)

Meliputi proses penataan parameter-parameter zeolite untuk mengoptimalkan sifat dan daya gunanya seperti: unsur-unsur aktif, kapasitas in exchange, kehalusan butir, kapasitas penyerapan, afinitas kuat-ikatan, struktur mikro, porositas, kristalitas, homogenitas, luas permukaan, warna, selektivitas pengayakan, pH dan sifat mengembang mengkerut.


(15)

3. Sintesa

Karena sifat-sifat intrensik zeolite alam terbatas, maka dilakukan sintesa zeolite untuk mensubstitusi yang berasal dari alam. Beberapa jenis zeolite sudah dibuat secara artificial dengan memanfaatkan bahan-bahan kimia dan/atau dari bahan-bahan alam kemurnian tinggi.

Dalam prakteknya, untuk mendapatkan bahan yang diinginkan, seringkali yang dilakukan adalah gabungan diantara tecniques di atas, misalnya setelah peningkatan mutu dilakukan pengaktifan, atau setelah peningkatan mutu dilakukan proses sintetik, yang kemudian dilanjutkan dengan pengaktifan.

Meskipun daya guna zeolite demikian luasnya, tetapi di Indonesia peningkatan nilai tambah zeolite termasuk zeolite alam belum mencapai kemajuan yang berarti. Sudah banyak usaha-usaha pene;itian yang dilakukan, baik oleh beberapa instansi bersama-sama atau sendiri-sendiri, tetapi pemasyarakatan hasil penelitian zeolite baru berhasil dikembangkan untuk keperluan kebutuhan industri agro (pertanian, peternakan dan perikanan); itupun masih dalam taraf teknologi sederhana.


(16)

PUSTAKA

Bachtiar, T dan E. Rahin. Endapan zeolite daerah Suwakan. Bayah Banten Selatan. Proceding pertemuan ilmiah tahunan XVI Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Bandung 7-10 Desember 1987.

Burhanuddin, B.M. dan B.P. Kuncoro. 1986. Status pengembangan tanah lempung. Kelompok Ilmu Bahan. Direktorat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Dasar Deputi Bidang PIDT BPP Teknologi.

Burhanuddin, B.M. 1988. Studi tinjauan pengembangan pemanfaatan mineral untuk bahan baku industri dari sistem penggolongan. Kelompok Ilmu Bahan. Direktorat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Dasar Deputi Bidang PIDT BPP Teknologi.

_______________ 1990. Pengkajian Zeolite Alam dan Strategi Pendayagunaannya dalam Industri Agro. Seminar Nasional ”Zeo agroindustri 18 Juli 1990. Kerjasama PPSKI-HKTI. Bandung.


(17)

PROSPEK ZEOLITE SEBAGAI IMBUHAN PAKAN

1. Pendahuluan

Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam budidaya ternak. Biaya pakan dalam produksi ternak merupakan 60-70% dari total biaya produksi. Olehe karena itu penelitian tentang pakan, baik oleh lembaga penelitian pemerintah maupun swasta banyak dilakukan dengan tujuan untuk mencari susunan ransum pakan yang termurah dari bahan-bahan yang tersedia.

Pakan untuk ternak dapat digolongkan menjadi 2 golongan besar pakan, yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pakan hijauan terdiri dari rumput, legume, daun-daunan, termasuk pucuk tebu dan jerami. Pakan konsentrat terdiri dari biji-bijian, bungkil, tepung ikan, tepung darah, tepung bulu dan sebagainya yang diramu menjadi ransum pakan ternak yang seimbang. Ternak ruminansia pada umumnya membutuhkan pakan hijauan lebih banyak dari pakan konsentrat; sebaliknya ternak non ruminansia seperti ayam dan babi lebih banyak membutuhkan pakan konsentrat.

Tidak ada satupun jenis tanaman pakan ternak seperti rumput dan legume yang mengandung enersi, protein, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Demikian pula tidak ada satupun jenis


(18)

pakan konsentrat yang mengandung enersi, protein, lemak, vitamin dan mineral dengan imbangan yang dibutuhkan ternak non ruminansia.

Ada saja kekurangan dan kelebihan dari jenis tanaman pakan ternak yang satu terhadap yang lainnya; demikian pula ada saja kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh bahan konsentrat.

Oleh karena itu untuk menyeimbangkan kandungan nutrisi dalam ransum pakan diperlukan campuran dari pakan hijauan dan konsentrat. Bahkan lebih jauh lagi masih perlu ditambahkan kedalamnya vitamin dan mineral berupa imbuhan pakan (feed additive) dalam berbagai macam bentuk.

Zeolite merupakan bahan tambang yang dapat dipergunakan sebagai bahan imbuhan pakan, terutama untuk menambahkan mineral tertentu yang diperlukan untuk menyeimbangkan kandungan nutrisi sesuatu ransum pakan.

Penggunaan zeolite sebagai imbuhan pakan dimungkinkan karena strukturnya yang terbuka dan sifatnya yang dapat dengan mudah melepas molekul air dan sebaliknya dengan mudah mengikatnya kembali atau diganti sebaliknya dengan mudah mengikatnya kembali atau diganti dengan zat cair lainnya misalnya alkohol, amoniak dan sebagainya. Disamping sifat itu, kation-kation zeolite terdiri dari alkali-alkali dapat diganti dengan alkali-alkali lain.


(19)

Kedua sifat itu yang memungkinkan zeolite dipakai sebagai bahan imbuhan pakan untuk menambah mineral dan mengurangi bau amoniak dalam kotoran.

Tulisan ini merupakan informasi dan sekaligus arahan penggunaan dan pemanfaatan zeolite sebagai bahan imbuhan pakan pada khususnya dan zeolite sebagai bahan tambang yang diperlukan untuk industri peternakan di Indonesia.

2. Prospek zeolite sebagai bahan imbuhan pakan

Mengacu pada proposal Seminar Zeo Agro Industri, ternyata potensi zeolite di Indonesia berjumlah jutaan ton yang terdapat di 45 lokasi yaitu Jawa Timur 9 lokasi, Jawa Tengah 11 lokasi, Jawa Barat 11 lokasi, Lampung 3 lokasi, Sumatera Selatan 2 lokasi dan lainnya di Jambi, Sumatera Utara, Aceh, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulteng, Maluku dan NTT.

Zeolite yang sudah dimanfaatkan belum banyak. Yang sudah dieksploitasi antara lain di Lebak, Tangerang, Cikembar dan Karangnunggal semuanya di Jawa Barat. Oleh karena itu potensi zeolite yang masih tidur besar sekali terutama diluar Jawa.

Dari hasil penelitian pengguanaan zeolite dibidang pertanian dapat diinformasikan bahwa penggunaan bahan mineral zeolite dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi, jagung, kedelai dan sebagainya


(20)

dan dapat dapat pula meningkatkan produktivitas ikan dan ternak bila diberikan sebagai imbuhan pakan.

Untuk mengetahui prospek zeolite sebagai imbuhan pakan perlu diketahui terlebih dahulu prospek peternakan Indonesia.

1. Populasi ternak rata-rata meningkat setiap tahun. Sapi potong naik 2.9% sapi perah naik 9.,78%, kerbau 1.15%, kambing 4.05%, domba 3.20%, babi 5.86%, ayam buras 1.96%, ayam ras petelur 14.12% dan itik 2.94% per tahun.

2. Produksi daging, telur dan susu dalam Pelita IV juga meningkat setiap tahun. Produksi daging dalam Pelita IV rata-rata meningkat 7.85% per tahun, telur 11.95%, dan susu 12.5% per tahun.

3. Proyeksi populasi ternak menggambarkan proyeksi produksi daging, telur dan susu. Diperkirakan populasi ternak diharapkan meningkat, yaitu sapi potong 2.17%, sapi perah 10.67%, kerbau 1.5%, kambing 2.95%, domba 2.92%, babi 12.61%, ayam buras 5.84%, ayam petelur 10.09%, broiler 9.81% dan itik 3.78% per tahun; sedang produksi daging, telur dan susu masing-masing diharapkan meningkat 6.62%, 8.96% dan 12.59% per tahun.

Untuk mendukung upaya peningkatan populasi dan produksi peternakan tersebut perlu tersedianya pakan yang cukup.


(21)

Dari gambaran proyeksi populasi, produksi dan kebutuhan pakan tersebut jelas bahwa sejalan dengan meningkatnya penggunaan oakan akan diikuti pula dengan meningkatnya kebutuhan akan mineral, vitamin, protein dan enersi dalam pakan.

Prospek zeolite sebagai imbuhan pakan cukup baik dilihat dari kebutuhan pakan untuk peningkatan populasi dan produksi peternakan. Namun prospek yang digambarkan diatas belum secara otomatis meningkatkan penggunaan zeolite sebagai imbuhan pakan. Hal ini tergantung dari peluang yang dapat dimasuki oleh komoditi tambang zeolite ini.

