Untitled Document

Karya Ilmiah

PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

Oleh :
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2007

KATA PENGANTAR
Pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Namun dalam merencanakan maupun melaksanakan program
pembangunan pedesaan tidak bisa dilakukan secara seragam melainkan harus sesuai
dengan ciri khas dari masing-masing desa. Sebab setiap desa memiliki karakteristik
yang berbeda dilihat dari segi mutu sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam
(SDA), jumlah penduduk, keadaan sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, termasuk masalah dan kebutuhan pokok masyarakat yang berbeda pula.
Pemerintah juga harus dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan

pembangunan pedesaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal agar tujuan
pembangunan wilayah pedesaan dapat berhasil dicapai.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga
menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya.
Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Juli 2007
Penulis

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI


ii

BAB I

BAB II

BAB III

BAB IV

PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang

1

1.2. Tujuan Penulisan


4

PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

4

2.1.Masalah Pokok Masyarakat Desa

4

2.2.Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia

8

2.3. Kewenangan Desa

15

PEMBAHASAN


21

3.1. Pembangunan Masyarakat Desa

21

3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar

29

3.3. Agroindustri Dalam Membangun Pedesaan

31

3.4. Pembangunan Desa Yang Berkelanjutan

34

3.5. Industrialisasi Desa-Democratic Governance


35

KESIMPULAN DAN SARAN

38

4.1. Kesimpulan

38

4.2. Saran

40

DAFTAR PUSTAKA

42

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah lebih dari 200 juta pada awal abad
ke-21, terbesar keempat di dunia setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Tersebar
pada 13.000 pulau, di mana 70 persen bermukim di desa dan bekerja pada sektor
pertanian. Setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi mutu
sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), jumlah penduduk, keadaan
sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Masalah dan
kebutuhan pokok masyarakat pada setiap desa juga berbeda. Hal ini berarti bahwa
setiap program pembangunan pedesaan harus berbeda sesuai dengan ciri khas dari
masing-masing desa.
Sudah lama diakui bahwa pembangunan pedesaan merupakan faktor penting
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ada manfaat langsung dan tidak langsung
dari pembangunan prasarana yang sangat signifikan, baik dalam penciptaan kesempatan
kerja maupun strategi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan
pedesaan juga merupakan suatu strategi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.
Investasi dalam prasarana pedesaan berbasis sumber daya setempat dengan jelas
memberikan mamfaat yang signifikan bagi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat
pedesaan. Berbagai indikator ekonomi seperti peningkatan penghasilan, kesempatan
kerja, produktifitas dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Manfaat sosial meliputi

penghematan waktu, akses yang lebih mudah ke sekolah dan sarana kesehatan serta
semakin baiknya arus informasi.

1

Dalam upaya mencapai keberhasilan tujuan pembangunan wilayah pedesaan saat
ini, secara umum kita dihadapkan pada banyak tantangan yang sangat berbeda sifatnya
dibandingkan pada masa-masa yang lalu. Tantangan pertama berkaitan dengan kondisi
eksternal seperti perkembangan internasional yang berhubungan dengan liberalisasi arus
investasi dan perdagangan global. Sedangkan yang kedua bersifat internal, yaitu yang
berkaitan dengan perubahan kondisi makro maupun mikro dalam negeri. Tantangan
internal disini dapat meliputi transformasi struktur ekonomi, masalah migrasi spasial
dan sektoral, ketahanan pangan, masalah ketersediaan lahan pertanian, masalah
investasi dan permodalan, masalah iptek, SDM, lingkungan dan masih banyak lagi.
Proses transformasi suatu wilayah pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri
secara ilmiah telah banyak diulas peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata
dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan
pertanian berada di wilayah pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan
ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya
dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi

prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya
secara lebih terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai
wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan
wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.

1.2. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini penting untuk dilakukan terutama
bila dikaitkan dengan upaya pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan yang saat ini
mulai gencar dilakukan oleh pemerintah. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini

2

adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan pembangunan desa,
yang meliputi cara melepas ketergantungan desa dari luar, agroindustri dalam
membangun desa, pembangunan desa yang berkelanjutan, serta industrialisasi desa.