Hal-hal dibawah ini perlu dipertimbangkan: 1. Keunggulan zeolite (strength)

a. Potensinya cukup besar.

b. Pengolahannya menjadi bahan imbuhan pakan relatif mudah dan murah.

c. Tidak menimbulkan keracunan dan polusi.

d. Strukturnya terbuka dan mempunyai sifat yang dapat dimanfaatkan. 2. Kelemahan zeolite (weakness)

a. Belum banyak diketahui penggunaannya.

b. Di alam terdapat bermacam-macam zeolite yang berbeda-beda kandungan mineralnya.


(22)

a. Sifatnya yang unik memberi kemungkinan zeolite dapat dipakai sebagai imbuhan pakan.

b. Belum banyak dimanfaatkan untuk industro dan pertanian.

c. Dari potensi zeolite yang besar dapat ditemukan zeolite primer yang banyak mengandung mineral dan sedikit kandungan silikatnya yang dapat dimanfaatkan untuk imbuhan pakan.

4. Ancaman (threat)

a. Produk-produk mineral dalam bentuk imbuhan pakan yang bukan terbuat dari bahan zeolite yang sudah dikenal saat ini.

b. Penggunaan besar-besaran untuk industri yang dapat menyebabkan persaingan harga.

Dari analisis sederhana diatas nampaknya saat ini ada peluang penggunaan zeolite sebagai imbuhan pakan asal dapat disajikan dalam bentuk yang mudah aplikasinya dan murah harganya.

3. Arahan penggunaan zeolite sebagai imbuhan pakan

Definisi nutrisi dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan produksi ternak. Defisiensi mineral tertenu dalam ransum pakan dapat pula mempengaruhi pertumbuhan reproduksi dan produksi ternak.

Pada tabel 1 digambarkan pengaruh kekurangnan (defisiensi) berbagai mineral pada ruminansia, babi dan unggas.


(23)

Zeolite sebagai imbuhan pakan mempunyai peranan yang penting dalam mengatasi atau mencegah terjadinya penyakit-penyakit defisiensi mineral. Dari analisa laboratorium terhadap sampel ransum pakan yang berasal dari pabrik, penyalur dan peternak yang dilakukan oleh laboratorium maanan ternak Direktorat Jenderal Peternakan dilaporkan bahwa ada sebagian dari ransum pakan yang dibuat, diedarkan dan dipakai peternak kekurangan kalsium dan fosfor.

Pemberian zeolite yang mengandung mineral kapur dan fosfor akan menolong peternak yang memakai ransum pakan yang kekurangan kapur dan fosfor tersebut.

Kandungan mineral dalam pakan hijauan sangat erat kaitannya dengan kondisi lahan. Lahan marginal yang tidak subur umumnya kurang fosfor. Hal ini menyebabkan ternak yang diberi pakan hijauan dari lahan tersebut kekurangan fosfor. Bila lahan marginal tersebut dipupuk dengan fosfor hasilnya akan meningkat dan juga akan meningkatkan kandungan fosfor dalam pakan hijauan yang dihasilkan.

Sebaliknya butiran-butiran bahan pakan yang mengandung protein dan limbah pemotongan ternak (tepung darah, tepung tulang) banyak mengandung fosfor. Kekurangan fosfor dalam ransum ternak dapat diperbaiki dengan memberikan bahan pakan yang mengandung fosfor seperti tepung tulang, kalsium fosfat atau zeolite.


(24)

Dari uraian diatas jelas bahwa produk-produk imbuhan pakan yang terbuat dari zeolite harus mengandung unsur-unsur mineral penting yang diperlukan ternak, baik untuk pertumbuhan; reproduksi maupun produksi, yang tidak cukup tersedia didalam ransum pakan yang disusun/diberikan pada ternak. Oleh karena itu perlu dibuat berbagai macam bahan imbuhan pakan dari zeolite yang kandungan mineralnya berbeda-beda disesuaikan dengan jenis ternak dan jenis bahan pakan yang tersedia untuk ransum ternak. Hal ini perlu diperhatikan karena kondisi lahan pertanian di Indonesia tidak sama sehingga kandungan mineralnya pun tidak sama.


(25)

BAB III

PEMANFAATAN ZEOLITE DI BIDANG

PETERNAKAN

1. Pendahuluan

Penggunaan mineral di bidang peternakan bukan merupakan hal yang baru. Penambahan mineral sebagai bahan aditif pada pakan umumnya dilakukan oleh para peneliti atau peternak untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak yang bersangkutan. Pada akhir tahun 1950, para peneliti mulai mengembangkan sumber mineral yang lain yaitu kelompok mineral yang disebut zeolite.

Zeolite merupakan bahan tambang yang pertama kali ditemukan, pada tahun 1758 oleh Freiher Alex Frederick Cronstedt, seorang ahli mineral dari Swedia. Kata zeolite berasal dari bahasa Yunani yang dalam bahasa Inggrisnya dapat disebut boiling stones. Sejak ditemukannya zeolite, lebih dari 50 spesies telah dapat diidentifikasi dan lebih dari 40 negara menghasilkan bahan tambang tersebut untuk keperluan berbagai bidang kegiatan. Selain itu lebih dari 100 spesies zeolite telah dapat disintesis di laboratorium (Mumpton, 1984; Hawkins, 1984).

Aplikasi dan potensi zeolite alam maupun sintetik sangat tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimiawinya, antara lain ukuran, bentuk dan porositas


(26)

mineral serta komposisi kimia dan struktur kristal. Banyak penelitian dan pemanfaatan zeolite telah dilakukan di berbagai bidang kegiatan peternakan antara lain sebagai additive makanan ternak.

2.1. Komposisi dan struktur zeolite

Zeolite adalah tektosilikat, senyawa aluminosilikat terhidrasi dari alkali dan alkali tanah, terdiri dari kerangka tiga dimensi tetrahedra, dimana keempat sudut ion oksigen setiap tetrahedra berhubungan dengan tetrahedra di sebelahnya. Susunan ini menurunkan secara keseluruhan imbangan Si : O menjadi 2 : 1, dan apabila tiap tetrahedra dalam kerangka mengandung Si sebagai kation sentral maka struktur tersebut bersifat netral seperti quartz( ).

Dalam struktur zeolite, beberapa atom Si yang bervalensi empat dapat disubstitusi oleh Al yang bervalensi tiga, sehingga mineral berkurang muatan positif atau dengan kata lain mineral tersebut dapat bernuatan negatif. Muatan ini akan dinetralkan atau dapat mengikat kation yang bervalensi satu seperti , , dan pada bagian lain dari strukturnya. Formula empiris zelite adalah:

Dimana M adalah suatu alkali atau kation alkali tanah, n adalah valensi kation, x adalah suatu angka dari 2 sampai 0, dan y adalah suatu angka dari


(27)

2 sampai 8 (Mumpton, 1984). Sebagai contoh, formula empiris clinoptilolite adalah:

atau

O

Ion – ion dalam tanda kurung pertama dalam formula unit sel diketahui sebagai kation-kation yang dapat bertukar, sedangkan ion-ion yang berada dalam tanda kurung kedua disebut kation-kation struktural dengan oksigen membentuk kerangka tetrahedra struktur tersebut.

Perlu diketahui bahwa imbangan (Al + Si) : O selalu 1 : 2 dalam formula kristal zeolite. Tidak ada zeolite yang dikenal yang mengandung atom Al lebih banyak dibandingkan dengan atom Si, sehingga imbangan molekul : selalu sama atau lebih besar dari 2 : 1.

Molekul air yang mudah lepas juga terdaat dalam struktur semua zeolite dan mengelilingi kation yang dapat bertukar tempat. Air menyusun 10 sampai 20% berat struktur dan umumnya dapat dihilangkan dengan pemanasan sampai sekitar 350ᴼC.

Tiap spesies zeolite mempunyai struktur kristal, sifat fisik serta kimiawi tersendiri. Beberapa contoh spesies zeolite dengan formula, kapasitas tukar kation, imbangan SI : Al serta kation yang dominan tertera pada Tabel 1 dan 2.