3

BAB II
PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN


2.1. Masalah Pokok Masyarakat Desa
Merebaknya kebutuhan akan suatu strategi besar ekonomi nasional baru (grand
strategy) sebenarnya telah lama dinantikan. Kini, setelah begawan ekonomi Prof
Sumitro Djojohadikusumo sendiri yang mengimbau para ekonom agar segera menyusun
strategi ekonomi pasca krisis yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, barulah
masalah ini menjadi aktual dalam mengisi wacana publik di tingkat nasional. Ini
ditafsirkan sebagai pertanda awal bahwa para pakar ekonomi sudah mulai menyadari
tentang tidak akan mampunya utak-atik kebijakan lama membawa bangsa keluar dari
krisis. Merebaknya kebutuhan akan strategi besar ekonomi nasional baru, adalah
pernyataan yang mendambakan hadirnya suatu perubahan yang fundamental dalam
strategi dasar pembangunan ekonomi dengan sungguh-sungguh belajar dari krisis ini.
Sebagai konsekuensinya, kita pun dituntut agar mau meninggalkan pola pikir
dan pola tindak kita selama ini. Dalam kerangka itu, hal penting yang terlebih dahulu
harus dilakukan adalah menentukan ciri dari strategi baru yang hendak dibangun. Secara
sederhana, ciri itu haruslah menutupi kekurangan, meluruskan kekeliruan, dan
mengobati luka-luka bangsa yang pernah ditimbulkan di masa lampau.
Kalau pun ada satu ciri yang paling kuat mewarnai masa lampau, itu tidak lain adalah
ketidakadilan di semua matra kehidupan bangsa. Industri-pertanian, perkotaanperdesaan, Jawa-luar Jawa, penguasa/pengusaha-rakyat kecil/buruh, militer-sipil, lakilaki- perempuan, dan mayoritas-minoritas, adalah beberapa di antara dikotomi
diskriminatif yang kita kenal pada tahapan terakhir Orde Baru.


4

Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan “leadingsectors” telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan. Doktrin pertumbuhan
sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan metode produksi modern ke dalam
masyarakat desa Indonesia, cenderung memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi
dan proses pemanfaatan hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi
problem-problem pokok yang berada di tengah masyarakat
Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal, menurunnya hasil
produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah, dan sebagainya (Husken,
1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan ekonomi golongan miskin di
pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang menggantungkan hidupnya dari
kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan ekonomi yang timpang antara kawasan
perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut premature urbanization
bersamaan dengan terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief,
1990).
Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak dapat
ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai
manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut
dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya

secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini
bukan disebabkan oleh permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi sematamata disebabkan oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja
dalam jumlah banyak.
Margono Slamet (1978) mengemukakan bahwa masalah, ditinjau dari segi
pembangunan, adalah adanya kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi

5

yang diinginkan. Adanya suatu situasi baru yang diinginkan tetapi tidak tercapai juga
menimbulkan ada masalah. Masyarakat desa menginginkan produksi usaha tani
meningkat, tetapi tidak tercapai, tentu ada masalah. Indonesia menginginkan gerakan
reformasi dapat menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi, tetapi tidak berhasil, tentu
ada masalah. Di dalam kegiatan pembangunan desa, masalah akan muncul secara terus
menerus dan dalam bentuk yang bermacam-macam. Penyebabnya, juga berbeda
sehingga diperlukan proses identifikasi masalah untuk menentukan mana yang prioritas,
yang mudah dipecahkan dan yang sulit dipecahkan.
Prioritas adalah masalah yang benar-benar berat dan mengganggu kehidupan
masyarakat desa sehingga seluruh masyarakat desa merasakan perlu pemecahan segera.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa masalah rumit di desa ternyata mudah
dipecahkan oleh masyarakat, karena faktor penyebabnya secara dini sudah diketahui
masyarakat. Sering terjadi ada kasus-kasus kecil yang sebenarnya penting untuk
mendapat perhatian tetapi masyarakat baru bertindak setelah keadaan semakin
memburuk. Hal yang sama dapat terjadi pada masalah yang dianggap ringan. Ada
masalah yang benar-benar sulit, tetapi masyarakat desa tidak dapat bertindak, karena
pemecahannya berada di luar kemampuan mereka, sehingga diperlukan bantuan para
ahli dari luar masyarakat itu.
Dorodjatun Kuncoro-Jakti (1994) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok
masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut
masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan
antara luas tanah dan jumlah individu dan pola pemilikan atas tanah. Hal ini
mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka, serta
berlakunya upah yang rendah. Selain itu, meningkat pula jumlah kaum proletariat