(28)

Tabel 1. Formula dan kapasitas tukar kation spesies zeoli alam

Zeolit Formula kristal Kapasitas tukar kation, meq/g Analcime Chabazite Clinoptilolite Erionite Heulandite Laumontite Mordenite Phillipsite

Na16(Al16Si32O96).16H2O

(Na2, Ca)6(Al12Si24O72.40 H2O

(Na3K3) (Al6Si30O72). 24 H2O

(Na, Ca0,5,K)9(Al9Si27O72). 27

H2O

Ca4(Al8Si28O72). 24 H2O

Ca4(Al8Si16O48). 16 H2O

Na8(Al8Si40O96). 24 H2O

(Na,K)5(Al5Si11O32). 20 H2O

4,54 3,84 2,16 3,12 2,91 4,25, 2,29 3,31

Tabel 2. Imbangan Si: Al dan kation yang dominan spesies zeolit

Zeolit Imbangan Si:Al Kation dominan Analcime Chabazite Clinoptilolite Erionite Heulandite Laumontite Mordenite Phillipsite

1,7 - 2,9 1,7 – 3,8 4,0 – 5,1 3,0 – 3,6 2,9 – 4,0

2,0 4,3 – 5,3 1,3 – 3,4

Na Ca, Na K > Na Na, K Ca, Na

Ca Na>K K, Na, Ca


(29)

Clinotilolite dan mordenite mengandung silika banyak, sehingga imbangan Si : Al tinggi. Diantara spesies zeolite yang tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2, chabazite, clinoptilolite, erionite, mordenite dan phillipsite adalah spesies zeolite yang paling berguna pada bidang pertanian dan peternakan dan clinoptilolite menenmpati urutan yang pertama. Batuan zeolite umumnya mengandung clinoptilolite sekitar 80% (Hawkins, 1948)

2.2. Sifat – sifat zeolit

Berdasarkan struktur zeolite yang berpori dengan molekul air di dalamnya yang mudah lepas, maka zeolite mempunyai sifat-sifat yang menarik, yaitu dapat mengadakan pertukaran kation, dapat mengadsorpsi gas atau cairan, berfungsi sebagai katalisator, mampu menyaring benda berukuran halus. Di bidang peternakan, kiranya dua sifat yang pertama sangat berperan dalam pemanfaatan zeolite.

2.2.1. Pertukaran kation

Kation yang mudah ditukar dengan struktur zeolite terikat lepas dalam kerangka tetrahedra dan dapat dilepas atau ditukar dengan mudah oleh pencucian dengan larutan yang mengandung kation lain. Proses pertukaran kation terjadi apabila ion dari larutan mengganti ion dalam struktur kristal zeolite. Hal ini terjadi pada seluruh partikel zeolite. Kapasitas tukar kation adalah suatu ukuran dari angka kation penukar ang ada per unit berat atau volume dari zeolite; dan angka tersebut menunjukkan angka atau jumlah


(30)

kation yang tersedia untuk pertukaran. Kapasitas tukar kation ini sangat terciri bagi setiap spesies zeolite (Weber, 1972).

Pertukaran kation tidak merupakan proses yang mudah dan cepat. Proses tersebut memerlukan waktu bagi ion-ion untuk mengalami difusi ke dalam atau ke luar dari struktur zeolite. Apabila waktu kontak antara zeolite dan larutan tidak cukup untuk pertukaran kation yang sempurna, maka perlu penambahan jumlah zeolite. Salah satu parameter penting yang mempengaruhi pertukaran kation adalah ukuran partikel. Selain itu jumlah Al yang sedikit dalam kerangka zeolite, misalnya clinoptilolite akan menyebabkan kapasitas tukar ion relatif rendah (sekitar 2,2 meq/g). Meskipun demikian, selektivitas kationnya adalah:

Ca > Rb > K > > Ba > Sr > Na > Ca > Fe > Al > Mg > Li

(Ames, 1967), sehingga clinoptilolite mempunyai pilihan yang pasti untuk kation yang lebih besar dan selectivitasnya untuk digunakan oleh Ames (1967) untuk menghilangkan nitrogen amonia dari buangan kotoran.

Perlu diketahui, bahwa dalam praktek harus berkompetisi dengan kation lain (misalnya , ) yang tersedia di dalam larutan untuk dapat terikat di struktur zeolite. Apabila konsentrasi dan meningkat, kapasitas tukar kation berkurang bagi , sehingga zeolite kurang efektif dalam mengurangi atau menghilangkan .


(31)

Air harus dihilangkan dari kristal zeolite sebelum adsorpsi molekul dapat terlaksana, yaitu dengan pengeringan pada suhu antara 350 sampai 400ᴼC.

Faktor yang mempengaruhi variasi sifat adsorpsi zeolite antara lain imbangan Si : Al (bervariasi antara 1 sampai 5), tipe, konsentrasi dan letak kation dalam struktur zeolite alam. Dibidang peternakan, sifat adsorpsi zeolite dapat diaplikasikan misalnya pada pemurnian metan yang dihasilkan dalam pencernaan aerobik atau kotoran ternak.

2.3. Mekanisme kerja zeolite dalam tubuh ternak

Sehubungan dengan sifat-sifat fisik dan kimia yang dibahas dijelaskan pada bab terdahulu, berikut ini akan dibahas bagaimana aktivitas-aktivitas zeolite ini apabila diberikan kepada ternak, serta manfaat apa yang diperoleh. Mengingat adanya perbedaan prinsip metabolisme antara golongan ternak ruminansia dan non ruminansia, maka pembahasan diperinci kedalam dua golongan ini:

2.3.1. Ternak Ruminansia

Ternak ruminansia dewasa (misalnya sapi, kerbau, kambing, domba) terciri dengan perut gandanya, terdiri atas reticulum, rumen, omasum dan

abomasum. Perhatian akan difokuskan kepada rumen. Kecuali ukurannya yang sangat besar, yang menurut Church (1969) ukuran rumen merupakan media yang kompleks untuk terselenggaranya interaksi antara pakan, mikrobia dalam rumen dan si ternak, yang secara terperinci dibahas oleh Van Soest (1982). Disinilah terjadi proses metabolisme karbohidrat dan


(32)

protein, yang oleh manusia dapat diatur terutama melalui jenis dan cara-cara pemberian pakan, agar diperoleh hasil yang dikehendaki.

Untuk ruminansia, nitrogen (unsur pkok dalam protein) diberikan melalui pakan dalam bentuk protein dan dalam bentuk non protein. Tujuan akhir adalah tersedianya asam amino yang akan diserap dalam intestine, setelah melewatireticulo-rumen.

Ada dua strategi yang utama dalam pemberian nitrogen (Chalupa, 1975). Pertama, nitrogen non protein (NNP) misalnya ures, yang menghasilkan amonia diharapkan dapat dimanfaatkan oleh mikrobia rumen untuk berkembang biak, sekaligus ke intestine dapat diserap dan dimanfaatkan untuk produksi daging, susu atau produk lain ternak ruminansia. Kedua, nitrogen dalam protein terutama dari bahan pakan sumber protein yang biasanya berharga mahal, harus di-bypass-kan, langsung ke intestine untuk menyediakan asam amino. Apabila tidak di-bypass-kan protein demikian akan mengalaim degradasi dalam rumen, dan yang terjadi adalah produksi amonia, sama saja dengan yang terjadi dalam pemberian ure yang relatif sangat murah. Jadi, sebenarnya strategi tersebut tiada lain adalah memaksimumkan sintesis protein oleh mirobia dalam rumen dengan menggunakan amonia yang berasal dari HHP; sementara itu, bypass protein juga harus dimaksimumkan.


(33)

Kemampuan zeolite dalam aktivitas pertukaran kationnya bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi metabolisme bakteri rumen. Clinoptilolite, yang merupakan salah satu pilihan dalam kemampuan pertukaran ionnya dengan merupakan dasar pemakaian zeolite pada ternak ruminansia, yaitu untuk mengurangi pengaruh keracunan dari yang tinggi dalam cairan rumen, terutama bila ruminansia diberi bahan pakan NNP misalnya urea dan biuret.

Amonium yang terbentuk dari dekomposisi NNP oleh enzim urease akan segera ditukar dengan kation zeolite sehingga akan terikat pada struktur zeolite selama beberapa jam sampai akhirnya dilepas kembali oleh aksi regeneratif yang masuk ke dalama rumen bersama saliva selama periode fermentasi setelah pemberian pakan. Penelitian-penelitian, baik in vitro maupun in vivo, menunjukkan bahwa zeolite mampu menyerap untuk kemudian melepaskan ion amonium dalam cairan rumen sebesar 15% (White dan Ohlrogge, 1974). Secara gradual ion amonium dilepaskan dan memberi peluang kepada mikrobia rumen menyintesis protein seluler dengan lebih baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa zeolite merupakan reservoir

amonia (Mumpton dan Fishman, 1977) dan memberikan peluang lebih besar untuk suplementasi NNP pada pakan. Hal inilah yang dijadikan oleh orang-orang Kanada untuk mendapatkan patentpenggunaan zeolite dalam ransum ruminansia yang mengandung urea.


(34)

Kemampuan zeolit yang lain dalam rumen dikemukakan oleh Petersen (McCollum dan Galyean, 1983), yaitu bahwa bila zeolit diberikan ke dalam suasana asam, dapat melakukan pertukaran ion dengan ion hidrogen. Ini berarti bahwa zeolit bertindak sebagai buffer atau penyangga. Hal ini sangat penting khususnya untuk ternak yang diberi konsentrat dalam porsi yang besar seperti penelitian yang dilakukan oleh McCollum dan Galyean (1983) untuk penggemukan sapi.

Penelitian-penelitian tentang larutan penyangga misalnya natrium bikarbonat untuk ternak ruminansia telah banyak dilakukan. Pada ternak perah, penelitian ini sangat bermanfaat mengingat variasi porsi konsentrat (yang mempengaruhi keasaman rumen) dapat mengakibatkan penyakit metabolisme disamping mengakibatkan variasi bikarbonat selanjutnya mempunyai pengaruh-pengaruh 1) terhadap lemak susu (Muller dan Kilmer, 1969), 2) meningkatkan konsumsi bahan kering dan produksi susu serta mengurangi jumlah sapi yang enggan makan (Kilmer dan Muller, 1981), bila ransum diubah dari yang porsi hijauannya tinggi menjadi ransum yang porsi konsentratnya tinggi, dan 3) kecernaan seratnya juga mengingkat (Rogers et al., 1982).

Dengan pertimbangan bahwa zeolit mempunyai peranan serupa, maka Jonhson et al. (1988), melakukan percobaan dengan ternak perah untuk membandingkan peranan antara natrium bikarbonat dengan zeolit atau


(35)

gabungan keduanya. Galyean dan Chabot (1981) membandingkannya dengan natrium bentonit dan penyangga garam McDougall untuk sapi potong dengan ransum yang tinggi porsi hijauannya. Sebenarnya, penelitian-penelitian ini mengharapkan zeolit berperanan dalam penyerapan cairan atau liquid dilution rate. Dengan demikian, akan meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen.

Seperti telah disebutkan di muka bahwa fermentasi dalam rumen sangat kompleks dengan interaksi antara jenis pakan yang masuk, perkembangan mikrobia rumen dan ternak itu sendiri. Interaksi ini pun dapat diamati bila ditinjau dari segi metabolisme karbohidrat. Zeolit yang hadir dalam rumen karena sifat kimia dan fisiknya, dapat mempengaruhi pola produksi valatile fatty acids, dan tentunya akan berpengaruh pada produksi ternak. Sweeney

et al. (1980) melaporkan bahwa nisbah asetat: propionat meningkat pada sapi perah dengan ransum yang diberi zeolit.

Demikianlah, zeolit pada ternak ruminansia dewasa yang rumennya telah berkembang, terlihat peranan utamanya dalam mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Disamping peranan ini, peranan lain yang dapat diberikan pula oleh zeolit pada ternak ruminansia muda adalah dalam kaitannya dengan penyerapan molekul air yaitu dalam hal mengurangi terjadinya diarrhea atau tinja lembab, untuk selanjutnya meningkatkan


(36)

pertumbuhan dengan meningkatnya nafsu makan, seperti dilaporkan oleh Kondo et al. Dari Jepang (Mumpton dan Fishman, 1977) pada pedet.

Sehubungan dengan pertukaran ion yang dapat dilakukan, zeolit ternyata juga berperanan dalam menanggulangi masalah keracunan mineral tertentu. Domba pada umumnya kurang tahan terhadap keracunan Cu. Walaupun domba pada padang pengembalaan tanpa suplementasi Cu, dilaporkan terjadi keracunan Cu karena kadar Cu dalam tanah atau rumput tinggi. Clinoptilolit dicoba oleh Pond (1989) untuk domba. Data menunjukkan adanya pengaruh yang menguntungkan bahwa clinoptilolit meningkatkan pertambahan berat badan bila kadar protein cukup. Walaupun clinoptilolit dapat mencegah keracunan Cd, Pb dan amonia, namun pencegahan terhadap keracunan Cu belum dapat dibuktikan dengan alasan nisbah antara Cu dan clinoptilolit yang tidak tepat dan juga karena adanya kompetisi ion Cu dengan ion-ion lain pada pakan dalam saluran pencernaan.

2.3.2 Ternak non ruminansia

Kalau pada ternak ruminansia perhatian mengenai peranan zeolit telah banyak difokuskan pada proses fermentasi dalam rumen dan peranan zeolit sebagai reservoir nitrogen, sebenarnya pada ternak non ruminansia serupa, karena sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh zeolit yaitu struktur kristal, kemampuan adsorpsi dan pertukaran ion. Dengan demikian dalam proses pencernaan pakan pada ternak non ruminansia, zeolit dapat berperan 1)


(37)

memperlambat laju pakan dalam saluran pencernaan sehingga memberi peluang lebih besar untuk penyerapan zat makanan; 2) penyerapan zat-zat antimetabolit yang menyebabkan gangguan proses pencernaan dan keracunan sehingga meningkatkan kesehatan atau mengurangi kejadian-kejadian timbulnya penyakit; 3) partikel zeolit mungkin juga dapat merangsang lapisan saluran pencernaan sehingga mengakibatkan ternak dapat membentuk antibody, dan selanjutnya dapat bertahan dan melawan masuknya penyakit.

Mumpton dan Fishman (1977) mengadakan review tentang penelitian-penelitian penggunaan zeoli dalam pakan ayam dan babi di Jepang sekitar tahun 1960-an. Pada umumnya apa yang dihasilkan pada penelitian-penelitian ini didasarkan atas mekanisme kerja zeolit seperti disebutkan diatas.

Baik pada ternak ruminansia maupun ternak non ruminansia, semua penelitian pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk: 1) mendapatkan gambaran bagaimana mekanisme zeolit melakukan perananya; 2) mengharapkan pengaruh yang menguntungkan terhadap penampilan produksi baik secara tidak langsung melalui pencegahan penyakit maupun langsung ke peningkatan produksi misalnya peningkatan kualita dan kuantita susu, pertambahan berat badan, prosuksi telur atau perbaikan efisiensi penggunaan pakan; 3) mendapatkan dosis zeolit yang tepat dalam ransum.


(38)

Ternyata seperti dikemukakan pada bab berikutnya, hasilnya masih belum konsisten.


(39)

Pustaka

Ames, L.L., JR. 1967. Zeolite removal of ammonium ions from agricultural waste - waters. Proc. 13th Pasific Northwert Indust. Waste Conf.

Washington State Univ.: 135-52.

Breck, D.W. 1974. Zeolite Molecular Sieves. Wiley, New York.

Chalupa, W.1975. Rumen bypass and protection of proteins and amino acids.J. Dairy Sci. 30:215.

Church, D.C. 1969. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. Vol.1. Metropolitan Printing Co., Portland, Oregon.

Galyean, M.L. and R.C. Chabot. 1981. Effects of sodium bentonite, buffer salts, cement kiln dust and clinoptilolite on rumen characteristics of beef steers fed a high roughage diet. J. Anim. Sci. 52:1197.

Hawkins, D.B. 1984. Occurance and availability of natural zeolites. In: Zeo-Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture,

ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Wesview Press. Colorado: 55-63. Hay, R.L. 1977. Geology of Zeolites in Sedimentary Rocks. In: In: Zeo

Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aguaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Westivew Press. Coloradeo.: 33-43.

Johnson, M.A., T.F. Sweeney and L.D. Muller. 1988. Effects of feeding synthetic zeolite A and Sodium bicarbonate on milk production nutrient digestion, and rate of digesta passage in dairy cows. J. Dairy Sci. 71:946.

Kilmer, L.H.,, L.D. Muller and T.J. Snyder. 1981. Addition of sodium bicarbonate to rations of post-partum dairy cows: physiologycal and metabolic effects. J. Dairy Sci. 64:2357.

McCollum and M.L. Galyean. 1983. Effects of Clinoptilolite on rumen fermentation, digestion and feedlot performance in beef steers fed high concentrate diets. J. Anim. Sci. 56:517.

Muller, L.D. and L.H. Kilmer. 1979. Sodium bicarbonate in dairy nutrition. Na’1 Feed Ingred. Assoc., Des Moines, IA.


(40)

Mumpton, F.A. 1984. Natural zeolites. In: Zeo Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aguaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Westivew Press. Coloradeo.: 33-43.

Mumpton, F.A. and F.H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and aquaculture.J. Anim. Sci.45: 1188-203.

Pond, W.G. 1989. Effects of dietary protein level and clinoptilolite on the weight gain and liver mineral response of growing lambs to copper supplementation. J. Anim. Sci. 67:2772.