6

dikalangan petani. Di sisi lain, semakin kuat kekuasaan birokrasi negara yang bersifat
nepotistik dan feodal, dan makin meluas korupsi dalam birokrasi. Masalah lain adalah
membesarnya kekuasaan golongan minoritas termasuk orang asing di sektor
perdagangan dan penanaman modal, dan adanya dualisme sosial, ekonomi, dan
teknologi.
Di Indonesia, terdapat beberapa masalah nasional mendasar yang menjadi
pangkal problema pembangunan pedesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
a. Pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa yang
berlawanan yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas dengan pola
strategi perencanaan dari bawah
b. Masyarakat desa menghadapi masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan
ketidaktahuan
c. Masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang
kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang mendorong tingginya tingkat
pengangguran dan urbanisasi
d. Potensi pembangunan Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila
dilaksanakan dengan konsisten, maka pembangunan desa akan mampu
mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang multidimensi.
Sayangnya, telah terjadi dekadensi kehidupan ekonomi dan sosial budaya di
pedesaan, akibat kesalahan strategi pembangunan yang berorientasi pada
pemusatan pembangunan industri di kota-kota yang menggunakan bahan baku
impor.

7

2.2. Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia
Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan terjadinya
pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai jaman Orde Baru
sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental membaluti proses pembangunan.
Bahkan, secara sistematik skema pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan
berbagai resiko. Jika kita klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam
pembangunan desa sejauh ini.
Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara. Sebagai
aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan pemberdayaan melalui skema
“pembangunan nasional” dan “pembangunan daerah”, sebagai “master plan” yang
direncanakan secara sentralistik (terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan
prosedur birokrasi) dan teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat
(dalam katagori kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya
diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara, dengan
demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan, regulasi, informasi dan
dana untuk memobilisasi agenda kegiatan pembangunan.
Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari pemerintahan, melalui
skema pembangunan nasional dan daerah, sangat giat melancarkan berbagai program
yang dimaksudkan untuk melancarkan transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari
pembangunan desa terpadu sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui
pembangunan itulah, pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa.
Diantaranya, memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan keterbalakangan,
mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi warga.

8

Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural development)
merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-lembaga internasional seperti
Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema perbaikan prasarana fisik spasial desa
(perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran), peningkatan produksi pertanian
melalui revolusi hijau, maupun pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi dan layanan sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan
prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang
menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat melalui
Inpres Bandes, mulai tahun 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana fisik yang
berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka pembangunan
sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek atau kelompok penerima
manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral dikemas menjadi rangkaian “proyek
berkelanjutan” yang didanai oleh APBN dan ditangani langsung oleh birokrasi negara
baik di pusat maupun daerah (yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu
mengatakan bahwa semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri,
pasti mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang
terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan yang
dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini merupakan skema
sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan desentralisasi pembangunan
secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal perencanaan pembangunan dari bawah
(bottom-up planning).
Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi warga
masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi dirinya masingmasing

tanpa

digerakkan

secara

langsung

oleh

negara.