Shurson, G.C., P.K. Ku, E.R. Miller and M.T. Yokohama. 1984. Effects of zeolite A or Clinoptilolite in diets of growing swine. J. Anim. Sci. 59:1536.

Sweeney, T.F. and A. Cervantes. 1984. Effect of dietary clinoptilolite on digestion and rumen fermentation in steers. In: Zeo Agriculture: Use of Natural Zeolites in Agriculture and Aquaculture, ed., W.G. Pond and F.A. Mumpton. Wesview Press. Colorado: 177-81.

Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant.O&B Books, Inc., Corvallis, Oregon.

Weber, W. 1972. Physico-Chemical Process for Water Control. Wiley, New York.

White, J. L and A.J Ohlrroge. 1974. Ion exchange materials to increase consumption of non protein nitrogen in ruminants. Canadian Patent 93986,Jan. 2. 1974.


(41)

BAB IV

PENGGUNAAN ZEOLITE UNTUK MAKANAN TERNAK

1. Pendahuluan

Kebutuhan akan protein akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Meskipun sebagian telah dapat dipenuhi dari protein nabati tetapi protein hewani lebih diutamakan karena protein hewani mempunyai beberapa kelebihan, antara lain kandungan asam amino dalam keadaan relative seimbang.

Pada usaha peternakan, 60-80% dari biaya total produksi adalah biaya ransum, dengan demikian sangat penting untuk menyusun suatu ransum yang baik dari berbagai bahan makanan dan juga dari pelengkap makanan untuk mendapatkan biaya yang rendah dengan produksi optimal.

Salah satu bahan untuk pencampur ransum adalah zeolite yang penggunaannya dalam makanan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak, mengingat sebagian wilayah Indonesia banyak didapatkan zeolite yang ditemukan di dalam batuan sediment piroklastik di daerah gunung berapi maka potensi ini dimanfaatkan secara baik.

Percobaan penggunaan zeolite untuk pencampuran ransum berbagai jenis ternak telah bannyak dilakukan di luar negeri tetapi masih sangat terbatas di


(42)

Indonesia. Mengingat jenis zeolite yang sangat beragam, penggunaannya harus dikaji untuk setiap jenis ternak sehingga taraf penggunaan menurut jenis dan sumber bahkan besar partikel maupun perlu tidaknya diberikan perlakuan sebelum digunakan perlu pengamatan sebelumnya sehingga penggunaannya dapat memberi nilai lebih ekonomis.

2. Penggunaan zeolite di bidang peternakan

Bidang peternakan telah mulai melakukan penelitian penggunaan zeolite alam di Jepang sejak tahun 1965, meskipun zeolite itu sendiri dikenal sejak tahun 1756 sebagai kristal dalam rongga batuan dasar oleh Baron Axel Fredrick Cronstedt seorang ahli mineralogy bangsa Swedia.

Industri zeolite sangat berkembang di beberapa Negara seperti Jepang dan Amerika Serikat. Di Indonesia penggalian zeolite Bayah baru dimulai. Dinamakan zeolite Bayah karena endapannya terletah di daerah Bayah (Cikotok, Banten, Jawa Barat) (Suyartono dan Komardi, 1986). Sedangkan penggunaan zeolite di bidang peternakan baru beberapa tahun terakhir ini. Berikut ini adalah tinjauan tentang hasil-hasil penelitian penggunaan zeolite dalam pakan ternak. Dari pustaka yang disajikan disini, terlihat bahwa walaupun beberapa penelitian bertujuan untuk membuktikan teori mekanisme bagaimana zeolite berperan dalam proses pencernaan pakan dan metabolismenya, tujuan akhir tentunya adalah ingin mengetahui manfaat zeolite dalam meningkatkan produksi dengan segala parameternya.


(43)

.2.1. Ternak unggas

Penelitian penggunaan zeolite untuk ternak unggas sudah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang berbeda satu dengan yang lain. Penggunaan zeolite dalam ransum broiler telah dilaporkan oleh Nakauke dan Koelliker (1981); Woldroup et al (1984); Lon-Wo et al (1987); Dion dan Carew (1984), Ingram dan Aquillard (1987); Willis et al (1982) dan Ballard dan Edwards (1988). Teraf penggunaan zeolite dalam ransum oleh para peneliti tersebut berkisar antara 0,25 hingga 10,0%.

Menurut Ballard dan Edwards (1988) pemberian zeolite dengan taraf 0; 0,25; 0,50 dan 1,0% dalam ransum broiler jantan, menyebabkan makin sedikitnya kejadian dan jumlah ayam yang terserang penyakit “ tibial dyschondroplasia”. Penurunan kejadian penyakit tersebut seiring dengan meningkatnya kadar penggunaan zeolite dalam ransum. Perlakuan ini juga dapat meningkatkan penyerapan dan retensi kalsium, akan tetapi tidak memberi pengaruh terhadap berat badan efisiensi penggunaan makanan.

Lon-Wo et al (1987) dengan pemberian lima persenzeolite dalam ransum broiler selama periode penggemukan (1-8 minggu), pada periode awal penggemukan memberikan penampilan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi pada akhir penggemukan terlihat efisiensi penggunaan makanan yang lebih baik, indeks kematian yang lebih rendah dan efisiensi ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.


(44)

Hasil penelitian Dion dan Carew Jr. (1984) memperlihatkan bahwa dengan pemberian 5% clinoptilolite pada ransum broiler dengan protein rendah (17,9%) selama 5 minggu menyebabkan peningkatan konsumsi ransum secara nyata pada umur 2, 3 dan 5 minggu, pertambahan berat badan tidak dipengaruhi, sedangkan pada ransum seimbang (24,3% protein) masih dapat meningkatkan efisiensi penggunaan makanan, akan tetapi hal inipun hanya terjadi pada minggu pertama dan tidak memberi pengaruh lagi pada minggu berikutnya.

Woldroup et al (1984) menyatakan bahwa dengan pemberian satu persen zeolite dalam ransum broiler umur 21 hari, tidak memberi pengaruh terhadap pertambahan berat badan maupun terhadap kebutuhan pakan selama periode penelitian 21-49 hari. Sedangkan penambahan 0,66 dan 0,99% yang diberikan selama 49 hari memberikan hasil bobot badan ayam broiler yang lebih besar dibanding dengan kontrol (Hebert et al, 1986).

Peneliti Nauke et al (1981) melaporkan bahwa dengan pemberian 10% clinoptilolite dalam ransum broiler umur 1-49 hari secara nyata tidak berpengaruh terhadap rataan berat badan, konversi pakan, konsumsi pakan, akan tetapi kelembaban dan kadar amonia (NH3-N) pada litter nyata lebih


(45)

Bentuk zeolite juga harus diperhatikan juga dalam penggunaannya disebabkan ukuran partikel zeolite akan mempengaruhi daya kerja dari zeolite. Pemberian zeolite dalam bentuk kasar dalam ransum ayam broiler jantan memberikan berat badan yang lebih tinggi daripada bentuk halus (tepung), tetapi bentuk tepung memberikan efisiensi penggunaan pakan lebih baik. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan pemberian satu persen zeolite dalam ransum ayam broiler jantan sampai umur 21 hari, dapat memperbaiki efisiensi penggunaan makanan tetapi tidak berpengaruh pada berat badan. Sedangkan penambahan zeolite pada umur 21-50 hari dengan taraf dua sampai tiga persen memberikan perbaikan yang nyata pada pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan, tetapi tidak berpengaruh pada tingkat kematian, pigmentasi pada cakar dan kelembaban litter.

Daerah asal atau sumber zeolite juga mempengaruhi daya kerjanya, oleh sebab itu perlu pula diperhatikan penggunaan zeolite dalam ransum, karena zeolite dari hasil penambangan (batuan zeolite)mempunyai jenis dan komposisi yang beraneka ragam tergantung lokasi dimana zeolite diperoleh. Penelitian telah dilakukan oleh Willis et al (1982) dengan memberikan dua persen tepung zeolite dari daerah Oregon, Idaho dan California. Hasil yang diperoleh adalah zeolite dari Idaho memberikan efisiensi penggunaan pakan paling baik, sedangkan bobot badan secara nyata lebih tinggi pada pemberian zeolite dari Oregon dibandingkan dari California ataupun Idaho.


(46)

Penggunaan zeolite dalam ransum ayam leghorn telah dilaporkan oleh Onagi dalam Mumpton dan Fishman (1977); Nakaue dan Koelliker (1981); Ingram et al (1986) dan Phillips et al (1988).

Menurut Onagi dalam Mumpton Fishman (1977) bahwa dengan pemberian clinoptilolite pada ransum ayam leghorn putih dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, penurunan konsumsi ransum dan air minum dimana ransum yang mengandung 10% clinoptilolite memberikan efisiensi 20% lebih baik daripada ransum kontrol, juga kelembaban feses turun sampai 25% lebih rendah daripada kelompok ayam kontrol.

Nauke dan Koelliker (1981) melaporkan bahwa dengan pemberian 0; 2,5; 5,0; dan 10% clinoptilolite dalam ransum ayam leghorn putih selama enam periode, memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap mortalitas, berat telur, pertambahan berat badan, kualitas kerabang dan kualitas bagian dalam telur, akan tetapi meningkatkan konsumsi pakan per ekor per hari dengan meningkatnya jumlah clinoptilolite dalam ransum.

Penambahan zeolite dalam ransum dapat juga memberikan pengaruh negatif, dimana taraf pemberian 0,5; 1,0 dan 1,5% pada ayam petelur umur 25 sampai 41 minggu menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata dalam pertambahan berat badan, berat telur, tebal kerabang, Haught Unit , haemoglobine darah, jumlah sel darah merah dan volume sel padat (packed


(47)

cell volume) bahkan penggunaan 1,5% zeolite menurunkan produksi telur secara nyata dan meningkatkan air feses (Ingram et al, 1986).

Hasil penelitian Phillips (1988) dilaporkan bahwa ternyata zeolite dapat mengikat aflatoxin, sehingga ternak terhindar dari keracunan. Dengan pemberian 0,55 hydrated sodium calciumaluminosilikat (HSCAS) pada ransum anak ayam Leghorn dan broiler secara nyata dapat menurunkan “pengaruh penghambat pertumbuhan” yang biasanya oleh aflatoxin yang tumbuh sebagai kontaminan alami dalam ransum dimana akibat kronis dari aflatoxin dan mikotoxin lainnya dapat menurunkan produktivitas.

Penelitian penggunaan zeolite terhadap penampilan puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonika) telah dilakukan oleh Wijaya (1988) selama 4 empat minggu dengan penambahan sebanyak 0; 0,5; 1,0 dan 1,5% zeolite dalam ransum. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa zeolite tidak nyata mempengaruhi pertambahan bobot badan, konversi ransum dan konsumsi air minum. Zeolite hanya mempengaruhi konsumsi air minum pada minggu ke-6 secara nyata. Akan tetapi disebutkan pula bahwa secara biologis zeolite menunjukkan kecenderungan meningkatkan pertambahan bobot badan, meningkatkan konsumsi ransum, memperbaiki efisiensi penggunaan ransum dan meningkatkan konsumsi ransum, masing-masing 99,0 gram/ekor/minggu, 413,61 gram/ekor/minggu, 4,19 (gram ransum/gram bobot badan/minggu) dan 28,61 ml/ekor/hari untuk ransum tanpa pemberian


(48)

zeolite dibandingkan dengan pemberian 1,5% zeolite dimana hasilnya masing-masing 101,23 gram/ekor/minggu, 412,96 gram/ekor/minggu, 4,12 (gram ransum/gram bobot badan/minggu) dan 33,76 ml/ekor/hari. Penelitian tentang pemberian zeolite dalam ransum puyuh belum banyak dilakukan meskipun di luar negeri sehingga tidak diperoleh data sebagai pembanding. Penambahan zeolite dalam ransum komersial untuk meningkatkan produksi broiler telah dilakukan oleh Suijah (1990) untuk mengkaji kebenaran tentang perbaikan penampilan produksi ayam broiler dengan penambahan zeolite dalam ransumnya. Hasil pengamatan yang dilakukan adalah bahwa penambahan zeolite sampai dengan 4 persen dalam ransum tidak mempengaruhi rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konsumsi air minum, namun sangat nyata meningkatkan efisiensi penggunaan pakan serta meningkatkan “Income Over Feed Cost” dengan meningkatnya taraf zeolite dalam ransum. Efisiensi penggunaan makanan yang diperoleh dari masing-masing perlakuan pemberian zeolite ransum (0%,1%,2%,3% dan 4%) adalah 0,502; 0,513; 0,521; 0,530 dan 0,531 dengan perkataan lain ransum yang mengandung empat persen zeolite memiliki efisiensi penggunaan pakan 5,78% lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Penelitian ini didukung oleh Onagi dalam Mumpton dan Fishman (1977) yang melaporkan adanya kenaikan efisiensi penggunaan pakan sebesar 20% dibanding kontrol dengan penambahan 10% clinoptilolit dalam ransum.


(49)

2.2. Ternak ruminansia

Penggunaan zeolite pada ternak ruminansia sudah banyak dilakukan karena clinoptilolite mempunyai kemampuan mengikat NH4+ dan hal ini merupakan

potensi besar untuk penambahan dalam ransum ruminansia.

Penelitian yang dilakukan Pond (1984) dengan menggunakan beberapa sumber protein, yaitu tepung ikan dan bungkil kacang kedelai untuk membandingkan apakah terdapat interaksi antara jenis zeolite dengan sumber protein. Hasil yang diperoleh tidak terdapat interaksi antara jenis zeolite yang digunakan dengan sumber protein terhadap berat badan, konversi ransum dan konsumsi ransum, tetapi terlihat bahwa penggunaan 2 persen clinoptilolite lebih baik daripada penggunaan dua persen zeolite A. Menurut White dan Ohlrogge dalam Mumpton dan Fishman (1977) bahwa zeolite dapat mencegah keracunan amonia karena pemakaian NPN seperti urea pada ternak sapi, domba dan kambing. Selanjutnya Mumpton dan Fishman (1977) melaporkan bahwa umumnya mineral menunjukkan keefektifannya sebagai penyangga dalam lambung ternak ruminansia. Dengan cara ini ternak akan menyerap zat-zat makanan penting dan disimpan dalam tubuh selama beberapa waktu, kemudian dilepas secara perlahan-lahan dalam sistem pencernaan.


(50)

Penelitian pendahuluan tentang penggunaan zeolite untuk ruminansia kerbau dan domba telah dilakukan secara in vitro oleh Nainggolan (1989) untuk melihat pengaruh berbagai taraf zeoli terhadap produksi N-NH3, VFA,

kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik (KBO), sehingga taraf optinum/maksimum zeolite untuk aktivitas mikroba rumen kerbau dan domba dapat ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian zeolite berpengaruh sangat nyata terhadap produksi NH3 dan KBO serta

berpengaruh nyata terhadap produksi VFA dimana pemberian taraf zeolite duaa persen menghasilkan produksi VFA maksimum.

Pemberian mineral zeolite dalam ransum terhadap penampilan ternak babi lepas sapih telah diteliti oleh Sianturi (1988) dengan taraf pemberian 0%; 1,5%; 3%; 4,5% dan 6 %. Zeolite dalam ransum. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan harian, konversi ransum, dan tebal lemak punggung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi pemberian enam persen zeolite dalam ransum memberi nilai ekonomis yang paling tinggi. Selanjutnya Sianturi (1988) menjelaskan bahwa pemberian zeolite enam persen dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi ransum (18,04%), pertambahan berat badan harian (13,36%) dan pendapatan (7,40%) tetapi konversi ransum lebih jelek (2,74%) dan lemak punggung yang lebih tebal (7,69%) dibandingkan dengan ransum kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa


(51)

penggunaan zeolite melebihi 6 persen dalam ransum masih dapat dilakukan sejauh masih dapat memberikan keuntungan yang lebih besar.

2.3. Ternak babi

Penggunaan zeolite pada ternak babi sudah banyak dilakukan antara lain oleh Shurson et al (1984), Pond dan Yen (1982), Ma et al (1980), Cool dan Willard (1982), Paska et al (1982), Castro dan Elias (1978), Tkachev dan Ustin (1985), dan Tzeng (1980).

Menurut Pond dan Yen (1982) babi yang diberi zeolite dari 2 sumber geografi dan ukuran partikel yang berbeda menghasilkan respon terhadap pertumbuhan yang berbeda dimana partikel zeolite yang kecil akan menyebabkan pertambahan bobot badan yang lebih cepat. Sementara Castro dan Elias (1978) mendapatkan bahwa zeolite yang ditambah pada ransum dengan bahan dasar tetes tidak memperlihatkan perbedaan pertambahan berat badan harian, tetapi pemberian lima persen zeolite memperbaiki efisiensi penggunaan ransum.

Pond dan Yen (1982) melaporkan bahwa pemberian zeolite dapat meningkatkan berat lahir dan berat sapih selama umur 7-14 hari dan kemampuan hidup sampai umur 28 hari. Setelah itu berat badan turun secara nyata. Dengan demikian pemberian zeolite menghilangkan diare tidak efektif meningkatkan pertambahan berat badan.