Ada

warga

yang

9

mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang berdagang, ada yang
membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah, ada yang merantau ke kota,
dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa yang sukses mendongkrak mobilitas
sosial, karena usaha mereka sendiri atau karena memanfaatkan dampak positif
pembangunan yang digerakkan negara. Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar,
misalnya, memungkinkan warga desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilirmudik ke kota dengan lancar dan mudah.
Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari
sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut
pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan
basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks
pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat
merupakan komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial desa, yang
dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa
bantuan desa merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya
lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk
mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga
masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala
lebih besar
Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut kapitalisasi
atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan akses permodalan
kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional maupun internasional, untuk
melancarkan industrialisasi di kawasan pedesaan. Memang ada industrialisasi yang
berskala lokal-kecil yang digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya

10

konveksi, keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan
masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang padat modal,
yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi rakyat desa. Tetapi yang
lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat modal berskala besar yang betulbetul melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun sumberdaya alam di wilayah
pedesaan. Kita bisa menyebut industri pariwisata, pengolahan hasil pertanianperkebunan (gula, kayu lapis, rokok, minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll),
pengolahan tanah-batu (genting, batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan
sampah, pengolahan air minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall),
pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan komunitas
desa.
Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan politik
yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru
bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi),
melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi,
birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan
masyarakat dan menciptakan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin
Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan
bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan
pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi politik
terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan demokrasi.
Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya dengan
penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang waktu di bawah
kekuasaan pemerintahan orde baru. Perlakuan negara atas desa dengan cara-cara otoriter

11

tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan
itu diantaranya, pertama, korporatisasi-birokratisasi, yakni manajemen politik atas desa
yang ditandai oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem
politik dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua,
homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan asosiasi sipil
setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga, eksploitatif yakni
memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah tetapi hanya dimanfaatkan
demi keuntungan negara semata, tentu mengabaikan peruntukan kepentingan warga
desa.
Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung semangat suatu
konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser statusnya secara
struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-administratif. Desa, dengan
demikian, dipaksa untuk membuat preferensi yang sama (dalam hal format, struktur dan
orientasi) yang pada substansinya cenderung bias Jawa sesuai skenario pemerintah
(pusat). Maksudnya adalah mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa
ke dalam arus utama, atau ideologi negara.
Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi pengaturan
desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa, dengan dampak lamakelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi lokal tidak memperoleh lahan
berkembang, dan stagnasi menjadi sulit dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan
itu muncul, pemerintah Orde Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan desadesa dengan kesatuan hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat
otonom tersebut tentu akan mempersulit upaya pengaturan dan pengendalian.

12

Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan
perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap akan
menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde Baru, desa-desa
ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem yang ada pada negara. Oleh
karena itulah, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran terintegrasi
kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila
mungkin,

penyeragaman

bukan

hanya

dalam

sistem

pemerintahan

dan

ketatanegaraannya saja, melainkan dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk
memudahkan pengawasan dan kendali, juga agar mempermudah pemerintah
melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan.
Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas makna
kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras politik, yang berarti
kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan. Pola yang semacam itu
berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus merosot dan bahkan hancur, dimana
desa pada umumnya relatif gagal menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan
pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi warganya.
Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang ditopang
dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan
kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas,
industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah,
penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah
menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan kerusakan lingkungan.
Banyak industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi

13

yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga industrialisasi sering
menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat.
Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah menciptakan
mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa. Mobilitas sosial bisa kita
ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk,
peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan
prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern
(televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih
banyak lagi), dan sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan
makmur, karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari
para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih
baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an.
Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi
yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan
jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh
pembangunan. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani,
mayoritas penghuni desa. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao,
cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga
dengan para cukong pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di
Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970,
sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan
selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin menjadi
11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah
krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulan Agustus 1999

14

jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6
juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun
2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%)
penduduk pedesaan yang tergolong sebagai kaum miskin.
Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan ekonomi dan
industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas lebih banyak
menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi sehingga belum mengarah
pada kesejahteraan dan keadilan di desa.

2.3. Kewenangan Desa
PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan
desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD
sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa.
Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No.
32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam
menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di
bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada
pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah
desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
Seperti dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang
Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang
sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya
bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam

15

kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan
terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan
dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya bukan di
kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di
kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari kabupaten.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan
dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah
Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi
daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur
anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.
Berkaitan

dengan

Otonomi

Daerah,

bagi

Pemerintah

Desa;

dimana

keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak
pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan
Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada
masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali
potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi
masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut
diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa
yang

mampu

memenuhi

kepentingan

dan

kebutuhan

yang

dirasakannya.

Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa
semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa
kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.

16

Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang
muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering
menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era tersebut, proses
politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola manajemen
pemerintahan desa yang otonom.
Masyarakat atau kelompok masyarakat diperkenalkan dengan hal baru dalam
konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru
demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Beberapa
kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu dicari jalan keluarnya,
antara lain: Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan
maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan
daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus
menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari atas (Tuntas).
Kedua, usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang
disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa
dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan
sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang
prioritas program pembangunan di desa dan kecamatan yang “itu-itu saja” dari tahun ke
tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam
hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang
menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan rahasia lagi
bahwa bagi desa atau kecamatan yang mempunyai orang yang memiliki akses di
pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif, sangat memudahkan desa atau
kecamatan

tersebut

memperoleh

prioritas

proyek-proyek

pembangunan.

17

Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar dapat diwujudkan, barangkali cukup
menguntungkan bagi desa-desa yang memiliki aset dan sumber daya alam yang
memadai, namun justru mempersulit untuk desa-desa yang kurang strategis dalam
masalah

sumber

daya

alam

dan

tidak

memiliki

aset

yang

cukup.

Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset kabupaten yang
ada di desa. Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang
harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, desa yang memiliki aset dan banyak menerima
imbas dari keberadaan aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya
menerima penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang
mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada
di desa. Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan dalam
pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti tergabung dalam
asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar
dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten.
PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan
desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD
sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa.
Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No.
32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam
menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis subordinasi kewenangan BPD di
bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada
pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah
desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.

18

Reduksi sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat sekurangkurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai
parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang semula
dalam UU No. 22/1999 “dipilih” berdasarkan mekanisme demokratis, kini dalam UU
No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan
wilayah.
Ditinjau

dari

sudut

aliran

pertanggungjawaban

(legal

accountabi-lity)

penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun
PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No.
72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab
Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan
pertanggungjawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat
kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD memiliki
salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD
diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa
di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.
Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak
negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih
mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu

19

kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara
itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah
merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik
garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa,
daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat
(centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru
mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi
desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.

20

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pembangunan Masyarakat Desa
Prasyarat yang perlu diketahui untuk memberdayakan masyarakat desa adalah
realita kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masyarakat desa itu. Adapun
kekuatan-kekuatan masyarakat desa meliputi :
a. Secara kuantitas desa kaya akan SDM dan SDA
b. Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotongroyongan yang kuat,
menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan
mufakat
c. Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama
yang dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet
d. Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun nonformal
e. Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka
terhadap perubahan
f. Masyarakat desa mudah diajak kerja sama untuk membangun desa, terutama
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan
masalah-masalah keseharian mereka.
Kelemahan-kelemahan masyarakat pedesaan itu meliputi:
(1) Kelemahan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM. Tingkat pendidikan
mereka sangat rendah.

Akibatnya, masyarakat desa menjadi tidak berdaya

memanfaatkan atau memobiliser SDA untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Karena itu, peranan pendidikan terutama pendidikan nonformal menduduki posisi