(52)

Pemberian zeolite untuk ternak babi selama periode pertumbuhan akhir telah diteliti oleh Ma et al (1980). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian zeolite pada kedua periode tersebut memberikan kenaikan rataan pertambahan berat badan harian sebesar 588 gram. Pemberian zeolite juga mengurangi kandungan air feses sebesar 30% akan tetapi konsentrasi amoniak di jejenum naik sedangkan di ileum adalah tetap. T5total karbon dioksida dan pH tetap dalam jejenum dan illeum dan penyerapan kalsium naik sekitar 17% (Cool dan Wilard, 1982).

Shurson et al (1984) menyatakan bahwa kotoran ternak babi yang tidak mendapat zeolite dalam ransumnya kaya akan nitrogen dalam semua bentuk bila dibandingkan dengan kotoran babi yang mendapat zeolite, keadaan ini memberi indikasi bahwa zeolite memberi sumbangan dalam mengefisiensikan penggunaan nitrogen dalam ransum menjadi protein daging.

Selanjutnya dilaporkan bahwa nilai biologis protein secara linear meningkat dengan meningkatnya taraf pemberian zeolite dalam makanan dan hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan amonia oleh zeolite dalam saluran gastrointestinal, Net Protein Value (NPV) berkurang dengan kenaikan taraf clinoptilolite, sedangkan retensi Ca, P, Mg, K dan Fe menurun secara linear dengan meningkatnya taraf zeolite A dan kenaikan taraf clinoptilolite hanya menyebabkan retensi P berkurang secara linear.


(53)

Penggunaan zeolite untuk babi bunting juga telah dilakukan terhadap hasil produksi dan reproduksinya. Penelitian Tzeng (1980) memperlihatkan bahwa babi bunting yang diberi zeolite sebanyak tiga dan lima persen memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap rataan pertambahan berat badan harian, efisiensi penggunaan pakan anak babi, akan tetapi pemberian dengan taraf lima persen cenderung menghasilkan total anak yang lebih banyak dan kematian yang lebih sedikit.

2.3.1. Ternak lain

Penggunaan zeolite tidak terbatas pada ternak unggas, ruminansia dan babi. Penelitian tentang pemberian zeolite dalam ransum ternak kelinci dan tikus juga sudah dilakukan.

Rod Smith (1983) menyatakan bahwa pemberian zeolite 1,5 sampai 3,0 persen dapat mengefisienkan penggunaan pakan dan menurunkan angka kematian pada ternak kelinci.

Pemberian zeolite pada tikus dapat menimbulkan malignant mesothelioma, sejenis tumor. Adapun jenis zeolite yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis erionit dan modernit dan diberikan pada tikus dengan cara injeksi.


(54)

Pustaka

Ballard, R and H.M. Edwards Jr. 1988. Effects of dietary zeolite and vitamin A on Tybial Dyschondroplasia in chickens. Poul. Sci. 67:113-119. Castro, M and Elias. 1978. Effect of inclusion of zeolite in final molasses

based diets on performance of growing fattening pigs. Chem. Abstr. 96 (24).

Cool, W.M. and J.M. Willard. 1982. Effect of clinoptilolite on swine Nutrition. Nutr. Rep. Int. 26 (2): 759.

Dion, J.A. and L.B. Carew Jr. 1984. Dietary dilution with clinoptilolite in a Iow-protein broiler diet Nutrition Reports International. 29 (6): 1419-1427. Hebert, J.A. and L.F. Berrio and D.R. Ingram. 1986. Evaluation of Sodium

aluminosilicate in broiler feed. Poul.Sci. Abstr. 66:21.

Ingram, D.R. and C.D. Aquillard. 1987. Influence of ethical-tm feed component on broiler performance. Poultry Sci. Abstr. 66:21.

Lon-wo, E., F.Perez and J.L. Gonzaler. 1987. Inclution of 5% of zeolite (clinoptilolite) in diets for fattening chickens under commercial conditions. Cuban J.Agric.Sci. 21:165-169.

Mumpton, F.A. and F.H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and aquaculture.J. Anim. Sci.45: 1188-1203.

Ma, L.S., J. Zeng and C.M. Tsai. 1980. Effect of continous feeding of zeolite and protease on performance of growing-finishing pigs. Nutr.Abstr.and Rev. 53(1):661.

Nakaue, H.S. and J.K. Koelliker. 1981. Studies with clinoptilolite in poultry. I. Effect of feeding varying levels of clinoptilolite (zeolite) to dwarf single comb white leghorn pullets and ammonia production. Poultry Sci. 60:944-949.

Nakaue, H.S. , J.K. Koelliker and M.L. Pierson. 1981. Studies with clinoptilolite in poultry. II. Effect of feeding broilers and the direct application of clinoptilolite (zeolite) on clean and reused broiler performance and house envirovement. J. Poultr. Sci. 60:1221-1228.


(55)

Nainggolan, T.P. 1989. Uji Fermentabilitas ransum dengan penambahan zeolit pada level yang berbeda secara in vitro. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Phillips, T.D., L.F. Kubena and R.B. Harvey, D.R. Taylor and N.D. Heidelhaugh.1988. Hydrated sodium calcium aluminosilicate: A high affinity sorbent for aflatoxin. Poultr. Sci. 67:243-147.

Paska, I., J.Soltes., L. Vavro., M. Petricek., and Z. Hvlikova. 1982. The utilization of Zeolites in pig rearing. Nutr. Abstr. And Rev. 52(2):664. Pesson, G.W., W.C. Smith and M.F. Janet. 1985. Influence of Dietary

Zeolites on pig performance over the live weight range 25-27 kg. Bio. Abstr. 80 (12).

Pond, W.G. and J.T. Yen. 1984. Physicological Effect of Clinoptilolite and Synthetic zeolites A in animals. Zeo Agr. 127-142.

Suijah, 1990. Penambahan zeolit dalam ransum komersial untuk meningkatkan produksi broiler dan mengurangi kadar amonia dan air feses. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Sianturi, N. 1988. Pengaruh pemberian mineral zeolit dalam ransum terhadap penampilan ternak babi lepas sapih. Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian, Bogor.

Tzeng, C.M. 1980. The Feeding of Zeolite on Litter Size at Birth on Swine. Nutr.Abstr. and Rev. 101:285.

Tkackev, E.Z. and V.V. Ustin. 1985. Digestive and Exchange Fungtions of Gastrointestinal Tract of Young Swine When Natural Zeolite is added to mixed Bio. Abstr. 80 (12):13.

Wijaya, W. 1988. Pengaruh pemberian zeolite terhadap penampilan puyuh Jepang (Coturnix coturnix Japonica). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Woldroup, P.W., G.K. Spencer and N.K. Smith. 1984. Evaluation of zeolites in Diet of Broiler Chickens. Poul. Sci. 63:1833-1836.

Willis, W.L., C.Y. Quarles and Fagerberg. 1982. Evaluation of Zeolite Feed to Male broiler chickens. Poult. Sci. 61:438-442.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, B.M. 1990. Pengkajian zeolit alam dan strategi pendayagunaannya dalam industri agro. Seminar Nasional “Zeo agroindustri”. Bandung.

Little, T.M. 1981. Statistics: A Tool for the horticulturalscientist, Proceed. Symp. Hort. Sci. 16 (5): 637-40.

McCollum and M.L. Galyean. 1983. Effects of Clinoptilolite on rumen fermentation, digestion and feedlot performance in beef steers fed high concentrate diets. J. Anim. Sci. 56:517.

NRC. 1979. Nutrient Requirements of Domestic Animals. No. 2. Nutrient Requriements of Swine. Ed. . National Academy of Sciences-National Research Council. Washington, DC.:23.

Steel, R.G.D. and J.H. Torries. 1980. Principles and Prosedures of Statistic, Ed. 2thMc-Graw-Hill International Book Co. New Delhi.

Dryer, A. 1988. An Introduction to Zeolite Molecular Sieces. Jhin Wiley & Sons Ltd., Chichester.


(1)

penggunaan zeolite melebihi 6 persen dalam ransum masih dapat dilakukan sejauh masih dapat memberikan keuntungan yang lebih besar.

2.3. Ternak babi

Penggunaan zeolite pada ternak babi sudah banyak dilakukan antara lain oleh Shurson et al (1984), Pond dan Yen (1982), Ma et al (1980), Cool dan Willard (1982), Paska et al (1982), Castro dan Elias (1978), Tkachev dan Ustin (1985), dan Tzeng (1980).