21

kunci untuk membekali masyarakat desa dengan pengetahuan yang praktis, sikap
mental yang baik, dan keterampilan yang handal sehingga mereka mampu
melaksanakan pembangunan secara efektif. Sisi lain yang berkaitan dengan
penyebab rendahnya kualitas SDM di pedesaan adalah terjadinya arus urbanisasi
angkatan kerja muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional untuk bekerja
pada industri-industri yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di
desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi
inovasi. Masalah urbanisasi yang tinggi di Indonesia terjadi akibat pemerintah
kurang mengutamakan pembangunan industri pedesaan yang berbasis pada sektor
pertanian. Tentu saja solusi yang tepat adalah pendekatan desentralisasi, yaitu
pembangunan industri pedesaan yang sekaligus mampu meningkatkan pendapatan
dan membuka peluang kerja baru di pedesaan. Korea Selatan dan RRC mampu
membangun industri maju, setelah mereka berhasil mengubah kemiskinan menjadi
kesejahteraan di pedesaan melalui pembangunan industri pedesaan.
(2) Kemiskinan primer, yaitu suatu keadaan di mana penghasilan yang mereka peroleh
dari hasil usaha tani tidak cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk
hidup sebagai manusia yang layak. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian
hampir tidak ada di pedesaan. Jumlah anak putus sekolah dan masyarakat yang
tidak bisa baca tulis semakin besar seiring dengan rendahnya pendapatan.
Diversifikasi di bidang pertanian tidak terlaksana karena rendahnya penguasaan
teknologi, tidak ada modal, kontak dengan sumber informasi dalam meningkatkan
pengetahuanadalah sangat jarang, dan harga yang tinggi dari sarana produksi
pertanian terutama pupuk yang menjadi kebutuhan pokok.

22

(3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produsi
usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka
semakin miskin dan tidak berdaya.
(4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya
terbatas pada beberapa orang saja. Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka
yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah
yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalit.
Arthur Dunham (1958) merumuskan pembangunan masyarakat desa sebagai
“organized efforts to improve the conditions of community life, primarily through the
enlistment of self-help and cooperative effort from the villagers, but with technical
assistance from government or voluntary organization.”
Terdapat tiga ciri pokok pembangunan masyarakat desa, yaitu: pertama, adanya
usaha-usaha yang terorganisir untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat;
kedua, adanya peningkatan usaha kerjasama dan gotong royong dalam melaksanakan
pembangunan; ketiga, pembangunan masyarakat desa memerlukan bantuan teknis dari
pemerintah dan organisasi sukarela.
Lebih lanjut Dunham mengemukakan empat unsur pembangunan masyarakat
desa yaitu: a) a plan program with a focus on the total needs of the village community;
b) technical assistance; c) integrating various specialties for the help of the
commnunity; and d) a major emphasis upon self-help and participation by the residents
of the community.
Keempat unsur di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat desa
adalah suatu program yang terencana, berfokus pada kebutuhan masyarakat,
memerlukan bantuan teknis dari para ahli dari berbagai bidang, dan mengutamakan

23

kegiatan-kegiatan gotong royong untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat
dalam pembangunan.
Pembangunan masyarakat desa menjadi penting pada saat ini, karena Indonesia
adalah negara agraris, mayoritas penduduk tinggal di desa, di mana kehidupan sosial
dan ekonominya tergantung pada usaha tani tradisional. Modernisasi pertanian perlu
mendapat prioritas untuk meningkatkan produksi pertanian dan kualitas hidup
masyarakat desa.
Bertitik tolak dari tujuan pembangunan masyarakat desa di atas, Einsidiel (1968)
mengemukakan beberapa kriteria dari proyek-proyek pembangunan masyarakat desa
yang berhasil dan efektif sebagai berikut.
(1) that the project was a choice of the people, based on their felt needs;
(2) that the project involved the active participation of the people in working toward a
solution of these needs;
(3) that the project enhanced the lives of the people and the whole community;
(4) that the project initiated and established good working relationship among the
technical field worker;
(5) that the project developed positive and favorable attitudes among the people
toward the government;
(6) that the project generated community spirit in the process;
(7) that the project encouraged the people toward self-reliance and self-help.
Hakikat otonomi daerah adalah mendidik masyarakat agar lebih berdaya, mampu
bersaing dalam konteks kerjasama, dan profesional.

Masyarakat desa harus

memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Gunawan (2000) yang menekankan: “Hal-hal yang sudah
24

dapat dilaksanakan oleh masyarakat perlu segera diserahkan pelaksanaannya kepada
masyarakat. Yang belum dapat dilakukan masyarakat dilakukan oleh pemerintah,
dengan tetap berpedoman bahwa suatu saat harus dapat dan segera dilakukan sendiri
oleh masyarakat”.
Membangun desa dengan karakteristik yang berbeda bukanlah masalah yang
sederhana. Membangun desa adalah membangun manusia dengan segala hak dan
kewajibannya yang perlu mendapat perhatian. Karena itu, untuk mencapai tujuan, maka
pembangunan desa perlu berpedoman pada visi yang jelas.
Echols dan Shadily (1990) mengemukakan arti visi atau vision sebagai
penglihatan, daya lihat, pandangan, melihat ke depan dengan pikiran yang jernih.
Pengertian visi dalam konteks pembangunan desa adalah segala sesuatu yang dapat
diwujudkan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan

desa. Sebagai program yang terorganisasi, visi pembangunan masyarakat desa adalah
usaha untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik sosial maupun ekonomi,
memiliki potensi untuk mengorganisasikan sumber daya yang ada guna meningkatkan
mutu hidup yang lebih baik berdasarkan prinsip swadaya dan swakarsa, mendorong
tumbuh dan berkembangnya suatu masyarakat desa yang mandiri dalam arti mampu
mendidik dan menolong diri sendiri, dan membangun suatu sistem kepemimpinan
pedesaan yang demokratis.
Menurut A.S. Hornby et. al. (1963), mengemukakan pengertian misi atau
mission sebagai organized efforts; business or purpose in life; massage; charge ; duty;
trust. Dalam konteks pembangunan desa, pengertian misi adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang teroganisasi bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat desa. Berdasarkan pengertian di atas,

25

maka misi pembangunan masyarakat desa antara lain adalah melaksanakan kegiatan
pembangunan desa guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Dilaksanakan melalui kegiatan gotong-royong (self-help), usaha bersama (cooperative
effort), dan mengutamakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat, memberdayakan
masyarakat desa melalui jalur pendidikan nonformal sehingga mereka memiliki
pengetahuan dan keterampilan dan sikap mental positip untuk melaksanakan
pembangunan, dan melaksanakan pembangunan SDM yang berkualitas melalui
kegiatan pendidikan nonformal.

Pemberdayaan masyarakat akan efektif jika

pembangunan dilakukan bersama antara masyarakat dan aparat pemerintah sesuai
dengan metode kerja doing with the people, dan membina suatu sistem kepemimpinan
yang efektif di pedesaan.
Di desa ada pemimpin formal dan informal.

Permasalahannya adalah

kemampuan untuk memerankan tugas-tugas kepemimpinan pedesaaan yang menjadi
teladan sangat kurang, dan karenanya perlu dilakukan pembinaan. Pembinaan ini
memerlukan kegiatan pendidikan formal dan nonformal guna meningkatkan kualitas
kepemimpinan

pedesaan.

Margono

Slamet

(1978)

mengemukakan

ciri-ciri

kepemimpinan pedesaan yang baik, sebagai berikut:
(1) Empati
Pemimpin di pedesaan perlu memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya
pada kedudukan orang lain. Memberikan pekerjaan atau tugas kepada seseorang
harus sesuai dengan kemampuan orang itu. Pemimpin yang empati selalu bertindak
sesuai dengan prinsip demokrasi, menghargai dan menerima pendapat orang lain,
dapat berdiskusi atau berdialog bertitik tolak dari sudut pandang pendapat orang
lain.

26

(2) Anggota Masyarakat
Berasal dari masyarakat desa itu sendiri yang kualitas atau prestasinya di masa lalu
dapat diterima sebagai pemimpin.
(3) Penuh pertimbangan
Pemimpin di pedesaan harus arif dan bijaksana, memperhatikan orang lain, dan
harus mempertimbangkan semua akibat dari suatu kebijakan atau tindakan,
termasuk melihat dan menerima kenyataan-kenyataan yang ada di dalam
masyarakat.
(4) Lincah
Harus proaktif, penggembira, memiliki semangat yang tinggi, terbuka, suka bicara
dengan siapa saja untuk membicarakan kepentingan masyarakat, serta dinamis.
(5) Memiliki emosi yang stabil
Memiliki pola perilaku baku, konsisten, dan pola pikirnya dapat diikuti orang lain.
(6) Berkeinginan memimpin
Dipilih dari tokoh masyarakat yang memiliki keinginan menjadi pemimpin.
Walaupun banyak ide, pandai, tetapi tidak ada keinginan memimpin, tidak akan
menjadi pemimpin yang baik.
(7) Memiliki kompetensi menjadi pemimpin
Kompetensi ini menyangkut kemampuan, kecakapan, serta keinginan untuk
memimpin. Di desa banyak orang yang ambisius menjadi pemimpin, tetapi tidak
mampu untuk memimpin. Orang seperti ini tidak akan menjadi pemimpin yang
baik.
(8) Pandai/cerdas