Menurut Pond dan Yen (1982) babi yang diberi zeolite dari 2 sumber geografi dan ukuran partikel yang berbeda menghasilkan respon terhadap pertumbuhan yang berbeda dimana partikel zeolite yang kecil akan menyebabkan pertambahan bobot badan yang lebih cepat. Sementara Castro dan Elias (1978) mendapatkan bahwa zeolite yang ditambah pada ransum dengan bahan dasar tetes tidak memperlihatkan perbedaan pertambahan berat badan harian, tetapi pemberian lima persen zeolite memperbaiki efisiensi penggunaan ransum.

Pond dan Yen (1982) melaporkan bahwa pemberian zeolite dapat meningkatkan berat lahir dan berat sapih selama umur 7-14 hari dan kemampuan hidup sampai umur 28 hari. Setelah itu berat badan turun secara nyata. Dengan demikian pemberian zeolite menghilangkan diare tidak efektif meningkatkan pertambahan berat badan.


(2)

Pemberian zeolite untuk ternak babi selama periode pertumbuhan akhir telah diteliti oleh Ma et al (1980). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian zeolite pada kedua periode tersebut memberikan kenaikan rataan pertambahan berat badan harian sebesar 588 gram. Pemberian zeolite juga mengurangi kandungan air feses sebesar 30% akan tetapi konsentrasi amoniak di jejenum naik sedangkan di ileum adalah tetap. T5total karbon dioksida dan pH tetap dalam jejenum dan illeum dan penyerapan kalsium naik sekitar 17% (Cool dan Wilard, 1982).

Shurson et al (1984) menyatakan bahwa kotoran ternak babi yang tidak mendapat zeolite dalam ransumnya kaya akan nitrogen dalam semua bentuk bila dibandingkan dengan kotoran babi yang mendapat zeolite, keadaan ini memberi indikasi bahwa zeolite memberi sumbangan dalam mengefisiensikan penggunaan nitrogen dalam ransum menjadi protein daging.

Selanjutnya dilaporkan bahwa nilai biologis protein secara linear meningkat dengan meningkatnya taraf pemberian zeolite dalam makanan dan hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan amonia oleh zeolite dalam saluran gastrointestinal, Net Protein Value (NPV) berkurang dengan kenaikan taraf clinoptilolite, sedangkan retensi Ca, P, Mg, K dan Fe menurun secara linear dengan meningkatnya taraf zeolite A dan kenaikan taraf clinoptilolite hanya menyebabkan retensi P berkurang secara linear.


(3)

Penggunaan zeolite untuk babi bunting juga telah dilakukan terhadap hasil produksi dan reproduksinya. Penelitian Tzeng (1980) memperlihatkan bahwa babi bunting yang diberi zeolite sebanyak tiga dan lima persen memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap rataan pertambahan berat badan harian, efisiensi penggunaan pakan anak babi, akan tetapi pemberian dengan taraf lima persen cenderung menghasilkan total anak yang lebih banyak dan kematian yang lebih sedikit.

2.3.1. Ternak lain

Penggunaan zeolite tidak terbatas pada ternak unggas, ruminansia dan babi. Penelitian tentang pemberian zeolite dalam ransum ternak kelinci dan tikus juga sudah dilakukan.

Rod Smith (1983) menyatakan bahwa pemberian zeolite 1,5 sampai 3,0 persen dapat mengefisienkan penggunaan pakan dan menurunkan angka kematian pada ternak kelinci.

Pemberian zeolite pada tikus dapat menimbulkan malignant mesothelioma, sejenis tumor. Adapun jenis zeolite yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis erionit dan modernit dan diberikan pada tikus dengan cara injeksi.


(4)

Pustaka

Ballard, R and H.M. Edwards Jr. 1988. Effects of dietary zeolite and vitamin A on Tybial Dyschondroplasia in chickens. Poul. Sci. 67:113-119. Castro, M and Elias. 1978. Effect of inclusion of zeolite in final molasses

based diets on performance of growing fattening pigs. Chem. Abstr. 96 (24).

Cool, W.M. and J.M. Willard. 1982. Effect of clinoptilolite on swine Nutrition. Nutr. Rep. Int. 26 (2): 759.

Dion, J.A. and L.B. Carew Jr. 1984. Dietary dilution with clinoptilolite in a Iow-protein broiler diet Nutrition Reports International. 29 (6): 1419-1427. Hebert, J.A. and L.F. Berrio and D.R. Ingram. 1986. Evaluation of Sodium

aluminosilicate in broiler feed. Poul.Sci. Abstr. 66:21.

Ingram, D.R. and C.D. Aquillard. 1987. Influence of ethical-tm feed component on broiler performance. Poultry Sci. Abstr. 66:21.

Lon-wo, E., F.Perez and J.L. Gonzaler. 1987. Inclution of 5% of zeolite (clinoptilolite) in diets for fattening chickens under commercial conditions. Cuban J.Agric.Sci. 21:165-169.

Mumpton, F.A. and F.H. Fishman. 1977. The application of natural zeolite in animal science and aquaculture.J. Anim. Sci.45: 1188-1203.

Ma, L.S., J. Zeng and C.M. Tsai. 1980. Effect of continous feeding of zeolite and protease on performance of growing-finishing pigs. Nutr.Abstr.and Rev. 53(1):661.

Nakaue, H.S. and J.K. Koelliker. 1981. Studies with clinoptilolite in poultry. I. Effect of feeding varying levels of clinoptilolite (zeolite) to dwarf single comb white leghorn pullets and ammonia production. Poultry Sci. 60:944-949.

Nakaue, H.S. , J.K. Koelliker and M.L. Pierson. 1981. Studies with clinoptilolite in poultry. II. Effect of feeding broilers and the direct application of clinoptilolite (zeolite) on clean and reused broiler performance and house envirovement. J. Poultr. Sci. 60:1221-1228.


(5)

Nainggolan, T.P. 1989. Uji Fermentabilitas ransum dengan penambahan zeolit pada level yang berbeda secara in vitro. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Phillips, T.D., L.F. Kubena and R.B. Harvey, D.R. Taylor and N.D. Heidelhaugh.1988. Hydrated sodium calcium aluminosilicate: A high affinity sorbent for aflatoxin. Poultr. Sci. 67:243-147.

Paska, I., J.Soltes., L. Vavro., M. Petricek., and Z. Hvlikova. 1982. The utilization of Zeolites in pig rearing. Nutr. Abstr. And Rev. 52(2):664. Pesson, G.W., W.C. Smith and M.F. Janet. 1985. Influence of Dietary

Zeolites on pig performance over the live weight range 25-27 kg. Bio. Abstr. 80 (12).

Pond, W.G. and J.T. Yen. 1984. Physicological Effect of Clinoptilolite and Synthetic zeolites A in animals. Zeo Agr. 127-142.

Suijah, 1990. Penambahan zeolit dalam ransum komersial untuk meningkatkan produksi broiler dan mengurangi kadar amonia dan air feses. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Sianturi, N. 1988. Pengaruh pemberian mineral zeolit dalam ransum terhadap penampilan ternak babi lepas sapih. Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian, Bogor.

Tzeng, C.M. 1980. The Feeding of Zeolite on Litter Size at Birth on Swine. Nutr.Abstr. and Rev. 101:285.

Tkackev, E.Z. and V.V. Ustin. 1985. Digestive and Exchange Fungtions of Gastrointestinal Tract of Young Swine When Natural Zeolite is added to mixed Bio. Abstr. 80 (12):13.

Wijaya, W. 1988. Pengaruh pemberian zeolite terhadap penampilan puyuh Jepang (Coturnix coturnix Japonica). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan IPB.

Woldroup, P.W., G.K. Spencer and N.K. Smith. 1984. Evaluation of zeolites in Diet of Broiler Chickens. Poul. Sci. 63:1833-1836.

Willis, W.L., C.Y. Quarles and Fagerberg. 1982. Evaluation of Zeolite Feed to Male broiler chickens. Poult. Sci. 61:438-442.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, B.M. 1990. Pengkajian zeolit alam dan strategi pendayagunaannya dalam industri agro. Seminar Nasional “Zeo agroindustri”. Bandung.

Little, T.M. 1981. Statistics: A Tool for the horticulturalscientist, Proceed. Symp. Hort. Sci. 16 (5): 637-40.

McCollum and M.L. Galyean. 1983. Effects of Clinoptilolite on rumen fermentation, digestion and feedlot performance in beef steers fed high concentrate diets. J. Anim. Sci. 56:517.

NRC. 1979. Nutrient Requirements of Domestic Animals. No. 2. Nutrient Requriements of Swine. Ed. . National Academy of Sciences-National Research Council. Washington, DC.:23.

Steel, R.G.D. and J.H. Torries. 1980. Principles and Prosedures of Statistic, Ed. 2thMc-Graw-Hill International Book Co. New Delhi.

Dryer, A. 1988. An Introduction to Zeolite Molecular Sieces. Jhin Wiley & Sons Ltd., Chichester.