27

Artinya dia harus memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang
baik. Dia harus mampu mengidentifikasi dan menganalisis masyarakat yang
dipimpinnya dan sekaligus menentukan tujuan apa yang akan dicapai untuk
kepentingan masyarakat desa.
Dia juga harus memiliki pola pikir kosmopolitan broad-minded dan bukan pola
pikir lokalit narrow-minded. Mampu menjadikan masalah yang rumit menjadi
sederhana, dan tidak sebaliknya menjadikan masalah yang sederhana menjadi
rumit.
(9) Berkeyakinan serta konsisten
Harus memiliki rasa percaya diri yang kuat serta konsisten di dalam mengambil
keputusan. Tidak mudah terbawa arus masyarakat dan malah harus mampu
mengarahkan arus keinginan masyarakat desa untuk melaksanakan pembangunan.
(10) Memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri.
Harus memiliki self of confidence agar dapat menempatkan dirinya sebagai teladan
dan panutan bagi masyarakat desa.

Rasa percaya diri diperlukan untuk

memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan
persepsi terhadap pembangunan di dalam masyarakat.
(11) Kemampuan membagi kepemimpinan
Harus mampu membagi tugas kepemimpinan sesuai dengan porsi dan wewenang
masing-masing. Mana tugas atau wewenang yang sudah dapat dikerjakan oleh
orang lain atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat desa harus dilimpahkan.
Idealnya, pimpinan desa bertindak sebagai fasilitator atau mitra kerja masyarakat,
sedangkan yang melaksanakan pembangunan adalah masyarakat itu sendiri.

28

3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar
Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, kita bisa mengutip
pendapat seorang pemikir strukturalis, Galtung (1971). Ia membedakan antara centre
yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery) yang
terkebelakang. Hal ini berlaku untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara.
Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di
pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah
pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita
menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang.
Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat
pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan
bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di seluruh
tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap rakyat di desa.
Dalam tulisannya Arief (1995) mengemukakan bahwa urbanisasi penduduk dari
sektor pertanian di pedesaan berlangsung akibat adanya investasi dari sektor manufaktur
dan jasa yang selama ini masih terfokus di kota/pusat. Ketika kegiatan di kota
memberikan tawaran imbalan tinggi kepada penduduk desa yang berpindah, sementara
itulah sektor pertanian akan mengalami kelangkaan relatif pekerja. Seiring dengan itu
pula, interaksi antar aktor-aktor ekonomi, antar maupun intra sektor, telah menambah
keruh keadaan dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak
kepada rakyat di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita
menggantungkan hidupnya, jauh dari perannya sebagai pondasi pembangunan yang
sesungguhnya. Dilain sisi, sektor manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan
sektor primer, yaitu pertanian. Ini bisa kita lihat dari besaran volume total impor produk

29

barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an sampai saat ini.
Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar negri bertambah tinggi.
Pergeseran sistem perdagangan internasional komoditas pertanian menuntut
kemampuan sektor pertanian kita untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan
agribisnis multinasional yang selama ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi
yang dilakukan oleh FAO tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil
pertanian masih didominasi oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia
dan Kanada dengan pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara
berkembang termasuk Indonesia baru berkontribusi 14%. Saat ini kita dihadapkan
kenyataan tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya
jumlah penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya
menyebabkan efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi
seperti yang digambarkan oleh Geertz (1983) yang terjadi sejak lama di pedesaan kita
sekarang ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam
pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangat memb